• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

DALAM PELESTARIAN HUTAN

7.4 Upaya Pelestarian Hutan

7.4.4 Partisipasi LSM dalam Pengelolaan TNGR

No Korelasi Koef. Korelasi

Spearman (rs) Nilai-P Keterangan

1. Pendapatan Rumahtangga

dengan Partisipasi dalam pengelolaan hutan

0,426 0,000 Nyata pada α = 1%

2. Pendapatan Rumahtangga

dari hasil hutan dengan Partisipasi dalam pengelolaan hutan

0,499 0,000 Nyata pada α = 1%

Secara individual, sebagian dari masyarakat ada yang telah menyadari sepenuhnya dan memiliki kepedulian akan kelestarian TNGR, tercermin dari keinginannya untuk ikut mengawasi keamanan kawasan. Hanya saja mereka merasa tidak memiliki wewenang untuk menegur atau melarang para pencuri/perambah hutan. Sebagai contoh, ketika seseorang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan melarang masyarakat lainnya untuk menebang kayu atau mencemari lingkungan, seringkali menimbulkan konflik, bahkan ditanya apa haknya untuk melarang orang lain. Dengan perlakuan semacam ini maka kreatifitas warga untuk ikut mengawasi menjadi tidak optimal. Kesadaran lingkungan ini merupakan modal sosial yang perlu diberdayakan untuk pelestarian TNGR di masa yang akan datang.

7.4.4 Partisipasi LSM dalam Pengelolaan TNGR

Selain Balai TNGR sebagai penanggung jawab, partisipasi para pihak mulai dari pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat pada semua lapisan sangat diperlukan dalam pengelolaan TNGR. Selama ini ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang secara riil telah berpartisipasi dalam pengelolaan TNGR yang diwujudkan dalam berbagai bentuk

kegiatan. LSM dimaksud antara lain: WWF Program Nusa Tenggara, New Zealand

Asistance International Development (NZAID), Rinjani Trek Management Board (RTMB), dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP).

WWF Nusa Tenggara merupakan lembaga non profit internasional yang kegiatannya antara lain juga berada pada kawasan TNGR dan sekitarnya. Seperti pada cakupan kerja di wilayah lain di dunia, dalam pelaksanaan programnya WWF juga merupakan lembaga mandiri dengan donasi atau pendanaan yang berasal dari sumber sendiri. Konsentrasi program kerja WWF di wilayah TNGR adalah pengembangan kegiatan atau program konservasi taman nasional serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman berkenaan dengan konservasi kawasan.

NZAID (sebelumnya adalah NZODA - New Zealand Official Development Assistance) merupakan lembaga non profit yang bekerja dan memiliki program membantu pengelolaan TNGR sejak tahun 1998 sampai dengan 2005. Selama masa kontrak tersebut NZAID merintis program pengelolaan TNGR melalui tiga pendekatan utama yaitu manajemen taman nasional, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekowisata. Dalam pelaksanaannya NZAID memberikan bantuan teknis dan pendanaan sehingga merupakan lembaga donor utama dalam pengelolaan TNGR. Bahkan dalam periode 1998-2005 tersebut NZAID merupakan penyumbang terbesar bagi pendanaan TNGR. Dalam perjalanannya pada kurun waktu lima tahun pengelolaan, nampaknya bantuan pendanaan oleh NZAID merupakan faktor penting dari kiprahnya pada TNGR. Harapan NZAID adalah pihak Balai TNGR dengan dibantu pihak lain dapat meneruskan program yang telah dirintis secara mandiri pasca periode proyek.

RTMB merupakan institusi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan kesepakatan dari beberapa pihak yaitu UPT TNGR, Bupati Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur, Dinas Pariwisata Lombok Barat dan Lombok Timur. Keberadaan RTMB dikuatkan secara hukum dengan SK Gubernur

No 15/2003 tentang Pembentukan Badan Pembina Trekking Rinjani (RTMB).

Tujuan pembentukannya adalah guna mengkoordinasikan pengelolaan program ekowisata di TNGR.

Pembentukan RTMB sendiri juga merupakan implikasi dari antisipasi berakhirnya program NZAID pada pertengahan tahun 2005. Diharapkan setelah periode proyek NZAID berakhir, RTMB dapat meneruskan program kerja yang telah dirintis oleh NZAID secara mandiri khususnya berkenaan dengan program ekowisata. Pada konteks operasional, tugas pokok RTMB adalah mengkoordinir tour operator yang bekerja pada wilayah TNGR dan sekitarnya. Tujuannya untuk

mengantisipasi terjadinya persaingan yang kurang sehat antar tour operator. Selain

itu juga untuk mengorganisasikan tour operator dengan guide atau terutama porter

sehingga penjadwalan porter dapat dialokasikan dengan adil.

Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP) dirintis sejak tahun 1995 dengan program utama adalah penguatan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Misinya: (1) pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat melalui pemanfaatan dan pengelolaan potensi SDM dan SDA berbasis komunitas dengan prinsip berkelanjutan dan berkeadilan, dan (2) sebagai mediator, fasilitator, sekaligus melakukan advokasi dalam upaya memperjuangkan hak-hak

dan akses masyarakat dalam pengelolaan SDA. Guna mendukung misinya, YPMP melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan koperasi, pemberdayaan kelompok tani dan nelayan, serta pemberdayaan dan penguatan kelembagaan (pranata lokal) dalam upaya pengelolaan kawasan hutan. 7.5 Intisari untuk Pemberdayaan

Beberapa aspek penting yang dapat disimpulkan dari uraian dalam Bab VII ini yang dapat dijadilkan dasar pertimbangan merumuskan model dan strategi pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR, yaitu:

1) Tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil hutan secara relatif masih cukup tinggi. Lebih dari 30% penghasilan keluarga bersumber dari hasil hutan. Pendapatan inilah yang harus dikompensasi dengan menciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat sekitar sehingga mereka tidak lagi melakukan pengambilan hasil hutan (terutama kayu).

2) Penghasilan masyarakat di kawasan penyangga TNGR relatif kecil sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara itu lapangan kerja/usaha di luar kehutanan sangat terbatas sehingga mereka melakukan eksploitasi hasil hutan kayu. Karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penciptaan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mengkompensasi penghailannya yang bersumber dari hutan TNGR.

3) Terjadi “paradoks” dalam masyarakat sekitar kawasan TNGR, disatu sisi

mereka tidak merasa memiliki hutan tetapi di pihak lain seolah-olah mengklaim bahwa hutan menjadi miliknya sehingga merasa lebih berhak atas pengelolaannya dan sangat tidak setuju jika ada orang luar yang ikut mengelola dan memanfaatkan hutan.

4) Guna meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, maka pengelolaan TNGR

harus dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan tercermin dari adanya hubungan positif nyata antara pendapatan dengan

partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian TNGR.  

5) Secara individual, sebagian masyarakat ada yang telah menyadari

sepenuhnya dan memiliki kepedulian akan kelestarian TNGR, tercermin dari keinginannya untuk ikut mengawasi keamanan kawasan. Hanya saja mereka merasa tidak berani untuk menegur atau melarang para pencuri/perambah hutan karena berpotensi menimbulkan konflik. Untuk itu perlu difasilitasi agar