NASIONALISME DALAM NOVEL
5 cm.
KARYA DONNY DHIRGANTORO: ANALISIS STRUKTURALISME
SKRIPSI
OLEH
YASIR ICHWAN
NIM 100701030
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN
Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.
Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, April 2014
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nasionalisme
dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme”. Penyusunan skripsi
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan
pada Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses pengerjaan skripsi ini, peneliti sangat banyak mendapat bimbingan, dorongan,
dan dukungan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu terwujudnya skripsi saya ini, yaitu
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc., (C.T.M.), Sp.A(K.).
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Ir.
M.Sc., Ph.D selaku Pembantu Rektor I Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.
Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku Pembantu Rektor II Universitas
Sumatera Utara, Bapak Drs. Bongsu Hutagalung, M.Si. selaku Pembantu Rektor
III Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI
selaku Pembantu Rektor IV Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Ir. Yusuf
Husni selaku Pembantu Rektor V Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak
memberikan sarana dan prasarana dalam proses penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Dr.
M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya, Bapak
Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya, Bapak
Drs. Yuddi Adrian Mulyadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu
3. yang baik sesuai dengan kurikulum sehingga mempermudah proses penyelesaian
skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra
Indonesia dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris
Departemen Sastra Indonesia, yang telah memberikan dorongan, nasihat dan
saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.
Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu, memberikan kritik, dan saran dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
6. Staf pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan proses pengajaran
yang baik dan ilmu yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini.
7. Abah H. Saiful Ahyar dan Ibunda Hj. Nursiah tercinta yang tidak henti-hentinya
memberikan semangat dan dorongan baik secara moril dan materil untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan
kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti mengucapakan terima kasih.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, April 2014
Penulis
Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.
Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme
Oleh
Yasir Ichwan
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya USU
ABSTRAK
DAFTAR ISI
PERNYATAAN... i
PRAKATA ... ii
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 ...Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Konsep ... 5
2.1.1 Novel ... 5
2.1.2 Nasionalisme ... 6
2.2 Landasan Teori ... 14
2.2.1 Teori Strukturalisme ... 14
2.3 Tinjauan Pustaka ... 16
BAB III METODE PENELITIAN ... 19
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19
3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 20
4.1 Tema... 21
4.2 Latar ... 22
4.3 Penokohan dan Perwatakan ... 27
4.4 Alur ... 35
4.5 Sudut Pandang ... 44
4.6 Gaya Bahasa ... 46
BAB V ANALISIS BENTUK NASIONALISME DALAM NOVEL 5 cm. KARYA DONNY DHIRGANTORO ... 48
5.1 Doa ... 48
5.2 Sopan Santun... 49
5.3 Musyawarah ... 50
5.4 Mencerdaskan Keheidupan Bangsa ... 51
5.5 Tidak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ... 52
5.6 Kebersamaan ... 55
5.7 Bertanggung Jawab ... 57
5.8 Kerja Keras ... 60
5.9 Batik ... 61
5.10 Bersyukur ... 64
5.11 Blangkon ... 66
5.12 Bahasa Jawa ... 68
5.13 Kerukunan ... 70
5.14 Gotong Royong ... 72
5.16 Kepemimpinan ... 76
5.17 Disiplin ... 78
5.18 Bendera Merah Putih ... 79
5.19 Sikap Hormat ... 81
5.20 Lagu Indonesia Raya ... 82
5.21 Upacara Bendera ... 83
5.22 Persatuan dan Kesatuan ... 84
5.23 Cinta Tanah Air ... 87
BAB VI SIMPULAN ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.
Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme
Oleh
Yasir Ichwan
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya USU
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat menarik karena faktor
keanekaragamannya, mulai dari suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit, dan sebagainya.
Sebagai sebuah negara, keanekaragaman Indonesia dapat diilustrasikan dengan bentuk tangan
manusia yang memiliki lima jari. Kelima jari manusia memiliki bentuk yang berbeda-beda,
tetapi memiliki fungsi yang sama, yaitu mempermudah manusia dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan. Lima jari manusia akan berfungsi secara maksimal apabila kelima jari tersebut
bersatu dan bekerja sama. Begitu juga dengan keanekaragaman yang ada di negara Indonesia,
walaupun berbeda-beda suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit, dan sebagainya, warga
negara Indonesia harus tetap bersatu dan bekerja sama untuk mewujudkan sikap kebangsaan
yang kuat.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti negara atau bangsa, ditambah
akhiran isme yang berarti: (a) suatu sikap ingin mendirikan negara bagi bangsanya sesuai
dengan paham/ideologinya, (b) suatu sikap ingin membela tanah air/negara dari penguasaan dan penjajahan bangsa asing, (Budiyono, 2007: 208). Menurut Smith (2003: 10) nasionalisme
adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya
mempertinggi keberadaannya. Nasionalisme sebagai manifestasi kecintaan dan kesetiaan
tertinggi kepada tanah air, negara, dan bangsa merupakan modal dasar bagi pembentukan
negara dan karakter bangsa.
Kata sya’ab, qaum, ummah banyak digunakan Alquran untuk merujuk makna
bangsa. Kata sya’ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban tercantum dalam Alquran pada
surat Al Hujurat ayat 13 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
”Wahai manusia kami sesungguhnya telah menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Bangsa dalam pengertian politik menurut Dault (2005: 2) adalah masyarakat dalam
suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan
tertinggi ke luar dan ke dalam.
Semangat kebangsaan atau nasionalisme dari suatu bangsa tidak dapat dilepaskan
tersebut. Nasionalisme merupakan sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang
mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita, dan tujuan.
Hal itu diutarakan pula oleh Soekarno (1964: 3) yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah
suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa.
Menurut Soekarno (1964: 5) semangat kebangsaan atau nasionalisme secara tersirat
telah lahir sejak masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Semangat seperti itu terbelah-belah
pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda. Jiwa kebangsaan hanya terlihat sebagai jiwa
persatuan satu daerah atau satu kepulauan. Semangat kebangsaan itu secara keseluruhan
mempunyai satu tujuan, yaitu mengusir penjajah dari negeri tumpah darah kita ini, Indonesia.
Akan tetapi, wujud nasionalisme seperti itu bersifat lokal. Rasa kebangsaan secara nyata baru
dilakukan pada tahun 1908, yaitu Budi Utomo. Bentuk dan arah nasionalisme kita pada saat
itu didasari oleh kesatuan wilayah, kesatuan keinginan, kesamaan nasib, dan kesamaan
hal-ihwal. Kesamaan itu diarahkan pada usaha mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Itulah
yang terlihat dalam nasionalisme sebelum kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana bentuk semangat kebangsaan atau nasionalisme pada masa kini?
Tampaknya nasionalisme telah mengalami pergeseran makna. Barangkali rasa kebangsaan
kita kini telah ternodai atau terancam oleh berbagai faktor dari luar dan dari dalam negeri
sendiri. Apakah memang dalam bentuk dan arah seperti sekarang inikah nasionalisme yang
kita idamkan untuk membawa bangsa ini ke arah masyarakat yang adil dan makmur?
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa menempatkan
persatuan kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi
atau kepentingan golongan, menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan
negara, bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa
rendah diri, mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama
manusia dan sesama bangsa, menumbuhkan sikap saling mencintai manusia,
mengembangkan sikap tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan, senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani
membela kebenaran dan keadilan, merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari
seluruh umat manusia, dan menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
Karya sastra adalah sebuah hasil ciptaan manusia. Sastra tumbuh dan berkembang
karena peranan manusia. Sebuah karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan
merupakan bagian dari persoalan sosial, karena menyangkut tentang kehidupan masyarakat
dalam berbangsa dan bernegara. Masalah nasionalisme sering diangkat dalam cerita yang
berbentuk novel, salah satunya adalah novel 5 cm.
Novel 5 cm. adalah novel karya Donny Dhirgantoro, yang diterbitkan oleh Grasindo
pada tahun 2005. Novel ini menceritakan tentang perjalanan lima orang bersahabat yakni
Arial, Riani,
cinta, dan persahabatan. Novel ini mencetak rekor buku laris di Gramedia Bookstore selama
dua tahun berturut-turut. Pada tahun 2012, novel ini diadaptasi menjadi sebuah film dengan
judul yang sama 5 cm.
Novel 5 cm. adalah novel yang mengangkat nilai nasionalisme. Dalam novel
tersebut terdapat nilai nasionalisme yang dapat menjadi titik balik bagi segenap pemuda
Indonesia untuk kembali menancapkan nilai nasionalisme di dalam benak dan hati mereka,
yang dewasa ini mungkin terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh yang datangnya dari luar
maupun dari dalam negerinya sendiri.
Nasionalisme kita seakan muncul dengan paksaan yaitu ketika ada serangan atau ada
ancaman dari pihak luar, kita baru bersatu teguh mengganyang negara yang bersangkutan.
Nasionalisme bangsa Indonesia terjadi pasang surut akibat pengaruh global yang telah
mendarah daging dalam jiwa generasi Indonesia. Dalam kenyataannya, kini rasa nasionalisme
kultural dan politik sudah mengkhawatirkan dalam kehidupan keseharian kita.
Nasionalisme merupakan suatu paham yang berkaitan dengan usaha untuk
menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Permasalahan yang menarik untuk
dikaji dan diteliti dalam penelitian ini adalah nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm.
1.2Rumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan
masalah. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm.
karya Donny Dhirgantoro?
2. Bagaimanakah bentuk nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm. karya
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian haruslah jelas mengingat penelitian harus mempunyai arah
dan tujuan yang tepat. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm.
karya Donny Dhirgantoro.
2.Menganalisis bentuk nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny
Dhirgantoro.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang bahasa dan sastra
Indonesia, khususnya dalam menganalisis novel dengan teori strukturalisme.
2. Memahami makna nasionalisme secara lebih luas.
3. Memberikan masukan kepada mahasiswa untuk mengkaji dan menelaah novel.
4. Menambah referensi dan membantu pembaca dalam memahami makna yang
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep adalah gambaran mental
dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain. Menurut Malo (1985: 47) konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu
sosial, walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun
makna dan pengertiannya dapat berubah.
Konsep-konsep yang digunakan adalah sebagai berikut:
2.1.1 Novel
Istilah novel berasal dari bahasa Latin, novellas yang kemudian diturunkan menjadi
novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel
merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita
pendek (short story) dan roman, (Waluyo, 2002: 36).
Pengertian novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Tarigan
(2003: 164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang
tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam
suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang
mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu
sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 9) yang memberikan pengertian bahwa novel
adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek.
Menurut Robert Lindell (dalam Waluyo, 2006: 6) karya sastra yang berupa novel,
pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang
pembantu rumah tangga kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita
kenal seperti saat ini.
Novel merupakan jenis karya sastra yang tentunya menyuguhkan nilai yang berguna
bagi masyarakat pembaca. Hal ini telah diungkapkan oleh Goldmann (dalam Saraswati, 2003:
87) mendefinisikan novel merupakan cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan
nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi akan nilai-nilai-nilai-nilai otentik di dalam dunia
yang juga terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Ciri
tematik tampak pada istilah nilai-nilai otentik yang menurut Goldmann merupakan totalitas
mode dunia sebagai totalitas. Atas dasar definisi itulah selanjutnya Goldmann
mengelompokkan novel menjadi tiga jenis yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis
(romantisme keputusasaan), dan novel pendidikan (paedagogis).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita
fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel
mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain
itu tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa, dan latar ditampilkan secara tersusun hingga
bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.
Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya
adalah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada
pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3)
membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh
kepuasan batin.
Tarigan (2003: 165) menyatakan bahwa novel mengandung kata-kata berkisar antara
35.000 buah sampai tidak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain jumlah minimum
kata-katanya adalah 35.000 buah, kalau kita pukul-ratakan sehalaman kertas kuarto jumlah
barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah kata dalam satu baris 10 buah, maka jumlah kata
dalam satu halaman adalah 35 x 10 = 350 buah. Selanjutnya dapat kita maklumi bahwa novel
yang paling pendek itu harus terdiri minimal lebih dari 100 halaman. Lebih lanjut Brooks
dalam ”An Approach to Literature” (Tarigan, 2003: 165) menyimpulkan bahwa ciri-ciri
novel adalah (1) novel bergantung pada tokoh; (2) novel menyajikan lebih dari satu impresi;
(3) novel menyajikan lebih dari satu efek; (4) novel menyajikan lebih dari satu emosi.
2.1.2 Nasionalisme
Penggunaan istilah nasionalisme dalam pengertian sosial dan politik yang diakui
merujuk pada filsuf Jerman, Johan Gottfried Herder dan biarawan kontra-revolusioner
Perancis, Uskup Augustin de Barruel pada akhir abad kedelapan belas. Penggunaan istilah ini
di dalam Bahasa Inggris pada tahun 1936 bersifat teologis, sebagai doktrin bahwa
bangsa-bangsa tertentu dipilih secara ilahiah. Sejak itu, istilah ini cenderung disamakan dengan
egoisme nasional. Namun demikian, biasanya istilah lain seperti kebangsaan/nasionalitas
(nationality) dan kenasionalan (nationalness) dalam arti sebagai semangat nasional atau
individualitas nasional lebih disukai, (Smith, 2003: 6).
Ideologi nasionalisme telah didefinisikan dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan
utamanya adalah masalah yang mendominasi bangsa. Tempat nasionalisme berupaya
mempertinggi derajat bangsa. Sasaran umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional,
kesatuan nasional, dan identitas nasional, (Smith, 2003: 6). Bagi para nasionalis, suatu bangsa
tidak bisa melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang
memadai. Dari sini muncul definisi kerja nasionalisme: suatu gerakan ideologis untuk
mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang
sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang
potensial, (Smith, 2003: 6).
Dalam satu abad terakhir istilah nasionalisme digunakan dalam rentang arti yang
kita gunakan sekarang. Di antara penggunaan-penggunaan itu, yang paling penting adalah:
(1) suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa; (2) suatu sentimen atau
kesadaran memiliki bangsa bersangkutan; (3) suatu bahasa dan simbolisme bangsa; (4) suatu
gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan; (5) suatu doktrin atau ideologi bangsa,
baik yang umum maupun yang khusus, (Smith, 2003: 7).
Rupert Emerson (dalam Dault, 2005: 2) mendefinisikan nasionalisme sebagai
komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting
yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju
masa depan. Sementara menurut Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 2) yang sering dikutip
Soekarno, nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial-politik
sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa atau nation guna
menyatukan kehendak untuk bersatu. Menurut Soekarno (dalam Dault, 2005: 3) semangat
nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu
bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai
kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan
keadilan dan kebersamaan. Hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas agung.
Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 3) menyebut nasionalisme sebagai le desire
d’entre ensemble atau kehendak untuk bersatu. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan
konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara-negara jajahan sebagai suatu
kekuatan politik yang tidak bisa disangkal oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini
adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang adil dan tidak
ada lagi penindasan manusia oleh manusia.
Dalam dimensi politik, nasionalisme merupakan ideologi yang meyakini bahwa
kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, yaitu suatu negara
suatu negara, (Kohn, 1984: 11). Demikian juga Soekarno, presiden pertama Indonesia,
mengatakan bahwa bangsa adalah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang
diperjuangkan. Dalam pengertian politik ini, prinsip-prinsip utama dalam nasionalisme
adalah kebebasan, kesatuan, keadilan, dan kepribadian yang menjadi orientasi kehidupan
kolektif suatu kelompok untuk mencapai tujuan politik, yaitu negara nasional, (Kartodirdjo,
1993: 3).
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi oleh empat pilar yaitu Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika. Pancasila yang berarti lima dasar atau lima asas adalah nama dari Dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah lima Dasar Negara sebagaimana yang tercantum
di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi sebagai berikut: (1)
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan
Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa Pancasila memiliki dua pengertian, yaitu: (1) Pancasila sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia, dan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
(Darmodihardjo, 1984: 24).
Pengertian pokok tentang Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah
yang terdiri dari: (1) Pembukaan Undang Dasar 1945; (2) Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 16 Bab berisi 37 pasal, Aturan Peralihan dan Aturan
Tambahan; (3) Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, (Bakry, 1987: 89). Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis, yang disampingnya masih ada hukum
dasar tidak tertulis, yaitu ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”, (Bakry, 1987: 89).
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai
komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk
mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh
seluruh komponen bangsa. Dalam pasal 37 ayat 5 secara tegas menyatakan bahwa khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan
karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat diganggu gugat, (MPR, 2012: 7).
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu.
tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu
kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima, dan kita hormati serta kita
wujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal ika, (MPR, 2012: 7).
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Alquran (Shihab, 2006: 333-344)
menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme juga dapat ditemukan dalam Alquran:
1. Persamaan Keturunan
Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari
berbagai ras, suku, dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan
bersama yang dicita-citakan. Alquran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang
merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari
suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Alquran pada surat Al A’raf ayat 160 yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
”Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: ”Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”. Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami Berfirman): ”Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu”. Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri”.
Rasulullah Muhammad SAW dalam perjuangannya di Makkah justru mendapat
pembelaan dari keluarga besarnya. Sejalan dengan itu Rasulullah Muhammad SAW
bersabda: ”Sebaik-baiknya kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya itu
bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh bin Malik)”.
Pengelompokkan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap
superioritas dan penghinaan terhadap bangsa lain. Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
”Tidaklah termasuk dalam golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik
buta terhadap kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang
mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im)”.
2. Persamaan Bahasa
Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan
isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas
lain. Jadi, bahasa merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Dalam konteks
paham nasionalisme, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih penting ketimbang bahasa
Orang-orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani, dikecam oleh Alquran dalam surat Al
Hasyr ayat 14 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
”Mereka (Yahudi) tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka (Yahudi) adalah sangat hebat. Kamu kira mereka (Yahudi) itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (Yahudi) adalah kaum yang tidak mengerti”.
Sahabat-sahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari
Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (berasal dari Ethiopia) maka Rasulullah
Muhammad SAW bersabda: ”Kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena
bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia
adalah bangsa Arab (HR Ibnu ’Asakir)”.
Jadi, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat,
dapat diakui oleh Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan keragamannya
merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah SWT. Hanya saja harus
diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat
menyampaikan informasi.
3. Persamaan Adat Istiadat
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat
istiadatnya. Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Alquran surat Ali Imran ayat 104:
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung”.
Kata ‘urf dan ma’ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat
yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan
penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga,
sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila
rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah
yang dinamai ‘urf/ma’ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang
gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota
Madinah). Nabi Muhammad SAW yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata
kepada Aisyah, ”Apakah tidak ada permainan/nyayian? Karena orang-orang Anshar senang
masyarakat Anshar. Jadi, jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa
tidaklah bertentangan dengan Islam.
4. Kesatuan dan Persatuan
Tidak dapat disangkal bahwa Alquran memerintahkan persatuan dan kesatuan.
Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam surat Al Anbiyaa ayat 92 dan surat Al Mu’minun
ayat 52 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Sesungguhnya umatmu ini adalah
umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”.
Hal yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Alquran
terhadap kata umat. Ar-Raghib Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Alquran
Al-Mufradat fi Ghanb, Alquran menjelaskan bahwa umat adalah kelompok yang dihimpun oleh
sesuatu, baik persamaan agama, waktu, tempat, baik pengelompokkan itu secara terpaksa
maupun atas kehendak sendiri. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat
dalam Alquran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri.
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyatu persatuan Islam (Liga Islam),
menegaskan bahwa idenya bukan untuk menuntut umat Islam berada di bawah satu
kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu
untuk menjaga keberadaan masing-masing. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali
Imran ayat 105 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Janganlah kamu menjadi
seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”.
Kalimat ”dan berselisih” digandengkan dengan ”berkelompok-kelompok” untuk
mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokkan yang mengakibatkan
perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya
segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, dan bangsa.
Kelenturan kandungan makna umat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung
pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal, Alquran hanya
mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai umum itu.
Dalam Alquran juga mengakui adanya kebinekaan dalam kesatuan, yaitu dijelaskan
dalam surat Al Maidah ayat 48 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Seandainya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
Akan tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Dengan demikian, tidak dapat dibuktikan
bahwa Alquran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan
saja, dan menolak paham kebangsaan.
Alquran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah
kenegaraan. Sistem kekhalifahan yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah
merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku
yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan
masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang
diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
5. Persamaan Sejarah
Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan
salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah
masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat
dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari
sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan
dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.
Alquran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan
utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil iktibar (pelajaran), guna menentukan
langkah berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan
ajaran Alquran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya nasionalisme,
hal ini inklusif di dalam ajaran Alquran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk
mencapai kebaikan dan kemaslahatan.
6. Cinta Tanah Air
Cinta tanah air sejalan dengan perintah Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya
dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta kepada tanah air tampak pada saat beliau tinggal
di Madinah dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: ”Ya Allah cintakan kota
Madinah kepada kami, sebagaimana Engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR
Bukhari, Malik, dan Akhmad)”.
Orang yang gugur dalam mempertahankan keluarga, harta, dan negeri sendiri dinilai
sebagai mati syahid, sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama
menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam Alquran surat Al
Mumtahanah ayat 8-9 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Dari uraian di atas terlihat bahwa nasionalisme sangat sejalan dengan ajaran Alquran
dan Sunah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran
Alquran.
Nasionalisme politik di Indonesia diperkenalkan oleh para intelektual dan kaum
terpelajar pada awal abad 20, yang kemudian tokoh-tokoh tersebut membentuk Budi Utomo
pada tahun 1908. Gerakan ini berkembang di kalangan terpelajar yang kelak menjadi
cikal-bakal terbentuknya elit modern Indonesia.
Kebangkitan nasionalisme yang dipelopori oleh Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo,
HOS Tjokroaminoto dan generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM
Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan lain-lain, semakin mendinamisasikan kaum pergerakan
dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di bawah cengkraman kolonialis Hindia-Belanda dan
juga Jepang, para tokoh pergerakan itu benar-benar menyadari arti penting semangat
nasionalisme, karena penjajah menerapkan kapitalisme modern yang telah mengakibatkan
bangsa Indonesia sangat menderita dengan kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan.
Setelah Budi Utomo pada tahun 1908 dibentuk kemudian menyusul organisasi yang
bersifat politik, yaitu Indische-Partij pada tahun 1911 dan Sarekat Islam pada tahun 1912
yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Indische-Partij dibentuk oleh
tiga “serangkai” EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soeryaningrat (bangsawan Jawa dari keraton Paku Alam). Sarekat Islam dibentuk oleh Haji
Samanhoedi pedagang batik dari Solo yang “keturunan Bugis-Makassar”, dan kemudian
berkembang di bawah kepemimpinan (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto. Selanjutnya,
keberanian untuk berorganisasi makin berkembang dan pemuda-pemuda etnik mengambil
peranannya masing-masing. Tegaklah kemudian Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatera,
Jong Batak, dan sebagainya. Dengan menggunakan organisasinya yang berdasarkan asal
kelahiran mereka, maka mereka telah memberikan makna ideologi dalam kerangka proses
pencerahan dan pembentukan identitas baru, ke-Indonesiaan. Artinya, ideologi yang berlatar
etnik terlibat secara intens di tengah-tengah pertarungan pencarian identitas di bawah
bayang-bayang kekuasaan kolonialisme Belanda. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa cita-cita
ke-Indonesiaan sudah sejak awal dicari dan ditemukan bersama oleh warga
yang terdidik-tercerahkan dan dari etnik berbeda-beda itu bersatu padu, berdialog dan
mempertanyakan identitas diri mereka, meskipun identitas etnik dan budaya mereka
berbeda-beda.
Selanjutnya tibalah saat yang bersejarah bagi bangsa Indonesia ketika sejumlah
warga terdidik-tercerahkan itu berkumpul dan berkongres pada tanggal 28 Oktober 1928.
Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan (penegasan) tentang nama diri bangsa, tanah
air, dan bahasa, yaitu Indonesia. Momen bersejarah itu hingga kini masih diperingati sebagai
Hari Sumpah Pemuda.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Strukturalisme
Analisis sastra adalah ikhtiar untuk menangkap atau mengungkapkan makna yang
terkandung dalam teks sastra. Pemahaman terhadap teks sastra harus memperhatikan
unsur-unsur struktur yang membentuk dan menentukan sistem makna, (Culler dalam Pradopo,
1995: 41).
Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori dan
pendekatan. Hal ini pun tidak salah, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi
dalam penelitian sastra. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan
diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya, (Endraswara, 2008:
49).
Strukturalisme sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia
sebagai realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan
keharusan. Jaringan relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Keteraturan struktur
itu, akan membentuk sebuah sistem yang baku dalam penelitian sastra. Menurut Junus (dalam
Endraswara, 2008: 49) strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra
adalah bentuk. Oleh sebab itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern.
Memang, ada kesamaan antara strukturalisme dengan formalisme, yang sama-sama mencari
arti dari teks itu sendiri.
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari
aspek-aspek linguistik. Keutuhan makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra,
(Endraswara, 2008: 50). Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri
sendiri, karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna.
struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa paralelisme, pertentangan, inversi, dan
kesetaraan. Hal yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan
makna secara keseluruhan.
Menurut Jean Peaget (dalam Endraswara, 2008: 50) strukturalisme mengandung tiga
hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik
keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi
(transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus
memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri
(self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan
prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Paham strukturalis, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah
menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini
mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau seperti yang dikemukakan
Luxemburg (dalam Endraswara, 2008: 50) tentang signifiant-signifie dan
paradigma-syntagma. Kedua unsur itu selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan. Oleh
karena itu, kedua unsur penting ini tidak dapat dipisahkan dalam penafsiran sastra.
Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi
(content) atau makna (significance) yang otonom, (Endraswara, 2008: 50). Artinya,
pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman
harus mampu mengaitkan kebertautan antar unsur pembangun karya sastra. Kebertautan
unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh.
Ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra
sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan
watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media
komunikasi antara pengarang dan pembaca, (Endraswara, 2008: 50). Pendek kata,
strukturalisme menekankan pada otonomi penelitian sastra.
Penekanan Strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teori mandiri.
Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Analisis
struktural dalam analisis teks sastra menjadi perantaraan dalam membongkar sistem makna
yang terkandung di dalamnya. Pendekatan struktural sebagai prioritas awal untuk mengetahui
kebulatan makna teks sastra yang harus memperhatikan pemahaman peran dan fungsi
Berdasarkan penilaian tersebut, analisis struktural terhadap teks sastra memiliki
tujuan untuk membongkar atau mengungkapkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra
secara totalitas dalam menghasilkan makna, (Teeuw, 1991: 135). Menurut Goldman (dalam
Ratna, 2004: 122) menekankan bahwa dalam rangka memberi keseimbangan antara karya
sastra dengan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan
hakikat ketergantungan sosialnya, tidak secara langsung menghubungkan karya dengan
struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan
kelas sosial dominan.
Hal ini sesuai dengan pendapat A. Teeuw (dalam Pradopo, 1995: 46). “Analisis
struktural merupakan hal yang harus dilakukan untuk memahami prosa (baik cerpen, novel,
dan roman) yaitu dengan memahami struktur fisik dan struktur batin yang terdapat di
dalamnya”. Sebelum melakukan analisis karya sastra dengan menggunakan pendekatan
apapun haruslah menggunakan pendekatan strukturalisme.
Analisis struktural merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang
lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna yang dapat digali dari karya sastra
tersebut tidak dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan
fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra, (Teeuw, 1991: 16).
Mukarovski dan Vodica (dalam Ratna, 2004: 93) menyebutkan unsur-unsur prosa, di
antaranya tema, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang,
dan gaya bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis
strukturalisme berusaha memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur yang membangun karya
sastra serta menjelaskan bahwa antara unsur-unsur tersebut kurang berfungsi tanpa adanya
interaksi. Untuk dapat memecahkan masalah, maka digunakan analisis strukturalisme pada
novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro yang akan dikaji.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap Novel 5 cm. pernah dilakukan oleh Dwi Lindawati pada tahun
2009 yang berjudul ”Moralitas Sosial Tokoh dan Amanat dalam Novel 5 cm. Karya Donny
Dhirgantoro”. Data dalam penelitian tersebut adalah unit-unit teks pada novel 5 cm. karya
Donny Dhirgantoro yang berupa paparan bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh
dan amanat-amanat yang terkandung. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah
data yang menjadi objek kajiannya. Dwi menggunakan unit-unit teks yang berupa paparan
bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh dan amanat-amanat yang ingin
kalimat, dan ungkapan yang mengandung makna nasionalisme. Selain itu, Dwi juga
membahas moralitas sosial tokoh berdasarkan beberapa aspek, yaitu: (1) moralitas dilihat dari
aspek ketaatan kepada peraturan, (2) moralitas dilihat dari aspek tidak suka menyakiti orang
lain, (3) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa empati terhadap orang lain, (4) moralitas
dilihat dari aspek cinta tanah air, dan (6) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa tanggung
jawab terhadap orang lain. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti membahas nasionalisme
dari segala aspek, seperti aspek politik, agama, pendidikan, kebudayaan, ideologi dan
sebagainya.
Novel 5 cm. juga pernah diteliti oleh Silvia Ratna Juwita pada tahun 2012 yang
berjudul ”Nilai Moral Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian
tersebut adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral yang
terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro, selain itu penulisan penelitian tersebut
juga menggunakan pendekatan psikologi sosial yang membahas tentang hubungan antar
individu dan tanggapan masyarakat terhadap individu karena dalam penelitian tersebut
mencoba menguraikan nilai moral yang terkandung dalam novel 5 cm. karya Donny
Dhirgantoro. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah cara menganalisis
kajiannya. Silvia menganalisis nilai moral yang terdapat dalam Novel 5 cm. kemudian
menghubungkannya dengan proses pembelajaran sastra di sekolah tingkat SMA kelas XI
(sebelas). Dalam analisisnya Silvia mendapatkan nilai moral yang terkadung dalam novel 5
cm. seperti: kejujuran, bertanggungjawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja keras.
Kemudian nilai-nilai moral tersebut diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) dalam aspek mendengarkan. Sedangkan
penelitian ini, peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan kajian strukturalisme, artinya
peneliti memaparkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas sehingga
menghasilkan makna nasionalisme. Unsur-unsur yang dianalisis seperti tema, peristiwa atau
kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan
gaya bahasa berdasarkan indikator nasionalisme.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Irvandi Arifiansyah pada tahun 2011
yang berjudul ”Kajian Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel 5 cm. Karya Donny
Dhirgantoro”. Penelitian tersebut berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan strukturalisme. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi. Walaupun
sama-sama menggunakan kajian strukturalisme, yang menjadi kajian Irvandi yaitu tentang
menganalisis secara struktural Novel 5 cm., kemudian Irvandi juga menganalisis nilai
pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut. Adapun nilai pendidikan yang dibahas, yaitu
nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan
estetika. Jadi, Irvandi memaparkan nilai pendidikan berdasarkan keterkaitan antar unsur
dalam teks sastra. Hal yang menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah fokus kajiannya.
Penelitian ini secara lebih spesifik membahas tentang nasionalisme yang merupakan bagian
dari nilai pendidikan itu sendiri. Peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan keterkaitan
antar unsur teks sastra. Artinya, peneliti menganalisis secara lebih luas tentang nasionalisme
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian pustaka. Penelitian pustaka
merupakan suatu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan
menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku,
periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah
sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya, yang dapat dijadikan sumber
rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah, (Fathoni, 2006: 95-96).
Metode dan teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah teknik pustaka,
baca, dan catat.
a. Teknik Pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperoleh data, (Subroto, 1992: 42). Data diperoleh dalam bentuk tulisan maka
harus dibaca, hal-hal yang penting dicatat kemudian disimpulkan dan memelajari
sumber tulisan yang dapat dijadikan sebagai landasan teori dan acuan dalam
hubungan dengan objek yang akan diteliti.
b. Teknik baca dan catat. Teknik baca yaitu dengan membaca secara berulang-ulang
secara keseluruhan novel tersebut untuk memahami isinya secara utuh. Teknik catat
yaitu mencatat kata, kalimat, atau data-data yang penting yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti, serta mengumpulkan teori-teori yang relevan yang
berhubungan dengan penelitian.
c. Kemudian dilanjutkan dengan sumber data, yaitu menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang langsung didapat dan diperoleh oleh
penulis dari sumber pertamanya untuk keperluan penelitian, (Surachmad, 1990:163).
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel 5 cm. karya Donny
Dhirgantoro.
Sumber Data:
Judul Novel : 5 cm.
Pengarang : Donny Dhirgantoro
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah Halaman : 381 Halaman
Cetakan : Keduapuluh Sembilan
Warna Sampul : Hitam
Desain Sampul : Bayu Abdinegoro
Sumber data sekunder adalah sumber data yang terlebih dahulu dikumpulkan orang
di luar penyelidik itu sendiri. Walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya adalah data asli,
(Surachmad, 1990: 163). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra,
referensi, catatan singkat, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian. Data penelitian
berisi kutipan-kutipan dari data buku, dokumen, catatan resmi, dan lain-lain untuk memberi
gambaran laporan.
3.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis Unsur-Unsur Pembangun Novel
Peneliti akan menganalisis unsur-unsur pembangun novel 5 cm. karya Donny
Dhirgantoro berdasarkan kata, klausa, kalimat, dan ungkapan yang mengandung
nasionalisme melalui tokoh Arial, Riani,
b. Mengaitkan Antara Unsur Pembangun Novel
Setelah dianalisis peneliti, maka langkah selanjutnya adalah mengaitkan hasil
analisis antara unsur yang satu dengan lainnya yang membangun struktur novel 5
cm. karya Donny Dhirgantoro.
c. Menyajikan Hasil Analisis
Kemudian peneliti akan menyajikan hasil analisis tersebut dengan menjelaskan
bagaimana nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro berdasarkan
analisis strukturalisme.
d. Menyimpulkan Penelitian
Hasil analisis akan dibuat simpulan tentang nasionalisme dalam novel 5 cm. karya
BAB IV
ANALISIS STRUKTUR YANGMEMBANGUNNILAI NASIONALISME DALAM NOVEL 5 cm. KARYA DONNY DHIRGANTORO
4.1 Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita, (Stanton dan Kenny dalam
Nurgiantoro, 2005: 67). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.
Menurut Sudjiman (1986: 50) tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari
suatu karya sastra, sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1986: 56), mengemukakan
bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekadar mau
bercerita, tetapi mau menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Menurut beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan atau ide sentral (pokok) yang
menjadi dasar penciptaan cerita.
Secara keseluruhan tema novel 5 cm. adalah tentang persahabatan. Pada novel 5 cm.
kisah persahabatan begitu kental tertuang dalam setiap peristiwa yang dijalani para tokohnya.
Tokoh yang menjalani persahabatan dalam novel 5 cm. ini adalah Genta, Arial,
dan Ian. Mereka adalah lima orang bersahabat yang sering menghabiskan waktu
bersama-sama.
Tema tentang persahabatan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Tapi kan ada yang lebih penting dari sekadar selera...,” Genta ngomong pelan dan melanjutkan, “yang penting kan kita bareng-bareng terus berlima...menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, ketawa buat semuanya, sedih buat semuanya”. (5 cm.: 50)
Pada kutipan tersebut, nilai nasionalisme dari persahabatan adalah tentang
kebersamaan yang dilakukan oleh kelima orang tokoh yang bersahabat, yaitu Genta, Arial,
persatuan. Kebersamaan melambangkan sebuah persatuan dari kelima orang tokoh bersahabat
tersebut. Kebersamaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 986) mempunyai arti
yaitu hal yang dilakukan bersama. Kebersamaan merupakan suatu bentuk nasionalisme
karena adanya unsur persatuan di dalamnya.
Nilai persatuan terdapat dalam sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia. Pada sila
ketiga Pancasila ini menyiratkan adanya suatu keragaman, sehingga perlu adanya rasa untuk
cm. keberagaman terlihat dalam aspek perbedaan pendapat, jenis kelamin, selera, dan juga
pandangan hidup. Semua perbedaan tersebut menjadi sebuah kekuatan yang membuat mereka
bisa memahami satu dengan yang lainnya sehingga terjalin rasa saling menghargai. Adanya
rasa saling menghargai tersebut, membuat kelima orang bersahabat ini menjalin kebersamaan
atas nama persahabatan.
Kelima tokoh dalam novel 5 cm. merupakan orang-orang sejak masa SMA sudah
bersahabat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
”Kalau kata karena walau bagaimana pun dengan cara apa pun kita nggak akan bisa kembali lagi ke masa-masa SMA yang sangat indah bagi mereka. Masa SMA yang nggak akan tergantikan dengan apa pun.... Jadi, biarkan aja semuanya gelap, yang penting kita pernah sama-sama di gelap bahagia sana.” (5 cm.: 46)
Pada kutipan tersebut dapat diidentifikasikan bahwa rasa kebersamaan mereka
memang sudah terjalin lama karena sudah menghabiskan waktu bersama-sama sejak masa
SMA, sehingga membuat rasa persatuan di antara kelima orang bersahabat ini sudah cukup
kuat. Rasa kebersamaan kelima orang bersahabat ini juga berlanjut, ketika mereka mendaki
gunung Semeru. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
”Kalo ada yang capek bilang ya, jangan ada yang gengsi. Satu orang capek, semuanya berhenti. Kebanyakan orang gagal ke puncak karena kecapekan dan gengsi nggak mau bilang. Yang ada cuma maksa sehingga akibatnya nggak bisa ngelanjutin.” (5 cm.: 237)
Pada kutipan tersebut, kebersamaan dalam persahabatan mereka memang cukup
jelas terlihat. Rasa kebersamaan seakan sudah tertanam di dalam benak mereka, sehingga
mereka harus melaksanakan sesuatunya berdasarkan kepentingan bersama. Kelima orang
bersahabat dalam novel 5 cm. ini benar-benar menempatkan kepentingan bersama di atas
kepentingan dirinya sendiri. Hal itu dilakukan sejak masa SMA, mereka bersama-sama
mendaki gunung Semeru. Nilai nasionalisme yang terdapat dalam tema novel 5 cm. adalah
tentang persahabatan, yang di dalamnya terdapat rasa kebersamaan.
4.2 Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semua
yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton dalam
Sugihastuti, 2007: 35). Latar atau setting mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu,
Nurgiantoro, 2005: 216). Latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial.
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar
tempat dalam novel 5 cm. adalah di Indonesia yaitu terbagi di beberapa kota di Indonesia
seperti Jakarta, Bogor, Cirebon, Jogjakarta, Madiun, dan Malang. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
”Panasnya Jakarta hari itu menimpa gerbong, menambah tua tampilan kereta”. (5
cm.: 148)
”Heh bengong, udah sampai Bogor nih...,” Arial menyenggol bahu Indy. (5 cm.: 91)
”Menjelang sore kereta mulai memasuki daerah Cirebon. Mereka berenam masih
saja bercanda ngobrol segala macam, nggak peduli dengan keadaan kereta. Kerinduan pada
diri mereka masing-masing mengalahkan semuanya.” (5 cm.: 152-153)
”Genta, Riani
yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta.” (5 cm.: 172)
”Kita di mana, Ta?” Riani yang baru bangun bertanya ke Genta. ”Di Madiun.” Arial
menjawab pertanyaan Riani. (5 cm.: 178)
”Jalan-jalan kota Malang yang tidak terlalu lebar menyambut mereka sore itu, suatu
tempat yang lain dan asing.” (5 cm.: 194)
Jakarta adalah kota yang menjadi asal dan tempat tinggal para tokoh dalam novel 5
cm. Bogor adalah kota yang menjadi salah satu tempat yang tertera dalam novel 5 cm. yaitu
ketika Arial dan Indy datang ke sebuah pesta ulang tahun temannya. Cirebon juga menjadi
salah satu kota yang disinggahi oleh para tokoh di dalam novel 5 cm. karena pada saat itu
kereta api yang mereka tumpangi melintasi daerah Cirebon. Jogjakarta menjadi tempat
pemberhentian sementara para tokoh dalam novel 5 cm. menuju Malang. Pada saat itu
mereka berhenti di stasiun Lempuyangan, Jogjakarta, untuk ke toilet. Madiun juga menjadi
tempat berhenti mereka sementara, tepatnya di stasiun kereta Madiun. Mereka juga sempat
bersarapan nasi pecel di stasiun ini. Malang merupakan kota terakhir yang menjadi
pemberhentian mereka sebelum menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tempat
yang menjadi tujuan utama mereka.
Selain enam kota tersebut, yang menjadi latar tempat dalam novel 5 cm. yang paling
utama adalah berada di Gunung Semeru tepatnya di Puncak Mahameru. Hal itu dapat dilihat
”Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.
”Pengibaran Sang Saka Merah Putih di puncak Mahameru.” Teriakan seorang pendaki, memecah segala suara yang ada saat itu, menimbulkan keheningan yang mendadak. Hanya suara angin dan desir pasir yang ada.” (5 cm.: 344)
Gunung Semeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa. Puncak Gunung
Semeru dikenal dengan nama Mahameru. Mahameru artinya adalah raja dari gunung atau
gunung yang besar. Maha artinya besar atau megah dan meru dalam bahasa Jawa artinya
gunung (5 cm.: 202). Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten
Malang dan Lumajang. Gunung Semeru masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru.
Nilai nasionalisme dari kutipan di atas adalah di puncak Mahameru para tokoh
dalam novel 5 cm. dan seluruh pendaki melakukan upacara bendera untuk memperingati hari
kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka melakukan upacara bendera dengan khidmat dan
penuh tangis bahagia. Keheningan di puncak Mahameru menjadikan suasana semakin penuh
dengan keharuan. Hal itu dapat dilihat juga dalam kutipan berikut:
”YEAH...!!! teriak semua pendaki serentak membahana memecahkan keheningan, disusul dengan saling berpelukan. Sekali lagi Sang Dwiwarna berkibar di puncak Mahameru tahun ini. Suara-suara tangis bahagia dan teriakan-teriakan penuh semangat terdengar memenuhi puncak. Hampir seluruh pendaki di situ tak bisa menahan haru. Di pagi ini semua merasa dekat sekali satu sama lain, bergembira dengan hati sesak penuh kebanggaan. Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus... Tanah Air ini indah sekali.” (5 cm.: 347)
Nilai nasionalisme yang terkadung dari latar tempat ini adalah di Puncak Mahameru
para tokoh dalam novel 5 cm. melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih untuk
memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketinggian puncak Mahameru dapat
diartikan bahwa itulah tempat tertinggi yang berada di Pulau Jawa, sehingga para tokoh
dalam novel 5 cm. merasa lebih dekat dengan Tuhan tetapi tetap menjejakkan kaki di tanah
air Indonesia, yaitu di puncak Mahmeru. Mereka juga mengucapkan rasa syukur kepada
Tuhan karena telah diberikan negeri yang begitu indah, yang bernama Indonesia di puncak
Mahameru.
b. Latar Waktu
Latar waktu merupakan hal yang berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi, dalam hal ini latar waktu yang
”Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus... Tanah Air ini indah sekali.
Ibu Pertiwi pun tersenyum melihat anak-anaknya yang bergembira di atas pangkuannya”. (5
cm.: 347)
Tanggal 17 Agustus adalah tanggal yang keramat bagi bangsa Indonesia. Tanggal 17
Agustus tepatnya pada tahun 1945, merupakan hari yang menjadi tonggak baru perjalanan
bangsa Indonesia, karena pada saat itulah mulai dikumandangkan proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno. Tanggal 17
Agustus juga dijadikan sebagai Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, sehingga setiap
tahunnya pada tanggal tersebut selalu diadakan sebuah penghormatan berupa upacara bendera
dan acara-acara hiburan seperti perlombaan-perlombaan untuk memeriahkan hari yang begitu
sakral bagi bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan kutipan tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada tanggal 17 Agustus
mereka sampai di puncak Mahameru setelah mendaki dengan susah payah. Pada tanggal
tersebut pula mereka melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih di puncak tertinggi
Pulau Jawa yaitu Mahameru, guna memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini
menjelaskan bahwa dari segi latar waktu, nilai nasionalisme yang terdapat pada tanggal 17
Agustus adalah tanggal tersebut merupakan tanggal yang menjadi kebanggaan bagi seluruh
bangsa Indonesia, karena pada saat itu adalah tanggal lahirnya bangsa Indonesia.
c. Latar Sosial
Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat. Kehidupan sosial tokoh-tokoh dalam novel 5 cm. adalah
sama-sama berasal dari kaum terpelajar yaitu alumni perguruan tinggi. Selain itu mereka berlima
juga merupakan mahasiswa yang ikut berdemo sewaktu menurunkan Orde Baru dalam
peristiwa reformasi, hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
”Gue jadi inget waktu zaman kita demo nurunin Orde baru...,” Riani tiba-tiba menggumam sendiri.
”Lho apa hubungannya, Ni?” Ian bingung.
”Dulu kita teriak-teriak atas nama rakyat di seluruh penjuru Indonesia. Trus yang di sekeliling lo ini emangnya siapa?”
memuncak pada pendudukan atap gedung rakyat dan berbasah basah ria di kolam depan DPR/MPR. Nasi bungkus gratis dari rakyat yang dibagikan oleh ibu-ibu di pinggir jalan dan Indonesia Raya yang dikumandangkan penuh haru setelah reformasi tercapai, semuanya sepilas terlintas.
”Bener juga lo,” Arial memecah kekosongan.
”Mereka juga sebagian dari yang dulu kita perjuangkan,” sambut Riani. (5 cm.: 185)
Nilai nasionalisme yang terdapat dalam kutipan di atas adalah tokoh-tokoh dalam
novel 5 cm. adalah tokoh-tokoh yang terpelajar. Tokoh-tokoh dalam novel 5 cm. adalah para
alumni perguruan tinggi. Berada di bangku perguruan tinggi merupakan suatu pencapaian
yang membanggakan di dunia pendidikan karena ilmu yang didapatkan di perguruan tinggi
jauh lebih mendalam. Pendidikan begitu penting dalam proses membangun bangsa, karena
dengan pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan anak bangsa sehingga dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Berada di bangku perguruan tinggi,
berarti juga ikut dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga dapat membangun
bangsa ke arah yang lebih baik.
Selain itu nilai nasionalisme yang terdapat dalam kutipan tersebut adalah para tokoh
dalam novel 5 cm. adalah mahasiswa yang ikut berdemo untuk menurunkan Orde Baru dalam
peristiwa reformasi. Peristiwa reformasi adalah peristiwa lengsernya Presiden Soeharto dari
tampuk kepemimpinan negara Republik Indonesia. Lengsernya Soeharto sebagai presiden
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti masalah politik, ekonomi, dan sosial. Dari segi
politik, dipicu oleh pengangkatan kembali Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia
setelah hasil pemilu 1997 yang menunjukkan bahwa Golkar sebagai pemenang mutlak.
Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia dan membentuk Kabinet
Pembangunan VII penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi.
Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak
dari krisis moneter dunia yang berakibat pada merosotnya nilai rupiah secara drastis. Hal ini
diperparah dengan hutang luar negeri Indonesia yang semakin memburuk. Keadaan semakin
kacau karena terjadinya ketidakstabilan harga-harga bahan pokok, termasuk minyak.
Kenaikan harga minyak, kemudian berpengaruh pada kenaikan tarif angkutan umum.
Dari faktor sosial, banyak terjadinya konflik-konflik sosial diberbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada rakyat yang mengalami
kelaparan. Hal ini berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Ini
berarti bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia mendorong hancurnya kredibilitas
Mahasiswa yang pada saat itu menjadi kaum terpelajar merasa bahwa situasi
Indonesia sudah tidak lagi kondusif di bawah pemerintahan Orde Baru. Kasus Trisakti juga
menjadi salah satu penyebab semakin kuatnya persatuan di kalangan mahasiswa pada saat itu,
untuk menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia. Para tokoh dalam novel 5 cm. dituliskan sebagai bagian dari mahasiswa yang
berdemo di gedung DPR/MPR. Mereka berdemo untuk melengserkan Presiden Soeharto dari
jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia karena dianggap sudah tidak mampu lagi
menjadi pemimpin yang mensejahterakan rakyatnya, serta sudah banyak berbuat korupsi,
kolusi, dan nepotisme sehingga membuat rakyatnya semakin menderita.
Nilai nasionalisme yang dapat disimpulkan dalam kutipan di atas adalah para tokoh
dalam novel 5 cm. merupakan pahlawan reformasi yang memperjuangkan aspirasi rakyat
yang sudah tidak lagi menginginkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia karena
merasa kehidupan mereka sudah terombang-ambing oleh krisis moneter yang melanda
Indonesia. Para tokoh dalam novel 5 cm. berjuang atas nama rakyat Indonesia yang
menginginkan adanya reformasi di segala bidang. Hal itu tercapai ketika Presdien Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia tepat pada tanggal
21 Mei 1998.
4.3 Penokohan atau Perwatakan
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Tokoh-tokoh
itu rekaan pengarang, maka tokoh-tokoh perlu digambarkan dan hanya pengaranglah yang
‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh dalam cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta
sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca, (Sudjiman, 1986: 23).
Perwatakan seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu
fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Lajos Egri dalam Sukada, 1993: 62). Dimensi fisiologis
meliputi: jenis kelamin, umur, tinggi badan, warna kulit, rumbut, postur tubuh, dan
penampilan. Dimensi sosiologis meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan,
agama, suku bangsa, tempat tinggal, kedudukan dalam masyarakat, dan hobi. Dimensi
psikologis meliputi: moral, ambisi pribadi, temperamen, sikap hidup, pikiran, perasaan,
tanggung jawab, dan tingkat kecerdasan.
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa pada cerita (Sudjiman, 1991: 16). Namun
demikian, tokoh dalam cerita rekaan haruslah digambarkan sesuai dengan realita kehidupan