• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Dan Potret Realitas Sosial Dalam Musik (Analisis Semiotika Dalam Album Kamar Gelap Karya Efek Rumah Kaca)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik Dan Potret Realitas Sosial Dalam Musik (Analisis Semiotika Dalam Album Kamar Gelap Karya Efek Rumah Kaca)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK DAN POTRET REALITAS SOSIAL DALAM MUSIK

(ANALISIS SEMIOTIKA DALAM ALBUM KAMAR GELAP

KARYA EFEK RUMAH KACA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.)

Oleh:

REZA FAJRI

NIM: 1110051000012

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Reza Fajri

NIM: 1110051000012

Kritik dan Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca)

Musik pada awalnya dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang Pencipta. Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki beragam fungsi, mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi media untuk menyampaikan pesan atau kritik. Efek Rumah Kaca menjadi salah satu band yang kerap menyisipkan “protes” dalam lagu-lagunya tetapi dengan tidak secara eksplisit dan membuat kita harus melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa memahaminya. Seperti pada album kedua mereka, yakni Kamar Gelap.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam album Kamar Gelap? Kemudian pertanyaan minornya adalah apa makna denotasi dan konotasi dalam album Kamar Gelap? Apa mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap?

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi yang berupa tanggapan terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, disertai dengan uraian tentang baik buruknya. kritik bukanlah untuk menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru atau tidak sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan.

Konstruksi realitas, pada dasarnya adalah setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun (Sobur, 2012:88). Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman, konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2011:24). Kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, Karena dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya.

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan semiotika. Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan manusia. Menurut Roland Barthes, aktivitas penandaan tidak hanya berhenti pada makna denotasi (makna sebenarnya), namun bisa berkembang ke tahap konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Sejarah pemakaian suatu kata, sangat berpengaruh terhadap munculnya makna dalam konotasi. Bila konotasi menetap lama dalam masyarakat, maka besar kemungkinan bisa menjadi mitos. Mitos yang dimaksud di sini adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas (Sobur, 2012:128). Mitos, lanjut Sobur, adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi.

Lirik-lirik dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca, diketahui memiliki makna-makna konotasi yang sesuai dengan kode-kode kultural yang ada pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari metafora-metafora yang mereka gunakan, bisa terlihat kritik dan potret realitas yang ingin mereka sampaikan.

Musik bisa berperan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi. Untuk menjalankan fungsi komunikasi massa, para musisi bisa memotret realitas dan mengeluarkan kritik-kritik sosialnya yang dianggap perlu melalui lagu yang mereka ciptakan. Seperti yang dilakukan oleh Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap.

.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Skripsi ini tak akan pernah bisa lahir tanpa adanya persahabatan yang diberikan oleh banyak pihak, baik dari pihak kampus, keluarga, sahabat dan orang-orang yang ada di sekitar saya.

Saya berhutang budi kepada kawan-kawan yang telah membantu penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kehangatan mereka, skripsi ini mungkin tidak akan pernah ada. Maka dari itu, saya sebagai penulis wajib mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Suparto, M.Ed, M.A. sebagai Wakil Dekan I. Drs. Jumroni, M.Si. sebagai Wakil Dekan II. Dr. Sunandar, M.Ag, sebagai Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Rachmat Baihaky, M.A. selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Ibu Ade Rina Farida, M.Si. Sebagai dosen pembimbing skripsi ini. Terima kasih kepada beliau yang telah memberikan ilmu dan pengarahannya agar skripsi ini bisa terlihat lebih baik lagi.

(7)

iii

6. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si., sebagai dosen pembimbing akademik kelas KPI A angkatan tahun 2010.

7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh jajaran staf karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Terima kasih sebesar-besarnya juga kepada kedua orang tua penulis, yakni: Haryadi Mansur dan Nurhikmah, yang tanpa cinta kasih yang tulus dari keduanya, mustahil penulis bisa melaju sampai saat ini. penulis berhutang budi yang sangat besar kepada keduanya (dan mungkin tak akan pernah bisa dibalas oleh penulis), yang telah memberikan dukungan, doa dan motivasinya, sehingga penulis bisa hidup dan memperoleh pendidikan sampai ke perguruan tinggi.

10.Terima kasih juga kepada kakak, Ervina Destriana, yang selama ini membiayai pendidikan penulis di perguruan tinggi. Juga terima kasih kepada adik, Tri Wahyudi.

11.Kepada paman, bibi, kakak ipar serta keluarga besar lainnya.

12.Mas Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk wawancara via email, walau beliau sedang sibuk bersekolah di Amerika Serikat.

(8)

iv

Dani, Andre, Bustami, Edi, Muharram, Muhammad, Adit dll yang selama ini membantu penulis dikala menemui kesulitan.

14.Kepada teman-teman sepermainan di Bogor dan di Cirebon yang nama-namanya tidak bisa disebutkan semua, yang telah menghibur penulis disaat sedang mengalami kebuntuan menulis.

15.Teman-teman KKN Interaktif 2013 di desa Batujajar Cigudeg.

16.Kolega-kolega penulis di Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC) Regional Bogor, yang selalu mengadakan kegiatan yang membuat penulis bisa sejenak melupakan kepenatan.

Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar skripsi ini bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini diberi kebaikan dan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, 10 Agustus 2014

(9)

v

C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika ... 34

BAB III PROFIL DAN DISCOGRAPHY EFEK RUMAH KACA ... 46

A. Profil Efek Rumah Kaca ... 46

B. Efek Rumah Kaca: Komposisi Lirik Cerdas nan Puitis ... 51

C. Kamar Gelap ... 57

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 59

A. Temuan Penelitian ... 59

B. Pembahasan ... 82

BAB V PENUTUP ... 86

(10)

vi

B. Saran ... 87

(11)

vii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 51

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Musik tidak bisa dipisahkan dari sejarah peradaban manusia. Sebagai karya seni, musik menyimpan nilai-nilai estetika yang sangat tinggi. Friedrich Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, memandang musik sebagai sarana yang bisa membangkitkan suasana estetik tertentu. Musik bisa menghadirkan rasa gembira atau sedih seorang manusia lewat suatu atmosfer yang menyentuh. Musik juga bisa mempengaruhi pikiran dan tindakan dari seorang manusia. Sehingga, musik dapat membuat pendengarnya lari sejenak dari realita dan masuk ke dalam imajinasinya sendiri.

Pada awalnya musik dipakai dalam ritual-ritual sakral untuk memuja sang Pencipta. Orang-orang Yunani kuno bahkan percaya bahwa musik adalah cerminan dari hukum-hukum harmoni yang mengatur alam semesta.1 Kala itu musik sangat erat kaitannya dengan berbagai kegiatan supranatural. Musik dan ritme-ritme tertentu dimainkan dengan berbagai alat dan diyakini dapat membawa ketenangan pikiran dan memberikan kenyamanan fisik.2

Namun seiring dengan perkembangan jaman, musik kemudian memiliki beragam fungsi, mulai dari sarana hiburan, mata pencaharian, sampai menjadi media untuk menyampaikan pesan atau kritik. Dalam sejarahnya, musik pun bisa menjadi bagian dari suatu revolusi sosial. Bob Dylan atau John Lennon telah

1

Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 244.

2

(13)

2

membuktikan dengan lagu-lagunya, bahwa musik bisa menggerakan masyarakat agar menentang keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam.

Munculnya subkultur-subkultur dalam masyarakat, juga seringkali melibatkan musik di dalamnya. Bentuk dan gaya bermusik (yang cenderung baru) sering dijadikan sebagai identitas dasar dalam sebuah subkultur.3 Subkultur adalah suatu komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memperlihatkan pola perilaku yang membedakannya dengan subkultur-subkultur lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.4 Para penganut Rastafarian

misalnya, menjadikan musik reggae sebagai bentuk perlawanan negara ketiga terhadap dominasi negara maju dan juga untuk menentang kebijakan Apartheid di Afrika Selatan. Subkultur mod atau punk, juga menggunakan musik sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial ataupun politik kepada pemerintah dan masyarakat umum.

Pesan-pesan dalam musik seringkali diungkapkan secara konotatif dan denotatif lewat lirik lagu atau video klip yang diciptakan. Lirik dan video klip dalam lagu God Save The Queen karya The Sex Pistols misalnya, berisi kecaman terhadap pemerintah Inggris yang bermewah-mewahan dalam merayakan 50 tahun berkuasanya sang ratu (Queen’s Jubilee), padahal ketika itu banyak orang Inggris yang sedang mengalami pengangguran. Contoh lain adalah lagu Bento

dari Iwan Fals, yang secara tak langsung adalah kritik terhadap para pejabat di masa Orde Baru yang dianggap lebih sibuk memperkaya dirinya sendiri.

Unsur-unsur dalam musik modern, seperti lirik, video klip atau album artwork, sering menjadi sarana favorit para musisi untuk menyuarakan isi hati

3

Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music (London: Routledge, 1998), h. 314.

4

(14)

3

mereka. Dalam musik, para musisi berani untuk mengangkat isu-isu yang masih tabu di masyarakat. Lagu-lagu Tupac – seorang rapper asal Amerika Serikat, misalnya, seringkali bercerita tentang diskriminasi rasial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat AS pada saat itu.

Musik diketahui memiliki fungsi komunikasi. Melalui lagu, musisi menjadikan musik sebagai media komunikasi untuk menyampaikan apa yang ada dalam benaknya. Dalam menulis sebuah lirik lagu, musisi kerap menggunakan metafora-metafora yang menggambarkan sebuah konsep. Metafora adalah sesuatu yang mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang figuratif.5 Namun kebiasaan dalam menggunakan metafora pada lagu tak jarang menjadi pisau bermata dua.

Makna-makna dalam lagu sering pula tidak dimengerti oleh para pendengarnya, bahkan menimbulkan multitafsir. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda. Perbedaan interpretasi ini menyebabkan para musisi tak jarang menjadi bahan gunjingan masyarakat, yang menganggap bahwa mereka hanyalah mencari popularitas semata.

Jika kita merujuk pada dekonstruksionisme yang dirintis Derrida, maka makna bukan sekedar tanda yang disepakati oleh banyak orang. Dengan kata lain, makna dari suatu kata atau kalimat tidak bisa dimaknai secara tunggal, tetapi juga dibuka peluang makna lainnya.6 Sehingga tidak mengherankan jika ada seseorang yang bisa berbeda dalam menafsirkan suatu kandungan teks, termasuk dalam lagu. Dalam gagasan semiotika post-strukturalis, juga disebutkan bahwa bahasa adalah

5

Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 170.

6

(15)

4

suatu sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Sehingga suatu kata atau kalimat bisa memperoleh pemaknaan yang lebih beragam.

Sejak merebaknya tren band-band melayu di Indonesia, tema dalam setiap lagu menjadi terkesan selalu monoton. Banyak musisi yang selalu mengobral tema cinta yang basi dalam setiap lirik lagunya. Musik kemudian hanya menjadi alat pengeruk keuntungan dan popularitas semata. Demi kepentingan pasar, para musisi rela menyampingkan ideologi bermusik mereka. Mereka menjadi tidak sungguh-sungguh dalam menciptakan karyanya, asalkan bisa terkenal dengan cepat dan bisa mendapatkan banyak uang.

Namun tidak semua musisi terperangkap dalam kekangan major label

tersebut. Ada pula musisi-musisi independen (indie) yang tidak ingin dianggap sebagai barang jualan semata, sehingga mereka tidak memakai major label dalam memproduksi dan mempromosikan musiknya. Mereka merasa bahwa sebuah karya musik adalah karya kreatif yang bisa mengeluarkan ide-idenya tanpa terikat dengan kemauan pasar. Jadi dengan kata lain, musisi indie adalah musisi yang mandiri, bebas dan mencoba memegang teguh nilai-nilai otentik dalam karya-karyanya.

(16)

5

menyajikan realitas sosial yang terjadi sehari-hari di masyarakat. Sehingga dengan demikian, para musisi tersebut mengfungsikan musik sebagai sarana untuk berkomunikasi.

Efek Rumah Kaca adalah salah satu dari para musisi independen tersebut. Grup band yang berasal dari Jakarta ini terdiri dari: Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal, bass), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal). Band yang mengambil namanya dari isu global yang sangat menakutkan ini dikenal kerap mengangkat tema sosial, politik dan lingkungan ke dalam lagu-lagunya. Mereka sering menyisipkan „protes‟ dalam lagu-lagu dengan tidak secara

eksplisit dan membuat kita harus melakukan aktivitas baca-tafsir untuk bisa memahaminya.

Trio ini juga pernah mengisi suatu rubrik bertema politik di koran Kompas setiap hari sabtu dan sering diundang menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi bertema sosial dan politik. Mereka juga kerap aktif dalam kampanye-kampanye tentang pelanggaran hak asasi manusia. Dengan melihat latar belakang keseharian mereka tersebut, menarik untuk melihat bagaimana karakter yang terbentuk dalam karya-karya mereka tersebut.

Sampai saat ini Efek Rumah Kaca, sudah menghasilkan dua album, yaitu:

Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Album pertama yang dinamai sama dengan nama bandnya, sukses meraih berbagai penghargaan, diantaranya:

(17)

6

seputar budaya konsumerisme, pemanasan global, sampai kritik terhadap industri musik pada saat itu.

Adalah Kamar Gelap, album kedua dari band ini yang menurut para kritikus musik lebih menunjukan kematangan Efek Rumah Kaca dalam berkarya. Album yang pernah meraih penghargaan sebagai album terbaik versi Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) di tahun 2010 ini disebut-sebut lebih variatif ketimbang album yang pertama. Beberapa resensi di portal musik menyimpulkan bahwa kritik sosial dan politik terasa lebih kuat pada lagu-lagu di album ini. Dalam resensi di situs http://jakartabeat.net pada tahun 2009, dikatakan bahwa album ini mencoba memotret realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Yulia Dian jurnalis DetikHot pada 2008, juga menulis bahwa album ini bukan sekadar kumpulan lagu, namun juga merupakan gambaran hidup.7

Terdapat 12 lagu dalam album yang dirilis oleh Aksara Records ini, diantaranya adalah: Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang Hampa, Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah, Kenakalan Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar Gelap, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu, dan Balerina. Berdasarkan data-data tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap yang secara khusus memiliki signifikansi dengan tema sosial. Penulis tertarik untuk mengetahui penanda apa yang digunakan oleh Efek Rumah Kaca melalui lirik dalam album Kamar Gelap.

Maka dari itu, penulis akan menggunakan metode analisis semiotika komunikasi sebagai cara untuk memahami makna tersebut. Lirik dalam album

7

(18)

7

Kamar Gelap ini akan penulis analisis dalam skripsi yang berjudul: “Kritik dan

Potret Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Semiotika pada Album Kamar Gelap Karya Efek Rumah Kaca).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa makna denotasi dan konotasi serta mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca?

2. Bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi serta mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap karya Efek Rumah Kaca.

2. Untuk mengetahui bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam lagu-lagu Efek Rumah Kaca di album Kamar Gelap.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dari segi akademis maupun segi praktisnya.

(19)

8

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian kualitatif dan analisis semiotik.

b. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai proses pemaknaan lagu-lagu yang mengandung tema-tema sosial. Penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan ada karya ilmiah yang hampir sama, namun memiliki perbedaan pada fokus permasalahan penelitian dan ada juga yang berbeda metode analisisnya. Karya ilmiah tersebut yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syarif, mahasiswa jurusan Komunikasi, Universitas Hasanuddin (2013), dengan judul skripsi yaitu: “Konstruksi Modernitas dalam Album Radiohead (Analisis Semiotika pada Lirik Lagu dan Artwork Album OK Computer)”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana modernitas dikonstruksi dalam album OK Computer karya grup band

Radiohead.

(20)

9

Wacana Terhadap Album Musik Anti Korupsi Group Band Slank”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana wacana anti korupsi dalam album Anti Korupsi karya grup band Slank.

3. Skripsi yang ditulis oleh Anwar Saputra, mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2013), dengan judul skripsi yaitu: “Kritik Sosial Politik Dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan, Birokrasi

Kompleks dan Kritis BBM” Grup Musik Slank”. Fokus dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana kritik sosial dan politik dari lirik lagu yang berjudul ”Gosip Jalanan, Birokrasi

Kompleks dan Kritis BBM dari grup musik Slank, dan melalui analisis isi.

F. Kerangka Teori

1. Kritik Sosial dan Konstruksi Realitas dalam Teks Media

(21)

10

yang berupa tanggapan terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, disertai dengan uraian tentang baik buruknya.

Fungsi kritik sosial jelas sebagai kontrol dari proses atau jalannya sistem sosial. Mary Poovey dalam bukunya –seperti yang dikutip oleh Jacques Lacan, menjelaskan bahwa kritik yang bermakna sosial bisa memberikan sarana yang membuat manusia bisa memahami dunianya dan mendapatkan identitasnya, serta dengan kritik sosial kita bisa merumuskan dan mengungkapkan hasrat kita.8

Apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya kritik? Kita bisa melihatnya dari susunan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil hingga besar. Kelompok masyarakat tersebut tentunya mempunyai tradisi dan membentuk suatu aturan baik yang tertulis maupun tidak. Seiring berjalannya waktu, masuknya pengaruh budaya-budaya luar menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku, norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecaman dari beberapa kalangan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kritik sosial tidak hanya ditujukan kepada kalangan masyarakat biasa, namun juga bisa dikhususkan kepada para pejabat pemerintahan atau politisi. Amien Rais menjelaskan bahwa kritik kepada elite politik biasanya berkenaan dengan masalah ada tidaknya high standarts of performance atau pelaksanaan fungsi dan tugasnya berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagaimana selalu diharapkan oleh masyarakat luas dari pejabat atau elite politik, sebagai teladan dari masyarakat.9

8

Mark Bracher, 2009, Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 6.

9

Anwar Saputra, “Kritik Sosial Politik dalam Musik: Analisis Isi Lirik Lagu “Gosip Jalanan,

(22)

11

Selain berupa gerakan seperti demonstrasi, mogok makan dan lain sebagainya, dalam sejarahnya kritik sosial juga dapat diekspresikan ke dalam bentuk seni dan budaya-budaya kontemporer lainnya. Film, musik, lukisan, dan lain sebagainya tak jarang menjadi media kritik yang ampuh kepada masyarakat atau pemerintah.

Dengan seperangkat tanda-tanda yang disisipkan ke dalamnya, kritik dan sindiran diharapkan bisa diterima oleh masyarakat atau pemerintah, tanpa mereka harus tersinggung dan marah ketika menerimanya. Karena kritik bukanlah untuk menjelek-jelekan sesuatu, namun untuk mengoreksi hal-hal yang keliru atau tidak sesuai, demi memperoleh suatu kemajuan.

Sejarah telah membuktikan bahwa kritik dalam konteks sosial selalu berproses secara beragam dengan cara membandingkan antara gagasan yang baru dengan gagasan yang lama. Di bab kedua nanti akan dijelaskan bagaimana kritisisme dari “Teori Kritis”, mengkritik keberadaan budaya industri/massa yang

memberikan dampak ideologis bagi sekelompok masyarakat.

Konstruksi Realitas

Seperti yang telah disebutkan di atas, kritik sosial hadir karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan dalam sistem sosial. Gambaran mengenai realitas sosial yang terjadi kemudian mutlak harus dimiliki oleh para kritikus demi mendukung kritik-kritiknya tersebut. Konstruksi realitas sosial akhirnya dipandang penting demi mencapai misi-misi tertentu.

(23)

12

konstruksi sosial selalu sarat dengan kepentingan-kepentingan.10 Setiap peristiwa yang ada kemudian bisa dikemas dan dibentuk secara simbolis. Simbol-simbol tertentu dipilih berdasarkan ideologi sang komunikator. Dalam hal ini, bahasa memegang peranan penting dalam wilayah signifikasi atau penandaan. Bahasa kemudian digunakan untuk mensignifikasi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakat.11 Namun pengetahuan tersebut tentu saja tidak bisa dikatakan relevan bagi semua orang.

Ferdinand de Saussure, seperti yang dikutip oleh Alex Sobur, pernah memaparkan bahwa tanda-tanda adalah konstruksi dari pandangan dan persepsi kita terhadap realitas.12 Jika dilihat dalam konteks sosial, maka tanda menurut Saussure tidak hanya merepresentasikan realitas yang terjadi di masyarakat, tetapi juga bisa membentuk persepsi manusia. Dengan demikian, masyarakat harus lebih teliti dalam menyikapi berbagai tanda yang muncul, agar tidak terjadi salah baca (misreading) yang bisa berakibat fatal.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan realitas? Realitas sangat sulit untuk dijelaskan secara rinci. Sederhananya, realitas adalah kenyataan, atau dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: “hal yang nyata; yang benar-benar ada”. Menurut kritikus budaya Yasraf Amir Piliang, realitas sesungguhnya sangat kompleks dan selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apa yang kita lihat dan kita dengar (misalnya benda, musik, cuaca) bisa saja adalah sebuah realitas, namun tidak menutup kemungkinan jika yang kita lihat dan dengar tadi sebenarnya adalah tanda dari realitas yang sebenarnya.

10

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 24.

11

Ibid., h. 17.

12

(24)

13

Teks media dalam sejarahnya, selalu memiliki ideologi atau kepentingan-kepentingan yang ingin dibawa. Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, menjelaskan bahwa teks media tersusun atas seperangkat tanda dan tidak pernah membawa makna tunggal.13 Dengan demikian, teks media tersebut bisa membawa bias-bias yang perlahan bisa menyusup ke dalam satu budaya tertentu.

Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Teks memiliki arti yang luas. Bisa berbentuk seperti berita, film, musik dan produk-produk budaya lainnya. Roland Barthes, seorang pakar semiotika dari Perancis, memiliki pemahaman yang luas dalam pengertian teks. Ia misalnya, berpendapat bahwa musik adalah salah satu contoh teks yang dapat dibaca.

Sebagai bentuk teks, musik juga tentunya bisa menjadi media untuk mengkonstruksi atau memotret realitas. Karena pada dasarnya, setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, adalah usaha

untuk mengkonstruksikan realitas.14 Seorang musisi bisa saja menceritakan sebuah peristiwa lewat sebuah lagu yang diciptakannya. Lagu White Riot milik band punk The Clash misalnya, mengisahkan tentang kerusuhan yang dipicu oleh warga kulit hitam di London pada 1977. Lagu tersebut juga berisi semacam “ajakan” kepada pemuda kulit putih agar ikut bersama para warga kulit hitam

dalam memprotes kesewenangan pemerintah.

Fenomena tersebut menunjukan bahwa musik sebagai salah satu teks atau bahasa, tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi dalam menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran yang hendak ditanamkan kepada

13

Ibid., h. 95.

14

(25)

14

publik. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya.15

Kesadaran menjadi bagian yang terpenting dalam konstruksi sosial.16 Karena kritik dan konstruksi realitas sosial dalam teks media selalu mengekspresikan sikap dan pilihan sang komunikator, dan juga dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, maka semiotika bisa menjadi pendekatan yang terbaik dalam menganalisisnya. Pembahasan mengenai semiotika secara lebih dalam selanjutnya bisa dilihat dalam bab kedua skripsi ini.

2. Musik Sebagai Media Komunikasi

Musik pada dasarnya adalah pengorganisasian suara yang terdiri dari beat,

harmoni dan melodi, serta lirik lagu jika dalam konteks musik populer.17 Karena musik sifatnya adalah menyampaikan informasi dan makna dari sang musisi (komunikator) kepada pendengarnya (komunikan), maka musik bisa menjadi salah satu bentuk komunikasi.18 Namun kendala yang sering muncul dalam proses komunikasi ini adalah musik sering dianggap sebagai bahasa yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Salah satu sebabnya adalah bahasa musik sering ditulis dalam berbagai simbol. Contoh yang paling sederhana bisa kita lihat dalam

partitur yang ditulis dalam beragam simbol musik, yang tidak semua orang bisa

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman, h. 25.

17

Roy Shuker, Key Concepts in Popular Music, h. 57.

18

(26)

15

Marcel Danesi, dalam bukunya Pesan, Tanda dan Makna menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan dalam seni musik.19 Pertama, musik klasik yang hanya tersebar di kalangan bangsawan dan lembaga keagamaan. Yang kedua, musik tradisional yang biasanya didengarkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Dan yang ketiga, adalah musik populer yang tersebar ke beragam kalangan masyarakat.

Musik populer tidak akan tersebar tanpa melibatkan suatu media. Pembagian tiga tingkatan musik seperti yang dipaparkan oleh Danesi di atas, membuat musik bisa masuk ke dalam kajian media dan komunikasi. Inilah sebabnya musik bisa menjadi salah satu dari bentuk teks media. Musik kemudian tidak hanya menjadi bunyi-bunyian di telinga, namun juga sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Karena lagu-lagu seringkali memiliki fungsi ekspresif, khususnya pada wilayah semantik, maka dengan demikian ia dapat pula dianalisis melalui semiotika.

Roland Barthes dalam esainya yang berjudul Musica Practica (1970), menulis bahwa seorang seniman –termasuk musisi, bisa mengalami beberapa tahap perkembangan gaya dalam karirnya. Ia mencontohkan Beethoven, seorang komposer yang dinilainya sebagai musisi pertama yang mencipta dengan bebas. Barthes menggambarkan Beethoven yang terus menerus terdorong untuk bermetamorfosis, dan menggunakan musik yang ia fungsikan sebagai bahasa untuk mencitrakan jati dirinya kepada pendengar.

19

(27)

16

Dari contoh tersebut, kita bisa mengetahui bahwa karya seni seperti musik, bisa menjadi sebuah pesan yang disadap dari totalitas hidup sang seniman.20 Lagu-lagu yang ia ciptakan seringkali merupakan jejak-jejak makna yang berisi ide dan karakter sang musisi. Namun seperti teks-teks lainnya, musik dapat diinterpretasi oleh pembaca berdasarkan ranah pemahaman pembaca. Pembacaan dikatakan berhasil apabila sang pembaca tersebut mampu membentuk teks baru dengan mengawinkan elemen-elemen yang dipahaminya. Konsep ini kembali menegaskan konsep Barthes lainnya yakni konotasi, di mana komunikasi adalah suatu proses tafsir di antara subjek-subjek pelakunya. Baik penulis maupun pembaca, sama-sama memproduksi makna berdasarkan nilai-nilai dan pemahaman yang mereka anut.

Akibatnya musik pun bisa dimaknai secara konotatif oleh para pendengarnya. Makna yang timbul pun menjadi sangat beragam karena perbedaan budaya di antara para pendengar. Oleh karena itu, orientasi pembacaan karya pengarang tidak hanya ditujukan pada maksud si pengarang, namun diposisikan juga sebagai teks oleh pembacanya. Maka demikian, Roland Barthes juga membedakan antara karya dan teks. Baginya, pengarang adalah subjek yang menciptakan karya, sedangkan ketika karya tersebut pindah ke tangan pembaca maka ia menjadi teks. Teks selalu terbuka dengan aktivitas baca-tafsir maupun semiologi di kalangan pembacanya. Teks juga, seperti kata Barthes, bisa bebas dibaca-tafsir tanpa harus terbebani dengan kekangan makna yang diciptakan oleh

20

(28)

17

si pencipta karya. Lebih lanjut bisa dibaca dalam esai Roland Barthes yang berjudul “Kematian Pengarang” dan “Perbedaan antara Karya dan Teks”.21

Terinspirasi dari pembagian fenoteks dan genoteks seperti yang dilakukan oleh Julia Kristeva, Roland Barthes juga membagi teks lagu menjadi dua, yakni

feno-lagu dan geno-lagu. Jika fenoteks adalah segala sesuatu di dalam bahasa yang berfungsi untuk komunikasi, representasi dan ekspresi, serta dapat membentuk nilai-nilai budaya, maka feno-lagu seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berkaitan dengan segala sesuatu yang menangani bidang komunikasi, representasi atau ekspresi dari suatu lagu. Feno-lagu juga erat kaitannya dengan endapan-endapan nilai kultural, seperti cita rasa, gaya atau bahkan pikiran kritis dari si pencipta lagu. Sedangkan jika genoteks adalah sarana yang memuat seluruh evolusi historis bahasa dan aneka praktik penandaan22, maka geno-lagu adalah aktivitas yang berhubungan dengan produksi, yang melingkupi banyak pertandaan-pertandaan dalam musik. Geno-lagu tidak ada kaitannya sama sekali dengan komunikasi. Karena itulah geno-lagu tidak akan penulis bahas dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya memposisikan Efek Rumah Kaca

sebagai pengarang, namun juga pembaca. Karena bagaimanapun juga, pengarang dan pembaca adalah subjek yang sama-sama membangun makna berdasarkan nilai dan kepentingannya masing-masing. Posisi si pengarang seringkali dipahami berdasarkan produk yang dihasilkannya, padahal ia juga aktif sebagai subjek pembaca atas lingkungan sosial di mana mereka hidup. Dalam menilai suatu karya, alangkah bagusnya jika kita memahami si pengarang terlebih dahulu,

21

Ibid., h. 145 dan 156.

22

(29)

18

termasuk posisinya sebagai pembaca. Kemudian lirik lagu dan artwork dalam album Kamar Gelap kita pandang sebagai teks yang bermuatan kode-kode budaya.

Maka demikian, pembacaan atas lagu-lagu Efek Rumah Kaca adalah pembacaan terhadap bagaimana kritik dan potret realitas sosial ditafsir dalam lirik lagu dan artwork dalam album tersebut. Dalam studi yang berkaitan dengan musik, ada empat level wilayah yang bisa dikaji, yakni: level teks, level produksi, level pendengar dan level konteks.23 Pada skripsi ini peneliti akan memilih level teks sebagai wilayah yang akan dikaji.

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif. Penelitian ini menitikberatkan kepada „proses‟ bukan „hasil‟. Penelitian ini bisa

disebut sebagai penelitian interpretatif, karena data hasil yang dikumpulkan merupakan interpretasi terhadap data dari subjek penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber terkait yang berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data primer bersumber dari lirik lagu dan artwork yang terdapat dalam

23

(30)

19

album Kamar Gelap, sedangkan data sekunder bersumber dari buku, internet, majalah dan wawancara.

3. Unit Analisis

Unit analisis berupa data teks dari duabelas lirik lagu Efek Rumah Kaca dalam album Kamar Gelap, dengan masing-masing judul:

Tubuhmu Membiru... Tragis, Kau Dan Aku Menuju Ruang Hampa,

Mosi Tidak Percaya, Lagu Kesepian, Hujan Jangan Marah,

Kenakalan Remaja Di Era Informatika, Menjadi Indonesia, Kamar Gelap, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap Di Sana, Laki-laki Pemalu, dan Balerina. Serta berupa artwork yang terdapat dalam kemasan album.

4. Analisis Data

Teknik analisis data didasarkan pada metode analisis semiotika konotasi Roland Barthes yang menekankan produksi tanda dengan mengkaji proses pertukaran makna dari sebuah tanda yang diciptakan seseorang dalam melakukan aktivitas komunikasi.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima bab, yakni:

BAB I :

(31)

20 BAB II :

Bab kedua berisi landasan teori dan pembahasan yang menunjang isi penelitian ini, seperti sejarah singkat industri musik dan rekaman, teori kritis dalam musik kritis dan pengertian serta macam-macam semiotika.

BAB III :

Bab ketiga berisi profil Efek Rumah Kaca, beserta discography-nya (daftar album dan lagu).

BAB IV:

Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Berisi temuan makna denotasi, konotasi dan mitos yang terkandung dalam album Kamar Gelap. Juga menguraikan tentang bagaimana kritik dan potret realitas sosial dalam album tersebut.

BAB V :

(32)

21 BAB II

MUSIK, TEORI KRITIS DAN SEMIOTIKA

A. Sejarah Singkat Industri Musik dan Rekaman

Jauh sebelum adanya teknologi rekaman, komersialisasi musik sudah dilakukan dengan cara menjual lembaran (sheet) musik yang berisi notasi sebuah lagu. selama masa Renaissance, para komposer musik klasik biasanya tidak hanya dibayar ketika memimpin sebuah konser, namun juga mereka memiliki pekerjaan sampingan yakni menuliskan dan menjual musik yang mereka ciptakan. Di tahun 1800, ketika musik folk dan mesin cetak mulai populer di Amerika Serikat, sheet

musik menjadi bisnis yang sangat menjanjikan.24 Orang-orang ketika itu rela membeli berbagai sheet musik supaya bisa dipraktekan dengan piano di rumahnya masing-masing.

Dunia rekaman mulai lahir ketika di tahun 1877, Thomas Alva Edison menciptakan alat perekam suara yang bernama fonograf. Cara kerja dari alat yang terbuat dari silinder berbungkus kertas timah itu adalah dengan merubah getaran udara menjadi alur udara yang meliputi sebuah rotasi silindris timah.25 Fonograf memakai prinsip dasar dari teknik rekaman digital, sebuah teknik yang ternyata masih bertahan hingga saat ini. Penemuan Edison tersebut kemudian menginspirasi berbagai penemuan-penemuan lainnya terkait dengan teknologi rekaman.

1

George Rodman, Mass Media in Changing World: History, Industry, Controversy (New York: McGraw-Hill, 2008), h. 216.

2

(33)

22

Pada 1887, Emile Berliner menciptakan alat baru yang diberi nama

gramofon. Berbeda dengan fonograf yang memanfaatkan silinder, maka gramofon menggunakan piringan hitam untuk merekam suara. Kelebihan dari alat ini adalah, piringan hitam lebih murah dan lebih mudah diproduksi ketimbang silinder Edison.26 Berliner bersama dengan Eldridge Johnson kemudian mendirikan perusahaan Victor Talking Machine Company dan menjual rekaman bintang opera Enrico Caruso. Jejak mereka ini kemudian diikuti oleh para pengusaha yang menjadikan dunia rekaman sebagai lahan bisnisnya.

Menjelang abad ke-20, perusahaan-perusahaan penyedia alat rekaman tumbuh dan bersaing satu sama lain. Alat-alat seperti fonograf dan gramofon tersebar ke tempat-tempat hiburan dan rumah-rumah penduduk. Era baru mendengarkan musik pun muncul. Kini masyarakat tidak perlu lagi datang ke aula-aula konser untuk mendengarkan musik. Hiburan musik bisa dengan mudah diperoleh dalam setiap rumah.

Sebelum Perang Dunia II, dunia rekaman belum mengenal istilah “album musik”. Dahulu setiap satu piringan hitam hanya berisi satu lagu dan berdurasi

rata-rata 3 menit. Album musik baru muncul sekitar tahun 1940. Seperti album foto, saat itu satu album masih terdiri dari beberapa piringan hitam, tergantung berapa jumlah lagunya. Tetapi semua itu berubah ketika Peter Goldmark, seorang insinyur dan pekerja dari Colombia Records, berhasil menciptakan alat perekam panjang (long playingLP record) yang dapat memutar musik selama 23 menit).

3

(34)

23

Sehingga dengan demikian, satu piringan hitam (vinyl) bisa menyimpan beberapa lagu.

Berkembangnya teknologi radio di Amerika Serikat pada awal 1920an, turut mempengaruhi industri musik dan rekaman. Musik menjadi sajian utama pada awal perkembangan radio.27 Saat itu bahkan siaran musik mendominasi isi radio, disamping siaran berita. Karena kualitas rekaman yang masih kurang bagus, biasanya siaran musik pada waktu itu menampilkan musisi yang tampil secara langsung (live) di studio. Namun siaran musik di radio ini kemudian sempat membuat was-was pelaku rekaman yang takut tersaingi. Terutama di masa Great Depression, di mana banyak orang yang tidak bisa membeli musik rekaman karena lebih mahal ketimbang mendengar di radio.

Walau industri rekaman sempat pesimis atas berkembangnya teknologi radio, namun justru ini semakin mendorong perusahaan rekaman untuk semakin memperbaiki kualitas rekamannya. Maka kemudian lahirlah rekaman elektrik pada tahun 1925, yang jelas semakin baik kualitasnya dibandingkan dengan yang terdahulu. Dengan cepat, teknologi rekaman elektrik ini dimanfaatkan secara baik oleh para perusahaan rekaman major.

Sadar dengan potensi bisnis yang besar, pada 1926 industri rekaman mulai bekerja sama dengan radio dan sekaligus memasarkan suatu alat yang merupakan kombinasi dari fonograf dan radio.28 Hal ini kemudian mendorong perusahaan-perusahaan rekaman lainnya untuk bergabung dengan stasiun radio, contohnya seperti The Radio Corporation of America (RCA) yang kemudian bergabung dengan The Victor Talking Machine Company pada tahun 1928.

4

Idhar Rez, Music Records Indie Label, h. 74.

5

(35)

24

Ditemukannya teknologi radio FM, semakin meramaikan dunia musik di tahun 1950-1960an. Jika radio AM jangkauannya terlalu luas sehingga cenderung „main aman‟ dengan hanya menyiarkan musik-musik mainstream, maka radio FM

yang jangkauannya lebih kecil bisa memberikan tempat pada studio-studio rekaman independen yang berskala kecil untuk memasarkan produknya. Dengan kata lain, tidak seperti radio AM, radio FM lebih menawarkan beragam genre

seperti blues, jazz dan rock n‟ roll yang ternyata lebih menarik perhatian para penikmat musik dari kalangan muda.29

Seperti stasiun radio AM, label-label rekaman besar saat itu, seperti Columbia, Victor, Capitol, MGM atau Mercury, lebih suka bermain aman, yaitu dengan hanya memasarkan musik-musik yang mainstream. Sampai awal tahun 1950, musik di Amerika cenderung homogen. Musik pop bertempo lambat mendominasi isi siaran musik di radio-radio besar. Hal ini membuat kalangan remaja –yang memang selalu ingin mencari hal baru, mencoba untuk menciptakan musik baru yang lebih enerjik.

Di pertengahan tahun 1950an, label-label kecil (independen) mulai merilis lagu-lagu yang berirama atau bertempo lebih cepat. Jenis musik yang kemudian dikenal dengan nama rock and roll ini, sebenarnya adalah campuran dari berbagai elemen seperti rhythm and blues, gospel dan musik country.30 Kalangan kulit hitam punya andil besar dalam munculnya genre musik ini. Elvis Presley yang dikenal sebagai “raja rock and roll” pun terinspirasi dan banyak mengadaptasi

gaya bermusik dari para musisi kulit hitam.

6

Roger Fidler, Mediamorfosis (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), h. 31.

7

(36)

25

Tidak hanya di Amerika Serikat, musik rock juga mendapatkan tempat yang sangat besar di kalangan remaja di Inggris. Bahkan perkembangannya jauh lebih pesat ketimbang di AS. Band-band seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Who menjadi magnet besar bagi munculnya para pelaku bisnis musik. Terutama ketika band-band Inggris ini menginvasi tanah Amerika. Musik rock menjadi bisnis yang sangat menggiurkan dan menarik banyak penggemar dari berbagai kalangan. Musik rock juga melahirkan banyak genre lainnya seperti punk,

metal dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian, rock menjadi jenis musik yang paling banyak berkembang dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan berbagai genre musik populer, sama pesatnya dengan perkembangan teknologi yang semakin memudahkan para pendengarnya. Mulai dari ditemukannya teknologi stereo, tape recorder, Compact Disc, sampai munculnya situs-situs yang menyediakan fitur untuk mengunduh (download) lagu-lagu secara bebas. Jika kita petakan, maka pertumbuhan industri musik dan rekaman dapat disederhanakan dan dicirikan dengan beberapa peristiwa penting berikut ini:

1. Penemuan alat-alat seperti fonograf oleh Thomas Edison, dan gramofon oleh Emile Berliner, yang menjadi cikal bakal munculnya industri rekaman.

2. Ampex menciptakan tape recorder berkualitas tinggi, dan Minnesota Mining and Manufacturing (3M) mengembangkan pita plastik. Penggunaan kaset membuat suara dapat diedit dan disempurnakan, sesuatu yang tidak dapat dilakukan pada piringan cakram.31

8

(37)

26

3. Peter Goldmark menciptakan alat perekam panjang (long playingLP record) yang dapat memutar musik selama 23 menit).

4. Pada tahun 1956, teknologi suara stereo mulai dikenal.

5. Perusahaan rekaman Motown mempopulerkan jenis musik blues dan

rock and roll.

6. Pada 1979, Sony memperkenalkan alat musik stereo pribadi yang diberi nama Walkman.

7. Munculnya compact disc (CD) yang dapat memberikan suara yang jernih dan mengubah dunia musik dengan suara yang direkam pada plastik alumunium berukuran 4,7 inchi, serta diputar menggunakan laser.32 Sejak kemunculannya, CD secara otomatis menggantikan peran piringan hitam (vinyl) dan kaset (tape) sejak pertengahan 1980an. Keuntungan CD selain kualitasnya yang lebih baik dari kaset adalah: CD lebih praktis dan mudah dibawa kemana saja.

8. Adanya teknologi MP3 di tahun 1999, yang membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan musik dari internet.

9. Pada tahun 2003, Apple meluncurkan iTunes, sebuah toko musik online, dengan harga 99 sen per lagu.33

Munculnya teknologi radio FM, saluran televisi MTV, sampai adanya situs

Napster, membuat musik semakin bisa dijangkau kemana saja. Baik musisi dan perusahaan rekaman semakin kreatif pula dalam mempromosikan album atau

single yang mereka ciptakan. Dewasa ini, industri musik populer dikuasai oleh beberapa perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar terus berlomba-lomba

9

Ibid., h. 121.

10

(38)

27

dalam menciptakan “bintang populer” yang digandrungi oleh masyarakat umum.

Layaknya perusahaan besar pada umumnya, orientasinya hanya satu, yakni keuntungan yang besar.

B. Teori Kritis dalam Musik Kritis

Musik ketika diiringi dengan tujuan komersil, maka semua yang diciptakan –baik lagu maupun album, harus juga mengikuti hukum pasar, yaitu menjual

sesuai dengan apa yang digemari oleh masyarakat pada saat itu. Tujuan komersil ini tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengejar keuntungan dengan sebanyak-banyaknya. Musisi pun tak punya banyak pilihan selain membuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan pasar, walau mungkin itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si musisi. Nilai estetik dalam musik terpaksa tunduk oleh hasrat mencari keuntungan.

Menurut Theodore Adorno dalam Dialectic of Enlightment34, musik populer dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas (keragaman) semu.35 Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan.36 Hal ini bisa menjelaskan tentang permasalahan yang sering dialami oleh musik pop dalam hal originalitas. Standarisasi ini membuat musisi secara sadar maupun tak sadar, berkarya menurut standar yang berlaku.

Setelah menstandarisasi musik, elit-elit industri juga membuat keragaman semu, dengan tujuan untuk mengaburkan keragaman rasa yang terdapat pada

11

Bisa dilihat di http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm.

12

Dominic Strinati, Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terj. Yogyakarta: Jejak, 2007), h. 73.

13

(39)

28

setiap orang ketika menikmati musik. Dominic Strinati menjelaskan bahwa keragaman atau individualitas rasa adalah hal yang dihasilkan suatu produk budaya dalam mempengaruhi suasana individual. 37 Dalam konteks musik, individualitas rasa adalah hal yang bisa membangkitkan keragaman suasana atau atmosfir tertentu di antara para pendengar musik.

Adorno mengambil contoh musik klasik karya Beethoven dalam hal standarisasi dan keragaman rasa. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas 38 karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas. 39 Hal ini disebabkan karena musik klasik seperti ini mempunyai detail yang berbeda dengan musik klasik lainnya, sehingga menimbulkan keragaman rasa diantara para penggemarnya.

Berbeda dengan musik klasik tersebut, musik pop yang telah distandarisasi justru semakin menihilkan adanya detail. Dengan standar yang sudah baku baik dari sisi produksi maupun konsumsi di masyarakat, musisi seakan tidak boleh banyak membuat variasi dalam menciptakan karyanya. Sedangkan masyarakat juga sulit untuk keluar dari “jalur” dalam memilih musik yang ingin didengarnya.

Akibatnya seperti yang ditakutkan, muncul fetisisme komoditas, yang misalnya kemudian membuat masyarakat mengagung-agungkan sosok seorang musisi, ketimbang kualitas karya-karya yang telah dibuatnya.

14

Ibid., h. 70.

15

Fetisisme komoditas adalah bagaimana industri melakukan suatu upaya agar masyarakat melakukan pemujaan yang salah terhadap suatu produk budaya. Contohnya sederhananya adalah seseorang yang lebih bangga memamerkan tiket konser yang mahal ketimbang menikmati konsernya itu sendiri.

16

(40)

29

Agar keragaman rasa tersebut tidak keluar, maka para kapitalis yang berlindung dalam industri musik kemudian menciptakan keragaman semu agar masyarakat punya sedikit kebebasan atau pilihan dalam memilih musik pop. Keragaman semu diciptakan dengan cara memberi sedikit variasi untuk mengaburkan banyak kemiripan di dalam musik pop, sehingga terkesan berbeda padahal seragam. Dengan demikian walaupun sudah dimunculkan beberapa detail, namun standarisasi tetap berjalan karena pada dasarnya semua itu juga sudah distandarisasikan sebelumnya.

Kemunculan fenomena seperti ini, menurut Adorno merupakan kehendak kaum kapitalis yang ingin memanipulasi selera musik masyarakat.40 Mereka tergoda untuk menciptakan suatu pasar yang sangat menguntungkan dalam masyarakat demi kelangsungan bisnisnya. Musik bagi mereka hanya menjadi produk industri biasa yang bisa mengantarkan uang dalam jumlah banyak dan juga cepat. Komodifikasi budaya oleh para kapitalis ini jugalah yang kemudian menghilangkan pikiran kritis manusia yang sudah terlanjur tunduk pada tatanan yang sudah baku.

Mahzab Frankfurt dengan tokoh-tokohnya seperti Theodore W. Adorno, Walter Benjamin, Erich Fromm, Herbert Marcuse Jurgen Habermas dan lain sebagainya, sering dikenal dengan teori kritisnya pada budaya populer. Banyak dari anggota Mazhab ini yang menganggap bahwa industri budaya hanyalah “pabrik selingan” yang merupakan hasil dari penyeragaman budaya yang

menyisakan ruang kecil bagi aksi politis yang produktif,41 tak terkecuali musik.

17

John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (Terj. Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 148.

18

(41)

30

Bagi kelompok Mahzab Frankfurt, masyarakat harus terlibat dalam kritik berkelanjutan. Hal ini demi memecah sistem kontekstual yang telah diterima. Dengan melakukan kritik, maka kita bisa membantu menciptakan kesadaran akan kemungkinan patahnya struktur dominasi yang ada.42 Kritisisme dari Teori Kritis Mahzab Frankfurt terletak pada usaha mereka untuk menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita.43 Sehingga sesuai dengan gagasan Karl Marx, dengan kritisisme tersebut masyarakat bisa terbebas dari belenggu penindasan dan pengisapan. Para pemikir mazhab Frankfurt memang dikenal memiliki ketertarikan dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx. Namun mereka memodifikasi pemikiran Marxist tersebut agar bisa lebih sesuai dengan tantangan budaya di zaman modern.

Kritisisme mazhab Frankfurt juga tidak terlepas dari kritik. Mahzab ini dianggap terlalu memandang tinggi konspirasi dalam membentuk tingkah laku atau budaya, dan mengabaikan fakta bahwa budaya diciptakan melalui hubungan yang saling mempengaruhi. Berbeda dengan pandangan Adorno dan Mazhab Frankfurt, para pemikir dari Mazhab Birmingham memiliki perspektif yang memandang bahwa budaya popular bukanlah suatu budaya rendahan atau suatu hal yang remeh.44 Tokoh-tokoh cultural studies seperti Raymond Williams dan Richard Hoggart, beranggapan bahwa budaya bisa dilihat sebagai penentu dan juga bagian dari aktivitas sosial. Budaya juga merupakan area penting bagi reproduksi ketimpangan kekuatan sosial dan komponen utama dari ekonomi dunia yang meluas.45

19

Ibid., h. 185.

20

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 144.

21

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek (Terj.Yogyakarta : Bentang, 2004), h. 46.

22

(42)

31

Raymond Williams memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan cara hidup. Williams memperhatikan pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Bagi Williams, kebudayaan berpusat pada makna sehari-hari, nilai, gagasan abstrak dan benda-benda baik simbolis maupun material yang dibangun secara kolektif.46

Richard Hoggart, seorang profesor pendiri Center for Cultural Studies, Universitas Birmingham juga meneliti ciri kebudayaan lewat aktivitas sehari-hari kelas pekerja mulai dari apa yang mereka lakukan di waktu luang hingga apa saja lagu-lagu populer yang mereka dengarkan. Pemikiran Hogart kemudian menjadi warisan yang penting, khususnya menyangkut makna dan praktik orang biasa dalam menjalani hidup sehari-harinya yang dengan cara tersebut mereka membangun sejarahnya.47

Secara umum, terdapat beberapa kesamaan antara perspektif cultural studies

dengan mazhab Frankfurt. Keduanya sama-sama menganggap terjadi penurunan kesadaran radikal di antara para kelas pekerja, dan bahwa budaya media berperan dalam membentuk kelas pekerja menjadi masyarakat kapitalis. Serta budaya media juga turut membentuk hegemoni kaum kapitalis.

Perbedaan yang signifikan antara penganut cultural studies dengan Mazhab Frankfurt salah satunya adalah: bahwa penganut cultural studies memandang budaya juga sebagai bagian dari teks dan juga bermuatan makna sehingga setiap saat berada dalam proses pembacaan.48 Para pemikir cultural studies memandang bahwa tidak ada perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya, antara budaya tinggi dan budaya rendah. Mereka beranggapan bahwa setiap

23

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, h. 40.

24

Ibid., h. 41.

25

(43)

32

budaya memiliki konteksnya masing-masing, sehingga juga dibutuhkan beragam perspektif untuk memahami masing-masing budaya tersebut. Dalam hal ini,

audiens juga dipandang mampu menyeleksi kebudayaan, ketimbang hanya menjadi penerima yang pasif.

Musik Kritis

Kritik terhadap industri dan budaya juga telah coba dilakukan oleh musik itu sendiri. Musik populer sering juga memiliki kaitan dengan sejarah kritisisme sosial. Pemberontakan kaum muda di AS dan Inggris (baik kulit hitam maupun kulit putih) yang kemudian melahirkan musik rock and roll, pernah berhasil mematahkan dominasi musik klasik dan musik “cengeng” yang digandrungi oleh

orang-orang kulit putih kelas atas.

Musik yang dianggap liar tersebut menjadi simbol perlawanan kelas pekerja terhadap hegemoni budaya yang dilakukan oleh orang-orang kelas atas. Musik rock juga kemudian dimanfaatkan untuk memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan kemauan rakyat, seperti yang dilakukan oleh Bob Dylan atau grup musik The Who.

Seiring tumbuh dan berkembangnya musik rock menjadi musik yang digemari oleh banyak kalangan, ia pun tidak lepas dari adanya kritik-kritik tajam. Musik punk lahir ketika kaum muda mulai bosan dan muak dengan musik rock yang dianggapnya telah kehilangan semangat seperti di awal kemunculannya. Musik rock yang saat itu berkembang menjadi berbagai subgenre seperti

(44)

33

“perlawanannya” dan kemudian hanya menjadi komoditas mainstream yang

dimanfaatkan oleh kaum kapitalis.

Ironis sebenarnya, karena lagu-lagu progressive rock juga sebenarnya mengandung banyak kritik sosial. Album The Dark Side of the Moon milik Pink Floyd contohnya, bercerita tentang modernitas yang membuat manusia menjadi gila dan menghamba kepada uang. Dalam perkembangannya, lagu-lagu progressive rock memang banyak mengambil tema mengenai modernitas dan konsumerisme yang menjangkiti banyak orang.

Musik protes, musik-musik bertema kritis sosial, dalam sejarahnya memang selalu berhasil dan disukai banyak orang, terutama kaum muda. Bukan hanya karena mengandung nilai-nilai perlawanan di dalamnya, tapi juga karena memang bagus dari komposisi musiknya. Taufiq Rahman, jurnalis The Jakarta Post, pernah menulis bahwa komposisi-komposisi mutakhir tersebut selalu berhasil, karena musik tersebut memang diciptakan oleh musisi-musisi nomer satu yang serius berkesenian dimana kegiatan berfikir berbanding lurus dengan kegiatan kreatif mencipta lagu.49

Artinya, seperti yang dijelaskan lebih lanjut oleh Taufiq Rahman, lagu protes sosial hanya bisa lahir dari musisi-musisi bermutu semacam The Beatles, Sam Cooke, Nirvana atau Crosby, Stills, Nash and Young dan bukan band-band dan musisi kelas teri yang mungkin jarang membaca. Walaupun hal ini dapat diperdebatkan lagi, namun musik-musik kritik sosial selalu lahir dari musisi-musisi yang jenius, yang selalu berpikir kritis terhadap banyak hal.

26

(45)

34

Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh Iwan Fals yang lagu-lagunya banyak mengandung kritik sosial. Di masa Orde Baru, Iwan tak jarang diperiksa oleh pihak berwajib terkait dengan lagu-lagunya yang mengkritik pemerintah. Orde Baru bahkan menganggap lagu-lagu yang mengandung kritik sosial tersebut sebagai ancaman. Itulah sebabnya banyak perusahaan rekaman sulit untuk merekam lagu-lagu kritik sosial karena pengawasan yang ketat dari kepolisian.

Gambaran realitas sosial dan politik yang terjadi pada masa Orde Baru memang dengan mudah bisa kita temukan dalam lirik-lirik lagu Iwan Fals. Lirik-lirik ciptaan Iwan Fals umumnya memang tidak sulit untuk ditafsirkan. Hal tersebut juga bisa kita temukan dalam lagu-lagu milik Harry Roesli, Doel Sumbang dan juga band Slank.

Dewasa ini di Indonesia, musik bertema sosial lebih sering ditemukan dalam

scene musik indie. Berbeda dengan Iwan Fals atau Slank, band-band indie yang sudah lama eksis seperti Efek Rumah Kaca, Navicula, Seringai dan lain sebagainya, lebih suka menggunakan bahasa yang metaforis dalam lirik-lirik lagunya, sehingga pendengar harus mencernanya dengan baik agar bisa menemukan makna kritik sosialnya.

(46)

35 C. Pengertian dan Macam-macam Semiotika

Manusia sejak dahulu mendefinisikan sejarahnya melalui seperangkat tanda-tanda. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak jaman prasejarah. Segala hal yang ditangkap oleh pikiran manusia, selalu diungkapkan dan diwakili oleh tanda. Maka dari itulah, tanda kemudian memiliki pengertian sebagai representasi dari berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah homo culturalis (meminjam istilah dari Marcel Danesi dan P. Perron), yakni sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya, maka seiring dengan majunya peradaban, keberadaan tanda dipandang menjadi sangat penting dalam meneliti seluk beluk kebudayaan manusia. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Charles Sanders Pierce, bahwa tanpa tanda kita tidak akan dapat berkomunikasi.50 Karena makna yang terdapat pada kehidupan manusia, selalu berada pada sistem tanda-tanda.

Ada tiga poin penting yang harus kita ingat sebelum menelaah berbagai tanda yang akan diselidiki.51

1. Tanda bukan hanya ulasan tentang dunia, tapi merupakan bagian dari dunia. Khususnya dalam konteks sosial.

2. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga memproduksi makna.

3. Tanda memproduksi banyak makna.

John Hartley, seorang profesor dan juga penulis buku-buku cultural studies

memaparkan bahwa tanda juga haruslah memiliki tiga karakteristik:52

27

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 124.

28

Tony Twhaites, dkk., Introducing and Cultural Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik

(Yogyakarta: Jalasutra, 2009) h. 13-14.

29

(47)

36

1. Harus memiliki bentuk fisik, sehingga kita bisa melihatnya, mendengarnya, menciumnya, dan menyentuhnya.

2. Tanda harus mengacu kepada sesuau selain dirinya.

3. Tanda harus digunakan dan dikenali sebagai tanda. Jadi, tanda bisa menjadi unsur atau sistem budaya bersama.

Benny H. Hoed juga memaparkan bahwa dalam memahami tanda sebagai objek kajian semiotika, peneliti harus melihatnya berdasarkan tiga jenis dimensi, yaitu:53

1. Dimensi temporal: sinkronis atau diakronis atau dinamis.

2. Dimensi notasional: melihat makna tanda secara denotatif, konotatif atau anotatif (secara individual).

3. Dimensi struktural: pemaknaan dari segi paradigmatik, sintagmatik, atau analogis.

Semiotika dianggap sebagai model yang sangat penting dalam mempelajari sederetan tanda-tanda. Banyak ahli yang sepakat bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semiotika sendiri secara bahasa berasal dari kata Yunani yaitu semeion, yang berarti “tanda”. Kemudian secara

terminologis, Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. 54 Semiotika selalu berkembang seiring dengan banyaknya fenomena sosial dan budaya yang dikomunikasikan melalui seperangkat tanda.

30

Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: FIB UI Depok, 2008), h. 22.

31

(48)

37

Semiotika secara sederhana, selalu berusaha untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “sesuatu”, dan “sesuatu” tersebut dapat berupa isyarat atau

bahasa, atau pula komposisi dalam teks media. Walaupun semiotika dianggap bukan sebagai disiplin ilmu yang pasti, tetapi pengaruhnya pada cara resmi dalam pendekatan teks media cukup dipertimbangkan.55

Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1941) dianggap sebagai dua tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan semiotika. Walaupun keduanya bisa dikatakan hidup di jaman yang sama, namun keduanya berbeda dalam menggunakan istilah semiotika/semiologi. Namun hal itu tidak terlalu menjadi masalah yang serius. Perbedaan istilah ini seperti yang dituliskan oleh Alex Sobur hanya menunjukan perbedaan orientasi.56 Semiologi mengacu kepada tradisi linguistik Eropa yang bermula dari Saussure. Sedangkan semiotika mengacu kepada tradisi filsafat Amerika Serikat yang bermula dari Pierce. Filsuf asal Amerika tersebut memandang semiotika sebagai sinonim atau perluasan logika. Sedangkan Saussure, sebagai seorang sarjana lingusitik, memandang linguistik lebih penting dari kecanggihan logika.

Agar tidak terjadi perbedaan implikasi filosofis dari dua istilah tersebut, maka dalam tulisan ini penulis memilih menggunakan istilah semiotika, karena seperti yang dipaparkan oleh Umberto Eco, hal ini sudah dengan resolusi dari komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969. Dan kemudian dikukuhkan

32

John Hartley, Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, h. 278.

33

(49)

38

oleh Association for Semiotics Studies pada kongresnya yang pertama tahun 1974.57

Bagi Pierce, semiotika adalah tindakan, pengaruh dan kerja sama dari tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant).58 Tanda menurut Pierce, seperti yang dikutip oleh Umberto Eco, adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dipahami oleh Pierce dan para pragmatis lainnya, sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.59 Sesuatu yang dirujuk oleh tanda itu disebut objek. Sedangkan interpretan dipahami sebagai tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh tanda.

Hubungan antara ketiga elemen di atas bisa disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning). Ketika ketiga elemen ini berinteraksi dalam benak manusia, maka munculah makna sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Yang dikupas oleh Pierce dalam teori ini adalah bagaimana makna bisa muncul lewat sebuah tanda ketika tanda tersebut dipakai oleh manusia pada saat berkomunikasi.60

Gagasan dari teori Pierce bersifat menyeluruh. Ia melakukan deskripsi struktural atas semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotika seperti yang maksud oleh Pierce adalah dengan membongkar bahasa secara keseluruhan seperti seorang ahli fisika yang membongkar suatu zat

34

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 13.

35

Ibid., h. 109.

36

Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4.

37

(50)

39

dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaimana semuanya bertemu dalam sebuah struktur.

Dalam tanda, Pierce membagi konsep mengenai qualisigns, sinsigns dan

legisigns. Qualisigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kualitas, atau ia bisa menjadi tanda walau belum mewujud. Qualisigns, bisa dibilang adalah tanda-tanda yang berdasarkan suatu sifat. Contohnya ialah warna „merah‟. Merah memungkinkan dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisign karena merupakan tanda pada suatu bidang yang mungkin. Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk. Misalnya jika berbentuk palang maka berarti adalah lambang dari Palang Merah.

Sinsigns adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan (aktual). Sinsign, adalah tanda yang merupakan representasi tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat menjadi

sinsign. Contoh dari sinsign adalah sebuah jeritan yang bisa berarti kesakitan atau ketakutan.

Kemudian terdapat konsep Legisigns. Legisign adalah sesuatu yang berkaitan dengan kaidah atau prinsip. Legisign, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi. Lampu lalu lintas sebagai contoh, merupakan sebuah legisign. Kemudian bahasa, gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya yang sudah disepakati secara umum dan konvensional adalah merupakan legisign.

Gambar

Gambaran mengenai realitas sosial yang terjadi kemudian mutlak harus dimiliki
gambaran secara
Gambar 1
Gambar 2 Rilis  : 2008

Referensi

Dokumen terkait

PENYEDIA BARANG PENGADAAN LANGSUNG JASA PUBLIKASI DI MEDIA ONLINE BAGIAN HUM AS SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN TA.2015. Pejabat pengadaan Barang/ Jasa kegiatan APBD

Dengan demikian secara keseluruhan pemahaman leksikon lingkungan kelautan dalam bahasa Pesisir Sibolga untuk generasi 21-45 tahun jumlah pemahaman leksikon lingkungan kelautan

Perlu adanya tambahan efek-efek, sehingga game ini terlihat

Kemudian pada model dapat disimpulkan bahwa dalam satu fasa pada saat pasang tertinggi arus bergerak sejajar garis pantai yaitu selatan menuju timur dan timur laut dengan

- Start Game untuk memulai permainan menuju tampilan stage.. - Tutorial untuk melihat petunjuk cara

“ Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Laut Tawar : Kajian Ekolinguistik” (Tesis).. Pascasarjana Universitas Sumatera

Karena di Semarang tidak ada sumber aktivitas radionuklida yang menghasilkan 137 Cs, maka diduga aktivitas yang ada berasal global fallout yaitu buangan Fukushima yang

§ Melakukan perawatan badan dengan sauna § Menggunakan minyak atsiri untuk perawatan spa § Menggunakan aromaterapi pada perawatan spa § Merawat kulit wajah pada spa dengan tehnologi