• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pembangunan wilayah berbasis sektor unggulan kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pembangunan wilayah berbasis sektor unggulan kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH

BERBASIS SEKTOR UNGGULAN

KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR

OLEH:

MUHAMMAD GHUFRON A14304013

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Muhammad Ghufron. A14304013. Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan Eka Intan Kumala Putri.

Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling ketergantungan (complementarity and independency). Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah, berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional. Namun, pada kenyataannya Pemerintah Propinsi Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk itu, agar pembangunan wilayah secara regional berjalan optimal, maka Pemerintah Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang kepada daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan, dampak pengganda (Multiplier) pendapatan, besarnya peranan sektor ungggulan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan strategi kebijakan yang tepat untuk membangun sektor unggulan daerah. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2008, dengan Kabupten Lamongan sebagai lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa data primer dari hasil wawancara dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan dan data sekunder time series 2002-2006 yang diperoleh dari BPS kabupaten dan propinsi, Bappeda kabupaten dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan dalam menentukan sektor unggulan di Kabupaten Lamongan adalah Location Quotient (LQ), multiplier pendapatan, analisis Shift Share dan analisis kualitatif untuk merumuskan strategi kebijakan terhadap sektor unggulan tersebut berupa analisis SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan sektor yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor basis. Artinya sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lainnya. Selama kurun waktu 2002-2006 yang termasuk sektor basis terdapat pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan sektor yang memiliki nilai LQ < 1 adalah sektor non basis. Hal ini menunjukkan sektor tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sektor tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor kontruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

(3)

tahun 2002-2006. Hal ini berarti bahwa masyarakat Kabupaten Lamongan dalam menjalankan aktifitas ekonominya lebih berminat pada kegiatan sektor basis.

Pada analisis Shift Share laju pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Lamongan terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 48,74 persen selama tahun 2002-2006. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Lamongan. Hal yang sama juga dialami di tingkat Propinsi Jawa Timur, pertumbuhan paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 41,11 persen..

Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Timur sebesar 22,96 persen atau Rp. 798.657,95 juta selama tahun 2002-2006 yang ditunjukkan pada nilai KPP. Sektor yang memiliki nilai PP > 0 (cepat) yang terbesar terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 18,15 persen. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PP dengan persentase negatif PP < 0 (lambat) terbesar terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian (-23,69) persen. Selanjutnya, jika PPW > 0 (daya saing yang baik) yang terbesar terdapat pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu 39,24. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PPW < 0 (daya saing yang tidak baik) yang terbesar terdapat pada sektor listrik, gas dan air bersih (-8,06) persen.

(4)

ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH

BERBASIS SEKTOR UNGGULAN

KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR

OLEH:

MUHAMMAD GHUFRON A14304013

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian

(5)

Judul : Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur

Nama : Muhammad Ghufron NRP : A14304013

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri. MS NIP. 131 918 659

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, 17 Juni 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Bagi penulis, kesempurnaan skripsi ini adalah kesediaan pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun masukan. Meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, 17 Juni 2008

(9)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah... 13

2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 15

2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan ... 18

2.4. Teori Basis Ekonomi ... 20

2.5. Konsep Analisis Shift Share... 22

2.6. Penelitian Terdahulu... 25

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN... 28

3.1. Kerangka Teoritis ... 28

3.1.1. Desentralisasi... 28

3.1.2. Location Quotient... 29

3.1.3. Analisis Shift Share... 30

3.2. Kerangka Operasional... 31

BAB IV METODE PENELITIAN... 34

4.1. Daerah dan Waktu Penelitian... 34

4.2. Jenis dan Sumber Data... 34

4.3. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35

4.4. Metode Analisis... 35

4.4.1. Analisis Kuantitatif ... 36

4.4.1.1. Location Quotient... 36

4.4.1.2. Efek Pengganda... 38

4.4.1.3. Analisis Shift Share... 39

4.4.2. Analisis Kualitatif ... 45

4.4.2.1. Matriks SWOT ... 46

BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN... 48

5.1. Kondisi Geografi ... 48

5.2. Kondisi Demografi ... 48

5.3. Karateristik Wilayah... 49

(10)

5.5. Potensi Ekonomi... 50

5.6. Kawasan Pembangunan Sektor Perekonomian ... 53

BAB VI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN LAMONGAN... 55

6.1. Sektor Basis dan Non Basis ... 55

6.2. Multiplier Pendapatan ... 58

BAB VII ANALISIS SHIFT SHARE UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERTUMBUHAN EKONOMI... 60

7.1. Perubahan dan Rasio PDRB ... 60

7.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 65

7.3. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian ... 68

7.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 69

BAB VIII STRATEGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN... 71

8.1. Strategi Strenghts-Opportunities (S-O) ... 72

8.2. Strategi Weakness-Opportunities (W-O)... 74

8.2. Strategi Strengths-Threats (S-T)... 76

8.4. Strategi Weakness-Threats (W-T) ... 78

8.5. Badan Pengawas Daerah... 82

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN... 83

9.1. Kesimpulan ... 83

9.2. Saran ... 84

(11)

ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH

BERBASIS SEKTOR UNGGULAN

KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR

OLEH:

MUHAMMAD GHUFRON A14304013

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

RINGKASAN

Muhammad Ghufron. A14304013. Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan Eka Intan Kumala Putri.

Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling ketergantungan (complementarity and independency). Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah, berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional. Namun, pada kenyataannya Pemerintah Propinsi Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk itu, agar pembangunan wilayah secara regional berjalan optimal, maka Pemerintah Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang kepada daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan, dampak pengganda (Multiplier) pendapatan, besarnya peranan sektor ungggulan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan strategi kebijakan yang tepat untuk membangun sektor unggulan daerah. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2008, dengan Kabupten Lamongan sebagai lokasi penelitian. Data yang digunakan berupa data primer dari hasil wawancara dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan dan data sekunder time series 2002-2006 yang diperoleh dari BPS kabupaten dan propinsi, Bappeda kabupaten dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan dalam menentukan sektor unggulan di Kabupaten Lamongan adalah Location Quotient (LQ), multiplier pendapatan, analisis Shift Share dan analisis kualitatif untuk merumuskan strategi kebijakan terhadap sektor unggulan tersebut berupa analisis SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan sektor yang memiliki nilai LQ > 1 adalah sektor basis. Artinya sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lainnya. Selama kurun waktu 2002-2006 yang termasuk sektor basis terdapat pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan sektor yang memiliki nilai LQ < 1 adalah sektor non basis. Hal ini menunjukkan sektor tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan daerah. Sektor tersebut adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor kontruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

(13)

tahun 2002-2006. Hal ini berarti bahwa masyarakat Kabupaten Lamongan dalam menjalankan aktifitas ekonominya lebih berminat pada kegiatan sektor basis.

Pada analisis Shift Share laju pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Lamongan terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 48,74 persen selama tahun 2002-2006. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Lamongan. Hal yang sama juga dialami di tingkat Propinsi Jawa Timur, pertumbuhan paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 41,11 persen..

Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Timur sebesar 22,96 persen atau Rp. 798.657,95 juta selama tahun 2002-2006 yang ditunjukkan pada nilai KPP. Sektor yang memiliki nilai PP > 0 (cepat) yang terbesar terdapat pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu 18,15 persen. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PP dengan persentase negatif PP < 0 (lambat) terbesar terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian (-23,69) persen. Selanjutnya, jika PPW > 0 (daya saing yang baik) yang terbesar terdapat pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu 39,24. Sedangkan sektor yang memiliki nilai PPW < 0 (daya saing yang tidak baik) yang terbesar terdapat pada sektor listrik, gas dan air bersih (-8,06) persen.

(14)

ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH

BERBASIS SEKTOR UNGGULAN

KABUPATEN LAMONGAN PROPINSI JAWA TIMUR

OLEH:

MUHAMMAD GHUFRON A14304013

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian

(15)

Judul : Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur

Nama : Muhammad Ghufron NRP : A14304013

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri. MS NIP. 131 918 659

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, 17 Juni 2008

(17)

RIWAYAT HIDUP

(18)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Bagi penulis, kesempurnaan skripsi ini adalah kesediaan pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun masukan. Meskipun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, 17 Juni 2008

(19)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah... 13

2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 15

2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan ... 18

2.4. Teori Basis Ekonomi ... 20

2.5. Konsep Analisis Shift Share... 22

2.6. Penelitian Terdahulu... 25

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN... 28

3.1. Kerangka Teoritis ... 28

3.1.1. Desentralisasi... 28

3.1.2. Location Quotient... 29

3.1.3. Analisis Shift Share... 30

3.2. Kerangka Operasional... 31

BAB IV METODE PENELITIAN... 34

4.1. Daerah dan Waktu Penelitian... 34

4.2. Jenis dan Sumber Data... 34

4.3. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35

4.4. Metode Analisis... 35

4.4.1. Analisis Kuantitatif ... 36

4.4.1.1. Location Quotient... 36

4.4.1.2. Efek Pengganda... 38

4.4.1.3. Analisis Shift Share... 39

4.4.2. Analisis Kualitatif ... 45

4.4.2.1. Matriks SWOT ... 46

BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN... 48

5.1. Kondisi Geografi ... 48

5.2. Kondisi Demografi ... 48

5.3. Karateristik Wilayah... 49

(20)

5.5. Potensi Ekonomi... 50

5.6. Kawasan Pembangunan Sektor Perekonomian ... 53

BAB VI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN LAMONGAN... 55

6.1. Sektor Basis dan Non Basis ... 55

6.2. Multiplier Pendapatan ... 58

BAB VII ANALISIS SHIFT SHARE UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERTUMBUHAN EKONOMI... 60

7.1. Perubahan dan Rasio PDRB ... 60

7.2. Analisis Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 65

7.3. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian ... 68

7.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian... 69

BAB VIII STRATEGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN... 71

8.1. Strategi Strenghts-Opportunities (S-O) ... 72

8.2. Strategi Weakness-Opportunities (W-O)... 74

8.2. Strategi Strengths-Threats (S-T)... 76

8.4. Strategi Weakness-Threats (W-T) ... 78

8.5. Badan Pengawas Daerah... 82

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN... 83

9.1. Kesimpulan ... 83

9.2. Saran ... 84

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perbandingan Struktur Ekonomi Kabupaten Lamongan dan Propinsi

Jawa Timur Tahun 2005 ... 3

2. Penggunaan Metode Analisis Yang Digunakan ... 35

3. Matriks SWOT... 47

4. Location Quotient (LQ) Kabupaten Lamongan Tahun 2002-2006... 55

5. Koefisien Pengganda Pendapatan Di Kabupaten Lamongan Tahun 2002-2006 ... 59

6. Perubahan PDRB Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa Timur Atasa Dasar Harga Konstan`01 Menurut Sektor Perekonomian tahun 2002-2006 ... 60

7. Rasio PDRB Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa Timur ... 63

8. Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Lamongan ... 65

9. Pergeseran Bersih Sektor Perekonomian Kabupaten Lamongan... 68

(22)

DAFTAR GAMBAR

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era globalisasi sekarang ini, kota-kota besar maupun kawasan-kawasan

strategis di Indonesia akan berkembang menjadi sebuah sistem kewilayahan

dimana satu sama lain akan terikat dalam suatu sistem pengembangan dan saling

ketergantungan (complementarity and independency). Sesuai dengan arahan dan tujuan yang tertuang dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional),

kota-kota dan wilayah lain di Indonesia dalam melaksanakan pembangunan

berkelanjutan harus mengantisipasi peluang dan tantangan yang akan ditimbul

oleh adanya kebijakan regionalisasi (Riyadi, 2002).

Pembangunan nasional yang diarahkan pada pembangunan daerah,

berdasarkan UU 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah untuk memacu pemerataan

pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dimana peran serta

Pemerintah dan masyarakat sangat penting sekali dalam pendayagunaan potensi

daerah secara optimal dan terpadu. Sehingga upaya pemerataan pembangunan

diseluruh tanah air mulai dari daerah maju, berkembang dan terpencil perlu untuk

ditingkatkan demi tercapainya pembangunan wilayah secara nasional.

Di tingkat regional, pembangunan wilayah yang ditinjau dari aspek

ekonomi harus menjadi prioritas utama dalam menggerakkan ekonomi nasional.

Sebagai contoh, Propinsi Jawa Timur yang secara terus-menerus memetakan

potensi ekonomi dalam memajukan pembangunan wilayah, mengingat potensi

ekonomi regional yang ada di Propinsi Jawa Timur sangat besar. Potensi ekonomi

(25)

Namun, dalam melaksanakan pembangunan secara regional, Pemerintah Propinsi

Jawa Timur masih mengalami kekurangan, yaitu masih terbatasnya pemberian

wewenang kepada Pemerintah lokal dalam mengelola potensi ekonominya. Untuk

itu agar pembangunan wilayah secara regional berjalan, maka Pemerintah

Propinsi Jawa Timur idealnya dapat mendelegasikan wewenang yang luas kepada

daerah kabupaten/kota untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri.

Sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU 32 tahun 2004 tentang

desentralisasi wilayah.

Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi daerah. Menurut

Sondakh dalam Pranata (2004) dengan desentralisasi diharapkan: (1)

menanggulangi kemiskinan yang timbul karena adanya kesenjangan antar daerah,

(2) membantu kelompok masyarakat yang ada di perdesaan, (3) memudahkan

masalah-masalah pemungutan pajak, (4) mengurangi pengeluaran Pemerintah

secara umum, (5) memobilisasi sumber-sumber daerah, (6) mengurangi

tugas-tugas Pemerintah yang sudah terlalu banyak, (7) mengenalkan perencanaan dari

bawah, dan (8) mengenalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Salah satu wilayah yang telah mengalami proses desentralisasi adalah

Kabupaten Lamongan, yang terletak di Propinsi Jawa Timur. Posisi geografis

yang sangat menguntungkan membuat Pemerintah Kabupaten Lamongan sejak

dulu hingga sekarang terus berupaya untuk mengembangkan dan mengelola

wilayahnya sendiri yaitu dengan memajukan sektor unggulan daerah. Berbagai

program telah dicanangkan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Adapun program

utama Kabupaten Lamongan adalah penentuan dan peningkatan pengembangan

(26)

memiliki produk unggulan atau sektor unggulan, sedangkan program yang lain

seperti: (a) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana, (b) pemberdayaan

kemampuan Pemerintah daerah untuk membangun kawasan-kawasan unggulan

dan klaster-klaster industri, agroindustri yang berdaya saing di lokasi strategis di

luar jawa, (c) pertimbangan kemungkinan perlunya pemberian status wilayah

pembangunan strategis sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas

(free port and trade zones), (d) penguatan Pemerintah daerah untuk meningkatkan, mengefektifkan, dan memperluas kerjasama pembangunan

ekonomi regional yang saling menguntungkan, (e) peningkatan kerja sama antar

Pemerintah daerah melalui sistem jejaring kerja (networking) yang saling menguntungkan, dan (f) pemberdayaan Pemerintah daerah dengan memfasilitasi

kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kegiatan/program pengembangan wilayah

(Bappeda Kabupaten Lamongan, 2006).

Jika dilihat dari struktur ekonomi, tampak jelas perbedaan antara struktur

ekonomi Kabupaten Lamongan dengan struktur ekonomi Propinsi Jawa Timur.

Tabel 1. Perbandingan Struktur Ekonomi Kabupaten Lamongan dan Propinsi Jawa timur tahun 2005 (persen)

Sektor Lamongan Jawa Timur

Primer: 40,99 19,07

1. Pertanian 40,71 17,06

2. Pertambangan dan penggalian 0,28 2,01

Sekunder: 10,39 35,74

3. Industri Pengolahan 5,20 30,07 4. Listrikk, Gas dan Air Bersih 1,44 2,06

5. Kontruksi 3,75 3,61

Tersier: 48,62 45,19

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 30,11 27,23 7. Pengangkutan dan Komunikasi 1,84 5,54 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3,58 5,36

9. Jasa-jasa 13,09 8,06

Total 100,00 100,00

(27)

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling

dominan di Kabupaten Lamongan adalah sektor primer dan tersier, sedangkan di

Propinsi Jawa timur adalah sektor sekunder. Pada sektor primer Kabupaten

Lamongan menyumbang kontribusi ekonominya sebesar 40,99 persen dengan

kontribusi sektor pertanian 40,99 persen dan sektor pertambangan dan penggalian

sebesar 0,28 persen. Sementara di Propinsi Jawa Timur hanya menyumbang

19,07 persen dengan kontribusi sektor pertanian 17,06 persen dan sektor

pertambangan dan penggalian sebesar 2,01 persen. Sebaliknya, di Kabupaten

Lamongan peranan sektor sekunder hanya mencapai 10,39 persen dimana sektor

industri pengolahan memiliki peranan sebesar 5,20 persen, listrik, gas dan air

bersih 1,44 persen serta kontruksi 3,75 persen. Sedangkan di Propinsi Jawa

Timur, kontribusi sektor sekunder mencapai 35,74 persen yang dimotori industri

pengolahan sebesar 30,07 persen, listrik, gas dan air bersih 2,06 persen serta

kontruksi 3,61 persen. Sementara dari sektor tersier di kabupaten lamongan

mencapai 48,62 persen lebih besar bila dibandingkan di Jawa Timur yang hanya

mencapai 45,19 persen. Sektor tersier di Kabupaten Lamongan didominasi oleh

Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan kontribusi sebesar 30,11 persen,

pengangkutan dan komunikasi 1,84 persen, keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan 3,58 persen serta jasa-jasa sebesar 13,09 persen. Sedangkan di

Propinsi Jawa Timur sektor tersier didominasi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan

Restoran dengan kontribusi sebesar 27,23 persen, pengangkutan dan komunikasi

5,54 persen, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 5,36 persen serta jasa-jasa

(28)

Apabila dilihat dari segi PDRB Kabupaten Lamongan selama tahun 2005

menunjukkan hasil yang terus meningkat. Dari hasil perhitungan PDRB tahun

2005 atas dasar harga berlaku telah diketahui bahwa total nilai PDRB Kabupaten

Lamongan sebesar Rp. 5.274,93 milyar, mengalami kenaikan bila dibandingkan

tahun 2004 yang mencapai Rp. 4.711,13 milyar atau naik 11,97 persen.

Peningkatan PDRB ini tidak terlepas dari berbagai kebijakan Pemerintah daerah

yang telah dibangun selama ini dalam menciptakan iklim usaha yang semakin

kondusif.

Untuk itu, pembangunan suatu wilayah harus menjadi prioritas Pemerintah

Kabupaten Lamongan, untuk memanfaatkan dan meningkatkan sektor unggulan.

Selama ini banyak sektor atau potensi wilayah di Kabupaten Lamongan belum

digunakan dan diekplorasi secara maksimal. Dengan berbagai dukungan dari

semua eleman masyarakat dan Pemerintah daerah, diharapkan pembangunan

wilayah Kabupaten Lamongan menjadi lebih baik dan menjadi contoh untuk

daerah-daerah yang lain.

1.2. Perumusan Masalah

Berbagai kebijakan yang disampaikan Pemerintah mengenai dimensi

pembangunan telah mendorong pembangunan di propinsi dan kabupaten dalam

melaksanakan desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah. Hal ini

mengindikasikan bahwa daerah-daerah harus sudah tidak tergantung lagi pada

dana anggaran pusat dan harus dapat mendorong kontribusi sektor-sektor ekonomi

lokalnya dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya, sehingga

mendukung bagi suksesnya pelaksanaan pembangunan wilayah di daerah tersebut.

(29)

suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian wilayah (local economic development) sehingga daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri (Hadianto, 2002).

Tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah pada umumnya dapat

dilihat dari berbagai sisi mulai dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan

semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar

sektor. Hal ini mengingat pembangunan dalam lingkup suatu wilayah kabupaten

secara spasial tidak selalu merata. Perbedaan tingkat pembangunan akan

membawa dampak tingkat kesejahteraan antar wilayah yang pada akhirnya

mengakibatkan ketimpangan regional antar wilayah semakin besar.

Kabupaten Lamongan memiliki potensi yang cukup besar untuk

dikembangkan. Selama ini banyak potensi di wilayah Kabupaten Lamongan yang

belum sepenuhnya dimanfaatkan. Sehingga menjadi sulitnya bagi Pemerintah

daerah untuk menentukan prioritas sektor unggulan wilayah dalam mencanangkan

pembangunan daerahnya. Apabila tidak dikembangkan dan dikelola maka

pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan akan menurun.

Walaupun Kabupaten Lamongan memiliki sumberdaya yang cukup besar,

namun kondisi tersebut tidaklah mampu untuk memecahkan berbagai masalah

pembangunan. Permasalahan yang dihadapi Pemerintah daerah, yaitu masih

kesulitan untuk menetapkan kebijakan pembangunan terhadap sektor unggulan

daerah. Seolah-olah Pemerintah daerah mengalami hambatan untuk memilih

sektor yang mana yang harus dibangun terlebih dahulu.

Adapun sektor perekonomian yang menjadi permasalahan adalah sektor

(30)

pada tahun 2006. Padahal Kabupaten Lamongan bisa mencapai 80,52 kwintal per

hektarnya. Permasalahan yang dihadapi yaitu mahalnya harga pupuk dan

pestisida, masuknya beras impor, minimnya teknologi, bencana banjir dan

konversi lahan. Sektor pertambangan dan penggalian misalnya, rendanya

teknologi, kelangkaan SDA, penambangan liar dan ekplorasi berlebihan. Sektor

industri pengolahan kurangnya bahan baku, rendahnya akses pasar, rendahnya

dukungan kelembagaan, modal usaha yang kurang dan teknologi masih minim.

Sektor listrik, gas dan air bersih belum memiliki energi alternatif dan

kurangnya persediaan air bersih. Sektor kontruksi, misalnya sengketa lahan,

sulitnya izin usaha, bangunan liar dan pajak bangunan yang tinggi. Sektor

perdagangan, hotel dan restoran, misalnya menghadapi adanya meningkatnya

proteksi dan non tarif barier, tingginya ketergantungan ekspor pada pasar

tradisional, maraknya peredaran barang ilegal impor di pasar dalam negeri dan

terbatasnya sarana dan prasarana ekspor.

Sektor pengangkutan dan komunikasi, seperti mahalnya biaya angkutan,

jalan rusak dan kurangnya jaringan komunikasi. Sektor keuangan, persewaan dan

jasa perusahaan, seperti bunga bank yang relatif tinggi, jaminan keamanan rendah

dan lembaga keuangan yang belum merata di setiap daerah. Sektor jasa-jasa masih

menjadi masalah, seperti sarana dan prasarana belum memadai, investasi dan

anggaran yang minim serta kurangnya informasi/promosi khususnya di sub jasa

hiburan dan rekreasi/wisata.

Akibat dari tidak dimanfaatkannya sektor unggulan, Pemerintah

Kabupaten Lamongan telah menghadapi beberapa permasalahan yang lain,

(31)

penduduk Kabupaten Lamongan rata-rata masih rendah dan jauh dari apa yang

diharapkan Pemerintah daerah, meskipun telah terjadi peningkatan. Pada tahun

2005 persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah

sebesar 14,94 persen, turun menjadi 12,66 persen pada tahun 2006. Sementara

untuk tidak/belum tamat SD dari 18,06 persen pada tahun 2005 turun menjadi

15,14 persen pada tahun 2006. Sedangkan untuk tamat SD dari 25,79 persen pada

tahun 2005 naik menjadi 30,43 persen pada tahun 2006. Untuk tamat SLTP

mengalami penurunan, dari 23,72 persen pada tahun 2005 turun menjadi 21,63

persen pada tahun 2006. Jika dibandingkan dengan tamat SLTA

perkembangannya justru mengalami peningkatan, dari 14,80 persen pada tahun

2005 naik menjadi 17,25 persen pada tahun 2006, begitu juga sebalikanya dengan

tamat perguruan tinggi dari 2,70 persen pada tahun 2005 naik menjadi 2,89 persen

pada tahun 2006.

Dilihat dari segi kesehatan, Pemerintah Kabupaten Lamongan juga masih

terkendala, yaitu masih minimnya sarana dan prasarana kesehatan khususnya

untuk daerah pedalaman dan disertai dengan rendahnya partisipasi masyarakat

untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Menurut data BPS perkembangan

kesahatan penduduk Kabupaten Lamongan secara umum cenderung

berubah-ubah. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Angka Harapan Hidup (AHH).

Pada tahun 2002 Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 67,33 tahun, meningkat

menjadi 69,09 tahun pada tahun 2003 dan 69,43 tahun pada tahun 2004.

Sebaliknya pada tahun 2005 telah terjadi penurunan menjadi 67,40 tahun, namun

(32)

Dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kabupaten Lamongan

masih berada di bawah Propinsi Jawa Timur. Data BPS menunjukkan bahwa pada

tahun 2005 IPM Kabupaten Lamongan sebesar 66,06, mengalami penurunan

menjadi 65,99 pada tahun 2006. Sedangkan di Propinsi Jawa Timur pada tahun

2005 sebesar 66,84, mengalami kenaikan menjadi 66,87 pada tahun 2006.

Melemahnya angka IPM di Kabupaten Lamongan, disebabkan oleh kurangnya

daya beli masyarakan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.

Tingkat kemiskinan juga menjadi persoalan utama Pemerintah Kabupaten

Lamongan. Pada tahun 2002 tingkat kemiskinan sebesar 21,14 persen, mengalami

penurunan menjadi 15,72 persen pada tahun 2003. Sebaliknya, pada tahun 2004

tingkat kemiskinan di Kabupaten Lamongan mengalami peningkatan menjadi

19,65 persen. Begitu juga pada tahun 2005 meningkat menjadi 26,92 persen dan

30,72 persen pada tahun 2006. Kemiskinan di Kabupaten Lamongan lebih

disebabkan oleh kurangnya kebutuhan pokok (Sembako), lingkungan kumuh,

keterbelakangan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat untuk

memanfaatkan berbagai kesempatan ekonomi.

Seperti halnya kemiskinan, tingkat pengangguran juga dialami Pemerintah

Kabupaten Lamongan. Pada tahun 2002 tingkat pengangguran sebesar 10,11

persen, mengalami penurunan menjadi 7,16 persen pada tahun 2003 dan 6,76

persen pada tahun 2004. Namun, pada tahun 2005 tingkat pengangguran di

Kabupaten Lamongan naik kembali menjadi 7,03 persen dan 9,12 persen pada

tahun 2006. Meningkatnya pengangguran di Kabupaten Lamongan disebabkan

oleh rendahnya kualitas dan ketrampilan tenaga kerja, minimnya lapangan

(33)

Hubungan Kerja (PHK), rendahnya kualitas pendidikan dalam menghadapi

persaingan dunia kerja serta terbatasnya jiwa kewirausahaan.

Permasalahan banjir juga menjadi kendala utama Pemerintah Kabupaten

Lamongan. Banjir yang terjadi akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo pada

tahun 2008, telah mengakibatkan sejumlah daerah tergenang air, meningkatnya

pengungsian, rusaknya infrastruktur daerah, pelayanan masyarakat terganggu dan

perekonomian daerah menjadi terhenti. Hal ini membuktikan betapa sulitnya

pemerintah daerah untuk mengatur tata ruang wilayah, ditambah lagi dengan

kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, konversi lahan, dan masih

banyaknya aksi penjarahan hutan.

Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan, maka Pemerintah Kabupaten

Lamongan perlu menggunakan dan mengoptimalkan sumberdaya yang ada, agar

program pembangunan yang selama ini dicita-citakan dapat berjalan sesuai

dengan rencana pembangunan. Sebagaimana visi dari Kabupaten Lamongan yakni

Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Lamongan Melalui Peningkatan Perekonomian dan Kualitas Sumberdaya Manusia Yang Lebih Baik dan Maju Dengan Dilandasi Kebersamaan dan Pemberdayaan Masyarakat” dapat diwujudkan.

Dari uraian di atas permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini

adalah:

1. Sektor apa saja yang sebenarnya menjadi sektor unggulan Kabupaten

Lamongan dalam memprioritaskan pembangunan wilayah.

2. Bagaimana dampak pengganda (Multiplier) pendapatan sektor unggulan

(34)

3. Seberapa besar peranan sektor unggulan terhadap tingkat pertumbuhan

ekonomi wilayah Kabupaten Lamongan

4. Bagaimana strategi kebijakan yang tepat untuk membangun Kabupaten

Lamongan yang berbasis pada sektor unggulan daerah.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kabupaten Lamongan dalam

memprioritaskan pembangunan wilayah.

2. Untuk mengidentifikasi dampak pengganda (Multiplier) pendapatan sektor

unggulan dalam menunjang pembangunan wilayah.

3. Untuk mengidentifikasi besarnya peranan sektor ungggulan terhadap

tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Lamongan

4. Untuk mengidentifikasi strategi kebijakan yang tepat dalam membangun

Kabupaten Lamongan yang berbasis pada sektor unggulan daerah. 1.4. Manfaat Penelitian

Harapan dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat bagi semua pihak antara

lain sebagai:

1. Bahan masukan bagi Pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten

Lamongan dalam menentukan arah dan prioritas kebijakan pembangunan

wilayah.

2. Bagi peneliti sendiri untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

3. Bahan masukan dan informasi bagi mahasiswa yang lain untuk penelitian

(35)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang analisis pembangunan wilayah berbasis sektor unggulan

di Kabupaten Lamongan Propinsi Jawa Timur hanya difokuskan pada pendekatan

secara sektoral. Pendekatan sektoral merupakan suatu pendekatan yang

memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut.

Pada pendekatan sektoral, di mana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah

perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor di

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Wilayah dan Pembangunan Wilayah

Wilayah dapat dilihat sebagai suatu ruang pada permukaan bumi.

Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat

secara horizontal dan vertikal. Jadi, di dalamnya termasuk apa yang ada pada

permukaan bumi, yang ada di bawah permukaan bumi, dan yang ada di atas

permukaan bumi (Tarigan, 2005).

Glasson (1977) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah, yaitu

subjektif dan objektif. Cara pandang subjektif daerah dipandang sebagai alat

deskriptif, didefinisikan menurut kriteria tertentu, untuk tujuan tertentu. Dengan

demikian terdapat banyak daerah sebanyak kriteria yang digunakan untuk

mendefinisikannya. Dalam konteks ini konsep daerah melaksanakan suatu fungsi

yang sangat bermanfaat dan menghindari fungsi yang ekstrim. Sedangkan

pandangan objektif bahwa daerah itu benar-benar ada, dianut oleh banyak

akdemisi pada awal abad ke-20. Di dalam pandangan ini juga dinyatakan bahwa

wilayah bisa dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimiliki atau

berdasarkan konfigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk atau

gabungan dari ciri-ciri di atas.

Lebih lanjut menurut Tarigan (2005) dasar dari perwilayahan dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Berdasarkan wilayah administrasi Pemerintah, di Indonesia dikenal

wilayah kekuasaan Pemerintah, seperti propinsi, kabupaten/kota,

(37)

2. Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity), yang paling umum adalah

kesamaan kondisi fisik, misalkan wilayah pertanian dengan wilayah

industri dan wilayah perkotaan dengan daerah pedalaman. Cara pembagian

lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial budaya. Misalkan,

daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama, adat istiadat, tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan dan mayoritas masyarakat yang mendiami

wilayah tersebut.

3. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu diterapkan terlebih

dahulu pusat pertumbuhan (growt pole atau growt centre) yang kira-kira sama besarnya/rangkingnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh

dari setiap pusat pertumbuhan.

4. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan

batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program

atau proyek di mana wilayah tersebut termasuk ke dalam suatu

perencanaan atau tujuan khusus.

Sedangkan pembangunan menurut Sajogyo (1985) diartikan sebagai suatu

proses yang menggambarkan adanya pengembangan, baik meliputi proses

pertumbuhan (growth) ataupun perubahan (change) dalam kehidupan bersama (organisasi) sosial dan budaya. Hal ini tidak lain merupakan gambaran umum

masyarakat luas (society).

Tjokromidjojo (1979) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah erat

kaitannya dengan perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan adalah

suatu pengarahan penggunaan sumber pembangunan (temasuk

(38)

yang lebih baik secara lebih efisien dan efektif. Selanjutnya Tjokromidjojo

membedakan suatu perencanaan pembangunan, yaitu dipenuhinya berbagai

ciri-ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan. Adapun ciri-ciri dan

tujuan dari perencanaan pembangunan adalah:

1. Perencanaan pembangunan mencerminkan dalam rencana untuk mencapai

perkembangan sosial ekonomi yang tetap (steady social economic growth). Hal ini dicerminkan dalam usaha peningkatan produksi nasional, berupa tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang positif.

2. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan

per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang positif.

3. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. Hal ini disebabkan

oleh karena pada umumnya negara-negara baru berkembang struktur

ekonominya berat ke sebelah agraris.

4. Perluasan kesempatan kerja. Kecuali usaha menanggulangi adanya

pengangguran dan pengangguran tak kentara di negara-negara baru

berkembang, juga diupayakan perluasan kesempatan kerja untuk

menampung masuknya golongan usia kerja baru dalam kehidupan

ekonomi.

5. Usaha pemerataan pembangunan yang seringkali disebut sebagai

distributife justice. Pemerataan pembangunan ini ditunjukkan kepada pemerataan pendapatan antara golongan-golongan dalam masyarakat dan

pemerataan pendapatan antara daerah-daerah dalam negara.

6. Adanya usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang

(39)

7. Peningkatan kemampuan membangun perlu dikembangkan bahwa tidak

saja harus dihitung dari segi modal, tetapi juga harus dilihat dari segi

pengalihan ketrampilan dan transfer teknologi.

8. Terdapatnya usaha secara terus menerus untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Salah satu usaha dibidang ini adalah dilakukannya perencanaan anti siklus.

9. Ada pula negara-negara yang mencantumkan sebagai tujuan pembangunan

hal-hal yang fundamental/ideal atau bersifat jangka panjang. Misalkan saja

perubahan perlembagaan masyarakat, pola pemilihan dan penguasaan

faktor-faktor produksi berdasarkan keadilan sosial dan peningkatan

kemampuan nasional.

Ciri dan tujuan perencanaan pembangunan di atas sangat terkait dengan

peranan Pemerintah sebagai pendorong pembangunan (agent of development). Oleh karena itu perencanaan pembangunan umumnya dilakukan oleh

negara berkembang. Hal ini tidak menutup kenyataan bahwa banyak

negara-negara lain terutama negara-negara-negara-negara sosialis, bahkan negara-negara-negara-negara maju dengan

sektor swasta yang kuat, juga melakukan suatu perencanaan pembangunan.

2.2. Pertumbuhan Ekonomi

Tarigan (2002) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah

adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu

kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya

dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas

(40)

tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan

kemakmuran daerah.

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat ditentukan oleh dua

faktor yaitu faktor lokal dan eksternal. Faktor lokal meliputi: ketersediaan sumber

daya alam, kualitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi, permodalan dan

kewirausahaan. Sedangkan faktor eksternal diantaranya: perkembangan situasi

perekonomian nasional maupun internasional, dan berbagai kebijakan Pemerintah

baik yang berkaitan dengan sektor riil maupun moneter.

Menurut Glasson (1977) ada tiga konsep yang harus diperhatikan dalam

pertumbuhan ekonomi suatu daerah yaitu kutup pertumbuhan dan pusat

pertumbuhan antara lain:

a. Konsep “leading industries” (industrice motric) dan

perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat

perusahan-perusahaan propulsip yang besar, yang termasuk dalam

“leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Ada

kemungkinan bahwa sesuatu kompleks industri hanya terdiri dari satu atau

segelintir perusahaan propulsip yang dominan.

b. Konsep polarisasi menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari

“leading industries” (“propulsip growth”) mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutup pertumbuhan. Implisit dalam proses

polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan aglomerasi (keuntungan

intern dan ekstern dari skala).

c. Konsep spread effects menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas

(41)

memasuki ruang disekitarnya. “Trickling down” atau spreads effects ini sangat menarik bagi perencanaan regional dan telah memberikan

sumbangan besar bagi ke populeran teori pada waktu belakangan ini

sebagai sarana kebijaksanaan.

2.3. Sektor Unggulan dan Kriteria Sektor Unggulan

Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah

berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena

mempunyai keunggulan-keunggulan/kriteria. Selanjutnya faktor ini berkembang

lebih lanjut melalui kegiatan investasi dan menjadi tumpuhan kegiatan ekonomi.

Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam

perekonomian daerah (Sambodo dalam Usya, 2006). Oleh karena itu sektor

unggulan menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi wilayah.

Adapun kriteria sektor unggulan menurut (Sambodo dalam Usya, 2006)

bahwa sektor unggulan memiliki empat kriteria diantaranya: pertama sektor

unggulan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kedua sektor unggulan

memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, ketiga sektor unggulan

memiliki keterkaitan antara sektor yang tinggi baik ke depan maupun ke belakang,

dan keempat sektor yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi.

Sedangkan menurut Ambardi dan Socia (2002) kriteria mengenai sektor

unggulan daerah lebih ditekankan pada komoditas-komoditas unggulan yang bisa

menjadi motor penggerak pambangunan suatu daerah, di antaranya:

1. Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama (prime

(42)

memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi,

pendapatan, maupun pengeluaran.

2. Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang

(forward and backward lingkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas-komoditas lainnya.

3. Komoditas unggulan mampu bersaing (competitiveness) dengan produk sejenis dari wilayah lain di pasar nasional dan pasar internasional, baik

dalam harga produk, biaya produksi, kualitas pelayanan, maupun

aspek-aspek lainnya.

4. Komoditas unggulan daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lain

(complementarity), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan baku di daerah sendiri tidak mencukupi atau tidak

tersedia sama sekali).

5. Komoditas unggulan memiliki status teknologi (state of the art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi.

6. Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara

optimal sesuai dengan skala produksinya.

7. Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai

dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth), puncak (maturity) hingga penurunan (decreasing). Begitu komoditas unggulan yang satu memasuki tahap penurunan, maka komoditas unggulan lainnya harus

mampu menggantikannya.

(43)

9. Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk

dukungan, misalkan dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan

peluan pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif, dan lain-lain.

10. Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian

sumberdaya dan lingkungan.

2.4. Teori Basis Ekonomi

Dalam membahas teori basis ekonomi, perekonomian suatu wilayah dibagi

menjadi dua, yaitu sektor basis dan non basis. Sektor basis adalah

kegiatan-kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke luar batas perekonomian wilayah

yang bersangkutan. Sedangkan sektor non basis merupakan kegiatan-kegiatan

yang menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang

bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian wilayah tersebut. Implikasi

dari pembagian kegiatan seperti ini adalah adanya hubungan sebab akibat yang

membentuk suatu teori basis ekonomi. Teori ini dapat memperhitungkan adanya

kenyataan bahwa dalam suatu kelompok industri bisa saja terdapat kelompok

industri yang menghasilkan barang-barang yang sebagian diekspor dan sebagian

lainnya dijual ke pasar lokal. Disamping itu, teori ini juga dapat digunakan

sebagai indikasi dampak pengganda (multiplier effect) bagi kegiatan perekonomian suatu wilayah (Ambardi dan Socia, 2002).

Menurut Budiharsono (2001) ada beberapa metode untuk memilih antara

kegiatan basis dan nonbasis, yaitu:

1. Metode pengukuran langsung

Metode ini dapat dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha

(44)

mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk

tersebut. Akan tetapi metode ini menguras biaya, waktu dan tenaga kerja

yang banyak. Mengingat kelemahan tersebut, maka sebagian besar para

ekonom wilayah menggunakan metode pengukuran tidak langsung.

2. Metode pengukuran tidak langsung

Metode dengan pengukuran tidak langsung terdiri dari:

a. Metode melalui pendekatan asumsi, biasanya berdasarkan kondisi di

wilayah tersebut (data sekunder), ada kegiatan tertentu yang

diasumsikan kegiatan basis dan non basis.

b. Metode Location Quotient dimana membandingkan porsi lapangan

kerja/nilai tambah untuk sektor tertentu di wilayah tertentu dengan

porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama di wilayah

atasnya. Asumsi yang digunakan adalah produktivitas

rata-rata/konsumsi rata-rata antar wilayah yang sama. Metode ini memiliki

beberapa kebaikan diantaranya adalah metode ini memperhitungkan

penjualan barang-barang antara, tidak mahal biayanya dan mudah

diterapkan.

c. Metode campuran merupakan penggabungan antara metode asumsi

dengan metode Location Quotient.

d. Metode kebutuhan minimum dimana melibatkan sejumlah wilayah

yang sama dengan wilayah yang diteliti, dengan menggunakan

distribusi minimum dari tenaga regional dan bukan distribusi rata-rata.

Pengertian basis ekonomi di suatu wilayah tidak bersifat statis melainkan

(45)

sektor basis, namun pada tahun berikutnya belum tentu sektor tersebut secara

otomatis menjadi sektor basis. Sektor basis bisa mengalami kemajuan ataupun

kemunduran. Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah: (1)

perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi, (2) perkembangan

pendapatan dan penerimaan daerah, (3) perkembangan teknologi, dan (4) adanya

perkembangan prasarana ekonomi dan sosial. Sedangkan penyebab kemunduran

sektor basis adalah: (1) adanya perubahan permintaan di luar daerah, dan (2)

kehabisan cadangan sumberdaya.

Semakin banyak sektor basis dalam suatu wilayah akan menambah arus

pendapatan ke wilayah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa

di dalamnya serta menimbulkan volume sektor non basis. Dengan kata lain sektor

basis berhubungan langsung dengan permintaan dari luar, sedangkan sektor non

basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor basis telebih dahulu

(Glasson, 1977).

2.5. Konsep Analisis Shift Share

Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada tahun 1960. Analisis Shift Share adalah salah satu alat analisis yang digunakan untuk mengindentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan

maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Melalui analisis Shift

Share dapat dianalisis besarnya sumbangan pertumbuhan dari tenaga kerja dan

pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah yang bersangkutan.

Keunggulan utama dari analisis Shift Share adalah dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya dengan

(46)

dapat berupa data PDRB, PDB dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing

sektor.

Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk melihat:

1. Perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap

perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.

2. Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara

relatif dengan sektor-sektor lainnya.

3. Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya,

sehingga dapat membandingkan besarnya aktifitas suatu sektor pada

wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.

4. Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan

laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.

Terdapat 3 komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono, 2001). Ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut adalah komponen

pertumbuhan nasional/propinsi/kabupaten (PN), komponen pertumbuhan regional

dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Masing-masing komponen

tersebut dapat dijelaskan secara rinci pada bagian berikut:

a. Komponen Pertumbuhan Nasional (National Growth Component)

Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan

produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan

produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi

nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian

(47)

b. Komponen Pertumbuhan Proposional (Proposional Mix Growth Component)

Komponen pertumbuhan proposional (PP) tumbuh karena

perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam

ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti

kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Regional Share Growth Component)

Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena

peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu

wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya

pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya

ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan

kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional

pada wilayah tersebut.

Hubungan antara ketiga komponen tersebut secara lengkap dapat dilihat

pada gambar 1 di bawah ini. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah

tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor

ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan

bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok

progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan

(48)

Gambar 1. Model Analisis Shift Share. Sumber: Budiharsono, 2001

2.6. Penelitian Terdahulu

Berikut ini disajikan beberapa jenis penelitian sebelumnya yang terkait

dengan penelitian ini. Vilona (2006) menganalisis pertumbuhan sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera barat pada masa otonomi

daerah periode 2000-2004. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis Shift Share menunjukkan bahwa sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat (PP>0), adalah sektor listrik dan air minum, sektor pertanian, sektor pengangkutan

dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor

bangunan. Sektor yang laju pertumbuhannya lambat (PP<0), sektor pertambangan

dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor jasa-jasa, dan sektor

perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang memiliki daya saing yang baik

(PPW>0), dan mampu bersaing dengan kabupaten lain di Propinsi Sumatera Barat

adalah sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan. Komponen Pertumbuhan

Proposional

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Komponen Pertumbuhan Nasional

Wilayah ke-j sektor ke-i

Wilayah ke-j sektor ke-i

Maju PP + PPW ≥ 0

(49)

Sektor yang memiliki daya saing kurang baik (PPW<0) adalah sektor listrik dan

air minum, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor pertanian,

sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor perdagangan,

hotel dan restoran. Sedangkan pada pergeseran bersih (PBij) sebagian besar

sektor-sektor yang ada di Kabupaten Pasaman bernilai negatif. Sementara sektor

yang memiliki pergeseran bersih (PBij) yang positif hanya terdapat tiga sektor

yaitu sektor pertanian, sektor pengangkutan dan sektor komunikasi.

Santoso (2005) menganalisis peran sektor pertanian dalam pembangunan

wilayah di Kabupaten Boyolali. Hasil penelitian dengan menggunakan Kuosien

Lokasi (LQ) per komoditi adalah komoditi padi sawah, jagung, tembakau, kelapa,

padi ladang, ubi kayu, cabe, udang, wortel, dan daging sapi. Dari komoditi

tersebut hanya dua komoditi yang masuk dalam komoditi basis yaitu padi sawah

dan tembakau. Sedangkan pada surplus pendapatan terbesar untuk kecamatan

berada di Kecamatan Ampel (daging sapi) dan yang terkecil adalah Kecamatan

Boyolali (udang). Sedangkan pada efek pengganda pendapatan, kecamatan yang

memiliki efek pengganda pendapatan terbesar adalah Kecamatan Boyolali (udang)

dan Kecamatan Mojosongo (padi ladang).

Aidiyah (2005) menganalisis peran industri kecil dalam pembangunan

wilayah di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian dengan

menggunakan Kuosien Lokasi (LQ) sebagian besar kecamatan di Kabupaten

Wonosobo untuk industri kecil makanan, minuman, dan tembakau sebagai sektor

basis, sedangkan industri tekstil pakaian jadi dan kulit menjadi sektor basis ke

dua, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabot

(50)

Usya (2006) menganalisis struktur ekonomi dan identifikasi sektor

unggulan di Kabupaten Subang. Hasil penelitian dengan menggunakan metode

LQ terdapat 4 sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor bangunan/kontruksi,

sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa, dan 5 sektor non

basis yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan,

sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan pada analisis Shift Share menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan struktur ekonomi di Kabupaten

Subang selama tahun 1993-2003.

Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

kajian penelitiannya sangat mendalam dan fokus/menitikberatkan pembangunan

wilayah secara sektoral. Selain itu penelitian ini juga mengkaji sektor-sektor yang

ada di wilayah secara umum, dan disertai dengan strategi dan kebijakan yang

nyata untuk mencanangkan pembangunan wilayah dari berbagai sektor.

Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

(51)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Desentralisasi

Dalam waktu yang cukup lama sejak orde baru, Pemerintah Indonesia

telah tergiring untuk menjadikan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai

yang menjadi acuan dari seluruh kebijakan pemerintah. GBHN dan Repelita

sebagai instrumen utama dari penyelenggaraan Pemerintah orde baru dengan

syarat konsep dan rencana pembangunan. Namun kebijakan yang penuh dengan

sentralisasi telah mendorong bangsa ini ke jurang krisis moneter. Akibatnya

banyak Pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak bisa berbuat banyak terhadap

dampak tersebut. Ini disebabkan bahwa pemerintah pusat telah menggunakan

banyak waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang

sebenarnya sudah bisa diurus oleh pemerintah daerah.

Salah satu bentuk untuk mewujudkan pembangunan wilayah agar tidak

tersentralisasi adalah dengan konsep pembangunan yang penuh desentralisasi.

Desentralisasi sebagai wujud otonomi daerah telah melahirkan paradigma baru

pembangunan yang sebelumnya adalah sentralisasi. Di dalam konteks

desentralisasi, konsep pembangunan wilayah dinyatakan bahwa pemerintah

daerah diberikan wewenang secara penuh untuk mengembangkan dan mengelola

wilayahnya sendiri, berdasarkan potensi yang ada di masing-masing daerah.

Sehingga tugas dari pemerintah pusat tidak terbebani dalam mencanangkan

(52)

Prioritas pembangunan yang tepat berarti Pemerintah daerah telah

membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan potensi, kendala, dan kesempatan

yang dimiliki daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah

bersungguh-sungguh untuk membuat komitmen pembangunan yang sesuai dengan potensi

daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk mengidentifikasi

potensi-potensi yang dimiliki daerah, karena potensi-potensi tersebut sangat menentukan dalam

prioritas pembangunan. Potensi daerah dapat diwujudkan dalam bentuk

sektor-sektor yang ada di setiap wilayah. Salah satunya adalah sektor-sektor unggulan daerah.

Mengingat sektor unggulan memiliki perananan yang sangat penting dalam

memprioritaskan pembangunan. Dengan ditentukannya sektor unggulan maka

Pemerintah daerah dapat mengetahui setiap kondisi yang ada di daerahnya. Oleh

karena itu, sektor unggulan perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan

sebaik-baiknya. Selain itu sektor unggulan juga menjadi bagian penting di dalam basis

ekonomi.

3.1.2. Location Quotient (LQ)

Location Quotient (LQ) merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah sektor itu basis atau non basis. Jika LQ suatu sektor lebih dari satu maka

sektor tersebut merupakan sektor basis, tetapi jika LQ suatu sektor kurang dari

satu maka sektor itu termasuk sektor non basis. Penggunaan metode LQ dapat

dimodifikasi menjadi multiplier/efek pengganda pendapatan. Pada konsep

pengganda ekonomi basis menunjukkan bahwa perkembangan pendapatan/tenaga

kerja dalam wilayah, terjadi karena penggandaan (multifikasi) jumlah

pembelanjaan kembali pendapatan dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam

(53)

Metode ekonomi basis akan sangat baik untuk daerah yang belum

berkembang, kecil, dan tertutup. Semakin luas wilayahnya maka model ini akan

semakin kurang untuk diterapkan. Daerah yang belum berkembang adalah daerah

yang perekonomianya hanya terdiri dari beberapa sektor saja. Daerah kecil adalah

daerah yang cakupannya tidak lebih dari wilayah kabupaten, akan tetapi dapat

juga propinsi asal tidak terlalu luas. Daerah tertutup adalah daerah yang keluar

masuknya barang-barang atau jasa dapat diketahui, misalkan pulau. Selain itu,

dengan adanya sektor basis ini sektor tersebut dapat dijual ke luar daerah,

sehingga akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus

pendapatan dari luar daerah menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan

investasi daerah tersebut, dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan

kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tidak hanya menaikkan

permintaan terhadap sektor basis, tetapi juga menaikkan permintaan terhadap

sektor non basis.

Selain sektor unggulan sebagai basis ekonomi, hal yang perlu diperhatikan

di dalam sektor unggulan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun akan mengakibatkan penerimaan

daerah menjadi berkurang begitu juga sebaliknya. Akibatnya, Pemerintah daerah

menjadi tergantung kebutuhannya kepada daerah lain.

3.1.3. Analisis Shift Share

Dengan menggunakan analisis Shift Share (SS) tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diketahui. Penggunaan analisis ini akan sangat

bermanfaat bagi Pemerintah daerah untuk mengetahui besarnya tingkat

(54)

dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu

wilayah selama 2 periode waktu. Penerapan analisis Shift Share dapat dilakukan

di tingkat kabupaten, propinsi maupun nasional. Di tingkat kabupaten analisis

dapat dilakukan untuk melihat kecamatan-kecamatan apa saja yang memberikan

kontribusi pertumbuhan paling besar terhadap perekonomian kabupaten. Selain

itu, melalui analisis ini juga dapat diketahui sektor-sektor apa saja yang

mengalami perkembangan yang paling cepat di masing-masing wilayah

kecamatan. Di tingkat propinsi dapat diketahui kabupaten-kabupaten apa saja

beserta sektor-sektornya yang memberikan kontribusi paling besar terhadap

pertumbuhan ekonomi di tingkat propinsi. Sedangkan di tingkat nasional yang di

analisis adalah kontribusi pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia

terhadap pertumbuhan Indonesia.

Untuk itu agar program pembangunan wilayah dapat berjalan secara

optimal, maka diperlukannya strategi dan kebijakan yang tepat untuk menerapkan

pembangunan wilayah. Strategi dan kebijakan menjadi bagian penting untuk

dilaksanakan demi tercapainya pembangunan baik ditingkat lokal, regional dan

nasional. Sehingga pembangunan wilayah yang sesuai dengan sektor unggulan

daerah dapat tercapai.

3.2. Kerangka Operasional

Agar pembangunan wilayah dapat berjalan sesuai dengan rencana dan

harapan, maka Pemerintah pusat perlu memberikan kewenangan yang luas kepada

daerah. Salah satunya dengan konsep desentralisasi wilayah. Hal ini, sesuai

Gambar

Gambar 1. Model Analisis Shift Share.Sumber: Budiharsono, 2001
Gambar 2. Skema Kerangka Penelitian Operasional
Tabel 2. Penggunaan Metode Analisis Yang Digunakan
Tabel 5. Koefisien Pengganda Pendapatan Sektor Basis di Kabupaten
+4

Referensi

Dokumen terkait

dengan penjelasan yang benar dan tepat.. Berdoalah terlebih dahulu sebelum mengerjakan. Tidak diperkenankan bekerjasama dengan teman. Kerjakan dengan menggunakan bahasa, cara atau

Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1978-1985 di Perguruan SD Hang Kesturi, pendidikan SMP tahun 1985-1988 di Perguruan SMP Hang Kesturi, pendidikan SMA tahun 1988-1991

Pengujian kekerasan dilakukan menggunakan metode brinell untuk benda kerja sebelum di Flame hardening , sedangkan untuk benda kerja yang telah dilakukan proses

Gambar 3.8 Sarana Olahraga yang terdapat di Kelurahan Gebang Putih Sumber : Data primer berupa hasil survei, 2015. 3.1.7 RTH (Ruang

Uji anava pada taraf signifikansi 5% terhadap kuat tekan mortar dengan perbandingan semen dan pasir 1:3 menghasilkan nilai F hitung yang lebih kecil dari pada F

Terakhir, didapati bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat ketidakpastian (X1) dan konsep diri (X2) dengan tingkat kecemasan komunikasi (Y),

lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan dengan kondisi dan.. perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat pemasaran benih;

Gambut di areal penelitian merupakan gambut sangat dalam dengan ketebalan bervariasi mulai dari 7,2 meter sampai lebih dari 10 meter sehingga merupakan