• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab-i-analisis-semiotik-citra-perempuan-dalam-film-perempuan-berkalung-sorban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bab-i-analisis-semiotik-citra-perempuan-dalam-film-perempuan-berkalung-sorban"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula (Bungin, 2006:72). Informasi yang disebarkan secara massal dan dapat ditangkap oleh masyarakat secara massal memberikan kemudahan dalam mengkonsumsi media, sehingga media menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Tanpa media dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia yang sangat butuh akan informasi. Dewasa ini, media massa menjadi kebutuhan bagi manusia.

Adanya media massa, seseorang dapat mengetahui informasi dari belahan dunia meski jaraknya sangat jauh. Dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, Burhan Bungin (2006:86) menjelaskan sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.

(2)

(massa). Media massa mampu mengubah kebudayaan dengan budaya baru dan media massa juga mampu mencegah berkembangnya budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya yang sudah ada dengan membentuk pola pikir

masyarakatnya.

Media sebagai sebuah sistem komunikasi manusia telah kian penting di dunia di mana meminjam istilah C. Wright Mills – penglaman primer telah digantikan oleh komunikasi sekunder, seperti media cetak, radio, televisi, dan film. Media telah memainkan peran penting dalam merombak tatanan sosial menjadi masyarakat serba massal. Lebih dari itu, menurut Mills, media juga kian penting sebagai alat kekuasaan kaum elite. Media tidak hanya menyaring

pengalaman eksternal manusia, melainkan bahkan ikut membentuk pengalaman itu sendiri. Media memberi tahu kita tentang apa atau siapa diri kita, harus menjadi apa diri kita nanti, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita

menampilkan diri kepada orang lain. Media menyajikan aneka informasi tentang dunia. Namun karena media menyajikannya dalam bahasa, stereotype dan harapannya sendiri, media sering membuat manusia frustasi dalam upayanya mengaitkan hubungan pribadinya dengan kenyataan dunia di sekelilingnya. Manusia kian tergantung pada media untuk memperoleh informasi dan kian rapuh terhadap manipulasi dan eksploitasi kalangan tertentu di masyarakat yang

menguasai media (Rivers dan Jensen, 2003:321-322).

(3)

kekuatan dalam memperkenalkan budaya baru, mensosialisasikan, dan

menghilangkan budaya lama. Hal ini dilatar belakangi oleh power yang dimiliki film. Dalam buku Teori Komunikasi Massa, yang ditulis oleh John Vivian (2008:159) disebutkan bahwa film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka menontonnya, secara lebih intens ketimbang medium lainnya. Bukan hal yang aneh jika seorang pengulas film menyarankan agar calon penonton

menyiapkan sapu tangan. Anda tentu tak pernah mendengar saran seperti itu dari pengulas musik dan buku.

Oey Hong Lee (dalam Sobur, 2003:126) misalnya, menyebutkan, “film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada pertumbuhannya pada abad ke-18 dan permulaan abad ke 19”.

Orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan teknologi film itu, meski gambar saat itu tak lebih dari gambar putus-putus dan goyang-goyang di tembok putih. Medium ini tampaknya punya kekuatan magis. Dengan masuknya suara pada akhir 1920-an dan kemudian warna serta banyak kemajuan teknis lainnya, film terus membuat orang terpesona (Vivian, 2008:160).

Pada tanggal 24 April 1894 “The New York Times” memberitakan

(4)

Filmnya sendiri sederhana, yakni tentang dua gadis pirang yang memperagakan tarian payung. Disebutkan bahwa masyarakat sangat antusias menyambut tontonan baru itu. Teriakan kagum terdengar tanpa henti. Semua hal mereka soraki, termasuk pencipta film Mr. Edison (Rivers dan Peterson, 2003:60).

Pada awal dipertunjukannya film mendapat sambutan antusias dari

masyarakat. Yang dipertunjukkan adalah tarian dua orang gadis. Munculnya film pertama, memang menjadikan sosok wanita sebagai objek tontonan. Dalam perkembangannya film tetap menjadikan wanita sebagai bagian utama untuk menarik penonton.

Segala kelebihan yang dimiliki oleh wanita, mungkin menjadi inspirasi pembuat film. Dalam banyak film di dunia termasuk Indonesia, wanita menjadi objek tontonan adalah hal yang sangat lumrah dan biasa. Bagian fisik si wanita sering menjadi daya tarik sebuah film. Belum lagi sisi kehidupannya yang berliku, juga mampu memberi inspirasi bagi pembuat film. Sederhananya, wanita adalah makhluk penuh sensasi yang mengundang inspirasi.

Daya tarik film tergantung bagaimana kreatifitas insan film berkarya. Meski dalam film itu hanya dibutuhkan pemeran laki-laki, namun kehadiran perempuan dibutuhkan walau hanya sebagai pemeran pendukung. Dalam perannya, sikap dan perilaku perempuan tersebut selalu dikonstruksikan dengan tujuan menjadi

pemeran yang mempunyai daya tarik. Tujuannya, agar film mempunyai daya tarik bagi masyarakat.

Stereotype perempuan juga tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender,

(5)

psikologis dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex) (Mufid, 2009: 281). Stereotype perempuan adalah akibat dari konstruksi budaya. Perempuan digambarkan sebagai seseorang

berkarakter lemah lembut, memikirkan sesuatu dengan pendekatan perasaan, lebih bodoh dari laki-laki, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik dengan

menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.

Perempuan sebenarnya dapat menentukan bagaimana dirinya meski budaya telah menentukannya lebih dahulu. Hal ini erat kaitannya dengan citra. Citra dijelaskan oleh Dan Nimmo (1989: 4) adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa terjadi didalamnya. Ke dalam citra tercakup seluruh pengetahuan seseorang (kognisi), baik benar ataupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam situasi itu, dan semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang mungkin terjadi jika ia berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap objek di dalam situasi itu. Ringkasnya, citra adalah kecendrungan yang tersusun dari pikiran, perasaan, dan kesudian. Citra selalu berubah seiring dengan berubahnya pengalaman.

Citra perempuan dalam film dibentuk oleh ide cerita dan penulis naskah (scrip writer). Bagaimana realnya, hal ini merupakan bagian dari tugas sutradara dalam film.

(6)

pembuatan film termasuk waktu dan lokasi dimana sebuah adegan diambil. Oleh karena itu, sutradara merupakan orang-orang yang memang berkecimpung di dunia perfilman. Layak atau tidak sebuah adegan untuk ditampilkan, ditentukan oleh sang sutradara. Sebut saja Teddy Soeriaatmadja, Nia Dinata, Hanung Bramantyo, Riri Riza, Deddy Mizwar, Garin Nugroho, dan banyak lagi nama-nama lain merupakan deretan nama-nama sutradara Indonesia. Apresiasi mereka terhadap film Indonesia adalah kontribusi yang sungguh luar biasa dalam dunia perfilman nasional. Disadari atau tidak, sebagai sutradara mereka telah

mengkonsepkan citra perempuan dalam karya-karya mereka.

(7)

Sutradara Hanung Bramantyo merupakan sineas berbakat Indonesia yang sukses manggarap 20 judul film. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo tak luput dengan peran perempuan dari film yang digarapnya. Disadari atau tidak, Hanung Bramantyo ikut berperan dalam membentuk citra perempuan di media. Sebagaian filmnya, menjadikan perempuan sebagai bintang utama. Film layar lebarnya yang berjudul Brownies, bertema percintaan yang menceritakan sisi perempuan modern sebagai pemeran utamanya. Get Merried yang dilakonkan Nirina Zubir sebagai pemeran utama adalah film dengan kisah seorang perempuan yang mempunyai latarbelakang masyarakat pinggiran. Perempuan Berkalung Sorban dari genre drama islami adalah film dengan kisah perjuangan seorang perempuan untuk mencerdasakan kaum perempuan. Dengan perspektif yang berbeda, Hanung Bramantyo mengangkat berbagai sisi (sosial, budaya, dan agama) perempuan. Setiap film garapannya, jika pemeran utama adalah perempuan, selalu dicitrakan berbeda-beda meski dari genre yang sama.

Dari penggambaran yang penulis paparkan di atas, kiranya hal ini sangat penting untuk diperhatikan melalui sebuah kajian mendalam tentang dunia perfilman. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengangkat permasalah ini menjadi sebuah tulisan ilmiah dengan judul, Analisis Semiotik Citra

Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban.

B. Alasan Pemilihan Judul

(8)

1. Dunia perfilman Indonesia banyak mengangkat realitas perempuan Indonesia yang berhubungan erat dengan sosial dan budaya

2. Dalam film Perempuan Berkalung Sorban, memerankan perempuan sebagai pemeran utama dan alur ceritanya adalah cerita dari sosok perempuan itu sendiri.

3. Judul ini erat kaitannya dengan Ilmu Komunikasi yang sesuai dengan pendidikan penulis.

4. Hanung Bramantyo merupakan sutradara berbakat yang karyanya fenomenal di Indonesia. Sebagian film yang telah digarap, bercerita tentang perempuan. C. Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi kesalahan terhadap judul karya ilmiah ini, maka penulis memberikan penegasan istilah yang terdapat pada judul tersebut, sebagai berikut: 1. Analisis Semiotik

Semiotika adalah salah satu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2003:15).

2. Citra

(9)

3. Perempuan

Perempuan adalah jenis sebagai lawan laki (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2006: 873).

4. Film

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia film memiliki berbagai arti yang saling berkaitan. Pertama, dalam pengertian kimia fisik dan teknik, film berarti selaput halus. Pengertian ini dapat dicontohkan, misalnya pada selaput tipis, cat, atau pada lapisan tipis yang biasa dipakai untuk melindungi benda-benda seperti misalnya dokumen (laminasi). Dalam fotografi dan sinematografi, film berarti bahan yang dipakai untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan foto. Film juga mempunyai pengertian paling umum, yaitu untuk menamakan serangkaian

gambar yang diambil dari objek yang bergerak. Gambar objek itu memperlihatkan suatu seri gerakan atau momen yang berlangsung secara terus menerus, kemudian diproyeksikan ke sebuah layar dengan memutarnya dalam kecepatan tertentu sehingga menghasilkan sebuah gambar hidup (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004: 305).

[image:9.595.115.249.566.713.2]

5. Perempuan Berkalung Sorban

(10)

(Sumber: Wikipedia Indonesia, 2011)

Sutradara Hanung Bramantyo

Produser

Chand Parwez Servia

Hanung Bramantyo

Penulis

Ginatri S. Noer

Hanung Bramantyo

Novel:

Abidah El Khalieqy

Pemeran

Revalina S. Temat

Joshua Pandelaki

Widyawati

Oka Antara

Reza Rahadian

Ida Leman Musik oleh Tya Subiakto Distributor Starvision Plus

Durasi 129 menit

Negara Indonesia

(Tabel 1, Film Perempuan Berkalung Sorban) (Sumber data: Wikipedia Indonesia: 2011)

(11)
(12)

D. Permasalahan 1. Batasan Masalah

Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film yang dibintangi oleh perempuan sebagai tokoh utamanya. Untuk mengetahui citra perempuan dalam film tersebut, batasan masalah dalam penelitian ini adalah menganalisis (analisis semiotik) citra perempuan sebagai tokoh utama dalam film Perempuan Berkalung Sorban karya sutradara Hanung Bramantyo.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Bagaimana analisis semiotik citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo dengan

menggunakan analisis semiotik. 2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai sumbangan partisipasi pemikiran peneliti dalam penelitian ilmiah, dan sebagai wujud pengabdian penulis terhadap kajian budaya dan perfilman Indonesia

b. Dapat menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis

c. Sebagai referensi untuk peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan yang serupa.

d. Sebagai penyelesaian tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau.

F. Kerangka Teoritis

(13)

teori yang akan menjadi landasan berpikir bagi penulis dalam menganalisis masalah penelitian (Nawawi, 2005:23).

Teori adalah seperangkat dalil atau prinsip umum yang kait mengkait (hipotesis yang diuji berulang kali) mengenai aspek-aspek suatu realitas yang berfungsi untuk menerangkan, meramalkan, atau memprediksi, dan menemukan keterpautan fakta-fakta secara sistematis (Effendy, 2004:244)

1. Analisis Semiotik

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang

menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006: 263).

Kajian semiotik menurut Saussure lebih mengarah pada penguraian sistem tanda yang berkaitan dengan linguistik, sedangkan Pierce lebih menekankan pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat (Kriyantono, 2006: 264).

(14)

Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas. Pierce yang mengutip dari Fiske (1990) membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berukut (Kriyantono, 2006:264):

a. Lambang: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya

merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna tanda. Warna merah bagi masyarakat Indonesia adalah lambang berani, mungkin di Amerika bukan.

b. Ikon: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam

berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Patung kuda adalah ikon dari seekor kuda.

c. Indeks: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah suatu tanda yang

mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Asap merupakan indeks dari adanya api

Model Analisis Semiotik Charles S. Peirce

Semiotika berangkat dari tiga elemen utama yaitu (Kriyantono, 2006:265), a. Tanda

Adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (mempresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek.

b. Acuan tanda (objek)

Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

(15)

Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna yang ada dalam benak sesorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Yang dikupas teori segitiga, maka adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu

berkomunikasi. Peirce dalam Fiske (1990) menyatakan hubungan antara tanda, objek, dan interpretant digambarkan di bawah ini (Kriyantono, 2006: 265),

Hubungan antara tanda, objek dan interpretant (Triangle Of Mining) Sign

Interpretant object

(Gambar 2, sumber: Kriyantono, 2006:266) Model analisis Semiotik Ferdinand Saussure

Menurut Saussure, tanda terbuat atau terdiri dari (Kriyantono, 2006: 267): a. Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut “Signifier”

b. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar (The concepts these sounds and images), disebut “signified” berasal dari kesepakatan.

Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) yang dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan (Kriyantono, 2006: 268).

Model Semiotik dari Saussure SIGN

(16)

Signifier Signification Referent

Signified (External Reality) (Gambar 3, sumber: Kriyantono, 2006:268)

Kode

Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai

sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-pesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode (Kriyantono, 2006: 268).

Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu (Kriyantono, 2006: 269):

a. Paradigmatik

Merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk digunakan

b. Syntagmatic

(17)

yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditujukannya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2001:128).

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapakan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang

menggambarkan sesuatu (Sobur, 2003:128).

(18)

yang dapat dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya. Bila kita mempelajari penyimpangan–pemyimpangan ini, maka menurut Van Zoest lagi, akan banyak kekhusussan film yang dapat terungkapkan, sehingga perbandingan antara roman dan film, dalam rangka kepentingan di atas, sangatlah berguna (Sobur, 2001:130).

Sardar dan Loon (2001) menyebutkan bahwa film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda (Sobur: 2001:130).

Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two short), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom –in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa

tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering

menyinggung objek –objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya (Sobur, 2001:130-131).

Dalam buku Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh Burhan Bungin (2010:173), pada umumnya ada tiga jenis masalah yang hendak diulas dalam analisis semiotik, yaitu:

a. Masalah makna (the problem of meaning)

(19)

c. Masalah koherensi (problem of coherence) yang menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola pembicaraan masuk akal (logic) dan dapat dimengerti (sensible).

Burhan Bungin (2010:173-174) mengutip dari Sudibyo, Hamad, Qodari (2003) dalam Sobur, membagi tiga unsur semiotik yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kentekstual, yaitu:

a. Medan wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (= media massa) mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa.

b. Pelibat wacana (tenor of discourse) menunjukkan pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya.

c. Sarana wacana (made of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip); apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolis, eufumistis atau vulgar.

Pateda (dalam Sobur, 2001: 100-101) menjelaskan terdapat Sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang, yaitu:

(20)

b. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

c. Semiotik founal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.

d. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa

masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

e. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi. Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.

(21)

bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam g. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

h. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa. i. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

2. Citra Perempuan a. Citra

Dalam film animasi seperti film-film Wold Disney, film-film kartun Mickey Mouse dan sebagainya adalah sebuah hasil konstruksi dari teknologi media yang mampu membangun sebuah realitas kehidupan, seakan-akan memang benar terjadi. Seakan realitas itu benar ada dalam kehidupan di sekeliling kita, bahkan seakan kita hidup bersama mereka (Bungin, 2006:215).

(22)

manusia dijebak dalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya, atau khayalan belaka (Bungin, 2006:218-219).

Menurut Piliang (1998) dalam buku yang ditulis oleh Burhan Bungin, ruang realitas itu dapat digambarkan melalui analogi peta. Bila di dalam suatu ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari sebuah territorial, maka di dalam model simulasi, petalah yang mendahului territorial. Realitas (teritorial) sosial, kebudayaan atau politik, kini dibangun berdasarkan model-model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak, sinetron atau tokoh-tokoh kartun. Namun tidak mustahil, kadang pemirsa memberi pemaknaan yang berbeda, sesuai dengan lapisan (layer) pemirsa, jadi sangat mungkin terjadi pemaknaan citra yang berbeda pula (Bungin, 2006: 219).

Realitas sosial yang dimaksud adalah sebuah konstruksi pengetahuan dan/atau wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran individu dan simbol-simbol masyarakat, namun sebenarnya tidak ditemukan dalam dunia nyata. Koridor realitas inilah yang dimaksud dengan realitas yang dicitrakan media, artinya realitas citra itu hanya ada dalam media (Bungin, 2006: 210). Menurut Dan Nimmo (1989: 4) citra adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa terjadi di dalamnya.

b. Perempuan

(23)

makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu) (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung,

mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi,

memberontak, menentang, melawan. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma

Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan dari wanita ini sangat relevan

dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah sesuatu yang diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang lawan mainnya (pria). Jadi,

eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

(24)

gagu, dan gugup di bawah gegap gempitanya superioritas pria (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

Sedangkan kata perempuan dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu. Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

1) Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang paling besar; maka, kita kenal kata empu jari: ibu jari, empu gending: orang yang mahir mencipta tembang.

2) Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu: sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali; kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar tidak runtuh; kata

mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi pengampu: penahan, penyangga, penyelamat.

(25)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keperempuanan juga berarti kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna kami jangan diremehkan atau kami punya harga diri (Sudarwati dan Jupriono; 2011).

c. Citra Perempuan, Perempuan Dalam Film, dan Teori Perempuan Dalam Media

Gandhi mengungkapkan (dalam Johan, 2009:15) bahwa fenomena kaum perempuan Dunia Ketiga termasuk Indonesia secara umum digambarkan sebagai perempuan yang bodoh, miskin, terkebelakang, terikat adat, jinak, berorientasi keluarga, dan selalu menjadi korban.

Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai ‘naskah’ (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar

(26)

menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender” kita (Mosse, 1996:2-3).

Yang jelas, suatu masyarakat dapat memiliki beberapa naskah yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, tetapi nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran gender berlangsung dari generasi ke generasi seperti halnya bahasa (Mosse, 1996:3).

Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis (Mosse, 1996:3-4).

Gender kita menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita singkap. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja, alat-alat, dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak kita. Yang jelas, gender ini akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan kita untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya (Mosse, 1996:4-5).

(27)

pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender yang kita jalani dalam kehidupan sehari –hari merupakan bagian dari landasan cultural kita, dan tidak mudah di ubah (Mosse, 1996:7).

Setiap saat, sebagian besar di antara kita belajar menyukai diri sendiri dengan “kostum” yang dianggap tepat bagi gender kita. Sehingga, kebanyakan di antara kita akhirnya memilih peran gender yang bisa diterima oleh diri kkita (Mosse, 1996:7).

Sesuai dengan asal-usulnya, pembentukan identitas gender didasarkan pada acuan ekspektasi dan preskripsi nilai-nilai religius, sosial, dan kultural. Oleh sebab itu, gender dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi ruang dan waktu. Pencitraan seseorang dalam perspektif gender dibingkai dalam konteks semangat ruang dan waktu (Chuzaifah, et.al., 2004:18).

Dalam buku Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru yang disusun oleh Liza Hadiz (2004:273) yang merupakan kumpulan dari artikel Prisma menuliskan bahwa perempuan berorientasi pada laki-laki yang lebih penting perannnya, di samping itu dia tergantung pada pria dan perlu berlindung pada mereka. Tempatnya tiada lain ialah di rumah, dalam rumah tangga, di mana kesejahteraan menjadi tanggung jawab dan tugas sucinya.

Perempuan yang menyiratkan makna radikal memiliki citra. Tamagola (Bungin, 2006: 220-222) menjelaskan citra perempuan dalam media

(28)

Pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi, memiliki rambut hitam dan panjang, merupakan pencitraan perempuan dengan citra pigura. Ditekankan lagi dengan menebar isu ‘natural anomy’ bahwa umur perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan.

2) Citra pilar

Citra pilar dalam pencitraan perempuan, ketika perempuan digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga. perempuan sederajad dengan laki-laki, namun karena fitrahnya berbeda dengan laki-laki, maka perempuan digambarkan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap rumah tangga. Secara lebih luas, perempuan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik.

3) Citra pinggan

Perempuan tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur adalah dunia perempuan, hal ini merupakan penggambaran dari citra pinggan.

4) Citra pergaulan

Citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi dimasyarakatnya, perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun, menawan.

(29)

Film mempunyai jauh lebih banyak bahan untuk mengatakan sesuatu tentang wanita secara langsung – yaitu bahwa banyak film secara sadar mulai membuat pernyataan tentang wanita – kesadarannya, tempatnya di dalam masyarakat, sebagaimana dibuat dalam kesusasteraan. Apa yang dikatakan film tentang wanita lebih menarik dari pada bagaimana wanita dimanfaatkan/dipakai dalam media tersebut (Liza Hadiz, 2004:295).

Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi simbol dalam seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhadap perempuan itu menjadi sangat diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-simbol dari kekuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan yang dibutuhkan laki-laki (Bungin, 2006: 202).

(30)

Perempuan Berkalung Sorban merupakan film garapan sutradara Hanung Bramantyo. Bintang utama dari kedua film tersebut adalah perempuan. Film yang merupakan bagian dari media, mencitrakan perempuan dalam bangunan budaya.

Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya)

Teori Norma Budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khlayak di mana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara-cara tertentu (Effendy, 2003: 279).

Dalam pada itu kadang-kadang media massa menggalakkan bentuk-bentuk baru dari perilaku yang diterima oleh masyarakat secara luas. dengan lain

perkataan, dalam situasi-situasi tertentu media massa menciptakan norma-norma budaya baru. Mengenai hal ini tampak pada media surat kabar, radio, televisi, dan film. Media tersebut menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan interaksi di kalangan keluarga (Effendy, 2003: 280).

3. Tinjauan Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban a. Film

Pendahulu teknis film adalah fotografi. Penemuan tahun 1727 bahwa cahaya menyebutkan nitrat perak menjadi gelap adalah dasar dari perkembangan

(31)

dengan cepat, maka mata manusia akan melihatnya sebagai gambar yang bergerak tak putus-putus (Vivian, 2008:161).

Yang diperlukan adalah kamera yang tepat dan film untuk menangkap sekitar 16 gambar per detik. Peralatan ini muncul pada 1888. William Dickson dari laboratorium Thomas Edison mengembangkan sebuah kamera film. Dickson dan Edison menggunakan film seluloid yang kemudian disempurnakan oleh George Eastman, yang memperkenalkan kamera Kodak. Pada 1891 Edison telah mulai memproduksi film (Vivian, 2008:161).

film dibuat karena rangsangan konteks sosial dan konteks pemikiran tertentu. Konteks itu dijawab oleh penciptanya yang hidup dalam kontek sosial dan pemikiran yang sama. Jawaban sang pencipta bisa mengukuhkan atau malah menolak konteks sosial dan pemikiran tadi. Celakanya, film tidak hanya beredar di wilayah dengan konteks sosial dan pemikiran yang sama. Film bisa dilihat dimana saja, karena sifat medium ini “terpaket”, mudah dikirim dan dibawa-bawa (apalagi dengan adanya teknologi pita video dan kemudian teknologi digital), sehingga juga bersifat “massal”. Film bisa ditonton penikmat yang punya konteks sosial berlainan sama sekali, sehingga bisa jadi suatu film tidak bisa dinikmati atau dipahami karena perbedaan konteks sosial dan pemikiran tadi (Kristanto, 2004:9).

(32)

gambar atau animasi, film boneka, film iklan, film dokumenter, dan film cerita (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004: 305).

Film cerita adalah film yang berisi kisah manusia (roman) yang dari awal sampai akhir merupakan suatu keutuhan cerita dan dapat memberikan kepuasan emosi kepada penontonnya. Film cerita dapat diputar di gedung bioskop atau dibikin untuk acara televisi. Sebuah film cerita biasanya dimainkan oleh sejumlah pemeran (aktor/aktris) dengan dukungan pemain lain. Film cerita dapat berupa satu film dengan satu masa putar, dapat pula berupa film serial dengan masa putar lebih dari satu kali. Film serial biasanya ditujukan untuk penayangan televisi (Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 306).

Untuk membuat sebuah film cerita dibutuhkan suatu kerja kolektif. Untuk pembuatan film yang baik dibutuhkan saling mendukung antar unsur dalam kolektivitas. Unsur pokok itu adalah penulis skenario, sutradara, bintang film, juru kamera, juru tata suara, dan produser (Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 306-307).

Sutradara berperanan sebagai pemegang pimpinan dalam pembuatan film. Bidang kerjanya tidak hanya pada satu segi saja, melainkan pada seluruh

(33)

dapat berorganisasi dan memiliki kreativitas serta daya artistik yang memadai (Ensikolpedi Nasional Indonesia, 2004:307).

[image:33.595.114.417.583.656.2]

Kerja sutradara dimulai dari membedah skenario ke dalam director’s treatment, yaitu konsep kreatif sutradara tentang arahan gaya pengambilan gambar. Selanjutnya, sutradara mengurai setiap adegan (scene) ke dalam sejumlah shot dan membuat shot list, yaitu uraian arahan pengambilan gambar dari tiap adegan. Shot list tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam story board, yaitu rangkaian gambar ala komik yang memuat informasi tentang ruang dan tata letak pemeran (blocking) yang nantinya akan direkam menjadi sebuah film. Berbekal director’s treatment, shot list, dan story board, script breakdown bisa dikerjakan.

Sutradara kemudian memberi pengarahan tentang film apa yang akan dibuat. Untuk itu, sutradara harus berkomunikasi secara intensif dengan desainer produksi, peñata artistik, peñata suara, dan editor (Effendy, 2002: 61).

Jadi, kedudukan suatu akting dilihat berdasarkan hubungan: sutradara memilih naskah untuk diperagakan aktor. Aktor harus paham nilai naskah dan arahan yang dimaui sutradara, tentang nilai kehidupan yang direka pengarang dalam naskahnya itu. gambarannya sebagai berikut (Tambayong, 2000:53)

Naskah Kehidupan Sutradara

Aktor Pengarang (Gambar 4, sumber: Tambayong, 2000:53)

Bintang film adalah pemegang peran (pemain) dalam film. Seorang bintang film dituntut mempunyai kemampuan kating sesuai dengan apa yang telah

(34)

Namun tidak mustahil seorang bintang film diperbolehkan mengembangkan kemampuan aktingnya dalam sebuah adegan di luar apa yang ditulis skenario, sejauh masih berada dalam jalur cerita (Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004:307).

Ada berbagai macam kategori bintang film. Tingkat teratas adalah bintang utama (main star atau main plot). Ia adalah pemain yang memerankan tokoh utama yang ada dalam cerita dan menjadi andalan kebagusan sebuah film. Bintang utama didampingi bintang pembantu atau pemeran pembantu yang biasa disebut costar (substar atau subplot). Pemeran pembantu adalah bintang film yang memainkan tokoh yang dekat dengan tokoh utama. Bintang ini tidak harus seorang pemeran, dapat juga seekor hewan kesayangan. Bintang utama dan bintang pembantu didukung oleh bintang samping atau aktor/aktris pendukung yang biasa disebut side star atai side plot. Lalu semua itu masih mendapat dukungan dari bintang-bintang pelengkap yang biasa disebut figuran (figurant) (Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 307-308).

b. Perempuan Berkalung Sorban

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah film yang menceritakan kehidupan seorang wanita yang memiliki pemikiran modern. Hidup dalam lingkungan pesantren dengan ajaran Islam yang kental. Wanita yang memilih hidup dengan pemikiran modern dianggap sebagai wanita yang liar dan keluar dari aturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.

(35)

eksistensial dalam sejarah teristerial peradaban modern. Asghar Ali dengan berpijak pada konsep penciptaan pria dan perempuan sebagai nafsin wahidatin (an-Nisa: 1 dan az-Zumar: 6) menyatakan bahwa lelaki dan perempuan secara substansial setara. Akan tetapi didasari oleh Boisard bahwa Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi, budaya arab masih primitif, yang tradisinya belum dapat

diberantas, meskipun tujuan Al-Qur’an ingin membawa perbaikan martabat perempuan. Kemudian ia mengatakan bahwa dalam perkembangan sejarah menunjukkan penyalahgunaan memahami Al-Qur’an, yang secara Harfiah

memperkuat egoisme lelaki. Dikatakan pula bahwa risalah nabi Muhammad ialah menegakkan hak-hak suci perempuan di hadapan hukum, perlindungan hak milik pribadi dan hak waris secara sederajad.

Firman Allah yang menyatakan bahwa kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS al-A’raf:156) merupakan substansi dari paradigma moralitas ilahiyah, yang dapat mendasari teologi perempuan, sehingga perempuan juga sederajad dengan sosok lelaki dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian, disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarah perempuan telah “menyimpang” dari perspektif Al-Qur’an itu sendiri. Akibat lebih jauh, dapat dikatakan bahwa perempuan telah kehilangan otoritas “keimamahan” dalam ritual keagamaan (Romas, 2000:97).

G. Konsep Operasional

(36)

dapat dibuat tanpa sebuah pernyataan atau batasan yang jelas mengenai apa yang diamati. Pernyataan atau batasan ini adalah hasil dari kegiatan

mengoperasionalkan konsep, yang memungkinkan riset mengukur

konsep/konstruk/variabel yang relevan, dan berlaku bagi semua jenis variabel. Konsep opeasional dalam penelitian ini yaitu mengenai sebuah konsep yang akan memberikan penjelasan terhadap pendekatan teori yang digunakan untuk membahas citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

Untuk mengkaji citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban, peneliti menggunakan konsep semiotik untuk mengkonsepkan citra perempuan dalam film tesebut. Sembilan konsep semiotik seperti yang telah dibahas pada kerangka teoritis di halaman sebelumnya digunakan untuk meninjau konstruksi perempuan. Sesuatu yang ditimbulkannya melalui bangunan yang ia buat dalam lakonnya sebagai Anissa, memberi makna pada orang lain tentang dirinya terutama dalam bentuk bahasa (bahasa verbal dan non verbal), dan atribut diri yang ia pergunakan dalam film tersebut. Tinjauan dengan analisis semiotik dijabarkan oleh Sobur (2001:100-101) sebagai berikut:

a. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

(37)

seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

c. Semiotik founal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.

d. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa

masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.

e. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi. f. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang

dihasilkan oleh alam.

g. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

h. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.

i. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

(38)

Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode

mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Sedangkan penentuan metode riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan mencari data, apakah melalui metode survey, analisis isi, eksperimen, semiotik, analisis historis, etnometodologi, FGD atau pun observasi partisipan. Metode ini disesuaikan dengan permasalahan, pendekatan, juga bentuk data yang diinginkan (Kriyantono, 2006: 82).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Rachmat Kriyantono (2006: 56) menjelaskan riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di tempat yang menyediakan perangkat-perangkat tertentu yang memudahkan peneliti untuk bisa menyaksikan film Perempuan Berkalung Sorban.

2. Subjek Dan Objek Penelitian a. Subjek penelitian

Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian adalah tokoh utama perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

(39)

Sedangkan objek penelitiannya adalah citra perempuan dalam film karya sutradara Hanung Bramantyo yaitu film Perempuan Berkalung Sorban.

3. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi

Sugiyono (dalam Kriyantono, 2006: 151) menyebutkan populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai

kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh periset untuk dipelajari, kemudian ditarik suatu kesimpulan. Populasi yang digunakan peneliti adalah keseluruhan subjek yang diteliti, yaitu tokoh utama perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

b. Sampel

Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset. Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik, yang belaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu riset dilakukan. Karena itu, pada riset kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut informan atau subjek riset, yaitu orang-orang yang dipilih diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset disebut subjek riset—bukan objek—karena informan dianggap aktif

mengkonstruksi realitas, bukan sekedar objek yang hanya mengisi kuesioner. Dalam studi semiotik, framing ataupun analisis wacana dikenal dengan istilah korpus. Korpus adalah suatu himpunan terbatas atau juga terbatas dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama dan karena itu dapat dianalisis sebagai keseluruhan, meskipun tidak secara langsung menghasilkan generalisasi (Kriyantono, 2006: 163).

(40)

Teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang lengkap, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu,

1. Data Teks

Ini biasanya digunakan pada penelitian yang membahas sistem tanda. Dalam kajian komunikasi segala macam tanda adalah teks yang di dalamnya terdapat simbol-simbol yang sengaja dipilih, di mana pemilihan, penyusunannya, dan penyampaiannya tidak bebas dari maksud tertentu, karena itu akan

memunculkan makna tertentu(Kriyantono, 2006: 38).

Data teks digunakan peneliti untuk meneliti sistem tanda pada film Perempuan Berkalung Sorban.

2. Observasi

Observasi diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung – tanpa mediator – sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut (Kriyantono, 2006:108).

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah instrument pengumpulan data yang sering digunakan dalam berbagai metode pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data (Kriyantono, 2006:118)

J. Teknik Analisis Data

(41)

yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya dan perlambangan (Sobur, 2001: 96).

Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger (2001), “semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti” (Sobur, 2001: 96). Langkah-langkah penelitian semiotika (Sobur, 2001: 154)

1. Cari topik yang menarik perhatian

2. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, di mana, apa) 3. Tentukan alasan/rationale dari penelitian

4. Rumuskan tesis penelitian dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale)

5. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika) 6. Klasifikasi data

a. Identifikasi teks

b. Berikan alasan mengapa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi c. Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki

maupun sekuennya atau, pola sintagmatig dan paradigmatik

d. Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada

7. Analisis data berdasarkan

a. Ideologi, interpretant kelompok, frame work budaya; b. Pragmatik, aspek sosial, komunikatif;

c. Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang mengaturnya;

d. Kamus vs ensiklopedi 8. Kesimpulan

(42)

Sistematika penulisan skripsi ini tardiri dari pokok-pokok permasalahan yang dibahas pada masing-masing bab yang diuraikan menjadi beberapa bagian:

BAB I : PENDAHULUAN

Menjelaskan tentang Latar Belakang Permasalahan; Alasan Pemilihan Judul; Penegasan Istilah; Permasalahan; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Kerangka Teoritis; Konsep Operasional; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan

BAB II : GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menjelaskan mengenai film Perempuan Berkalung Sorban.

BAB III : PENYAJIAN DATA

Pada bab penyajian data ini, peneliti menyajikan data dari teks film Perempuan Berkalung Sorban.

BAB IV : ANALISIS DATA

Dalam analisis data, peneliti mencoba menganalisis dan mengevaluasi data sesuai dengan penyajian data yang baik.

BAB V : PENUTUP

(43)

Gambar

Gambar 1: Cover Film Perempuan Berkalung Sorban
gambar. Selanjutnya, sutradara mengurai setiap adegan (scene) ke dalam sejumlah

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kedudukan morfologi, klasifikasi morfem, proses morfologis, kategorisasi kata, proses

Cara Pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam hal cara pembayaran dimuka, importir

(2008), yaitu kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan pemecahan masalah, dan mengecek kembali. Tingkat kemampuan pemecahan masalah juga

Puji dan syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ ANALISIS

Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari hasil tes siswa, dapat disimpulkan, bahwa (1) Hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan

Reflecting on the complexity of L2 writing, as EFL beginner learners who set English as their foreign language in their environment, guided wri ting’s students may

Metode yang digunakan adalah metode sejarah yakni Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik Sumber (intern dan ekstern), Interpretasi sejarah, dan tahap akhir dalam

Deputi Pengembangan Bahan Pustaka dan Layanan Informasi adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung