ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
BERBASIS SEKTOR UNGGULAN
KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR
OLEH:
MUHAMMAD GHUFRON A14304013
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
Muhammad Ghufron. A14304013. Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan Eka Intan Kumala Putri.
Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling ketergantungan (complementarity and independency). Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah, berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional. Namun, pada kenyataannya Pemerintah Propinsi Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk itu, agar pembangunan wilayah secara regional berjalan optimal, maka Pemerintah Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang kepada daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan, dampak pengganda (Multiplier) pendapatan, besarnya peranan sektor ungggulan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan strategi kebijakan yang tepat untuk membangun sektor unggulan daerah. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2008, dengan Kabupten Lamongan sebagai lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa data primer dari hasil wawancara dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan dan data sekunder time series 2002-2006 yang diperoleh dari BPS kabupaten dan propinsi, Bappeda kabupaten dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan dalam menentukan sektor unggulan di Kabupaten Lamongan adalah Location Quotient (LQ), multiplier pendapatan, analisis Shift Share dan analisis kualitatif untuk merumuskan strategi kebijakan terhadap sektor unggulan tersebut berupa analisis SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan sektor yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor basis. Artinya sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lainnya. Selama kurun waktu 2002-2006 yang termasuk sektor basis terdapat pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan sektor yang memiliki nilai LQ < 1 adalah sektor non basis. Hal ini menunjukkan sektor tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sektor tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor kontruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
tahun 2002-2006. Hal ini berarti bahwa masyarakat Kabupaten Lamongan dalam menjalankan aktifitas ekonominya lebih berminat pada kegiatan sektor basis.
Pada analisis Shift Share laju pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Lamongan terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 48,74 persen selama tahun 2002-2006. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Lamongan. Hal yang sama juga dialami di tingkat Propinsi Jawa Timur, pertumbuhan paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 41,11 persen..
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Timur sebesar 22,96 persen atau Rp. 798.657,95 juta selama tahun 2002-2006 yang ditunjukkan pada nilai KPP. Sektor yang memiliki nilai PP > 0 (cepat) yang terbesar terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 18,15 persen. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PP dengan persentase negatif PP < 0 (lambat) terbesar terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian (-23,69) persen. Selanjutnya, jika PPW > 0 (daya saing yang baik) yang terbesar terdapat pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu 39,24. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PPW < 0 (daya saing yang tidak baik) yang terbesar terdapat pada sektor listrik, gas dan air bersih (-8,06) persen.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
BERBASIS SEKTOR UNGGULAN
KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR
OLEH:
MUHAMMAD GHUFRON A14304013
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian
Judul : Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur
Nama : Muhammad Ghufron NRP : A14304013
Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri. MS NIP. 131 918 659
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 17 Juni 2008
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Bagi penulis, kesempurnaan skripsi ini adalah kesediaan pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun masukan. Meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, 17 Juni 2008
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13
2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah... 13
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 15
2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan ... 18
2.4. Teori Basis Ekonomi ... 20
2.5. Konsep Analisis Shift Share... 22
2.6. Penelitian Terdahulu... 25
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN... 28
3.1. Kerangka Teoritis ... 28
3.1.1. Desentralisasi... 28
3.1.2. Location Quotient... 29
3.1.3. Analisis Shift Share... 30
3.2. Kerangka Operasional... 31
BAB IV METODE PENELITIAN... 34
4.1. Daerah dan Waktu Penelitian... 34
4.2. Jenis dan Sumber Data... 34
4.3. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35
4.4. Metode Analisis... 35
4.4.1. Analisis Kuantitatif ... 36
4.4.1.1. Location Quotient... 36
4.4.1.2. Efek Pengganda... 38
4.4.1.3. Analisis Shift Share... 39
4.4.2. Analisis Kualitatif ... 45
4.4.2.1. Matriks SWOT ... 46
BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN... 48
5.1. Kondisi Geografi ... 48
5.2. Kondisi Demografi ... 48
5.3. Karateristik Wilayah... 49
5.5. Potensi Ekonomi... 50
5.6. Kawasan Pembangunan Sektor Perekonomian ... 53
BAB VI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN LAMONGAN... 55
6.1. Sektor Basis dan Non Basis ... 55
6.2. Multiplier Pendapatan ... 58
BAB VII ANALISIS SHIFT SHARE UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERTUMBUHAN EKONOMI... 60
7.1. Perubahan dan Rasio PDRB ... 60
7.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 65
7.3. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian ... 68
7.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 69
BAB VIII STRATEGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN... 71
8.1. Strategi Strenghts-Opportunities (S-O) ... 72
8.2. Strategi Weakness-Opportunities (W-O)... 74
8.2. Strategi Strengths-Threats (S-T)... 76
8.4. Strategi Weakness-Threats (W-T) ... 78
8.5. Badan Pengawas Daerah... 82
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN... 83
9.1. Kesimpulan ... 83
9.2. Saran ... 84
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
BERBASIS SEKTOR UNGGULAN
KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR
OLEH:
MUHAMMAD GHUFRON A14304013
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
Muhammad Ghufron. A14304013. Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan Eka Intan Kumala Putri.
Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling ketergantungan (complementarity and independency). Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah, berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional. Namun, pada kenyataannya Pemerintah Propinsi Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk itu, agar pembangunan wilayah secara regional berjalan optimal, maka Pemerintah Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang kepada daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan, dampak pengganda (Multiplier) pendapatan, besarnya peranan sektor ungggulan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan strategi kebijakan yang tepat untuk membangun sektor unggulan daerah. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2008, dengan Kabupten Lamongan sebagai lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa data primer dari hasil wawancara dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan dan data sekunder time series 2002-2006 yang diperoleh dari BPS kabupaten dan propinsi, Bappeda kabupaten dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan dalam menentukan sektor unggulan di Kabupaten Lamongan adalah Location Quotient (LQ), multiplier pendapatan, analisis Shift Share dan analisis kualitatif untuk merumuskan strategi kebijakan terhadap sektor unggulan tersebut berupa analisis SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan sektor yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor basis. Artinya sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lainnya. Selama kurun waktu 2002-2006 yang termasuk sektor basis terdapat pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan sektor yang memiliki nilai LQ < 1 adalah sektor non basis. Hal ini menunjukkan sektor tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sektor tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor kontruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
tahun 2002-2006. Hal ini berarti bahwa masyarakat Kabupaten Lamongan dalam menjalankan aktifitas ekonominya lebih berminat pada kegiatan sektor basis.
