• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polutant impact to efficiencies tambaks in district Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Polutant impact to efficiencies tambaks in district Karawang"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

USAHA TAMBAK DI KABUPATEN KARAWANG

LILIS IMAMAH ICHDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

disertasi saya berjudul :

PENGARUH POLUTAN TERHADAP EFISIENSI USAHA TAMBAK DI KABUPATEN KARAWANG

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing. Kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannnya.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

District Karawang (SRI HARTOYO, as a chairperson, YUSMAN SYAUKAT, and SRI UTAMI KONTJORO as Members of the Advisory Committee).

Organic Loading is mainly due to the remaining feed and feces inedible shrimp and fish metabolism. Organic waste from intensive and semi-intensive pond directly into the aquatic ecosystem without passed the treatment of sewage disposal ponds lead to eutrophication, excessive turbidity, sedimentation, and salinization toxicity of aquatic habitats, causing further production efficiency and productivity of farms decreased. The purpose of this study were: (1) estimate the efficiency of production of the farms in the district of Karawang (2) estimate the effect of pollutants nitrogen, phosphorus and BOD and mangroves for pond production efficiency, and (3) estimate the total factor productivity of farm enterprises in the district of Karawang. The results showed that the business had milkfish monoculture farms are technically efficient with an average rate of 84.1 percent, but it is allocative and economically inefficient with an average of 59.2 percent and 48.9 percent. Production factors that have a positive and significant effect on the production of milkfish monoculture farm business is feed, milkfish stock, urea fertilizer, labor, fuel and extensive ponds. Total factor productivity monoculture farms ranged from 59.7 - 138.7, with an average of TFP at Fishpond milkfish monoculture of 92.4. There are 21.8 percent businesses of monoculture ponds achieve high technical efficiency and TFP. Technical efficiency is very significant to TFP, so increasing the technical efficiency will increase total factor productivity of farm businesses. Based on the concentration of nitrogen, phosphorus and BOD monoculture farm businesses included in the criteria for mild to moderate polluted. There is a tendency of higher technical efficiency of farm businesses will increasingly small percentage of lost production and cost of damages from pollutants as a source of inefficiency.

(6)
(7)

Usaha Tambak Kabupaten Karawang (SRI HARTOYO, Sebagai Ketua, YUSMAN SYAUKAT dan SRI UTAMI KUNTJORO, Sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Gangguan penyakit yang menjadi penyebab utama mortalitas tinggi sehingga menurunkan produktivitas udang sebesar 11 persen pada tahun 2009 dan menurunnya mutu udang disebabkan kualitas air budidaya yang memburuk. Menurunnya kualitas air ini dipicu dari sisa pakan yang telah dilakukan pengkayaan nutrien yang bertujuan memacu produksi udang dan bandeng.Beban organik (loading) terutama berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan feses hasil metabolisme udang dan ikan yang dibudidayakan. Limbah organik dari tambak intensif dan semi intensif secara langsung ke ekosistem perairan tanpa dilalui dengan perlakuan terhadap buangan limbah tambak menyebabkan eutrofikasi, kekeruhan berlebihan, sedimentasi, toksisitas dan salinisasi habitat perairan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polutan limbah tambak bandeng terhadap efisiensi produksi dan produktivitas faktor total usaha tambak di Pesisir Utara Kabupaten Karawang. Secara spesifik tujuan operasional penelitian ini adalah : (1) Mengestimasi efisiensi produksi usaha tambak di Kabupaten Karawang (2) Mengestimasi pengaruh polutan nitrogen, fosfor dan BOD dan mangrove terhadap efisiensi produksi tambak dan (3) Mengestimasi produktivitas faktor total usaha tambak di Kabupaten Karawang..

Lokasi penelitian di kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Karawang dengan pertimbangan bahwa kawasan pesisir ini memiliki kondisi hutan mangrove yang bervariasi dan kondisi pertambakan yang telah tercemar bahan organik. Populasi penelitian adalah usaha tambak yang berdomisili di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Karawang, denganSampel penelitian adalah usaha tambak monokultur bandeng dan usaha tambak polikultur bandeng-udang windu. Kondisi lingkungan yang diperhatikan adalah keberadaan mangrove dalam area pertambakan dan polutan nitrogen dan BOD. Tingkat teknologi budidaya sampel yaitu tradisional monokultur bandeng, dan tradisional plus polikultur bandeng-udang windu.Sumber data menggunakan data primer dan cross section sehingga pola tanam yang teramati hanya satu siklus budidaya tambak.Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan metode wawancara kepada responden dan indepth studi atau wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat yang mengetahui permasalahan di lapangan.

(8)

meningkatkan produk lebih kecil dari 1 persen. Jumlah parameter dugaan pada fungsi produksi usaha tambak bandeng ini sebesar 1.29 yang menunjukkan besarnya nilai skala usaha tambak bandeng. Nilai skala usaha lebih besar dari satu menunjukkan skala usaha yang meningkat. Hasil evaluasi kinerja terbaik usaha tambak bandeng di Kabupaten Karawang memperlihatkan nilai sebaran efisiensi teknis minimum 0.380 dan maksimum 0.974, dengan rata-rata efisiensi teknis sebesar 0.862. Sementara variabel polutan nitrogen, fosfor, dummy mangrove dan indeks skill merupakan penentu ketidakefisienan dalam usaha tambak bandeng.

Nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi dapat diukur dengan menggunakan dual cost frontier secara analitis yang diturunkan dari fungsi produksi stokastik frontier dengan 6 variabel input. Rata-rata efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing adalah 0.841, 0.592 dan 0.489. Terdapat hubungan antara ketiga efisiensi bahwa rata-rata TE > AE > EE.

Indeks TFP ini secara individu lebih mencerminkan perbedaan produktivitas yang dibandingkan dengan rata-rata TFP usaha tambak. Rata-rata indeks TFP monokultur bandeng sebesar 92.4 dengan kisaran TFP 59.7 – 138.7 berada dalam kisaran efisiensi teknis 40 – 100 persen. Ada kecenderungan semakin tinggi efisiensi teknis usaha tambak akan semakin tinggi produktivitas faktor totalnya. Usaha tambak yang mencapai tingkat optimal dimana efisiensi teknis dan efisiensi alokatif, ekonomi dan TFP di atas rata-rata, terdapat hubungan bahwa Rata-rata TFP > EE > AE.

(9)

@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan. Penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

TAMBAK DI KABUPATEN KARAWANG

LILIS IMAMAH ICHDAYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi IlmuEkonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Suharno, M.Adev

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Henny K.Daryanto, M. Ec

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya & Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

(13)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi berjudul : “Pengaruh Polutan Terhadap Efisiensi Usaha Tambak Di Kabupaten Karawang”.

Penulis menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terimakasih kepada Dr Ir Sri Hartoyo, MS, Dr Ir Yusman Syaukat, MSc, Prof Dr Ir Sri Utami Kontjoro, MS selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian, pelaksanaan dan penyusunan disertasi ini.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada:

1. Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama masa studi.

2. Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA yang telah memberikan pengarahan dan motivasi selama masa studi.

3. Bapak H.Yayat Supriyatna, Kepala Dinas Perikanan, Peternakan dan Kelautan Kab.Karawang; Bapak H.Endi Muchtar, tokoh masyarakat; Bapak H.Dede, Kepala BPBAPL; Bapak Nurdin dan Bapak Warih di BLU PPB; terimakasih telah memberikan informasi selama penelitian.

4. Teman-teman angkatan 2006 dan 2007, staf kependidikan Program Studi EPN yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan masa studi. 5. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya, yang telah memberikan rekomendasi dan ijin melanjutkan dan menyelesaikan Program Doktor di EPN FEM IPB. 6. Rekan sejawat dan staf kependidikan Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendukung dan mensupport aktivitas saya dalam menyelesaikan program doktor.

(14)

disertasi ini.

Semoga Allah SWT menerima dan membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan menerima karya ini sebagai tanda rasa syukur dan bakti penulis kepadaNYA. Amin.

Bogor, Agustus 2012

(15)

Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan almarhun Bapak H.Wasam Sunanto dan almarhumah Ibu H.Musyrifah. Penulis dilahirkan di Banjarsari pada 17 Juni 1962 di Banjarsari Ciamis Jawa Barat. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Ahmad Budiman, dikaruniai dua putra dan dua putri.

Pendidikan sarjana penulis selesaikan di Jurusan Budidaya Perikanan Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1988. Pendidikan magister penulis selesaikan di Jurusan Agribisnis Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada tahun 2000. Dan tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dengan bantuan beasiswa Departemen Agama melalui Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta.

(16)
(17)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12

1.6 Kebaharuan Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Konsep Produksi Frontier Stokastik ... 15

2.2 Konsep Efisiensi Teknis dan Efisiensi Lingkungan ... 19

2.2. Penelitian Terdahulu ... 20

2.2.1. Efisiensi dan Produktivitas Usaha Tambak... 20

2.2.2. Limbah Organik dan Aktivitas Tambak ... 25

2.2.3. Daya Dukung Lingkungan, Baku Mutu dan Pengendalian Pencemaran ... 28

2.2.4. Harga Bayangan Polutan Tambak ... 34

2.2.5. Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Penyerap Limbah ... 36

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 39

3.1. Teori Produksi Frontier ... 39

3.2. Pengertian Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis ... 42

3.3. Konsep Produksi Frontier Parametrik ... 45

3.4. Konsep Produksi Frontier Stokastik ... 47

3.4.1. Bentuk Fungsi untuk Model Fungsi Produksi Stokastik Frontier ... 51

(18)

3.4.5 Pengujian Hipotesis ... ... 62

3.5. Konsep Produktivitas Faktor Total ... 64

3.5.1 Pengukuran Produkstivitas Total ... 65

3.6. Penentuan Jumlah Pencemaran dengan Keseimbangan Massa ... 68

3.7. Kerangka Pemikiran Operasional ... 70

3.7 Hipotesis ... 71

IV. METODE PENELITIAN ... 75

4.1 Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel ... 75

4.2 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data ... 76

4.3 Metode Analisis ... 80

4.3.1 Analisis Efisiensi Teknik... 81

4.3.2 Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis... 85

4.3.3 Penghitungan Beban Polutan, Kehilangan Produksi, Biaya Kerugian dan Harga Bayangan Polutan ... 86

4.3.4 Analisis Produktivitas Faktor Total ... 89

4.3.5 Definisi Operasional ... 91

V. GAMBARAN UMUM USAHA TAMBAK KABUPATEN KARAWANG... ... 93

5.1 Potensi Perikanan ... 93

5.2 Produksi Usaha Tambak ... 96

5.3 Karakteristik Usaha Tambak Responden... ... . 99

5.4 Penggunaa Faktor-Faktor Produksi ... 108

5.5 Karakteristik Polutan Tambak ... 111

5.6 Karakteristik Mangrove dan Variabel Dummy ... 112

VI. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHA TAMBAK 115 6.1 Model Empiris Fungsi Produksi Stochastik Frontier Tambak Bandeng ... 115

6.2 Tingkat Efisiensi Produksi Usaha Tambak ... 127

6.3 Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usaha Tambak Bandeng ... 124

6.5 Analisis Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi.. ... 133

(19)

7.1 Keseimbangan Massa Polutan dalam Perairan Tambak... 151

7.2 Polutan Sebagai Sumber Inefisiensi Teknis Tambak ... 157

7.2 Kehilangan Produksi dan Biaya Kerugian Akibat Limbah Tambak... ... 161

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 169

(20)
(21)

Nomor Halaman

1. Kebutuhan Benur dan Pakan pada Berbagai Sistem Teknologi ... 7 2. Estimasi Limbah N dan P dari Hasil Kegiatan Tambak Udang Pada

Berbagai Kapasitas Produksi ... 8 3. Perbandingan Tindakan Usaha di Negara Maju dan Berkembang

Terkait dengan Kontribusi Proses Produksi Terhadap Limbah ... 10 4. Distribusi Responden Usaha Tambak Kabupaten Karawang 2011 ... 77 5. Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Variabel Usaha Tambak ... 78 6. Nilai Skala Umur, Pengalaman, Tahun Sekolah, dan Penyuluhan

Sebagai Unsur Pembentuk Skill Usaha Tambak... 83 7. Unsur Pembentuk Indeks Fasilitas Usaha Tambak... 90

8. Luas dan Produksi Tambak Pantura 2009 ... 93 9. Luas Lahan Tambak Di Pesisir Utara Kabupaten Karawang

Tahun 1989 – 2010 ... 94 10. Rekapitulasi Produksi Ikan, RTP dan Luas Areal Tambak Yang

Dimanfaatkan Tahun 2010 ... 95 11. Perkembangan Produksi Perikanan Kabupaten Karawang 2005-2010... 97 12. Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Kabupaten Karawang

Tahun 2005 - 2010 ... 98 13. Produksi Komoditas Usaha Tambak Kabupaten Karawang Tahun 2009 .... 99 14. Sebaran Responden Petambak Bandeng dan Udang Berdasarkan Luas

Tambak... 101 15. Sebaran Responden Petambak Bandeng dan Udang Berdasarkan

Kelompok Umur ... 102 16. Sebaran Responden Petambak Bandeng dan Udang Berdasarkan

Tingkat Pendidikan ... 103 17. Sebaran Responden Petambak Bandeng dan Udang Berdasarkan

Pengalaman Usaha ... 103 18. Status Kepemilikan Lahan Tambak di Pesisir Utara

Kabupaten Karawang ... 105 19. Sebaran Responden Petambak Berdasarkan Jarak Tambak ke

Saluran Air Laut di Kabupaten Karawang ... 108 20. Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Hasil Panen Usaha Tambak

(22)

23. Hasil Parameter Dugaan Fungsi Produksi Stokastik Frontier Usaha

Tambak Bandeng Di Kabupaten Karawang 2011 ... 116

24. Kebutuhan Nener untuk Tambak Bandeng Kabupaten Karawang Pada

Tahun 2006 dan 2010 ... 119 25. Distribusi Frekuensi Tingkat Efisiensi Usaha Tambak Kabupaten

Karawang, 2011 ... 125

26. Distribusi Produktivitas Bandeng Berdasarkan Tingkat Efisiensi Usaha

Tambak Kabupaten Karawang, 2011 ... ... 127

27. Hasil Parameter Dugaan Efek Inefisiensi Teknis Usaha Tambak

Kabupaten Karawang ... 128

28. Persentase Sebaran Usaha tambak yang Memiliki Mangrove

Berdasarkan Sebaran Efisiensi Teknis di Kabupaten Karawang ... 130

29. Sebaran Indeks Skill Berdasarkan sebaran Efisiensi Teknik Usaha Tambak Monokultur di Kabupaten Karawang, 2011 ... 131

30. Sebaran Indeks Skill Berdasarkan sebaran Efisiensi Teknik Usaha Tambak Polikultur di Kabupaten Karawang, 2011 ... 133 31. Produksi Produksi Frontier Dan Tingkat Kehilangan Produksi

Usaha Tambak Bandeng Berdasarkan Tingkat Efisiensi Di

Kabupaten Karawang, 2011 ... 123 32. Hasil Parameter Dugaan Efek Inefisiensi Teknis Usaha Tambak

Kabupaten Karawang, 2011 ... 124 33. Sebaran Polutan Nitrogen, Phosphor, BOD Berdasarkan Sebaran

Efisiensi Teknis Usaha Tambak di Kabupaten Karawang ... 126 34. Sebaran Dummy Mangrove Berdasarkan Sebaran Efisiensi Teknis Di

Kabupaten Karawang ... 127 35. Distribusi Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Usaha Tambak

Bandeng Kabupaten Karawang 2011 ... 133 36. Kisaran Produktivitas Faktor Total Usaha Tambak Kabupaten

Karawang,2011 ... 135 37. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi Terhadap Produktivitas Faktor Total

Pada Monokultur Bandeng ... 137 38. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi Terhadap Produktivitas Faktor Total

(23)

40. Parameter Dugaan Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Faktor Total Usaha Tambak Monokultur Bandeng ... 139 41. Parameter Dugaan Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Faktor

(24)

Nomor Halaman 1. Produksi Udang Nasional Tahun 1995 – 2010 ... 3

(25)
(26)
(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Usaha perikanan budidaya tambak merupakan kegiatan produksi yang memanfaatkan kawasan pesisir yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan masyarakat pesisir, menyediakan lapangan kerja, menyediakan ketahanan pangan, dan penghidupan serta perolehan devisa negara yang potensial. Sumbangan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto tanpa migas mencapai 2.76 persen pada tahun 2007 meningkat mencapai 3.36 persen tahun 2010. Potensi lahan tambak Indonesia tahun 2010 mencapai 2.9 juta hektar, sudah termanfaatkan sebesar 0.7 juta hektar dengan kenaikan rata-rata 7.22 persen (tahun 2007-2010) sehingga masih ada peluang pengembangan 2.2 juta hektar di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Jumlah rumah tangga perikanan 256 579 unit dengan kenaikan rata-rata 4.22 persen selama tahun 2007 - 2010 (KKP, 2011).

Peningkatan produksi udang dari usaha tambak ‘sebagai komoditas ekspor’ tersebut akan mempunyai andil yang cukup besar dalam perolehan devisa negara. Disamping itu peningkatan usaha tambak memberi peluang bagi berkembangnya faktor-faktor penunjangnya seperti cold storage, produsen pakan, panti benih (hatchery), pabrik pupuk, pengolahan ikan / udang dsb yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Udang dan Ikan bandeng merupakan produk unggulan budidaya tambak selain rumput laut, kerapu dan kakap. Tahun 2011 produksi ikan bandeng 585 242 ton dengan kenaikan rata-rata 22.75 persen sedangkan udang mencapai 414 014 ton dengan kenaikan 4.5 persen pertahun. Udang sebagai komoditas ekspor unggulan dari budidaya tambak mengalami penurunan dalam volume ekspor tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 11.5 persen dan 3.9 persen yang disebabkan karena adanya serangan penyakit pada dua wilayah sentra udang di Lampung dan Jawa Timur. Bila udang merupakan komoditas ekspor, maka ikan bandeng lebih dominan dikonsumsi dan diserap pasar dalam negeri, karena kebutuhan ikan bandeng untuk konsumsi dalam negeri mencapai 570 250 ton.

(28)

tipe usaha yaitu ekstensif/tradisional, tradisional plus, semi-intensif dan intensif. Perbedaan utama diantara tipe usaha tersebut terletak pada intensitas penggunaan input utama seperti benih, pakan, penggunaan kincir untuk menambah oksigen (O2) dan penggunaan pompa air untuk peggantian air. Perubahan teknologi dibidang budidaya tambak dari tradisional ke semi intensif dan intensif dilakukan melalui peningkatan padat penebaran benih, peningkatan pemberian pakan, dan input lainnya sehingga diharapkan memberikan hasil panen yang meningkat. Input lainnya yang digunakan adalah antibiotik dan bahan kimia untuk mengontrol penyakit, pencegahan penyakit, dan pengendalian hama.

Perubahan teknologi membutuhkan perencanaan dan modal besar, sehingga dalam jangka pendek besarnya produksi yang dapat dicapai oleh pembudidaya tambak ditentukan oleh efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada tingkat teknologi tetap. Peningkatan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi mampu meningkatkan produktivitas usaha tambak. Dengan demikian tujuan pembangunan pesisir untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan udang dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas usaha tambak, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha rumahtangga pembudidaya (Reksohadiprodjo dan Tandjung, 1986).

Usaha tambak sangat tergantung kepada faktor lingkungan seperti kualitas air dari perairan media budidaya, pencemaran perairan dan serangan penyakit yang mewabah. Upaya peningkatan efisiensi teknis menjadi kurang efektif bila faktor lingkungan diabaikan dalam proses produksi tambak. Hamparan tambak yang luas dan sistem perairannya merupakan satu badan ekosistem sehingga pengelolaan kualitas air dan penanggulangan penyakit harus dilakukan bersama karena adanya saling ketergantungan yang kuat antara pelaku usaha tambak.

(29)

Sumber : KKP (berbagai tahun)

Gambar 1. Produksi Udang Nasional Tahun 1995 – 2010 (ribu ton)

Kondisi ini seolah-olah mengulang peristiwa yang sama pada tahun 1997-1998, dimana serangan penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) menyerang udang windu. Peristiwa tahun 1997-1998 terjadi dikarenakan pengembangan teknologi budidaya udang windu dilakukan tanpa dasar ilmiah yang kokoh terutama dalam hal penerapannya di masyarakat, sehingga banyak usaha budidaya udang terutama di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa (lebih dari 60%) mengalami kerugian akibat kematian masal udang windu yang disebabkan kondisi lingkungan yang buruk dan terserang penyakit yang menular dan ganas (Widigdo dan Soewardi, 1999; Purwanta dan Firdayanti, 2002; Ratnawati dkk, 2010). Karenanya banyak pembudidaya udang windu beralih usaha ke budidaya ikan (ikan bandeng atau nila) yang tahan terhadap penyakit tersebut dan sebagian lain menelantarkan tambaknya akibat kerugian.

Di sisi lain, perkembangan teknologi budidaya Ikan bandeng (Chanos chanos) sudah mulai ditingkatkan teknologinya dari tradisional kearah semi intensif, intensif dan kurung jaring apung, karena ikan bandeng tetap menjadi komoditas budidaya yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia (Prasetya dkk.,2010). Budidaya udang windu memang lebih menguntungkan daripada ikan bandeng, karena harga jual udang windu lebih tinggi namun disertai dengan risiko penyakit yang tinggi. Sehingga untuk mengantisipasi agar kegiatan budidaya udang windu tetap berlangsung, diterapkan budidaya dengan cara polikultur. Kondisi ini memungkinkan pemanfaatan tambak yang terlantar untuk

0

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(30)

digunakan membudidayakan udang windu dan ikan bandeng dalam satu lahan dengan cara polikultur.

Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk pemeliharaan banyak produk dalam satu lahan. Dengan sistem ini diperoleh manfaat yaitu tingkat produktivitas lahan yang tinggi. Hasil produksi dengan sistem monokultur, pembudidaya hanya dapat memanen satu produk dalam satu periode. Namun dengan polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan pemanfaatan luasan lahan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan penghasilan petambak (Kholifah dkk, 2008 ; Ratnawati, 2010).

Gangguan penyakit yang menjadi penyebab utama menurunnya produktivitas udang nasional dari 20 ton perha pertahun menjadi 17-18 ton perha pertahun atau sebesar 15 persen pada tahun 2009 dan menurunnya mutu udang yang dihasilkan, mengakibatkan penurunan volume ekspor udang sebesar 11.5 persen. Yang paling menderita akibat kerugian ini adalah para petambak yang menaggung beban hutang pembelian input dan buruh tambak yang kehilangan sumber pendapatannya. Gangguan penyakit ini merupakan akibat panjang dari mekanisme proses produksi yang bertujuan menggandakan hasil melalui kemajuan teknologi. Sudah menjadi suatu dilema, kemajuan teknologi budidaya udang windu dan udang vaname mampu melipat-gandakan produksi untuk memenuhi kuota ekspor, namun disisi lain hasil sampingan yang tidak diinginkan juga ikut terproduksi. Masalah utama dalam pengembangan budidaya tambak adalah penggunaan akuainput dalam sistem budidaya intensif melalui pengkayaan nutrien dalam pakan yang berdampak potensial dalam kualitas air, akibat beban (loading) organik yang terutama berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan feses hasil metabolisme udang dan ikan yang dibudidayakan. Sisa pakan yang membusuk dan terurai akan menurunkan kualitas air tambak sebagai media hidup ikan dan udang. Rendahnya kualitas air tambak ini yang menyebabkan tingkat mortalitas udang yang tinggi dan kecenderungan terjadi penurunan produktivitas (Widigdo dan Soewardi, 1999; Purwanta dan Firdayati, 2002)

(31)

semi intensif dilakukan pergantian air untuk mengurangi konsentrasi nutrisi, fitoplankton, amonia dan metabolit serta bahan organik yang berpotensi racun di tambak yang selanjutnya di buang ke perairan sekitar tambak. Buangan air dari tambak intensif dan semi intensif secara langsung ke ekosistem perairan tanpa dilalui perlakuan terhadap buangan limbah tambak menyebabkan eutrofikasi, kekeruhan berlebihan, sedimentasi, toksisitas dan salinisasi habitat perairan (Boyd dan Green, 2002). Limbah tambak ini merupakan beban polutan di perairan umum.

Limbah tambak yang dihasilkan dari kegiatan proses produksi ini apabila tidak dikelola dengan baik akan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air, mendorong upaya minimalisasi limbah yang bertujuan untuk efisiensi penggunaan sumberdaya.

(32)

proses produksi yang tidak efisien merupakan penyebab mendasar terjadinya polusi.

Secara teknis polutan nitrogen dan phosphor sebagai dampak dari sisa pakan dalam budidaya tambak terutama udang telah banyak diteliti oleh para ahli budidaya tambak, sehingga dapat diketahui secara luas dampak yang ditimbulkannya bagi usaha tambak. Namun dari sisi ekonomi masih sulit sekali diperoleh hasil-hasil penelitian terkait dengan pencemaran dalam bidang budidaya tambak, terlebih lagi bila dikaitkan dengan efisiensi produksi. Sehingga penelitian ini menjadi pelengkap dari kebutuhan referensi terhadap ekonomi pencemaran di bidang budidaya tambak.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Pakan memberikan kontribusi terbesar dari total biaya produksi budidaya udang, sekaligus pemasok limbah nutrien yang potensial, karena itu manajemen pakan sangat menentukan efisiensi budidaya tambak udang dan ikan bandeng. Besaran limbah ditentukan dari teknik pemberian pakan yang kurang efisien, besaran intake protein pakan dan ketidaktepatan formula pakan yang menyebabkan sintesa protein tidak seimbang. Sementara tujuan pemberian pakan adalah menghasilkan produk yang maksimal seraya meminimalkan limbah pakan.

Dari jumlah pakan yang diberikan, sekitar 30 persen tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30 persen dari pakan yang dikonsumsi akan dikeluarkan dalam bentuk feses (McDonald et al, 1996), untuk usaha budidaya udang intensif 15 persen dari pakan yang diberikan akan larut dalam air (tidak dikonsumsi) dan 20 persen dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk feses (Primavera, 1993).Teknologi budidaya udang intensif dengan padat penebaran 210 000 ekorperha dengan luas tambak 5000 m2, dan total pakan sebanyak 3.6 ton akan menghasilkan limbah dalam bentuk Total Solid Suspendid (TSS) sebesar 1230 kg selama 120 hari masa pemeliharaan udang (Soewardi, 2002).

(33)

menyatakan pada sistem budidaya semi intensif dengan jumlah pakan 3000 kgperhaperMT akan menghasilkan N terbuang sekitar 162 kgperhaperMT dan P sebanyak 35.1 kg perha perMusim Tanam. Namun bila dibandingkan dengan standar kebutuhan benur dan pakan pada berbagai sistem teknologi (Tabel 1), yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam program CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik), hasil penelitian tersebut menggunakan jumlah benur dan pakan masih

Tabel 1. Kebutuhan Benih dan Pakan pada Berbagai Sistem Teknologi NO Jenis Budidaya/

Sumber : Revitalisasi Perikanan 2006-2009 (DKP, 2005)

dibawah rekomendasi, itupun sudah menghasilkan limbah N dan P. Dengan demikian yang menentukan beban N dan P dalam sistem budidaya udang bukan hanya bersumber dari pakan saja, sumber lainnya berasal dari pergantian air, pemupukan dan benur (benih). Namun pakan merupakan penyumbang terbesar dan berkaitan langsung dengan limbah N dan P.

(34)

besar limbah N dan P yang terbuang ke perairan. Hubungan produksi dan limbah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Estimasi Limbah N dan P dari Hasil Kegiatan Tambak Udang pada Berbagai Kapasitas Produksi

Produksi (kgperha) Limbah

Nitrogen (kgperha) Phosphor (kgperha)

500 6.3 – 10.5 0.9 -1.8

1000 12.6 – 21.0 1.8-3.6

2000 25.2-42.0 3.6-7.2 3000 37.8-63.0 5.4-10.8 4000 50.4-84.0 7.2-14.4 Sumber : Boyd (1999)

Residu limbah budidaya tambak kini semakin diperhatikan karena dianggap menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan usaha budidaya dalam jangka panjang. Sehubungan dengan makin intensifnya pemberian pakan, akan menyebabkan besaran limbah budidaya tambak akan meningkat. Peningkatan terus menerus besaran limbah ditengarai menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan budidaya dan perairan sekitarnya.

Pelepasan N dan P dari berbagai jenis pakan komersil yang beredar untuk budidaya udang belum jelas informasinya. Semakin rendah kualitas pakan dicirikan dengan ketahanannya dalam air maka akan semakin besar hara N dan P yang terlepas ke dalam lingkungan. Dalam pengendalian limbah ini dapat dilakukan dengan perbaikan mutu pakan yang digunakan atau melalui pengaturan peredaran pakan dalam rangka pengelolaan lingkungan budidaya, lahan, dan perairan. Pengelolaan seperti ini sesuai dengan cara budidaya ikan yang baik (CBIB) yang telah diterbitkan pemerintah (Sukadi, 2010).

(35)

bersamaan dan adanya saling ketergantungan, sehingga bila ingin menghilangkan limbah hanya dapat dilakukan dengan tidak melakukan produksi.

Pengendalian penyakit sebagai salah satu penyebab menurunnya produktivitas, sudah dilakukan oleh pemerintah melalui teknologi perbenihan (panti benih /hatchery) yang menghasilkan benih bebas penyakit, memperbaiki lingkungan perairan tambak dengan sistem tertutup dan penggunaan teknologi bioremediasi yakni memasukkan bakteri bermanfaat (probiotik atau bioflok) ke dalam perairan budidaya yang mampu memanfaatkan limbah organik serta teknologi plastikisasi yaitu pelapisan dasar tambak dengan plastik HDE (High Density Polyethylen) sehingga memutuskan interaksi kimiawi sisa pakan dengan dasar tambak. Upaya pengendalian penyakit ini bagi pembudidaya tambak merupakan biaya yang harus dibayarkan sebagai penambah biaya produksi atau dapat sebagai pengurang pendapatan untuk mempertahankan tingkat produksi tetap.

Dengan demikian perlu dikaji lebih lanjut, seberapa besar pengaruh limbah sisa pakan yang tidak dikonsumsi terhadap keberhasilan produksi yang diindikasikan dengan tingkat efisiensi. Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya limbah organik, sehingga biaya terkait dengan limbah merupakan pengurang pendapatan apabila limbah dianggap sebagai output yang tidak diinginkan atau sebagai penambah biaya produksi apabila limbah dianggap sebagai input yang tidak diinginkan (Shaik et al, 2002).

(36)

dihasilkan dari kegiatan budidaya. Namun faktanya, banyak hutan mangrove dialih-fungsikan menjadi tambak, dan tidak menyisakan hutan mangrove untuk difungsikan sebagai biofilter. Dengan demikian, apakah keberadaan hutan mangrove dapat meningkatkan efisiensi produksi budidaya tambak? Sehingga program rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali bibit mangrove di lahan terbuka areal pertambakan dapat diharapkan memulihkan produksi budidaya tambak terutama udang.

Tabel 3. Perbandingan Tindakan Usaha di Negara Maju dan Negara Berkembang Terkait dengan Kontribusi Proses Produksi Terhadap Limbah

KOMPONEN NEGARA MAJU NEGARA BERKEMBANG

1. Skala operasi produksi

Unit industri Unit rumah tangga

2. Faktor-faktor produksi

Teknologi Modal manusia Kapital

Modal sosial > modal manusia dan kapital

3. Intensitas Padat modal Padat karya 4. Harga bayangan

Limbah budidaya tambak sudah merupakan masalah lingkungan, karena sudah mempengaruhi proses produksi dan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas tambak. Untuk mengurangi limbah diperlukan upaya mengubah perilaku berpolusi dari para pembudidaya tambak. Agar perilaku berpolusi dapat dikendalikan, diperlukan peraturan yang mengikat dan dipatuhi sehingga tujuan mengurangi limbah dapat tercapai. Ada perbedaan tindakan antara negara maju dan negara berkembang terkait dengan masalah lingkungan, seperti tercantum pada Tabel 3.

(37)

hanya memiliki kewenangan menghimbau para pemilik industri (pabrik) yang dalam proses produksinya diduga mengeluarkan limbah beracun ke sungai-sungai pembuangan. Sementara masyarakat petani dan pembudidaya belum terkena himbauan terkait dengan pembuangan limbah ke lingkungan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa tingkat efisiensi produksi usaha tambak dalam lingkungan perairan yang telah tercemar limbah organik ? dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi produksi usaha tambak ?

2. Berapa kerugian akibat limbah organik terhadap efisiensi produksi tambak? dan Apakah keberadaan mangrove mempengaruhi efisiensi produksi tambak?

3. Berapa tingkat produktivitas usaha tambak dalam lingkungan yang telah tercemar limbah organik dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produktivitas faktor total?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polutan limbah tambak udang windu dan ikan bandeng terhadap efisiensi produksi dan produktivitas faktor total usaha tambak di Pesisir Utara Kabupaten Karawang. Secara spesifik tujuan operasional penelitian ini adalah,

1. Mengestimasi efisiensi produksi tambak di Kabupaten Karawang secara teknis, alokatif maupun secara ekonomis, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi produksi tambak.

2. Mengestimasi pengaruh polutan nitrogen, phosphor, bahan organik dan keberadaan mangrove terhadap efisiensi produksi tambak dan mengukur besaran biaya kerugian yang ditimbulkan polutan.

(38)

1.4 Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan :

1. Dapat mengetahui efisiensi produksi budidaya tambak terkait dengan kehadiran polutan nitrogen, phosphor dan bahan organik, sehingga dapat menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah, dalam upaya peningkatan teknologi usaha tambak sehingga peningkatan produktivitas tambak dapat tercapai.

2. Berguna bagi pengambilan keputusan (terutama pemerintah daerah) dalam merumuskan strategi kebijakan pengembangan usaha tambak dengan sasaran meningkatkan efisiensi produksi dan produktivitas tambak.

3. Dapat memberikan informasi dan sebagai bahan referensi kepada semua pihak terutama kepada penelitian yang menelaah kasus serupa.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan kasus budidaya tambak di Kabupaten Karawang, dengan responden usahatani tambak di sembilan kecamatan pesisir, yang terkait dengan pola teknologi tambak, kondisi mangrove, kondisi pencemaran perairan, dan keikutsertaannya dalam program SAFVER.

Fokus penelitian pada aspek produksi dan efisiensi produksi budidaya udang dan ikan bandeng terkait dengan polutan yang dihasilkannya selama proses produksi, sehingga ruang lingkup penelitian meliputi analisis efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi stochastic frontier. Variabel polutan dan mangrove dapat mempengaruhi efisiensi produksi usaha tambak ikan bandeng dan udang windu, dan diduga dapat sebagai sumber inefisiensi. Melalui dual price fungsi produksi Cobb Douglas dapat diketahui efisiensi ekonomi dan efisiensi alokatif usaha tambak. Adanya inefisiensi teknis menyebabkan terjadi faktor kehilangan produksi dan kerugian biaya yang terbuang, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung biaya kerugian akibat polutan dan harga bayangan polutan.

(39)

dan polikultur. Udang windu disetarakan dengan ikan bandeng melalui perbedaan harganya, sehingga diasumsikan usaha tambak menghasilkan output tunggal ikan bandeng. Sumber limbah yang dihitung berasal dari kegiatan budidaya ikan bandeng usaha tambak responden melalui keseimbangan nutrisi, dan mengabaikan sumber limbah lain seperti buangan polutan dari sampah domestik, pertanian, kawasan industri, rumah sakit dan lain-lain. Keberadaan mangrove ditangkap dengan menggunakan variabel dummy.Terdapat empat tempat keberadaan mangrove yaitu mangrove di hamparan tambak, di tanggul, di saluran air tambak dan di pantai. Kemampuan manajerial pembudidaya tambak ditangkap melalui indeks skill yang dibangun dari 4 unsur yaitu umur, pengalaman, sekolah formal dan frekuensi penyuluhan/pelatihan. Faktor penunjang ditangkap melalui indeks fasilitas yang terdiri dari 5 unsur yaitu dummy irigasi, jarak tambak ke pantai, jalan produksi, fasilitas listrik dan sistem penjualan. Sumber data menggunakan data primer dan cross section sehingga pola tanam yang teramati hanya satu siklus budidaya tambak.

1.6 Kebaharuan Penelitian

Penelitian tentang efisiensi produksi berbagai komoditas telah banyak dilakukan, namun kajian tentang efisiensi dalam bidang perikanan masih terbatas, dan kajian efisiensi terkait dengan pencemaran lingkungan masih dalam kategori langka. Penelitian ini melengkapi keterbatasan kajian tentang efisiensi usaha tambak terkait dengan lingkungan yang tercemar limbah.

Kajian tentang efisiensi teknik tambak telah dilakukan oleh Damanhuri (1985) menganalisis efisiensi relatif, Suyasa (1989) dengan menggunakan model tingkat produksi, Gunaratne dan Leung (1996) menganalisis efisiensi dengan fungsi meta-produksi frontir, Tajerin (2007) menganalisis efisiensi teknis dengan fungsi produksi stochastic frontier, Vu Tung (2010) menggunakan pendekatan DEA menganalisis efisiensi teknis budidaya udang ekstensif. Hasil skor efisiensi teknis diregresikan dengan variabel yang berpengaruh terhadap efisiensi.

(40)

tambak terkait dengan adanya pencemaran lingkungan.Van Ha (2008) mengkaji efisiensi produksi dengan harga bayangan polutan, Shaik (2002) mengembangkan pendugaan harga bayangan polutan.

(41)

2.1 Konsep Produksi Frontier Stokastik

Definisi fungsi produksi secara teoritis menggambarkan jumlah maksimum output yang diperoleh dari satu paket input dengan teknologi tetap, definisi ini telah diterima beberapa dekade. Dan hampir sepanjang masa itu, para ekonometrisian telah menduga fungsi produksi melalui rata-ratanya. Karena kerja yang diawali oleh Farrell (1957) bahwa ada pertimbangan serius kemungkinan pendugaan yang disebut sebagai fungsi produksi frontier, usaha ini menjembatani gap (kesenjangan) antara teori dan empiris (Aigner et all, 1977). Selanjutnya dikatakan Zamorano (2004) bahwa pengukuran efisiensi produksi pertamakali diperkenalkan oleh Koopmans (1951) dan Debreu (1951), yang kemudian dikembangkan oleh Farrell (1957) bahwa efisiensi unit produksi dapat didekomposisi menjadi komponen efisiensi teknis dan efisiensi alokatif melalui unit isokuan yang efisien dan minimisasi biaya dari rasio harga input yang merupakan slope garis isokos.

(42)

Model frontier dapat diklasifikasikan atas dua tipe yakni parametrik dan non-parametik. Model parametrik dibedakan atas pendekatan deterministik dan stokastik. Model produksi deterministik frontier sebagaimana yang diperkenalkan pertama kali oleh Aigner dan Chu (1968) mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier (yang menunjukkan ketidakmampuan produsen untuk menghasilkan output maksimum) disebabkan oleh adanya inefisiensi. Selanjutnya Aigner, Lovell and Schmidt (1977), Meeusen and van den Broeck (1977) dan Battese and Corra (1977) secara simultan mengembangkan Model Stochastic Frontier yang mengijinkan adanya gangguan statistik. Model fungsi stokastik frontier mengintegrasikan struktur gangguan acak atas dua komponen yaitu komponen yang merefleksikan inefisiensi (one-sided error) dan komponen yang menangkap gangguan yang datang dari luar yang tidak dapat dikontrol oleh unit produksi.

Dengan metode fungsi produksi stokastik faktor-faktor baik internal maupun eksternal yang diduga akan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis produksi yang akan dicapai dapat ditangkap dan dijelaskan dengan bantuan model ekonometrika. Sementara itu, faktor-faktor penyebab ketidak-efisienan juga dapat ditangkap pada saat yang bersamaan. Di samping itu juga dapat diestimasi apakah inefisiensi disebabkan oleh random error dalam pengumpulan data dan sifat dari beberapa variabel yang tidak dapat terukur (faktor eksternal) atau disebabkan oleh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam proses produksi (faktor internal).

(43)

dan mengaplikasikan ekonometrik dalam model empirisnya, selanjutnya Batesse (1991) mereview model fungsi produksi frontier untuk estimasi efisiensi teknis perusahaan secara individu melalui pendekatan deterministik frontier, stokastik frontier dan model panel data. Pendekatan stokastik frontier menggunakan metode ekonometrik. Model stokastik frontier dan pengukuran efisiensi sudah banyak dibahas, untuk menyebutkan beberapa, antara lain oleh Schmidt (1977), Forsund et al. (1980), Schmidt (1986), Schmidt dan Lovell (1979), Callan (1987), Ball (1985), Battese (1992), Lovell (1996), Greene (1993), Mahadevan (2002), Casseli dan Coleman (2006), Bravo-Ureta et al. (2007) dan Sirait (2007). Perkembangan teknik ekonometrik seperti Modified Ordinary Least Squares (Richmond, 1974), Corrected Ordinary Least Square (Gabrielsen, 1975) dan Maximum Likelihood Estimation (Greene, 1980) telah melengkapi estimasi model frontier.

(44)

Gambar 2. Beberapa pendekatan dalam pengukuran efisiensi produksi

Studi dari Bravo-Ureta et al. (2007) memberikan kesimpulan berkaitan dengan penggunaan berbagai bentuk fungsi bahwa nilai estimasi yang dihasilkan oleh model parametrik fungsi stokastik frontier lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh model parametrik deterministik. Dari beberapa penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode stokastik frontier adalah metode yang paling banyak digunakan oleh para peneliti di bidang pertanian. Sedangkan studi yang berkaitan dengan prosedur estimasi, apakah menggunakan prosedur satu atau dua langkah telah dilakukan oleh Kalirajan (1991), Parikh dan Shah (1995), Battese dan Coelli (1995), dan Hallam dan Machado (1996). Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan prosedur estimasi masih memerlukan studi lebih lanjut. Pemilihan penggunaan prosedur tersebut sangat bergantung kepada variabel-variabel yang dimasukkan di dalam model stokastik frontier. Namun pendekatan yang paling banyak digunakan adalah prosedur dua langkah. Di mana langkah pertama melakukan estimasi terhadap fungsi produksi frontier dan langkah kedua melakukan estimasi terhadap sumber-sumber inefisiensi.

Produksi Frontier

Deviasi ke frontier (εi)

Parametrik  Non Parametrik 

Stokastik  Deterministik Deterministik 

2 gangguan statistik :   vi  (faktor eksternal) 

ui (faktor inefisiensi) 

εi (faktor inefisiensi)

Ekonometrika : Cobb  Douglas, Translog  

Matematika  Programming :  DEA, Distance Function 

εi (faktor inefisiensi) 

(45)

2.2 Konsep Efisiensi Teknis dan Efisiensi Lingkungan

Efisiensi teknis pertamakali didefinisikan oleh Koopman (1951) diacu dalam Kumbhakar dan Lovell (2000) bahwa produsen mencapai efisiensi secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi menghasilkan lebih banyak output tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau menambah sejumlah input yang digunakan. Pengukuran efisiensi teknis tergantung juga dengan konsep produksi yang digunakan. Pengukuran efisiensi teknis dapat dibedakan dalam konsep single-output production frontier yakni satu input dengan satu output dan konsep multiple-output distance function yakni beberapa input menghasilkan beberapa output (Kumbhakar dan Lovell, 2000).

Faktor-faktor lingkungan mempengaruhi pertanian produktivitas produksi dan efisiensi, tetapi mereka sering diabaikan dalam perkiraan, menyebabkan hasil yang bias. Produksi pertanian sangat bergantung pada kondisi lingkungan (Sherlund, et al., 2002, Rahman dan Hasan, 2008). Menurut Sherlund, et al. (2002), Long dan Yabe (2011) faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi beras produksi meliputi curah hujan bervariasi, serangan hama dan gulma, dan kondisi lingkungan ainnya. Mengabaikan faktor-faktor, estimasi akan mempengaruhi output dan input, dan menyebabkan sub-optimal produktivitas dan efisiensi (Sherlund, et al., 2002, Rahman dan Hasan, 2008).

(46)

tanah,dan pupuk, sebagai respons terhadap kondisi lingkungan. Ini gambaran mendasar dari pertanian rakyat karenanya diperlukan perkiraan frontier produksi.

Peneliti pertama yang melakukan pendugaan harga bayangan polutan adalah Pittman (1981) yang menghususkan pada kendala masalah memaksimumkan keuntungan, yang menguji polutan sebagai input konvensional. selanjutnya Fare et.al. (1993) menghadirkan model harga bayangan dimana polutan diperlakukan sebagai produk yang tidak diinginkan atau output buruk. Harga bayangan (Shadow price) merupakan turunan dari fungsi jarak output sheppard dan diinterpretasikan sebagai Marginal Abatemen Cost (MAC).

Berdasarkan hasil penelitian Pittman (1983), Fare (1989) dan Reinhard (1999) menunjukkan bahwa Indeks kinerja lingkungan dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu indeks lingkungan menyesuaikan indeks perubahan produktivitas dan menyesuaikan dengan pengukuran efisiensi teknik, membentuk gabungan hitungan dampak lingkungan kedalam vektor input. Indeks lingkungan dapat juga dikategorikan kedalam hitungan yang menggunakan teknik deterministik , dapat juga parametrik atau non parametrik, yang diestimasi dengan teknik stokastik parametrik. Efisiensi lingkungan dapat di definisikan sebagai rasio minimum yang layak dari penggunaan input yang mengganggu lingkungan, kondisi pada tingkat pengamatan dari output yang diinginkan dan input konvensional.

2.2 Penelitian terdahulu

Analisis efisiensi dan produktivitas dalam bidang pertanian umumnya dan perikanan khususnya telah banyak dilakukan. Namun analisis terkait dengan polutan yang berpengaruh terhadap efisiensi tambak, belum banyak dilakukan. Beberapa hasil penelitian yang menjadi acuan dalam penelitian ini secara ringkas dipaparkan sebagai berikut :

2.2.1 Efisiensi dan Produktivitas Usaha Tambak

(47)

dari adanya penelitian tentang berbagai sumber pertumbhan produktivitas dari berbagai sudut pandang.

Produktivitas dalam definisi paling mendasar adalah rasio output terhadap input dengan unit yang lebih produktif mencapai hasil yang lebih tinggi untuk satu perangkat input (Coelli, et al.,1997). Teori produksi klasik telah menyiratkan bahwa produktivitas ditentukan oleh tiga faktor yaitu : (1) penggunaan teknologi, dimana kemajuan teknologi akan menentukan peningkatan produktivitas, (2) jumlah dan kualitas faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yang dilakukan yakni faktor produksi dengan kualitas yang baik diharapkan akan mempercepat peningkatan produktivitas, dan (3) efisiensi penggunaan faktor produksi, dimana optimalisasi pencapaian produktivitas akan tergantung kepada efisiensi penggunaan inputnya.Dengan demikian produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama atau dapat juga output sama dari penggunaan input yang lebih sedikit.

Produktivitas sebagai ukuran efisiensi produksi, mengacu pada perbandingan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi terhadap jumlah penggunaan input. Peningkatan produktivitas dapat berasal dari adopsi teknologi baru atau berasal dari efisiensi produksi (Gopinath et al .1997). Teknologi berpengaruh terhadap produktivitas sepanjang teknologi tersebut dapat diaplikasikan secara merata. Menurut Idiong (2007), pada kondisi tingkat adopsi teknologi yang rendah di Cross River State, Nigeria, maka pilihan terbaik untuk peningkatan produktivitas dalam jangka pendek yaitu melalui peningkatan efisiensi.

(48)

teknologi madya. Indeks efisiensi harga dan ekonomi mempunyai kecenderungan lebih baik apabila digunakan teknologi madya.

Kemajuan teknologi dapat bersumber dari peningkatan produktivitas manusianya dan dapat juga dari mesin yang lebih produktif dan efisien atau dapat juga dari perbaikan organisasi produksi. Jika dilihat dari adopsi teknologi baru seperti bibit unggul dan pupuk buatan, ditemukan bahwa ternyata petani kecil lebih ketinggalan dalam adopsi teknologi baru pada awalnya, namun kemudian dapat menyusul sampai keuntungannya meningkat karena bertambahnya produktivitas (Grant and Posada, 1977).

Lebih jauh Gunaratne dan Leung (1996) menganalisis efisiensi teknis menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Diantara faktor produksi seperti tenaga kerja, pakan, dan benur maka faktor yang lebih berpengaruh terhadap efisiensi adalah pakan. Pada tipe usaha ekstensif, negara Bangladesh, Philipina dan Indonesia lebih efisien dibandingkan Vietnam dan India. Thailand lebih superior dibandingkan dengan negara lainnya. Luas lahan berkorelasi negatif pada efisiensi untuk tipe ekstensif dan semi intensif, sedangkan untuk intensif berkorelasi positif.

Helfand (2003) menentukan faktor-faktor efisiensi dan mengeksplorasi hubungan antara ukuran usahatani dan efisiensi usahatani di Barat Tengah Brazil. Pendekatan DEA digunakan untuk memperkirakan efisiensi teknis usahatani. Pendugaan dilakukan pada hubungan non-linear antara luas usahatani dan efisiensi teknis. Disimpulkan bahwa akses ke lembaga, kredit dan input modern merupakan determinan yang menyebabkan perbedaan efisiensi antar usahatani. Dan peningkatan aksesnya memperkuat efisiensi usahatani kecil dan menengah.

(49)

Vu Tung (2010) menggunakan dua-tahap pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mendapatkan skor Efisiensi teknis peningkatanudang ekstensif di provinsi Ca Mau, Vietnam.Hasil skor efisiensi teknis menjelaskan peningkatan budidaya udang ekstensif, berapa banyak input yang benar-benar digunakan dan berapa banyak yang harus digunakan, terutama dalam situasi sumber daya terbatas seperti luas tambak, biaya persiapan kolam, modal untuk bibit, pendidikan pemilik, pengalaman dan keterampilan tenaga kerja. selanjutnya hasil skor efisiensi teknis diregresikan dengan variabel kepadatan tebar udang dan tambak dan area kolam untuk menentukan faktor yang berdampak pada efisiensi teknis.

Untuk Indonesia, Tajerin (2007) menggunakan fungsi produksi stochastic frontier memperoleh efisiensi teknis udang sekitar 56 persen. Kumar dan Kumar (2003) memperoleh efisiensi teknis budidaya udang di India rata-rata 69 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi. Pembudidaya berskala besar lebih efisien karena membutuhkan biaya investasi yang lebih besar. Pola penguasaan lahan tambak dengan sistem sewa kurang efisien dibandingkan dengan milik sendiri. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang.

(50)

Tajerin dkk (2009) mengembangkan model ekonomi udang Indonesia. Menurutnya produktivitas tambak berhubungan negatif dengan luas tambak, harga riil ekspor udang segar, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan dummy kebijakan intensifikasi. tetapi produktivitas tambak berhubungan positif dengan harga riil udang segar di pasar domestik, jumlah benur, jumlah pakan, tenaga kerja, dan bedakala produktivitas. Berdasarkan elastisitas produktivitas tambak terhadap harga riil udang segar di pasar domestik, jumlah benur dan jumlah pakan lebih responsif dalam jangka panjang daripada jangka pendek tetapi sebaliknya pada variabel luas tambak, harga riil ekspor udang segar, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan tenaga kerja lebih responsif dalam jangka pendek daripada jangka panjang.

Kusumastanto (1998) membandingkan tambak budidaya udang di Indonesia dengan sistem ekstensif, semi intensif dan intensif untuk masyarakat lokal, dengan ukuran tambak berbeda-beda yaitu : skala kecil (2 ha), skala medium (5 ha), skala besar (10 ha) dan ekstra besar (30 ha). Dia berpendapat bahwa skala kecil dan medium budidaya semi intensif umumnya lebih banyak memberi kesempatan kerja dan manfaat ekonomi untuk masyarakat pedesaan daripada budidaya skala besar. Sukadi (2000) menyatakan bahwa dampak budidaya udang tergantung pada kondisi sosio ekonomi dan ekologi masing-masing negara, wilayah, pelaku sosial dan intervensi pemerintah melalui program.

(51)

Berdasarkan referensi di atas, dapat diketahui bahwa produksi udang (tambak) dipengaruhi oleh benur (benih), pupuk TSP, pupuk urea, makanan tambahan, pestisida, tenaga kerja, lokasi tambak dan luas tambak. Faktor-faktor karakteristik petambak dan fasilitas produksi yang berpengaruh terhadap produksi adalah umur, pendidikan, pengalaman, akses ke lembaga keuangan, dan irigasi. Peningkatan produktivitas dapat berasal dari efisiensi produksi, umumnya usaha tambak skala kecil memiliki efisiensi teknik yang tinggi namun efisiensi ekonominya rendah. Produktivitas faktor total (TFP) merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Kondisi Indonesia serupa dengan Philipina yaitu tambak ekstensif memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan India.

2.2.2 Limbah Organik dari Aktivitas Tambak

Undang-undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pengaruh yang ditimbulkan adanya pencemaran umumnya merugikan seperti merusak sumberdaya hidup, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan kelautan dan perikanan, pengurangan keindahan dan kenyamanan. Mukhtasor (2007) menjelaskan bahwa bahan pencemar masuk ke lingkungan dapat dengan cara alami atau melalui kegiatan manusia (diistilahkan sebagai anthropogenic). Sedangkan substansi pencemar (diistilahkan sebagai polutan) dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu polutan fisik, polutan kimia dan polutan biologis.

(52)

Kondisi yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan diantaranya adalah menurunnya kandungan oksigen dalam perairan yang menyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar (bentik), eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali (blooming) dan munculnya zat-zat yang beracun yang akan menimbulkan kematian ikan (Rustam, 2005).

Sistem terbuka tambak yang menerima air dari sumber lain (pertanian, perkotaan, industri) berdampak pada merosotnya kualitas air di tambak. Sedimen yang rusak juga menyebabkan kematian udang. Widiyanto (2006) melaporkan bahwa kerusakan sedimen menyebabkan jumlah polutan beracun tinggi (amoniak, nitrit, H2S, karbon) yang terakumulasi di tambak udang. Jumlah besar sedimentasi dalam tambak udang intensif menempatkan masalah pembuangan yang serius, 100-500 ton sedimen /hektar/ tahun terakumulasi (Barraciough & Finger-Stich. 1996). Total beban limbah organik dalam bentuk Total Solid Suspendid (TSS) yang dibuang ke daerah pesisir dari hasil kegiatan budidaya udang secara intensif dengan luas areal 4000 m2 selama 120 hari, satu siklus pemeliharaan, adalah sebesar 924.86 kg TSS/ 0.4 ha, atau 2 312.15 kg TSS/ha dan 526.56 kg TSS/ 0.5 ha semi intensif atau 1 053 kg TSS/ha (Rustam, 2005).

Polite (2005) menjelaskan turunnya kualitas air tambak karena polusi air dari luar tambak, akumulasi pakan yang tidak dicerna, kotoran udang, pupuk di dasar tambak mengakibatkan turunnya daya dukung tambak dan membuat udang menjadi stres, kehilangan daya tahan tubuh terhadap virus dan mudah terinfeksi penyakit, bila bersifat akut menyebabkan kematian masal. Stres juga menyebabkan pertumbuhan udang melambat, yang menyebabkan kerugian. Sehingga menurut Devi dan Prasad (2006) yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya udang dan merupakan salah satu kendala terbesar adalah serangan penyakit.

(53)

feses, dan bahan-bahan terlarut, yang terbuang ke perairan dan secara signifikan mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir. Selanjutnya Reddy, et al (2004) menambahkan bahwa pembuangan (dalam bentuk kotoran dan endapan) dari pakan yang tidak dikonsumsi, kotoran udang/ikan, bahan kimia dan antibiotik akan mengkontaminasi badan air dan sekitarnya. Secara alami masalah ekologi yang dicapai budidaya udang menyebabkan biaya ekonomik dan sosial masyarakat pada masalah kesehatan, pengeluaran waktu dan uang untuk memperoleh air bersih, kesehatan ternak, dsb.

Martinez-Cordero (2003) menggunakan pendekatan fungsi jarak input dengan Indeks Produktivitas Malmquist untuk mengukur produktivitas faktor total industri udang dan menentukan harga bayangan polutan Nitrogen dan Phospor yang merupakan output sampingan. Pengeluaran teknologi pengurang polutan memiliki dua keuntungan yaitu mengurangi dampak lingkungan akibat buangan nitrogen dan phospor, dan penggunaan input lebih efisien dalam menghasilkan output target (udang). Model multicriteria decision making (MCDM) yang dikembangkan telah menegaskan bahwa teknologi budidaya udang semi intensif mendukung industri udang dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dua tahun berikutnya Martinez-Cordero dan Leung (2005) mengembangkan produktivitas faktor total dan efisiensi teknis konvensional dengan menggabungkan evaluasi dampak lingkungan aktivitas budidaya udang menjadi environmentally-adjusted TFP dan environmentally-adjusted TE. Dengan menambahkan faktor lingkungan, hasil perhitungan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan TFP secara tradisional. Keberhasilan yang diperoleh karena menerapkan teknologi ramah lingkungan yaitu : good management practices (GMP), mengurangi pergantian air, dan mengontrol strategi pakan.

(54)

intensifikasi dan benur berpengaruh nyata dan positif terhadap produktivitas tambak di NTB.

Beberapa hasil penelitian efisiensi produksi yang terkait dengan limbah sebagai output yang tidak diinginkan dipaparkan sebagai berikut : Dalam melakukan analisis efisiensi, sering diasumsikan bahwa semua output adalah "baik". Namun, asumsi ini tidak selalu dibenarkan, karena output mungkin "buruk". Misalnya, jika ada inefisiensi dalam proses produksi di mana produk akhir yang diproduksi bersama dengan limbah (polutan), maka output masing-masing limbah (polutan) yang tidak diinginkan (buruk) harus dikurangi untuk meningkatkan kinerja (Saen, 2010). Hal senada disampaikan oleh (Pasupathy, 2002) bahwa pengukuran efisiensi produksi telah mengabaikan produk tambahan proses transformasi" output tidak diinginkan ".Tanpa dimasukkannya faktor-faktor ini, evaluasi efisiensi teknis menjadi ukuran murni dari sistem itu sendiri, dan tidak memperhitungkan interaksi antara sistem dengan lingkungan sekitar dan dampak dari keputusan kebijakan pada sistem. Selain itu, ada ketergantungan penerapan teknologi yang menghasilkan output yang diinginkan danyang tidak diinginkan. Ketika tidak ada input atau output yang tidak diinginkan dalam proses produksi, maka kenaikan efisiensi didasarkan pada peningkatan output atau penurunan input. Koopman (1951) dalam operasi reklamasi dibutuhkan input yg tidak diinginkan meningkat agar efisiensi meningkat, atau output yang tidak diinginkan meningkat menyebabkan efisiensi menurun dan sebaliknya. Jadi diduga output yang tidak diinginkan dari buangan pabrik harus diturunkan agar meningkatkan efisiensi (Ardabili et al, 2007), (Murty et al 2001). Sehingga output yang tidak diinginkan merupakan hasil yang tidak diharapkan dari proses produksi yang hasilnya harus diminimalisir (Gomes and Lins, 2007), Chiu and Wu (2010).

(55)

untuk pengurang polutan mungkin dalam bentuk seperti tambahan tenaga kerja, energi atau input kapital, yang diperlukan untuk menyusun sistem perlakuan aliran pembuangan polutan.

2.2.3 Daya Dukung Lingkungan, Baku Mutu Limbah dan Pengendalian Pencemaran Perairan

Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya (volume). Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air (self purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009).

Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersamasama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya.

(56)

tidak mungkin karena itu berarti menghentikan kegiatan pembangunan atau bahkan kegiatan kehidupan manusia.

Pesisir dan laut dalam skala tertentu memiliki kapasitas asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan pencemar yang masuk kedalamnya dengan sedikit atau tanpa kerusakan. Disamping itu laut juga memiliki daya dukung lingkungan yaitu, kemampuan untuk menyediakan sumberdaya alam yang mendukung kehidupan dan aktivitas manusia. Jika kehidupan dan aktivitas manusia berkembang melebihi daya dukung lingkungannya, begitu juga limbah yang dihasilkan, maka sumberdaya alam yang tersedia akan tidak mampu lagi mendukung seluruh aktivitas manusia yang berkembang, dan tidak mampu lagi mengasimilasi limbah yang terakumulasi menyebabkan kerusakan lingkungan berat bahkan permanen.

Program pengendalian pencemaran laut merupakan program yang kompleks, lintas sektoral dan lintas wilayah, sehingga partisipasi antara para pemangku kepentingan dan adanya produk kesepakatan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk itu program pengendalian memerlukan beberapa jenis instrumen yaitu : instrumen ekologi, teknologi, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan, serta instrumen hukum. Instrumen ekologi lebih menekankan pada pemahaman tentang hubungan timbal balik komponen hidup dan komponen tidak hidup di dalam satu kesatuan ekosistem. Pemahaman ini memunculkan istilah assimilative capacity(kapasitas asimilasi), carrying capacity (kapasitas penyangga) dan proses alami lingkungan seperti difusi, pengenceran, penyebaran, penguraian, dan reaksi kimiawi untuk memelihara dampak lingkungan dalam skala yang masih dapat diterima. Standar ini dikenal sebagai baku mutu lingkungan. Baku mutu air laut di Indonesia telah ditetapkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 (Lampiran 2).

(57)

terletak antara batas bahaya dan titik optimum baik secara teknologi dan ekonomis. Sejak tahun 1990 melalui PP no 20 tahun 1990 ditentukan baku mutu air berdasarkan kriteria mutu air menurut golongan peruntukannya. Terdapat 4 golongan peruntukan air yaitu :

Golongan A : air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan lebih dahulu.

Golongan B : air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum

Golongan C : air yang dapat digunakan untuk keperluan perikana dan peternakan Golongan D : air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat

dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air.

Menurut Bachtiar (1994)parameter kualitas air penting yang dapat dijadikan tolok ukur pencemaran perairan antara lain : pH, oksigen terlarut, BOD, COD, nitrogen, fosfat, dan beberapa jenis organisme renik yang dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Hubungan parameter kualitas air dan indikator pencemaran sebagai berikut:

1. Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Ikan dan organisme pakan ikan dapat hidup dalam lingkungan perairan yang mempunyai nilai pH antara 4.0 -11.0, sementara nilai pH yang produktif dan ideal untuk perikanan adalah perairan dengan pH 6.5-8.5.

2. Adanya senyawa organik dalam perairan akan dirombak oleh bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut, akibatnya dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen perairan sampai mencapai tingkat terendah, keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan ekologis perairan yang menerima limbah. Kandungan oksigen di perairan tambak dapat dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik. Kandungan oksigen terlarut dengan konsentrasi 0 – 2 ppm (part per million) menunjukkan perairan tercemar berat. 3. Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang

(58)

kisaran konsentrasi 3 – 4.9 ppm menunjukkan tercemar ringan, dan bila mencapai nilai di atas 15 ppm menunjukkan perairan tersebut tercemar berat. 4. Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia, nitrit, nitrat dan

senyawa lain yang berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Kehadiran senyawa amonia menunjukkan pencemaran yang masih baru, sementara bila yang ada senyawa nitrat menunjukkan pencemaran sudah lebih lama. Kadar amonia lebih besar dari 1.1 mg/l pada suhu 250C dan pH 7.5 dapat diduga adanya pemcemaran.

5. Fosfat merupakan unsur penting dalam pertumbuhan ganggang dalam perairan. Sumber fosfor adalah pencemaran industri, hanyutan pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral fosfat. Konsentrasi fosfat lebih dari 0.2 mg/l menunjukkan tingkat kesuburan perairan sangat baik.

6. Berdasarkan hasil perhitungan nilai Indeks Mutu Lingkungan perairan pada lingkungan perairan PP TIR Karawang pada tahun 1994, diperoleh kisaran 53.49 – 66.44, yang berarti bahwa lingkungan perairan dalam kriteria tercemar sedang. Ini diduga selain akibat dari pemanfaatan Sungai Ciwadas pada bagian hulu sebagai penerima limbah industri, rumah tangga dan pertanian, juga karena adanya buangan limbah kegiatan budidaya perikanan sendiri.

Kerugian yang ditanggung masyarakat sekitar tambak dari dampak buangan limbah tambak antara lain masyarakat kehilangan potensi keuntungan total mencapai Rp 36.3 milyar pertahun atau ada potensi penurunan produktivitas total yang mencapai sekitar 14.44 persen dan beban pengangguran yang mencapai 56.22 persen dari seluruh tenaga kerja yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo.

(59)

produksi perunit sekaligus menurunkan dampak lingkungan yang dapat menimbulkan biaya sosial.

Dana lingkungan dan kompensasi yang dapat dituntut pada kasus-kasus pencemaran lingkungan termasuk biaya pemulihan lingkungan merupakan beban ekonomi yang cukup besar. Biaya pemulihan lingkungan harus menjadi beban pelaku pencemar. Bagaimanapun pencegahan memerlukan biaya dan dampak yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan penanggulangan. Isu lingkungan telah menjadi isu ekonomi, sehingga perbaikan kinerja dan eko-efisiensi akan mempertinggi daya saing produksi dan selanjutnya secara keseluruhan akan dapat meningkatkan income yang diperoleh. Dana lingkungan juga membantu mengalokasikan sekaligus mendistribusikan beban pencemaran lingkungan tidak saja pada pengusaha yang secara langsung menimbulkan pencemaran, tetapi juga pada masyarakat yang mendapat manfaat secara tidak langsung melalui sistem perpajakan, asuransi dan bentuk keuangan lainnya, sehingga pencemaran lingkungan menjadi tanggung jawab bersama diantara pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Siahaan (2004) menambahkan, upaya pengendalian pencemaran melibatkan biaya penerapan kebijakan anti pencemaran. Terdapat 7 kebijakan yang diterapkan oleh OECD ( The Organization For Economic Cooperation And Development) yaitu : pengendalian langsung, perpajakan, pembayaran, subsidi, macam-macam kebijakan yang bersifat insentif, pelelangan hak-hak pencemaran dan pungutan-pungutan.

(60)

2.2.4 Harga Bayangan Polutan Tambak

Eksternal terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat dan biaya bagi kegiatan atau pihak diluar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut sebagai biaya sosial. Perbincangan mengenai biaya sosial ini sesungguhnya berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan yang sebagai akibatnya adalah kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap sebagai biaya pembangunan ekonomi (Soeparmoko, 1989). Biaya eksternalitas juga timbul dengan adanya pencemaran kualitas air melalui sisa pakan yang tidak termakan ikan atau udang yang dibudidayakan. Petambak selalu bertujuan memaksimumkan keuntungan dengan meningkatkan produksi tanpa memperhatikan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga membahayakan lingkungan. Setiap kegiatan itu memiliki biaya yang harus dibayar sendiri (internal cost), dan juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang laian (external cost). Karenanya biaya lingkungan ini nyata dan harus menjadi pertimbangan dalam aktivitas ekonomi. Saemarwoto (1989) memperjelas bahwa didunia ini tidak ada yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada orang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap menguntungkan. Jadi bila ada yang membuang limbah ke sungai, pada hakekatnya ia menggunakan sungai untuk mengangkut limbah secara gratis. Namun orang lain yang harus memikul biaya pengangkutan limbah yaitu dalam bentuk penurunan hasil ikan atau biaya penjernihan air minun yang lebih tinggi yang harus dikeluarkan oleh PDAM.

Gambar

Gambar 1. Produksi Udang Nasional Tahun 1995 – 2010 (ribu ton)
Tabel 1. Kebutuhan Benih dan  Pakan pada Berbagai Sistem Teknologi
Tabel  2.  Estimasi Limbah N dan P dari Hasil Kegiatan  Tambak Udang pada
Tabel 3. Perbandingan Tindakan Usaha di Negara Maju dan Negara Berkembang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tugas akhir ini difokuskan pada pengklasifikasian jenis hipertensi berdasarkan penyebabnya menggunakan metode regresi logistik biner dan algoritma C4.5 dengan

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh persentase massa gipsum dan serat terhadap kuat tekan dan kuat lentur papan semen-gipsum berserat eceng gondok.. Alat uji Kuat

Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman dan Dault adalah pada alat análisis yang menggunakan kriteria NPV, IRR dan Net

Pendidikan dan pelatihan (Diklat) berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja karyawan, oleh karena itu karyawan hendaknya dapat memanfaatkan pendidikan dan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu dari hutan rakyat yang berasal dari jawa barat antara lain kayu manii (Maesopsis emanii), kayu angsana (Pterocarpus indicus

Dengan memahami prinsip-prinsip nilai kerja yang berkembang dalam pelaksanaan pelayanan public, maka membawa implikasi terhadap penyiapan strategi yang tepat