• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Model Indeks Monsun (Monsoon) Indonesia (IMI) Berbasis Hasil Analisis Data WPR (Wind Profile Radar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Model Indeks Monsun (Monsoon) Indonesia (IMI) Berbasis Hasil Analisis Data WPR (Wind Profile Radar)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL INDEKS MONSUN (MONSOON) INDONESIA (IMI) BERBASIS HASL ANALISIS DATA

WPR (WIND PROFILE RADAR)

ROBBI SUDIANTORO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(2)

Pengembangan Model Indeks Monsun (Monsoon) Indonesia (IMI) Berbasis Hasil Analisis Data WPR (Wind Profile Radar). Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN S.Si .M.Si dan Dr. Ir. EDDY HERMAWAN, M.Sc.

(3)

ABSTRACT

ROBBI SUDIANTORO. Development of Model Indonesian Monsoon Index (IMI) Based on Result Analysiof WPR (Wind Profile Radar) Data. Under direction of SONNI SETIAWAN, S.Si .M.Si and Dr. Ir. EDDY HERMAWAN, M.Sc.

There are three regions as a heat source to drive a circulation in the equatorial namely South America, Africa, and Indonesian. Indonesian in a geographyc is a unique country. Because in the cross two continental (Asia continental and Australian continental) and two ocean (Hindian ocean and Pacific ocean). Until Indonesian climate is dominated by Monsoon to have one year of cycle. Development of model in one of purpose to easier in predicted climate in the future is seldom done. So throught the research are model can be used Monsoon prediction especially in Indonesia. This research to used a WPR in three city, Pontianak, Manado, and Biak with supporting data is global climate that ISMI (Indian Summer Monsoon Index), WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index), and AUSMI (Australian Monsoon Index). The results of this research are the linkage between the WPR with global climate data, so AUSMI data to selected which oscillate around 12 months. The powerfull of correlation in the fist period (November 1, 2007 – January 30, 2008) is AUSMI in Pontianak and Biak with the correltion 0.486 and 0.599. whereas second period (Desember 7, 2008 – March 7, 2009) AUSMI dominant in Pontianak with correlation value 0.21 and ISMI dominant in Biak with correlation value 0.419. Furthermore with bifilar linier regression analysis to made model for the period with model like

(4)

WPR (WIND PROFILE RADAR)

ROBBI SUDIANTORO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institute Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(5)

Judul : Pengembangan Model Indeks Monsun (Monsoon) Indonesia (IMI) Berbasis Hasil Analisis Data WPR (Wind Profile Radar)

Nama : Robbi Sudiantoro NRP : G24061098

Disetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Sonni Setiawan, S.Si M.Si Dr Ir. Eddy Hermawan, M.Sc NIP. 19760116 2006041 1 006 NIP. 19620128 199003 1 003

Mengetahui: Ketua Departemen,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002

(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkah dan rahmatnya dan sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulisan skripsi ini yang berjudul “ Pengembangan Model Indeks Monsun Indonesia (IMI) Berbasis Hasil Analisis Data WPR (Wind Profile Radar)” dapat terselesaikan dengan baik dan semoga dapat membawa kemanfaatan kedepannya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sonni Setiawan, S.Si M.Si selaku pembimbing I dari departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah memberikan masukan dan pengarahan kepada penulis dan Bapak Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc selaku pembimbing II dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah membagi ilmu pengetahuan, arahan, masukan dan memiliki amdil yang besar dalam penyelesaian skripsi penulis. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua saya tercinta: Bapak Sardjuni dan Ibu Ruminah. Saudara dan saudari saya Mas Ardi Raditio dan Nurul Fatikah. Atas dukungan, motivasi dan pengingatnya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku ketua bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer. 3. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendi, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan perhatian

dan dukungan.

4. Bapak Sonni Setiawan, S.Si M.Si dan Dr. Ir. Eddy Hermawan, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak mengajarkan berbagai hal serta saran dan perhatiannya selama penyelesaian tugas akhir ini.

5. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen Geofisika dan Meteorologi atas bantuan dalam perkuliahan dan saran-saran penelitian.

6. Bapak Prof. Dr. Ir Yonni Koesmaryono, M.S. selaku pembimbing akademik 7. Segenap civitas LAPAN Bandung

8. Segenap civitas GFM FMIPA; Ibu Indah, Mas Azis, Pak Jun, Pak Pono, Mba Wanti, Mba Icha, Pak Khaerun, Pak Udin, serta seluruh staff dosen dan pengajar atas bimbingan dan kuliah selama ini.

9. Teman-teman senior GFM atas bantuan dan pengingatnya baik langsung maupun tidak langsung.

10. Teman-teman GFM 43; Abie, Amel, Anang, Ariyani, Chris, Daniel, Debo, Desi, Devi, Dian, Diana, Diki, Dinda, Dipa, Egi, Eno, Fajar, Gema, Gilang, Hilda, Icha, Isa, Lastri, Legran, Lutfi, Maya, Neny, Prasasti, Rahmi, Ray, Rendi, Ria, Ridwan, Rika, Rizki, Sandro, Sarah, Tara, Tia, Titik, Uji, Willy, Yuli, dan Zahe selama masa perkuliahan.

11. Teman-teman di Pondok Al Izzah yang banyak memberikan pengalaman yang sangat bermanfaat.

12. Adik-adik Etoser 44, 45, 46, 47, 48 dan manajemen Etos daerah serta pusat yang banyak memberikan semangat dan inspirasi. Terima kasih telah banyak mengajarkan kedewasaan diri dan arti perjuangan.

Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi yang besar selama di masa perkuliahan dan pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini ada keberkahan dan dapat memberikan manfaat.

Bogor, Mei 2012

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada taggal 11 Mei 1988, dari pasangan Bapak Sardjuni dan Ibu Ruminah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan penulis yang telah ditempuh penulis antara lain Tk Miftahul Jannah lalu dilanjutkan ke MI Miftahul Jannah setelah lulus melanjutkan ke SMP N 179 Jakarta setalah lulus melanjutkan ke SMA N 98 Jakarta dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan mengambil program studi Meteorologi Terapan, departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Serambi Ruhiyah Mahasiswa FMIPA (SERUM G) dan manajemen Beastudi Etos Dompet Duafa. Serta berbagai kepanitiaan lain yang dilaksanakan di tingkat departemen, fakultas maupun kampus.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Monsun ... 1

2.2 Iklim Indonesia ... 3

2.3 Kondisi Kota Pontianak, Manado, dan Biak ... 4

2.3.1 Kota Pontianak ... 4

2.3.2 Kota Manado ... 5

2.3.3 Kota Biak ... 5

2.4 Monsun di Indonesia ... 5

2.5 Struktur Lapisan Atmosfer ... 6

2.6 Metode Analisis Spectral ... 8

2.6.1 Wavelet ... 8

2.6.2 Power Spectral Density (PSD) ... 8

2.7 Metode Analisis Statistik ... 8

BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

3.2 Alat dan Data yang Digunakan ... 9

3.2.1 Alat yang Digunakan ... 9

3.2.2 Data yang Digunakan ... 9

3.3 Metode Penelitian ... 9

3.3.1 Analisis Spectral ... 9

3.3.2 Analisis Time Series ... 9

3.3.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 9

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Spectral ... 10

4.1.1 Analisis Jangka Panjang ... 10

4.1.2 Analisis Jangka Pendek ... 15

4.1.2.1 Periode I (1 November 2007 – 30 Januari 2008) ... 16

4.1.2.2 Periode II (7 Desember 2008 – 7 Maret 2009) ... 17

4.2 Analisis Time Series ... 18

4.3 Analisis Statistika ... 20

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 23

(9)

i

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Spesifikasi WPR ... 8 2 Nilai CCF kota Pontianak dan Biak dengan iklim global pada periode

I November 2007 – 30 Januari 2008 ... 21 3 Nilai CCF kota Pontianak dan Manado dengan iklim global pada periode

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Pola Monsun Asia dan Monsun Australia dilihat dari pergerakan

matahari sepanjang tahun (22180.com) ... 2

2 Pola curah hujan di Indonesia (Kadarsah.wordpress.com) ... 3

3 Struktur atmosfer Bumi (tandiarrang.blogspot.com) ... 7

4 Diagram alir penelitian ... 10

5 Power Spectral Density tiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 11

6 Wavelet angin zonal (850 mb) di Pontianak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 11

7 Wavelet angin zonal (850 mb) di Manado dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 12

8 Wavelet angin zonal (850 mb) di Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 12

9 Power Spectral Density iklim global (ISMI, WNPMI, dan AUSMI) dan tiga kota (Pontianak, Manado, dan Biak) dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 14

10 Data NCEP reanalysis periode penelitian angin Zonal Januari 2007 sampai dengan Juli 2009 dari NOAA ... 15

11 Puncak-puncak yang terdapat di tiga kota dari data WPR (Wind Profiling Radar) ... 16

12 Wavelet angin zonal (850 mb) di Pontianak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 16

13 Wavelet angin zonal (850 mb) di Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 17

14 Wavelet angin zonal (850 mb) di Pontianak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 17

15 Wavelet angin zonal (850 mb) di Manado dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 18

16 Time Series iklim global (ISMI,WNPMI,AUSMI) periode Januari 2007 – Juli 2009 ... 19

17 Time Series tiga kota (Pontianak, Manado, dan Biak) periode Januari 2007 – Juli 2009 dari data Wind Profiling Radar (WPR) ... 20

18 Time Series perbandingan angin Zonal data observasi dengan data model pada kota Biak pada periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 22

(11)

iii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Time Series perbandingan angin Zonal data observasi dengan model di

kota Manado periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 25

2 Time Series perbandingan angin Zonal observasi dengan model di kota Pontianak periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 25

3 Time Series ... 26

4 Power Spectral Density ... 26

5 Wavelet ... 26

6 Cross Correlation ISMI dengan Pontianak Periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 29

7 Cross Correlation AUSMI dengan Pontianak Periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 29

8 Cross Correlation WNPMI dengan Pontianak Periode satu 1 November 2007 – 30 Januari 2008 ... 30

9 Cross Correlation ISMI dengan Manado Periode dua 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 30

10 Cross Correlation AUSMI dengan Manado Periode dua 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 31

11 Cross Correlation WNPMI dengan Manado Periode dua 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 31

12 Cross Correlation AUSMI dengan Pontianak Periode dua 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 32

13 Cross Correlation AWNPMI dengan Pontianak Periode dua 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009 ... 32

14 Model daerah Pontianak perbulan ... 33

15 Model daerah Manado perbulan ... 34

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monsun memainkan peranan yang sangat penting terhadap iklim di Indonesia. Mekanisme pembentukan dan pengaruhnya sangat menarik untuk dikaji lebih dalam terutama di kawasan ekuator. Karena kawasan ekuator mengindikasikan sebagai dinamo atmosfer global.

Secara global terdapat tiga kawasan penting dunia sebagai tempat perubahan iklim global, salah satunya adalah Negara Indonesia. Dua diantaranya merupakan daratan sekitar kawasan hutan hujan di Congo di ekuator Afrika dan kawasan Amazon di Amerika Selatan. Hal ini disebabkan Indonesia dikelilingi oleh lautan sehingga menyebabkan pada kawasan ini diduga sebagai penyimpanan panas terbesar baik yang sensible maupun yang laten (tersembunyi) bagi pembentukan awan-awan Cumulus, seperti Cumulunimbus (Hermawan 2002).

Wilayah Indonesia yang merupakan sebuah Negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai garis pantai 80.791 km dan terdiri dari 17.508 pulau baik besar maupun kecil. Selain itu, wilayah Indonesia terdapat dipersilangan samudra dan benua. Bagian timur laut terdapat Samudra Pasifik dan bagian barat daya terdapat Samudra Hindia. Sedangkan dibagian barat laut terdapat benua Asia dan dibagian tenggara terdapat benua Australia.

Indonesia yang masuk pada daerah lintang 100 Utara dan 100 Selatan atau daerah yang dibatasi oleh vortisitas bumi 2,5 x 10-5 s-1. Sehingga jelas bahwa Benua Maritim Indonesia termasuk dalam daerah ekuatorial. Pada daerah ekuatorial terdapat surplus energi untuk segala musim dan jumlah curah hujannya maksimum.

Letak Indonesia yang berada pada daerah equator dan berada di persimpangan benua dan samudra menyebabkan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena global. Fenomena global tersebut seperti dipole mode, ENSO, MJO, Asia Monsoon dan Australia Monsoon. Fenomena global yang mempengaruhi Indonesia tersebut memiliki siklus bervariatif dari 30-45 harian hingga 3 tahunan. Namun, fenomena yang dominan mempengaruhi Indonesia yaitu Monsun dengan osilasi sekitar 12 bulan.

Sejatinya, sistem iklim Monsun tidak berbeda dengan sistem pada pergerakan angin darat dan angin laut. Namun, iklim

Monsun ini melingkupi benua dan samudra. Sehingga masuk pada skala global. Sistem ini terbentuk karena adanya perbedaan tekanan antara daratan dan lautan dalam skala yang luas. Sehingga menyebabkan perubahan arah angin dengan osilasi antara 6-12 bulan. Di dunia ini terdapat beberapa jenis Monsun, tapi di Asia Tenggara pengaruh Monsun lebih tegas (Tjasjono 1999).

Sehingga dibutuhkan indeks Monsun yang sesuai untuk kawasan Indonesia. Pada penelitian ini digunakan data WPR (Wind Profiling Radar) dari tiga kota yaitu, Pontianak, Manado, dan Biak. Pemanfaatan data WPR diharapkan mampu untuk mengkaji atau menganalisis indeks Monsun Indonesia. Sehingga dapat memudahkan berbagai bidang untuk memanfaatkan informasi terkait indeks Monsun Indonesia. Level angin yang digunakan dalam penelitian ini adalah angin zonal, yaitu pada ketinggian sekitar 1.5 Km atau pada tekanan sekitar 850 mb.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui peran data indeks Monsun

global terhadap perilaku data angin Zonal di atas Pontianak, Manado, dan Biak.

2. Mengetahui atau mengkaji diantara ketiga indeks Monsun global yang relatif dominan terhadap data angin Zonal di atas Pontianak, Manado, dan Biak. 3. Mendapatkan satu model regresi linier

berganda untuk kawasan Pontianak, Manado, dan Biak.

II. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Monsun

(13)

2

Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang 1984).

Terdapat dua ciri utama iklim Monsun, yaitu adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada bulan Desember, Januari, Februari (DJF) dan Juni, Juli, Agustus (JJA) (Chao et all 2001). Terdapat tiga mekanisme

Pada garis khatulistiwa, angin yang berada dibawah pengaruh efek coriolis akan berhembus ke kanan dan tertarik ke arah sel tekanan rendah dan menjadi angin Monsun barat-daya yang kuat dan yang membawa hujan deras ke selatan, ke Asia Tenggara dan Timur pada saat angin itu bergerak ke

arah selatan. Di dekat Jepang, angin tersebut berayun ke arah timur laut dan bergerak ke arah kawasan kutub (Riwu 2009).

Menurut Ramage (1971) daerah Monsun ditandai oleh;

1. Arah angin utama berubah sekurang-kurangnya 1200 dari bulan Januari dan Juli

2. Rata-rata keseringan (frequensi) angin utama dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%

3. Rata-rata resultan angin dalam sebulan lebih dari 3 m/s

4. Sekurang-kurangnya satu siklon-antisiklon terjadi bergantian di daerah 50 lintang dan bujur.

Pada musim dingin, massa udara mengalir dari pusat tekanan udara tinggi ke pusat tekanan udara rendah ke arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang. Massa udara yang ke arah tengggara mengalami konvergensi di Laut Cina Selatan dengan massa udara timur dari Samudra Pasifik (Ding Y etc all 2004). Kemudian dua massa udara (massa udara yang mengalami konvergensi dan massa udara yang ke arah selatan) bergabung menuju tenggara dan membentuk Monsun timur laut dan selanjutnya menjadi baratan di Indonesia (setelah melewati equator) (Jhuan JP 2003).

Angin Monsun pada musim panas berasal dari 3 sumber udara yaitu, pertama massa udara Samudra Hindia yang bersifat lembab, hangat, dan mengalami konvergensi

setelah mendekati equator. Kedua bersumber dari tekanan tinggi Benua Australia, massa sumber udara ini memiliki sifat lembab dan tidak stabil. Ketiga bersumber dari Samudra Pasifik, massa udaranya bersifat lembab, hangat, dan lebih stabil namun ketika melewati Samudra massa udaranya menjadi tidak stabil.

Dalam pengertian iklim klasik Indonesia, bulan Januari semestinya termasuk dalam periode Monsun Asia. Kenyataannya, berdasarkan analisis angin ECMWF 850 mb. Monsun Asia ada pada Gambar 1 Pola Monsun Asia dan Monsun Australia dilihat dari pergerakan matahari

(14)

bulan NDJFM. Daerah yang paling berdekatan dengan asal Monsun Asia (Kepulauan Riau) justru memiliki curah hujan yang lebih rendah. Sedangkan jika dilihat dari analisis angin, daerah ini memang mensuplai massa udara basah tetapi kecepatan angin terlalu tinggi sehingga mengurangi kemungkinan hujan di daerah tersebut. Jika melihat posisi Indonesia yang berada di equator maka pertukaran kelembaban, panas, dan momentum antara permukaan atmosfer dengan lapisan di atasnya dan antara laut dengan atmosfer yang memiliki arti penting dalam pembentukan awan berlangsung di lapisan batas atmosfer. Sehingga kajian tentang lapisan ini sangat penting terutama kaitannya dengan konveksi. Konveksi di Indonesia aktif pada siang hari, yang ditandai dengan nilai maksimum OLR pada tengah hari sesaat setelah terjadi radiasi

maksimum matahari. Aktivitas konveksi lautan lebih aktif dibanding dengan daratan dan dengan variasi yang besar (Kadarsah 2008).

Iklim Monsun ini dipengaruhi oleh gerak semu matahari yang setiap enam bulan berganti posisi. Pada sekitar awal bulan Oktober sampai bulan April matahari berada di belahan bumi selatan dan pada bulan Maret sampai bulan Agustus matahari berada di belahan bumi utara. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tekanan antara bumi belahan utara dan selatan. Ketika matahari berada di belahan selatan, maka angin akan bergerak dari utara ke selatan dimana bumi belahan utara sedang mengalami musim dingin sedangkan selatan musm panas. Sehingga pada saat itu posisi silang benua dan samudra berperan dalam pergerakan angin.

2.2 Iklim Indonesia

Iklim merupakan keseluruhan cuaca yang meliputi jangka waktu panjang di suatu wilayah, biasanya diikhtisarkan menurut rata-rata dan ukuran statistik keragaman. Unsur-unsur utama iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, tekanan udara, angin, dan intensitas matahari (Handoko 1995).

Indonesia yang memiliki kompleksitas atmosfer yang ditandai oleh pertemuan tiga sirkulasi yaitu meridional (Hadley), zonal (Walker), dan sirkulasi konveksi dalam periode normal. Wilayah Indonesia termasuk daerah equatorial yang dikenal sebagai daerah yang konveksinya paling aktif dibandingkan daerah-daerah equatorial dunia.

Wilayah Indonesia menerima sinar matahari yang sangat tinggi, karena berada

di equator atau daerah khatulistiwa. Tetapi berbeda suhunya antara siang dan malam, walaupun tidak seekstrim daerah gurun pasir. Namun, perbedaan suhu pada malam dan siang hari memberi ciri yang kuat berupa variasi harian unsur cuaca, terutama pada suhu, tekanan, angin, dan kelembaban (Wirdjohamidjojo 2010).

Karakteristik utama wilayah Indonesia adalah campuran antara permukaan darat dan laut yang membentuk benua maritim. Distribusi darat-laut, variasi ukuran pulau dan karakter pegunungan menyebabkan variasi iklim lokal cukup besar, terutama bergantung pada ketinggian tempat dan eksposur terhadap Monsun.

(15)

4

Musim hujan dipengaruhi oleh Monsun barat yang membawa uap air dari Laut Cina Selatan. Sedangkan musim kemarau dipengaruhi oleh Monsun timur yang tidak mengandung uap air, sehingga membawa udara kering menuju Indonesia.

BMG berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga pola hujan, yaitu:

1. Pola hujan Monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dengan periode musim kemarau.

2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam criteria musim hujan. Pola ini mengalami dua puncak sekitar bulan Maret dan Oktober.

3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola Monsun. Pola lokal ini dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi benttuknya berlawanan dengan tipe huja Monsun.

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun, masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000-3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.

Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi, yaitu;

1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0.6% dari luas wlayah Indonesia diantaranya Nusa Tenggara, Palu, dan Luwak.

2. Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000-2000 mm/tahun diantaranya sebagian Nusa Tenggara, sebagian kecil Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan

tahunan antara 2000-3000 mm/tahun meliputi Sumatra Timur, Kalimantan Selatan dan Timur, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku, dan sebagian besar Sulawesi.

4. Daerah yang mendapat curah hujan yang lebih dari 3000 mm/tahun meliputi daratan tinggi di Sumatra Barat,

Kalimantan Tengah, daratan tinggi Irian Jaya bagian tengah, beberapa daerah di JAwa, Bali, Lombok dan Sumba.

Sumber lain yaitu Eguich (1988-yang dikutip Yamanaka) dengan menggunakan data 669 stasiun hujan membagi Indonesia dalam tiga wilayah (tidak termasuk Irian Jaya), yaitu;

1. Jawa-Bali-Nusa Tenggara, yang musim hujannya lebih pendek dari musim kemarau, bersamaan dengan musim barat di Australia. Semakin ke timur semakin sedikit curah hujannya.

2. Sumatra dan Kalimantan bagian barat, yang mempunyai maksimum curah hujan dua kali dalam musim panas di belahan Bumi selatan (Oktober – Februari). 3. Kalimantan bagian timur, Sulawesi, dan

Maluku yang mempunyai satu atau dua kali periode hujan dengan maksimum bulanannya terdapat dalam bulan musim semi atau musim panas di belahan bumi utara (Maret – Juli) dan dikuasai oleh pasat Pasifik yang membawa hujan sedikit.

2.3 Kondisi kota Pontianak, Manado, dan Biak

2.3.1 Kota Pontianak

Kota Pontianak merupakan Ibukota Propinsi Kalimantan Barat yang terdiri dari 6 (enam) Kecamatan dan terbagi menjadi 29 (dua puluh sembilan) kelurahan dengan luas 107,82 Km2. Kota Pontianak terletak pada lintasan garis Khatulistiwa dengan ketinggian berkisar antara 0.10 meter sampai dengan 1.50 meter di atas permukaan laut.

Kota Pontianak dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak dengan lebar = 400 Meter, kedalaman air antara 12 sampai dengan 16 meter, sedangkan cabangnya mempunyai lebar 250 meter. Tinggi permukaan tanah dari permukaan alut antara 0,8 sampai dengan 1,5 meter.

(16)

hari hujan rata-rata per bulan berkisar 15 hari.

Kota Pontianak terletak pada garis lintang 00 bertepatan dengan garis Khatulistiwa dan 1090, 20 menit, 00 detik

Kota Manado terletak diantara 1030’ – 1040’ Lintang Utara dan 1240 40’ – 1260 50’ Bujur Timur. Secara administrasi kota Manado terbagi kedalam sembilan wilayah kecamatan dan delapan puluh tujuh kelurahan/desa. Kota Manado memiliki luas wilayah sebesar 157,26 Km2. Kota Manado memiliki topografi tanah yang bervariasi untuk tiap kecamatan. Secara keseluruhan kota Manado sebesar 92,15 persen dari luas wilayah Kota Manado terletak pada ketinggian 0 – 240 dari permukaan laut. Hal ini disebabkan tekstur alam kota Manado yang berbatasan dengan pantai dan dengan kontur tanah yang berombak dan bernukit.

Sebagai daerah yang terletak di garis Khatulistiwa, maka kota Manado hanya mengenal dua musim yaitu musim basah dan musim kemarau. Curah hujan di suatu tempat antara lain tentukan oleh keadaan iklim, keadaan orographi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan. Berdasarkan pengamatan di Stasiun Meteorologi Manado, rata-rata curah hujan selama tahun 2007 berkisar antara 67 mm (bulan September) sampai 574 mm (bulan Januari).

Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Pada tahun 2007, suhu udara rata-rata pada siang hari berkisar antara 31,6 0C sampai 34,9 0C, sedangkan suhu udara pada malam hari berkisar antara 19,1 0C sampai 22 0C. Suhu udara maksimum terdapat pada bulan Oktober 34,9 0C, sedangkan suhu udara minimum terdapat pada bulan September 19,1 0C. Kota Manado mempunyai kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata berkisar antara

71 persen pada bulan September sampai 86 persen pada bulan Januari – Februari.

2.3.3 Kota Biak

Wilayah administrasi kabupaten Biak Numfor dibentuk oleh kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil. Letak geografisnya dekat dengan lintang 00 Khatulistiwa dan dikelilingi oleh Samudra Pasifik. Secara umum pola iklim dipengaruhi oleh Monsun dan maritime, dimaa besaran pengaruhnya adalah pada maritimnya. Sebagai akibatnya, curah hujan yang jauh relatif merata sepanjang tahun, sehingga batas antara musim kemarau dan musim penghujan di kabupaten Biak Numfor tidak tampak tegas. Secara umum curah huja tahunan di Biak Numfor rata-rata 309,3 mm.

Suhu rata-rata di kabupaten Biak Numfor mencapai 25,5 0C dengan iklim kisaran rata-rata antara 21 0C sampai dengan 32 0C. Tingkat kelembaban udara di wilayah kabupaten Biak Numfor sangat tinggi, yaitu berkisar antara 85 % - 88% dengan kecepatan angin 3,2 knot. Penyinaran matahari rata-rata mencapai 49% - 62%, sehingga kabupaten Biak Numfor termasuk dalam daerah dengan iklim panas sedang.

Keadaan topografi kabupaten Biak Numfor sangat bervariasi mulai daerah pantai yang terdiri dari dataran rendah dengan lereng dan landai sampai dengan daerah pedalaman yang memiliki kemiringan terjal. Berdasarkan ketinggiannya, kabupaten Biak Numfor berada pada ketinggian 0 sampai dengan 92 meter dari permukaan laut. Ketinggian daerah pantai sebesar 0 – 5 dpl, seperti daerah pantai pada Pulau Biak dan Pulau Numfor. Sedangkan ketinggian daerah pedalamannya sendiri untuk Pulau Biak 10 – 600 m dpl dan Pulau Numfor 10 – 201 m dpl.

Secara morfologi, Pulau Biak terbagi dalam 3 satuan, yaitu daratan, daerah bergelombang, dan perbukitan. Daerah daratan dengan tingkat kemiringan 0 -2 % dengan luas kira-kira 5% dari total luas Pulau Biak.

2.4 Monsun di Indonesia

(17)

6

Monsunal Indonesia. Misalnya, pada waktu Asia musim dingin di sebagian besar Indonesia terjadi musim angin barat (musim barat) dan sebagian kecil di bagian barat terjadi musim angin timur laut (musim timur laut), dan ketika Asia musim panas, disebagian besar Indonesia terjadi musim angin timur tenggara (musim timur) dan sebagian kecil dibagian barat terjadi musim angin barat daya (musim barat daya) (Wirjohamidjojo 2010).

Musim barat seperti diketahui membawa uap air dari Laut Cina Selatan, sehingga menyebabkan Indonesia mengalami musim hujan. Sedangkan musim timur membawa udara kering karena berasal dari wilayah Australia yang sebagian besar gurun dan hanya dibatasi selat kecil antara wilayah Indonesia dengan Australia, sehingga menyebabkan Indonesia terutama Indonesia bagian selatan dan timur mengalami musim kering. Menurut Wirjohamidjojo, selama Monsun barat, PPAT (Pias Pumpun Antartropik) / ITCZ terdapat di kawasan Indonesia. Sedangkan dalam musim timur berada di luar sebelah utara. Mulai masuk Indonesia sekitar bulan November dan bergerak umumnya dari utara ke selatan sampai bulan Januari. Kemudian kembali ke utara, tetapi gerak hariannya tidak tetap ada kalanya hari ini ke utara besoknya ke selatan dan sebaliknya.

Wirjohamidjojo menyebutkan awal Monsun (southwest monsoon) di suatu tempat ditandai dengan:

1. ITCZ berada di tempat tersebut 2. ITCZ bergerak terus ke utara 3. Datangnya ITCZ ditandai dengan;

a. Angin baratan (westerly) disebelah selatan ITCZ dengan kecepatan sekitar 20 knot; tebal lapisan angin baratan sampai 6 km dari permukaan laut

b. Palung khatulistiwa berimpit dengan ITCZ

c. Terjadi hujan lebat dan badai Guntur Surutnya Monsun (southwest monsoon) di suatu tempat ditandai dengan: 1. ITCZ mulai bergerak ke selatan, berawal

dari akhir bulan Agustus, mulai dari utara dan sekitar tanggal 15 Oktober Monsun timur laut berakhir di semua tempat. Tetapi di ujung selatan semenanjung daratan India hujan masih ada meskipun tidak ada kaitannya dengan ITCZ melainkan berkaitan dengan palung khatulistiwa.

2. Sering disertai dengan kilat dan guntur.

3. Paling akhir Monsun barat daya mulai 18 Juni (197).

Bila Monsun panas (southwest monsoon) kuat dan banyak hujan di pantai barat India, musim kemarau di Indonesia mundur dan kering sebaliknya jika southwest monsoon lemah. Namun, Monsun Asia Tenggara terutama Monsun timurlaut yang berbeda dengan Monsun di India memiliki pengaruh yang lebih dominan bagi Indonesia. Ternyata pemanasan musiman di atas Kalimantan yang ditutupi hutan hujan tropis, mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan timbulnya Monsun panas Asia (Murakamin T dan J Matsumoto 1994).

Di Indonesia di kenal dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan berkaitan dengan Monsun (Monsun barat). Pun dengan musim kering juga dipengaruhi oleh Monsun (Monsun timur). Pengkajian tentang Monsun telah lama dilakukan, antara lain oleh Walker (1924), Ramage (1967) dan lainnya. Demikian juga pengkajian mengenai hubungan dan kaitan antara Monsun Asia dan Australia dengan sistem cuaca dan iklim di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Boerema (1926), de Boer (1948).

2.5 Struktur Lapisan Atmosfer

Atmosfer merupakan selimut yang menyelimuti dan melindungi Bumi dari pengaruh radiasi maupun benda asing di luar Bumi dengan ketebalan lebih dari 650 km. Gerakan udara yang terjadi pada atmosfer terjadi karena pengaruh pemanasan oleh sinar matahari dan perputaran Bumi (rotasi). Tiap lapisan yang menyelimuti Bumi memiliki sifat dan fungsinya masing-masing.

1. Troposfer

Lapisan ini merupakan lapisan yang paling bawah, berada antara permukaan Bumi sampai 8 km di daerah kutub dan 16-18 km di daerah equator. Pada lapisan ini tempat terjadinya dinamika cuaca dan lapisan yang bersentuhan langsung dengan makhluk hidup.

2. Stratosfer

Pada lapisan ini terdapat lapisan ozon yang berguna untuk menyerap radiasi ultraviolet, sehingga hanya sebagian kecil saja yang diteruskan ke permukaan Bumi. Lapisan ini tidak mengandung uap air, sehingga lapisan ini hanya mengandung uap kering.

(18)

Lapisan tengah yang mengalami penurunan suhu seiring dengan kenaikan ketinggian.

4. Thermosfer

Lapisan terluar yang bersentuhan langsung dengan udara vakum dan merupakan lapisan pertama yang melindungi Bumi dari radiasi dan pengaruh benda asing.

Dari pembagian lapisan pada

atmosfer, dapat dibagi lagi dengan melihat pola suhu. Ana Turyanti dan Sobri Effendy (2006) dalam pengantar meteorologi membagi lapisan atmosfer Bumi menjadi 3 bagian berdasarkan pola suhu.

1. Pola lapse rate yakni pola turunnya suhu udara dengan bertambahnya ketinggian dari permukaan, pola ini berlaku di lapisan Troposfer dan Mesosfer. Secara matematis ditulis sebagai: dT/dZ < 0 2. Pola isothermal yakni pola suhu udara

yang relative konstan pada berbagai ketinggian. Pola ini terjadi di lapisan langit-langit atmosfer seperti; Tropopause, Stratopouse, dan Mesopouse. Secara sistematika dituliskan sebagai: dT/dZ = 0

3. Pola inverse merupakan pola naiknya suhu udara dengan bertambahnya ketinggian. Pola ini terjadi di lapisan Stratosfer dan Thermosfer. Secara matematika dituliskan sebagai: dT/dZ > 0.

Pola lapse rate terjadi naiknya udara membutuhkan energi, sementara energi yang digunakan adalah energi yang dikandung oleh udara itu sendiri, sehingga terjadilah pengurangan energi yang menyebabkan turunnya nilai suhu udara. Pada lapisan

langit-langit atmosfer, pola yang terjadi menjadi netral, artinya tidak dipengaruhi oleh ketinggian lapisan, sehingga lapisan ini dijadikan sebagai lapisan pembatas.

Pada lapisan, bertambahnya nilai suhu udara diduga didapatkan dari proses yang terjadi pada ke dua lapisan yakni Stratosfer dan Thermosfer. Pada lapisan Stratosfer terjadi pengurangan ozon (O3) oleh radiasi ultra violet menjadi O2 + O

sehingga terjadi hamburan energi yang menyebabkan udara mengalami peningkatan dan hal ini terjadi dengan peningkatan ketinggian. Pada lapisan Thermosfer banyaknya kejadian kelistrikan, sehingga setiap kandungan gas di udara berwujud ion-ion yang dikenal sebagai proses ion-ionisasi. Proses ini menghamburkan banyak energi, sehingga menyebabkan bertambahnya nilai suhu udara dengan makin bertambahnya ketinggian.

2.6 Metode Analisis Spectral

2.6.1 Wavelet

(19)

8

Analisis wavelet dapat digunakan untuk menunjukkan kelakuan sementara pada suatu sinyal, misalnya dalam bidang geofisika (sinyal seismik), fluida, medis dan lainnya. Metode transformasi wavelet ini dapat digunakan untuk meningkatkan mutu kualitas data, mendeteksi kejadian-kejadian tertentu, serta pemampatan data (Foster 1994). Selain itu, transformasi wavelet juga dapat digunakan untuk analisis sinyal-sinyal non-stasioner (sinyal yang kandungan frekuensinya bervariasi terhadap waktu, karena berkaitan dengan kemampuannya untuk memisah-misahkan berbagai macam karakteristik pada berbagai skala (Anant 1997).

2.6.2 Power Spectral Density (PSD) Radar yang dibangun dalam payung kerja sama antara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Radio Science for Space and Atmosphere (RASC), Universitas Kyoto, Jepang. Telah dimulai pengoperasiannya sejak tanggal 26 Juni 2001 setelah diremsikan pembukaannya oleh Menteri Riset dan Teknologi Dr AS Hikam. Pembangunan radar ini dipicu oleh pemahaman para ahli bahwa secara khusus, atmosfer di atas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah di khatulistiwa lainnya.

Spesifikasi Radar Atmosfer Khatulistiwa (RAK) yaitu merupakan pengembangan dari BLR yang merupakan Doppler Pulse monostatik radar yang beroperasi pada frekuensi sekitar 47 MHz dengan menggunakan three-element Yagi antenna squered array sebanyak 560 buah pada ketinggian sekitar 900 m dari permukaan laut.

Wind Profile Radar (WPR) adalah salah satu instrument yang dapat mengamati gerakan udara pada berbagai lapisan atmosfer (khususnya troposfer) dengan ketelitian dan resolusi waktu yang tinggi. WPR dapat memberikan struktur tiga dimensi dari arah dan kecepatan angin dari tiap lapisan atmosfer secara realtime.

BPPT saat ini memiliki tiga unit WPR yang berlokasi di tiga kota strategis, umumnya berada di dekat khatulistiwa (ekuator) untuk mengamati karakteristik arah dan kecepatan angin pada berbagai lapisan atmosfer untuk daerah ekuator tropis. Kota-kota tersebut adalah; Pontianak, Manado, dan Biak.

Tabel 1 Spesifikasi WPR

Property Value

Center Frequency 1357.5 MHz Antenna Active Phased Array Aperture 3.5 m2 (2.5 m in diameter) Beam Width 6 degrees

Beam Directions (Azimuth, Zenith) = (0.0),(0.10), (90,10),(180,10),(270,10) Polarization Linear

Transmitter Transistor Aplifier (A-class) Peak Power 2100 W

Average Power 700 W (Maximum) Band Width 15 MHz (Maximum)

Pulse Length 2/3, 1, 4/3, 2, 4 micro sec (variabel) IPP 50, 80, 100, 120, 200 micro sec

(variabel)

Observation Range 300 -5000 m (typical)

2.7 Metode Analisis Statistik Korelasi Silang

Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi/hubungan (measures of association). Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang mengacu pada sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel. Diantara sekian banyak teknik-teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik korelasi yang sangat popular sampai sekarang, yaitu korelasi Pearson product Moment dan korelasi Rank Spearman. Selain kedua teknik tersebut, terdapat pula teknik-teknik korelasi lain, seperti Kendal, Chi-Square, Phi Coefficient, Goodman_Kruskal, Somer, dan Wilson.

Selain itu, korelasi juga merupakan derajat keeratan hubungan (kuat lemahnya hubungan) dapat dilihat dari tebaran datanya. Semakin rapat lebarnya, semakin kuat hubungannya dan sebaliknya semakin melebar tebarannya menunjukkan hubungannya semakin lemah.

Nilai korelasi (r) berkisar 0 sampai 1 atau bila disertai arahnya nilai antara -1 sampai +1. Nilai korelasi 0 menandakan tidak adanya hubungan linier, nilai korelasi -1 menandakan hubungan linier negatif sempurna demikian juga dengan +1 yang menyatakan bahwa hubungan linier positif sempurna. Menurut Colton, kekuatan hubungan 2 variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam 4 area, yaitu;

(20)

4. r = 0.76 – 1: hubungan sangat kuat/sempurna

Dalam korelasi sempurna, tidak diperlukan lagi pengujian hipotesis, karena kedua variabel mempunyai hubungan linier yang sempurna. Artinya variabel X mempengaruhi variabel Y secara sempurna.

Menurut Makridakis 1983 menyatakan bahwa seringkali terjadi bahwa dua variabel dikaitkan satu sama lain walaupun mungkin tidak selalu benar bahwa nilai suatu variabel tergantung pada atau disebabkan oleh perubahan nilai variabel yang lain. Pada setiap kejadian, suatu hubungan dapat dinyatakan dengan perhitungan korelasi antara dua variabel.

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2009 sampai bulan Januari 2012, bertempat di LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) Bandung dan Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer GFM kampus IPB Dramaga.

3.2 Alat dan Data yang Digunakan 3.2.1 Alat yang Digunakan

1. PC (Personal Computer)

2. Software Ms.Excel dan Ms. Word 2007 Software ini digunakan untuk merapihkan data dan merata-ratakan data WPR menjadi rata-rata bulanan.

3. Software MATLAB

Software ini digunakan untuk analisis Monsun, untuk menghasilkan time height section dari data WPR dan analisis Spectral dengan menggunakan FFT (Fast Fourier Transform) dan transformasi wavelet untuk data WPR dan data iklim global

4. Software SPSS 17

Software ini digunakan untuk analisis statistik dengan metode korelasi silang dan regresi liner berganda untuk data utama dan penunjang.

3.2.2 Data yang Digunakan 1. Data Utama

Data angin WPR (Wind Profile Radar). Data bersifat menitan sejak Januari 2007 sampai dengan Juli 2009. Data yang digunakan berasal dari tiga kota yaitu

Pontianak, Manado, dan Biak. www.rish.kyoto-u.ac.jp/radar-group/blr 2. Data Penunjang (Data Iklim Global)

Monsoon index (Australian Monsoon Index (AMI)), Indian Summer Monsoon Index (ISMI), dan Western North Pasific Monsoon Index (WNPMI). Data tersebut

diperoleh dari:

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan tiga analisa yaitu analisis Spectral, analisa time series dan analisa regresi linier berganda.

3.3.1 Analisis Spectral

Analisis Spectral yaitu telaahan periodesitas data deret waktu (Mulyana, 2004) yang dianalisis dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform (FFT) dan Transformasi Wavelet. Biasanya analisis Spectral berkaitan dengan Power Spectral Density (PSD).

3.3.2 Analisis Time Series

Analisis time series merupakan ubungan antara variabel yag dicari (dependent) dengan variabel yang mempengaruhinya (independent variabel), yang dikaitkan dengan waktu seperti mingguan, bulan, triwulan, catur wulan, semester, atau tahun. Dalam analisis time series yang menjadi variabel yang dicari adalah waktu.

(21)

10

Gambar 4 Diagram alir penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini periode yang digunakan dibagi dua, yaitu jangka panjang; Januari 2007 sampai dengan Juli 2009 dan jangka pendek. Analisis jangka pendek dibagi dalam dua periode, yaitu periode pertama (1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008) dan periode kedua (7 Desember 2008 sampai dengan 7 Maret 2009). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kejadian yang “unik” yang terjadi dalam periode penelitian yang dilakukan. Selain itu, juga untuk mengetahui hubungan iklim global (WNPMI, ISMI, dan AUSMI) dengan 3 kota (Pontianak, Manado, dan Biak). Agar dapat menjadi model iklim yang sesuai dengan kawasan Indonesia.

4.1 Analisis Spectral 4.1.1 Analisis Jangka Panjang

Analisis jangka panjang dalam penelitian ini merupakan bentuk analisa

keseluruhan terhadap data dalam penelitian ini, dengan melihat dinamika yang ditunjukkan oleh PSD dan Wavelet. Seperti pada (gambar 5) menunjukkan adanya kenaikan energy Spectral pada sekitar 365 hari di kota Pontianak, Manado, dan Biak. Hal ini menunjukkan terjadinya Monsun, karena osilasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan sekitar 365 hari.

Hal ini menandakan bahwa dalam 365 harian akan terjadi peningkatan kecepatan angin di kota Pontianak, Manado, dan Biak. Seperti disebutkan sebelumnya, ini menunjukkan fenomena Monsun terasa di Pontianak, Manado, dan Biak. Energy Spectral terbesar yaitu pada kota Biak dan energinya sangat kuat, yaitu sekitar 1.7 W/Hz jika dibandingkan dengan kota Pontianak dan Manado. Walaupun, pada periode yang sama di kota Pontianak dan Manado juga terjadi penguatan, namun dengan energy Spectral yang masih di

(22)

Gambar 5 Power Spectral Density tiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009

Karena PSD hanya dapat menunjukkan kekuatan sebagai fungsi dari frekuensi yang menunjukkan dimana frekuensi bervariasi kuat dan lemah (Surbakti P 2010). Maka, akan digunakan analisis wavelet agar terlihat analisis transien, ketidakstasioneran atau fenomena

berubah terhadap waktu (IT Telkom). Hasil analisis wavelet pada ketiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak terlihat perbedaan variance dan power dalam global wavelet spectrum. Selain itu, pada gambar 3 juga terlihat adanya MJO pada periode sekitar 40 harian.

(23)

12

Gambar 7 Wavelet angin zonal (850 mb) di Manado dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009.

Gambar 8 Wavelet angin zonal (850 mb) di Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009

Hasil rata-rata variance pada wavelet di kota Pontianak menunjukkan adanya dua periode puncak, yaitu sekitar bulan Desember 2007 dan Desember 2008. Selain itu, global wavelet spectrum menunjukkan adanya puncak pada periode sekitar 365 hari atau osilasi 12 bulan dengan power sekitar 600 (m/s)2. Hal ini mengindikasikan adanya Monsun dan sesuai dengan analisis PSD yang sebelumnya dilakukan. Pada periode penelitian ini, kota Pontianak dominan angin baratan yang mengandung uap air dengan melihat banyaknya (dominan) periode positif pada data penelitian yang digunakan.

Sedangkan pada kota Manado, hanya terdapat satu puncak pada periode

yang sama yaitu sekitar bulan Desember 2008 sampai dengan Februari 2009. Sama halnya dengan Pontianak, Manado juga terlihat adanya Monsun, seperti diperlihatkan oleh global wavelet spectrum yang menunjukkan periode sekitar 365 hari dengan power sekitar 300 (m/s)2. Pada kota Manado juga dominan angin baratan, hal ini terlihat dari dominannya nilai positif pada periode data yang digunakan. Periode data yang menunjukkan angin baratan jumlahnya berkurang jika dibandingkan dengan periode data angin baratan pada kota Pontianak.

(24)

kota Biak pada global wavelet spectrum menunjukkan periode sekitar 365 hari dengan power sekitar 2500 (m/s)2. Global wavelet spectrum yang dimiliki kota Biak memang lebih besar jika dibandingkan dengan kota Pontianak dan Manado, belum diketahui mengapa hal ini dapat terjadi. Angin baratan masih dominan terjadi di kota Biak, walaupun jika dibandingkan dengan kota Pontianak dan Manado periode yang menunjukkan angin baratan lebih sedikit.

Dengan menggunakan analisa periode panjang pada ketiga kota tersebut, didapat korelasi antara ketiga kota. Hal ini terlihat dari puncak masing-masing kota tersebut. Ketiga kota tersebut menunjukkan adanya osilasi Monsun, baik dalam rata-rata variance yang bernilai besar maupun kecil. Selain itu, ketiga kota juga menunjukkan periode harian sekitar 365 harian yang ditunjukkan oleh global wavelet spectrum pada masing-masing kota.

Selain itu, pada ketiga kota tersebut angin yang dominan adalah angin baratan yang berpotensi membawa hujan. Angin baratan yang terdapat pada masing-masing kota memiliki jumlah periode yang berbeda. Namun yang pasti adalah, bahwa jumlah periode angin baratan akan berkurang jika semakin ke timur. Ketika diamati letak kota Pontianak, Manado, dan Biak. Maka kota Biak adalah kota yang paling timur dalam posisinya.

Hal ini sesuai, bahwa angin baratan merupakan angin yang berasal dari daerah barat atau Benua Asia dan berhembus ke

arah timur atau Benua Australia. Sehingga, kapasitas uap air yang dibawa berkurang karena telah jatuh berupa hujan di sepanjang lintasan angin baratan, jadi sesuai dengan dominan periode angin baratan yang terdapat di tiap kota. Kota Pontianak memiliki periode angin baratan yang lebih banyak daripada kota Manado dan kota Biak. Sedangkan Biak, memiliki periode angin baratan yang paling sedikit jika dibandingkan dengan kota Pontianak dan kota Manado. Karena kota Biak berada pada posisi paling timur dan uap air yang dikandung angin baratan sudah banyak yang jatuh dalam bentuk hujan di sepanjang perlintasan angin baratan menuju timur atau Benua Australia.

(25)

14

Gambar 9 Power Spectral Density iklim global ( ISMI, WNPMI, dan AUSMI ) dan tiga kota ( Pontianak, Manado, dan Biak ) dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode Januari 2007 – Juli 2009

Monsun Asia yang terjadi pada periode penelitian ini, jika dianalisis maka energy Spectral WNPMI lebih besar atau paling tinggi dibandingkan dengan ISMI, seperti terlihat pada (gambar 9). Pada (gambar 9), menunjukkan PSD yang terbesar diantara iklim global adalah WNPMI, yang kedua adalah ISMI dan ketiga adalah AUSMI. Periode iklim global (WNPMI, ISMI, dan AUSMI) serta kota Pontianak, Manado, dan Biak menunjukkan periode 365 harian.

Mengutip dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat menyatakan bahwa pada kondisi normal, angin pasat dan Monsun Asia lebih dominan sesuai dengan dinamika ITCZ. Maka, hasil dari power Spectral density pada (gambar 9) sesuai dengan pernyataan PPPTA. Pada

(gambar 9) terlihat Monsun Asia yang terdiri dari WNPMI dan ISMI lebih dominan dari pada Monsun Australia yaitu AUSMI pada periode penelitian ini, dengan melihat energy Spectral pada PSD (gambar 9).

(26)

Pada gambar 10 ditampilkan animasi yang didapat dari

www.noaa.cdc.gov selama periode

penelitian Januari 2007 sampai dengan Juli 2009. Terlihat terjadi peningkatan kecepatan angin Zonal di sekitar kota Pontianak, Manado, dan Biak. Animasi dari NOAA ini menguatkan hasil analisis yang dilakuka di ketiga kota, bahwa memang terjadi

peningkatan kecepatan angin Zonal pada kota Pontianak, Manado, dan Biak dengan periode peningkatan yang sama pada kota satu dengan kota lainnya. Seperti terlihat pada gambar 8 terjadi peningkatan pada periode yang sama antara kota Pontianak dengan Manado dan Pontianak dengan Biak. Fenomena inilah yang membuat data menjadi unik. Sehingga dilakukan analisis lebih lanjut terhadap peningkatan variance yang terjadi selama periode yang bersamaan. Menganalisis kemungkinan hubungan yang terjadi pada masing-masing kota, untuk itu dilakukan analiss secara periode dengan melihat hubungan yang terjadi pada masing-masing kota.

4.1.2 Analisis Jangka Pendek

Analisis jangka pendek merupakan pembagian waktu berdasarkan kejadian yang terjadi di Pontianak, Manado, dan Biak pada saat yang bersamaan. Analisis ini dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pertama pada tanggal 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008 di kota

Pontianak dan Biak. Periode kedua, yaitu pada tanggal 7 Desember 2008 sampai dengan 7 Maret 2009 di kota Pontianak dan Manado. Analisis ini mengamati adanya korelasi pada waktu yang bersamaan di dua kota, yaitu Pontianak dengan Biak dan Pontianak dengan Manado. Analisis jangka pendek difokuskan hanya pada puncak-puncak yang terdapat di tiga kota. Pembagian periode menurut kejadian, bertujuan untuk mengetahui hubungan diantara dua kota seperti disebutkan sebelumnya, seperti terlihat pada (gambar 11).

(27)

16

Gambar 11 Puncak-puncak yang terdapat di tiga kota dari data WPR (Wind Profiling Radar)

4.1.2.1 Periode I (1 November 2007 – 30 Januari 2008)

Seperti terlihat pada (gambar 12), terjadi puncak pada sekitar 48 harian dengan periode sekitar 91 hari. Terindikasi bahwa terjadi MJO pada kota Pontianak pada periode ini. Seperti monitoring BMKG terhadap aktivitas MJO. Terkait kondisi gerakan udara vertikal di wilayah Indonesia,

pada awal hingga akhir September 2008 intensitasnya lemah hingga sedang. Sebagai dampaknya, pada awal hingga pertengahan September 2008 pembentukan awan-awan hujan berpeluag terjadi di wilayah Indonesia sekitar dan utara ekuator, sedangkan pada pertengahan hingga akhir September 2008 seluruh wilayah Indonesia dalam kondisi netral (BMKG 2008).

(28)

Gambar 13 Wavelet angin zonal (850 mb) di Biak dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008

4.1.2.2 Periode II (7 Desember 2008 – 7 Maret 2009)

Sama halnya dengan periode pertama, kota Pontianak pada periode ini diindikasi juga mengalami MJO. Osilasi

pada periode ini di kota Pontianak sekitar 32 harian.

(29)

18

Gambar 15 Wavelet angin zonal (850 mb) di Manado dari data WPR (Wind Profiling Radar) periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2009

4.2 Analisis Time Series

Pada analisis ini memperlihatkan fase terhadap waktu baik tiga kota maupun iklim global. Pada (gambar 16) terlihat time series iklim global yang terdiri dari WNPMI, ISMI, dan AUSMI. Terlihat WNPMI dan ISMI dalam satu fase, dikarenakan WNPMI dan ISMI merupakan Monsun Asia. Sedangkan, AUSMI yang merupakan Monsun Australia berbeda fase dengan Monsun Asia.

Fase WNPMI dan ISMI maupun AUSMI mengikuti sinusoida. Namun, Monsun Asia yang terdiri dari WNPMI dan ISMI memiliki indeks positif sekitar bulan Juni sampai dengan Agustus pada tahun 2007, 2008 dan 2009. Indeks negatif Monsun Asia pada periode ini sekitar bulan Desember sampai dengan Februari pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Sedangkan Monsun Australia memiliki indeks positif sekitar bulan Desember sampai dengan Februari pada tahun 2007, 2008, dan 2009. Indeks negatif Monsun Australia pada periode ini sekitar bulan Juni sampai dengan Agustus pada tahun 2007, 2008, dan 2009.

Seperti diketahui bahwa Monsun Asia yang menimbulkan hujan. Karena membawa uap air dari Laut Cina Selatan dan Lautan di sekitar selatan Jepang, sehingga menimbulkan hujan di sebagian wilayah Indonesia dan itu terjadi pada sekitar bulan Desember sampai dengan Februari (DJF). Namun, dalam time series yang ditunjukkan pada (gambar 16), terlihat bahwa pada sekitar bulan Desember sampai dengan Februari indeks Monsun Asia bernilai negatif. Baik ISMI maupun WNPMI, keduanya memiliki nilai indeks yang negatif.

(30)

Baik Monsun Asia (WNPMI dan ISMI) maupun Monsun Australia (AUSMI), keduanya saling berlawanan fase. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Monsun Asia dan Monsun Australia tidak dapat dikatakan saling menguatkan atau melemahkan. Namun saling menghilangkan, baik Monsun Asia mapun Monsun Australia, sedangkan Monsun Asia sendiri yang terdiri dari WNPMI dan ISMI, keduanya bersifat saling

menguatkan dan saling melemahkan. Karena time series WNPMI dan ISMI memiliki fase yang sama.

Pada time series tiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak memperlihatkan ketiganya dalam satu fase yang sama sejak Januari 2007 sampai dengan Juli 2009. Namun, indeks kota Biak lebih ekstrim dibandingkan dengan kota Pontianak dan Manado. Pada gambar time serie tersebut terlihat tiga puncak yang terjadi pada sekitar bulan Januari dan tiga lembah yang terjadi pada sekitar bulan Agustus.

Maka, time series tiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak serta time

series iklim global, yaitu WNPMI, ISMI, dan AUSMI terdapat kesamaan antara pola fase tiga kota dengan Monsun Australia. Terlihat, baik tiga kota maupun Monsun Australia memiliki puncak pada sekitar bulan Januari dan lembah sekitar bulan Desember. Puncak dan lembah tentu saja mewakili nilai indeks positif dan nilai indeks negatif pada time series tersebut. Hal ini menandakan bahwa, Monsun Australia

menguatkan atau melemahkan tiga kota (Pontianak, Manado, dan Biak) pada periode penelitian ini.

Nilai positif dan negatif pada indeks yang ditunjukkan time series menunjukkan bahwa saat itulah sedang terjadi musim hujan atau musim kering. Pada time series iklim global Monsun Australia memiliki indeks negatif setiap bulan Januari. Hal ini menandakan bahwa sedang terjadi musim kering. Sedangkan Monsun Australia yang berindeks positif menandakan bahwa sedang terjadi musim hujan. Sehingga diketahui bahwa ketika indeks Monsun Australia positif menandakan angin berhembus menuju Benua Australia atau ke Selatan. Gambar 16 Time Series iklim global (ISMI,WNPMI,AUSMI) periode Januari 2007 –

(31)

20

Lain halnya dengan indeks Monsun Asia, yaitu ISMI dan WNPMI. Monsun Asia ketika indeksnya bernilai positif setiap bulan Agustus menandakan bahwa sedang terjadi musim kering. Begitu juga dengan sebaliknya, ketika Monsun Asia bernilai indeks negatif setiap bulan Januari, ini menandakan bahwa sedang terjadi musim

hujan. Ketika indeks Monsun Asia bernilai negatif, hal ini angin berhembus dari Barat yang mengandung uap air. Monsun Asia dan Australia memiliki nilsi indeks yang berlawanan satu dengan lainnya, namun memiliki arti yang sama.

4.3 Analisis Statistika

Pada analisis statistik ini digunakan korelasi silang antara iklim global dengan tiga kota, namun dibagi dalam dua periode seperti pada analisis Spectral. Periode pertama, yaitu pada 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008. Seperti terlihat pada tabel 2, korelasi Pontianak dengan iklim global (WNPMI, ISMI, dan AUSMI) dan Biak dengan iklim global (WNPMI, ISMI, dan AUSMI). Terlihat

besar nilai CCF antara iklim global dan Pontianak serta Biak tidak lebih dari 0.6. Pada hubungan iklim global dengan Pontianak, nilai terbesar yaitu 0.486 antara Pontianak dan AUSMI (Monsun Australia). Sedangkan Pontianak dan WNPMI memiliki nilai 0.406. Namun, antara Pontianak dan ISMI bernilai -0.355.

Pada tabel 2 iklim global yang dominan mempengaruhi Pontianak dan Biak adalah AUSMI pada periode 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008. Pengaruh Monsun Asia pada periode ini lebih kecil dari pengaruh Monsun Australia terhadap kota Pontianak dan Biak pada periode 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008. Jika diamati kembali time series pada (gambar 14 dan gambar 15), maka terlihat adanya kesamaan fase antara tiga kota (Pontianak, Manado, dan Biak) dengan Monsun Australia yaitu AUSMI. Hal ini menandakan bahwa Monsun Australia (AUSMI) mempengaruhi kota Pontianak dan kota Biak pada periode 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008.

..

(32)

Tabel 2 Periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008

Kota Cross Correlation Fungtion

ISMI (Lag) WNPMI (Lag) AUSMI (Lag)

Pontianak -0.355 (5) 0.406 (0) 0.486 (0)

Biak -0.248 (4) 0.253 (4) 0.599 (1)

Pada periode kedua, seperti terlihat pada tabel 3. Dominasi pengaruh Monsun Australia terhadap Pontianak masih terjadi pada periode ini. Pada periode ini Monsun Asia baik ISMI maupun WNPMI bernilai negatif terhadap kota Pontianak. Namun berbeda dengan kota Manado, Monsun Asia (WNPMI dan ISMI) tidak bernilai negatif. Pada tabel 3 terlihat bahwa korelasi terbesar kota Pontianak dipengaruhi oleh AUSMI dengan nilai korelasi 0.210. Sedangkan pada kota Manado, dipengaruhi oleh ISMI yang merupakan Monsun Asia dengan nilai korelasi 0.419.

Tabel 2 dan tabel 3 menunjukkan

kekuatan antara satu kota dengan masing-masing iklim global yaitu ISMI, WNPMI, dan AUSMI. Sedangkan model yang didapat dengan menggunakan software SPSS 17 dibagi dalam dua periode, sama dengan dua tabel di atas. Model yang ditunjukkan

memperlihatkan pengaruh iklim global secara bersamaan (kombinasi pengaruh iklim global) terhadap suatu kota. Berikut merupakan model yang digunakan:

U(850 mb) =

a(ISMI)+b(WNPMI) + c(AUSMI)+error

Model tersebut menjelaskan seberapa besar indeks iklim global mempengaruhi angin zonal di kota Pontianak, Manado, dan Biak. Perbedaan fase antara Monsun Asia dengan Monsun Australia menunjukkan bahwa ketika Monsun Asia menguat maka Monsun

Australia meredam kekuatannya. Begitu juga sebaliknya, ketika Monsun Australia Menguat maka Monsun Asia meredam kekuatannya. Nilai variabel a, b, dan c merupakan nilai yang dihasilkan dari regresi linier berganda.

Periode panjang (seluruh data), 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Juli 2009

Biak (850 mb) = -0.281(ISMI) + 0.098(WNPMI) + 0.327(AUSMI) + 1.090 Manado (850 mb) = -0.061(ISMI) + 0.048(WNPMI) + 0.172(AUSMI) + 1.230 Pontianak (850 mb) = -0.06(ISMI) + 0.053(WNPMI) + 0.29(AUSMI) + 2.53

Periode pertama, 1 November 2007 sampai dengan 30 Januari 2008

Biak (U 850) = -0.288 (ISMI) + 0.329 (WNPMI) + 0.455 (AUSMI) + 2.352 Pontianak (U 850) = -0.039 (ISMI) + 0.311(WNPMI) + 0.815 (AUSMI) + 2.88

Kota Cross Correlation Fungtion

ISMI (Lag) WNPMI (Lag) AUSMI (Lag)

Pontianak -0.251 (7) -0.203 (7) 0.21 (6)

Manado 0.419 (1) 0.277 (1) 0.301 (1)

(33)

22

Gambar 18 Time Series perbandingan angin Zonal data observasi dengan data model pada kota Biak pada periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008

Gambar 19 Time Series perbandingan angin Zonal data observasi dengan data model pada kota Pontianak periode 1 November 2007 – 30 Januari 2008

Periode kedua, 7 Desember 2008 sampai dengan 7 Maret 2009

(34)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

 Data indeks Monsun global mempengaruhi kuat angin Zonal di kawasan Indonesia yang diwakili oleh kota Pontianak, Manado, dan Biak

 Hasil analisis hubungan WPR dengan iklim global yang dilakukan, menunjukkan bahwa AUSMI dominan mempengaruhi kawasan Indonesia yang diwakili oleh kota Pontianak, Manado, dan Biak

 Didapatkan model regresi linier berganda untuk kawasan Pontiaak, Manado, dan Biak. model yang dihasilkan merupakan cerminan data pada periode tersebut

5.2 Saran

 Perlu adanya penggunaan data angin dan iklim global yang lebih panjang dalam penelitian selanjutnya untuk mendapatkan model yang lebih baik.

 Masih diperlukannya penelitian lebih lanjut terkait Indeks Monsun Indonesia, agar hasilnya lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Azteria V. 2009. Pemanfaatan Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) dalam Mengkaji Terjadinya Monsun di Kawasan Barat Indonesia. Bogor : Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.

Budiyono A. 2009. Riset Atmosfer dan Iklim. Bandung: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Freeman W H. 1982. Understanding our atmospheric environment Terjemahan: memahami lingkungan atmosfer kita oleh Ardina Purbo. Bandung: Penerbit ITB

Hermawan E, Visa J, Trismidianto, Krismianto, dan Fathrio I . 2010. Pengembangan Ekspert Sistem Berbasis Indeks ENSO, DMI, Monsun, dan MJO untuk Penentuan Awal

Musim. Laporan akhir Program Riset Intensif DIKTI. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Hermawan E. 2002. Perbandingan antara Radar Atmosfer Khatulistiwa dengan Middle and Upper Atmosphere Radar dalam pemantauan Angin Zonal dan Meridional. Warta LAPAN 4, No 1:8-16.

Hermawan E. 2010. Kondisi Iklim Indonesia Saat ini da Prediksinya dalam Beberapa Bulan Mendatang Berbasis Hasil Analisis Data Iklim Global. Prosiding Seminar nasional Fisika 2010. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Hermawan, E. Peran EAR dan WPR dalam Menganalisis Perbedaan Perilaku Curah Hujan yang Terjadi di Atas Kototabang, Pontianak, dan Biak. Jurnal Elektronik. Vol 10. 2010 Krisnawati. 2007. Transformasi Fourier dan

Transformasi Wavelet pada Citra. Yogyakarta:STMIK AMIKOM Noviyanti E K. 2010. Analisis Perilaku Angin

di Lapisan 850 hPa Hasil Observasi Data WPR Dikaitkan dengan Perilaku Data Indeks Monsun Global di Indonesia. Bandung : Departemen Meteorologi FITB ITB.

Nuryanto D E. Analisis Aktivitas Konvektif di Atas Benua Maritim Indonesia Menggunakan Complex Empirical Orthogonal Function. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Surbakti P BR. 2010. Pengembangan Model Prediksi Monsun Indonesia Berbasis Hasil Analisis Data Iklim Global. Departemen Geofisika dan Meteorologi. FMIPA, IPB.

(35)

24

(36)

Lampiran 1 Time Series perbandingan angin Zonal data observasi dengan model di kota Manado periode 7 Desember 2008 – 7 Maret 2008

(37)

26

Lampiran 3 Time Series

y=xlsread('zonal_manado_ts',1,'B1:H730'); x=1:length(y);

plot(x,y);

xlabel('Waktu','fontweight','bold','fontsize',16); ylabel('Indeks','fontweight','bold','fontsize',16);

h= legend('1.157','1.254','1.351','1.448','1.545','1.642','1.74',5) set(gca,'xtick',[1 91 182 274 366 456 547 639]);

set(gca,'xticklabel',{'1 Jan09' '1 Apr09' '1 Juli09' '1 Okt09' '1 Jan10' '1 Apr10' '1 Juli10' '1 Okt10' });

title('Time Series Kecepatan Angin Zonal Periode Januari 2009 - Desember 2010','fontweight','bold','fontsize',16)

Lampiran 4 Power Spectral Density

%load data dari excel

data=xlsread('wpr_0709',1,'C2:H944'); [m,n]=size(data);

t=1:length(data); y=data;

[spec,f]= fftrl(y,t);

spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f;

figure;semilogx(f,spec);grid on

set (gca,'xtick',[0 3^0 2 3 61 336 ]) %h= legend('DMI','Nino 3.4','ESPI',5)

xlabel('Periode (bulan)','fontweight','bold','fontsize',16) ylabel('Energi Spektral','fontweight','bold','fontsize',16) title('Power Spectral Density Angin Zonal Periode Januari 2009 - Desember 2010','fontweight','bold','fontsize',16)

Lampiran 5 Wavelet

% --- loading data --- % load 'pontianak_new.txt' ; % input zonal wind series

% ---

%--- computation --- % madden_julian = pontianak_new(:,:);

variance = std(madden_julian)^2;

madden_julian = (madden_julian-mean(madden_julian))/sqrt(variance) ;

n = length(madden_julian); dt = 1 ;

time = [0:length(madden_julian)-1]*dt + 1.0 ; % construct time array

xlim = [1,91]; % plotting range

pad = 1; % pad the time series with zeroes (recommended)

dj = 0.25; % this will do 4 sub-octaves per octave s0 = 2*dt; % this says start at a scale of 6 months j1 = 6/dj; % this says do 7 powers-of-two with dj sub-octaves each

lag1 = 0.72; % lag-1 autocorrelation for red noise background

(38)

% Wavelet transform: [wave,period,scale,coi] =

wavelet(madden_julian,dt,pad,dj,s0,j1,mother);

power = (abs(wave)).^2 ; % compute wavelet power spectrum

% Significance levels: (variance=1 for the normalized SST) [signif,fft_theor] = wave_signif(1.0,dt,scale,0,lag1,-1,-1,mother);

sig95 = (signif')*(ones(1,n)); % expand signif --> (J+1)x(N) array

sig95 = power ./ sig95 ; % where ratio > 1, power is significant

% Global wavelet spectrum & significance levels:

global_ws = variance*(sum(power')/n); % time-average over all times

dof = n - scale; % the -scale corrects for padding at edges

global_signif = wave_signif(variance,dt,scale,1,lag1,-1,dof,mother);

% Scale-average between Madden_Julian periods of 30--60days avg = find((scale >= 30) & (scale < 60));

Cdelta = 0.776; % this is for the MORLET wavelet scale_avg = (scale')*(ones(1,n)); % expand scale --> (J+1)x(N) array

scale_avg = power ./ scale_avg; % [Eqn(24)]

scale_avg = variance*dj*dt/Cdelta*sum(scale_avg(avg,:)); % [Eqn(24)]

scaleavg_signif = wave_signif(variance,dt,scale,2,lag1,-1,[2,7.9],mother);

whos

%--- Plotting %--- Plot time series

subplot('position',[0.08 0.75 0.56 0.18]) plot(time,madden_julian)

grid

set(gca,'XLim',xlim(:)) %set(gca,'XTickLabel',a)

xlabel('Tanggal','fontweight','bold','fontsize',12); set(gca,'xtick',[1 60 70 131 147 204]);

set(gca,'xticklabel',{'1 Jun' '1 Agust' '1 Des' '1 Feb' '1 Jun' '1 Agust'});

ylabel('Kecepatan (m/det)','fontweight','bold','fontsize',12) title('a) Time Series Kecepatan Angin Zonal di Biak Periode 1 Juni 2009 - 1 Agustus 2010','fontweight','bold','fontsize',14)

hold off

%--- Contour plot wavelet power spectrum subplot('position',[0.08 0.38 0.66 0.25]) levels = [0.0625,0.125,0.25,0.5,1,2,4,8,16] ;

Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); % contour(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill'

[C,h]=contourf(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill'

Gambar

Gambar 1 Pola Monsun Asia dan Monsun Australia dilihat dari pergerakan matahari
Gambar 3 Struktur atmosfer Bumi (tandiarrang.blogspot.com)
Gambar 4 Diagram alir penelitian
Gambar 5  Power Spectral Density tiga kota, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak dari data WPR
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perbedaan yang terjadi antara periode pertama dan kedua mengenai pendidikan dan sosial kemasyarakatan, jika pada periode pertama penddikan Al-Qur’an sebagai satu

Manajemen Publik = pada dasarnya sama dg Manajemen Bisnis • Public management, focused on government and non-profit administration, contends. that private

Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa perusahaan memerlukan 2 competence, yang pertama adalah core competence dimana ini adalah hal yang dapat dilakukan oleh

Konsep dari Blue Ocean Strategy pada dasarnya ingin membawa para pelaku bisnis pada suatu cara berpikir baru untuk menyikapi persaingan bisnis yang semakin terasa ketat.Blue

Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara NO dengan RAKU pada subjek pria perokok usia dewasa muda yang diperoleh dari hasil analisis bivariat (p = 0.034)

Beberapa peralatan seperti Smith Machine, Leg Press, dan Butterfly dapat dijadikan tolak ukur bagi kemampuan seseorang dalam membuat alat fitness, karena pembuatan ketiga alat

• Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati seorang model yang

Mahalaga ang pag-aaral na ito sa mga working students sapagkat nailalahad sa pag-aaral na ito ang mga saloobin tungkol sa kalagayan sa buhay at kung papanong nagagawang