• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

GUNUNG RINJANI (TNGR)

5.3 Faktor-faktor Penentu Interaksi

Sama halnya dengan pembahasan frekwensi interaksi, analisis faktor penentu interaksi difokuskan pada interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK). Pertimbangan utama mengapa hal ini dilakukan adalah: (1) pengambilan/pemanfaatan hasil hutan kayu diyakini akan merusak kelestarian dan daya dukung bahkan mengancam keberadaan TNGR, (2) kegiatan bercocok tanam di jalur hijau dilakukan secara resmi dan saat ini hanya diperbolehkan untuk mengambil hasil tanaman yang telah dikembangkan, sedangkan penyerobotan kawasan di wilayah Lelongken dan Kampung Bali saat ini telah ditertibkan dan masyarakat tidak boleh lagi melakukan aktivitas budidaya di kawasan tersebut, dan (3) kegiatan pendakian dilakukan dengan motif non ekonomi sehingga tidak potensial mengancam kerusakan TNGR.

Untuk mengetahui faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan dilakukan analisis regresi berganda. Dalam hal ini sebagai variabel terikat (dependent) atau variabel respons adalah frekwensi interaksi untuk mengambil

hasil hutan kayu (HHK), sedangkan variabel penjelas (explanatory) atau variabel

bebas (independent) terdiri atas beberapa variabel kuantitatif dan kualitatif.

Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap 9 (sembilan) variabel penjelas dengan koefisien regresi masing-masing disajikan pada Tabel 16 dan hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 16. Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu (HHK)

No Variabel Koefisien

Regresi t-Stat Nilai-P Keterangan

1. Konstanta (a) 4,574 2,128 0,036

2. Lokasi interaksi (X1) 5,135 3,929 0,000 Nyata pada α = 1%

3. WTP (X2) -6,24E-05 -2,339 0,021 Nyata pada α = 5%

4. Pengeluaran RT untuk makanan (X3) 8,041E-06 1,547 0,125 Nyata pada α = 15%

5. Pengeluaran RT selain makanan (X4) 7,378E-06 1,186 0,239

6. Penghasilan RT dari luar hutan (X5) -4,62E-06 -1,650 0,102 Nyata pada α = 15%

7. Luas lahan usahatani (X6) -0,206 -0,372 0,711

8. Aturan lokal dan kebiasaan turun-temurun dalam mengekstraksi HHK (X7)

2,085 1,861 0,066 Nyata pada α = 10%

9. Keterlibatan dalam HKm (X8) -3,944 -2,723 0,008 Nyata pada α = 1%

10. Kepemilikan/pemeliharaan sapi (X9) -1,411 -1,331 0,186 Nyata pada α = 20% Ket.: R2 = 0,397; R2 Adj = 0,343

Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) faktor/variabel yang dapat menjelaskan atau berpengaruh secara nyata terhadap frekwensi interaksi masyarakat untuk mengambil/memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK). Ketujuh faktor/variabel tersebut lebih lanjut dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan

lestari (Sustainable Forest Management SFM). Kategori pertama berkenaan

dengan kondisi biofisik TNGR, yaitu: lokasi interaksi (X1); kategori kedua

berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP (X2) dan pengetahuan

lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengambil HHK (X7); serta kategori ketiga

berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk makanan (X3),

penghasilan dari luar hutan (X5), keterlibatan dalam HKm (X8), dan kepemilikan/

pemeliharaan sapi (X9).

Berkenaan dengan lokasi interaksi, ada kecenderungan penebangan liar dilakukan di hutan yang jaraknya relatif jauh dari pemukiman atau jalan raya. Alasannya, di lokasi ini lebih aman untuk melakukan penebangan karena jauh dari pemantauan petugas. Sementara di lokasi yang dekat pemukiman atau jalan raya, selain ada petugas juga banyak masyarakat lain yang melihat sehingga kurang aman untuk melakukan penebangan. Pertimbangan lainnya dalam menentukan lokasi interaksi adalah ketersediaan pohon kayu yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pembeli.

Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa interaksi masyarakat untuk

TNGR dibandingkan tempat lainnya, ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 4,57. Artinya, frekwensi pengambilan HHK di kawasan TNGR 4,57 kali lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap penebangan liar cukup tinggi. Selain karena lokasinya, lebih tingginya intensitas pengambilan kayu di kawasan TNGR diduga disebabkan karena vegetasi (tegakan kayu) di kawasan ini masih lebih utuh dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya. Kenyataan ini mencerminkan bahwa kelestarian aspek biofisik/ekologis TNGR mengalami ancaman sehingga perlu dilakukan antisipasi sejak dini agar keutuhan TNGR tetap terjaga.

Menurut pengakuan masyarakat (responden), mereka terpaksa melaku-kan pengambilan kayu di hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (terutama kebutuhan makan). Kenyataan ini terbukti dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan

berpengaruh positif nyata (α = 15%) terhadap interaksi HHK. Artinya, semakin

besar pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan akan mengakibatkan frekwensi interaksi HHK mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan tingkat penghasilan masyarakat yang masih berada di bawah standar garis kemiskinan pedesaan NTB serta terbatasnya lapangan usaha di luar kehutanan menjadi

pemicu masyarakat melakukan penebangan liar (illegal logging).

Langkah yang bisa ditempuh guna menyelamatkan hutan (termasuk

TNGR) dari kegiatan penebangan liar (illegal logging) adalah meningkatkan

penghasilan masyarakat yang bersumber dari luar kehutanan. Hal ini seiring dengan hasil analisis yang meunjukkan bahwa penghasilan dari luar kehutanan

berpengaruh negatif nyata (significant) terhadap intensitas pengambilan HHK.

Artinya, semakin tinggi penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan mengakibatkan semakin menurunnya intensitas interaksi HHK.

Faktor ekonomi lainnya yang juga dapat menjelaskan atau berpengaruh

negatif secara nyata (significant) terhadap intensitas interaksi HHK adalah

keterlibatan masyarakat dalam Program HKm. Dari hasil analisis (Tabel 16) dapat diketahui bahwa masyarakat peserta HKm intensitas interaksinya 3,94 kali lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam HKm. Begitu pula halnya dengan kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi dapat menpengaruhi (menurunkan) secara nyata intensitas interaksi HHK, ditunjukkan nilai koefisien regresi yang bertanda negatif. Interaksi HHK yang dilakukan oleh

masyarakat yang memelihara sapi 1,41 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak memelihara. Kenyataan ini mencerminkan bahwa masyarakat tidak

akan melakukan pencurian kayu (illegal logging) di hutan TNGR manakala

memiliki alternatif sumber penghidupan lain di luar hutan. Indikasi ini diperkuat oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa luas lahan yang dimiliki/digaraf mempunyai pengaruh negatif (tidak nyata) terhadap intensitas interaksi.

Tinggi rendahnya interaksi pengambilan kayu secara nyata (significant)

juga dipengaruhi oleh kesediaan masyarakat untuk membayar kelestarian (WTP) sumberdaya hutan. Dalam hal ini semakin tinggi WTP semakin rendah frekwensi interaksi untuk pengambilan kayu dan sebaliknya (koefisien regresi negatif). Hasil analisis ini menggambarkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian sumberdaya hutan yang diwujudkan dalam bentuk WTP dapat mengendalikan mereka untuk melakukan penebangan liar.

Di sisi lain adanya pengetahuan dan kebiasaan lokal berkenaan dengan ekstraksi HHK yang diperoleh secara turun temurun berpengaruh positif nyata (significant) terhadap intensitas interaksi, tercermin dari nilai koefisien sebesar

2,09. Artinya, mereka yang memiliki pengetahuan tentang cara penebangan dan

memiliki kebiasaan secara turun temurun akan melakukan interaksi 2,09 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengetahuan serupa.

Keadaan yang relatif sama juga terjadi di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Hasil penelitian Tim Peneliti Balai Taman Nasional Meru Betiri (2002) menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk di daerah penyangga TNMB memiliki andil besar bagi kelestarian lingkungan hutan Taman Nasional. Secara sosial ekonomi daerah penyangga ini mengalami kelangkaan tanah pertanian sehingga tidak memadai untuk hidup layak bagi penduduknya. Kondisi ini mengakibatkan tekanan (perusakan/pengambilan hasil hutan) terhadap TNMB. Disamping itu faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingkat motivasi dan pengambilan hasil hutan TNMB.