• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI

8.2 Potensi Biofisik Kawasan .1 Kawasan TNGR .1 Kawasan TNGR

Usaha lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat sekitar, bahkan sebagian diantaranya sebagai pekerjaan pokok adalah penginapan (homestay). Kondisi desa persinggahan yang alami menjadikan potensi usaha homestay baik untuk dilakukan. Tarif homestay di desa sekitar TNGR bervariasi antara Rp 60 000,- sampai Rp 150 000,- per malam tergantung pada kelas homestay. Kegiatan lain yang juga diusahakan adalah suvenir khas lokal atau khas Pulau Lombok. Jenis suvenir yang di jual bermacam-macam seperti anyaman, gantungan kunci, baju kaos dan ukiran kayu dengan motif lokal. Kegiatan ini terutama sekali banyak dilakukan di Desa Senaru (pintu masuk TNGR di Kabupaten Lombok Barat).

8.2 Potensi Biofisik Kawasan 8.2.1 Kawasan TNGR

Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP No 3 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfatan Hutan” menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan: (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (4) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Selanjutnya Pasal 18 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional)

Berdasarkan ketentuan ini maka pemanfaatan TNGR hanya dapat dilakukan pada zona pemanfaatan dan zona lainnya, sedangkan zona inti dan zona rimba yang merupakan luasan terbesar (92,41%) tidak boleh dimanfaatkan. Zona Pemanfaatan TNGR terdiri atas zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan khusus; sedangkan zona lainnya terdiri atas zona pemanfaatan tradisional dan zona rehabilitasi. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (3) sampai (6) Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional” ditegaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-masing zona ini sebagai berikut:

 

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;

c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;

e. Pembinaan habitat dan populasi;

f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan; g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan,

wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan.

(2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;

c. Pembinaan habitat dan populasi; d. Penelitian dan pengembangan;

e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.

(3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; c. Penyelenggaraan upacara adat;

d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada.

(4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan;

b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat; c. Rehabilitasi;

d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.

Berdasarkan ketentuan maka kawasan TNGR yang potensial dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat hanya dapat dilakukan di beberapa lokasi saja. Pada Tabel 26 disajikan hasil analisis potensi dan peluang kawasan TNGR sebagai media untuk pemberdayaan masyarakat. Kajian ini didasarkan pada jenis kegiatan yang boleh dilakukan pada

masing- 

masing (seperti yang dijelaskan di atas) dikaitkan dengan potensi dan peluang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat.

Tabel 26. Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat

No Zona Pengelolaan Luas (ha) Lokasi Keterangan

1 Zona Pemanfaatan 799,00

a. Zona Pemanfaatan Intensif 398,00 (1) Otak Kokok (171 ha) (2) Sebau (20 ha )

(3) Kembang Kuning (150 ha) (4) Senaru (57 ha)

Potensial Tidak

b. Zona Pemanfaatan Khusus 401,00

- ZPK Kultural/ budaya 75,00 (1)Sekitar Goa Susu, Goa Payung & Goa Manik (25 ha)

(2)Sekitar Danau Segara Anak (50 ha)

Tidak

- ZPK Wisata terbatas 326,00 (1) Jalan trail wisata: Sembalun, Kembang Kuning, Senaru, Torean dan Santong

(2) Shelter jalur Senaru, Sembalun dan Kembang Kuning

Potensial Tidak Tidak

2 Zona Lainnya 2.338,00

a. Zona Pemanfaatan Trad. 583,00 (1) Srijata (418 ha) (2) Timbanuh (175 ha)

Potensial Potensial b. Zona Rehabilitasi 1.755,00 (1) Gawah Akar (350 ha)

(2) Memerong (75 ha) (3) Lelongken (300 ha)

(4) Lingkung-Kembang Sri (350 ha) & (5) Stiling-Lantan (300 ha)

(6) Kekuang (380 ha)

Tidak

Berdasarkan ketentuan dan peraturan zona taman nasional dikaitkan dengan ketersediaan potensi dan perkembangan yang terjadi maka dari sejumlah lokasi (Tabel 26) dapat diidentifikasi beberapa lokasi TNGR yang potensial untuk dikembangkan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Dari hasil kajian dan analisis diperoleh ada 3 (tiga) lokasi TNGR yang potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu (1) Zona Pemanfaatan Intensif: Otak Kokok (171 ha), (2) ZPK Wisata Terbatas: Jalan Trail Pendakian Sembalun, dan (3) Zona Pemanfaatan Tradisional: Srijata (418 ha) dan Timbanuh (175 ha).

Permandian Otak Kokok Gading merupakan objek wisata berupa air terjun yang diyakini masyarakat sekitar bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Di sekitar air terjun juga dibangun kolam renang dan gazebo/tempat-tempat peristirahatan. Tempat ini sudah cukup berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan lokal terutama pada hari-hari libur sehingga sangat potensial untuk dijadikan media pembelajaran dan penyadaran lingkungan, sekaligus menjadi media pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.

 

Jalur pendakian Sembalun merupakan jalur resmi yang ramai dilalui oleh penggemar wisata pendakian. Rute yang dilalui adalah Gerbang Sembalun Lawang-Pelawangan Sembalun - Puncak Rinjani membutuhkan waktu 11 - 14 jam. Jalur ini merupakan padang savana dan punggung gunung yang berliku-liku dengan jurang di sebelah kiri dan kanan jalur. Dibanding jalur Senaru, jalur pendakian ini tidak terlalu terjal, akan tetapi melintasi padang savana sehingga menjadikan perjalanan di jalur ini kurang nyaman akibat teriknya sinar matahari. Karena sepanjang jalur ini masih merupakan padang savana, maka sangat berpeluang untuk ditanami berbagai jenis pohon kayu (endemik lokasi).

Di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional (Srijata dan Timbanuh), masyarakat selama ini hanya memungut/mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari wilayah ini, yaitu berupa nangka (Arthocarpus heterophyllus), pakis sayur (Displazium esculentum), dan rumput pakan atau alang-alang (Imperata cylindrica). Di masa yang akan datang kawasan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai jenis pohon kayu endemik lokasi sehingga dapat dijadikan wadah untuk pembedayaan ekonomi masyarakat sekitar. Pengembangan wilayah ini selain dapat meningkatkan/memperbaiki kondisi biofisik TNGR (peningkatan vegetasi dan tutupan lahan), juga akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar melalui partisipasinya dalam pengembangan bibit, penanaman dan pemeliharaan.

Lokasi-lokasi lainnya untuk saat ini kurang potensial untuk pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai akibat dari berbagai kendala. Sebau misalnya, lokasi ini merupakan tempat permandian air panas yang dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat mengobati berbagai penyakit kulit (seperti panu, kadas, dan kurap). Namun demikian tempat ini hanya dikunjungi orang-orang tertentu saja sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Disamping itu, lokasinya berbatasan dengan hutan lindung sehingga jika lokasi ini dikembangkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan dan kerawanan terhadap kawasan hutan lindung di sekitarnya. Begitu pula halnya dengan tempat permandian air panas lainnya, yaitu Aik Kalaq di hulu Kali Putih (± 100 m dari Segara Anak), Goa Susu, Goa Taman, dan Goa Payung.

Objek wisata lainnya adalah Air terjun Jeruk Manis yang mempunyai ketinggian ± 30 m terletak di Desa Kembang Kuning di bagian Selatan kawasan Taman Nasional belum banyak berkembang sehingga pengunjungnya masih

 

relatif terbatas dibandingkan Otak Kokok Gading, Joben. Daerah sekitar air terjun selain mempunyai panorama alam yang indah juga dapat melihat atraksi alam berupa tingkah laku lutung (Tracyphitecus auratus cristatus) dan burung elang. Daerah ini diperkirakan merupakan habitat kedua satwa tersebut yang memiliki populasi terbesar di kawasan TNGR.

Di lokasi pintu masuk pendakian Senaru, berpeluang untuk pengembangan usaha kerajinan (souvenir), akan tetapi karena kegiatan pendakian hanya dilakukan pada musim kemarau, maka keberlanjutan dan kesimabungan usaha sulit dipertahankan. Begitu pula dengan jalur pendakian Senaru, zona pemanfaatan di sepanjang jalur pendakian ini berupa kawasan hutan dengan vegetasi tumbuhan yang cukup rapat (bukan savana seperti jalur pendakian Sembalun). Sementara itu untuk zona rehabilitasi, pada saat penelitian ini dilakukan telah dilakukan kegiatan reboisasi dan bahkan kawasan tersebut telah menjadi hutan kembali dengan berbagai jenis pohon.

8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR

Selain potensi biofisik TNGR, lahan pertanian/kebun milik masyarakat yang berada di sekitar TNGR merupakan potensi yang berpeluang untuk dioptimalkan pemanfaatnnya berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat. Begitu pula halnya dengan berbagai potensi obyek wisata alam yang berada di kawasan TNGR merupakan peluang yang sangat potensial untuk diberdayakan secara optimal

Dari segi tataguna lahan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 17, nampaknya yang berpeluang untuk pengembangan ekonomi masyarakat adalah lahan kering karena ketersediaannya relatif luas dibandingkan lahan sawah. Lahan-lahan milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR atau yang berada di sekitarnya umumnya berupa lahan kering/tegal. Selama ini berbagai kegiatan dilakukan masyarakat di lahan tegal/kebun, mulai dari usahatani padi ladang hingga pengembangan berbagai komoditi perkebunan seperti kopi dan kakao serta buah-buahan seperti mangga, pisang, dan alpokat.

 

Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).

Dari Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa potensi/ketersediaan lahan kering di sekitar TNGR cukup luas. Lahan kering ini umumnya berupa tegal/kebun yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu selain digunakan untuk berbagai kegiatan usahatani dan perkebunan, lahan ini sangat potensial untuk pengembangan rumput pakan ternak. Sementara jenis penggunaan lainnya berupa ladang/huma, hutan, dan kolam/lebak/empang.

8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat