DALAM PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
DI PROVINSI RIAU
HAMSANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan UPT Pelatihan
dan Pengembangan dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Provinsi Riau adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir kajian ini.
Bogor, Februari 2011
Training and Development In Small and Medium Industry in Riau Province. Supervised by Sarwititi as chairman, Yusman Syaukat members.
The study was conducted byTraining and Development Unit Office of Industry and Trade is a means of Riau Province that serves as a forum for fostering and development of Small and Medium Industry in Riau Province. One of the Local Government program that supports the existence of Riau province is Poverty, Ignorance and Infrastructure (K2I)., as a form of application of good governance in the province of Riau.
The purpose of this study was to review the extent to which the extent of Training and Development Unit is able to empower small and medium industries, evaluate programs UPT training and development undertaken in line with the needs of IKM so that an increase in human resources IKM, analyzing the enabling factors and institutional strengthening inhibitors Training and Development Unit in developing IKM and to formulate strategies and programs to find a solution meeting the needs of institutional and program development UPT Training and Development in empowering IKM, to achieve the SWOT analysis tool is used by looking at the strength (strength) and weakness ( weaknes) internal environment and opportunities (opportunities) and threats (threat) the external environment so as to answer the "how to design a program of institutional strengthening of Training and Development Unit is able to empower small and medium industries in Riau Province."
The results showed that: (1) Performance Training and Development Unit staff who do not yet have the ability in preparing the syllabus and training materials so impressed that any training undertaken is not well planned, (2) direction of UPT training and development policies that have not been oriented to the empowerment Small and Medium Industries, (3) do not have a syllabus and training materials appropriate to the needs of Small and Medium Industries, (4) is still limited facilities and infrastructure of the Training and Development Unit to become a constraint in conducting the practice field, (5) lack of manpower have technical competence in their field.
IKM empowerment process that has been done by the Training and Development Unit through training programs, internships and the application of the incubator and the facilitation of business management and banking. In this empowerment process, there are several constraints which include strategic enough yet compiled a standard syllabus of training, especially regarding the procedures and technical training activities that apply the methodology of empowerment to increase the participation of institutional members as well as IKM, limited facilities and infrastructure for practical training and internships as well as yet its technical personnel for the facilitation and implementation methodology for improved participation empowerment and institutional members of the IKM.
Strategy development programs Training and Development Unit to conduct scale priorities over several stages: (a) Year I (2010) Phase Settling, (b) Year II (2011) Development Phase (c) Year III (2012-onwards) Growth Phase , expected at this growth stage accreditation process Training and Development Unit has been achieved.
Pengembangan Dalam Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau. Dibimbing oleh Sarwititi sebagai ketua, Yusman Syaukat anggota.
Kajian ini dilakukan dilatarbelakangi UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau merupakan suatu sarana yang berfungsi sebagai wadah pembinaan dan pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau. Salah satu program Pemerintah Daerah provinsi Riau yang mendukung keberadaannya adalah Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Infrastruktur (K2I), sebagai bentuk aplikasi good governance di Provinsi Riau.
Sebagai satu-satunya wadah pembinaan dan pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau, maka peran UPT tersebut sangatlah penting. Namun melihat dari kelembagaan yang mengelola UPT Pelatihan dan Pengembangan belum menggambarkan suatu lembaga yang profesional dalam bidangnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau sejauh mana sejauh mana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu memberdayakan Industri Kecil dan menengah, mengevaluasi program-program UPT pelatihan dan pengembangan yang dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan IKM sehingga terjadi peningkatan sumber daya manusia IKM, menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM serta merumuskan strategi dan program untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan akan pengembangan kelembagaan dan program UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam memberdayakan IKM, untuk mencapai tersebut digunakan alat analisis SWOT yaitu dengan melihat kekuatan (strenght) dan kelemahan (weaknes) dilingkungan internal serta peluang (opportunities) dan ancaman (threat) dilingkungan eksternal sehingga dapat menjawab “ bagaimana rancangan program penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan yang mampu memberdayakan Industri kecil dan Menengah di Provinsi Riau.”
Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) Kinerja staf UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum mempunyai kemampuan dalam menyusun silabus dan materi pelatihan sehingga terkesan bahwa setiap pelatihan yang dilaksanakan tidak terencana dengan baik ; (2) arah kebijakan UPT pelatihan dan pengembangan yang belum berorientasi kepada pemberdayaan Industri kecil dan Menengah ; (3) belum mempunyai silabus dan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan Industri Kecil dan Menengah; (4) masih terbatasnya sarana dan prasarana UPT Pelatihan dan Pengembangan sehingga menjadi suatu kendala dalam mengadakan praktek lapangan ; (5) tidak adanya tenaga teknis yang mempunyai kompetensi dibidangnya.
diperoleh melalui identifikasi kebutuhan yang diperlukan antara lain penyediaan sumber daya manusia pengelola maupun teknis yang sesuai dengan kompetensinya, peningkatan sarana dan prasarana baik penunjang maupun melalui peningkatan anggaran yang memadai baik dari Pemerintah Daerah, Pusat maupun kerjasama dengan pihak swasta melalui program CSR . Peran lembaga UPT Pelatihan dan Pengembangan adalah sebagai wadah peningkatan kemampuan untuk pemberdayaan IKM ,dan menjadi salah satu lembaga yang terkait dengan program Pemerintah Provinsi Riau dalam mengentaskan Kemiskinan dan Kebodohan dan Infrastruktur (K2I). Strategi program pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan dengan melakukan skala perioritas atas beberapa tahapan; (a) Tahun I (2010) Tahap Pembenahan; (b)Tahun II (2011) Tahap Pengembangan;(c)Tahun III (2012-dan seterusnya) Tahap Penumbuhan, diharapkan pada tahap penumbuhan ini proses akreditasi UPT Pelatihan dan Pengembangan sudah dapat dicapai.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DALAM PEMBERDAYAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
DI PROVINSI RIAU
H A M S A N I
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Hamsani
NIM : I354064035
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Sarwititi S. Agung, MS Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Ketua Anggota
Mengetahui :
Ketua Program Magister Profesional Dekan Sekolah Pascasarjana Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala. M. Kolopaking, MS Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, senantiasa memberikan kemudahan dan kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir Kajian Pengembangan Masyarakat dengan judul Pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan IKM di provinsi Riau. Kajian Pengembangan Masyarakat ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Magister Profesional Pengembangan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak H.M. Rusli Zainal MP, Gubernur Riau dan Bapak Drs. M. Ramli Walid, Msi yang telah memberikan kesempatan dan motivasi menempuh pendidikan ini. 2. Dr. Ir. Lala Kolapaking, MS dan Ir. Freddyan Tony, MS yang telah memberikan
motivasi penulisan kajian ini.
3. Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, MSc yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan kajian ini.
4. Ir.Freddyan Tony,MS selaku penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan kajian ini.
5. Dosen sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB yang telah memberikan bekal ilmu pengembangan masyarakat. 6. Drs. H. Syahrizal, MSi atas motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan
penulisan kajian ini.
7. Istriku tercinta Ir. Sri Rujiati, kedua anakku Jodi Septiadi Akbar dan Muhammad Revan, orang tua dan keluarga yang senantiasa mencurahkan dukungan, perhatian,
dan do’anya bagi kelancaran studi penulis.
8. Rekan-rekan MPM yang telah membantu dalam penyusunan kajian ini.
Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan manfaat bagi semua pihak, terutama UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau.
Bogor, Februari 2011
Penulis dilahirkan di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau pada tanggal 1 Desember 1963 dari pasangan H. Abdurrahman Saleh dan Hj. Mulya. Penulis anak ke-enam dari sepuluh besaudara.
Pendidikan sarjana di tempuh di Falkultas Ekonomi Universitas Riau. Jurusan Manajemen Lulus tahun 1988. Pada tahun 2007, penulis diterima di program studi pengembangan masyarakat pada program pascasarjana IPB. Biaya pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Penanaman Modal Promosi Daerah Provinsi Riau dengan jabatan Kepala Bidang Fasilitasi dan Kerjasama Penanaman Modal.
Halaman
DAFTAR ISI ...
i
DAFTAR TABEL ...
iii
DAFTAR GAMBAR ...
v
DAFTAR LAMPIRAN ... ...
vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 11.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Kegunaan ... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Kecil dan Menengah (IKM) ... 72.2 Penguatan kelembagaan ... 7
2.3 Modal sosial ... 9
2.4 Pemberdayaan Masyarakat ... 10
2.5 Inkubator sebagai Media Pemberdayaan IKM ... 12
2.6 Pengembangan Kapasitas ... 14
2.7 Strategi Pemberdayaan IKM ... 16
BAB III. METODOLOGI KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran ... 173.2 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan ... 19
3.3 Metode Kajian ... 19
3.3.1 Informan ... 19
3.3.2 Metode Pengumpulan Data ... 20
3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 21
3.4 Metode Perencanaan Program ... 22
3.4.1 Analisis faktor Internal dan Eksternal ... 23
BAB IV. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
4.1 Kondisi Umum IKM di Provinsi Riau ... 254.2 Kondisi Umum UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 30
4.2.1 Profil Tenaga Teknis ... 31
4.3 Kegiatan UPT Pelatihan dan Pengembangan melalui Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah ... 33
4.3.1 Pengembangan Usaha Produktif IKM ... 35
4.3.2 Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial ... 37
4.5 Evaluasi Kegiatan IKM Provinsi Riau (Studi Kasus Pada Bidang Usaha Perbengkelan,, Workshop Logam di UPT
Pelatihan dan Pengembangan Provinsi Riau ... 43
4.5.1 Profile Kelompok Bina Jaya Logam ... 43
4.5.2 Deskripsi Kegiatan Usaha Kelompok Bina Jaya Logam ... 43
4.5.3 Pengembangan Modal Sosial ... 46
BAB V. ANALISIS LINGKUNGAN (INTERNAL DAN
EKSTERNAL) LELEMBAGAAN UPT PELATIHAN
DAN PENGEMBANGAN
5.1 Analisa Lingkungan UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 505.2 Penyusunan Internal Factors Analysis Summary (IFAS) ... 50
5.2.1 Analisa Kekuatan dan Kelemahan UPT Pelatihan dan Pengembangan (Importance VS Performance) ... 51
5.3 Penyusunan External Faktor Summary (EFAS) ... 53
5.3.1 Analisis Lingkungan Makro/Umum UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 53
5.3.2 Analisis Lingkungan Mikro/Industri UPT Pelatihan dan Pengembangan ... 54
BAB VI. PENYUSUNAN STRATEGI UMUM DAN
RANCANGAN PROGRAM UPT PELATIHAN
DAN PENGEMBANGAN
6.1 Perumusan Strategi dengan Analisa SWOT ... 596.2 Rincian Kegiatan Program Pengembangan UPT Pelatihan ... 68
6.2.1 Pembenahan Komponen Administrasi dan Manajemen .... 68
6.2.2 Pembenahan Komponen Pelayanan Pelatihan ... 69
6.2.3 Pembenahan Pelayanan Penunjang Pelatihan ... 71
6.2.4 Rencana Penyusunan Peralatan dan SDM ... 72
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan ... 817.2 Saran ... 83
Daftar Pustaka ... 87
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Teknik Penentuan Informan ... 20
2. Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM di Provinsi Riau menurut Kabupaten/Kota,
2007 ... 25
3. Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai
Produksi IKM Provinsi Riau per Jenis Industri,2007 ... 26
4. Rekapitulasi Kondisi IKM Riau serta Kebutuhan
Pengembangannya ... 27
5. Rekapitulasi Kondisi dan Kebutuhan IKM Terhadap UPT
Pelatihan dan Pengembangan ... 28
6. Jumlah Pegawai, Pendidikan pada UPT Pelatihan dan
Pengembangan ... 31
7. Tingkat Keahlian Tenaga Penyuluh UPT Pelatihan dan
Pengembangan ... 32
8. Jumlah Peserta Pelatihan dan Magang tahun 2006 dan 2007 .... 33
9. Kegiatan Pelatihan Tahun 2007 ... 34
10. Kegiatan Pelatihan Peningkatan Kemasan Pangan Tahun 2007 36
11. Perkembangan Usaha Pasca Pelatihan Peningkatan Kemasan .. 36
12. Rekapitulasi Laporan Perkembangan Hasil Pembinaan Industri Kecil Penerima Pinjaman Dana Bergulir Dinas
Perindag Prov. Riau Tahun 2001 ... 38
13. Rekapitulasi Laporan Perkembangan Hasil Pembinaan Penerima Dana Bergulir Dinas Perindag Prov. Riau Tahun 2002 ... 39
14. Daftar Jaringan Kerja dan Usaha Kelompok Bina Jaya Logam 45
15. Jenis Pelatihan dan Magang yang Diikuti oleh Anggota Kelompok Bina Jaya Logam ... 47
16. Rangkuman Matrix IFAS (Internal Factors Analysis Summary) UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindag Provinsi Riau 52
18. Matrik Internal Eksternal (IE Matrik) ... 58
19. Perumusan Strategi UPT dengan Analisa SWOT ... 59
20. Rincian Strategi Program Pengembangan UPT Pelatihan ... 65
21. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 73
22. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 73
23. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 74
24. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 74
25. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 74
26. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 75
27. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 75
28. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 75
29. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 76
30. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 76
31. Tahun I Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 77
32. Tahun II Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 77
33. Tahun III (Tahap Pertumbuhan Tahun 2012) ... 77
34. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 78
35. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 78
36. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 78
37. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 78
38. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 79
39. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 79
40. Tahun I (Tahap Pembenahan Tahun 2010) ... 79
41. Tahun II (Tahap Pengembangan Tahun 2011) ... 79
42. Tahun III (Tahap Penumbuhan Tahun 2012) ... 80
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Alur Pikir ... 18
2. Struktur Organisasi UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau ... 30
3. Grafik Perkembangan Modal Kelompok Bina Jaya Logam ... 44
4. Skema Struktur Organisasi Kelompok Bina Jaya Logam ... 46
5. Model Langkah-langkah Penyusunan IFAS ... 51
6. Model Langkah-langkah Penyusunan EFAS ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Laporan Pelaksanaan Hasil Diskusi ... 89
2. Jenis Kegiatan dan Biaya Tahap Pembenahan (Tahun 2010) ... 92
3. Jenis Kegiatan dan Biaya Tahap Pengembangan (Tahun 2011) .... 100
4. Foto-foto Sarana dan prasarana ... 107
1.1. Latar Belakang
Kegagalan program-program pembangunan di masa lampau berimplikasi
pada bergesernya paradigma baru pembangunan yang memandang pentingnya
masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Kesadaran tersebut
semakin meningkat sejalan bangkitnya era reformasi pada tahun 1997, setelah
terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan Republik
Indonesia. Menurut Adi (2001), pentingnya menempatkan masyarakat sebagai
pelaku utama dalam pembangunan menunjukkan perubahan paradigma
pembangunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada
pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Namun demikian, akibat telah
termarjinalisasi dalam waktu lama, masyarakat mengalami kesulitan untuk
mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam
konteks ini, pemberdayaan sangat diperlukan sebagai strategi dalam pembangunan
masyarakat. Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan
strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan
transformasi budaya, proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan
yang lebih berpusat pada rakyat.
Perubahan lingkungan internal berupa otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong kemandirian daerah dalam
menciptakan kondisi perekonomian yang lebih baik, berdasarkan preferensi dan
kebutuhan masyarakat. Daerah memiliki pengetahuan lebih dibandingkan dengan
pemerintah pusat mengenai potensi-potensi ekonomi lokal serta kebutuhan
masyarakat lokal. Otonomi daerah menyebabkan daya saing negara harus
bertumpu pada daya saing daerah sehingga daerah-daerah di Indonesia perlu
mengembangkan kompetensi khas atau inti daerah sehingga setiap daerah akan
mempunyai competitive advantage yang tinggi, dengan demikian ada suatu
paradigma baru bahwa daya saing itu bermula dari daerah dan dari daya saing
Kompetensi inti daerah haruslah memperhatikan kemungkinan
berkembangnya kemitraan antar daerah dan menghindari persaingan tidak sehat
antar daerah yang justru akan menurunkan daya saing secar nasional. Oleh karena
itu penentuan kompetensi inti dapat dilakukan melalui koordinasi maupun diskusi
antar daerah sehingga kemungkinan beberapa daerah mengembangkan
kompetensi inti yang sama dapat dikurangi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 50
tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah dalam Bab II pasal
2 bahwa kerja sama daerah dilakukan dengan prinsip antara lain : efisiensi,
efektif, sinergi, dan saling menguntungkan.
Kompetensi inti dapat menjadi kunci keberhasilan Kabupaten/Kota dalam
menentukan arah pembangunan, sesuai keunggulan daya saing yang dimiliki.
Kompetensi inti dapat mencegah penggunaan sumber daya daerah dengan tidak
efektip dan efisien. Kompetensi inti hendaknya didasarkan pada berbagai
indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung. Kompetensi
inti dapat menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan
Kabupaten/Kota mengenai industri yang akan dikembangkan. Kompetensi inti
juga dapat menjadi sumber keunggulan Kabupaten/Kota dalam menghindari
persaingan global, serta mendorong kemandirian pembangunan (Departemen
Perindustrian RI, 2007).
Untuk meningkatkan kemandirian pembangunan tersebut, maka
pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang kini sering
digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat
martabat keluarga miskin. Untuk di Provinsi Riau, Departemen Perindustrian RI
menetapkan bahwa Provinsi Riau ditetapkan mempunyai kompetensi Inti Kelapa
Sawit dan kelapa maka pemberdayaan yang akan dilaksanakan adalah bagaimana
mengoptimalkan pemanfaatan hasil dari kelapa Sawit dan Kelapa dapat
memberikan manfaat dengan memberikan akses yang luas masayarakat dalam
memperoleh lahan serta kepemilikan. Dan ini sudah menjadi komitmen Pemda
Riau dengan kebun rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena,
memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak
dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang
belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat
diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi
kerangka acuan mengenai kemampuan yang melingkup aras sosial, ekonomi,
budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan
(Suharto, 2005).
Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dalam masyarakat adalah kurangnya akses terhadap sumber daya yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya kesediaan pemerintah atau kelompok kuat untuk membagi sumber daya kepada kelompok lemah (Haeruman dan Eriyatno, 2001).
Salah satu peran pemerintah dalam meningkatkan akses sumber daya tersebut adalah pembinaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih sangat diperlukan, mengingat peranan sektor UMKM cukup besar, karena sektor usaha ini terbukti mampu bertahan dari kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Provinsi Riau, yang memiliki berbagai potensi sumber daya alam cukup besar juga merasakan pentingnya melakukan pembinaan tersebut. Dari berbagai macam sumber daya alam tersebut masih perlu digali, diolah dan dikembangkan secara terarah dan terpadu sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan menghindari dampak negatif yang mungkin
1.2 Rumusan Masalah
Pengembangan dalam meningkatkan kemampuan Industri Kecil dan Menengah ini dirasakan belum mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja IKM tahun 2007 (tabel 2) sebesar 79.807 dengan 5.114 unit usaha namun yang mampu terjangkau untuk dilakukan pembinaan dan pelatihan hanya 330 oang (tabel 4).
Peranan dan keberadaan UPT Pelatihan dan Pengembangan diperkuat dengan Program Pemerintah Provinsi Riau dalam pemberantasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Infrastuktur (K2I). Untuk melaksanakan program ini salah satunya adalah dari sektor Industri dan Perdagangan, melalui fungsi UPT Pelatihan dan Pengembangan. Untuk meningkatkan peran kelembagaan ini, maka permasalahan yang dihadapi antara lain adalah Kinerja staf UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum mempunyai kemampuan dalam menyusun silabus dan materi pelatihan, sehingga terkesan bahwa setiap pelatihan yang dilaksanakan tidak terencana dengan baik. Diharapkan staf UPT Pelatihan dan Pengembangan Perindag mempunyai kompetensi yang tepat, sehingga mampu membuat silabus pelatihan dan merencanakan pelatihan yang dibutuhkan oleh industri kecil dan menengah di Provinsi Riau, sementara itu kebijakan UPT Pelatihan dan Pengembangan yang belum berorientasi kepada pemberdayaan industri kecil dan menengah sehingga Industri Kecil dan Menengah terkesan berjalan sendiri. Kondisi ini adalah disebabkan tidak adanya tenaga teknis yang mampu mendampingi Industri Kecil dan Menengah dalam menghadapai masalah teknis. Dengan keadaan seperti ini perlu diketahui sejauh mana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia IKM melalui kegiatan pemberdayaan industri kecil dan menengah, sehingga dapat diketahui faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM, dengan demikian ke depan diharapkan Lembaga ini dapat melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui strategi yang lebih baik dalam upaya pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan untuk peningkatan pemberdayaan IKM.
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan
beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Sejauhmana UPT Pelatihan dan Pengembangan mampu memberdayakan
2. Sejauh mana program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan dapat
meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia IKM ?
3. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan kelembagaan
UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM?
4. Bagaimana strategi untuk pengembangan UPT Pelatihan dan Pengembangan
untuk peningkatan pemberdayaan IKM?
1.3 Tujuan
Kajian ini bertujuan :
1. Meninjau sejauhmana program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan
mampu memberdayakan Industri Kecil dan Menengah.
2. Mengevaluasi program-program UPT Pelatihan dan Pengembangan yang telah dilaksanakanan sejalan dengan kebutuhan IKM sehingga terjadi peningkatan sumber daya manusia IKM . 3. Menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat penguatan
kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam mengembangkan IKM.
4. Merumuskan strategi dan program untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan akan pengembangan kelembagaan dan program UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam memberdayakan IKM
1.4 Kegunaan
Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah :
1). Memberikan masukan tentang model pengembangan UPT Pelatihan dan
Pengembangan untuk meningkatkan fungsi pemberdayaan masyarakat
khususnya IKM di provinsi Riau sehingga fungsi UPT pelatihan sebagai
sarana pelatihan pengembangan Sumber Daya Manusia IKM dapat berfungsi
sesuai dengan amanat Perda no. 7 tahun 2008.
2) Memberi masukan tentang strategi dan program pengembangan UPT Pelatihan
dan Pengembangan kepada pemerintah Provinsi Riau dalam menunjang
program pengentasan Kemiskinan dan Kebodohan serta Infrastruktur (K2I)
2.1 Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Industri Kecil dan Menengah (IKM) adalah industri yang dikelola
masyarakat dengan asset lebih kecil dari dua ratus juta rupiah diluar tanah dan
bangunan. Omzet tahunan lebih kecil dari satu milyar rupiah, dimiliki oleh orang
Indonesia independen, tidak terafilasi dengan usaha menengah, boleh berbadan
hukum dan boleh saja tidak. (Departemen Perindustrian, 2008). Berbeda dengan
Usaha Kecil dan Menengah, menurut Undang-Undang Nomor: 9/1995 tentang
usaha kecil adalah bila asset yang dimiliki usaha lebih kecil dari duaratus juta
rupiah diluar tanah dan bangunan dengan omzet tahunan lebih kecil dari satu
milyar rupiah, dimiliki oleh orang Indonesia independen, tidak terafilasi dengan
usaha menengah, boleh berbadan hukum dan boleh saja tidak.
2.2 Penguatan Kelembagaan
Untuk melakukan perubahan kelembagaan dalam konteks pembangunan
yang berbasis pada pengembangan komunitas memerlukan roh yang jelas. Hal
pokok tersebut adalah mengingatkan akan keperluan pembangunan yang
berkelanjutan (Kolopaking dan Toni, 2007). Ada tiga pilar utama dari
Pembangunan Berkelanjutan, yaitu : (1) Pengentasan kemiskinan (poverty
eradication), (2) Perubahan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan
(changing unsustainable pattern of consumption and production), (3)
Perlindungan dan pengelolaan basis sumber daya alam bagi pembangunan
ekonomi dan sosial (protecting and managing the natural resources basis of
economic and social development). Ketiga pilar ini perlu diintegrasikan dan
terkait serta bergantung satu sama yang lainnya (interdepedensi).
Pengembangan kelembagaan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan melalui teknik-teknik
sosial yang diturunkan dari penerapan Teknologi Partisipatif. Oleh karena itu
bentuk kegiatannya beragam mulai dari pendampingan, melakukan pelatihan
keberhasilan (best practice), penyusunan dan perencanaan aksi, bahkan sampai
melakukan advokasi untuk melakukan memperjuangan kepentingan masyarakat.
Hal yang utama dalam hal ini semua kegiatan itu dilakukan dalam bentuk proses
belajar sosial partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama yang
produktif. Satu hal yang menjadi hasil (outcome) dari kegiatan-kegiatan ini adalah
lahirnya kader-kader untuk ikut mengembangkan proses pemberdayaan
masyarakat.
Menurut Bertrand (1974), seperti dikutip Tonny dan Utomo (2004),
kelembagaan adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, asosiasi, organisasi
dan sistem sosial lainnya. Artinya, wujud kongkrit dari pemahaman tentang
kelembagaan dapat berupa grup, asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya.
Sedangkan tata abstraksinya adalah pada sistem norma dan nilai dari grup,
asosiasi, organisasi dan sistem sosial lainnya.
Istilah “lembaga” (institution) dan “pengembangan kelembagaan” (institutional development) pengembangan masyarakat atau “pembinaan
kelembagaan” (institutional building), mempunyai arti yang berbeda-beda untuk orang yang berbeda pula. Disini pengembangan kelembagaan sinonim dengan
pembinaan kelembagaan dan didefenisikan sebagai proses untuk memperbaiki
kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia
dengan keuangan yang tersedia. Proses ini dapat secara internal dapat digerakkan
oleh manajer sebuah lembaga atau dicampur tangani dan dipromosikan oleh
pemerintah atau oleh badan-badan pembangunan (Israel, 1992).
Pengembangan kelembagaan (atau analisa kelembagaan) menyangkut
sistem manajemen termasuk pemantauan dan evaluasi; struktur dan perubahan
organisasi; perencanaan, termasuk perencanaan untuk suatu proses investasi yang
efisien; kebijakan pengaturan staf dan personalia; pelatihan staf, prestasi
keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran
dan akunting dan auditing; perawatan dan pengadaan (Israel, 1992).
Menurut Sugiyanto (2002) hasil akhir dari pembangunan lembaga
menetapkan sederetan pengujian. Prinsip-prinsip dasarnya (1) harus diadakan
norma-norma dan pola-pola yang baru didalam organisasi yang relevan dengan
melembaga dan semua ini harus dinilai; (3) nilai instrinsik yang diperoleh dapat
dipandang sebagai sumber daya yang memungkinkan para penghantar perubahan
untuk mencapai tujuannya dengan biaya yang berkurang karena komitmen staf
dan citra yang menguntungkan dan diproyeksi dalam lingkungan.
Menurut Eade (1997) seperti dikutip Tonny dan Utomo (2004),
pengembangan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan
suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek-proyek pembangunan.
2.3 Modal Sosial
Dalam pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai
secara efektif apabila didukung oleh sumber daya yang memadai (Siswanto,
2005). Sumber daya dapat berupa human capital, social and institutional assets,
natural resources dan man mad assets (Syaukat dan Hendrakusumaatmadja,
2005). Penyatuan tersebut mengindikasikan bahwa kelembagaan sebagai
organisasi akan efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumber
daya. Salah satu sumber daya tersebut adalah Modal Sosial.
Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur sosial
serta hubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaring sosial.
Secara umum modal sosial didefenisikan sebagai “informasi, kepercayaan, dan
norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jejaring sosial” (Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu
sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti
pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity),
pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange),
kelompok-kelompok formal dan informal groups, serta asosiasi-asosiasi yang
melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga
memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan (Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo, 2005).
Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih
kongkrit, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk proses
produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut.
modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal
sosial tidak bersifat netral, ditandai dengan adanya hubungan saling
menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas atau kategori sosial atau
manusia pada umumnya.
Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002), adalah
kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan jaringan sosial
atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya Hanifan dalam
Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai kenyataan yang
dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan, hubungan antar
individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan warga masyarakat.
Menurut Woolcock yang dikutip Colleta dan Cullen dalam Nasdian dan
Utomo (2005), modal sosial memiliki empat dimensi, yaitu :
1) Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik
dan agama.
2) Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal
berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic
association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama.
3) Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan
kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk
menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
4) Sinergi (synergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan
dengan komunitas (state-community relations).
2.4 Pemberdayaan Masyarakat
memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 2005).
Hikmat (2004) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat people-centred, participatory, empowering dan sustainable.
Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan (Sumodiningrat, 1997). Pemberdayaan rakyat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang dan sektor kehidupan.
Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan
orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki
kekuatan atau kemampuan dalam :
1) Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan
(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan
bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan.
2) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa
yang mereka perlukan.
3) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka.
Beragam defenisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan
adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok
lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau
yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun
sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi,
mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan
sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan
sebagai sebuah proses.
Menurut Payne dalam Adi (2001), mengemukakan proses pemberdayaan
pada intinya ditujukan untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait
dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa
percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain dengan
menggunakan daya dari lingkungan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah upaya perubahan sosial masyarakat yang direncanakan
dengan melibatkan peran partisipasi masyarakat dalam upaya sebuah proses
peningkatan taraf hidup dan pola pikir masyarakat sebagai subjek dari
pembangunan.
2.5 Inkubator sebagai Media Pemberdayaan IKM
Menurut Purwadaria (2004) Inkubator Bisnis dan Teknologi (IBT) adalah
suatu fasilitas yang dikelola oleh sejumlah staf terbatas dan menawarkan suatu
paket terpadu kepada pengusaha industri dengan biaya terjangkau selama jangka
waktu tertentu (2-3 tahun). Paket terpadu tersebut meliputi :
1. Ruang produksi dalam gedung yang dilengkapi sarana dan prasana.
2. Kesempatan akses dan pembentukan jaringan kerja dengan jasa pendukung
teknologi dan bisnis, sumber daya teknologi dan informatika, sumber daya
bahan baku, sumber daya keuangan.
3. Pelayanan konsultasi yang meliputi aspek teknologi, manajemen, dan
pemasaran.
Adapun manfaat yang didapat oleh Industri Kecil dan Menengah dalam
program Inkubator ini adalah :
1. Sewa ruangan dengan biaya rendah.
2. Sarana administrasi, kesekretariatan dan jasa dapat dipakai bersama.
3. Akses fasilitas perpustakaan dan komputer.
4. Tenaga konsultan terlatih dan murah.
5. Tenaga kerja terampil dan murah ( siswa dan mahasiswa praktek).
6. Memperoleh fasilitator bank dan penyandang dana.
7. Memperoleh fasilitator pasar dan sumber bahan baku.
8. Hubungan dengan pejabat pemerintah terkait.
9. Sinergisme dengan perusahaan lain.
Adapun manfaat untuk inkubator adalah :
1. Menghasilkan pendapatan.
2. Kesempatan penanaman modal dan ikut berwirausaha.
3. Meningkatkan pengetahuan kewirausahaan dan memberikan pengalaman
praktis kewirausahaan bagi lembaga dan staf lembaga.
4. Ikut dalam jaringan kerja dengan pemerintah, universitas, lembaga penelitian
dan sektor swasta.
5. Menggiatkan fasilitas yang ada secara efektif.
6. Komersialisasi hasil penelitian.
Sedangkan inkubator bagi pemerintah mempunyai manfaat antara lain :
1. Pertumbuhan budaya kewirausahaan.
2. Perluasan landasan pajak.
3. Peningkatan pendapatan dan devisa negara.
4. Pertambahan penyerapan tenaga kerja.
Dalam prakteknya inkubator dapat dikelompokan atas:
1. Inkubator publik (nirlaba) : diprakarsai oleh pemerintah/organisasi nirlaba
2. Inkubator swasta: perusahan modal ventura atau real estate/industri besar
tertentu yang menarapkan pola subkontrak.
3. Inkubator kampus: perguruan tinggi sebagai pusat penemuan dan inovasi.
4. Inkubator publik swasta : kerjasama antara pemerintah atau
organisasi nirlaba dengan perusahaan swasta.
Menurut Hubeis (2009) dalam prospek usaha kecil dalam wadah inkubator
mengemukakaan merupakan suatu lingkungan “pengeraman” untuk memenuhi kebutuhan usaha kecil di tahap-tahap kritis dari perkembangan maupun
pertumbuhan yang didukung oleh sumber-sumber bantuan dari pemerintah
maupun swasta.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa UPT Pelatihan dan
Pengembangan merupakan inkubator yang diprakarsai oleh pemerintah daerah
untuk memenuhi akan kebutuhan pengembangan dan pertumbuhan IKM . Adapun
fasilitas yang tersedia disetiap work shop merupakan salah satu fasilitas yang
dapat digunakan oleh IKM yang sudah masuk dalam sistim inkubator UPT
Pelatihan dan Pengembangan.
2.6 Pengembangan Kapasitas
Pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan
dimana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi
perencana pembangunan bagi diri mereka (Eade dikutip oleh Tonny & Utomo,
2004). Jadi sementara terdapat kapasitas dasar tertentu (sosial,ekonomi,politik
dan praktek) dimana pembangunan itu bergantung, juga mencari dukungan
organisasi untuk bekerja demi keadilan sosialyang berkelanjutan. Pengembangan
kapasitas masyarakat bertujuan untuk memngkombinasikan fokus yang lebih rinci
pada setiap situasi dengan visi strategi yang luas dalam jangka panjang. Dengan
demikian hasil yang diharapkan dengan adanya pengembangan kapasitas menurut
Sumpeno (2002) adalah : (1) Penguatan individu, organisasi dan masyarakat, (2).
sinergitas pelaku dan kelembagaan. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka
pengembangan kapasitas menurut Saharuddin (2000) adalah mencakup
pengembangan kapasitas institusi dan kapasitas sumber daya manusia.
Pengembangan kapasitas masyarakat menurut Maskun (1999) merupakan
suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari
bawah yang nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumber daya alam,
sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi suatu local
capacity . Kapasitas lokal yang dimaksud kapasitas pemerintah daerah, kapasitas
kelem,bagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan
pengembangan potensi alam ekonomi setempat. Dalam kontek seperti itu otonomi
dan pembangunan masyarakat oleh masyarakat adalah suatu konsep yang sejalan.
Karena itu kebutuhan penting disini adalah bagaimanan mengembangkan
kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumber
daya manusia. Dalam kontek ini pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi
kebijakan sebagai landasan organisasi lokal untuk mengembangkan
kreativitasnya. Dalam pengertian lain pemerintah pusat mengembang fungsi
stering (mengarahkan), sedangkan “lokal” mengemban fungsi rowing (menjalankan). Analog dengan pengertian bahwa pemerintah daerah mengambil
kebijakan strategis didaerah agar masyarakat mampu mengembangkan
kapasitasnya (self help).
Dalam meningkatkan dan mengembangkan kapaitas IKM dalam arti
kelembagaan masyarakat yang sebenarnya tidak terlalu lemah atau miskin akan
tetapi menghadapi kemampuan dan daya saing yang rendah menurut Sinambela
(1999) ada beberapa permasalahan-permasalahan yang dihadapi yaitu; (1)
kesulitan permodalan; (2) kesulitan pemasaran; (3) kesulitan pengadaan bahan
baku; (4) penggunaan teknologi; (5) mesin-mesin dan peralatan; (6) produk tidak
berorientasi pasar; (7) wawasan sempit dengen berorientasi masa lalu dan
sekarang; (8) manajemen tidak memadai; (9) kurang mampu melihat dan
memanfaatkan peluang; (10) tidak mengetahui informasi yang diperlukan; (11)
Dengan mengetahui kelemahan-kelemahan IKM , maka peran UPT
Pelatihan dan Pengembangan sebagai wadah dalam pembinaan IKM tidak
terlepas pada permasalahan yang dihadapi oleh IKM sehingga strategi program
pemberdayaan dan peningkatan kapasitas IKM oleh UPT Pelatihan dan
Pengembangan dapat difokuskan kearah permasalahan tersebut.
2.7 Strategi Pemberdayaan IKM
Menurut Kuncoro (2007) strategi pemberdayaan yang telah diupayakan
selama ini dapat diklasifikasikan dalam bebarapa aspek utama berikut ini:
1. Aspek manajerial yang meliputi peningkatan produktivitas/omset/tingkat
utilasi/tingkat hunian, meningkatkan kemampuan pemasaran, pengembangan
sumber daya manusia
2. Aspek permodalan yang meliputi:bantuan modal (penyisihan 1-5%
keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha kecil
minimum 20% dari porfolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES,
KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU)
3. Mengembangkan program kemitraan dengan udsaha besar baik lewat sistim
Bapak-Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu hilir (forward linkage),
keterkaitan hilir hulu (backward linkage), model ventura, ataupun sub kontrak.
4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan apakah berbentuk
PIK (Pemukiman Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan
Teknis) dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).
5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok
III. METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Berdasar dari tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dibuat suatu
kerangka pikir berupa hipotesa pengarah dalam melakukan kajian ini. Hipotesa
pengarah dalam hal ini tidak berarti harus diuji kebenarannya tetapi merupakan
arahan bekerja dilapangan dan disaat menganalisa data hasil lapangan. Ini berarti
kemungkinan temuan baru di lapangan (karena kajian ini menggunakan metode
kualitatif) dapat saja tidak tergambar dalam kerangka pikir tetapi bisa berupa
sebagai penemuan baru atau juga hasil kajian bisa memperkuat kerangka pikir
yang sudah dibuat.
Dalam kerangka pikir (gambar1) tersebut menunjukan bahwa untuk
mewujudkan UPT Pelatihan sebagai pusat pelatihan industri dan perdagangan
yang handal dan profesional dihadapkan permasalahan antara lain tidak adanya
tenaga teknis pada setiap work shop, rendahnya kualitas sumber daya manusia
pengelola, peralatan work shop yang tidak memadai, lemahnya perencanaan
pelatihan, belum mempunyai silabus pelatihan dan magang. Dengan kondisi
tersebut maka pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak
sejalan dengan kebutuhan IKM.
Untuk mencapai fungsi dan tujuan UPT Pelatihan dan pengembangan
terdapat dua faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Dengan diketahuinya kedua faktor tersebut maka solusi peningkatan
pemberdayaaan IKM dapat diatasi. Dalam kapasitas UPT Pelatihan dan
Pengembangan sebagai sarana meningkatkan sumber daya manusia IKM
diharapkan mampu menyusun strategi pemberdayaan melalui pelatihan, magang,
pendamping usaha, fasilitasi permodalan dan pemasaran. Dengan dihadapkan
kondisi IKM saat ini yang sebahagian besar memiliki kesulitan permodalan,
lemahnya pemasaran, kesulitan bahan baku, lemahnya penguasaan baha baku,
lemahnya penguasaan teknologi, minimnya peralatan, kurang berorientasi pasar
dan masa depan serta lemahnya manajemen dan jaringan. Melalui penguatan
kelembagaan UPT maka strategi program pemberdayaan dan peningkatan
Gambar 1. Kerangka Alur Pikir
Tidak ada tenaga teknis pada work shop.
Rendahnya kualitas SDM pengelola UPT Pelatihan dan Pengembangan.
Peralatan work shop tidak memadai.
Lemahnya perencanaan pelatihan.
Belum mempunyai silabus pelatihan dan magang.
Terbatasnya modal. Lemahnya pemasaran. Kesulitan bahan baku. Rendahnya penguasaan
teknologi
Peralatan sederhana Kurang berorientasi
pasar dan masa depan. Lemahnya penerapan
manajemen dan jaringan.
Pengembangan. Perencanaan organisasi
dan pengembangan SDM UPT Pelatihan dan Pengembangan. Peran dan Kontribusi
UPT Pelatihan dan Pengembangan bagi pengembangan IKM
Kebijakan pemerintah. Perkembangan ekonomi
makro
Perkembangan teknologi Persaingan usaha
kewirausahaan
Internal Factor
Analysis Summary IFAS
Eksternal Factor
Analysis Summary EFAS
Pelatihan Magang Fasilitasi Permodalan Fasilitasi pemasaran
Bantuan peralatan Pendampingan
usaha Inkubator
Peningkatan Kapasitas Dan Kualitas Usaha IKM Melalui Kegiatan Pelatihan Yang Sesuai Dengan Kebutuhan IKM Masyaraakat
Fungsi UPT : Sarana Pelatihan
Mendukung Penumbuhan dan Pengembagnan Indag
3.2 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan
Kajian ini merupakan kajian pengembangan kelembagaan yaitu UPT
Pelatihan dan Pengembangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau
dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat khususnya Industri Kecil
dan Menengah di Provinsi Riau dan ini terkait dengan program Pemerintah
Daerah Provinsi Riau dalam pemberantasan Kebodohan, Kemiskinan dan
Infrastruktur (K2I).
Provinsi Riau terdiri dari Sembilan Kabupaten dan Dua Kota, sedangkan
lokasi UPT Pelatihan dan Pengembangan yaitu Kota Pekanbaru. Jarak dari
Ibukota Pekanbaru ke UPT Pelatihan dan Pengembangan sekitar 5 KM dengan
jarak tempuh kurang lebih sekitar 15 menit.
Dipilihnya UPT Pelatihan dan Pengembangan sebagai kajian, berdasarkan
pertimbangan :
1. UPT Pelatihan dan Pengembangan merupakan satu-satunya lembaga
Pelatihan yang ada di Provinsi Riau.
2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai sehingga dapat dimanfaatkan
namun pemanfaatannya yang belum maksimal.
Waktu kajian dalam penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu
dimulai pada tanggal 02 Januari 2010 sampai 30 Maret 2010.
3.3 Metode Kajian
Rancangan penelitian yang dilakukan dalam melakukan kajian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan topik kajian “Pengembangan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelatihan dan Pengembangan dalam Pemberdayaan
Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau“.
3.3.1 Informan
Dalam melakukan kajian pengembangan kelembagaan dilakukan
penentuan informan berdasarkan topik kajian. Adapun informan yang dipilih yaitu
maupun staf sebanyak sembilan orang; (2) sepuluh pengelola Work Shop ; (3)
satu orang pengusaha bidang perbengkelan yang didampingi UPT Pelatihan dan
Pengembangan pada workshop di UPT Pelatihan dan Pengembangan yang
dipakai sebagai alat untuk mengevaluasi peran UPT Pelatihan dan Pengembangan
[image:37.595.107.516.237.526.2]dalam pemberdayaan Industri kecil dan menengah di Provinsi Riau.
Tabel 1. Teknik Penentuan Informan
Jenis Data
Struktur Informan
Staf UPT
Pelatihan
Pengelola
Work shop
Pengusaha bidang
perbengkelan
(workshop logam)
Dinas Perindag
Provinsi Riau
1 2 3 4 5
Identifikasi
Informan
Kemampuan
SDM
Effektivitas Kinerja UPT Pelatihan dan
Pengembangan
√
Rancangan Kebutuhan Penguatan
Kelembagaan
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam kajian ini berupa informasi mengenai
pengembangan kelembagaan UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam
Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah di Provinsi Riau dilakukan dengan
cara :
1. Pengamatan langsung melalui penelusuran data primer untuk mengamati
sarana/prasarana, serta data – data yang berhubungan dengan monitoring dan evaluasi pelatihan. Penelusuran data primer dilakukan dengan kunjungan lapangan ke UPT Pelatihan dan Pengembangan , Jalan Hangtuah Ujung Kota
Pekanbaru.
2. Data sekunder diperoleh dari bebarapa lembaga seperti :
a. Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Riau.
b. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau.
c. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau.
d. Kantor Statistik Provinsi Riau.
e. Kementerian Perindustrian RI.
f. Wawancara mendalam dengan informan yang dilakukan dengan
kunjungan ke tempat usaha (Work Shop ) dan melalui pelatihan-pelatihan
yang dilaksanakan di UPT Pelatihan dan Pengembangan serta evaluasi
kegiatan pada satu unit workshop yaitu workshop logam
g. Diskusi dengan informan untuk mendapatkan permasalahan yang
dihadapi dalam menjalankan usaha.
Data sekunder diperoleh dari pengamatn-pengamatan secara langsung
serta studi dokumentasi yang berkaitan dengan proses perencanaan, penelitian
serta data - data pendukung lainya terutama menyangkut kegiatan pelatihan
(rekruitmen peserta, seleksi, silabus, perencanaan kebutuhan, serta mekanisme
pelaksanaan pelatihan) magang, fasilitasi permodalan, fasilitasi pemasaran serta
bantuan peralatan dan pendampingan.
3.3.3 Metode Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif dengan mengolah dan menganalisa data dengan
menggunakan tabulasi data yang menghasilkan tabel frekuensi. Sedangkan
metode kualitatip memperoleh data-data deskriptif berupa data-data tertulis atau
lisan dari responden dilapangan. Menyangkut metode analisis data kualitatif,
kualitatif yang dijadikan pedoman dalam menganalisa data hasil penelitian
sebagai berikut ;
1. Reduksi data; data yang diperoleh di lapangan dicatat secara lengkap dan
rinci. Data tersebut perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok dan
difokuskan sesuai tujuan penelitian. Hasil dari reduksi data ini adalah
tersusunnya data secara sistimatis yang memberi gambaran lebih tajam tentang
hasil pengamatan dan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data
yang diperlukan.
2. Penyajian data; untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian maka perlu display data, yaitu menyajikan data dalam
bentuk tabel, gambar, matrik, network dan chart. Dalam tahap ini data hasil
wawancara diuraikan secara rinci dan selanjutnya ditampilkan tabel untuk
memudahkan membaca hasil penelitian sesuai dengan pertanyaaan penelitian.
3. Penarikan dan verifikasi; yaitu upaya mencari pola, model, tema,
hubungan dan persamaan serta hal-hal yang sering muncul, sehingga
diperoleh suatu kesimpulan.
Data hasil penelitian dianalisis berdasarkan kerangka pemikiran yang telah
ditetapkan, untuk kemudian dilihat hubungan dan persamaan dari implikasi
teoritiknya, sehingga diperoleh suatu kesimpulan jawaban penelitian.
Dengan metode di atas, pengkaji berupaya untuk mengeksplorasi kegiatan
yang dilaksanakan oleh UPT Pelatihan dan Pengembangan dalam meningkatkan
kapasitas pengembangan IKM di Provinsi Riau.
3.4 Metode Perencanaan Program
Metode perencanaan program dalam kajian ini menggunakan metode
SWOT, dengan mengidentifikasikan berbagai faktor secara sistimatis untuk
merumuskan strategi organisasi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimaklkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threat).
Proses pengembilan keputusan strategis selalu berkaitan pengembangan misi,
(strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut
dengan analisis Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah
Analisa SWOT.
Penelitian menunjukan bahawa kinerja organisasi dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal . Kedua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalan analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan
Internal Strenght dan Weakness serta lingkungan external Opportunities dan
Threats yang dihadapi organisasi. Analisa SWOT membandingkan antara faktor
eksternal Peluang (opportunities) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal
Kekuatan (strenght) dan Kelemahan (weakness).
3.4.1 Analisis faktor Internal dan Eksternal
Penyusunan IFAS (Internal Factors Analysis Summary) dan EFAS
(External Factor Analysis Summary), adalah sebagai dasar untuk penyusunan
Matrik Internal Eksternal (IE Matrik) UPT Pelatihan dan Pengembangan Dinas
Perindustrian dan perdagangan Provinsi Riau. Dari hasil penyusunan Matrik
Internal dan Eksternal ini dapat disusun Strategi pengembangan UPT pelatihan
dan Pengembangan.
IFAS merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk
menganalisis seberapa baik manajemen suatu organisasi merespon terhadap
faktor-faktor penting internal yang bardampak terhadap kelangsungan organisasi.
Tahapan penyusunan IFAS adalah sebagai berikut:
1. Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan UPT Pelatihan
dan Pengembangan yang telah dianalisis sebelumnya dan masukkan kedalam
kolom 1.
2. Berikan bobot pada masing-masing faktor yang terdapat pada kolom1
tersebut dengan skala mulai 1,0 (sangat penting) hingga 0,0 (tidak penting)
berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis UPT
Pelatihan dan Pengembangan saat ini. Jumlah seluruh bobot pada kolom 2
3. Berikan rating pada kolom 3 untuk masing-masing faktor yang terdapat
pada kolom 1 dengan memberikan skala mulai dari 4 (above
average) hingga 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap
kondisi UPT Pelatihan dan Pengembangan.
- Untuk faktor-faktor kekuatan UPT Pelatihan dan Pengembangan ,
diberi nilai dari 1 hingga 4 (sangat tinggi).
- Untuk faktor-faktor kelemahan UPT Pelatihan dan Pengembangan,
diberi nilai dari 1 hingga 4 (sangat tinggi).
4. Kolom 4 (weighted score) marupakan perkalian kolom 2 (weight) dan kolom 3
(rating).
Jumlahkan nilai pambobotan pada kolom 4, untuk mamperoleh total nilai
pembobotan bagi UPT Pelatihan dan Pengembangan. Nilai pembobotan total ini
menunjukkan bagaimana UPT Pelatihan dan Pengembangan bereaksi terhadap
faktor-faktor kekuatan dan kelemahannya atau faktor-faktor lingkungan
internalnya
Untuk penyusunan matrik EFAS juga hampir sama dengan penyusunan
matrik IFAS hanya saja faktor yang dinilai berbeda yaitu faktor Eksternal peluang
4.1 Kondisi Umum IKM di Provinsi Riau
Luas Wilayah Provinsi Riau 107.932,71 KM, terdiri dari daratan 80,11 %
dan Lautan/Perairan 19,89 % , dengan Administrasi Pemerintahan Sepuluh
Kabupaten dan Dua Kota dengan 151 Kecamatan dan 1.609 Desa/Kelurahan.
Bappeda Prov Riau (2007) Penduduk Provinsi Riau berjumlah 5.070.952 Jiwa
dengan Pertumbuhan Penduduk sebesar 5,23 % dan laju pertumbuhan ekonomi
sebesar 8,25 %.
Tabel 2. Jumlah Unit Usaha,Tenaga Kerja,Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM di Provinsi Riau menurut Kabupaten/Kota , 2007
No. Kab/Kota Unit
Usaha Tenaga Kerja Nilai Investasi (000) Nilai Produksi (000) 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. Kab. Kuansing Kab. Inhu Kab. Inhil Kab. Pelalawan Kab. Siak Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kab. Bengkalis Kab. Rokan Hilir Kota Pekanbaru Kota Dumai 331 121 278 517 464 312 426 316 564 716 1.069 1.151 534 1.556 3.616 2.078 1.515 1.931 2.671 4.177 57.423 3.155 7.021.005 4.067.000 5.905.202 37.715.364 342.189.736 57.175.000 17.074.872 7.408.525 215.525.013 82.211.912 1.309.881.270 226.332.075 9.811.410 23.604.750 41.717.641 56.569.725 136.097.428 35.517.726 11.748.500 138.220.800 627.274.962 95.415.185
J u m l a h 5.114 79.807 2.086.174.899 1.402.250.210
Tahun 2007 jumlah IKM di Provinsi Riau sebanyak 5.114 unit usaha dan
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 79.807 orang, dengan Investasi sebesar
2.096.174.889 ribu Rupiah, dengan Jenis Industri dan sebaran Unit Usaha di 11
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Dengan penyerapan tenaga kerja langsung
sebanyak 79.807 orang belum termasuk tenaga kerja tidak langsung maka peran
IKM dalam menggerakkan roda perekonomian daerah ini sangat besar. Untuk
Pengembangan mampu memfasilitasi kebutuhan pengembangan IKM baik dari
segi Teknis,SDM, Manajemen maupun keuangan.
Tabel 3. Jumlah Unit Usaha,Tenaga Kerja, Nilai Investasi dan Nilai Produksi IKM Propinsi Riau per jenis Industri, 2007
No. Jenis Industri Unit Usaha Tenaga Kerja (Orang) Nilai Investasi (000) Nilai Produksi (000) 1. 2. 3. 4. 5. Pangan Sandang Kimia dan barang bangunan Logam dan elektronika Kerajinan 1.341 392 2.166 991 224 7.700 1.438 65.231 4.628 810 1.313.220.061 104.000.906 408.092.639 255.980.513 4.880.780 518.596.146 52.359.955 554.776.974 235.012.655 41.504.480 J u m l a h 5.114 79.807 2.086.174.899 1.402.250.010
Setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Riau mempunyai Stuktur Organisasi
Tata Kerja tersendiri dan Dinas perindustrian dan Perdagangan ada pada setiap
Kabupaten/Kota tersebut. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Riau No.7 tahun
2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau dan Peraturan
Gubernur Riau No.38 tahun 2009 tentang Uraian Tugas Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Riau adalah merupakan salah satu perangkat daerah yang
bertanggung jawab dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui
penumbuhan, pembinaan dan pengembangan sektor industri dan perdagangan.
Usaha-usaha yang dilakukan antara lain dengan menyusun dan melaksanakan
program kerja pembangunan industri dan perdagangan serta memberikan
pelayanan teknis dengan melaksanakan berbagai pelatihan dibidang industri dan
perdagangan. Salah satu dari fungsi Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Riau tersebut diwujudkan melalui Unit Pelayanan Teknis (UPT)
Pelatihan dan Pengembangan Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau yang
berfungsi untuk mendukung pertumbuhan pengembangan industri dan
perdagangan, dengan tugas pokoknya menyelenggarakan urusan pekerjaan dan
perdagangan. UPT Pelatihan dan Pengembangan Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Riau merupakan suatu lembaga pelatihan dan wadah pelayanan dan
pembinaan Industri Kecil dan Dagang Kecil Menengah yang dibutuhkan dalam
meningkatan dan mengembangan sumber daya manusia (SDM) IKM . Melalui
SDM yang handal akan dapat menumbuhkan dan mengembangkan sektor industri
dan perdagangan yang akan memacu pertumbuhan perekonomian Provinsi Riau.
Dapat dikatakan bahwa UPT Pelatihan dan Pengembangan ini dimaksudkan untuk
mempersiapkan SDM terampil yang dibutuhkan oleh IKM di Provinsi Riau.
UPT Pelatihan dan Pengembangan ini merupakan satu-satunya Lembaga
Pemerintah yang membidangi Pelatihan dan Pengembangan Industri di Provinsi
Riau.
Hasil wawancara dengan staff UPT Pelatihan dan pengelola workshop
diketahui bahwa terdapat 6 bidang usaha yaitu makanan dan minuman,
perbengkelan, pertenunan, kerajinan kayu, konveksi dan border. Setiap unit usaha
ini mempunyai kelemahan dalam menjalankan aktivitas usahanya, akan tetapi
[image:44.595.78.532.450.772.2]mempunyai peluang untuk dikembangkan. dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rekapitulasi kondisi IKM Riau serta Kebutuhan Pengembangannya
No Bidang Usaha Unit Usaha Identifikasi kondisi IKM Presentase (%) Kebutuhan Pengembangan IKM 1 2 3 4 5 6 Makanan Minuman Perbengkelan Pertenunan Kerajian Kayu Konveksi Bordir 35 12 8 5 2 3 1. Terbatasnya permodalan 2. Terbatasnya jaringan Pemasaran 3. Peralatan sederhana 4. Tidak berorientasi Pasar 5. Manajemen usaha kurang memadai 6. Kurang mampu melihat peluang 7. Informasi usaha sangat kurang 100 80 85 90 90 90 100
1. Penambahan modal kerja yang cukup dan memadai bagi usaha 2. Penguat