• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

DALAM PELESTARIAN HUTAN

7.4 Upaya Pelestarian Hutan

7.4.1 Tata Nilai dan Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan

Masyarakat pinggiran hutan di beberapa tempat sekitar kawasan TNGR masih memiliki tradisi yang cukup kuat memegang nilai kearifan lokalnya dalam hal pelestarian alam. Keadaan ini tidak terlepas dari hubungan antara kearifan lokal tersebut dengan kegiatan ritual yang mereka lakukan. Sebagian masyarakat sampai saat ini masih taat dan patuh terhadap aturan adat yang ada dan selalu memperhatikan aspek lingkungan guna penataan alam dimana mereka tinggal.

Secara turun-temurun masyarakat di kawasan hutan Rinjani (Khususnya di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur Bagian Utara) telah mempraktekkan sistem atau mekanisme kelola lingkungan dimana mereka mampu menjalin keselarasan hubungan dirinya dengan alam sekitar. Sebagai contoh, di kalangan masyarakat Senaru, dikenal istilah “Ntoq Lekoq Buaq”, yaitu sutu prosesi sebelum melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Dalam prosesi ini calon pendaki berjanji untuk tidak akan mengganggu alam sekitar (flora fauna) serta tidak akan mengeluarkan kata-kata dan berbuat tidak senonoh selama pendakian. Demikian juga dengan jabatan pemangku gumi, mangku alas, pekasih/inaq aik, yang dulu dipatuhi oleh masyarakatnya telah membuktikan bahwa masyarakat memandang peranan mereka sangatlah penting dalam mengelola sumberdaya alam.

Sistem yang dikembangkan secara evolutif bahkan membedakan fungsi-fungsi sumberdaya yang mengakomodasi berbagai kepentingan seperti kelestarian alam, ekonomi, budaya, sosial, dan politik. Dalam sistem kelola hutan, ada kategori pawang dan gawah, demikian halnya dalam kelola sumberdaya lahan, ada perbedaan antara paer, pecatu, dan tanak penguripan gubuk.

Dalam upaya perlindungan serta pelestarian hutan, kawasan hutan adat (pawang) diatur dalam sebuah kesepakatan lokal yang disebut “awig-awig”. Pada

awalnya awig-awig ini tidak tertulis, akan tetapi kesepakatan tersebut memang sudah melekat dan menjadi satu bentuk keharusan bagi masyarakat adat untuk mengetahuinya. Salah satu contoh, di Hutan Adat (Pawang) Bangket Bayan yang terletak di Kabupaten Lombok Barat bagian Utara, terdapat awig-awig yang mengatur tentang hutan. Tujuan dari awig-awig ini antara lain bagaimana menjaga agar hutan tetap berkelanjutan (termasuk air). Untuk menjaga air agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maka dibuat aturan (awig-awig) yang disebut “Ngelokoang” yang mengatur berbagai hal antara lain kewenangan lembaga adat, hal-hal yang boleh dan tidak boleh, serta sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.

Dalam hal hubungannya dengan lingkungan, inti dari hukum adat ini adalah bagaimana upaya masyarakat agar keberadaan hutan tetap lestari. Biasanya di kawasan hutan adat ada situs-situs tertentu dan nilai-nilai magis yang disakralkan masyarakat secara turun temurun dan harus dilestarikan. Mereka memiliki keyakinan kalau hutan dirusak, maka makhluk halus yang tinggal di dalamnya akan murka sehingga akan mendatangkan bencana bagi masyarakat di sekitarnya.

Keyakinan itu selalu dipegang teguh oleh masyarakat adat, hingga dalam perkembangannya keyakinan itu mulai terusik setelah ada intervensi masyarakat luar yang bertujuan untuk kepentingan ekonomi. Namun demikian eksistensi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat mulai diangkat kembali dengan akan ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Nusa Tenggara Barat tentang “Pengukuhan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Hutan Adat di Lombok Barat” (saat penelitian dilakukan sedang dalam proses penyelesaian). Akan tetapi sayangnya nilai-nilai kearifan lingkungan ini sulit bahkan tidak mungkin bisa diterapkan di tempat lain. Alasan utamanya bahwa keyakinan dan nilai-nilai yang disakralkan berkenaan dengan hutan adat hanya berlaku di kawasan hutan tersebut dan merupakan kesepakatan yang berlaku secara turun temurun, sedangkan di tempat lainnya tidak berlaku karena tidak ada situs-situs bersejarah yang dianggap sakral dan dikeramatkan. Alasan lainnya adalah bahwa tata nilai tertentu akan bisa diterapkan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan kultur yang homogen; sementara saat ini hampir di semua tempat (termasuk di kawasan Hutan Rinjani), masyarakatnya relatif heterogen dengan latar belakang budaya

dan tradisi yang berbeda serta karakteristik dan kepentingan yang beragam sehingga sulit untuk menerapkan tata nilai tertentu dalam masyarakat.

Macam kearifan lokal lainnya adalah adanya kawasan yang diperuntukkan sebagai daerah resapan air yang berguna untuk melindungi desa

dari bahaya atau bencana alam. Kawasan bambu yang disebut dengan Tereng

Kedencor yang terdapat di Desa Senaru merupakan daerah resapan air yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat kecuali dengan seizin dan sepengetahuan kepala desa.

Masyarakat Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur Bagian Utara juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupannya. Dalam menjalin dan menjaga kerukunan hidup bermasyarakat, dikenal istilah “Berjiwa Lomboq Buaq” (artinya : jujur, lurus, tulus, ikhlas, sabar, dan adil) dan “Berperilaku Saksak Sangkabira” (artinya : bersama, sama-rata untuk saling bantu, saling tolong (saling sangka) dan bergotong royong dalam semua aspek kehidupan.

Berkenaan dengan pengembangan tanaman (hubungan dengan alam), masyarakat Sembalun juga telah memiliki kearifan lokal, yaitu adanya ketentuan/kesepakatan lokal bahwa pada setiap rumah wajib ada: (1) pohon jeruk, buahnya bisa dijual untuk memperoleh uang, (2) pohon kopi, buahnya digunakan untuk menghangatkan tubuh, dan (3) pohon pisang, batangnya digunakan untuk antisipasi kebakaran.

Sayangnya nilai-nilai ini telah mengalami perubahan dan degradasi sejak beberapa dekade terakhir. Menyadari pentingnya nilai-nilai ini, terutama yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan, maka Kepala Desa Sembalun Lawang mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, yaitu dengan dikeluarkannya PERDES Tahun 2008 yang isinya: setiap orang (penduduk Sembalun Lawang) diwajibkan menanam 10 batang pohon dimana saja di wilayah Sembalun (kebun, hutan, pekarangan, pinggir jalan, dan lokasi lainnya). Misalnya, suatu rumahtangga dengan 5 anggota keluarga diwajibkan menanam 50 pohon selama tahun 2008. Target penanaman untuk tahun 2008 adalah sebesar 100 000 pohon dimana bibit pohon diharapkan mencari sendiri.

Istilah-istilah lokal lain berkenaan dengan hutan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap keutuhan dan kelestarian hutan. Dengan istilah-istilah

lokal ini tercipta kesan (image) bahwa suatu kawasan tersebut sangat vital dan

harus dilindungi. Misalnya istilah “Gawah Toaq” untuk hutan yang masih utuh

Sebutan ini menimbulkan kesan dan kesamaan persepsi kepada masyarakat kommunal bahwa hutan tersebut menjadi sumber kehidupan masyarakat secara turun temurun dan tidak boleh diganggu. Pengakuan ini membuat masyarakat merasa berkepentingan untuk mengawasi hutan dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan perkataan lain tidak ada masyarakat yang berani mengambil hasil hutan secara diam-diam karena tidak ada pengakuan (legalitas kommunal) dari masyarakat sekitarnya.

Adanya istilah dan sebutan-sebutan baru seperti HKm sebenarnya secara tidak sadar telah menggeser nilai-nilai kearifan yang telah berkembang dalam masyarakat. Istilah-istilah baru lebih mengarah kepada pendekatan proyek dan seringkali ditumpangi berbagai kepentingan sehingga tidak jarang memicu terjadinya konflik horizontal.

Memudarnya nilai-nilai budaya tradisional masyarakat juga terjadi di kawasan penyangga Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Jawa Timur. Selama ini nilai-nilai budaya lokal yang dipandang sangat efektif bagi pengendalian lingkungan, tampaknya berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Hampir seluruh desa di kawasan penyangga TNMB tidak memiliki lagi nilai-nilai “tabu” atau “pantangan” yang berkaitan dengan hutan Taman Nasional. Tersedianya teknologi modern dalam bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu maupun gergaji, senapan berburu, alat komunikasi, serta sarana transportasi yang cepat dan lancar; telah membantu merubah pandangan masyarakat dari “tantangan alam” dan “tunduk kepada alam” begeser kepada nilai-nilai “menaklukkan alam” (Balai Taman Nasional Meru Betiri 2002).

Menurut Abas (2005), kelemahan yang ditemukan berkenaan dengan keberlanjutan kearifan lokal adalah tidak ditemukannya aturan yang tercatat bagi pelaksanaan kearifan lokal tersebut. Kedepan hal ini dapat berdampak negatif terhadap regenerasi pengetahuan mengenai kearifan lokal pada generasi selanjutnya. Terlebih jika melihat orientasi pengembangan TNGR yang menempatkan pariwisata sebagai sektor unggulan dimana dalam pelaksanaannya masyarakat lokal akan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat luar dan arus teknologi modern serta industri yang lebih leluasa masuk. Hal ini rentan mengakibatkan degradasi pengetahuan generasi muda terhadap esensi dari kearifan lokal yang dimilikinya jika tidak dibuat dalam bentuk tercatat (terdokumentasi). Untuk mencegah terjadinya hal ini maka akan lebih baik jika

seluruh jenis kearifan lokal yang masih ada didokumentasikan sehingga dapat diturunkan pada generasi selanjutnya dengan lebih baik.

Persepsi masyarakat lokal terhadap lingkungannya (ekosistem hutan) tidak bersifat sekuler, tetapi hutan dianggap bagian yang terintegrasi dari kehidupan mereka. Dengan persepsi tersebut, maka berbagai masyarakat lokal pada umumnya memiliki kearifan ekologis dalam mengelola lingkungan, seperti ekosistem hutan. Pengelolaan hutan oleh berbagai kelompok masyarakat lokal di Indonesia telah memberikan hasil cukup baik dan sejalan dengan konsep-konsep modern dari Barat (Iskandar 1998). Misalnya, pada masyarakat Baduy, di Desa Kanekes, Banten Selatan, mereka secara turun temurun telah mampu mengelola hutan di daerahnya secara mandiri. Pada umumnya, orang Baduy mengelola hutan dengan menggunakan konsep analogi dengan sistem zonasi, seperti konsep pengelolaan taman nasional atau cagar biosfer.