PENGARUH BULLYING DI TEMPAT KERJA TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEKERJA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi
Persyaratan
Ujian Sarjana
Psikologi
Oleh:
VILYA SUTANTO
111301040
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja
Vilya Sutanto & Zulkarnain
Abstrak
Kerja merupakan salah satu aspek penting di dalam kehidupan manusia. Karyawan menghabiskan waktu lebih banyak di pekerjaan mereka daripada sektor lainnya di kehidupan sosial. Pengalaman-pengalaman menyenangkan maupun tidak menyenangkan di tempat kerja dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan yang akan kemudian mempengaruhi organisasi dan karyawan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara fenomena yang sudah banyak terjadi di tempat kerja namun masih kurang mendapatkan perhatian dari organisasi, yaitu bullying dengan kesejahteraan psikologis karyawan perbankan di kota Medan. Sebanyak 160 karyawan perbankan (47 pria dan 113 wanita) yang dilibatkan dalam penelitian ini dipilih melalui teknik accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis dan Negative Acts Questionnaire-Revised (NAQ-R). Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisa regresi sederhana dan hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan antara bullying di tempat kerja dengan kesejahteraan psikologis karyawan perbankan (r = -0.679, R square = 0.461, p < 0.01). Penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh negatif antara kedua dimensi bullying dengan kesejahteraan psikologis. Hasil dari penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana bullying dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan dan agar perusahaan dapat mempertahankan budaya anti-bullying di tempat kerja.
The Impact of Workplace Bullying on Employees’ Psychological Well-Being Vilya Sutanto & Zulkarnain
Abstract
Nowadays one of the most crucial aspects in life is one’s work and career. People spend more time at work than they do anywhere else in today’s society.
Pleasant or unpleasant experiences that employees gained in the workplace appear to have an immense impact on employees’ psychological well being, which will
then affect the organization and the employee’s own. This study aims to examine
the impact between workplace bullying on psychological well-being among banking employees in Medan. This study involved 160 banking employees (43 males and 117 females) and are selected through accidental sampling technique. Data were collected by using the scale of psychological well-being and negative-acts questionnaire-revised (NAQ-R). Data were analyzed by using linear regression and the result showed a significant negative impact of workplace bullying on psychological well-being among banking employees (r = -0.679, R square = 0.461, p < 0.01). Furthermore, both dimensions of bullying, namely the work-related bullying and personal bullying, are also found negatively correlated to psychological well-being. The results of this study are expected to provide an understanding of how workplace bullying affects psychological well-being of banking employees, as well as information to organization to mantain a workplace with low level of bullying.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, saya memperoleh kesempatan dan kesehatan
yang baik dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
“Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari bullying di tempat kerja terhadap kesejahteraan psikologis
pekerja.
Penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran
selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU
atas dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh
.mahasiswa Fakultas Psikologi USU.
2. Bapak Zulkarnain, Ph.D., psikolog selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis. Terima kasih
atas bimbingan, pengarahan, dan dukungannya selama ini sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua dan adik penulis yang
terus menerus memberikan dukungan kepada penulis selama penulisan
ii
4. Para sahabat Fakultas Psikologi USU, yaitu Fera, Chindy, Fonds,
Puspa, Merry, dan Naomi yang selalu memberikan masukan-masukan
dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang
sudah bapak dan ibu ajarkan kepada penulis.
6. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas
pelayanan yang baik buat penulis dan para mahasiswa lainnya.
Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang dikarenakan oleh
keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, pengalaman, dan pengetahuan
yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis membuka diri terhadap
segala kritik dan saran yang merupakan masukan bagi penulis untuk
kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi
ini dapat bermanfaat.
Medan, Januari 2015
Penulis,
Vilya Sutanto
iii
DAFTAR ISI
halaman
ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GRAFIK ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Kesejahteraan Psikologis ... 9
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis ... 9
iv
3. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 13
4. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ……...17
B. Bullying di Tempat Kerja ... 22
1. Definisi Bullying ... 22
2. Komponen Bullying ... 24
3. Jenis-Jenis Bullying ... 25
4. Dimensi Bullying ... 26
C. Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja ... 26
D. Hipotesis Penelitian ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 31
1. Bullying di Tempat Kerja ... 31
2. Kesejahteraan Psikologis ... 32
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 33
1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 33
2. Teknik Pengambilan Sampel... 34
D.Metode Pengambilan Data ... 34
1. Skala Kesejahteraan Psikologis ... 34
2. Skala Bullying di Tempat Kerja ... 35
v
1. Validitas Alat Ukur ... 36
2. Uji Daya Diskriminasi Item ... 37
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 37
F. Prosedur Penelitian ... 38
G. Metode Analisis Data ... 40
H. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 41
1. Hasil Uji Coba Skala Kesejahteraan Psikologis ... 41
2. Hasil Uji Coba Skala Bullying ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 44
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 45
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan 45 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Bekerja ... 46
B. Hasil Penelitian ... 47
1. Hasil Uji Asumsi ... 47
a. Uji Normalitas ... 47
b. Uji Linearitas ... 49
2. Hasil Utama Penelitian ... 50
a. Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis ... 50
vi
i. Nilai Empirik dan Hipotetik Kesejahteraan Psikologis
... 51
ii. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Bullying ... 53
c. Kategorisasi Data Penelitian ... 54
i. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis ... 54
ii. Kategorisasi Bullying di Tempat Kerja ... 55
3. Hasil Tambahan Penelitian ... 56
C. Pembahasan ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
1. Saran Metodologis ... 63
2. Saran Praktis ... 63
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis………..35 Tabel 2. Blueprint Skala Bullying ...………..36 Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba . ..42 Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Bullying Setelah Uji Coba...…………..43 Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin……….44 Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………...45 Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan…..……..46 Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Bekerja………...46 Tabel 9. Uji Linearitas………... 49 Tabel 10. Hasil Analisis Regresi Sederhana ...………...50 Tabel 11. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Kesejahteraan
Psikologis………..52 Tabel 12. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Bullying ………...53 Tabel 13. Norma Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis……….54 Tabel 14. Kategorisasi Data Kesejahteraan Psikologis………54 Tabel 15. Norma Kategorisasi Bullying ………...55 Tabel 16. Kategorisasi Data Bullying………...55 Tabel 17. Hasil Analisis Korelasi Antara Dimensi Bullying dan Kesejahteraan
viii
DAFTAR GRAFIK
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A
1. Reliabilitas & Daya Beda Aitem Skala Bullying
2. Reliabilitas & Daya Beda Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis
Lampiran B
1. Data Mentah Subjek Penelitian Pada Skala Bullying
2. Data Mentah Subjek Penelitian Pada Skala Kesejahteraan Psikologis
Lampiran C
1. Uji Normalitas 2. Uji Linearitas
3. Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis 4. Pengaruh Dimensi Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan
Psikologis
Lampiran D
Pengaruh Bullying di Tempat Kerja Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pekerja
Vilya Sutanto & Zulkarnain
Abstrak
Kerja merupakan salah satu aspek penting di dalam kehidupan manusia. Karyawan menghabiskan waktu lebih banyak di pekerjaan mereka daripada sektor lainnya di kehidupan sosial. Pengalaman-pengalaman menyenangkan maupun tidak menyenangkan di tempat kerja dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan yang akan kemudian mempengaruhi organisasi dan karyawan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara fenomena yang sudah banyak terjadi di tempat kerja namun masih kurang mendapatkan perhatian dari organisasi, yaitu bullying dengan kesejahteraan psikologis karyawan perbankan di kota Medan. Sebanyak 160 karyawan perbankan (47 pria dan 113 wanita) yang dilibatkan dalam penelitian ini dipilih melalui teknik accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis dan Negative Acts Questionnaire-Revised (NAQ-R). Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisa regresi sederhana dan hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan antara bullying di tempat kerja dengan kesejahteraan psikologis karyawan perbankan (r = -0.679, R square = 0.461, p < 0.01). Penelitian ini juga menunjukkan adanya pengaruh negatif antara kedua dimensi bullying dengan kesejahteraan psikologis. Hasil dari penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana bullying dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis karyawan dan agar perusahaan dapat mempertahankan budaya anti-bullying di tempat kerja.