Pada analisis Shift Share laju pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Lamongan terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 48,74 persen selama tahun 2002-2006. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Lamongan. Hal yang sama juga dialami di tingkat Propinsi Jawa Timur, pertumbuhan paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 41,11 persen..
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Timur sebesar 22,96 persen atau Rp. 798.657,95 juta selama tahun 2002-2006 yang ditunjukkan pada nilai KPP. Sektor yang memiliki nilai PP > 0 (cepat) yang terbesar terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 18,15 persen. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PP dengan persentase negatif PP < 0 (lambat) terbesar terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian (-23,69) persen. Selanjutnya, jika PPW > 0 (daya saing yang baik) yang terbesar terdapat pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu 39,24. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PPW < 0 (daya saing yang tidak baik) yang terbesar terdapat pada sektor listrik, gas dan air bersih (-8,06) persen.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
BERBASIS SEKTOR UNGGULAN
KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR
OLEH:
MUHAMMAD GHUFRON A14304013
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian
Judul : Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur
Nama : Muhammad Ghufron NRP : A14304013
Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri. MS NIP. 131 918 659
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 17 Juni 2008
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Bagi penulis, kesempurnaan skripsi ini adalah kesediaan pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun masukan. Meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, 17 Juni 2008
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13
2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah... 13
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 15
2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan ... 18
2.4. Teori Basis Ekonomi ... 20
2.5. Konsep Analisis Shift Share... 22
2.6. Penelitian Terdahulu... 25
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN... 28
3.1. Kerangka Teoritis ... 28
3.1.1. Desentralisasi... 28
3.1.2. Location Quotient... 29
3.1.3. Analisis Shift Share... 30
3.2. Kerangka Operasional... 31
BAB IV METODE PENELITIAN... 34
4.1. Daerah dan Waktu Penelitian... 34
4.2. Jenis dan Sumber Data... 34
4.3. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35
4.4. Metode Analisis... 35
4.4.1. Analisis Kuantitatif ... 36
4.4.1.1. Location Quotient... 36
4.4.1.2. Efek Pengganda... 38
4.4.1.3. Analisis Shift Share... 39
4.4.2. Analisis Kualitatif ... 45
4.4.2.1. Matriks SWOT ... 46
BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN... 48
5.1. Kondisi Geografi ... 48
5.2. Kondisi Demografi ... 48
5.3. Karateristik Wilayah... 49
5.5. Potensi Ekonomi... 50
5.6. Kawasan Pembangunan Sektor Perekonomian ... 53
BAB VI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN LAMONGAN... 55
6.1. Sektor Basis dan Non Basis ... 55
6.2. Multiplier Pendapatan ... 58
BAB VII ANALISIS SHIFT SHARE UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERTUMBUHAN EKONOMI... 60
7.1. Perubahan dan Rasio PDRB ... 60
7.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 65
7.3. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian ... 68
7.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 69
BAB VIII STRATEGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN... 71
8.1. Strategi Strenghts-Opportunities (S-O) ... 72
8.2. Strategi Weakness-Opportunities (W-O)... 74
8.2. Strategi Strengths-Threats (S-T)... 76
8.4. Strategi Weakness-Threats (W-T) ... 78
8.5. Badan Pengawas Daerah... 82
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN... 83
9.1. Kesimpulan ... 83
9.2. Saran ... 84
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perbandingan Struktur Ekonomi Kabupaten Lamongan dan Propinsi
Jawa Timur Tahun 2005 ... 3
2. Penggunaan Metode Analisis Yang Digunakan ... 35
3. Matriks SWOT... 47
4. Location Quotient (LQ) Kabupaten Lamongan Tahun 2002-2006... 55
5. Koefisien Pengganda Pendapatan Di Kabupaten Lamongan Tahun 2002-2006 ... 59
6. Perubahan PDRB Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa Timur Atasa Dasar Harga Konstan`01 Menurut Sektor Perekonomian tahun 2002-2006 ... 60
7. Rasio PDRB Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa Timur ... 63
8. Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Lamongan ... 65
9. Pergeseran Bersih Sektor Perekonomian Kabupaten Lamongan... 68
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan
strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan
dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling
ketergantungan (complementarity and independency). Sesuai dengan arahan dan tujuan yang tertuang dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional),
kota-kota dan wilayah lain di Indonesia dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan harus mengantisipasi peluang dan tantangan yang akan ditimbul
oleh adanya kebijakan regionalisasi (Riyadi, 2002).
Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah,
berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dimana peran serta
Pemerintah dan masyarakat sangat penting sekali dalam pendayagunaan potensi
daerah secara optimal dan terpadu. Sehingga upaya pemerataan pembangunan
diseluruh tanah air mulai dari daerah maju, berkembang dan terpencil perlu untuk
ditingkatkan demi tercapainya pembangunan wilayah secara nasional.
Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek
ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional.
Sebagai contoh, Propinsi Jawa Timur yang secara terus-menerus memetakan
potensi ekonomi dalam memajukan pembangunan wilayah, mengingat potensi
ekonomi regional yang ada di Propinsi Jawa Timur sangat besar. Potensi ekonomi
Namun, dalam melaksanakan pembangunan secara regional, Pemerintah Propinsi
Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian
wewenang kepada Pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk
itu agar pembangunan wilayah secara regional berjalan, maka Pemerintah
Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang yang luas kepada
daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.
Sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU 32 tahun 2004 tentang
desentralisasi wilayah.
Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi daerah. Menurut
Sondakh dalam Pranata (2004) dengan desentralisasi diharapkan: (1)
menanggulangi kemiskinan yang timbul karena adanya kesenjangan antar daerah,
(2) membantu kelompok masyarakat yang ada di perdesaan, (3) memudahkan
masalah-masalah pemungutan pajak, (4) mengurangi pengeluaran Pemerintah
secara umum, (5) memobilisasi sumber-sumber daerah, (6) mengurangi
tugas-tugas Pemerintah yang sudah terlalu banyak, (7) mengenalkan perencanaan dari
bawah, dan (8) mengenalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Salah satu wilayah yang telah mengalami proses desentralisasi adalah
Kabupaten Lamongan, yang terletak di Propinsi Jawa Timur. Posisi geografis
yang sangat menguntungkan membuat Pemerintah Kabupaten Lamongan sejak
dulu hingga sekarang terus berupaya untuk mengembangkan dan mengelola
wilayahnya sendiri yaitu dengan memajukan sektor unggulan daerah. Berbagai
program telah dicanangkan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Adapun program
utama Kabupaten Lamongan adalah penentuan dan peningkatan pengembangan
memiliki produk unggulan atau sektor unggulan, sedangkan program yang lain
seperti: (a) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana, (b) pemberdayaan
kemampuan Pemerintah daerah untuk membangun kawasan-kawasan unggulan
dan klaster-klaster industri, agroindustri yang berdaya saing di lokasi strategis di
luar jawa, (c) pertimbangan kemungkinan perlunya pemberian status wilayah
pembangunan strategis sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
(free port and trade zones), (d) penguatan Pemerintah daerah untuk meningkatkan, mengefektifkan, dan memperluas kerjasama pembangunan
ekonomi regional yang saling menguntungkan, (e) peningkatan kerja sama antar
Pemerintah daerah melalui sistem jejaring kerja (networking) yang saling menguntungkan, dan (f) pemberdayaan Pemerintah daerah dengan memfasilitasi
kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kegiatan/program pengembangan wilayah
(Bappeda Kabupaten Lamongan, 2006).
Jika dilihat dari struktur ekonomi, tampak jelas perbedaan antara struktur
ekonomi Kabupaten Lamongan dengan struktur ekonomi Propinsi Jawa Timur.
Tabel 1. Perbandingan Struktur Ekonomi Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa timur tahun 2005 (persen)
Sektor Lamongan Jawa Timur
Primer: 40,99 19,07
1. Pertanian 40,71 17,06
2. Pertambangan dan penggalian 0,28 2,01
Sekunder: 10,39 35,74
3. Industri Pengolahan 5,20 30,07 4. Listrikk, Gas dan Air Bersih 1,44 2,06
5. Kontruksi 3,75 3,61
Tersier: 48,62 45,19
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 30,11 27,23 7. Pengangkutan dan Komunikasi 1,84 5,54 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3,58 5,36
9. Jasa-jasa 13,09 8,06
Total 100,00 100,00
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling
dominan di Kabupaten Lamongan adalah sektor primer dan tersier, sedangkan di
Propinsi Jawa timur adalah sektor sekunder. Pada sektor primer Kabupaten
Lamongan menyumbang kontribusi ekonominya sebesar 40,99 persen dengan
kontribusi sektor pertanian 40,99 persen dan sektor pertambangan dan penggalian
sebesar 0,28 persen. Sementara di Propinsi Jawa Timur hanya menyumbang
19,07 persen dengan kontribusi sektor pertanian 17,06 persen dan sektor
pertambangan dan penggalian sebesar 2,01 persen. Sebaliknya, di Kabupaten
Lamongan peranan sektor sekunder hanya mencapai 10,39 persen dimana sektor
industri pengolahan memiliki peranan sebesar 5,20 persen, listrik, gas dan air
bersih 1,44 persen serta kontruksi 3,75 persen. Sedangkan di Propinsi Jawa
Timur, kontribusi sektor sekunder mencapai 35,74 persen yang dimotori industri
pengolahan sebesar 30,07 persen, listrik, gas dan air bersih 2,06 persen serta
kontruksi 3,61 persen. Sementara dari sektor tersier di kabupaten lamongan
mencapai 48,62 persen lebih besar bila dibandingkan di Jawa Timur yang hanya
mencapai 45,19 persen. Sektor tersier di Kabupaten Lamongan didominasi oleh
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan kontribusi sebesar 30,11 persen,
pengangkutan dan komunikasi 1,84 persen, keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan 3,58 persen serta jasa-jasa sebesar 13,09 persen. Sedangkan di
Propinsi Jawa Timur sektor tersier didominasi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran dengan kontribusi sebesar 27,23 persen, pengangkutan dan komunikasi
5,54 persen, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,36 persen serta jasa-jasa
Apabila dilihat dari segi PDRB Kabupaten Lamongan selama tahun 2005
menunjukkan hasil yang terus meningkat. Dari hasil perhitungan PDRB tahun
2005 atas dasar harga berlaku telah diketahui bahwa total nilai PDRB Kabupaten
Lamongan sebesar Rp. 5.274,93 milyar, mengalami kenaikan bila dibandingkan
tahun 2004 yang mencapai Rp. 4.711,13 milyar atau naik 11,97 persen.
Peningkatan PDRB ini tidak terlepas dari berbagai kebijakan Pemerintah daerah
yang telah dibangun selama ini dalam menciptakan iklim usaha yang semakin
kondusif.
Untuk itu, pembangunan suatu wilayah harus menjadi prioritas Pemerintah
Kabupaten Lamongan, untuk memanfaatkan dan meningkatkan sektor unggulan.
Selama ini banyak sektor atau potensi wilayah di Kabupaten Lamongan belum
digunakan dan diekplorasi secara maksimal. Dengan berbagai dukungan dari
semua eleman masyarakat dan Pemerintah daerah, diharapkan pembangunan
wilayah Kabupaten Lamongan menjadi lebih baik dan menjadi contoh untuk
daerah-daerah yang lain.
1.2. Perumusan Masalah
Berbagai kebijakan yang disampaikan Pemerintah mengenai dimensi
pembangunan telah mendorong pembangunan di propinsi dan kabupaten dalam
melaksanakan desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah. Hal ini
mengindikasikan bahwa daerah-daerah harus sudah tidak tergantung lagi pada
dana anggaran pusat dan harus dapat mendorong kontribusi sektor-sektor ekonomi
lokalnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya, sehingga
mendukung bagi suksesnya pelaksanaan pembangunan wilayah di daerah tersebut.
suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian wilayah (local economic development) sehingga daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri (Hadianto, 2002).
Tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah pada umumnya dapat
dilihat dari berbagai sisi mulai dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan
semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar
sektor. Hal ini mengingat pembangunan dalam lingkup suatu wilayah kabupaten
secara spasial tidak selalu merata. Perbedaan tingkat pembangunan akan
membawa dampak tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya
mengakibatkan ketimpangan regional antar wilayah semakin besar.
Kabupaten Lamongan memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan. Selama ini banyak potensi di wilayah Kabupaten Lamongan yang
belum sepenuhnya dimanfaatkan. Sehingga menjadi sulitnya bagi Pemerintah
daerah untuk menentukan prioritas sektor unggulan wilayah dalam mencanangkan
pembangunan daerahnya. Apabila tidak dikembangkan dan dikelola maka
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan akan menurun.
