• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

PRIORITAS STRATEGI

D. Costa Rica

2.5 Persepsi dan Partisipasi .1 Persepsi .1 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Secara garis besar persepsi seseorang terhadap sesuatu objek dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu faktor personal (fungsional) dan faktor situasional (struktural). Faktor personal berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Dalam hal-hal ini yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu. Adapun persepsi yang dipengaruhi oleh faktor situasional (struktural) semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya. Misalnya, jika Bejo yang terkenal sebagai pemulung berpakaian jelek, orang akan menilai pakaiannya “kusut dan kotor”. Jika pakaian yang sama dipakai oleh Udin (kiai yang miskin), orang mengomentarinya sebagai pakaian yang, walaupun “lusuh, tetapi ditambal dengan rapih dan bersih” (Rakhmat, 2005).

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa persepsi merupakan salah satu dari komponen sikap. Menurut Azwar (2007), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective), dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.

Mann (1969) dalam Azwar (2007) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan

untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif; hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.

Temuan-temuan penelitian mengenai hubungan antara sikap dan perilaku memang belum konklusif. Banyak penelitian yang menyimpulkan adanya hubungan yang sangat lemah bahkan negatif, sedangkan sebagian penelitian lain menemukan adanya hubungan yang meyakinkan. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian yang kontradiktif ini, Warner dan DeFleur (1969) dalam Azwar (2007) mengemukakan tiga postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulate of consistency, postulate of independent variation, dan postulate of contingent consistency.

Postulat Konsistensi

Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi, postulat ini mengasumsikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. Bukti yang mendukung postulat konsistensi dapat terlihat pada pola perilaku individu yang memiliki sikap ekstrim. Hal ini terjadi dikarenakan individu yang memiliki sikap ekstrim cenderung untuk berperilaku yang didominasi oleh keekstriman sikapnya itu, sedangkan mereka yang sikapnya lebih moderat akan berperilaku yang lebih didominasi oleh faktor-faktor lain.

Postulat Variasi Independen

Postulat variasi independen mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah, dan berbeda; mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku. Dukungan yang jelas pada postulat ini adalah hasil studi klasik yang dilakukan oleh LaPierre (1934), menyimplkan bahwa adanya inkonsistensi antara sikap dan

perilaku pemilik hotel dan restoran di Amerika Serikat untuk menerima tamu orang Cina.

Postulat Konsistensi Tergantung

Postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan, dan lain sebagainya merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu sejauhmana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Tampaknya, postulat terakhir ini merupakan postulat yang paling masuk akal dan paling berguna dalam menjelaskan hubungan sikap dengan perilaku.

Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang ikut menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah memprediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator sikap seseorang. Hal inilah yang dijelaskan oleh model theory of reasoned action (Ajzen & Fishbein, 1980) bahwa respons perilaku ditentukan tidak raja oleh sikap individu akan tetapi juga oleh norma subjektif yang ada dalam diri individu yang hersangkutan dan dijelaskan pula oleh model teori Kurt Lewin (1951) bahwa perilaku merupakan fungsi dari faktor kepribadian individual dan faktor lingkungan (Azwar 2007).

2.5.2 Partisipasi

Partisipasi menurut Syahyuti (2006) merupakan suatu proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan. Dengan demikian, maka pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenan dengan kehidupan masyarakat.

Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengembilan keputusan melalui perwakilan (Karki, 2001). Asumsi dari teori demokrasi bahwa masyarakat memliki hak sama dalam isu publik dan memiliki kompetensi dalam mengambil keputusan terhadap isu tersebut (Howell et al. 1987), namun untuk dapat berpartisipasi dengan baik

dalam pembangunan, jelaslah bahwa hak bersuara saja sebagai wujud hak dari pengambilan keputusan tidaklah cukup.

Teori yang juga mendukung pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah Teori Mobilisasi Sosial (Social Mobilization Theory). Teori ini diterapkan dalam permasalahan politik dengan argumen bahwa orang dapat dimobilisasi dalam politik melalui bentuk partisipasi dengan berbagai jenis aktivitas masyarakat atau asosiasi tertentu yang menarik (Howell et al. 1987),.

Social exchange Theory juga memberikan dukungan pemikiran teori untuk pelibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Teori pertukaran secara umum dipengaruhi oleh prilaku seorang aktor terhadap lingkungan dan dampak aktor terhadap prilaku aktor. Bila prilaku telah menguntungkan aktor, prilaku yang sama mungkin diulang dimasa depan dalam situasi serupa.Teori pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik (Adam Smith) yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori pilihan rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki tujuan atau memiliki maksud. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya pertukaran yaitu keterbatasan sumberdaya dan kelembagaan sosial. Penguasaan sumberdaya mempengaruhi tindakan aktor mencapai tujuannya, demikian pula dengan keberadaan kelembagaan akan mendorong dan mambatasi prilaku aktor dalam mencapai tujuannnya (Goodman and Rizzer 2003).

Warner (1997) membedakan tiga bentuk atau model partisipasi yaitu popular partisipation, selective partisipation dan consensus partisipation. Model Popular Participation memiliki tujuan pemberdayaan (kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi), kemudian Selective Participation memiliki tujuan keberlanjutan institusi dan Consensus Participation memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Sementara itu Dearden, et al. (1999) dalam Setyowati (2006) membedakan tujuh tipologi partisipasi sebagai berikut:

1) Passive participation yaitu orang berpartisipasi dalam bentuk hanya mendengarkan apa yang sedang dan telah terjadi.

2) Participation in information giving yaitu orang berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan dan tidak mempengaruhi proses

3) Participation by consultation yaitu orang berpartisipasi melalui konsultasi dan mendengarkan pandangan pihak lain (agent)

4) Participation for material incentive yaitu orang berpartisipasi atas pertimbangan insentif .

5) Fuctional participation yaitu orang berpartisipasi umumnya dalam bentuk kelompok yang berkaitan dengan tujuan proyek

6) Interactive participation yaitu partisipasi seseorang dalam mengkaji secara bersama (joint analysis) dalam membangun dan memformulasikan rencana aksi dalam kelompok.

7) Self-mobilization yaitu orang berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas dalam institusi untuk merubah sistem.

Selanjutnya menurut Inoue (1998), bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut :

1) Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan.

2) Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group partipation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong.

3) Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya.

4) Partisipasi upah kerja (wage labor partipation) adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah.