• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

(Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)

SRI WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SRI WAHYUNI. Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa ( Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor). (Dibawah bimbingan SUMARDJO sebagai ketua komisi, dan HADIYANTO sebagai anggota).

Partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea sangat ditentukan oleh proses komunikasi yang terjadi dalam program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menjawab masalah penelitian berikut: (1) seberapa jauh telah terjadi partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa dan faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi tersebut, (2) seberapa tepat/efektifkah pola intervensi program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi, dan (3) bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat.

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa di kecamatan Ciampea Bogor, yakni desa Bojong Jengkol, Cinangka, dan Cibanteng. Penelitian ini menggunakan metode survai eksplanasi. Penentuan desa dan kelompok dilakukan secara purposive dan pengambilan sampel secara acak sederhana. Jumlah sampel 74 responden yang memperoleh bantuan program Raksa Desa tahap pertama Tahun 2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, karakteristik responden pada tiga desa memiliki pendidikan yang rendah, pengalaman usaha rendah, dan pendapatan yang rendah; kedua, pola intervensi pemerintah masih tinggi; ketiga, proses komunikasi yang terjadi masih top down; prasyarat partisipasi yang terdiri atas kesempatan, kemampuan dan kemaua n masih rendah; dan kelima, partisipasi anggota dalam program Raksa Desa masih rendah.

Pola intervensi yang cenderung melalui proses komunikasi linear (searah) cenderung tidak efektif mengembangkan prasyarat partisipasi (kesempatan, kemampuan dan kemauan) warga dalam program Raksa Desa. Akibatnya partisipasi masyarakat rendah, karena program tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa perlu ditempuh melalui proses komunikasi yang lebih interaktif dan konvergen.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan, pemerintah perlu menetapkan pendekatan partisipatif yang bertumpu pada kelompok masyarakat, dan perlu merubah paradigma komunikasi top-down ke bottom-up.

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh seorang penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, Mei 2006

(4)

© Hak Cipta milik Sri Wahyuni, Tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

(5)

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

(Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)

SRI WAHYUNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program

Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) Nama : Sri Wahyuni

NRP : P054030101

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui

Dr.Ir. Sumardjo, MS Ir. Hadiyanto, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr.Ir. Sumardjo, MS Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Penuh (Jambi) pada tanggal 17 September 1978, dari Ayah Syafri Salam dan Ibu Wahyu Liyalni. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Pada Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri I Sungai Penuh dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan Peternakan, Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB, Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Dosen Luar Biasa mata kuliah Ilmu Komunika si dan Dinamika Kelompok Tahun Ajaran 2002/2003 dan Tahun Ajaran 2003/2004, mata kuliah periklanan Tahun Ajaran 2005/2006. Pada Tahun 2004 penulis memperoleh kepercayaan sebagai Tim Penyusun TOR

(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Tinggi ilmunya dan Maha Mengetahui segala yang ada di bumi ini. Melalui penelitian ini penulis menyadari baru sebagian kecil ilmu Allah SWT yang penulis pelajari dan ketahui, penulis bersyukur dapat memberikan sedikit ilmu tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul “Proses Komunikasi dan Partisipasi Dalam Pemba ngunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)”.

Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis selama bulan Desember– Februari 2006, pada masyarakat penerima bantuan Program Raksa Desa.

Penulis menyadari bahwa sebelum dan sesudah penulis melakukan penelitian, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dengan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik.

Terima kas ih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Sumardjo, MS dan Ir. Hadiyanto, MS selaku pembimbing tesis, dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku penguji ujian tesis. Atas segala petunjuk, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penelitian dan penyusunan tesis ini dapat selesai dengan baik.

Dengan rasa hormat dan ungkapan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada Papa, Mama, Uni Laura dan Uda Roni, serta kakak iparku Ardizon dan Keponakanku Muhammad Rafi Muwaffaq atas segala kasih sayang, perhatian, motivasi dan doa -doanya. Terima kasih kepada keluarga besarku yang telah memberi dukungan moral dan materil kepada penulis.

Terima kasih kepada Kepala Desa Cinangka, Bojong Jengkol, dan Kepala Desa Cibanteng atas segala bantuannya saat penulis dilapangan. Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada teman seangkatan KMP 2003 atas segala kerjasama dan kekompakannya.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pembuat kebijakan pada khususnya.

Bogor, Mei 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 3

Tujuan Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA ProgramRaksa Desa ... 5

Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa ... 7

Satuan Pelaksana Desa ... 7

Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa... 9

Strategi dan Pendekatan Program raksa Desa ... 9

Proses Komunikasi... 10

Peranan Pemerintah dalam Pembangunan... 19

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan... 23

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran... 33

Hipotesis ... 36

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu... 37

Desain Penelitian... 37

Populasi dan Sampel ... 37

Data dan Instrumentasi... 38

Definisi Operasional... 38

Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 42

Pengumpulan data ... 42

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pelaksanaan Program Raksa Desa ... 43

Karakteristik Responden ... 50

Pola Intervensi Pemerintah... 52

Proses Komunikasi... 54

Prasyarat Partisipasi ... 56

Partisipasi Masyarakat... 57

Hubungan Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam program Raksa Desa ... 58

Hubungan Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa ... 59

Hubungan Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa ... 60

Hubungan Pola Intevensi dengan Proses Komunikasi... 61

Hubungan Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi ... 63

Hubungan Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa ... 65

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 67

Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA...69

(11)

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

(Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)

SRI WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

SRI WAHYUNI. Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa ( Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor). (Dibawah bimbingan SUMARDJO sebagai ketua komisi, dan HADIYANTO sebagai anggota).

Partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea sangat ditentukan oleh proses komunikasi yang terjadi dalam program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menjawab masalah penelitian berikut: (1) seberapa jauh telah terjadi partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa dan faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi tersebut, (2) seberapa tepat/efektifkah pola intervensi program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi, dan (3) bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat.

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa di kecamatan Ciampea Bogor, yakni desa Bojong Jengkol, Cinangka, dan Cibanteng. Penelitian ini menggunakan metode survai eksplanasi. Penentuan desa dan kelompok dilakukan secara purposive dan pengambilan sampel secara acak sederhana. Jumlah sampel 74 responden yang memperoleh bantuan program Raksa Desa tahap pertama Tahun 2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, karakteristik responden pada tiga desa memiliki pendidikan yang rendah, pengalaman usaha rendah, dan pendapatan yang rendah; kedua, pola intervensi pemerintah masih tinggi; ketiga, proses komunikasi yang terjadi masih top down; prasyarat partisipasi yang terdiri atas kesempatan, kemampuan dan kemaua n masih rendah; dan kelima, partisipasi anggota dalam program Raksa Desa masih rendah.

Pola intervensi yang cenderung melalui proses komunikasi linear (searah) cenderung tidak efektif mengembangkan prasyarat partisipasi (kesempatan, kemampuan dan kemauan) warga dalam program Raksa Desa. Akibatnya partisipasi masyarakat rendah, karena program tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program Raksa Desa perlu ditempuh melalui proses komunikasi yang lebih interaktif dan konvergen.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan, pemerintah perlu menetapkan pendekatan partisipatif yang bertumpu pada kelompok masyarakat, dan perlu merubah paradigma komunikasi top-down ke bottom-up.

(13)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh seorang penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, Mei 2006

(14)

© Hak Cipta milik Sri Wahyuni, Tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

(15)

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

(Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)

SRI WAHYUNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Kasus Program

Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) Nama : Sri Wahyuni

NRP : P054030101

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui

Dr.Ir. Sumardjo, MS Ir. Hadiyanto, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr.Ir. Sumardjo, MS Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Penuh (Jambi) pada tanggal 17 September 1978, dari Ayah Syafri Salam dan Ibu Wahyu Liyalni. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Pada Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri I Sungai Penuh dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan Peternakan, Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB, Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Dosen Luar Biasa mata kuliah Ilmu Komunika si dan Dinamika Kelompok Tahun Ajaran 2002/2003 dan Tahun Ajaran 2003/2004, mata kuliah periklanan Tahun Ajaran 2005/2006. Pada Tahun 2004 penulis memperoleh kepercayaan sebagai Tim Penyusun TOR

(18)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Tinggi ilmunya dan Maha Mengetahui segala yang ada di bumi ini. Melalui penelitian ini penulis menyadari baru sebagian kecil ilmu Allah SWT yang penulis pelajari dan ketahui, penulis bersyukur dapat memberikan sedikit ilmu tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul “Proses Komunikasi dan Partisipasi Dalam Pemba ngunan Masyarakat Desa (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor)”.

Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis selama bulan Desember– Februari 2006, pada masyarakat penerima bantuan Program Raksa Desa.

Penulis menyadari bahwa sebelum dan sesudah penulis melakukan penelitian, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dengan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik.

Terima kas ih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Sumardjo, MS dan Ir. Hadiyanto, MS selaku pembimbing tesis, dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku penguji ujian tesis. Atas segala petunjuk, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penelitian dan penyusunan tesis ini dapat selesai dengan baik.

Dengan rasa hormat dan ungkapan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada Papa, Mama, Uni Laura dan Uda Roni, serta kakak iparku Ardizon dan Keponakanku Muhammad Rafi Muwaffaq atas segala kasih sayang, perhatian, motivasi dan doa -doanya. Terima kasih kepada keluarga besarku yang telah memberi dukungan moral dan materil kepada penulis.

Terima kasih kepada Kepala Desa Cinangka, Bojong Jengkol, dan Kepala Desa Cibanteng atas segala bantuannya saat penulis dilapangan. Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada teman seangkatan KMP 2003 atas segala kerjasama dan kekompakannya.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan pembuat kebijakan pada khususnya.

Bogor, Mei 2006

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 3

Tujuan Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA ProgramRaksa Desa ... 5

Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa ... 7

Satuan Pelaksana Desa ... 7

Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa... 9

Strategi dan Pendekatan Program raksa Desa ... 9

Proses Komunikasi... 10

Peranan Pemerintah dalam Pembangunan... 19

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan... 23

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran... 33

Hipotesis ... 36

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu... 37

Desain Penelitian... 37

Populasi dan Sampel ... 37

Data dan Instrumentasi... 38

Definisi Operasional... 38

Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 42

Pengumpulan data ... 42

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pelaksanaan Program Raksa Desa ... 43

Karakteristik Responden ... 50

Pola Intervensi Pemerintah... 52

Proses Komunikasi... 54

Prasyarat Partisipasi ... 56

Partisipasi Masyarakat... 57

Hubungan Karakteristik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam program Raksa Desa ... 58

Hubungan Karakteristik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa ... 59

Hubungan Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam program Raksa Desa ... 60

Hubungan Pola Intevensi dengan Proses Komunikasi... 61

Hubungan Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi ... 63

Hubungan Prasyarat Partisipasi dengan Partisipasi Anggota dalam Program Raksa Desa ... 65

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 67

Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA...69

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom -up dalam

Pemba ngunan ... 21

2. Hasil Pembangunan Fisik Program Raksa Desa ... 45

3. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cibanteng... 46

4. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Bojong Jengkol ... 46

5. Hasil Swadaya Masyarakat Desa Cinangka ... 47

6. Jenis Usaha dan Jumlah Dana yang Disalurkan... 47

7. Perguliran Dana Tahap I... 48

8. Perguliran Dana Tahap II ... 49

9. Distribusi Karakteristik Anggota ... 50

10. Distribusi Pola Intervensi Pemerintah... 52

11. Distribusi Proses Komunikasi ... 54

12. Distribusi Prasyarat Partisipasi... 56

13. Distribusi Partisipasi Masyarakat... 57

14. Korelasi Rank Spearman antara Karakteritik Anggota dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa ... 58

15. Korelasi Rank Spearman antara Karakterisitik Anggota dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa ... 59

16. Korelasi Chi Square antara Pekerjaan Anggota dengan Proses Komunikasi dan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa ... 60

17. Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan Proses Komunikasi dalam Program Raksa Desa ... 61

11. Korelasi Rank Spearman antara Proses Komunikasi dengan Prasyarat Partisipasi dalam Program Raksa Desa ... 63

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Model Komunikasi Linear ... 11 2. Tangga Partisipasi Masyara kat dalam Program Pemerintah... 25 3. Siklus Partisipasi ... 28 4. Kerangka Pemikiran Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 72 2. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan

Proses Komunikasi... 74 3. Korelasi Rank Spearman antara Karakteristik Anggota dengan

Prasyarat Partisipasi... 75 4. Korelasi Rank Spearman antara Pola Intervensi dengan

Proses Komunikasi... 76 3. Korelasi Rank Spearman Proses Komunikasi dengan Prasyarat

Partisipasi... 77 4. Korelasi Rank Spearman antara Prasyarat Partisipasi dengan

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Program Raksa Desa merupakan salah satu upaya Pemerintah Propinsi Jawa Barat melaksanakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 2003 dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Program Raksa Desa memiliki tujuan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar masyarakat; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan; meningkatkan ketersediaan modal bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat; meningkatkan kinerja aparat desa/kelurahan; dan meningkatkan upaya pemerataan pembangunan antarwilayah di Jawa Barat.

Program tersebut ditujukan kepada desa-desa miskin di seluruh wilayah Jawa Barat, yaitu desa-desa yang berada pada tingkatan swadaya pe mula. Dalam pelaksanaan program ini diutamakan peran aktif dan partisipasi masyarakat desa yang dikoordinasikan oleh Satuan Pelaksana (Satlak) desa. Prinsip yang menjiwai program Raksa Desa adalah pengembangan partisipasi masyarakat secara intensif melalui pola padat karya dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur dan ekonomi modal bergulir. Penjiwaan ini sesuai dengan salah satu fungsi satlak desa, yaitu wadah partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan serta dapat menggali, memanfaatkan potensi, dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk pembangunan.

Satuan Pelaksana Desa bersama unsur masyarakat, kelompok masyarakat dan Tokoh Masyarakat melakukan musyawarah untuk mengidentifikasi potensi, diantaranya prioritas prasarana yang dibutuhkan, ketersediaan tenaga dan bahan setempat. Usulan tersebut dinila i kelayakannya oleh Satlak tingkat Kabupaten dengan dibantu oleh Sarjana Pendamping, untuk mengatur pelaksanaan pembangunan fisik dan pemba gian bantuan dana ekonomi bergulir.

(25)

rupiah), dengan alokasi 60 persen untuk ekonomi modal bergulir, dan 40 persen untuk pembangunan fisik.

Berdasarkan keputusan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dikemukakan bahwa pada tahun anggaran 2003/2004, telah ditunjuk penerima bantuan program Raksa Desa untuk Kabupaten Bogor sebanyak 30 desa di 6 kecamatan. Hasil evaluasi Tim Satuan Pelaksana Tingkat Kabupaten Bogor menunjukkkan bahwa diantara 6 kecamatan yang menerima bantuan program Raksa Desa, Kecamatan Ciampea mampu melaksanakan pembangunannya dengan swadaya masyarakat dan berhasil dalam kelancaran pengembalian dana ekonomi bergulir.

Gambaran Kecamatan Ciampea menunjukkan ba hwa partisipasi masyarakat lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Tumbuh dan berkembangnya program Raksa Desa diduga berhubungan dengan faktor (1) karakteristik anggota, (2) pola intervensi, (3) proses komunikasi, dan (4) prasyarat partisipasi. Karakteristik anggota, kepentingan, kebutuhan dan keyakinan tiap-tiap penerima bantuan mungkin berbeda. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi persepsi tentang program Raksa Desa. Pola intervensi yang dilakukan oleh Satuan Pelaksana sebagai suatu proses komunikasi dalam progam Raksa Desa masih dirasakan sangat tinggi dan hal ini dapat mempengaruhi partisipasi anggota. Koentjaraningrat (Sastropoetro, 1988) menyatakan bahwa program-program yang diturunkan dari atas (pemerintah) kadang-kadang tidak dipahami manfaatnya dan oleh masyarakat dianggap merupakan kewajiban rutin yang tidak bisa dihindarkan, sehingga tumbuhnya partisipasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Tujuan program Raksa Desa, bila ditinjau dari metode komunikasinya merupakan transformasi/aliran pesan solusi dari pemerintah melalui satlak ke masyarakat desa miskin. Kepala Desa sebagai ketua Satuan Pelaksana bersama-sama perangkat kader pembangunan desa (kader teknis) serta Tokoh Masyarakat dengan didampingi Sarjana Pendamping program Raksa Desa mengkomunikasikan untuk menyamakan persepsi program kepada masyarakat.

(26)

informasi program Raksa Desa, sehingga manfaat yang akan dite rima belum bisa dipahami. Hal tesebut diduga, Satuan Pelaksana Desa sebagai penanggung jawab pelaksanaan program belum ditempatkan sebagai sumber informasi.

Perumusan Masalah

Proses komunikasi dan partisipasi memegang peranan penting dalam pembangunan masyarakat desa, karena komunikasi dan partisipasi diperlukan mulai dari tahap perencanaa n, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Pola intervensi sebagai suatu pendekatan komunikasi turut mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat. Penelitian ini merumus kan masalah sebagai berikut:

1. Seberapa jauh telah terjadi partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa dan faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi tersebut? 2. Seberapa tepat/efektifkah pola intervens i Program Raksa Desa dalam

mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi?

3. Bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa melalui upaya komunikasi yang tepat?

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk dapat :

1. Mengetahui partisipasi masyarakat dalam Program Raksa Desa dan mengetahui faktor mana yang cenderung menentukan tingkat partisipasi masyarakat tersebut.

2. Mengetahui ketepatan/keefektifan pola in tervensi Program Raksa Desa dalam mengembangkan partisipasi melalui proses komunikasi.

(27)

Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, dan Pemerintah Desa dalam merancang Program Pembangunan Masyarakat Desa selanjutnya.

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Program Raksa Desa

Program Raksa Desa merupakan salah satu program pengembangan masyarakat desa dengan memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Penyusunan kriteria dan penentuan desa yang akan memperoleh bantuan guna pembangunan desa ditentukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, yang mana secara hierarkhi Pemerintah Daerah bekerjasama dengan kecamatan, desa dan RT/RW. Adapun kriteria desa yang memperoleh bantuan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut:

1. Desa miskin, yang ditentukan dengan banyaknya rumah tangga yang berstatus keluarga pra-sejahtera dan sejahtera 1.

2. Desa rawan air bersih, yang ditentukan dengan sumber air bersih bagi kegiatan rumah tangga yang dominan digunakan di desa tersebut (sungai, danau, air hujan, dan rawa).

3. Desa rawan infras truktur jalan, yang ditentukan dengan jenis lapisan jalan yang dominan terdapat di desa tersebut (kerikil, batu, dan tanah)

4. Desa rawan listrik, yang ditentukan oleh proporsi rumah tangga yang berlangganan listrik, baik PLN maupun Non PLN (kurang dari 50 persen). 5. Desa rawan sanitasi, yang ditentukan oleh jenis pembuangan air besar yang

dominan digunakan di desa tersebut ( sungai, danau)

6. Desa rawan prasarana pendidikan, yang ditentukan oleh proporsi bangunan Sekolah Dasar rusak berat (lebih dari 40 persen).

(29)

Tugas Pembantuan kepada Desa ini dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a Kebijakan dan program Raksa Desa ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi. b Dana program Raksa Desa bersifat specific grant dari Pemerintah Propinsi dan

penyaluran dana diberikan secara langsung kepada desa.

c Tenaga pendamping yaitu fasilitator kecamatan ditetapkan dan didanai oleh Pemerintah Propinsi melalui Satuan Pelaksana Kecamatan.

d Penentuan jenis kegiatan serta pelaksanaannya diselenggarakan oleh desa dengan membentuk kelompok kerja sesuai dengan garis kebijakan Propinsi Jawa Barat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa yang secara teknis diusulkan oleh desa kepada Satuan Pelaksana Kecamatan.

e Pelaporan dan pertanggungjawaban dilakukan oleh desa dan disampaikan secara berjenjang kepada Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi Jawa Barat. f Pemantauan dan pengawasan kegiatan dilakukan oleh Satuan Pelaksana

Tingkat Propinsi bekerjasama dengan Satuan Pelaksana Kabupaten/Kota yang secara operasional dikendalikan dan dikoordinasikan oleh Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota.

g Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif, transparansi dan partisipatif.

h Hasil kegiatan dapat dilestarikan dan dikembangkan baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat di kemudian hari.

Pelaksanaan Program Raksa Desa sangat mengutamakan partisipasi masyarakat desa penerima bantuan melalui Satuan Pelaksana (Satlak) Desa dengan pendekatan-pendekatan sebagai berik ut:

1. Mengembangkan peran serta masyarakat melalui pola padat karya dengan memberikan insentif untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai persyaratan teknis.

(30)

Bantuan Program Raksa Desa diberikan dalam bentuk pagu sebesar Rp 100 juta/desa, masing-masing 40 persen untuk perbaikan infrastruktur dan 60 persen untuk perguliran ekonomi yang disalurkan secara langsung ke rekening desa di Bank Jabar. Kepala Desa sebagai Ketua Satuan Pelaksana yang didampingi pengurus lainnya harus mengadakan pertemuan dengan melibatkan unsur masyarakat seperti kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut:

1. Memberikan informasi bantuan Program Raksa Desa kepada masyarakat. 2. Melakukan musyawarah desa untuk mengusulkan prioritas pembangunan

infrastruktur dan penentuan prioritas penerima bantuan dana perguliran.

Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa

Maksud Pemerintah Propinsi menyelenggarakan Program Raksa Desa adalah untuk mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dengan memberdayakan Pemerintah dan Masyarakat Desa dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun tujuan yang hendak dicapai dari terselenggaranya Program Raksa Desa adalah;

a. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar masyarakat.

b. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar. c. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan. d. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan.

e. Meningkatnya ketersediaan permodalan bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat.

f. Meningkatnya kinerja Aparat Desa/Kelurahan.

g. Meningkatnya upaya pemerataan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat.

Satuan Pelaksana Desa

(31)

kerja pada setiap tingkatan, yakni Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Tingkat Desa. Adapun untuk penyelenggaraan di tingkat Desa, maka Satuan Pelaksana Desa yang diketuai oleh Kepala Desa bertanggung jawab terhadap Program Raksa Desa. Sesuai petunjuk teknis Program Raksa Desa (2003) diuraikan tugas pokok dan fungsi Satuan Pelaksana Desa sebagai berikut: 1. Menyebarluaskan informasi tentang kegiatan Program Raksa Desa kepada

masyarakat di desa.

2. Menyelenggarakan musyawarah Desa ke I dan Ke II.

3. Menampung usulan kegiatan dan usulan penerima bantuan permodalan. 4. Bersama masyarakat menentukan prioritas rencana kegiatan dan penerima

bantuan.

5. Melaksanakan kegiatan program (permodalan untuk pemanfaatan bantuan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar).

6. Melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan.

7. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan pencairan dana triwulan kepada Satuan Pelaksana Kecamatan dan dapat mengirimkan secara langsung kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Camat.

Adapun tugas dan tanggung jawab Sarjana Pendamping yaitu:

1. Memberi pengertian dan informasi tentang konsep Program Raksa Desa kepada Desa melalui Forum Musyawarah Desa.

2. Memandu pelaksanaan Forum Musyawarah Desa ke I dan ke II.

3. Membantu Satuan Pelaksana Desa untuk menampung usulan-usulan kegiatan dari Tingkat RW/Dusun.

4. Membantu penyusunan rencana kegiatan dan rencana pelaksanaan. 5. Memberikan bimbingan teknis kepada Satuan Pelaksana Desa. 6. Melaksanakan pemantauan dan pengendalian.

(32)

Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa

Diseminasi dan sosialisasi Program Raksa Desa dilakukan secara berjenjang yaitu: Sosialisasi di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan sosialisasi di tingkat Desa, serta pelatihan bagi Satuan Pelaksana Kecamatan dan Satuan Pelaksana Desa.

Penyebaran informasi Program Raksa Desa dilakukan melalui:

1. Berbagai forum musyawarah dan kegiatan kemasyarakatan antara lain kelompok pengajian, lembaga keagamaan lainnya, dan pemanfaatan papan pengumuman.

2. Media massa, penyebarluasan informasi dilakukan juga oleh Pemerintah Daerah melalui media massa elektronik dan cetak untuk diketahui oleh masyarakat luas.

Strategi dan Pendekatan Program Raksa Desa

Basis pembangunan nasional adalah pembangunan masyarakat Desa. Berdasarkan basis tersebut Pemerintah Jawa Barat menyadari pentingnya pembangunan masyarakat desa, sebagai langkah tepat dalam meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan mencapai angka 80 pada tahun 2010 sesuai dengan visi dan misi Jawa Barat pada umumnya. Posisi demikian, upaya memerankan desa dalam tugas pembantuan sesuai dengan paradigma perencanaan pembangunan yang mengutamakan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif ini diharapkan terjadi pelaksanaan pembangunan yang sinergis, efisien dan efektif serta meningkatkan iklim demokrasi pemerintahan dan pembangunan (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003).

Adapun strategi yang diterapkan oleh Pemerintah Jawa Barat yakni; 1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa, partisipa si masyarakat serta

transparansi.

2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan organisasi yang berakar pada masyarakat desa.

3. Menjalin sinergi pembangunan desa dalam konteks kewilayahan.

4. Mendorong tumbuhnya kesetiakawanan sosial dalam pembangunan desa. 5. Meningkatkan kontrol sosial masyarakat terhadap program-program

(33)

Pendekatan pelaksanaan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada

kelompok masyarakat (Community Based Development).

2. Perencanaan prioritas kegiatan sepenuhnya diserahkan pada musyawarah masyarakat desa.

3. Pemberian kredit permodalan bagi masyarakat/kelompok masyarakat yang berusaha dalam skala mikro dan usaha kecil.

4. Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat mengungkit secara signifikan tingkat ekonomi masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada pelayanan kesehatan, pendidikan dasar serta sumberdaya ekonomi.

Proses Komunikasi

Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan ransangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada mode l ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan inte rpretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dalam

(34)

Sumber Pesan Saluran Penerima

Gambar 1. Model Komunikasi Linear

Gambar ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih.

(35)

Model ziczac menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tanda-tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah memahami apa yaang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.

Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikan pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pela ku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehenda ki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektifitas komunikasi

(36)

(a) Sumber - encoder

Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon (encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication skills) secara lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikan.

Menurut Berlo (1960) terdapat lima keterampilan komunika si verbal yaitu

menulis, dan berbicara (keterampilan meng -encoding), keterampilan membaca, dan mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran atau pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling penting di dalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.

Sikap komunikator (attitude), Sikap seorang komunikator yang bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi efektifitas komunikasi. Menurut Berlo (1960), sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication?

(37)

penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan itu sesuai kebutuhan mereka.

Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut Robbins (2001) adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan. Saling keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari suatu sikap yaitu: (1) pengertian (understanding), (2) keharusan (affection), dan (3) perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap (attitude) pada hakekatnya merujuk ke bagian afektif dari tiga komponen tersebut.

Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robbins dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan Berlo, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada komponen perilaku (behavior ) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi, istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya.

Tingkat pengetahuan (knowledge ). Seorang komunikator harus memiliki tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia kredibel dimata khalayaknya. Menurut Aristoteles dalam Cangara (2000), seorang komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos.

(38)

(tingkat pengetahuan terhadap materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apakah hal-hal yang disampaikan itu memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru membosankan.

Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikannya. Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami sistem sosial budaya komunikannya.

(b) Pesan

Berlo (1960) menegaskan pesan adalah sebagian produk fisik aktual (actual physical product) dari komunikator -komunikan. Ketika seseorang berpidato, menulis, menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya merupakan pesan.

Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan perlakukan pesan. Ketiga faktor tersebut ditinjau dari elemen dan struktur dari masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakukan pesan).

Eleme n dan struktur pesan. Struktur pesan merupakan gabungan dari elemen-elemen pesan. Misalnya kita menulis sebuah kata Buku maka Buku merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf b,u, k dan u. Hal yang penting diketahui dalam komunikasi adala h perbedaan antara bentuk (struktur) dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur).

(39)

bukanlah kode (Berlo, 1960 dalam Cangara, 2000). Lampu pengatur lalu lintas (Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode bagi pemakai jalan.

Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3) metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih. Tujuan pemilihan tersebut adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi.

Isi pesan. Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Yang termasuk isi pesan adalah pernyataan/pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan yang kita buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan.

Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu perlakuan pada pesan adalah kepribadian, karakter individu, keterampilan, sikap, pengetahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan. Berlo menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dll. Kemudian menganalisis pesan yang disampaikan dari segi kode, isi dan perlakuan pesan. Jadi karakter individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan.

(c) Saluran (channel)

Saluran komunikasi adalah alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator ke komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran komunikasi atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal. Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkinkan pencapaia n komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batas waktu dan ruang seperti radio, televisi, koran dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator dan komunikan.

(40)

komunikator yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem sosial komunikan.

Penentuan dan penggunaan saluran komunikan yang tepat sangatlah penting di dalam proses penyampaian informasi. Saluran komunikasi media massa lebih efektif digunakan pada tahap pengenalan suatu ide/teknologi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk menyampaikan informasi/pengetahuan (knowledge) kepada khalayak dalam jumlah yang besar. Sedangkan saluran komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi, sehingga saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran tersebut pada da mpak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan dan perubahan sikap dan rendah pada kognitif. Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience).

Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi (1986) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang peranan penting dalam tahap pengenalan suatu ide/teknologi, terutama saluran interpersonal kosmopolit. Hal tersebut menurut Hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikasi di wilayah perdesaan, (2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4) mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai media informasi.

(d) Komunikan

(41)

Komunikasi dalam studi komunikasi bisa be rupa individu, kelompok dan masyarakat (Cangara, 2000). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khalayaknya.

Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang perlu diketahui komunikator te ntang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil psikologi, dan aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodemografik antara lain adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti: emosi (bagaimana temperamennya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus terang atau tidak.

Terlepas dari hal itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya komunikan. Sama halnya dengan komunikator seperti penjelasan sebelumnya.

Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang manfaat program yang diintroduksikan pada individu bersangkutan.

Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan oleh karakteristik individu yang memberikan respon pada stimuli tersebut (Rakhmat, 2000)

(42)

mengatakan orang yang berpendidikan tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi di dalam pembangunan, karena dengan berpendidikan tinggi ia mampu menganalisa serta aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Soemantri (1998) menjelaskan bahwa intensitas komunikasi berpengaruh pada perilaku petani, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka semakin tinggi partisipasinya.

Peranan Pemerintah dalam Pembangunan

Di kebanyakan negara di Dunia Ketiga, Birokrasi pemerintahan merupakan suatu alat pembangunan yang paling dominan peranannya (Effendi, dalam Percikan Pemikiran Fisipol UGM tentang Pembangunan 1990). Dominasi birokrasi ini terjadi bukan semata-mata karena kelemahan sektor swasta dan preferensi ideologi di negara -negara tadi, tetapi lebih karena luasnya jangkauan birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi memiliki fungsi integratif yang sangat besar.

Sulit dan kompleknya peranan birokrasi di negara dunia ketiga diantaranya disebabkan karena birokrasi di negara dunia ketiga tidak hanya berfungsi untuk menjaga, mengatur serta mempeluas infrastruktur sosial bagi masing-masing masyarakat, tetapi juga bertugas untuk melaksanakan keputusan pimpinan politik, yang praktis harus dimulai dari menyusun rencana, melaksanakannya sampai dengan memelihara segala program pembangunan.

Keberhasilan pembangunan tergantung pada kemampuan birokrasi, sementara dipihak lain proses pembangunan juga menentukan corak perkembangan birokrasi, dalam arti semakin cepat gerakan roda pembangunan, maka semakin besar pula peran birokrasi tersebut. Pentingnya birokrasi dalam pembangunan ini juga dikemukakan oleh Moelyarto (1987) dengan mengajukan premis dalam makalahnya yang berjudul Budaya Birokrasi dalam Kontek Tranformasi Struktural antara harapan dan Kenyataan, antara lain menyebutkan birokrasi menduduki posisi strategis instrumental untuk mewujudkan pembangunan suatu negara, value premis ini disimpulkan, bahwa secara normatif, semua elemen birokrasi, seperti struktur dan kultur birokrasi, complience system,

(43)

sosok dari elemen-elemen birokrasi tadi seharusnya juga merefleksikan perubahan tadi. Birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk mencapai pertumbuhaan ekonomi setinggi-tingginya, misalnya seharusnya mempunyai karakteristik lain dari birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk mengemban tugas untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia.

Posisi dominan yang dimiliki oleh birokrasi tersebut makin memperoleh justifikasi, apabila dihubungkaan dengan konteks sosio-kultural dan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Karakteristik dunia ketiga yang disamakan dengan kemiskinan merupakan salah satu faktor yang memandang birokrasi untuk tampil sebagai pelopor pembangunan (Ndraha, 1987). Kemiskinan, kemelaratan dan sebagainya tentu saja sangat menurunkan semangat dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan, maka pada fase awal, prakarsa pembangunan hanya diharapkan dan agen organisasi ya ng menonjol, hal ini dimungkinkan karena bir okrasi mempunyai kewenangan dalam hal dana, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya. Didorong oleh realitas interaksi semacam ini, maka strategi ”Top Down” dalam pelaksanaan pembangunan yang sering juga disebut dengan pendekatan birokratis, dapat berlangsung terus, dan lama kelamaan prakarsa pemerintah dalam pembangunan menjadi suatu pola dan kemudian melembaga sebagai sistem.

Aplikasi model-model tersebut diatas tidak jarang menghasilkan program-program pembangunan yang bukan hanya mengabaikan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi yang terpusat, yang memiliki absorbsi sumber daya yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kepekaan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan lokal.

Terdapat tiga karakteristik utama peranan birokrasi dalam setiap strategi pembangunan seperti dikemukakan Korten (1985), dalam Moelyarto (1987) yaitu: pertama, dalam strategi pertumbuhan, birokrasi berperanan sebagai entrepreneur, kedua, dalam strategic basic needs, birokrasi berperanan sebagai service provider

dan yang ketiga, dalam strategic people centered, birokrasi berperanan sebagai

(44)

Sebagai entrepreneur, birokrasi tampil dalam proses pembangunan dengan menerapkan blue-print approach dan top-down, serta merumuskan proyek yang bersifat stereotip dan seragam. Ini dapat dilihat dalam aplikasi model pembangunan dalam P elita I dan II, yang terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan eknomi, hal ini memang merupakan suatu keuntungan dari penerapan pendekatan ”atas- bawah” dalam pelaksanaan pembangunan.

[image:44.612.127.511.460.652.2]

Dalam penerapan pendekatan atas bawah posisi birokrasi begitu kuat dan dominan, karena dia berperan sebagai ”agen tunggal” yang ditangannya terkonsentrasi kekuasaan di dalam mengelola pembangunan, kekuatan diluar birokrasi dipandang rendah, sehingga tidak dapat diharapkan peran sertanya dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan masyarakat kurang mempunyai ”rasa memiliki” dan menjadi terasing terhadap suatu proyek yang sebetulnya diperuntukkan bagi mereka sendiri. Proyek tersebut menjadi proyek pemerintah, sehingga proyek berakhir bersamaan dengan berakhirnya campur tangan birokrasi. Dalam peranannya sebagai entrepreneur ini, birokrasi mengabaikan pembentukkan kemampuan dan proses pembinaan konstitusi, sehingga akan membahayakan kemampuan masyarakat untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Untuk lebih jelasnya akan terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom-up dalam Pembangunan

Pendekatan Ciri-ciri AtasBawah, Cetak biru Top

-Down; Blue Print

Pengelolaan sumberdaya yang bertumpu pada masyarakat 1. Ciri Khas Segala sumber disediakan

birokrasi

Sumber-sumber pemacu adalah sumber lokal yang diarahkan sendiri 2. Keterandalan Manakala ada sumber pusat

yang melimpah dan tidak ada sumber daerah yang

menganggur

Sumber pusat yang tidak memadai. Sumber daerah tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Pembangunan kemampuan lokal untuk ketahanan dan kepercayaan diri.

3. Keuntungan Cepat dan mudah Pemanfaatan daerah sepenuhnya 4. Kerugian Menciptakan ketergantungan

program pembangunan sosial berakhir

Sulit dimulai, lamban dan sulit mengelolanya

5. Prioritas Infrastruktur sistem diberikan pusat sumber -sumber potensial diekplorasi birokrasi pusat

Pengikisan kemiskinan. Sumber-sumber dikerahkan masyarakat lokal

(45)

Tidak jauh berbeda dengan peranan khas yang ditampilkan birokrasi sebagai entrepreneur dalam proses pembangunan masyarakat, maka dalam penampilannya sebagai service provider, birokrasi tetap sebagai penentu dalam menciptakan fasilitas-fasilitas sosial bagi masyarakat secara seragam dan kurang memberi peluang bagi pemanfaatan sumber daya lokal dalam pelaksanaan program-programnya, masyarakat hanya diharapkan menerima secara pasif pelayanan apapun yang diberikan oleh birokr asi pemerintah sesuai dengan kebijaksanaan mereka, dengan cara, waktu dan tempat yang ditentukan oleh birokrasi (Korten, 1985). Masyarakat dipandang tidak memiliki pendapat dan aspirasi sendiri, tidak berpengalaman dalam pembangunan, hanya sebagai energi dan bukan sebagai sumber informasi yang penting bagi keberhasilan pembangunan sehingga tidak menciptakan partisipasi masyarakat dan menghambat timbulnya suatu self sustaining development dalam pembangunan desa. Dengan peranan yang demikian itu, tidak jarang pengabaian birokrasi terhadap potensialitas partisipasi dan kontribusi masyarakat terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosia l akan membatasi kemampuannya untuk menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial.

Peranan birokrasi baik sebagai entrepreneur maupun service provider

ternyata kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mandiri dalam mengelola pembangunannya, untuk mengatasi kelemahan tersebut Korten (1985) mengemukakan suatu alternatif strategi pembanguna n dan peranan birokrasi yang khas, yaitu pembangunaan yang berpusat pada manusia (people centered development), yang tidak hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga mengembangkan secara lebih baik kualitas hidup masyarakat, serta memungkinkan berkurangnya ketergantungan masyarakat pada birokrasi yang lebih menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat dalam pembangunan.

(46)

program-programnya dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat dalam proses pembangunan.

Korten menyebut jenis manajemen atau administrasi yang cocok dalam rangka pelaksanaan model pembangunan dengan community based resource. Manajemen dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Secara bertahap pr akarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri.

2. Kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada harus ditingkatkan.

3. Memperhatikan variasi lokal

4. Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas

5. Membentuk net-working antara birokrasi dan lembaga -lembaga masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka peranan birokrasi sebagai fasilitator atau enabler dipandang sebagai peranan yang lebih menentukan pencapaian tujuan, karena sebagai fasilitator, birokrasi melaksanakan perencanaan bersama dengan masyarakat, dan menempatkan masyarakat sebagai partner yang memungkinkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan, sehingga menimbulkan rasa memiliki, ini berarti peranan birokrasi sebagai fasilitator memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pembangunan dengan cara: pertama, kemampuan memberi dukungan atau support, kedua komitmen terhadap program pembangunan, dan ketiga kepekaan terhadap aspirasi masyarakat.

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

(47)

akhir tahun 1970-an, mendefinisikan partisipasi sebagai ”upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu” (Stiefel dan Wolfe:1994:5 dalam Gaventa dan Valderrama, 2001).

Gaventa dan Valderrama (2001) mengatakan bahwa belakangan ini, definisi partisipasi dalam pembangunan sering ditemukaan dalam proyek dan program pembangunan, sebagai sarana penguatan relevansi, kualitas serta kesinambungannya. Dalam sebuah pernyataan yang berpengaruh, kelompok kajian Bank Dunia mengenai partisipasi mendefinisikan ”partisipasi sebagai proses dimana pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang berdampak pada mereka”. Dari sudut pandang ini, partisipasi dapat dilihat pada tatanan konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek, dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Walaupun proyek partisipasi itu bisa saja didanai oleh negara, partisipasi didalamnya dipandang tidak terkait pada masalah-masalah politik atau pemerintahan yang lebih luas, namun sebagai cara untuk mendorong tindakan di luar lingkup pemerintah. Lagi pula, fokusnya lebih pada partisipasi langsung para pemilik kepentingan utama, dan bukan pada partisipasi tak langsung melalui para wakil yang dipilih.

(48)

Pengawasan oleh warga

Pendelegasian kekuasaan Kekuasaan Warga

Kemitraan

Konsultasi

Menginformasikan Tokenisme

Penentraman

[image:48.612.138.495.86.362.2]

Manipulasi Tidak ada partisipasi

Gambar 2: Tangga partisipasi masyarakat dalam program pemerintah. (Sumber. Gaventa dan Valderrama, Mewujudkan Partisipasi, The British Council, Jakarta)

Tangga partisipasi diatas membantu kita memahami apa yang dimaksud oleh seseorang saat mereka berbicara mengenai “partisipasi” atau “keterlibatan”. Empat tangga dari bawah mengindikasikan besarnya intervensi pemerintah. Pada tangga manipulasi tergambar bahwa tidak ada partisipasi. Pada tangga konsultasi, menginformasikan dan pene ntraman menggambarkan terjadinya tokenisme, artinya kebijakan sekedarnya yang berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian tujuan.

(49)

masyarakatlah yang ikut serta pada kegiatan ”orang luar”. Artinya, program bukan dirancang oleh orang luar kemudian masyarakat diminta ikut melaksanakan, tetapi program dirancang oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar. Aktivitas pembangunan selalu menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Yusri (1993) mengemukakan keberhasilan aparatur pemerintah dalam menghidupkan partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh nilai efektivitas kepemimpinan aparatur pe merintah tersebut. Makin tinggi nilai efektivitasnya, akan besar pula peranannya dalam pembangunan. Hal ini dapat ditafsirkan, bahwa aparatur pemerintah/kepala desa dapat memikirkan peranannya yang lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan yang sudah mendapat simpati masyarakatnya dengan melekatkan simpati mereka. Kemampuan yang tinggi akan tercapai efektivitas yang tinggi pula. Kebijaksanaan dan kemampuan serta keterampilan kepala desa menjadi pokok masalah dalam hubungan kerja sama dalam pemba ngunan yang menjadi kunci keberhasilan-keberhasilan dalam menghidupkan partisipasi masyarakat, sebab efektivitas itu suatu bentuk perpaduan nilai.

Konteks yang sangat luas pengertian partisipasi dapat diacu dari pendapat Davis dalam Huneryager (1992) yang memberikan definisi partisipasi sebagai berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group

(50)

tidak melakukan partisipasi, maka apa yang sebenarnya terjadi adalah mobilisasi, atau istilah populernya partisipasi yang digerakkan.

Perserikatan Bangsa -Bangsa memberikan definisi partisipasi masyarakat apabila dikaitkan dengan pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela, dan (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto (1988) memberikan pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program-program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri mereka sendiri.

Sementara itu Nasikun (1990) mendefinisikan partisipasi menjadi empat tingkat konseptualis. Pertama , partisipasi pertama-tama harus mengandung arti keterlibatan didalam proses pengambilan keputusan-keputusan kebijakan pembangunan. Kedua, berkaitan erat dengan bentuk partisipasi yang pertama, tetapi pengungkapannya terjadi di dalam proses perkembangan program dimana penduduk lapisan miskin ditempatkaan sebagai konsumen utama dari program-program pembangunaan pedesaan. Ketiga, lapisan penduduk miskin dilihat sebagai konstituen program-program pembangunan yang secara politik tidak berdaya, dan oleh karena itu membutuhkan stimulasi dan dukungan, dan akhirnya penduduk mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Keempat, menuntut keterlibatan penduduk miskin di dalam pekerjaan-pekerjaan yang disediakan masyarakat.

(51)
[image:51.612.132.501.91.189.2]

Gambar 3. Siklus Partisipasi

Cohen dan Uphoff (1979) dari gambar di atas mendefinisikan empat jenis, dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil, serta yang perlu ditambahkan partisipasi dalam evaluasi. Salah satu syarat yang diajukan Cohen dan Uphoff adalah ”empowerment” Efektivitas keikutsertaan warga masyarakat sangat ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang dipunyainya.

Pembuatan keputusan secara lebih spesifik dalam partisipasi ini berpusat pada pengumpulan gagasan, perumusan pilihan-pilihan (option), evaluasi pilihan, tindakan memilih, dan merumuskan strategi untuk melakukan pilihan terhadap dampak yang timbul. Dalam hal ini dikenal tiga macam tipe keputusan: (1) initial decisions, (2) on going decisions, dan (3) operational decisions.

Implementasi, untuk berperan serta dalam aspek ini dalam satu program dapat dilakukan melalui tiga cara yakni: (1) kontribusi sumber daya (recource contributions), (2) usaha -usaha administrasi dan koordinasi, (3) terlibat dalam program (programme enlisment activities).

Benefit, terlibat dalam suatu program sedikitnya dapat menarik tiga macam keuntungan: (1) material, (2) sosial, dan (3) personal. Keuntungan material yaitu keuntungan untuk memenuhi kebutuhaan pokok individual. Keuntungan sosial yaitu, keuntungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Keuntungan personal biasanya berkaitan dengan keinginan yang bersifat individual dengan melibatkan diri dalam suatu kelompok/organisasi yang memiliki kekuasaan maupun sosial dalam suatu program.

Evaluasi, untuk berperan serta dalam evaluasi program dapat dilakukan melalui dua kegiatan pokok yakni: (1) evaluasi formal terhadap proyek, (2)

(1) Decision Making

(2) Implementation

(3) Benefit

(52)

pendapat umum. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan lokal begitu mencuat, model pembangunannya menekankan pada pelaksanaan implementasi program-program dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat tidak hanya orang dipengaruhi dan dikenai pembangunan saja yang menyukai partisipasi, akan tetapi juga para perencana pembangunan (birokrat pemerintah) menginginkan agar rakyat berpartisipasi bukan hanya karena agar bisa menyumba ngkan peran aktifnya dalam setiap langkah dari proses pembangunan ini, tetapi mulai dari pelaksanaan sampai ke monitoringnya (Morss, 1976 dalam Thoha, 1987).

Adapun keuntungan yang diperoleh dengan adanya partisipasi dalam pelaksanaan-pelaksanaan program pembangunan ini antara lain sebagai berikut: 1. Banyak proyek pembangunan tidak bisa keluar dari lilitan persoalan, jika

rakyat yang dikenai proyek tidak terlibat. Sumber daya lokal merupakan sumber daya yang mengetahui kondisi dan potensi daerah. Jika timbul masalah hanya orang-orang lokal yang memahaminya.

2. Dengan partisipasi, planner dilengkapi dengan informasi amat berharga, yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Dengan kata lain, partisipasi informasi yang sangat berharga akan diperoleh planner dan para birokrat, sedangkan cara -cara lain barangkali tidak seberharga partispasi,

3. Rakyat akan sangat menerima perubahan yang diadakan jika mereka diajak berperan serta di dalam merancang, mengkonstruksi, melaksanakan, sampai pada saat mengevaluasi.

(53)

Campur tangan birokrasi lokal yang tampil sebagai mesin utama pemerintahan dan pembangunan yang sangat dominan dalam keseluruhan proses pembangunan yang akan dilaksanakan tentunya telah merosotkan arti partisipasi, sebaliknya pendekatan pengelolaan yang bertumpu pada masyarakat sebagai derivasi pembangunan yang terpusat pada manusia, sangat memungkinkan adanya partisipasi yang tidak dimobilisasi yang mengakibatkan re-orientasi birokrasi pemerintah secara mendasar ke arah keterkaitan yang lebih efektif dengan komunitas. Menurut Pretty (1994) dalam Swanson et a l. (1997) tipologi partisipasi dalam program pemerintah terdiri atas: (1) partisipasi pasif, (2) partisipasi informatif, (3) partisipasi konsultatif, (4) partisipasi insentif, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi mandiri.

Partisipasi pasif memiliki karakterisitik yaitu: (a) masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi, (b) pengumuman sepihak oleh pelaksana program tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat sasaran, (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Partisipasi informatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, (b) masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian proyek, dan (c) akurasi hasil penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Partisipasi konsultatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, (b) orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dan memecahkannya, (c) tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, dan (d) para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat untuk ditindaklanjuti.

(54)

tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Partisipasi interaktif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berperan dalam analisis

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Pendekatan  Top-down dan  Bottom-up dalam Pembangunan
Gambar 2:  Tangga partisipasi masyarakat dalam  program pemerintah. (Sumber.           Gaventa  dan Valderrama, Mewujudkan Partisipasi,   The  British                     Council, Jakarta)
Gambar 3.  Siklus Partisipasi
Gambar 4.  Kerangka Pemikiran Proses Komunikasi dan Partisipasi dalam          Pembangunan Masyarakat Desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi cendawan dari tanah perakaran bambu yang dapat sebagai endofit dan menekan penyakit akar gada pada tanaman brokoli.. Ada dua

Peneliti telah berusaha semaksimal mungkin mencurahkan segenap kemampuan dan kesabarannya untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Keterampilan Dasar

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau

berdasarkan hasil evaluasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan SKAU Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak

Pelaksanaan kebijakan pajak ekspor menyebabkan kurva penawaran di pasar dunia bergeser dari ES ke ES t , yang diakibatkan oleh menurunnya jumlah ekspor negara A ke pasar dunia yaitu

kekurangan dana. Anggota kemudian meminta pada BMT agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat barang diterima. Harga jual pada

Tidak hanya dalam penampilan fisik wayang gemblung saja yang mengandung makna dari setiap bentuknya, namun makna yang terkandung dalam wayang gemblung semakin terasa fungsinya,

Pada tahap awal Define peneliti menganalisis kebutuhan siswa untuk mengidentifikasi masalah Selanjutnya pada tahapan Design, yaitu menyiapkan dan merancang bahan ajar