• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI

4) Hutan Keluarga

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian masyarakat sekitar kawasan TNGR hidupnya sangat tergantung pada sumber daya hutan. Menyadari semua ini maka diperlukan upaya menggalakkan program pengembangan hutan keluarga dengan tujuan mengurangi ketergantungan serta meminimalisasi potensi kerusakan TNGR. Selain itu dengan pengembangan hutan keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber perekonomian keluarga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan/kebun milik masyarakat yang berada di kawasan penyangga TNGR.

Hutan Keluarga ini dapat dikembangkan di kebun-kebun milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR. Karena itu sasaran pembinaan

pengembangan hutan keluarga ini adalah masyarakat lokal yang memiliki lahan di sekitar TNGR. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka secara spasial wilayah yang potensial untuk pengembangan hutan keluarga ini adalah di bagian selatan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, serta sebagian Resort Aikmel, dan Sembalun.

Dalam hutan keluarga, berbagai jenis kayu dapat dikembangkan baik untuk kayu bahan bangunan/industri maupun untuk kayu bakar. Prospek pengembangan kayu (terutama kayu bakar) cukup besar ditinjau dari sisi permintaan. Sebagai gambaran, data dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB menunjukkan bahwa defisit hasil hutan untuk kayu bangunan di NTB cukup tinggi, yaitu 80 000 m3 per tahun sementara kebutuhan kayu bakar sekitar 480 000 m3 per tahun. Dengan jumlah kebutuhan ini, hutan NTB belum mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar.

Saat ini di 37 desa yang berada di kawasan TNGR terdapat 50 913 rumahtangga menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak (Lampiran 15). Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata setiap rumahtangga (dengan jumlah anggota keluarga 4 orang) membutuhkan 10 ikat atau 0,14 m3 kayu bakar per bulan. Jadi dengan demikian maka total kebutuhan kayu bakar untuk masyarakat di sekitar TNGR sebanyak 7 128 m3 setiap bulannya atau sebesar 85 534 m3 per tahun. jika 1 (satu) pohon mahoni umur 10 tahun memiliki volume kayu rata-rata 0,5 m3, maka untuk mencukupi keperluan kayu bakar masyarakat di sekitar TNGR saja harus menebang 171 067 pohon (jumlah yang cukup besar). Diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah tidak hanya untuk masyarakat di pinggir kawasan, melainkan juga masyarakat yang berada jauh di luar kawasan.

Lebih lanjut jika subsidi BBM dicabut maka para petani Tembakau Virginia di Pulau Lombok yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk melakukan pengomprongan, akan beralih menggunakan kayu bakar. Diperkirakan kebutuhan kayu bakar untuk pengomprongan tembakau mencapai 60 000 truk atau setara dengan 480 000 m3 per tahun dengan asumsi jumlah oven pengomprong 14 000 unit. Implikasinya akan terjadi peningkatan kerawanan hutan secara keseluruhan (termasuk TNGR) sehingga harus segera diantisipasi. Salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah pengembangan hutan keluarga dengan menanam jenis-jenis pohon yang cepat menghasilkan kayu bakar .

Salah satu jenis kayu yang potensial dikembangkan adalah mahoni. Alasannya, selain pertumbuhannya relatif cepat, pasar lokal (permintaan setempat) untuk jenis kayu ini cukup besar, terutama sebagai bahan baku industri kerajinan

kayu (ukiran) yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Lombok. Kayu mahoni ini cukup diminati oleh pengrajin karena seratnya halus dan kayunya keras sehingga memudahkan proses pengolahan dengan kualitas hasil kerajinan lebih bagus. Sebagai gambaran, hasil penelitian Sukardi, et al. (2001) menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan kayu mahoni untuk 1 unit usaha kerajinan ukir di Kecamatan Labuapi Lombok Barat sebesar 36,5 m3 per bulan. Sementara itu jumlah pengrajin di seluruh Pulau Lombok mencapai lebih dari 100 unit.

Selain mahoni, jenis kayu lainnya yang dapat dikembangkan adalah albasia (sengon). Kayu albasia memiliki prospek pasar yang cukup tinggi, dimana permintaannya bukan hanya di dalam negeri, namun juga datang dari mancanegara. Kayu ini dipergunakan antara lain untuk bahan bangunan, peralatan rumah tangga, sampai pada bahan baku kertas dan kayu lapis. Kayu albasia setelah mengalami proses pengeringan dan perlakuan lainnya dapat dibuat peralatan rumah tangga yang memiliki keawetan cukup lama. Dengan penggunaan yang multidimensi tersebut permintaan akan terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk.

Khusus di wilayah Resort Sembalun, pengembangan tomat dilakukan dengan menggunakan ajir (bahasa setempat “pemanju”) sebagai penyangga batang tomat, dimana setiap ajir panjangnya 1 – 1,5 m. Pada umumnya ajir ini dibuat dari kayu/ranting kayu yang diperoleh dari wilayah setempat (kebun dan/atau hutan). Kebutuhan ajir untuk setiap hektar tanaman tomat adalah sebanyak 60 ribu batang. Sebagai gambaran, areal pengembangan tomat di wilayah Sembalun pada tahun 2007 adalah seluas 500 ha. Jadi secara keseluruhan membutuhkan ajir sebanyak 30 juta batang. Permintaan ajir ini setiap tahunnya secara rutin terus terjadi karena selama ini ajir hanya dipakai untuk satu kali musim tanam (satu tahun). Melihat potensi permintaan yang cukup besar ini, maka pengembangan kayu ajir memiliki prospek yang cukup besar. Menurut informasi dari tokoh masyarakat setempat, jenis pohon yang pertumbuhannya cepat untuk dijadikan ajir adalah “Kaliandra”.

Selain sebagai ajir, Kaliandra telah digunakan secara luas untuk pakan ternak karena daun, bunga, dan tangkai mempunyai kandungan protein 20-25% (Roshetko 2002). Wina dan Tangendjaja (2000) menegaskan bahwa pemanfaatan Kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya performans produksi tetapi performans reproduksi ternak juga meningkat. Baik ternak ruminansia kecil

maupun yang besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput. Lebih lanjut Tangendjaja et al. (1992) dan Bulo et al. (1992) menyimpulkan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi.

Keunggulan lain dari tanaman ini adalah cepat tumbuh dan memiliki kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Dengan karakteristik ini maka kaliandra sangat perpotensi untuk ajir dan kayu bakar. Meskipun kaliandra tumbuh dengan cepat, kayunya cukup padat dan kering dengan cepat dan mudah terbakar. Setelah pemangkasan, tunas dapat tumbuh dengan cepat dan lebat membentuk batang yang baru. Ciri ini membuat kaliandra menjadi kayu bakar dan kayu arang yang ideal. Keberhasilan awal kaliandra di Jawa terutama disebabkan oleh tingginya produksi kayu bakar berkualitas. Kayunya mempunyai berat jenis 0.5 – 0.8 dan menghasilkan 4200 kkalori per kg kayu kering dan 7 200 kkalori per kg arang. Untuk produksi kayu bakar, kaliandra umumnya ditanam dengan jarak tanam 1 x 1 m atau 1 x 2 m. Batang dipangkas pada ketinggian 30 – 50 cm pada akhir musim kering (Ty et al. 1997). Hasil tahunan sangat bervariasi sesuai dengan tapak dan kondisi pengelolaan. Tanaman berumur 1 tahun dapat menghasilkan 5 – 20 m3/ha/th; dan yang berumur 20 tahun dapat menghasilkan 30 - 65 m3/ha/th (NRC 1983). Kaliandra juga merupakan sumber pakan yang penting untuk lebah madu. Diperkirakan usaha ternak madu tingkat petani dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun dari 1 ha tegakan kaliandra (Sila 1996). Jadi selain pertumbuhannya cepat, pengembangan Kaliandra dapat dipadukan dengan pemeliharaan ternak (terutama sapi), pemeliharaan/budidaya lebah madu, dan kegiatan usahatani sayuran (ajir). Keterpaduan ini akan beimplikasi pada lebih banyaknya masyarakat yang dapat diberdayakan sehingga menciptakan multiplier effect (tenaga kerja dan pendapatan) yang lebih besar terhadap perekonomian wilayah.

Kegiatan yang dilakukan pada hutan keluarga antara lain: (1) budidaya berbagai jenis kayu baik untuk keperluan kayu bakar, kayu bangunan atau untuk keperluan lain seperti kerajinan, sumber kayu ajir, pakan ternak, maupun sebagai

areal pakan lebah; (2) budidaya tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di bawah tegakan seperti empon-empon, rumput pakan ternak, dan tanaman semusim lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga jangka pendek. Dengan kegiatan ini maka output yang dihasilkan antara lain: kayu ajir, kayu bakar, kayu bangunan/kerajinan, pakan ternak, pakan lebah, dan rumput pakan ternak.

Contoh penerapan Hutan Keluarga yang telah menunjukkan keberhasilan adalah yang dikembangkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) di lingkar Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW), Sumba Timur – NTT yang dimulai sejak tahun 1993 (Trasform dan ICCON 2007).

Pengembangan hutan keluarga ini identik dengan hutan rakyat yang selama ini telah banyak dikembangkan di Indonesia. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Namun demikian permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat (Sukadaryati 2006), yaitu: (1) pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan, begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, dan (2) sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat; terlebih lagi bila masyarakat pemilik lahan dihadapkan pada persoalan ekonomi,

Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya (Wikipedia Indonesia):

1) Getah dan resin:

- Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan Kalimantan

- Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan

- Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan

- Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat

- Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan

- Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara 2) Buah-buahan:

- Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Maluku.

- Jambu mete (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa

- Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa.

- Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan

- Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.

- Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan

- Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku

- Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa

- Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan 3) Rempah-rempah lain:

- Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama Sumatera Barat dan Kerinci

- Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.

- Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa. 4) Kayu-kayuan:

- Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah

- Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara

- Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah

5) Lain-lain:

- Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan

- Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor

- Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.