• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

PRIORITAS STRATEGI

D. Costa Rica

2.2 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan

2.2.1 Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam seluruh aspek pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan salah satu upaya menyelamatkan hutan dengan keanekaragaman hayatinya yang diselaraskan dengan upaya optimalisasi manfaatnya bagi masyarakat (Abidin et al. 2003). Sebagai contoh, untuk menekan berkembangnya kegiatan penebangan liar (illegal logging) di hutan alam produksi, sebuah perusahaan HPH di Kalimantan Tengah mengadakan usaha kemitraan di bidang pemanenan kayu bulat dengan koperasi desa sekitar hutan. Hasilnya antara lain pengusaha lokal dan masyarakat sekitar hutan sudah mulai merasakan adanya keadilan dalam menikmati keberadaan hutan produksi (Basari 2004). Demikian pula dengan Liswanti, et al. (2004) menyimpulkan bahwa masyarakat Dayak Merap dan Punan, Kalimantan Timur menilai pentingnya hutan primer didasarkan pada berapa hal berikut: (1) sebagai sumber

mata pencaharian baik langsung maupun tidak langsung, (2) adanya nilai-nilai historis yang harus terus dipertahankan secara turun-temurun, dan (3) memiliki kelimpahan sumberdaya yang sangat bernilai seperti tumbuhan dan hewan.

Darusman (2002), menegaskan bahwa secara umum keterlibatan masyarakat yang semakin dekat terkait dengan kegiatan usaha pokok akan memberi dampak yang lebih besar dan lebih terjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu program/usaha berbagai pihak, termasuk para pengusaha dalam rangka membangun masyarakat desa sekitar hutan seharusnya memiliki bentuk-bentuk kegiatan yang lebih dekat terkait dengan usaha kehutanan yang pokok, atau bahkan merupakan bagian yang terpadu dengan kegiatan usaha pokok tersebut. Manfaat yang diharapkan adalah: kesempatan kerja, pendapatan (income) kesempatan berusaha, serta transfer IPTEK dan manajemen. Untuk dapat memperoleh manfaat seperti yang diharapkan, masyarakat luas dapat diberi kesempatan melalui cara-cara sebagai berikut:

1. Terlibat langsung dalam kegiatan usaha/pembangunan yang pokok, misalnya dalam kegiatan usaha HPH, HPHTI, industri hasil hutan, dan lain-lain. Keterlibatan tersebut dapat melalui 3 cara, yaitu :

a. Sebagai pekerja atau pegawai suatu perusahaan b. Sebagai pemilik saham perusahaan

c. Sebagai pengusaha atau pemilik perusahaan

2. Terlibat dalam kegiatan usaha/pembangunan yang menyediakan keperluan-keperluan bagi kegiatan usaha pokok, misalnya menyediakan bahan makanan, bahan bakar, bibit, usaha angkutan, dan lain-lain untuk suatu HPHTI. Dalam kegiatan ini seseorang dapat menjadi pengusahanya atau juga sebagai pekerja/pegawai. Kegiatan usaha terkait yang bersifat menunjang keperluan-keperluan dari usaha pokok ini disebut sebagai keterkaitan ke belakang atau "backward linkages".

3. Terlibat dalam kegiatan usaha/pembangunan yang menggunakan hasil-hasil dari usaha pokok, seperti misalnya usaha penggergajian, kerajinan, dan lain-lain yang menggunakan kayu atau hasil dari suatu HPH. Dalam kegiatan ini juga seseorang dapat menjadi pengusahanya atau juga menjadi pekerja atau pegawai. Kegiatan terkait yang bersifat memanfaatkan hasil usaha pokok lebih lanjut disebut keterkaitan ke depan atau 'forward linkages".

4. Mendapat bantuan dari pemilik usaha pokok untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi atau sumber-sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi masyarakat.

Sebagai ilustrasi bagaimana suatu usaha pembangunan memberi dampak bagi pembangunan masyarakat di suatu wilayah, dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Mekanisme Dampak Pembangunan terhadap Masyarakat (Sumber : Darusman, 2002).

Lebih lanjut Hidayati et al. (2006) menegaskan bahwa bentuk interaksi masyarakat dengan hutan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan motivasi dan kepentingannya. Pertama, masyarakat yang interaksinya dengan hutan hanya didorong oleh motivasi ekonomi saja. Kelompok ini adalah masyarakat miskin yang masuk ke hutan karena tidak memiliki akses terhadap lahan. Kedua, kelompok masyarakat yang interaksinya dengan hutan didorong oleh motivasi ekonomi dan lingkungan. Kelompok masyarakat ini adalah masyarakat desa hutan di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Kelompok masyarakat ini memiliki kemampuan budidaya tanaman dan juga tradisi agroforestry (wanatani). Ketiga, masyarakat yang telah tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam jangka waktu yang lama dan mempunyai ketergantungan pada hutan secara sosial ekonomi, bahkan juga magis religius.

Peran masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan telah mempunyai landasan hukum yang kuat, diantaranya:

1) Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Kegiatan/usaha lain yang tidak terkait

dari luar ke luar ke luar

Kegiatan/usaha yg menyediakan keperluan/input bagi usaha pokok Kegiatan/usaha yg memanfaatkan output dari usaha

pokok KEGIATAN USAHA POKOK • Pegawai/pekerja • Pengusaha •Pemegang Saham • Pemborong Pekerjaan •Pegawai/pekerja • Pengusaha • Pemegang Saham • Pemborong Pekerjaan •Pegawai/pekerja • Pengusaha • Pemegang Saham • Pemborong Pekerjaan

Pengelolaan Sumberdaya Alam, dimana dalam salah satu arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam adalah menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.

2) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

3) Pedoman Umum Pengembangan Social Forestry yang dikeluarkan oleh Depantemen Kehutanan pada tahun 2003.

Peraturan perundangan di atas memberikan peluang kepada siapa saja, termasuk perguruan tinggi untuk mengembangkan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui pendampingan berazaskan kemitraan. Kemitraan yang dimaksud dalam mengelola sumberdaya hutan adalah suatu bentuk kenjasama antara masyarakat dengan stakeholders lain.

Salah satu program yang dapat ditempuh dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan kepentingan masyarakat setempat adalah melalui pengembangan social forestry. Tujuan pengembangan social forestry harus diarahkan agar terwujud sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan akses dan peran kepada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan sebagai pelaku dan atau mitra utama pengelola hutan guna meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian sasaran antara social forestry adalah (1) membangkitkan kegiatan ekonomi produktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, (2) percepatan rehabilitasi hutan dengan melibatkan semua sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dalam Iembaga kemitraan, (3) meningkatkan partisipasi masyarakat, (4) menahan laju kerusakan sumberdaya hutan, dan (5) meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan aparatur pemerintah (Dephut RI 2003).

Menurut Wulandari (2005), partisipasi sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya hutan (SDH), baik partisipasi dari rakyat, pemerintah, swasta dan seluruh stakeholders. Selain itu partisipasi dapat diartikan sebagai kemampuan sistem pengelolaan sumberdaya hutan untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan untuk mengambil bagian secara aktif, mulai dari identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Slamet (1980) dalam Kartasubrata (2003) mengemukakan, syarat-syarat yang

diperlukan untuk partisipasi rakyat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk membangun atau untuk ikut dalam pembangunan, (2) kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, dan (3) adanya kemauan untuk partisipasi.

Selanjutnya untuk mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat, maka sejak Oktober 2000 WARSI telah mendorong sebuah pendekatan baru menuju pengelolaan yang adil, demokratis serta berkelanjutan dengan konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melalui program Community Based Forest Management (CBFM). Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dalam hal ini masyarakat mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki (Warsi 2002).

Dalam pengembangan konsep CBFM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.

Sebagai pembeda dengan sistem pengelolaan hutan lainnya, CBFM memiliki karakteristik program sebagai berikut:

1. Masyarakat setempat (lokal) sebagai aktor utama pengelola hutan

2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat yang bersangkutan.

3. Sistem memiliki atau menguasai wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum (adat dan nasional) yang mendukungnya.

4. Interaksi antara rakyat dan lingkungannya bersifat erat dan langsung

5. Pengetahuan lokal memiliki tempat yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sistem.

6. Teknologi yang digunakan adalah melalui proses adaptasi yang berada dalam batas-batas yang dikuasai rakyat.

8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional.

9. Keanekaragaman mendasari berbagai bidang yaitu jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan sebagainya.