• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field (HPEF) terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 pada Susu Kambing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field (HPEF) terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 pada Susu Kambing"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The Application of Ultraviolet Light and High Pulsed Electric Field Method to reduce Staphylococcus aureus ATCC 25923 and

Escherichia coli ATCC 25922 in Goat Milk Suheri, K. F., R. R. A. Maheswari, and B. Hariono

Milk is one of the important foods in human nutrition susceptible to pathogenic microorganisms, such as Staphylococcus aureus and Escherichia coli. The objective of this research was to observe the influence of combination treatment of ultraviolet (UV)-light and high pulsed electric field (HPEF) as non-thermal technologies to inactivate the pathogenic microorganisms in goat milk and to find the physical and chemical characteristics alteration out caused by both the two treatments. This research was devided into preliminary and primary section. The preliminary section was to find out the best number of UV reactor (which the factor levels were 1, 2, and 3 UV reactors) and the best frequency of HPEF (which the factor levels were 10 Hz, 15 Hz, and 20 Hz). The dose specification used of UV was 2,27 kGy, while the HPEF had electrical field strength of 31,67 kV/cm, current of 11 mA, and 3 cm distance of both electrodes. The primary treatment was to combine the best number of UV reactors and HPEF frequency to inactivate both Staphylococcus aureus ATCC 25923 and Escherichia coli ATCC 25922. The result data of physical and chemical characteristics of goat milk evaluated using complete random design through analysis of variance, while the microbe quality evaluated descriptively. The result showed that the treatment did not significantly effect the physical and chemical characteristics (P>0,05). The best number of UV reactor was 3 reactors of UV, while the best frequency of HPEF was 15 Hz. The combination treatment of UV light and HPEF could reduce Staphylococcus aureus ATCC 25923 up to 36,58%, while Escherichia coli ATCC 25922 was just 7,41%.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Permintaan konsumen terhadap produk peternakan terutama susu kambing semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi, pendidikan dan kesejahteraan manusia. Hal ini menyebabkan industri pengolahan pangan berbahan dasar susu semakin berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan permintaan tersebut.

Susu merupakan bahan pangan yang sangat mudah dicerna dan bergizi tinggi. Hal ini juga menyebabkan susu menjadi media tumbuh yang sangat baik bagi mikroorganisme, sehingga susu mudah rusak. Jenis bakteri patogen yang terdapat di dalam susu, diantaranya adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saluran pencernaan jika terkonsumsi (United State of Food and Drug Administration, 2006). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penanganan lebih lanjut yang dapat meningkatkan daya simpan dan menjamin keamanan susu segar agar layak dikonsumsi.

Metode konvensional yang umum digunakan untuk menginaktivasi mikroorganisme patogen adalah metode termal. Proses termal tidak hanya membunuh mikroorganisme berbahaya, namun juga berpotensi mengakibatkan perubahan sensori seperti rasa, warna, tekstur, dan flavour dengan adanya cooked flavor (terlalu masak atau gosong), serta kehilangan sebagian kandungan nutrisi dan sifat fungsional susu. Hal ini mengakibatkan kualitas kesegaran pangan berkurang.

Metode alternatif yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan diantaranya adalah aplikasi penggunaan cahaya ultraviolet (UV) dan High Pulsed Electric Field (HPEF). Metode ini dapat mempertahankan kesegaran (fresh-like), kualitas nutrisi dan kualitas sensori susu segar.

(3)

2 inaktivasi Clostridium sporogenes pada madu (Hillegas dan Demirci, 2003), dan (4) inaktivasi Staphylococcus aureus pada susu (Krishnamurthy et al., 2004).

Metode HPEF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan perlakuan panas pada proses pangan konvensional karena dapat meminimalisasi perubahan sensori, sifat fisik, dan kehilangan kualitas nutrisi produk pangan (Ho dan Mittal, 2000). Hal ini dikarenakan dengan metode ini bahan pangan hanya diberi kejutan listrik tegangan tinggi dengan waktu yang singkat dan temperatur proses yang relatif rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas HPEF dan UV dapat memberikan pengaruh yang saling bersinergi dalam menginaktivasi mikroba, sehingga akan menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh masing-masing metode. Ngadi et al. (2004) meneliti pengaruh kombinasi aplikasi HPEF dan UV untuk menginaktivasi E. coli dalam air minum unggas dan diperoleh pengurangan E. coli O157:H7 sebesar 6 log siklus. Upaya melakukan pengolahan susu secara nontermal, maka penelitian ini mencoba mengaplikasikan kedua teknologi tersebut pada susu untuk menginaktivasi mikroba patogen Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang umumnya terdapat di dalam susu. Metode ini diaplikasikan pada susu kambing karena terdapat beberapa kelebihan dari karakteristiknya dan susu hasil ternak ini telah umum dikonsumsi di Indonesia.

Tujuan

(4)

TINJAUAN PUSTAKA Susu Kambing

Badan Standardisasi Nasional (1998) mendefinisikan susu sebagai cairan yang berasal dari ambing sehat yang bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah suatu apapun dan tidak mendapat perlakuan apapun, kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI 01-3141-1998). Susu kambing memiliki nilai nutrisi yang tinggi karena sifat metaboliknya yang unik sehingga dapat dikonsumsi manusia dengan baik. Karakteristik susu kambing berbeda dengan susu sapi, diantaranya ialah (1) warnanya lebih putih, (2) globula lemak susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu, (3) lemak susu kambing lebih mudah dicerna, dan (4) susu kambing mengandung vitamin dalam jumlah memadai atau berlebih, kecuali vitamin C, D, piridoksin dan asam folat (Devendra dan Burns, 1994). Komposisi kimia susu kambing dari beberapa peneliti diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Susu Kambing

Lemak

4,10 3,60 4,70 0,80 9,10 13,20 Fox (2003)

4,21 3,75 4,76 0,82 9,33 13,54 Devandra dan

Burns (1994)

4,21 3,52 4,27 0,86 8,79 13,00 Blakely dan Blade

(1991)

(5)

4 Tabel 2. Tingkat Kualitas Susu Kambing Segar Berdasarkan Karakteristiknya

Karakteristik/ Tingkat Kualitas Premium Baik Standard

Total Bakteri (cfu/ ml) < 5 x 104 5 x 104 - 105 > 105 - 2 x 105 Sel somatik (sel/ ml) < 7 x 105 7 x 105 - 106 > 106 – 1,5 x 106

Protein (%) > 3,7 > 3,4 – 3,7 3,1 – 3,4

Lemak (%) > 4 > 3,5 – 4 3,25 – 5

Bahan Kering (%) > 13 > 12 – 13 11,7 – 12

Sumber: Thai Agricultural Standard (2008)

Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Bakteri dibedakan atas dua kelompok berdasarkan komposisi dinding sel serta sifat pewarnaannya, yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif dan Gram negatif juga berbeda dalam sensitivitasnya terhadap kerusakan mekanik/ fisik, terhadap enzim, desinfektan dan antibiotik. Beberapa perbedaan sifat-sifat bakteri Gram positif dan Gram negatif dalam sensitivitasnya terhadap perlakuan fisis dan mekanis dapat dilihat pada Tabel 3. Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik atau enzim dibandingkan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan, tetapi bakteri Gram positif sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi Gram variabel (Fardiaz, 1992).

Tabel 3. Perbedaan Relatif Sifat Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Sifat Perbedaan Relatif

(6)

5 karena kemampuannya untuk berpenetrasi, bertahan hidup dan bermultiplikasi pada sel inang antara lain Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Camphylobacter sp., Shigella sp., Clostridium botulinum dan Escherichia coli. Tingkat bahaya bakteri tersebut bergantung pada beberapa faktor antara lain lingkungan (komposisi makanan, suhu) dan faktor bakteri (galur, jenis toksin) (Stewart et al., 2003).

Mikroorganisme yang berada dalam susu merupakan faktor utama penyebab terjadinya kerusakan dalam susu. Kerusakan susu akibat aktifitas mikroorganisme dapat mengakibatkan berbagai perubahan pada penampakan, komposisi kimia, dan cita rasa bahan pangan, seperti terbentuknya lendir, endapan, kekeruhan, asam, gas, ketengikan, perombakan protein dan lemak, serta perubahan bau, rasa dan warna yang tidak disukai (Fardiaz, 1992).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus, berdiameter 0,5-1 µm, dan diklasifikasikan ke dalam family Micrococcaceae. Bakteri ini bersifat aerobik maupun anaerobik fakultatif, nonmotil, dan tidak membentuk spora (Ray dan Bhunia, 2007). Staphylococcus aureus hidup pada pH 4,2-9,3 dan optimum pada pH 7 (Lopez dan Belloso, 2005) dengan aw pertumbuhan lebih dari

0,86 (USFDA, 2006). Suhu pertumbuhan bakteri ini berkisar antara 7-47,8 °C dan suhu optimum 35-37 °C. Enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10-46 °C dengan suhu optimum 40-45 °C (Jay, 2000).

Staphylococcal enterotoxin (SE) merupakan agen yang menyebabkan sindrom keracunan dalam makanan baik pada manusia maupun hewan. Staphylococcus aureus dalam susu segar dan produk pangan dapat menyebabkan toxic shock syndrome sebagai akibat dari keracunan pangan (Dinges et al., 2000).

(7)

6 akan dihasilkan toksin sebanyak kurang dari 1 mikrogram yang sudah dapat menyebabkan gejala keracunan.

Escherichia coli

Escherichia coli termasuk dalam famili enterobakteria dan merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, berukuran 0,5-1,0 x 1,0-3,0 µm, bersifat soliter maupun berkoloni, motil, katalase positif, dan hidup secara anaerobik fakultatif (Ray dan Bhunia, 2007). Suhu pertumbuhan E. coli di antara 2,5-45 °C dengan suhu optimum 37 °C. Bakteri ini mempunyai pH pertumbuhan 4,9-9,3 dengan pH optimum 7,0-7,5 dan nilai aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0,935 (United

State of Food and Drug Administration, 2006). Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas sehingga tidak aktif pada suhu pasteurisasi 70-80 °C (Fardiaz, 1992).

Habitat normal E. coli berada di saluran pencernaan dan merupakan indikator kontaminasi feses, terutama sebagai penyebab diare pada bayi (Jay, 2000). Mikroorganisme ini dapat pula ditemukan di tumbuhan, tanah dan air, saluran pencernaan hewan, produk-produk hewani dan makanan siap saji yang ditangani secara langsung (Barbosa-Cánovas et al., 1999).

Galur Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) memproduksi toksin shiga yang bila menginfeksi manusia dapat mengakibatkan hemorrhagic colitis (diare berdarah), hemolytic uremic syndrome (HUS) sampai kematian pada manusia. Enteropatogenik E. coli (EPEC) merupakan mikroba penting penyebab diare pada bayi, terutama pada tempat yang sanitasinya rendah, dan dapat menular secara langsung atau tidak langsung melalui manusia. Penularan penyakit dapat terjadi melalui makanan dan air. EPEC memiliki kemampuan untuk melakukan kontak fisik dengan sel epitel usus dan menyebabkan luka. Enterotoxigenik E. coli (ETEC) merupakan penyebab utama diare pada musafir, juga pada bayi di beberapa negara dengan sanitasi yang kurang. Patogen ini menghasilkan faktor perlawanan, labil dan stabil terhadap panas, dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan penyakit. Enteroinvasive E. coli (EIEC) diketahui menyebabkan disentri yang mirip penyakit shigellosis (Ray dan Bhunia, 2007).

High Pulsed Electric Field

(8)

7 menginaktivasi mikroba dan mengakibatkan pengaruh yang minimal terhadap kualitas bahan pangan. Medan pulsa listrik dapat digunakan pada produk cair ataupun semi cair (Ramaswamy et al., 2009).

Gambar 1. menunjukkan skematik alat teknologi medan pulsa listrik tegangan tinggi (high pulsed electric field) yang terdiri atas rangkaian tahanan, kapasitor dan koil tegangan tinggi. Muatan listrik mengalir dari sumber listrik tegangan tinggi DC. Arus listrik dialirkan melalui tahanan dan selanjutnya tersimpan di kapasitor. Ketika saklar terhubung maka muatan listrik tegangan tinggi akan melewati bahan pangan yang akan diproses sehingga akan terbentuk medan listrik tegangan tinggi dengan frekuensi yang dapat diatur sesuai dengan waktu yang ditentukan pada saklar (Castro et al., 1993).

Gambar 1. Skematik Rangkaian Teknologi Pasteurisasi HPEF

(Castro et al., 1993)

Mekanisme utama kematian mikroorganisme dengan sistem HPEF ini adalah ketika membran sel mengalami tekanan akibat menerima kejut medan listrik yang terus menerus, maka terjadi pembesaran pori sehingga permeabilitas membran meningkat, terjadi kebocoran isi sitoplasma dan lisis (Aronsson dan Ronner, 2001). Inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kuat medan listrik, temperatur, bentuk, jumlah dan lebar pulsa, (b) jenis, konsentrasi dan tingkat pertumbuhan mikroba dan (c) media perlakuan (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Castro et al. (1993) menyatakan inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik disebabkan ketidakstabilan membran sel atau elektroporasi. Elektroporasi adalah peristiwa destabilisasi membran sel karena adanya pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat (Gambar 2). Destabilisasi membran sel diawali dari terjadinya peningkatan permeabilitas membran sel diikuti

Tahanan

Saklar

Ruang Proses Kapasitor

(9)

8 Pecahnya membran

arus air

air permulaan pori

medan listrik

pembengkakan lisis sel sel inaktif

dengan penggelembungan dinding sel dan akhirnya terjadi kerapuhan sel (Vega-Mercado et al., 1996).

Gambar 2. Elektroporasi Membran Sel

(Barbosa-Cánovas et al., 1999)

Zimmermann (1986) mengembangkan konsep yang disebut sebagai dielectric rupture theory yang menjelaskan inaktivasi mikroba karena pengaruh medan pulsa listrik, dan kemudian menjelaskan mekanisme inaktivasi mikroba yang disebabkan oleh pengaruh medan listrik dalam teori ‘electrical breakdown (Gambar 3) sebagai berikut, membran sel dapat diumpamakan sebagai sebuah kapasitor yang terisi oleh larutan dielektrikum. Pada kondisi normal, beda potensial di antara celah tersebut adalah ‘V’ dengan adanya pengaruh medan listrik sebesar E maka beda potensial antara keduanya meningkat. Hal ini akan mengakibatkan ketebalan dinding sel mengecil. Kerusakan membran sel akan terjadi apabila beda potensial antara keduanya mencapai titik kritis sebesar Vc, hal ini dapat terjadi bila terdapat intervensi pengaruh medan listrik yang mencukupi sebesar E. Pada tahap ini kerusakan dinding sel masih bersifat dapat pulih, akan tetapi dengan terus bertambahnya pengaruh medan listrik maka akan menyebabkan kerusakan permanen.

Gambar 3. Kerusakan Elektrik Sel

(Barbosa-Cánovas et al., 1999)

sitoplasma

(10)

9 Hasil Penelitian Penerapan HPEF pada Susu

Pothakamury et al. (1995) dalam Barbosa-Cánovas et al. (1999), melaporkan bahwa inaktivasi Escherichia coli (ATCC 11229) pada SMUF (Simulated Milk Ultraviolet) mencapai penurunan sebesar 4-5 log setelah diberi perlakuan 60 pulsa dan 16 kV/cm di dalam ruang proses dengan volume sebesar 0,1 ml. Aplikasi pulsa sebesar 20 pulsa pada tegangan 25 kV/cm dan suhu 25 °C oleh Zhang et al. (1995) dalam Barbosa-Cánovas et al. (1999) diperoleh hasil penurunan sebesar 3 log siklus dengan volume ruang proses 25 ml. Medan listrik yang semakin tinggi, dibutuhkan pulsa yang lebih sedikit untuk mencapai tingkat inaktivasi yang sama. Fernandez-Molina et al. (1999) melaporkan susu segar yang dipasteurisasi dengan medan pulsa listrik tegangan tinggi sebesar γ0 kV/cm, γ0 pulsa, lebar pulsa β μs dan suhu proses tidak lebih dari 28 °C mempunyai masa simpan 22 hari dengan kandungan total mikroba 3,6 x 10 cfu/ml dan coliform negatif.

Sobrino-López et al. (2006) melakukan percobaan terhadap susu utuh dan susu skim yang diinokulasi dengan Staphylococcus aureus. Inaktivasi maksimum sebesar 4,5 log siklus dicapai dengan menggunakan 150 pulsa, waktu 8 µs dan tegangan 35 kV/cm. Variabel jumlah pulsa, lebar pulsa, intensitas medan listrik secara signifikan mempengaruhi jumlah populasi bakteri Staphylococcus aureus yang terinaktivasi, namun kandungan lemak dalam susu tidak terpengaruh.

Dunn dan Pearlman (1987) melakukan percobaan pada susu yang diinokulasi Salmonella dan dikenai medan pulsa listrik tegangan tinggi 36,7 kV/cm dan 40 pulsa atau selama 25 menit, ternyata setelah susu disimpan 8 hari pada suhu 7-9 °C tidak terdapat Salmonella. Susu yang tidak dipasteurisasi jumlah total mikroba meningkat menjadi 107 cfu/ml dan susu yang dipasteurisasi mempunyai jumlah mikroba 4 x 102 cfu/ml. Hal ini berarti mampu mengurangi jumlah total mikroba sebesat 5 log siklus. Hasil penelitian pada susu yang diinokulasi bakteri E. coli menunjukkan adanya sedikit perubahan flavor susu tetapi tidak mengalami perubahan kualitas fisik dan kimia pada susu yang dibuat mentega. Bakteri E. coli berkurang 3 log siklus (Dunn, 1996).

(11)

10 Inaktivasi TPC sebesar 0,33 log cfu/ml/jam pada suhu ruang (24-28 °C) dan 0,11 log cfu/ml/jam pada suhu dingin (4-8 °C) diperoleh dari aplikasi kuat medan listrik 0,28 kV/mm, jarak antar elektroda 3 mm dan lebar pulsa 40 µs (Stefani, 2009).

Ultraviolet

Cahaya ultraviolet adalah bagian dari spektrum elektromagnetik yang berada pada kisaran panjang gelombang 100-400 nm. Cahaya UV tidak dapat terlihat oleh mata. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik cahaya UV dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Spektrum Radiasi Gelombang Elektromagnetik Cahaya UV

(Tatiana et al., 2009)

(12)

11 Gambar 5. Pengaruh Sinar Ultraviolet terhadap DNA Sel Hidup

(Alcamo, 1984)

Gambar 6. Struktur DNA Sebelum dan Setelah Penyerapan Energi dari Cahaya UV

(Tatiana et al., 2009)

Mikroorganisme rentan terhadap cahaya UV pada kisaran gelombang 200-280 nm (Ray dan Bhunia, 2007). Tingkat inaktivasi mikroba tergantung pada dosis UV (perkalian antara jumlah intensitas dengan waktu paparan) yang diaplikasikan pada produk, meskipun dapat terjadi peningkatan suhu yang minimal (Bintsis et al., 2000).

Penelitian aplikasi cahaya UV untuk menginaktivasi mikroorganisme pembusuk dan patogen di dalam produk makanan telah dilakukan. (1) Inaktivasi spora Aspergillus niger pada tepung jagung (maizena). Penurunan 4,95 log10 cfu/g

Aspergillus niger dengan perlakuan jarak antara sumber UV dan produk adalah 8 cm, DNA sebelum

dikenakan UV

DNA setelah dikenakan UV

DNA yang rusak

Dimer timin

(13)

12 tegangan 3800 V selama 100 detik. (Jun, 2003). (2) Inaktivasi Escherichia coli O157:H7 dalam biji alfalfa, dengan melihat kombinasi antara waktu proses dan ketebalan sinar UV. Inaktivasi total dari E. coli O157:H7 sebesar 4,80 log10 cfu/g

(14)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Perah dan laboratorium Terpadu, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Materi Bahan

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah susu kambing segar, bakteri uji yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli 25922, media Plate Count Agar (PCA), media Buffer Pepton Water (BPW), media Natrium Agar (NA), media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), media Beird Park Agar (BPA), telurit, kuning telur (egg yolk), NaCl fisilogis 0,85%, kristal violet, iodium gram, lugol, safranin, H2O2, alkohol 70%, alkohol 95%, spirtus, aquades,

alumunium foil, plastik wrap, plastik HDPE, dan kapas. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat HPEF dengan koil sebagai pembangkit tegangan tinggi dan 3 buah UV dengan spesifikasi dosis 2,27 kGy. Dimensi chamber HPEF mempunyai lebar, tinggi dan jarak antar elektroda berturut-turut adalah 15 mm, 60 mm dan 3 mm dengan bahan stainless steel ST 316.Alat pendukung lainnya adalah milkotester, pH meter, conduktivity meter, labu separating funnel, vortex, mikroskop, spektrofotometer, inkubator, tabung ulir, tabung reaksi, botol schott, termometer, pipet tetes, labu erlenmeyer, gelas piala, pipet volumetrik, pipet mikro, penangas listrik (water bath), autoclave, bunsen, cawan petri, lemari es, tip, stick hockey, hot plate, hitter, oven, kaca objek, jarum ose, sentrifuge, tabung eppendorf, dan botol pengemas.

Prosedur Persiapan Rangkaian Peralatan UV dan HPEF

(15)

14 sebanyak 3 buah dengan spesifikasi dosis 2,27 kGy. Reaktor UV ini disusun secara seri sesuai dengan taraf perlakuan yaitu penggunaan 1, 2, dan 3 tabung reaktor UV.

Alat HPEF menggunakan koil sebagai sumber tegangannya. Peralatan HPEF menggunakan chamber tipe kontinyu dengan dimensi treatment chamber panjang, lebar dan jarak elektrode berturut-turut 60 mm, 15 mm dan 3 mm dan terbuat dari bahan stainless steel (ST 316) tipe parallel plate dengan volume 2,7 ml. Pengukuran tegangan, frekuensi dan bentuk pulsa dilakukan dengan menggunakan osiloskop Merk Atten tipe ADS 1022 C, sedangkan pengukuran arus listrik menggunakan multimeter Merk Sanwa DMM CD 771. Hasil pengukuran terhadap kuat arus dan tegangan puncak (Vmaks) berturut-turut adalah 0.11 mA dan 9.5 kV, sehingga

menghasilkan kuat medan listrik untuk jarak elektrode 3 mm sebesar 31.67 kV/cm. Rangkaian alat HPEF dan treatment chamber dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Rangkaian Alat HPEF (a) dan Treatment Chamber (b)

Hasil pengamatan menggunakan oscilloscope pada alat HPEF menunjukkan bentuk pulsa osilatory dengan lebar pulsa 50 µs. Bentuk pulsa dari frekuensi yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 10, 15 dan 20 Hz dapat dilihat pada Gambar 8.

(a)

(a) (b) (c)

(16)

15 Kombinasi rangkaian UV dan peralatan HPEF yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kombinasi Rangkaian UV dan Peralatan HPEF Persiapan Bakteri Uji

Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebagai Gram positif dan Escherichia coli ATCC 25922 sebagai Gram negatif yang diperoleh dari koleksi laboratorium THT Fakultas Peternakan IPB. Persiapan bakteri uji Staphylococcus aureus dan Escherichia coli meliputi pemeriksaan kemurnian bakteri dengan metode pewarnaan Gram untuk penentuan keseragaman sel dan ketiadaan kontaminan dan penyegaran bakteri yang akan digunakan untuk mendapatkan bakteri berumur 24 jam.

(17)

16 yang merupakan Gram positif menghasilkan sel berwarna biru (kristal violet), sedangkan sel bakteri Escherichia coli yang merupakan Gram negatif berwarna merah (safranin).

Penyegaran Bakteri Uji. Penyegaran bakteri bertujuan untuk mendapatkan bakteri uji dengan umur 24 jam.Sebanyak 1 ml bakteri stok yang ditumbuhkan dalam media Nutrien Broth dibiakkan ke dalam tabung berisi 9 ml media Nutrien Broth baru, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Standardisasi populasi bakteri dilakukan dengan cara mengukur nilai optical density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm untuk mengetahui populasi bakteri dalam setiap ml kultur.

Persiapan dan Rekontaminasi Susu Kambing

Susu kambing sebanyak 1000 ml disterilisasi menggunakan autoclave dengan suhu 115 °C selama 3 menit. Sampel susu yang telah steril direkontaminasi dengan bakteri uji yang telah dibiakkan sebelumnya sampai populasi bakteri di dalam susu setara dengan 105 cfu/ml.

Tahapan Pengujian

Penelitian ini terbagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi penentuan jumlah dosis UV yang optimal. Hasil terbaik dari perlakuan ini akan diambil sebagai metode yang dilanjutkan dengan aplikasi HPEF. Penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penentuan jumlah frekuensi tegangan listrik yang akan diambil sebagai frekuensi yang digunakan pada penelitian utama.

Penelitian Pendahuluan

a. Penentuan Optimasi UV

(18)

17 total mikroba (Total Plate Count). Diagram alir proses penentuan optimasi UV dapat dilihat pada Gambar 10.

b. Penentuan Jumlah Frekuensi HPEF

Hasil terbaik dari perlakuan UV diambil sebagai metode yang dilanjutkan dengan aplikasi HPEF. Susu segar dialirkan ke dalam reaktor UV (dengan jumlah reaktor terbaik) yang telah dihubungkan dengan rangkaian alat HPEF dan diberi taraf perlakuan berbeda yaitu frekuensi 10 Hz, 15 Hz, dan 20 Hz. Masing-masing hasil dari perlakuan ini diambil untuk kemudian diuji karakteristik fisik dan kimianya, serta dilihat tingkat reduksi mikroba. Karakteristik fisik dan kimia diukur dengan milkotester, pH Meter, conductivity meter dan viscometer, sedangkan tingkat reduksi mikroba diukur dengan menghitung jumlah lempeng total mikroba (Total Plate Count). Diagram alir proses penentuan frekuensi HPEF dapat dilihat pada Gambar 11.

Penelitian Utama

Penelitian utama meliputi aplikasi kombinasi metode UV dan HPEF dalam menginaktivasi bakteri uji yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 yang direkontaminasi pada susu segar yang telah disterilisasi. Hasil terbaik dari perlakuan UV dan HPEF diambil sebagai metode dalam tahap ini. Diagram alir aplikasi kombinasi metode UV dan HPEF dapat dilihat pada Gambar 12.

a. Aplikasi Kombinasi Jumlah Reaktor UV dan Frekuensi HPEF dalam Mereduksi Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923

(19)

18 b. Aplikasi Kombinasi Jumlah Reaktor UV dan Frekuensi HPEF dalam

Mereduksi Bakteri Escherichia coli ATCC 25922

Susu kambing sebanyak 1000 ml yang telah disterilisasi, kemudian direkontaminasi dengan bakteri uji Escherichia coli ATCC 25922 yang berumur 24 jam sampai populasi bakteri di dalam susu setara dengan 105 cfu/ml. Susu kambing yang telah direkontaminasi dengan Escherichia coli dialirkan sebanyak ± 900 ml ke dalam reaktor UV (dengan jumlah reaktor terbaik) dan rangkaian alat HPEF dengan frekuensi terbaik dari hasil penelitian pendahuluan. Bagian susu yang tidak mendapatkan perlakuan UV dan HPEF dianggap sebagai sampel kontrol. Hasil dari perlakuan ini diambil untuk diuji kualitas mikrobiologisnya dan dibandingkan dengan sampel kontrol.

Perhitungan Jumlah Bakteri

Jumlah Lempeng Total Bakteri (Total Plate Count) (BSN, 1998)

Sampel susu dari treatment chamber diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml BPW steril sebagai pengenceran sepersepuluh (P-1). Hasil pengenceran ini dipipet sebanyak 1 ml untuk diencerkan lagi ke dalam 9 ml BPW steril sebagai pengenceran seperseratus (P-2). Pengenceran ini dilakukan hingga P-5. Pemupukan dilakukan dari pengenceran P-3 sampai P-5 secara duplo. Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran P-5 sampai P-3 dipipet ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan media Plate Count Agar (PCA) yang bersuhu ± 37 °C sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk angka delapan. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu 37+1 oC dengan posisi terbalik selama 24 jam. Analisis perhitungan jumlah bakteri menggunakan Standard Plate Count (SPC) yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual (BAM).

Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus (BSN, 1998)

(20)

19 dilakukan dari pengenceran P-3 sampai P-5 secara duplo. Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran P-5 sampai P-3 dipupukkan ke dalam cawan petri steril yang telah berisi media BPA - Egg Yolk Tellurite sebanyak 12-15 ml yang telah memadat. Sampel tersebut disebar menggunakan stick hockey steril. Setelah sampel mengering, cawan petri diinkubasi pada suhu 37+1 °C dengan posisi terbalik selama 24 jam. Hal yang sama dilakukan pada sampel kontrol. Analisis perhitungan jumlah bakteri menggunakan Standard Plate Count (SPC) yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual (BAM).

Jumlah Bakteri Escherichia coli (BSN, 1998)

Sampel susu dari treatment chamber diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml BPW steril sebagai pengenceran sepersepuluh (P-1). Hasil pengenceran ini dipipet sebanyak 1 ml untuk diencerkan lagi ke dalam 9 ml BPW steril sebagai pengenceran seperseratus (P-2). Pengenceran ini dilakukan hingga P-5. Pemupukan dilakukan dari pengenceran P-3 sampai P-5 secara duplo. Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran P-5 sampai P-3 dipipet ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) yang bersuhu ± 37 oC sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk angka delapan. Setelah agar memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu 37+1 °C dengan posisi terbalik selama 24 jam. Hal yang sama dilakukan pada sampel kontrol. Analisis perhitungan jumlah bakteri menggunakan Standard Plate Count (SPC) yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual (BAM).

Analisis Karakteristik Fisik dan Kimia Susu Kambing

(21)

20 Pengujian Bilangan Peroksida (Metode Titrimetri) (BSN, 1998)

Susu yang akan diukur bilangan peroksidanya, lemaknya terlebih dahulu diekstraksi menggunakan pelarut heksana. Susu dimaserasi dengan heksana selama 24 jam. Filtrat yang ada ditampung dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Residu dimaserasi lagi sampai fltrat yang tertampung berwarna jernih. Ekstrak pekat yang diperoleh dikumpulkan dan ditimbang untuk mengetahui rendemen ekstrak.

Ekstrak lemak susu sebanyak 3-5 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Campuran larutan dari 20 ml asam asetat glasial, 25 ml metanol 95% dan 55 ml kloroform ditambahkan sebanyak 30 ml, kemudian ditambahkan 1 g kristal kalium iodida, larutan dihomogenkan dengan cara digoyang dan disimpan ditempat gelap selama 30 menit. Air suling bebas CO2 (aquades) ditambahkan sebanyak 50 ml,

dihomogenkan kembali, kemudian dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,02 N. Larutan kanji yang digunakan sebagai indikator ditambahkan ketika warna kuning larutan hampir hilang dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Jumlah (ml) larutan natrium tiosulfat yang terpakai untuk menitar dicatat. Titrasi juga dilakukan terhadap blanko. Nilai peroksida yang terdapat di dalam sampel dihitung dengan rumus:

( )

Keterangan:

V1 = volume natrium tiosulfat untuk titrasi sampel (ml) V0 = volume natrium tiosulfat untuk titrasi blanko (ml) T = normaslitas natrium tiosulfat (N)

m = bobot sampel (g) Elektroforesis

Metode elektroforesis yang digunakan mengacu pada metode Laemmli (1970). Tahapan proses terbagi atas pembuatan gel dan pewarnaan.

a. Pembuatan gel.

Pembuatan gel diawali dengan pembuatan larutan stok SDS-PAGE. Larutan A yaitu larutan stok akrilamid yang terdiri dari 75 g akrilamid 30% w/v, 2 g bis dan 250 ml H2O. Larutan A ini ditaruh di botol gelap dan

(22)

21 Amonium Peroksodisulfat (APS) sebanyak 1 g yang dilarutkan dalam 10 ml H2O. Pembuatan buffer reservoir yang terdiri dari 28,8 g glisin 0,192 M, 6 g

tris buffer 0,025 M, lalu ditambahkan HCl hingga dicapai pH 8,3, kemudian ditambahkan 2 g SDS 0,1% w/v, dan ditepatkan volumenya hingga 2 liter. Pembuatan larutan B yaitu stok buffer gel pemisah yang terdiri dari 1 g SDS dan 45,5 g tris buffer 1,4 M, kedua campuran ini dilarutkan dan dtepatkan pHnya hingga 8,8 menggunakan HCl, dan ditambahkan aquades hingga volumenya 250 ml. Stok buffer gel pengumpul yang digunakan terdiri dari 15,1 g tris bufer 1,4 M dan dilarutkan dengan HCl hingga pH 6,8, kemudian ditambahkan 1 g SDS dan ditepatkan volumenya hingga 250 ml.

Persiapan dilanjutkan dengan pembuatan stok (double strength) buffer sampel yang terdiri dari 2 ml mercapto, 4 ml gliserol, 0,3 g tris buffer, 2 ml Bromfenol Blue (0,1% w/v dalam air), kemudian campuran ini dilarutkan dengan aquades pada volume kurang dari 20 ml, ditambahkan HCl hingga pH menjadi 6,8, kemudian ditambahkan 0,92 g SDS dan ditepatkan volumenya hingga 20 ml. Gel dibuat dengan cara mengombinasikan larutan stok yang telah dibuat sebelumnya. Kombinasi larutan dalam pembuatan gel meliputi 6,25 ml larutan stok akrilamid, 4,1 ml buffer gel pemisah, 4,4 ml aquades, 0,15 ml SDS 10% (w/v), 10 ml APS 10% (w/v) dan 25 ml TEMED.

b. Pewarnaan

Larutan pewarna yang digunakan adalah pewarna perak (silver staining). Bahan pembuat pewarna perak ini terdiri dari larutan fiksasi (fixation solution), larutan pencuci (washing solution), larutan pemeka (sensitizing solution) untuk membuat lebih sensitif, larutan pewarna (staining solution) dan larutan pengembang (developing solution) untuk memunculkan pita protein. Larutan fiksasi terdiri dari 125 ml metanol 50%, 30 ml asam asetat 12%, 0,125 ml formalin 0,05%, dan dilarutkan dengan 95 ml aquabides, kemudian disimpan pada suhu ruang. Larutan pencuci terdiri dari 100 ml etanol 20% dan 400 ml aquabides, disimpan pada suhu ruang. Larutan pemeka (sensitizing solution) yang digunakan adalah 0,05 g Na2S2O3 yang

(23)

22 ditambahkan 38 ml formalin, kemudian disimpan pada suhu 4 °C. Larutan pengembang terdiri dari 3 g Na2CO3, 25 ml formalin, 1 ml Na2S2O3 dan

dilarutkan dalam 50 ml aquabides. Khusus untuk larutan pewarna dan larutan pengembang harus dalam keadaan segar.

Pembuatan gel yang telah selesai dilakukan, dilanjutkan dengan pewarnaan (staining). Gel direndam dalam larutan fiksasi selama 2 jam sambil diagitasi pelan-pelan dan didiamkan sampai semalam. Gel kemudian dicuci dengan larutan pencuci (washing solution) selama 20 menit tanpa diagitasi, pencucian ini diulang hingga 3 kali. Gel dibilas dengan aquabides selama 10 detik, lalu direndam dalam larutan pemeka (sensitizing solution) selama 1 menit, dan dibilas kembali dengan aquabides sampai tiga kali dengan masing-masing selama 20 detik. Gel direndam dalam AgNO3 0,1%

dan diinkubasi di dalam refrigerator selama 20 menit. Gel dicuci kembali dengan aquabides selama 20 detik dan diulang 2 kali. Gel dipindahkan ke wadah lain dan dicuci kembali dengan aquabides selama 10 detik. Gel direndam dalam larutan pengembang (developing solution) hingga pewarnaan cukup. Gel diangkat dan didiamkan selama 5 menit, kemudian dicuci kembali dengan aquabides. Hasil dari gel yang telah selesai mendapatkan perlakuan pewarnaan kemudian discanning.

Diagram Alir Proses Penelitian Penelitian Pendahuluan

a. Penentuan Optimasi UV

Gambar 10. Diagram Alir Proses Penentuan Optimasi UV

(24)

23 b. Penentuan Frekuensi HPEF

Gambar 11. Diagram Alir Proses Penentuan Frekuensi HPEF Penelitian Utama

Gambar 12. Diagram Alir Aplikasi Kombinasi Metode UV dan HPEF

Susu kambing segar

Diberi perlakuan ultraviolet (berdasarkan hasil dari Diberi perlakuan HPEF dengan

taraf frekuensi 10, 15 dan 20 Hz

Hasil yang terbaik diambil sebagai

hingga populasi 105 cfu/ml susu

Disterilisasi menggunakan autoclave (115 °C selama 3 menit)

Direkontaminasi dengan bakteri uji Escherichia coli hingga

(25)

24 Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk melihat pengaruh dari aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda dan frekuensi HPEF yang berbeda terhadap karakteristik fisik dan kimia susu kambing, sedangkan penilaian pengaruh aplikasi UV dan HPEF terhadap kualitas mikroorganisme dilakukan secara deskriptif. Adapun model matematika rancangan ini menurut Mattjik dan Sumertajaya (2000) sebagai berikut:

Yij = μ + i+ ij

Keterangan :

Yij = nilai hasil pengamatan dari taraf perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = nilai rataan umum dari pengamatan

i = pengaruh perlakuan taraf ke-i

ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Peubah

Peubah yang diamati adalah karakteristik fisik susu (berat jenis, pH, viskositas, konduktivitas, titik beku, panas spesifik) dan kimia susu (kadar berat kering, protein, lemak, laktosa, dan BKTL)

Analisis Data

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kultur Bakteri Uji Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922

Bakteri Uji Staphylococcus aureus ATCC 25923

Pemeriksaan kemurnian kultur bakteri uji sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bakteri uji yang seragam dan tidak terkontaminasi. Hasil pengamatan mikroskopik terhadap preparat bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 melalui pewarnaan Gram dapat dilihat pada Gambar 13. Karakteristik bakteri uji ini sesuai dengan Ray dan Bhunia (2007) yaitu menunjukkan bentuk sel bulat yang seragam dengan susunan tunggal, berpasangan maupun membentuk kumpulan yang tidak beraturan seperti buah anggur. Bakteri Staphylococcus aureus berukuran 0,5-1 µm, bersifat anaerobik fakultatif, tidak bergerak, tidak berkapsul dan tidak membentuk spora. S. aureus tergolong mesofil karena dapat hidup pada suhu 7-48 °C dan memproduksi enterotoksin secara optimum pada suhu 37-40 °C.

Gambar 13. Morfologi Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923

(27)

26 pada dinding sel. Dehidrasi menyebabkan pori-pori mengecil (berkerut) dan terjadi penurunan permeabilitas dinding sel sehingga kompleks kristal violet tidak dapat keluar dari sel dan sel tetap berwarna biru. Keadaan ini menyebabkan pewarnaan selanjutnya dengan safranin tidak berpengaruh terhadap sel.

Hasil uji katalase menunjukkan bahwa S. aureus bersifat katalase positif yang ditandai dengan dihasilkannya gelembung-gelembung gas O2 pada preparat bakteri

yang ditetesi H2O2. Bakteri ini memproduksi enzim katalase yang dapat memecah

H2O2 menjadi H2O dan O2.BHalBBini sesuai dengan pernyataanB Ray dan Bhunia (2007)

bahwa bakteri S. aureus memiliki karakteristik biokimia katalase positif. Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil metabolisme respirasi aerobik bakteri yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri sehingga komponen ini harus dipecah menjadi H2O dan O2.

Bakteri Uji Escherichia coli ATCC 25922

Morfologi bakteri uji Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 14. Pengujian pewarnaan Gram yang dilakukan menunjukkan kesesuaian dengan Ray dan Bhunia (2007).

Gambar 14. Morfologi Bakteri Escherichia coli ATCC 25922

(28)

27 sehingga mencuci kompleks warna basa kristal violet dan iodium keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap safranin.

Ray dan Bhunia (2007) menjelaskan bahwa Escherichia coli hidup secara anaerobik fakultatif, bersifat soliter maupun berkoloni, motil, tidak berspora dan katalase positif. Bakteri ini mempunyai sifat katalase positif artinya dapat memproduksi enzim katalase yang dapat mengkatalis H2O2, ditandai dengan

terbentuknya gelembung gas O2 setelah kultur bakteri ditetesi dengan H2O2. Hal ini

sesuai dengan uji katalase yang dilakukan yaitu dihasilkannya gelembung-gelembung gas O2 pada preparat bakteri yag ditetesi H2O2.

Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar

Dosis UV ditentukan dengan jumlah reaktor UV yang digunakan untuk menginaktivasi bakteri dalam susu segar. Nilai karakteristik fisik susu kambing segar yang diberi perlakuan UV dengan taraf perlakuan penggunaan 1, 2, dan 3 reaktor UV dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)

(29)

28 Pengujian karakteristik fisik penting dilakukan karena parameter tersebut dapat mempengaruhi model peralatan dan proses pengolahan lebih lanjut dari susu, seperti konduktivitas dan viskositas, atau dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi komponen yang spesifik dalam susu seperti pH, berat jenis, dan titik beku yang berguna dalam memperkirakan penambahan air dan menentukan bahan kering tanpa lemak (solid non fat), serta memperkirakan perubahan biokimia yang mungkin terjadi dalam susu selama pengolahan. Komponen karakteristik fisik susu hampir sama dengan air, tetapi berbeda karena adanya beberapa kandungan bahan padat pada susu seperti protein, lemak, laktosa dan garam yang kemudian akan mempengaruhi dispersi dan emulsifikasi komponen koloid (Fox dan McSweeney, 1998).

Berat jenis atau biasa juga disebut sebagai kerapatan adalah jumlah massa per unit volume. Nilai berat jenis sedikit menurun pada susu yang diberikan radisi UV, akan tetapi penurunan ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi kualitas susu, terlihat dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap berat jenis. Nilai berat jenis dari susu yang digunakan berada di antara 1,030-1,031 g/cm3, sesuai dengan Buckle et al. (2007) yang menyatakan bahwa berat jenis susu bervariasi antara 1,0260-1,0320 g/cm3, sedangkan Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa berat jenis relatif (spesific gravity) susu kambing adalah 1,0280 g/cm3 pada suhu 20 °C. Kerapatan relatif adalah nilai rasio berat jenis antara suatu substrat terhadap airnya pada suhu tertentu.

Nilai pH sedikit meningkat pada susu yang diberikan radiasi UV, akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan mempengaruhi kualitas susu, terlihat dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai pH. Nilai pH dari susu yang digunakan berada di antara 6,52-6,58, sesuai dengan Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa pH susu kambing harus berada di antara 6,5–6,8.

(30)

29 dari hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa taraf perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai viskositas. Nilai viskositas dari susu yang digunakan berada di antara 2,03 mPa s hingga 2,34 mPa s saat diaplikasikan 1 reaktor UV, Fox dan McSweeney (1998) menyebutkan bahwa viskositas susu segar rata-rata sekitar 2,127 mPa s.

Pengukuran nilai konduktivitas spesifik dari susu digunakan sebagai metode yang cepat dalam mendeteksi mastitis subklinis dan pemalsuan. Konduktivitas cairan berubah dengan berubahnya konsentrasi substrat dalam cairan dan pengenceran yang terjadi. Konduktivitas juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan pengenceran endapan koloidal kalsium pospat (Fox dan McSweeney, 1998). Nilai konduktivitas dari susu yang digunakan berada di antara 4,59 ohm-1 km-1 hingga 5,67 ohm-1 km-1, sesuai dengan Fox dan McSweeney (1998) yang menyatakan bahwa nilai konduktivitas susu berada di antara 0,0040-0,0055 ohm-1 cm-1 atau 4,0-5,5 ohm-1 km-1. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai konduktivitas.

Panas spesifik suatu substansi adalah jumlah energi panas dalam kJ. Nilai panas spesifik susu berkaitan dengan jumlah total solid terutama kandungan lemak, walaupun terputus saat 70-80 °C. Pada temperatur saat lemak meleleh, energi dari panas spesifik akan diserap untuk menyediakan panas laten untuk peleburan lemak susu. Fox dan McSweeney (1998) menyatakan bahwa nilai panas spesifik susu segar rata-rata sekitar 3,931 kJ kg-1 K-1, nilai panas spesifik dari susu yang digunakan berada di antara 3,78-3,79 kJ kg-1 K-1, hal ini mungkin dikarenakan perbedaan jumlah kandungan lemak yang terdapat di dalam susu, akan tetapi hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap nilai panas spesifik.

(31)

30 Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap

Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar

Hasil dari pengaruh aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda terhadap karakteristik kimia susu kambing dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar

Parameter Kontrol 1 UV 2 UV 3 UV

Berat Kering (%) 15,63a ± 0,52 15,45a ± 0,47 15,38a ± 0,39 15,48a ± 0,39 Lemak (%) 5,90a ± 0,40 5,85a ± 0,46 5,82a ± 0,40 5,88a ± 0,39 Protein (%) 5,28a ± 0,11 5,21a ± 0,05 5,19a ± 0,03 5,22a ± 0,03 Laktosa (%) 3,54a ± 0,06 3,49a ± 0,03 3,48a ± 0,03 3,47a ± 0,03 BKTL (%) 9,73a ± 0,16 9,61a ± 0,03 9,57a ± 0,03 9,60a ± 0,04 Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)

Susu adalah emulsi cair yang terdiri dari fase lemak yang terdispersi dan fase koloid cair. Faktor yang paling penting dalam menentukan karakteristik kimia susu adalah protein, lemak, dan laktosa. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi jumlah reaktor UV yang berbeda tidak berpengaruh terhadap masing-masing parameter karakteristik kimia susu kambing segar (P>0,05).

Lemak susu sangat penting karena merupakan sumber asam lemak essensial dan melarutkan vitamin A, D, E, K di dalam tubuh sehingga vitamin ini bisa diserap dengan baik oleh tubuh, disamping itu, karakteristik nutrisi dan organoleptik susu serta hasil produknya sangat dipengaruhi oleh lemak susu (Cannas dan Pulina, 2008). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan UV tidak berpengaruh terhadap kandungan lemak susu. Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa lemak susu kambing lebih besar dari 4%, sedangkan Fox dan McSweeney (1998) menyebutkan 4,5%. Hal ini lebih dikarenakan bangsa kambing yang berbeda, namun hasil perlakuan masih sesuai yaitu diantara 5,82-5,90%.

(32)

31

Kontrol 1 Reaktor 2 Reaktor 3 Reaktor

Po

mengganggu ikatan hidrogen dan faktor-faktor lain yang mempertahankan struktur protein yaitu struktur sekunder, tersier dan quartener yang disebut sebagai denaturasi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan radiasi UV tidak berpengaruh terhadap kadar protein susu. Kadar protein dari susu yang digunakan berada di antara 5,19-5,28%, Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa kadar protein susu kambing lebih besar dari 3,7%.

Laktosa merupakan karbohidrat utama di dalam susu dan merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Laktosa ini terdapat dalam fase larutan sehingga mudah diasimilasikan sebagai makanan dengan proses hidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase (Buckle et al., 2007). Kadar laktosa semakin menurun dengan semakin banyaknya jumlah reaktor UV yang digunakan, tetapi hasil sidik ragam menyatakan bahwa perlakuan sinar UV tidak berpengaruh terhadap kadar laktosa susu. Kadar laktosa dari susu yang digunakan berada di antara 3,47-3,54%, Thai Agricultural Standard (2008) menyebutkan bahwa kadar laktosa susu kambing 4,2%, hal ini lebih dikarenakan bangsa kambing yang berbeda.

Pengaruh Aplikasi Jumlah Reaktor UV yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC) pada Susu Kambing Segar

Hasil dari pengaruh aplikasi UV dengan taraf perlakuan penggunaan 1, 2, dan 3 reaktor UV terhadap jumlah lempeng total bakteri dapat dilihat pada Gambar 15.

(33)

32 Kurva pengaruh aplikasi jumlah reaktor UV terhadap jumlah lempeng total bakteri menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri sejalan dengan meningkatnya jumlah reaktor UV yang digunakan, atau dengan kata lain terjadi peningkatan reduksi jumlah bakteri dengan semakin bertambahnya reaktor UV. Kurva menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah bakteri yang cukup besar dengan menggunakan 3 reaktor UV dengan jumlah total bakteri 5,63 log cfu/ml dari jumlah bakteri pada susu kontrol (yang tidak mendapatkan perlakuan apapun) yaitu 5,99 log cfu/ml, dibandingkan dengan menggunakan 1 dan 2 reaktor UV yaitu secara berturut-turut 5,98 dan 5,95 log cfu/ml. Terjadi reduksi mikroba dengan penggunaan 1, 2 dan 3 reaktor UV secara berturut-turut adalah sebesar 0,01; 0,04 dan 0,36 log cfu/ml. Mekanisme reduksi sel mikroba oleh sinar UV melibatkan gangguan pada DNA mikroba sehingga merusak sel dan mencegah perkembangbiakan sel mikroba (Guerrero-Beltran dan Barbosa-Canovas, 2004).

Dosis UV yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,27 kGy dan merupakan UV komersial tipe C dengan spektrum panjang gelombang elektromagnetik 253,7 nm. Mikroorganisme rentan terhadap cahaya UV pada kisaran gelombang 200-280 nm. Cahaya UV mempunyai kemampuan penetrasi yang sangat rendah sehingga hanya dapat menginaktivasi mikroorganisme pada permukaan bahan (Ray dan Bhunia, 2007).

Sensitivitas relatif mikroorganisme terhadap dosis radiasi tergantung pada ukuran dan kandungan air sel mikroba. Mekanisme inaktivasi mikroba dengan radiasi adalah ketika mikroorganisme dipaparkan cahaya UV, energi dari UV akan diserap oleh nukleotida yang terletak di DNA. Nukleotida-nukleotida akan saling bereaksi membentuk dimer (yaitu dimer timin) dan menyebabkan kerusakan untaian DNA, sehingga mengakibatkan kelumpuhan dan kematian mikroorganisme (Moseley, 1989).

(34)

33 perbaikan yang cenderung salah mempunyai kemampuan untuk mereplikasi sel melalui DNA yang rusak, sehingga terjadi mutasi sel. Penyerapan radiasi sinar ultraviolet menyebabkan terjadinya modifikasi kimiawi nukleoprotein dan menimbulkan hubungan silang antara pasangan-pasangan molekul timin. Hubungan ini menimbulkan salah baca dari kode genetika yang mengakibatkan mutasi, kemudian akan merusak atau memperlemah fungsi vital organisme dan mematikannya (Waluyo, 2008).

Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar

Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang berbeda terhadap karakteristik fisik susu kambing dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF

yang Berbeda terhadap Karakteristik Fisik Susu Kambing Segar

Parameter Kontrol 3 UV + Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)

(35)

34 Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang

Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar

Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang berbeda terhadap karakteristik kimia susu kambing dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF

yang Berbeda terhadap Karakteristik Kimia Susu Kambing Segar

Parameter Kontrol 3 UV +

HPEF 10 Hz

3 UV +

HPEF 15 Hz

3 UV +

HPEF 20 Hz Berat Kering (%) 16,44a ± 0,99 16,11a ± 0,66 16,28a ± 0,79 16,32a ± 0,72 Lemak (%) 6,57a ± 1,13 6,40a ± 0,86 6,44a ± 1,08 6,46a ± 0,93 Protein (%) 5,40a ± 0,17 5,30a ± 0,27 5,37a ± 0,18 5,38a ± 0,20 Laktosa (%) 3,55a ± 0,21 3,49a ± 0,30 3,55a ± 0,25 3,56a ± 0,24 BKTL (%) 9,88a ± 0,40 9,71a ± 0,61 9,84a ± 0,46 9,87a ± 0,46 Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p>0,05)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi sistem pasteurisasi menggunakan kombinasi sinar UV dan HPEF tidak berpengaruh terhadap karakteristik kimia susu (P>0,05). Hal ini sesuai dengan hasil pengujian sebelumnya bahwa pemanfaatan sinar UV secara tunggal tidak berpengaruh terhadap karakteristik kimia susu, serta Qin et al. (1995) dan Ho dan Mittal (2000) menyebutkan bahwa aplikasi HPEF adalah metode pengawetan nontermal pada bahan pangan cair untuk menginaktivasi mikroorganisme pembusuk dan patogen dengan hanya sedikit mengalami perubahan nutrisi dan rasa susu.

Pengaruh Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri

(TPC) pada Susu Kambing Segar

(36)

35

Gambar 16. Kurva Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan Frekuensi HPEF yang Berbeda terhadap Reduksi Lempeng Total Bakteri (TPC)

Aplikasi frekuensi HPEF 10 Hz dan 15 Hz secara berturut-turut mereduksi mikroba sebesar 0,01 dan 0,49 log cfu/ml, tetapi terjadi peningkatan jumlah bakteri pada pengaplikasian frekuensi 20 Hz sebesar 0,67 log cfu/ml. Kurva pengaruh frekuensi HPEF terhadap jumlah lempeng total bakteri menunjukkan bahwa frekuensi 15 Hz memberikan hasil terbaik dalam mereduksi mikroba dengan jumlah total bakteri 4,26 log cfu/ml daripada susu yang tidak mendapat perlakuan apapun (kontrol) yang mencapai 4,75 log cfu/ml. Tidak terjadi penurunan jumlah bakteri yang signifikan pada penggunaan HPEF dengan frekuensi 10 Hz yaitu 4,74 log cfu/ml, dan pada pengaplikasian frekuensi 20 Hz terjadi peningkatan jumlah total bakteri yang cukup besar hingga berjumlah 5,42 log cfu/ml. Hal ini sesuai dengan penelitian Rostini (2010) dengan spesifikasi alat yang sama, menyatakan bahwa frekuensi 15 Hz lebih optimum digunakan untuk menginaktivasi bakteri daripada frekuensi 20 Hz.

(37)

36

akan meningkatkan kekuatan ion media sampel dan berakibat pada meningkatnya perpindahan elektron melalui larutan dan menurunkan tingkat inaktivasi mikroba.

Mekanisme utama kematian mikroorganisme dengan sistem HPEF ini adalah ketika membran sel mengalami tekanan, maka terjadi pembesaran pori sehingga permeabilitas membran meningkat, terjadi kebocoran isi sitoplasma dan lisis (Aronsson dan Ronner, 2001). Tingkat inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik (HPEF) dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kuat medan listrik, temperatur, bentuk, jumlah dan lebar pulsa, (b) jenis, konsentrasi, dan tingkat pertumbuhan mikroba, dan (c) media perlakuan (Barbosa-Cánovas et al., 1999). Castro et al. (1993) menyatakan inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik disebabkan ketidakstabilan membran sel atau elektroporasi yaitu peristiwa destabilisasi membran sel karena adanya pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat. Destabilisasi membran sel diawali dari terjadinya peningkatan permeabilitas membran sel diikuti dengan penggelembungan dinding sel dan akhirnya kerapuhan sel (Vega-Mercado et al., 1996).

Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923

Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dapat dilihat pada Gambar 17.

(38)

37 yang direkontaminasi Staphylococcus aureus memberikan penurunan jumlah bakteri S. aureus sebesar 0,21 log cfu/ml, dengan jumlah bakteri S. aureus setelah perlakuan adalah 5,36 log cfu/ml dibandingkan jumlah bakteri S. aureus pada susu rekontaminasi yang tidak dikenai perlakuan apapun (kontrol) yang mencapai 5,57 log cfu/ml. Krishnamurthy et al. (2004) melakukan inaktivasi Staphylococcus aureus dalam susu, dimana sampel susu statis yang dikenakan UV dengan jarak 8 cm dari sumber UV, volume 30 ml dan waktu perlakuan selama 180 detik, diperoleh penurunan S. aureus sebesar 8,55 log10 cfu/g. Sobrino-López et al. (2006) melakukan

percobaan terhadap susu utuh dan susu skim yang diinokulasi dengan Staphylococcus aureus. Maksimum inaktivasi sebesar 4,5 log siklus dicapai dengan menggunakan 150 pulsa, waktu 8 µs dan kuat medan listrik 35 kV/cm. Variabel jumlah pulsa, lebar pulsa, dan intensitas medan listrik secara signifikan mempengaruhi jumlah populasi bakteri S. aureus yang terinaktivasi, namun kandungan lemak dalam susu tidak terpengaruh.

Aplikasi Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz Terhadap Reduksi Escherichia coli ATCC 25922

Hasil dari pengaruh aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap reduksi Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 18.

(39)

38 Aplikasi kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz dapat mereduksi jumlah bakteri Escherichia coli dalam susu yang direkontaminasi E. coli sebesar 0,03 log cfu/ml, dimana jumlah bakteri setelah perlakuan adalah 5,11 log cfu/ml sedangkan jumlah bakteri pada susu rekontaminasi yang tidak dikenai perlakuan apapun (kontrol) mencapai 5,14 log cfu/ml. Ngadi et al. (2004) meneliti pengaruh kombinasi aplikasi HPEF dan UV dalam menginaktivasi E. coli air minum unggas dan diperoleh pengurangan E. coli O157:H7 sebesar 6 log10 cfu/ml. Hal ini sesuai

dengan sifat dasar dari UV yang mempunyai nilai penetrasi yang sangat rendah, sehingga dapat memberikan inaktivasi yang lebih besar pada media air yang mempunyai nilai transparansi yang lebih tinggi daripada susu yang mengandung partikel-partikel solid. Gachovska et al. (2008) yang meneliti kombinasi perlakuan sinar UV dan HPEF untuk menginaktivasi E. coli dalam jus apel, melaporkan bahwa diperoleh reduksi E coli sebesar 5,33 log cfu/ml menggunakan perlakuan HPEF yang dilanjutkan dengan paparan sinar UV, dengan parameter HPEF yang digunakan yaitu kuat medan listrik 60 kV/cm, 11,3 pulsa, dan parameter UV yaitu jarak 30 cm antara bahan perlakuan dan sumber UV, laju alir 8 ml/menit dan 1,8 detik waktu perlakuan. Evrendilek et al. (2000) menyebutkan bahwa terjadi reduksi E. coli O157:H7 sebesar 4,5 log siklus ketika diberi perlakuan HPEF dengan kuat medan listrik 35 kV/cm dan 94 µs waktu perlakuan.

(40)

39 Kombinasi 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Rasio

Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922

Kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz terhadap rasio reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922 dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Kurva Kombinsai 3 Reaktor UV dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Reduksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 ( ) dan Escherichia coli ATCC 25922 ( )

Grafik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nilai reduksi yang sangat besar antara Staphylococcus aureus dan Escherichia coli pada kombinasi sistem pasteurisasi nontermal yang dilakukan, dimana S. aureus mampu direduksi hingga 36,58% sedangkan E. coli hanya direduksi 7,41% dari total bakteri uji yang direkontaminasikan pada susu.

Mikroorganisme mempunyai sensitivitas yang sangat beragam terhadap radiasi UV. Hal ini diantaranya terkait dengan perbedaan bentuk dan ukuran mikroorganisme, jamur lebih sensitif daripada kapang dan lebih sensitif daripada bakteri, sedangkan sel bakteri lebih sensitif daripada virus. Spesies dan galur bakteri juga sangat beragam sensitivitasnya terhadap radiasi UV, sel bakteri yang berbentuk batang lebih sensitif daripada bakteri berbentuk bulat, dan bakteri Gram negatif lebih sensitif daripada bakteri Gram positif. Tingkat reduksi juga dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal, jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, jumlah spora yang terbentuk, umur, dan kondisi pertumbuhan dari galur mikroorganisme yang terdapat

(41)

40 dalam bahan pangan yang akan diaplikasikan radiasi UV. Toksin yang dibentuk oleh mikroorganisme tidak dapat dihancurkan dengan level dosis radiasi yang direkomendasikan dalam bahan makanan (Ray dan Bhunia, 2007).

Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif dan Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif karena S. aureus menghasilkan sel berwarna biru sedangkan sel Escherichia coli berwarna merah ketika dilakukan pewarnaan Gram. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan (90%) sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat yang mengandung unit-unit gliserol atau ribitol. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya memiliki lapisan peptidoglikan 5-20%, sedangkan lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan peptidoglikan pada dinding sel ini sangat tegar yang terdiri dari unit-unit glikan tetrapeptida yang membentuk suatu polimer yang disebut juga mukokompleks. Lapisan peptidoglikan yang tebal ini akan memberikan pertahanan yang lebih bagi bakteri saat bakteri dikenakan perlakuan fisik.

Hasil pengujian yang dilakukan mendapatkan bahwa dengan populasi bakteri awal yang sama besar (105 cfu/ml), kombinasi 3 reaktor UV dan HPEF frekuensi 15 Hz mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mereduksi Staphylococcus aureus daripada Escherichia coli. Hasil ini tidak sesuai dengan Pothakamury et al. (1995) yang menyatakan bahwa perlakuan HPEF dapat mereduksi S. aureus sebesar 3 log siklus sedangkan E. coli 4 log siklus. Hal ini tidak juga tidak sesuai dengan pernyataan Ray dan Bhunia (2007) dalam kaitan bentuk sel dan karakteristik dinding sel, tetapi hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain dari populasi kultur bakteri seperti jumlah relatif sel yang resisten dalam populasi, umur, kondisi pertumbuhan, dan toksin yang dibentuk dari galur S. aureus dan E. coli.

(42)

41 dengan hasil penelitian yang dilakukan, dimana ukuran S. aureus umumnya lebih kecil daripada E. coli yaitu secara berturut-turut 0,5-1 µm dan 1-3 µm.

Galur tententu menunjukkan keresistenan terhadap radiasi karena memiliki sistem metabolisme yang efektif dalam memperbaiki kerusakan sel, khususnya kerusakan untaian tunggal dan rangkap nukleotida dan kerusakan-kerusakan yang mendasar. Bakteri ini meliputi beberapa galur bakteri yang penting dan sudah umum terdapat dalam makanan yaitu Salmonella Typhimurium, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis.

Nilai Bilangan Peroksida

Standar pengujian ini dilakukan untuk penentuan adanya radikal bebas dan ketengikan pada susu sebagai pengaruh dari aplikasi radiasi sinar UV dan HPEF yang diaplikasikan pada susu. Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya dan bersifat racun dalam tubuh karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak. Susu merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan mengandung banyak lemak. Lemak dan senyawa-senyawa yang larut dalam lemak sangat rentan terhadap proses oksidasi. Hasil uji bilangan peroksida menggunakan metode Titrimetri yang mengacu pada SNI 01-3555-1998 menyatakan bahwa kombinasi perlakuan sinar UV dan frekuensi HPEF yang diaplikasikan pada susu kambing tidak menimbulkan radikal bebas dan ketengikan pada susu.

Elektroforesis

(43)

42 Gambar 20. Hasil Elektroforesis terhadap Komponen Protein Susu.

Dengan perlakuan: a (Kontrol); b (UV + HPEF 10 Hz); c (UV + HPEF 15 Hz); d (UV + HPEF 20 Hz)

Protein terbagi atas dua komponen besar, yaitu 80% kasein dan sisanya adalah protein whey. Kasein mengandung empat macam komponen yaitu αs1-kasein,

αs2-kasein, -kasein dan -kasein, sedangkan protein whey terdiri atas dua komponen

utama yaitu -laktoglobulin ( -lg) dan α-laktalbumin (α-la). Berat molekul antar komponen kasein berturut-turut adalah αs1-kasein 25,2 kD, -kasein 23,9 kD, αs1

-kasein 22,1 kD, dan -kasein 19,0 kD. Berat molekul protein whey yaitu -Ig 18,2 kD dan α-La 14,2 kD. Protein whey sangat sensitif terhadap panas dan mengalami denaturasi pada suhu 60 °C (Chairunnisa, 1997).

(44)

43 mengganggu ikatan hidrogen dan faktor-faktor lain yang mempertahankan struktur protein yaitu struktur sekunder, tersier dan quartener yang disebut sebagai denaturasi. Prosedur sterilisasi dan desinfeksi sering menggunakan panas atau proses kimiawi dalam membunuh mikroorganisme dengan mendenaturasi struktur proteinnya (Black, 2004). Perlakuan radiasi sinar UV yang diaplikasikan pada susu berhubungan dengan perusakan struktur DNA sel bakteri. DNA ini juga merupakan komponen pembentuk asam amino yang selanjutnya akan menyusun struktur protein. Hal yang sama terjadi terhadap susu yang digunakan sebagai media sampel, akan tetapi denaturasi protein pada susu tidak merugikan karena membuat susu lebih mudah untuk dicerna.

Sifat dasar dari pasteurisasi nontermal menggunakan radiasi sinar UV dan HPEF diharapkan mampu mempertahankan kesegaran bahan pangan. Urbain (1986) menjelaskan bahwa radiasi tergolong proses sterilisasi dingin karena suhu makanan cenderung tidak berubah selama proses, sehingga tidak menimbulkan pengaruh kerusakan pada kualitas makanan akibat pemanasan, akan tetapi radiasi dapat menimbulkan oksidasi lemak dan denaturasi protein pada makanan jika digunakan dosis yang terlalu tinggi.

Ray dan Bhunia (2007) menyebutkan bahwa makanan yang diradiasi tidak menyebabkan toksik dan kerusakan genetik pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. Komisi ahli WHO setelah melakukan peninjauan yang cukup luas dengan lebih dari 200 kasus di dunia, merekomendasikan penggunaan radiasi untuk penanganan makanan dengan level dosis 10 kGy. Pemanfaatan radiasi untuk menangani bahan makanan telah diaplikasikan di banyak negara, dan perdagangan produk radiasi ini telah secara rutin dilakukan. Produk pangan yang diradiasi tidak menimbulkan radioaktif dan radiolisis pada produk, metode ini hanya merupakan metode pengawetan makanan dan telah diteliti keamanannya selama lebih dari 40 tahun sebelum teknik pengawetan ini direkomendasikan.

(45)
(46)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Aplikasi kombinasi UV dan HPEF terbukti mampu mereduksi bakteri patogen dalam susu dengan tetap mempertahankan karakteristik fisik susu yang meliputi berat jenis, pH, viskositas, konduktivitas, titik beku, panas spesifik, dan karakteristik kimia susu yang meliputi kadar protein, lemak dan kadar laktosa. Kombinasi UV dan frekuensi HPEF yang diaplikasikan tidak menyebabkan radikal bebas dan ketengikan pada susu. Jumlah reaktor UV dan frekuensi HPEF yang optimal digunakan dalam penelitian ini untuk mereduksi mikroba pada susu kambing segar adalah 3 reaktor UV dosis 2,27 kGy dan 15 Hz. Perlakuan kombinasi radiasi sinar UV dan frekuensi HPEF mampu mereduksi Staphylococcus aureus hingga 36,58% sedangkan Escherichia coli hanya 7,41%.

Saran

(47)

APLIKASI

ULTRAVIOLET

DAN

HIGH PULSED ELECTRIC

FIELD

(

HPEF

) TERHADAP REDUKSI

Staphylococcus

aureus

ATCC 25923 DAN

Escherichia coli

ATCC 25922 PADA SUSU KAMBING

SKRIPSI

KASIH FEBRINA SUHERI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Gambar

Tabel 3.  Perbedaan Relatif Sifat Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
Gambar 1. menunjukkan skematik alat teknologi medan pulsa listrik tegangan
Gambar 2.  Elektroporasi Membran Sel
Gambar 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi tingkat

Snakes and Ladders Terhadap Kompetensi Pengetahuan Matematika Siswa 104 Problem solving adalah model mengajar yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran yang meliputi

Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan diantaranya: Peran atau sumbangsih Kelompok Tani Tambak Dewi Mina Jaya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Jumlah Rekomendasi Kebijakan pada Forum yang Dipimpin oleh Kemenko Perekonomian di Tingkat Bilateral (Bidang Kerja Sama Ekonomi Eropa, Afrika, dan Timur Tengah).. 3 

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik industri kecil dan rumah tangga yang terdapat di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman; 2) Menentukan

Temuan ini sekaligus menjelaskan adanya permasalahan yang terjadi di perusahaan terkait dengan adanya indikasi rendahnya perilaku OCB dari karyawannya yang sejalan

PERENCANAAN PROGRAM KEGIATAN FISIK TAHUN ANGGARAN 2012 MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TUMPANG

Yang manakah benda yang melepas kalor dan benda yang menerima kalor.