The Impact of Workplace Bullying on Employees’ Psychological Well-Being Vilya Sutanto & Zulkarnain
Abstract
Nowadays one of the most crucial aspects in life is one’s work and career. People spend more time at work than they do anywhere else in today’s society.
Pleasant or unpleasant experiences that employees gained in the workplace appear to have an immense impact on employees’ psychological well being, which will
then affect the organization and the employee’s own. This study aims to examine
the impact between workplace bullying on psychological well-being among banking employees in Medan. This study involved 160 banking employees (43 males and 117 females) and are selected through accidental sampling technique. Data were collected by using the scale of psychological well-being and negative-acts questionnaire-revised (NAQ-R). Data were analyzed by using linear regression and the result showed a significant negative impact of workplace bullying on psychological well-being among banking employees (r = -0.679, R square = 0.461, p < 0.01). Furthermore, both dimensions of bullying, namely the work-related bullying and personal bullying, are also found negatively correlated to psychological well-being. The results of this study are expected to provide an understanding of how workplace bullying affects psychological well-being of banking employees, as well as information to organization to mantain a workplace with low level of bullying.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan
manusia saat ini untuk memenuhi kebutuhan dan kebanyakan pekerja
menghabiskan waktu rata-rata delapan jam sehari di tempat kerjanya (Harter,
Schmidt & Hayes, 2002). Kondisi ini menyebabkan sebagian besar waktu
seorang pekerja itu dihabiskan di tempat kerja. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai pekerja atau karyawan, ada hal-hal yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan yang mereka hadapi (Sianturi & Zulkarnain, 2013).
Pengalaman-pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan ataupun
kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai kesejahteraan psikologis
(Halim & Atmoko, 2005).
Kesejahteraan psikologis pekerja telah banyak menjadi fokus utama di
psikologi industri dan organisasi. Kesejahteraan psikologis berhubungan
dengan kesehatan mental seseorang dan penting sekali untuk ditingkatkan (The
British Psychological Society, 2009). Ryff (1989) menyatakan bahwa individu
yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi adalah individu yang puas
dengan kehidupannya, memiliki kondisi emosional yang baik atau positif, bisa
melewati pengalaman-pengalaman negatif yang tidak menyenangkan, mampu
2
orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk
mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan
mampu mengembangkan dirinya sendiri.
Dalam konteks organisasi, ketika individu memiliki kesejahteraan
psikologis, maka ia akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik,
mengerjakan segala tugas dan bertanggung jawab (Zulkarnain, 2013).
Kesejahteraan psikologis juga dapat mempengaruhi komitmen seseorang
terhadap organisasi yang kemudian dapat berpengaruh terhadap efektivitas
organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi (Rathi, 2011). Selain itu, pekerja
dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi juga dapat menurunkan
tingkat turnover (Zulkarnain & Akbar, 2013) dan absenteeism (Spector, 1997),
serta meningkatkan performa dan kepuasan kerja (Russel & Joyce, 2008).
Kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang bersifat subjektif dan
memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang (Singh &Mansi, 2009).
Kesejahteraan psikologis merujuk kepada bagaimana individu itu sendiri
mengevaluasi hidup mereka dan kemampuan mereka untuk mencapai
aspek-aspek tertentu di dalam kehidupan mereka, seperti hubungan dengan orang
lain, dukungan dan pekerjaan (Cripps & Zyromski, 2009). Selain itu,
kesejahteraan psikologis dari pekerja juga sangat tergantung pada lingkungan
kerjanya (Briner, 2000). Kondisi kerja yang baik, dukungan dan adanya
kesempatan untuk berkembang merupakan pertimbangan utama yang dimiliki
para karyawan dalam kehidupan pekerjaan yang dimilikinya (Zulkarnain &
3
bisa menghasilkan dampak positif maupun negatif pada kesejahteraan
psikologis pekerja.
Ryan dan Deci (2001) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pekerja, yaitu status sosial
ekonomi, kepribadian, dan kelekatan maupun hubungan interpersonal.
Selanjutnya, kesehatan dan kesejahteraan pekerja secara signifikan sangat
berhubungan dengan kualitas dari hubungan sosial di tempat kerja, termasuk
kekerasan seksual, dan perilaku kasar lainnya (Bryson, Green, Bridges, Craig,
2012). Salah satu masalah mengenai konflik yang berkepanjangan di tempat
kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental korban adalah
bullying (Clifford, 2006).
Bullying merupakan fenomena yang sedang marak-maraknya terjadi
dan sering mendapatkan perhatian dari para peneliti (Rudi, 2010). Bullying
pada tempat kerja merupakan segala jenis perilaku yang ditujukan kepada
seseorang maupun sekelompok orang secara terus menerus dan sistematis
(Guidelines On The Prevention of Workplace Harassment, 2012). Menurut
Rudi (2010), contoh perilaku yang termasuk ke dalam bullying adalah
mengucilkan seseorang, mengejek, menyebarkan gosip, menakut-nakuti,
mengancam, menindas, atau bahkan melakukan tindakan agresi seperti
memukul, menendang, meninju dan sebagainya.
Bullying dikatakan dapat memberikan efek negatif pada kesehatan
korban walaupun efek pada setiap korban berbeda-beda (Clifford, 2006).
4
(2012) pada 1000 subjek korban bullying, dilaporkan adanya kemunduran
kesehatan maupun kondisi psikologis mereka. Terdapat lima gejala negatif
utama yang dirasakan mereka yang merupakan korban bullying, antara lain
kecemasan (76%), kehilangan konsentrasi (71%), tidur yang terganggu
(71%), kewaspadaan yang melewati batas(60%) dan sakit kepala akibat stres
(55%). Survei tersebut juga menunjukkan bahwa selain menimbulkan
gangguan psikologis, bullying juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
pada korbannya. Kasus bullying sendiri di Indonesia juga sempat menyita
perhatian publik karena banyak korban bullying telah melakukan usaha bunuh
diri (Jakarta Globe, 2011).
Bullying dalam konteks pekerjaan dapat terjadi pada semua level di
dalam organisasi, mulai dari direksi kepemimpinan sampai dengan staff
pekerja dengan level paling rendah (Bentley, Catley, Cooper-Thomas,
Gardner, O’Driscoll & Trenbeth, 2009). Di dalam kumpulan penelitian tersebut juga dikatakan bahwa model organisasi yang dasarnya bersifat
autokratik (kekuasaan dan pengambilan keputusan dipusatkan pada satu
orang) merupakan kunci dari terjadinya bullying.
Bullying yang terjadi di tempat kerja berupa perlakuan negatif yang
secara terus menerus diberikan kepada satu atau beberapa pekerja sehingga
mengakibatkan perasaan tidak berdaya dan tekanan psikologis pada korban
yang kemudian akan berefek pada perilaku kerja (Rudi, 2010). Bullying
5
yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuasaan dan hanya dapat diatasi
dengan intervensi legal (Williams, 2013).
Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai bullying dan berfokus
kepada pengaruh negatif yang diberikan oleh bullying. Bullying bersifat
destruktif bagi pekerja (Leymann, 1996) dan bullying memiliki hubungan
yang erat dengan kesehatan pekerja (Einarsen & Raknes, 1997). Bullying juga
dapat mengakibatkan menurunnya kinerja dan produktivitas dan dapat
berpengaruh pada kesejahteraan diri mereka sendiri maupun keluarga mereka
(Guidelines on The Prevention of Workplace Harassment, 2012)
Korban bullying, baik dalam persepsi korban maupun nyata, akan
memunculkan reaksi emosional yang sangat intens, seperti ketakutan,
kecemasan, perasaan tidak berdaya, depresi dan shock (Janoff-Bulman,
1992). Einarsen & Raknes (1997), menemukan adanya hubungan negatif
antara bullying terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis pekerja. Hal
ini berarti semakin sering bullying terjadi atau semakin banyak intensitas
bullying yang terjadi di lingkungan kerja, maka kesehatan mental dan
kesejahteraan psikologis dari pekerja akan semakin menurun. Demikian pula
sebaliknya. Oleh sebab itu, dari penjelasan-penjelasan diatas, peneliti sangat
tertarik untuk mengetahui pengaruh antara bullying di tempat kerja dengan
6 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di latar belakang, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh antara bullying di tempat kerja
dengan kesejahteraan psikologis pekerja dan seberapa banyak pengaruh
bullying tersebut terhadap kesejahteraan psikologis pekerja?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
antara bullying di tempat kerja dengan kesejahteraan psikologis pekerja.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi
industri dan organisasi mengenai bullying di tempat kerja dan
kesejahteraan psikologis..
b. Memberikan masukan yang bermanfaat untuk penelitian-penelitian
yang berhubungan dengan bullying dan kesejahteraan psikologis.
2. Manfaat Praktis
7
a. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam beserta data empirik
dari kesejahteraan psikologis dan bullying di tempat kerja sehingga
penelitian ini diharapkan untuk dapat dijadikan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
b. Memberikan gambaran dan besar pengaruh dari bullying di tempat
kerja terhadap kesejahteraan psikologis pekerja sehingga dapat
digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bab I - Pendahuluan
Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
2. Bab II - Landasan Teoritis
Pada bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai
landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai bullying,
kesejahteraan psikologisdan pekerja.
3. Bab III - Metode Penelitian
Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan
8
penelitian, jenis penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas
dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode
analisis data.
4. Bab IV – Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan
karakteristik dari subjek penelitian di kota Medan serta cara analisa data
dilakukan dengan menggunakan analisa statistik dengan bantuan program
SPSS versi 20.0 for windows. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas
mengenai interpretasi data hasil penelitian beserta pembahasan.
5. Bab V – Kesimpulan Dan Saran
Bab ini kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan
analisa dan interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi
perusahaan dan bagi peneliti lain berdasarkan hasil penelitian yang
9 BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Kesejahteraan Psikologis
1. Definisi Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis merupakan pembahasan yang penting
dalam kesehatan mental manusia (Huppert, 2009). Kesejahteraan psikologis
merupakan konsep yang terdapat di dalam Positive Psychology dan telah
terbukti di dalam dua dekade belakangan ini bahwa keadaan psikologis
seseorang yang positif bukan hanya penting bagi kesehatan seseorang,
melainkan juga dapat mempengaruhi proses penyembuhan maupun onset
dari suatu penyakit atau permasalahan fisik (Vazquez, Hervas, Rahona, &
Gomez, 2009).
Secara tradisional, kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai
suatu kondisi yang bebas dari rasa cemas, depresi, dan simtom distres
lainnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kesejahteraan psikologis
sudah didefinisikan dengan lebih positif, yaitu meliputi kualitas positif yang
dimiliki oleh seorang individu sehingga dapat mencapai kesehatan mental
yang baik (Keyes & Magyar-Moe, 2003).
Secara umum, kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai
10
Menurut Huppert (2009), kesejahteraan psikologis merupakan perpaduan
antara feeling good dengan keberfungsian yang efektif.
Kesejahteraan psikologis juga merujuk kepada bagaimana individu
mengevaluasi diri mereka sendiri dan juga mengevaluasi kemampuan
mereka untuk memenuhi aspek-aspek tertentu di dalam kehidupan mereka,
seperti hubungan dengan orang lain, dukungan, maupun pekerjaan (Flouri &
Buchanan, 2003; Wilkinson 2004).
Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai suatu
usaha individu untuk menemukan kemampuan atau potensi yang
dimilikinya secara keseluruhan. Usaha tersebut bisa menyebabkan individu
untuk menyerah pada keadaan sehingga kesejahteraan psikologisnya
menjadi lebih rendah atau bisa pula menyebabkan individu tersebut
berusaha mengubah hidupnya sehingga kesejahteraan psikologisnya
meningkat (Ryff & Keyes, 1995).
Individu yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang
tinggi merupakan individu yang merasa puas dengan hidupnya, memiliki
kondisi emosional yang positif, mampu membuat keputusan sendiri dan
mengatur kehidupannya sendiri, mampu melewati pengalaman-pengalaman
buruk dengan baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan
orang lain, mengendalikan lingkungan, memiliki tujuan hidup yang jelas,
11
psikologis merupakan inti dari teori positive functioning psychology yang
dikemukakan oleh Ryff (Ryff & Keyes, 1995).
Berdasarkan uraian di atas, maka kesejahteraan psikologis adalah
suatu kondisi dimana individu yang dapat berfungsi secara efektif sesuai
dengan potensi yang dimilikinya, mau mengevaluasi dirinya sendiri, mampu
mengembangkan dirinya sendiri, puas terhadap kehidupannya, merasa
bahagia, dan mampu memenuhi aspek-aspek di dalam kehidupannya.
2. Konsep Kesejahteraan
Dalam perkembangannya, konsep mengenai kesejahteraan terbagi
menjadi dua perspektif besar yang saling berlawanan satu dengan lainnya
(Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), kesejahteraan
merupakan suatu konstruk yang kompleks yang melibatkan pengalaman dan
keberfungsian yang optimal. Pada kenyataannya, bahkan semenjak awal
permulaan perkembangannya, terdapat banyak sekali perdebatan mengenai
definisi keberfungsian optimal yang sebenarnya dan apa saja terdapat di
dalam lingkaran “good life”.
Perspektif yang pertama disebut juga dengan hedonism. Hedonism
memandang bahwa kesejahteraan terdiri dari komponen yang berupa
kebahagiaan dan kesenangan. Asal muasal perspektif ini dari seorang filsuf
asal Yunani yang bernama Aristippus yang mengajarkan bahwa tujuan
utama dari hidup manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan dan
12
perspektif hedonism telah diekspresikan ke dalam berbagai macam bentuk.
Namun pada umumnya, psikolog yang menganut perspektif hedonism
cenderung berfokus pada kebahagiaan subjektif, pengalaman yang
mendatangkan kenikmatan dan penilaian terhadap elemen kehidupan yang
baik atau buruk. Asesmen yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan
hedonism kebanyakan menggunakan subjective well-being (Diener & Lucas,
1999). Diener & Lucas (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen
yang penting di dalam subjective well-being, antara lain kepuasan hidup,
adanya mood yang positif, dan tidak adanya mood yang negatif. Ketiga
komponen inilah yang mencakup konsep kebahagiaan.
Perspektif kedua disebut dengan pandangan eudaimonic. Perspektif
eudaimonic ini mendefinisikan kesejahteraan bukan semata-mata hanya dari
kebahagiaan (Ryan & Deci, 2001). Perspektif eudaimonic menyatakan
bahwa tidak semua hal yang diinginkan akan memberi kesejahteraan pada
manusia. Walaupun hasil akhir membawa kesenangan, beberapa hasil tidak
akan meningkatkan kesejahteraan dan bahkan tidak baik untuk manusia.
Waterman (1993) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan
eudaimonic berfokus pada bagaimana manusia hidup dalam daimon, atau
true self (diri mereka yang sebenarnya). Beliau menjelaskan bahwa
eudaimonic akan muncul apabila aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang sejalan dengan nilai-nilai yang dimilikinya dan orang tersbut
secara penuh terlibat di dalamnya. Dalam kondisi demikian, individu
13
mendefinisikan kondisi tersebut sebagai suatu personal expressiveness (PE).
Personal expressiveness sangat berhubungan erat dengan aktivitas-aktivitas
yang dapat memberikan pertumbuhan dan perkembangan bagi diri individu.
Selanjutnya, personal expressiveness juga lebih diasosiasikan dengan
tantangan dan usaha, sedangkan hedonism lebih diasosiasikan dengan
perasaan santai, jauh dari masalah, dan menjadi individu yang bahagia
(Ryan & Deci, 2001).
Ryff dan Keyes (1995) kemudian membedakan kesejahteraan
psikologis dengan kesejahteraan subjektif (subjective psychological
well-being). Kesejahteraan psikologis merepresentasikan perspektif
kesejahteraan eudaimonic, sedangkan kesejahteraan subjektif
merepresentasikan perspektif hedonism (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan
psikologis merupakan suatu konsep multidimensional yang terdiri dari enam
dimensi yang menggambarkan aktualisasi diri manusia, yaitu otonomi,
pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan
lingkungan, dan hubungan yang positif dengan orang lain (Ryan & Deci,
2001).
3. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1989) menjelaskan ada enam dimensi kesejahteraan
psikologis yang merupakan inti dari positive functioning psychology, yaitu:
14
Dimensi penerimaan diri merujuk kepada kemampuan seorang
individu untuk menerima dirinya sendiri dengan baik berkaitan dengan
masa lalu maupun masa sekarang. Selain itu, penerimaan diri juga
memiliki kaitan yang erat dengan sikap positif terhadap individu itu
sendiri.
Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi penerimaan
diri akan memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, dapat
merasakan adanya hal positif yang bisa didapatkan dari pengalamannya
di masa lalu, dan mampu menerima serta memahami kualitas diri yang
dimilikinya baik kualitas yang bagus maupun yang buruk.
Sebaliknya, individu dikatakan memiliki penerimaan diri yang
rendah apabila ia tidak dapat menerima kondisinya sendiri apa adanya,
kurang puas dengan dirinya, terdapat kekecewaan di dalam dirinya
akibat dari masa lalu, dan berharap bahwa ia dapat menjadi orang lain
dan bukan dirinya saat ini.
b. Hubungan yang positif dengan orang lain (positive relations with others)
Dimensi hubungan positif dengan orang lain merujuk kepada
kemampuan individu untuk membina hubungan yang baik dengan orang
lain. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini cenderung
mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain,
15
terhadap kesejahteraan orang lain, dan memahami bahwa di dalam
hubungan interpersonal diperlukan prinsip memberi dan menerima.
Sebaliknya, individu dengan dimensi hubungan positif yang
rendah dengan orang lain cenderung kurang cakap dalam membangun
hubungan interpersonal, terisolasi, susah untuk terbuka dan peduli
terhadap orang lain, tertutup dan tidak berkeinginan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi merujuk kepada kemampuan individu untuk
lepas atau bebas dari norma-norma yang mengaturnya dan kemampuan
untuk mengatur hidupnya sendiri. Individu yang memiliki nilai tinggi
pada dimensi ini cenderung bebas dalam membuat keputusan sendiri
tanpa bantuan orang lain, bersifat mandiri, mampu menghadapi tekanan
sosial, menentukan sendiri perilaku yang akan dimunculkan, dan
memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dirinya sendiri.
Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini cenderung
mempertimbangkan penilaian dari orang lain ketika memutuskan
sesuatu, tidak mandiri, mudah melakukan konformitas, mudah
terpengaruh oleh tekanan sosial saat mengambil keputusan.
d. Penguasaan lingkungan (environment mastery)
Dimensi penguasaan lingkungan merujuk kepada kemampuan
16
menciptakan perubahan pada lingkungan, memanfaatkan lingkungan
dengan baik dan mengendalikan lingkungan sesuai dengan kebutuhan
dan nilai-nilai yang dimilikinya.
Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini akan
mampu untuk mengontrol aktivitas eksternalnya seperti mengatur
kehidupan sehari-hari, lingkungannya, dan dapat memilih lingkungan
yang dibutuhkannya.
Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini memiliki
kendali yang sedikit di dalam lingkungannya karena ia mengalami
kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-harinya, tidak mampu
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, dan tidak bisa
mengubah kualitas lingkungannya.
e. Tujuan hidup (purpose of life)
Dimensi tujuan hidup merujuk kepada arah dan tujuan hidup
seorang individu serta kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut.
Individu dengan nilai tinggi pada dimensi ini akan memiliki tujuan
hidup dan sasaran yang akan dituju secara jelas, mampu mengarahkan
perilakunya agar dapat mencapai tujuan hidup, dan memiliki makna
hidup pada masa sekarang maupun pada pengalaman masa lalunya.
Sebaliknya, individu dengan tujuan hidup yang rendah hanya
memiliki makna hidup yang sangat sedikit atau bahkan sudah
17
tidak mampu mengambil esensi dari hidup yang dijalaninya sekarang
maupun dari pengalaman masa lalu.
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Dimensi pertumbuhan pribadi merujuk kepada sejauh mana
individu mampu menyadari potensi yang dimilikinya, dan memiliki
keinginan untuk terus mengembangkan dirinya ke arah yang lebih
positif.
Individu yang tinggi pada dimensi ini akan terbuka pada hal-hal
baru, memiliki perasaan bahwa dirinya terus menerus berkembang,
dapat merasakan perkembangan yang dialami, dan menjadi individu
yang memiliki pengetahuan baru
Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini merasa
dirinya kurang baik dalam berkembang, mengalami stagnasi, kehilangan
keinginan untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat memperkaya
dirinya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang, yaitu:
a. Gender
Gender juga merupakan faktor yang mempengaruhi
18
penelitiannya, ditemukan bahwa wanita memiliki pertumbuhan pribadi
dan hubungan positif dengan orang lain yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria.
b. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995)
menemukan bahwa usia ternyata dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang. Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok usia
(muda, dewasa madya, dan lansia) pada aspek kesejahteraan psikologis
yang bersifat multidimensional. Pada dimensi pertumbuhan pribadi dan
tujuan hidup, ditemukan terdapat penurunan skor dari usia muda sampai
dengan lansia. Hal ini berarti bahwa individu yang lebih muda memiliki
pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada
dewasa madya. Sedangkan dewasa madya memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada lansia pada kedua aspek. Secara singkat, dapat dikatakan
bahwa dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya usia.
Namun, penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan
skor pada dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan seiring dengan
bertambahnya usia. Sedangkan pada dua dimensi lain, yaitu penerimaan
diri dan hubungan positif dengan orang lain, tidak ditemukan adanya
19 c. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan
psikologis seseorang. Penelitian oleh Wilkinson, Walford dan Espnes
(2000) menemukan bahwa ketidaksetaraan status sosial ekonomi pada
suatu negara berkembang dapat dikaitkan dengan ketidaksetaraan
kesehatan mental individu di dalamnya; dimana hal ini akan berakibat
terhadap kesejahteraan seseorang maupun komunitas. Selanjutnya,
status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri,
tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (Ryff,
Magee, Kling, & Wing, 1999; Ryan & Deci, 2001).
d. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pendidikan yang
semakin tinggi akan mengakibatkan individu memiliki berbagai macam
solusi atas permasalahan yang dimilikinya. Pendidikan akan
berpengaruh terhadap dimensi tujuan hidup seseorang (Ryff, Magee,
Kling & Wing, 1999).
e. Budaya
Faktor lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
seseorang adalah budaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Lu (2008), budaya seseorang mempengaruhi cara individu tersebut
20
peranan penting dalam membentuk cara seseorang berpikir,
mengkonseptualisasikan diri dan kebahagiaan, serta cara mengatasi
masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan sehari-hari.
f. Locus of Control
Dalam penelitian VanderZee, Buunk dan Sanderman (1997)
ditemukan bahwa locus of control merupakan variabel moderator yang
menghubungkan antara dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis.
Individu dengan locus of control internal selalu berusaha untuk
menguasai dan memanipulasi lingkungannya secara aktif, mampu
mengendalikan kejadian-kejadian seperti keberhasilan atau kegagalan,
serta mampu menghindarkan diri mereka dari situasi yang tidak
menguntungkan (Kulshretha & Sen, 2006), demikian sebaliknya untuk
individu dengan locus of control eksternal.
g. Kepribadian
Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi
kesejahteraan psikologisnya. Huppert (2009) mengemukakan bahwa
kepribadian extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan
kesejahteraan psikologis. Kepribadian seseorang merupakan prediktor
terbesar dalam menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan.
Individu dengan kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe
emosi yang negatif. Sebaliknya, individu extraversion identik dengan
21
Banyak penelitian lintas budaya yang telah melakukan
penelitian sehubungan dengan kesejahteraan psikologis dan
extraversion-neuroticism dan penelitian dari tiga dekade belakangan ini
menunjukkan bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh yang
besar terhadap kesejahteraan psikologis (Abbott, Ploubidis, Croudace,
Kuh, Wadsworth, & Huppert, 2008). Sedangkan, neuroticism memiliki
efek terhadap kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh distres
psikologis.
h. Marital Status (Status Pernikahan)
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa individu yang
telah menikah memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi (Myers,
1999). Bierman, Fazio dan Milkie (2006) meneliti mengenai salah satu
dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu tujuan hidup. Mereka
menemukan bahwa individu yang telah menikah memiliki nilai yang
lebih tinggi pada sub-skala ini dibandingkan dengan yang tidak
menikah.
Penelitian lainnya oleh Clarke, Marshall, Ryff dan Roshental
(2000) pada sejumlah senior di Kanada yang berumur 65 tahun ke atas
menunjukkan bahwa senoior yang sudah menikah memiliki skor yang
lebih tinggi pada dimensi tujuan hidup, penerimaan diri dan hubungan
22 i. Relatedness
Beberapa teoritis telah mendefinisikan relatedness sebagai
kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kesejahteraan manusia
(Baumeister & Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat dikaitkan
dengan relatedness dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
hubungan interpersonal yang suportif, hangat, dan penuh kepercayaan
dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang (Ryan & Deci,
2001).
Nezlek (2000; Ryan & Deci, 2001) telah melakukan review pada
beberapa penelitian dan menemukan bahwa kuantitas dari interaksi
dengan orang lain tidak dapat memprediksi kesejahteraan seseorang,
melainkan kualitas interaksi dengan orang lain (relatedness) yang dapat
memprediksi kesejahteraan. Menurut Johnson dan Johnson (2007),
hubungan interpersonal yang negatif antar individu dapat memicu
terjadinya bullying pada sekolah maupun tempat kerja. Oleh karena itu,
peneliti menyimpulkan bahwa faktor relatedness ini merupakan faktor
penting munculnya bullying di tempat kerja.
B. Bullying di Tempat Kerja
1. Definisi Bullying
23
mengganggu yang lemah (Rudi, 2010). Bullying merupakan salah satu
perilaku negatif yang ditujukan kepada seseorang yang dapat menyebabkan
efek yang negatif dan berkepanjangan kepada korban (MA-L, 2001). Selain
itu, bullying juga termasuk ke dalam perilaku agresi (Griffin & Gross,
2004; Einarsen & Mattthiesen, 2007).
Bullying di tempat kerja didefinisikan sebagai segala bentuk
perilaku yang berulang, sistematis, dan ditujukan pada seorang pekerja
maupun sekelompok pekerja dimana perilaku yang ditujukan tersebut dapat
mengancam keselamatan dan kesehatan dari korban (Dealing With
Workplace Bullying, 2005; Guidelines on The Prevention of Workplace
Harassment, 2012).
Leymann (1996) menggunakan istilah mobbing atau teror
psikologis untuk menjelaskan mengenai bullying. Menurut Leymann,
bullying (mobbing) pada lingkungan kerja melibatkan komunikasi yang
kasar dan tidak etis, yang ditujukan kepada seorang atau sekelompok
pekerja yang menyebabkan pekerja tersebut berada pada posisi yang
helpless. Bullying terjadi apabila seorang pekerja secara berkepanjangan
merasa dirinya mendapatkan perlakuan-perlakuan negatif dari rekan
kerjanya yang lain, yang mana pada situasi tersebut, ia mengalami kesulitan
dalam melindungi dirinya sendiri (Einarsen, Matthiesen, & Raknes, 1994).
Selanjutnya, bullying didefinisikan sebagai salah satu bentuk interpersonal
influence yang sifatnya koersif atau memaksa; menghasilkan rasa sakit
24
tidak nyaman melalui aksi-aksi negatif seperti kontak fisik, cacian verbal,
pengeluaran atau pengabaian anggota kelompok, dan lain-lain (Forsyth,
2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bullying di tempat kerja merupakan perlakuan negatif yang berulang-ulang
dirasakan dan diterima oleh seseorang atau sekelompok pekerja yang mana
perilaku tersebut bertujuan untuk menyakiti atau menyusahkan korban dan
pada saat yang bersamaan, korban tidak dapat melindungi dirinya sehingga
dapat mengakibatkan efek negatif pada korban.
2. Komponen bullying
Ada tiga komponen penting di dalam bullying, yaitu:
a. Berulang (repeated), berupa perilaku yang persisten dan terus-menerus
yang diberikan kepada korban. Selain itu, bentuk perilaku yang
diberikan bisa saja berbeda-beda, namun cenderung berulang dalam
melakukannya.
b. Sistematis, berupa perilaku yang telah direncanakan melalui suatu
metode atau ide.
c. Mengancam kesehatan dan keamanan, berarti perilaku yang ditujukan
kepada korban dapat berakibat pada kesehatan mental, fisik, maupun
emosional pada korban di tempat kerja.
Contoh yang termasuk ke dalam perilaku bullying yaitu
25
kerja, menghina, mencaci-maki, mengintimidasi, melakukan kekerasan,
menyebarkan rumor atau gosip, melontarkan humor yang ditujukan untuk
mengejek, ataupun mengucilkan rekan kerja.
3. Jenis-Jenis Bullying
Berdasarkan jenisnya, bullying dapat dibagi menjadi bullying
langsung dan bullying tidak langsung (Bullying At Work: A Guide for
Employee, 2009).
a. Bullying yang sifatnya langsung, seperti mengejek, secara teratur
mengerjai atau membuat korban sebagai bahan lelucon, menggunakan
kekerasan fisik, menggunakan kata-kata yang kasar dan ofensif,
perilaku yang bertujuan untuk mengintimidasi, komentar yang pedas
mengenai penampilan seseorang, maupun menyebarkan rumor atau
gosip mengenai seseorang.
b. Bullying yang sifatnya tidak langsung dapat berupa penumpukan
pekerjaan yang berlebihan pada target, memberikan tugas yang di luar
kompetensi individu maupun memberi tugas yang tidak berhubungan
dengan pekerjaannya, memberikan perlakuan yang tidak adil di tempat
kerja, serta mengucilkan dengan tidak menghiraukan respon atau
pendapat dari individu tertentu.
Johnson & Johnson (2007) mengemukakan terdapat tiga tipe
26
terus menerus melakukan tindakan bullying seperti menyakiti secara verbal
maupun non-verbal, mengucilkan, melakukan kekerasan kepada orang
yang lebih lemah, (2) korban, merupakan target dari perilaku agresi yang
dikenakan bullying, dan (3) bystanders, yaitu individu diluar bully dan
korban yang menyaksikan terjadinya bullying.
4. Dimensi Bullying
Bullying di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua dimensi
(Einarsen, 1999; Giorgi , Arenas, & Leon-Perez, 2011), yaitu:
a. Work-related bullying, yaitu perilaku-perilaku bullying yang bertujuan
untuk menyusahkan pekerjaan target, misalnya menyembunyikan
informasi dari target yang dapat mempengaruhi kinerja target,
memberikan pekerjaan diluar kemampuan target, memberikan
pekerjaan di luar tanggung jawab target, dan lain-lain.
b. Personal bullying, yaitu perilaku-perilaku bullying yang semata-mata
ditujukan untuk target yang sifatnya personal, seperti menyebarkan
rumor atau gosip mengenai target di tempat kerja, mengucilkan target,
mencemarkan nama baik, dan lain-lain.
C. Pengaruh antara Bullying di Tempat Kerja dengan Kesejahteraan Psikologis
Konsep kesejahteraan pada dasarnya merujuk kepada
27
(Ryan & Deci, 2001). Upaya dalam mencapai keberfungsian yang positif
memiliki prinsip dasar bahwa dengan meningkatkan kekuatan-kekuatan
dan potensi yang dimiliki oleh individu, dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis individu (Moe, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan
mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis,
antara lain usia dan jenis kelamin. Selanjutnya, penelitian lainnya oleh
Ryff, Magee, Kling dan Wing (1999) juga menemukan faktor lainnya yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis, seperti status sosial-ekonomi dan
tingkat pendidikan. Sedangkan Ryan dan Deci (2001) menemukan bahwa
kepribadian, kesehatan fisik, kelekatan (attachment) dan relatedness
merupakan faktor penting lainnya yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sood dan
Bakhshi (2012), menemukan bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh
terhadap kesejahteraan psikologis seseorang.
Di dalam konteks organisasi, kesejahteraan psikologis pekerja
sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya (Briner, 2000). Kualitas
kehidupan kerja seseorang merupakan hasil dari apa yang dirasakan
pekerja terhadap seluruh situasi kerja (Jewell, 1998). Peneliti yang
meneliti tentang kesejahteraan psikologis setuju bahwa kehadiran dari
perasaan emosi yang positif, penilaian yang juga positif terhadap pekerja
dan hubungan pekerja dengan tempat kerja yang baik akan meningkatkan
28
2002). Hal ini berhubungan dengan faktor relatedness yang merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis.
Relatedness erat hubungannya dengan hubungan interpersonal dan
merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk dapat mencapai
kesejahteraan (Ryan & Deci, 2001). Baumeister dan Leary (1995)
membuktikan bahwa individu-individu cenderung memilih interaksi yang
dapat menciptakan hubungan yang positif dan bertahan lama, serta saling
peduli.
Selanjutnya, hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan
berbagai hal di dalam kehidupan, seperti reaksi terhadap stress, kepuasan
hidup, dan kesehatan psikologis (Reis & Collins, 2004). Hubungan positif
dengan orang lain juga merupakan salah satu dimensi yang terdapat di
dalam kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Ryff dan Singer (2000)
mengidentifikasikan dimensi hubungan positif dengan orang lain sebagai
dimensi yang paling penting dalam perkembangan manusia. Selanjutnya,
Diener dan Seligman (2002) menemukan bahwa individu yang bahagia
adalah individu yang dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang
baik dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik dapat
menyebabkan peningkatan kepuasan hidup (Park, Peterson,& Seligman,
2005) dan dapat meningkatkan kesejahteraan (Lansford, 2000).
Akan tetapi, pada kondisi yang kompetitif pada hubungan
interpersonal, seperti pada konteks kerja, hubungan yang terbentuk
29
2007). Di dalam penelitian tersebut juga dikatakan bahwa bullying
merupakan indikasi dari hubungan interpersonal yang negatif. Bullying
merupakan salah satu perilaku atau perlakuan negatif yang ditujukan
kepada seorang maupun sekelompok rekan kerja yang dapat menyebabkan
efek yang negatif dan berkepanjangan kepada korban (MA-L, 2001).
Bullying di tempat kerja dilaporkan dapat meningkatkan
simtom-simtom fisik maupun psikologis, seperti depresi, burnout, kecemasan,
keluhan otot maupun psikosomatis, keinginan untuk tidak hadir pada hari
kerja, dan bahkan dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri (Zapf,
Knorz & Kulla, 1996; Nield, 1996). Selain itu, penelitian lebih lanjut juga
menemukan bahwa korban bullying memiliki tingkat self-esteem,
social-competence (Eirnesen & Matthiesen, 2007) dan kepercayaan diri yang
rendah (Clifford, 2006). Lebih jauh lagi, bukan hanya korban bullying saja
yang akan menderita stres, tetapi orang disekitar (observer atau bystander)
yang sering menjadi saksi terjadinya bullying juga akan mengalami stres
walaupun intensitasnya berbeda (Vartia, 2001).
Selanjutnya, Leymann (1996) memasukkan efek dari bullying ke
dalam empat area, yaitu (1) sosial, meliputi isolasi dari orang-orang di
sekitar, (2) sosial-psikologis, meliputi kehilangan kemampuan mengatasi
masalah, (3) psikologis, meliputi depresi dan perasaan tidak berdaya, serta
(4) psikosomatis, berupa depresi atau kompulsif.
Penelitian sebelumnya oleh Einarsen, Matthiesen, dan Skogstad
30
kerja cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah
daripada perawat yang tidak mengalami bullying. Berdasarkan uraian
penjelasan diatas, maka peneliti ingin meneliti pengaruh perilaku bullying
dengan kesejahteraan psikologis pekerja.
D. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti memiliki hipotesa
bahwa terdapat pengaruh negatif antara bullying di tempat kerja dengan
kesejahteraan psikologis pekerja. Hipotesa di atas mengandung pengertian
bahwa perilaku bullying dapat menurunkan kesejahteraan psikologis
pekerja.
Selain itu, terdapat dua hipotesis lainnya yang juga ingin
dibuktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan bullying di tempat kerja,
yaitu:
1. Ada pengaruh negatif antara work-related bullying dengan
kesejahteraan psikologis, yaitu work-related bullying dapat menurunkan
kesejahteraan psikologis pekerja.
2. Ada pengaruh negatif antara personal bullying dengan kesejahteraan
psikologis, yaitu personal bullying dapat mempengaruhi kesejahteraan
31 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terlibat di dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Variabel bebas (independent variable) : bullying di tempat kerja
2. Variabel terikat (dependent variable) : kesejahteraan psikologis
B. Definisi Operasional Penelitian 1. Bullying di tempat kerja
Bullying di tempat kerja merupakan segala bentuk perilaku
negatif yang terus menerus dirasakan dan diterima oleh seorang pekerja
sehingga ia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan mendapatkan efek
negatif dari perilaku tersebut. Bullying di tempat kerja diukur dengan
menggunakan Negative Acts Questionnaire Revised (NAQ-R) yang
dikembangkan oleh Einarsen dan Raknes (1997). Versi asli dari kuisioner
ini diciptakan dalam bahasa Norwegia, kemudian kuisioner ini
dikembangkan dalam bahasa Inggris serta direvisi lagi (Tambur & Vadi,
2009).
NAQ-R merupakan kuisioner yang berisikan 26 buah aitem
yang memuat daftar-daftar perilaku negatif yang dirasakan dalam enam
32
perlakuan tersebut. Respon yang dapat diberikan ada lima, yaitu: tidak
pernah, jarang, setiap bulan, setiap minggu dan setiap hari. Semakin sering
subjek merasa mendapatkan perlakukan negatif, maka semakin tinggi pula
intensitas bullying. Sebaliknya, semakin subjek tidak merasa mendapatkan
perlakuan negatif, maka semakin rendah pula intentitas bullying yang
ditujukan padanya.
2. Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai kondisi pekerja
yang efektif dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya dan
mengembangkan perasaan yang positif dalam mencapai kepuasan hidup.
Kesejahteraan psikologis dapat diukur dengan menggunakan Psychological
Well Being Scale yang dikembangkan oleh Ryff & Keyes (1995). Skala
tersebut terdiri dari aitem-aitem yang dapat mengukur keenam dimensi
kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan yang positif
dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi.
Skala terdiri dari 42 aitem-aitem yang memiliki lima buah
rentang respon, dimulai dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat
setuju. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan pada skala, semakin tinggi pula
tingkat kesejahteraan psikologis yang dirasakan oleh pekerja. Sebaliknya,
semakin rendah nilai yang dihasilkan pada skala, maka semakin rendah
33 C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi subjek dalam penelitian ini adalah semua karyawan
bank yang bekerja di kota Medan. Adapun karakteristik sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pria maupun wanita yang bekerja pada sebuah bank
b. Telah bekerja lebih dari 6 bulan di bank tersebut
c. Bekerja di kota Medan
2. Teknik Sampling
Teknik sampling yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah non-probability sampling, yaitu teknik sampling yang digunakan
apabila tidak semua orang di dalam populasi memiliki kesempatan yang
sama untuk menjadi subjek penelitian. Di dalam teknik sampling
non-probability, terdapat berbagai jenis metode pemilihan sampel lagi. Metode
pemilihan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
accidental sampling dimana peneliti akan mengambil data dari subjek
manapun yang ditemui peneliti sepanjang subjek tersebut memenuhi
kriteria penelitian (Azwar, 2010).
34
Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode
pengambilan data dengan menggunakan skala. Menurut Azwar (2010),
penggunaan skala merupakan metode untuk mendapatkan jawaban subjektif
dari subjek dengan menempatkan respon pada titik-titik yang kontinum.
Sedangkan stimulus diberikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Skala
yang akan diberikan di dalam penelitian ini merupakan skala Likert, yang
menyediakan respon yang kontinum dari respon negatif sampai dengan respon
positif.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua skala psikologis,
yaitu skala Psychological Well Being Scale dan Negative Acts
Questionnaire-Revised.
1. Skala Kesejahteraan Psikologis
Penyusunan skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan
enam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh
Ryff (1989). Skala kesejahteraan psikologis ini mencakup enam dimensi,
yaitu penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.
Skala ini terdiri dari 42 aitem dan menyediakan lima rentang
respon, yaitu sangat setuju (angka 5), setuju (angka 4), netral (angka 3),
tidak setuju (angka 2), dan sangat tidak setuju (angka 1). Berikut ini
merupakan bentuk pernyataan favorable dan unfavorable dalam penelitian
35
Tabel 1. Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis
No. Dimensi Nomor aitem
(favourable)
Nomor aitem
(unfavourable) 1. Penerimaan diri 6,12,18,24 30,36,42
2. Hubungan positif dengan
orang lain
4,22,28,40 10,16,34
3. Otonomi 1,7,25,37 13,19,31
4. Penguasaan lingkungan 2,20,38 8,14,26,32
5. Tujuan hidup 11,29,35,41 5,17,23
6. Pertumbuhan pribadi 3,9,21,33 15,27,39
Total 23 19
2. Skala Bullying
Penyusunan skala bullying disusun berdasarkan seberapa sering
subjek merasa di-bully oleh rekan kerja yang disebut dengan Negative Acts
Questionnaire Revised (NAQ-R) dan skala ini dikembangkan oleh
Einarsen dan Raknes (1997). Skala NAQ-R ini terdiri dari 26 buah aitem
dengan rentang lima buah respon yang terdiri dari tidak pernah (angka 1),
jarang (angka 2), setiap bulan (angka 3), setiap minggu (angka 4), dan
setiap hari (angka 5). Kuisioner NAQ-R terdiri dari dua dimensi dari
36
pekerjaan (work-related bullying) dan area personal (personal /
person-related bullying). Berikut ini merupakan tabel blue-print dari Negative
[image:52.595.105.518.224.337.2]Acts Questionnaire-Revised.
Tabel 2. Blue Print Skala Bullying
No. Dimensi Nomor aitem
1. Work-related bullying (favourable) 1,2,3,4,11,13,14,17,18,20,21,24,25
2. Personal bullying (favourable) 5,6,7,8,9,10,12,15,16,19,22,23,26
Total aitem 26
E. Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur
Pada dasarnya, validitas berasal dari kata validity, yaitu sejauh
mana sebuah alat ukur mampu menjalankan fungsi ukurnya (Azwar,
2010). Menurut Anastasi dan Urbina (1997), validitas tes berhubungan
dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan seberapa baik tes tersebut dapat
mengukur atribut. Sebuah alat ukur dikatakan memiliki validitas yang
tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya
dan memberikan hasil pengukuran sesuai dengan tujuan yang dimasudkan.
Validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah validitas isi (content
validity).
Validitas isi pada dasarnya berhubungan dengan pengujian yang
37
tersebut secara representatif telah mencakup konsep yang ingin diukur
(Anastasi & Urbina, 1997). Menurut Fitzpatrick (1983), validitas isi
merupakan konsep mengenai seberapa banyak tes tersebut dapat meliputi
seluruh domain yang seharusnya hendak diukur. Validitas isi dalam
penelitian ini dapat diperoleh dengan bertanya kepada ahli (professional
judgement) yaitu dosen yang ahli dalam bidangnya untuk memberikan
pendapat atas isi tes.
2. Uji Daya Diskriminasi Aitem
Tujuan dari dilakukannya uji diskriminasi aitem adalah untuk
melihat sejauh mana aitem dapat membedakan antara individu yang
memiliki atribut yang akan diukur dengan individu yang tidak memiliki
atribut yang akan diukur. Pengujian daya diskriminasi aitem ini dilakukan
dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap
aitem dengan skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien
korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan aplikasi SPSS 20.0 for
windows. Nilai daya beda aitem yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 0.3 sehingga hanya aitem-aitem yang memiliki nilai beda aitem
diatas 0.3 yang akan lolos seleksi.
3. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas alat ukur merupakan konsep sejauh mana alat ukur
38
pada konsistensi skor yang dihasilkan oleh subjek ketika mereka diberikan
lagi tes tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang ekuivalen tetapi pada
kesempatan yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997). Alat ukur yang
memiliki reliabilitas yang tinggi disebut dengan alat ukur yang reliabel.
Pada penelitian ini, pengujian reliabilitas dilakukan dengan
menggunakan pendekatan konsistensi internal berupa koefisien cronbach
alpha. Metode ini menguji konsistensi tes antaraitem atau antarbagian.
Sebuah tes dikatakan reliabel apabila konsistensi di antara
komponen-komponen yang membentuk tes tinggi. Dalam Azwar (2010), reliabilitas
dianggap memuaskan apabila koefisien konsistensinya mencapai 0,9.
Dalam penelitian ini, perhitungan koefisien reliabilitas akan dilakukan
secara komputasi.
F. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan
data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini, peneliti akan membuat konstruksi alat ukur
berupa skala untuk mengukur bullying di tempat kerja dan kesejahteraan
psikologis. Penyusunan skala ini dimulai dengan membuat blue-print
39
aitem, sedangkan skala kesejahteraan psikologis terdiri dari 42 buah aitem.
Setiap respon terdiri dari 5 buah alternatif jawaban. Skala akan diprint
pada kertas berukuran A4 dan berbentuk booklet.
Setelah perancangan skala selesai, peneliti akan melakukan uji
coba alat ukur kepada 80 orang subjek. Uji coba ini bertujuan untuk
memperoleh nilai reliabilitas dan validitas dari alat ukur. Setelah try out
selesai, peneliti akan merevisi alat ukur dengan cara memilih aitem-aitem
yang sudah teruji reliabilitas dan validitasnya.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini, peneliti akan mengambil data penelitian yang
sebenarnya. Alat ukur akan diberikan kepada karyawan-karyawan
perbankan pada berbagai bank dengan menjelaskan tujuan dari pengisian
skala. Di akhir pengisian skala oleh responden, peneliti memberikan
reward kepada responden sebagai bentuk apresiasi telah berpartisipasi di
dalam penelitian.
3. Tahap Pengolahan Data
Setelah memperoleh d