Walaupun Kabupaten Lamongan memiliki sumberdaya yang cukup besar,
namun kondisi tersebut tidaklah mampu untuk memecahkan berbagai masalah
pembangunan. Permasalahan yang dihadapi Pemerintah daerah, yaitu masih
kesulitan untuk menetapkan kebijakan pembangunan terhadap sektor unggulan
daerah. Seolah-olah Pemerintah daerah mengalami hambatan untuk memilih
sektor yang mana yang harus dibangun terlebih dahulu.
Adapun sektor perekonomian yang menjadi permasalahan adalah sektor
pada tahun 2006. Padahal Kabupaten Lamongan bisa mencapai 80,52 kwintal per
hektarnya. Permasalahan yang dihadapi yaitu mahalnya harga pupuk dan
pestisida, masuknya beras impor, minimnya teknologi, bencana banjir dan
konversi lahan. Sektor pertambangan dan penggalian misalnya, rendanya
teknologi, kelangkaan SDA, penambangan liar dan ekplorasi berlebihan. Sektor
industri pengolahan kurangnya bahan baku, rendahnya akses pasar, rendahnya
dukungan kelembagaan, modal usaha yang kurang dan teknologi masih minim.
Sektor listrik, gas dan air bersih belum memiliki energi alternatif dan
kurangnya persediaan air bersih. Sektor kontruksi, misalnya sengketa lahan,
sulitnya izin usaha, bangunan liar dan pajak bangunan yang tinggi. Sektor
perdagangan, hotel dan restoran, misalnya menghadapi adanya meningkatnya
proteksi dan non tarif barier, tingginya ketergantungan ekspor pada pasar
tradisional, maraknya peredaran barang ilegal impor di pasar dalam negeri dan
terbatasnya sarana dan prasarana ekspor.
Sektor pengangkutan dan komunikasi, seperti mahalnya biaya angkutan,
jalan rusak dan kurangnya jaringan komunikasi. Sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan, seperti bunga bank yang relatif tinggi, jaminan keamanan rendah
dan lembaga keuangan yang belum merata di setiap daerah. Sektor jasa-jasa masih
menjadi masalah, seperti sarana dan prasarana belum memadai, investasi dan
anggaran yang minim serta kurangnya informasi/promosi khususnya di sub jasa
hiburan dan rekreasi/wisata.
Akibat dari tidak dimanfaatkannya sektor unggulan, Pemerintah
Kabupaten Lamongan telah menghadapi beberapa permasalahan yang lain,
penduduk Kabupaten Lamongan rata-rata masih rendah dan jauh dari apa yang
diharapkan Pemerintah daerah, meskipun telah terjadi peningkatan. Pada tahun
2005 persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah
sebesar 14,94 persen, turun menjadi 12,66 persen pada tahun 2006. Sementara
untuk tidak/belum tamat SD dari 18,06 persen pada tahun 2005 turun menjadi
15,14 persen pada tahun 2006. Sedangkan untuk tamat SD dari 25,79 persen pada
tahun 2005 naik menjadi 30,43 persen pada tahun 2006. Untuk tamat SLTP
mengalami penurunan, dari 23,72 persen pada tahun 2005 turun menjadi 21,63
persen pada tahun 2006. Jika dibandingkan dengan tamat SLTA
perkembangannya justru mengalami peningkatan, dari 14,80 persen pada tahun
2005 naik menjadi 17,25 persen pada tahun 2006, begitu juga sebalikanya dengan
tamat perguruan tinggi dari 2,70 persen pada tahun 2005 naik menjadi 2,89 persen
pada tahun 2006.
Dilihat dari segi kesehatan, Pemerintah Kabupaten Lamongan juga masih
terkendala, yaitu masih minimnya sarana dan prasarana kesehatan khususnya
untuk daerah pedalaman dan disertai dengan rendahnya partisipasi masyarakat
untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Menurut data BPS perkembangan
kesahatan penduduk Kabupaten Lamongan secara umum cenderung
berubah-ubah. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Angka Harapan Hidup (AHH).
Pada tahun 2002 Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 67,33 tahun, meningkat
menjadi 69,09 tahun pada tahun 2003 dan 69,43 tahun pada tahun 2004.
Sebaliknya pada tahun 2005 telah terjadi penurunan menjadi 67,40 tahun, namun
Dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kabupaten Lamongan
masih berada di bawah Propinsi Jawa Timur. Data BPS menunjukkan bahwa pada
tahun 2005 IPM Kabupaten Lamongan sebesar 66,06, mengalami penurunan
menjadi 65,99 pada tahun 2006. Sedangkan di Propinsi Jawa Timur pada tahun
2005 sebesar 66,84, mengalami kenaikan menjadi 66,87 pada tahun 2006.
Melemahnya angka IPM di Kabupaten Lamongan, disebabkan oleh kurangnya
daya beli masyarakan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.
Tingkat kemiskinan juga menjadi persoalan utama Pemerintah Kabupaten
Lamongan. Pada tahun 2002 tingkat kemiskinan sebesar 21,14 persen, mengalami
penurunan menjadi 15,72 persen pada tahun 2003. Sebaliknya, pada tahun 2004
tingkat kemiskinan di Kabupaten Lamongan mengalami peningkatan menjadi
19,65 persen. Begitu juga pada tahun 2005 meningkat menjadi 26,92 persen dan
30,72 persen pada tahun 2006. Kemiskinan di Kabupaten Lamongan lebih
disebabkan oleh kurangnya kebutuhan pokok (Sembako), lingkungan kumuh,
keterbelakangan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat untuk
memanfaatkan berbagai kesempatan ekonomi.
Seperti halnya kemiskinan, tingkat pengangguran juga dialami Pemerintah
Kabupaten Lamongan. Pada tahun 2002 tingkat pengangguran sebesar 10,11
persen, mengalami penurunan menjadi 7,16 persen pada tahun 2003 dan 6,76
persen pada tahun 2004. Namun, pada tahun 2005 tingkat pengangguran di
Kabupaten Lamongan naik kembali menjadi 7,03 persen dan 9,12 persen pada
tahun 2006. Meningkatnya pengangguran di Kabupaten Lamongan disebabkan
oleh rendahnya kualitas dan ketrampilan tenaga kerja, minimnya lapangan
Hubungan Kerja (PHK), rendahnya kualitas pendidikan dalam menghadapi
persaingan dunia kerja serta terbatasnya jiwa kewirausahaan.
Permasalahan banjir juga menjadi kendala utama Pemerintah Kabupaten
Lamongan. Banjir yang terjadi akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo pada
tahun 2008, telah mengakibatkan sejumlah daerah tergenang air, meningkatnya
pengungsian, rusaknya infrastruktur daerah, pelayanan masyarakat terganggu dan
perekonomian daerah menjadi terhenti. Hal ini membuktikan betapa sulitnya
pemerintah daerah untuk mengatur tata ruang wilayah, ditambah lagi dengan
kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, konversi lahan, dan masih
banyaknya aksi penjarahan hutan.
Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan, maka Pemerintah Kabupaten
Lamongan perlu menggunakan dan mengoptimalkan sumberdaya yang ada, agar
program pembangunan yang selama ini dicita-citakan dapat berjalan sesuai
dengan rencana pembangunan. Sebagaimana visi dari Kabupaten Lamongan yakni
“Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Lamongan Melalui Peningkatan Perekonomian dan Kualitas Sumberdaya Manusia Yang Lebih Baik dan Maju Dengan Dilandasi Kebersamaan dan Pemberdayaan Masyarakat” dapat diwujudkan.
Dari uraian di atas permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini
adalah:
1. Sektor apa saja yang sebenarnya menjadi sektor unggulan Kabupaten
Lamongan dalam memprioritaskan pembangunan wilayah.
2. Bagaimana dampak pengganda (Multiplier) pendapatan sektor unggulan
3. Seberapa besar peranan sektor unggulan terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi wilayah Kabupaten Lamongan
4. Bagaimana strategi kebijakan yang tepat untuk membangun Kabupaten
Lamongan yang berbasis pada sektor unggulan daerah.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan dalam
memprioritaskan pembangunan wilayah.
2. Untuk mengidentifikasi dampak pengganda (Multiplier) pendapatan sektor
unggulan dalam menunjang pembangunan wilayah.
3. Untuk mengidentifikasi besarnya peranan sektor ungggulan terhadap
tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Lamongan
4. Untuk mengidentifikasi strategi kebijakan yang tepat dalam membangun
Kabupaten Lamongan yang berbasis pada sektor unggulan daerah. 1.4. Manfaat Penelitian
Harapan dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat bagi semua pihak antara
lain sebagai:
1. Bahan masukan bagi Pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten
Lamongan dalam menentukan arah dan prioritas kebijakan pembangunan
wilayah.
2. Bagi peneliti sendiri untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.
3. Bahan masukan dan informasi bagi mahasiswa yang lain untuk penelitian
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian tentang analisis pembangunan wilayah berbasis sektor unggulan
di Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur hanya difokuskan pada pendekatan
secara sektoral. Pendekatan sektoral merupakan suatu pendekatan yang
memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut.
Pada pendekatan sektoral, di mana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah
perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah
Wilayah dapat dilihat sebagai suatu ruang pada permukaan bumi.
Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat
secara horizontal dan vertikal. Jadi, di dalamnya termasuk apa yang ada pada
permukaan bumi, yang ada di bawah permukaan bumi, dan yang ada di atas
permukaan bumi (Tarigan, 2005).
Glasson (1977) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah, yaitu
subjektif dan objektif. Cara pandang subjektif daerah dipandang sebagai alat
deskriptif, didefinisikan menurut kriteria tertentu, untuk tujuan tertentu. Dengan
demikian terdapat banyak daerah sebanyak kriteria yang digunakan untuk
mendefinisikannya. Dalam konteks ini konsep daerah melaksanakan suatu fungsi
yang sangat bermanfaat dan menghindari fungsi yang ekstrim. Sedangkan
pandangan objektif bahwa daerah itu benar-benar ada, dianut oleh banyak
akdemisi pada awal abad ke-20. Di dalam pandangan ini juga dinyatakan bahwa
wilayah bisa dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimiliki atau
berdasarkan konfigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk atau
gabungan dari ciri-ciri di atas.
Lebih lanjut menurut Tarigan (2005) dasar dari perwilayahan dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Berdasarkan wilayah administrasi Pemerintah, di Indonesia dikenal
wilayah kekuasaan Pemerintah, seperti propinsi, kabupaten/kota,
2. Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity), yang paling umum adalah
kesamaan kondisi fisik, misalkan wilayah pertanian dengan wilayah
industri dan wilayah perkotaan dengan daerah pedalaman. Cara pembagian
lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial budaya. Misalkan,
daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama, adat istiadat, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan dan mayoritas masyarakat yang mendiami
wilayah tersebut.
3. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu diterapkan terlebih
dahulu pusat pertumbuhan (growt pole atau growt centre) yang kira-kira sama besarnya/rangkingnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh
dari setiap pusat pertumbuhan.
4. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan
batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program
atau proyek di mana wilayah tersebut termasuk ke dalam suatu
perencanaan atau tujuan khusus.
Sedangkan pembangunan menurut Sajogyo (1985) diartikan sebagai suatu
proses yang menggambarkan adanya pengembangan, baik meliputi proses
pertumbuhan (growth) ataupun perubahan (change) dalam kehidupan bersama (organisasi) sosial dan budaya. Hal ini tidak lain merupakan gambaran umum
masyarakat luas (society).
Tjokromidjojo (1979) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah erat
kaitannya dengan perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan adalah
suatu pengarahan penggunaan sumber pembangunan (temasuk
yang lebih baik secara lebih efisien dan efektif. Selanjutnya Tjokromidjojo
membedakan suatu perencanaan pembangunan, yaitu dipenuhinya berbagai
ciri-ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan. Adapun ciri-ciri dan
tujuan dari perencanaan pembangunan adalah:
1. Perencanaan pembangunan mencerminkan dalam rencana untuk mencapai
perkembangan sosial ekonomi yang tetap (steady social economic growth). Hal ini dicerminkan dalam usaha peningkatan produksi nasional, berupa tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang positif.
2. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan
per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang positif.
3. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh karena pada umumnya negara-negara baru berkembang struktur
ekonominya berat ke sebelah agraris.
4. Perluasan kesempatan kerja. Kecuali usaha menanggulangi adanya
pengangguran dan pengangguran tak kentara di negara-negara baru
berkembang, juga diupayakan perluasan kesempatan kerja untuk
menampung masuknya golongan usia kerja baru dalam kehidupan
ekonomi.
5. Usaha pemerataan pembangunan yang seringkali disebut sebagai
distributife justice. Pemerataan pembangunan ini ditunjukkan kepada pemerataan pendapatan antara golongan-golongan dalam masyarakat dan
pemerataan pendapatan antara daerah-daerah dalam negara.
6. Adanya usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang
7. Peningkatan kemampuan membangun perlu dikembangkan bahwa tidak
saja harus dihitung dari segi modal, tetapi juga harus dilihat dari segi
pengalihan ketrampilan dan transfer teknologi.
8. Terdapatnya usaha secara terus menerus untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Salah satu usaha dibidang ini adalah dilakukannya perencanaan anti siklus.
9. Ada pula negara-negara yang mencantumkan sebagai tujuan pembangunan
hal-hal yang fundamental/ideal atau bersifat jangka panjang. Misalkan saja
perubahan perlembagaan masyarakat, pola pemilihan dan penguasaan
faktor-faktor produksi berdasarkan keadilan sosial dan peningkatan
kemampuan nasional.
Ciri dan tujuan perencanaan pembangunan di atas sangat terkait dengan
peranan Pemerintah sebagai pendorong pembangunan (agent of development). Oleh karena itu perencanaan pembangunan umumnya dilakukan oleh
negara berkembang. Hal ini tidak menutup kenyataan bahwa banyak
negara-negara lain terutama negara-negara-negara-negara sosialis, bahkan negara-negara-negara-negara maju dengan
sektor swasta yang kuat, juga melakukan suatu perencanaan pembangunan.
2.2. Pertumbuhan Ekonomi
Tarigan (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah
adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu
kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya
dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas
tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan
kemakmuran daerah.
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat ditentukan oleh dua
faktor yaitu faktor lokal dan eksternal. Faktor lokal meliputi: ketersediaan sumber
daya alam, kualitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi, permodalan dan
kewirausahaan. Sedangkan faktor eksternal diantaranya: perkembangan situasi
perekonomian nasional maupun internasional, dan berbagai kebijakan Pemerintah
baik yang berkaitan dengan sektor riil maupun moneter.
Menurut Glasson (1977) ada tiga konsep yang harus diperhatikan dalam
pertumbuhan ekonomi suatu daerah yaitu kutup pertumbuhan dan pusat
pertumbuhan antara lain:
a. Konsep “leading industries” (industrice motric) dan
perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat
perusahan-perusahaan propulsip yang besar, yang termasuk dalam
“leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Ada
kemungkinan bahwa sesuatu kompleks industri hanya terdiri dari satu atau
segelintir perusahaan propulsip yang dominan.
b. Konsep polarisasi menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari
“leading industries” (“propulsip growth”) mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutup pertumbuhan. Implisit dalam proses
polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan aglomerasi (keuntungan
intern dan ekstern dari skala).
c. Konsep spread effects menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas
memasuki ruang disekitarnya. “Trickling down” atau spreads effects ini sangat menarik bagi perencanaan regional dan telah memberikan
sumbangan besar bagi ke populeran teori pada waktu belakangan ini
sebagai sarana kebijaksanaan.
2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan
Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah
berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena
mempunyai keunggulan-keunggulan/kriteria. Selanjutnya faktor ini berkembang
lebih lanjut melalui kegiatan investasi dan menjadi tumpuhan kegiatan ekonomi.
Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam
perekonomian daerah (Sambodo dalam Usya, 2006). Oleh karena itu sektor
unggulan menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi wilayah.
Adapun kriteria sektor unggulan menurut (Sambodo dalam Usya, 2006)
bahwa sektor unggulan memiliki empat kriteria diantaranya: pertama sektor
unggulan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kedua sektor unggulan
memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, ketiga sektor unggulan
memiliki keterkaitan antara sektor yang tinggi baik ke depan maupun ke belakang,
dan keempat sektor yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi.
Sedangkan menurut Ambardi dan Socia (2002) kriteria mengenai sektor
unggulan daerah lebih ditekankan pada komoditas-komoditas unggulan yang bisa
menjadi motor penggerak pambangunan suatu daerah, di antaranya:
1. Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama (prime
memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,
pendapatan, maupun pengeluaran.
2. Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang
(forward and backward lingkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya.
3. Komoditas unggulan mampu bersaing (competitiveness) dengan produk sejenis dari wilayah lain di pasar nasional dan pasar internasional, baik
dalam harga produk, biaya produksi, kualitas pelayanan, maupun
aspek-aspek lainnya.
4. Komoditas unggulan daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lain
(complementarity), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan baku di daerah sendiri tidak mencukupi atau tidak
tersedia sama sekali).
5. Komoditas unggulan memiliki status teknologi (state of the art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi.
6. Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara
optimal sesuai dengan skala produksinya.
7. Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai
dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth), puncak (maturity) hingga penurunan (decreasing). Begitu komoditas unggulan yang satu memasuki tahap penurunan, maka komoditas unggulan lainnya harus
mampu menggantikannya.
9. Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk
dukungan, misalkan dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan
peluan pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif, dan lain-lain.
10. Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian
sumberdaya dan lingkungan.
2.4. Teori Basis Ekonomi
Dalam membahas teori basis ekonomi, perekonomian suatu wilayah dibagi
menjadi dua, yaitu sektor basis dan non basis. Sektor basis adalah
kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke luar batas perekonomian wilayah
yang bersangkutan. Sedangkan sektor non basis merupakan kegiatan-kegiatan
yang menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang
bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian wilayah tersebut. Implikasi
dari pembagian kegiatan seperti ini adalah adanya hubungan sebab akibat yang
membentuk suatu teori basis ekonomi. Teori ini dapat memperhitungkan adanya
kenyataan bahwa dalam suatu kelompok industri bisa saja terdapat kelompok
industri yang menghasilkan barang-barang yang sebagian diekspor dan sebagian
lainnya dijual ke pasar lokal. Disamping itu, teori ini juga dapat digunakan
sebagai indikasi dampak pengganda (multiplier effect) bagi kegiatan perekonomian suatu wilayah (Ambardi dan Socia, 2002).
Menurut Budiharsono (2001) ada beberapa metode untuk memilih antara
kegiatan basis dan nonbasis, yaitu:
1. Metode pengukuran langsung
Metode ini dapat dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha
mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk
tersebut. Akan tetapi metode ini menguras biaya, waktu dan tenaga kerja
yang banyak. Mengingat kelemahan tersebut, maka sebagian besar para
ekonom wilayah menggunakan metode pengukuran tidak langsung.
2. Metode pengukuran tidak langsung
Metode dengan pengukuran tidak langsung terdiri dari:
a. Metode melalui pendekatan asumsi, biasanya berdasarkan kondisi di
wilayah tersebut (data sekunder), ada kegiatan tertentu yang
diasumsikan kegiatan basis dan non basis.
b. Metode Location Quotient dimana membandingkan porsi lapangan
kerja/nilai tambah untuk sektor tertentu di wilayah tertentu dengan
porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama di wilayah
atasnya. Asumsi yang digunakan adalah produktivitas
rata-rata/konsumsi rata-rata antar wilayah yang sama. Metode ini memiliki
beberapa kebaikan diantaranya adalah metode ini memperhitungkan
penjualan barang-barang antara, tidak mahal biayanya dan mudah
diterapkan.
c. Metode campuran merupakan penggabungan antara metode asumsi
dengan metode Location Quotient.
d. Metode kebutuhan minimum dimana melibatkan sejumlah wilayah
yang sama dengan wilayah yang diteliti, dengan menggunakan
distribusi minimum dari tenaga regional dan bukan distribusi rata-rata.
Pengertian basis ekonomi di suatu wilayah tidak bersifat statis melainkan
sektor basis, namun pada tahun berikutnya belum tentu sektor tersebut secara
otomatis menjadi sektor basis. Sektor basis bisa mengalami kemajuan ataupun
kemunduran. Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah: (1)
perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi, (2) perkembangan
pendapatan dan penerimaan daerah, (3) perkembangan teknologi, dan (4) adanya
perkembangan prasarana ekonomi dan sosial. Sedangkan penyebab kemunduran
sektor basis adalah: (1) adanya perubahan permintaan di luar daerah, dan (2)
kehabisan cadangan sumberdaya.
Semakin banyak sektor basis dalam suatu wilayah akan menambah arus
pendapatan ke wilayah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa
di dalamnya serta menimbulkan volume sektor non basis. Dengan kata lain sektor
basis berhubungan langsung dengan permintaan dari luar, sedangkan sektor non
basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis telebih dahulu
(Glasson, 1977).
2.5. Konsep Analisis Shift Share
Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada tahun 1960. Analisis Shift Share adalah salah satu alat analisis yang digunakan untuk mengindentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan
maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Melalui analisis Shift
Share dapat dianalisis besarnya sumbangan pertumbuhan dari tenaga kerja dan
pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah yang bersangkutan.
Keunggulan utama dari analisis Shift Share adalah dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya dengan
dapat berupa data PDRB, PDB dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing
sektor.
Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk melihat:
1. Perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.
2. Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara
relatif dengan sektor-sektor lainnya.
3. Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya,
sehingga dapat membandingkan besarnya aktifitas suatu sektor pada
wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.
4. Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan
laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.
Terdapat 3 komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono, 2001). Ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut adalah komponen
pertumbuhan nasional/propinsi/kabupaten (PN), komponen pertumbuhan regional
dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Masing-masing komponen
tersebut dapat dijelaskan secara rinci pada bagian berikut:
a. Komponen Pertumbuhan Nasional (National Growth Component)
Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan
produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi
nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian
b. Komponen Pertumbuhan Proposional (Proposional Mix Growth Component)
Komponen pertumbuhan proposional (PP) tumbuh karena
perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam
ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti
kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Regional Share Growth Component)
Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena
peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu
wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya
pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya
ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan
kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional
pada wilayah tersebut.
Hubungan antara ketiga komponen tersebut secara lengkap dapat dilihat
pada gambar 1 di bawah ini. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah
tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor
ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok
progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan
Gambar 1. Model Analisis Shift Share. Sumber: Budiharsono, 2001
2.6. Penelitian Terdahulu
Berikut ini disajikan beberapa jenis penelitian sebelumnya yang terkait
dengan penelitian ini. Vilona (2006) menganalisis pertumbuhan sektor-sektor
perekonomian di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera barat pada masa otonomi
daerah periode 2000-2004. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukkan bahwa sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat (PP>0), adalah sektor listrik dan air minum, sektor pertanian, sektor pengangkutan
dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor
bangunan. Sektor yang laju pertumbuhannya lambat (PP<0), sektor pertambangan
dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor jasa-jasa, dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang memiliki daya saing yang baik
(PPW>0), dan mampu bersaing dengan kabupaten lain di Propinsi Sumatera Barat
adalah sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan. Komponen Pertumbuhan
Proposional
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke-j sektor ke-i
Wilayah ke-j sektor ke-i
Maju PP + PPW ≥ 0
Sektor yang memiliki daya saing kurang baik (PPW<0) adalah sektor listrik dan
air minum, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor pertanian,
sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Sedangkan pada pergeseran bersih (PBij) sebagian besar
sektor-sektor yang ada di Kabupaten Pasaman bernilai negatif. Sementara sektor
yang memiliki pergeseran bersih (PBij) yang positif hanya terdapat tiga sektor
yaitu sektor pertanian, sektor pengangkutan dan sektor komunikasi.
Santoso (2005) menganalisis peran sektor pertanian dalam pembangunan
wilayah di Kabupaten Boyolali. Hasil penelitian dengan menggunakan Kuosien
Lokasi (LQ) per komoditi adalah komoditi padi sawah, jagung, tembakau, kelapa,
padi ladang, ubi kayu, cabe, udang, wortel, dan daging sapi. Dari komoditi
tersebut hanya dua komoditi yang masuk dalam komoditi basis yaitu padi sawah
dan tembakau. Sedangkan pada surplus pendapatan terbesar untuk kecamatan
berada di Kecamatan Ampel (daging sapi) dan yang terkecil adalah Kecamatan
Boyolali (udang). Sedangkan pada efek pengganda pendapatan, kecamatan yang
memiliki efek pengganda pendapatan terbesar adalah Kecamatan Boyolali (udang)
dan Kecamatan Mojosongo (padi ladang).
Aidiyah (2005) menganalisis peran industri kecil dalam pembangunan
wilayah di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian dengan
menggunakan Kuosien Lokasi (LQ) sebagian besar kecamatan di Kabupaten
Wonosobo untuk industri kecil makanan, minuman, dan tembakau sebagai sektor
basis, sedangkan industri tekstil pakaian jadi dan kulit menjadi sektor basis ke
dua, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabot
Usya (2006) menganalisis struktur ekonomi dan identifikasi sektor
unggulan di Kabupaten Subang. Hasil penelitian dengan menggunakan metode
LQ terdapat 4 sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor bangunan/kontruksi,
sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa, dan 5 sektor non
basis yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan,
sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan pada analisis Shift Share menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan struktur ekonomi di Kabupaten
Subang selama tahun 1993-2003.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
kajian penelitiannya sangat mendalam dan fokus/menitikberatkan pembangunan
wilayah secara sektoral. Selain itu penelitian ini juga mengkaji sektor-sektor yang
ada di wilayah secara umum, dan disertai dengan strategi dan kebijakan yang
nyata untuk mencanangkan pembangunan wilayah dari berbagai sektor.
Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Desentralisasi
Dalam waktu yang cukup lama sejak orde baru, Pemerintah Indonesia
telah tergiring untuk menjadikan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai
yang menjadi acuan dari seluruh kebijakan pemerintah. GBHN dan Repelita
sebagai instrumen utama dari penyelenggaraan Pemerintah orde baru dengan
syarat konsep dan rencana pembangunan. Namun kebijakan yang penuh dengan
sentralisasi telah mendorong bangsa ini ke jurang krisis moneter. Akibatnya
banyak Pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak bisa berbuat banyak terhadap
dampak tersebut. Ini disebabkan bahwa pemerintah pusat telah menggunakan
banyak waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
sebenarnya sudah bisa diurus oleh pemerintah daerah.
Salah satu bentuk untuk mewujudkan pembangunan wilayah agar tidak
tersentralisasi adalah dengan konsep pembangunan yang penuh desentralisasi.
Desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah telah melahirkan paradigma baru
pembangunan yang sebelumnya adalah sentralisasi. Di dalam konteks
desentralisasi, konsep pembangunan wilayah dinyatakan bahwa pemerintah
daerah diberikan wewenang secara penuh untuk mengembangkan dan mengelola
wilayahnya sendiri, berdasarkan potensi yang ada di masing-masing daerah.
Sehingga tugas dari pemerintah pusat tidak terbebani dalam mencanangkan
Prioritas pembangunan yang tepat berarti Pemerintah daerah telah
membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan potensi, kendala, dan kesempatan
yang dimiliki daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah
bersungguh-sungguh untuk membuat komitmen pembangunan yang sesuai dengan potensi
daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk mengidentifikasi
potensi-potensi yang dimiliki daerah, karena potensi-potensi tersebut sangat menentukan dalam
prioritas pembangunan. Potensi daerah dapat diwujudkan dalam bentuk
sektor-sektor yang ada di setiap wilayah. Salah satunya adalah sektor-sektor unggulan daerah.
Mengingat sektor unggulan memiliki perananan yang sangat penting dalam
memprioritaskan pembangunan. Dengan ditentukannya sektor unggulan maka
Pemerintah daerah dapat mengetahui setiap kondisi yang ada di daerahnya. Oleh
karena itu, sektor unggulan perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Selain itu sektor unggulan juga menjadi bagian penting di dalam basis
ekonomi.
3.1.2. Location Quotient (LQ)
Location Quotient (LQ) merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah sektor itu basis atau non basis. Jika LQ suatu sektor lebih dari satu maka
sektor tersebut merupakan sektor basis, tetapi jika LQ suatu sektor kurang dari
satu maka sektor itu termasuk sektor non basis. Penggunaan metode LQ dapat
dimodifikasi menjadi multiplier/efek pengganda pendapatan. Pada konsep
pengganda ekonomi basis menunjukkan bahwa perkembangan pendapatan/tenaga
kerja dalam wilayah, terjadi karena penggandaan (multifikasi) jumlah
pembelanjaan kembali pendapatan dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam
Metode ekonomi basis akan sangat baik untuk daerah yang belum
berkembang, kecil, dan tertutup. Semakin luas wilayahnya maka model ini akan
semakin kurang untuk diterapkan. Daerah yang belum berkembang adalah daerah
yang perekonomianya hanya terdiri dari beberapa sektor saja. Daerah kecil adalah
daerah yang cakupannya tidak lebih dari wilayah kabupaten, akan tetapi dapat
juga propinsi asal tidak terlalu luas. Daerah tertutup adalah daerah yang keluar
masuknya barang-barang atau jasa dapat diketahui, misalkan pulau. Selain itu,
dengan adanya sektor basis ini sektor tersebut dapat dijual ke luar daerah,
sehingga akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus
pendapatan dari luar daerah menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan
investasi daerah tersebut, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan
kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tidak hanya menaikkan
permintaan terhadap sektor basis, tetapi juga menaikkan permintaan terhadap
sektor non basis.
Selain sektor unggulan sebagai basis ekonomi, hal yang perlu diperhatikan
di dalam sektor unggulan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun akan mengakibatkan penerimaan
daerah menjadi berkurang begitu juga sebaliknya. Akibatnya, Pemerintah daerah
menjadi tergantung kebutuhannya kepada daerah lain.
3.1.3. Analisis Shift Share
Dengan menggunakan analisis Shift Share (SS) tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diketahui. Penggunaan analisis ini akan sangat
bermanfaat bagi Pemerintah daerah untuk mengetahui besarnya tingkat
dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu
wilayah selama 2 periode waktu. Penerapan analisis Shift Share dapat dilakukan
di tingkat kabupaten, propinsi maupun nasional. Di tingkat kabupaten analisis
dapat dilakukan untuk melihat kecamatan-kecamatan apa saja yang memberikan
kontribusi pertumbuhan paling besar terhadap perekonomian kabupaten. Selain
itu, melalui analisis ini juga dapat diketahui sektor-sektor apa saja yang
mengalami perkembangan yang paling cepat di masing-masing wilayah
kecamatan. Di tingkat propinsi dapat diketahui kabupaten-kabupaten apa saja
beserta sektor-sektornya yang memberikan kontribusi paling besar terhadap
pertumbuhan ekonomi di tingkat propinsi. Sedangkan di tingkat nasional yang di
analisis adalah kontribusi pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia
terhadap pertumbuhan Indonesia.
Untuk itu agar program pembangunan wilayah dapat berjalan secara
optimal, maka diperlukannya strategi dan kebijakan yang tepat untuk menerapkan
pembangunan wilayah. Strategi dan kebijakan menjadi bagian penting untuk
dilaksanakan demi tercapainya pembangunan baik ditingkat lokal, regional dan
nasional. Sehingga pembangunan wilayah yang sesuai dengan sektor unggulan
daerah dapat tercapai.
3.2. Kerangka Operasional
Agar pembangunan wilayah dapat berjalan sesuai dengan rencana dan
harapan, maka Pemerintah pusat perlu memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah. Salah satunya dengan konsep desentralisasi wilayah. Hal ini, sesuai