• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON

DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

GAMMA NUR MERRILLIA SULARSO

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

13

PENDUGAAN PERUBAHAN CADANGAN KARBON

DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

RINGKASAN

GAMMA NUR MERRILLIA SULARSO “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Meru Betiri”. Dibimbing oleh RACHMAD

HERMAWAN dan LILIK BUDI PRASETYO.

Berdasarkan hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2000 – 2005 di Indonesia, emisi GRK sektor tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land use, land use changes and forestry/LULUCF) mencapai 48% dari total emisi GRK nasional. Emisi tersebut dihasilkan dari deforestasi dan perubahan penutupan hutan/penggunaan lahan seluas 1,1 juta ha per tahun. Dalam upaya mengurangi emisi GRK dari sektor LULUCF, Indonesia mengimplementasikan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-plus (REDD-plus). Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dipilih sebagai tuan rumah pelaksana kegiatan demonstrasi REDD-plus, dengan kegiatan utama yaitu pengukuran dan pemantauan cadangan karbon. Penggunaan kombinasi teknologi penginderaan jauh untuk memantau perubahan penutupan lahan dan pengukuran cadangan karbon pada skala plot dapat memberikan gambaran mengenai perubahan cadangan karbon pada skala lanskap. Penelitian ini bertujuan untuk menduga cadangan karbon tersimpan pada berbagai tipe penutupan lahan di TNMB dan perubahan cadangan karbon tersimpan di TNMB periode 1989 – 2001, 2001 – 2005, dan 2005 – 2010.

Pengukuran di lapang dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2010 di TNMB. Pengukuran dilakukan di Plot Sampling Permanen (PSP) yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pengelola TNMB untuk kegiatan pengukuran dan pemantauan cadangan karbon. Total plot pengukuran sebanyak 40 PSP yang tersebar di berbagai tipe penutupan lahan, yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, areal pertanian, semak belukar, padang rumput dan alang-alang, serta perkebunan karet. Penelitian ini dibatasi hanya melakukan pendugaan nilai biomassa dan cadangan karbon di atas permukaan tanah. TNMB memiliki kisaran rata-rata pendugaan biomassa tersimpan sebesar 46,39 Mg.ha-1 – 241,85 Mg.ha-1 dan kisaran rata-rata cadangan karbon sebesar 20,31 Mg.ha-1 – 120,93 Mg.ha-1. Tipe penutupan lahan yang memiliki nilai biomassa dan cadangan karbon terbesar adalah hutan primer, sedangkan yang terendah adalah padang rumput dan alang-alang.

Total cadangan karbon tersimpan di TNMB pada periode 1989 – 2010 mengalami peningkatan sebesar 455.389,29 Mg atau 22.821,72 Mg per tahun. Cadangan karbon pada periode 1989-2001 mengalami penurunan sebesar 34.536,86 Mg. Penurunan cadangan karbon disebabkan oleh perambahan hutan, pencurian kayu ilegal, alih fungsi lahan, dan tsunami. Cadangan karbon mengalami peningkatan pada periode 2001 – 2005 sebesar 115.239,20 Mg dan periode 2005-2010 sebesar 398.553,78 Mg. Peningkatan cadangan karbon disebabkan oleh kegiatan perlindungan dan pemantauan kawasan hutan secara intensif dan kegiatan rehabilitasi lahan dengan melibatkan masyarakat, organisasi non-profit (LATIN, KAIL), ITTO, dan PUSPIJAK - Kementerian Kehutanan. Kata kunci: inventarisasi gas rumah kaca, cadangan karbon, penutupan lahan,

(4)

13

SUMMARY

GAMMA NUR MERRILLIA SULARSO “Estimation of Carbon Stock Changes in Meru Betiri National Park.” Under Supervision of RACHMAD HERMAWAN and LILIK BUDI PRASETYO.

Based on greenhouse gases inventory conducted from 2000 – 2005, land use, land use changes and forestry (LULUCF) contributed approximately 48% of the total emissions of Indonesia, due to deforestation and other forest cover changes at the rate of 1,1 million hectares per year. In the efforts of reducing emissions from LULUCF sector, Indonesia implements Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-plus (REDD-plus). Meru Betiri National Park (MBNP) was chosen to host a REDD-plus demonstration activity. Carbon stock inventory and monitoring is one of the main activity of the REDD-plus demonstration activity in TNMB. The use of combined remote sensing technology and ground-based inventory in plot scale can be used to estimate carbon stock changes in landscape scale. This study aimed to estimate carbon stock in various land-cover of MBNP and estimate carbon stocks change in MBNP during the period 1989 – 2001, 2001 – 2005, and 2005 – 2010.

Carbon stocks measurement was conducted in MBNP during May to July 2010. The measurement was done in Permanent Sample Plots (PSP) which were established by MBNP’s management for carbon stock inventory and monitoring activities. Total of 40 PSPs were available, distributed over various land-covers, namely: primary forest, secondary forest, agro-forestry system, cropland, shrub/bush, grassland, and rubber plantation. This study considered only above ground biomass and above ground carbon. The study found that biomass amount in MBNP ranged at 46,39 Mg.ha-1 – 241,85 Mg.ha-1 and carbon stock amount ranged at 20,31 Mg.ha-1 – 120,93 Mg.ha-1. Primary forest had the highest amount of biomass and carbon stock, while grassland had the lowest amount of biomass and carbon stock in MBNP.

During the period of 1989 to 2010, total amount of carbon stock in MBNP has increased at amount of 479.256,12 Mg.ha-1 or on average of 22.821,72 Mg per year. The amount of carbon stock during the period of 1989 – 2001 had decreased at amount of 34.536,86 Mg. The decrease of carbon stocks was caused by deforestation, illegal logging, forest encroachment and tsunami. The amount of carbon stock has increased during the period of 2001 – 2005 at amount of 126.646,67 Mg and during the period of 2005 – 2010 at amount of 398.553,78 Mg. The increase of carbon stocks was caused by intensive forest protection, monitoring of activities on forestland and land rehabilitation involving community in/and surrounding MBNP area, non-governmental organization (LATIN, KAIL), ITTO and PUSPIJAK – Ministry of Forestry.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Meru Betiri adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(6)

13

Judul Penelitian : Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Meru Betiri

Nama : Gamma Nur Merrillia Sularso

NIM : E34062678

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP.196705 04 199203 1 004 NIP.196203 16 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP 195809 15 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayat sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang

berjudul “Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon di Taman Nasional Meru Betiri” merupakan tulisan dari hasil penelitian pengukuran cadangan karbon yang

dilakukan selama bulan Mei – Juli 2010 di Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian pengukuran cadangan karbon dilakukan dengan menggunakan kombinasi teknologi penginderaan jauh dan pengukuran cadangan karbon di lapang. Penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk memantau perubahan penutupan lahan dikombinasikan dengan pengukuran cadangan karbon di lapang dapat memberikan gambaran mengenai perubahan cadangan karbon yang terjadi pada lahan tersebut dalam periode waktu teramati.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan yang didapat selama penelitian dan penulisan skripsi ini kepada Bapak Ir. Herry Subagiadi, M.Sc, Bapak RM. Wiwied Widodo, S.Hut, Bapak Seno Pramudita, S.Hut, M.E, Bapak Nugroho D. Atmojo, S.P, Bapak Andriansyah, Ibu Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc., Ibu Dr. Kirsfianti Ginoga, teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial (ALPS), Amri M. Saadudin, dan seluruh staf dan pegawai Taman Nasional Meru Betiri serta seluruh keluarga besar DKSHE Fahutan IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (PUSPIJAK) – Kementerian Kehutanan dan International TropicalTimber Organization (ITTO) yang telah memberikan bantuan dana selama penelitian. Penulis berterimakasih kepada orang tua dan keluarga atas segala dukungan, kesabaran, doa, dan kasih sayangnya yang telah diberikan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

(8)

13

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 29 Juli 1988, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara pasangan Ir. Heru Sularso, M.Sc dan Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 7 Sudimara pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama Negeri 105 Jakarta pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah

Atas Negeri 90 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan pada tahun 2007.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) dan Fotografi Konservasi (FOKA). Kegiatan lapang yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) 2008 di RPH Baturaden dan KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani II, Provinsi Jawa Tengah, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Provinsi Jawa Barat, dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) 2010 di Taman Nasional Meru Betiri, Provinsi Jawa Timur.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Seiring puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang seting-tingginya kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, kakak-kakak (Alva Nurvina Sularso, S.Sos dan Betha Nur Avicenia Sularso, S.H) dan kakak ipar S.Z Gilang Baskoro, serta Amri Muhammad Saadudin dan keluarga atas doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang selalu diberikan kepada penulis.

2. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing atas bimbingan, bantuan, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. Elias selaku penguji dari Departemen Manajemen Hutan, Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan, dan Ir. Kasno, M.Sc selaku penguji dari Departemen Silvikultur, atas bimbingan, saran, dan pesan kepada penulis.

4. Ir. Herry Subagiadi, M.Sc selaku Kepala Taman Nasional Meru Betiri saat penelitian ini berlangsung, RM. Wiwied Widodo, S.Hut, Seno Pramudita, S.Hut, M.M, dan Nugroho D. Atmojo, S.P, yang telah memfasilitasi selama penelitian.

5. Dr. Wardojo dan Dr. Ruandha Sugadirman yang telah memberikan data citra satelit Landsat untuk digunakan dalam penelitian, serta Dr. Kirsfianti Ginoga yang telah memfasilitasi selama penelitian.

6. Bapak Andriyanto, Bapak Jumadiawan, Bapak Ketut, Bapak Fendi, Bapak Afiyan, Bapak Adi S., Bapak Slamet, Bapak Dedi, Bapak Budi SP, Bapak Adie, Bapak Safrudin, Bapak Suparno, dan Bapak Sarjono atas bantuan yang diberikan selama penelitian.

7. Balai Taman Nasional Meru Betiri atas izin dan bantuan sarana dan prasarana yang diberikan selama penelitian.

(10)

13

(ITTO) atas bantuan dana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

9. Keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

10.Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial atas bantuan sarana dan prasarana yang diberikan selama penyusunan skripsi.

11.Sahabat-sahabat KSHE 43: Feny Dwi Kasih, Arie Susanti, Liana Anggriyantie, Pande W. Temaja, Muis Fajar, Ari Listyowati, Septa Febrina Heksaputri, Arga Pandiwijaya, Amrizal Yusri, Age Kridalaksana, Catur Wulandari D.S., Noor Aenni, Mika Asri, Kemas Robby Wirawan, Bambang Prasetyo, dst, atas persahabatan dan dukungan yang diberikan. 12.Sahabat-sahabat Fahutan 43: Lika Aulia Indina, Dwita Noviani, Belinda

Bunganagara, Anggita Isnipa Ika Seprina, Anjar Aria, Sukesti Budiarto, Woro Lestari, Laila, Ratih S.M., Handoko Prabowo, Abdul Aris, dst, atas persahabatan dan dukungan yang diberikan.

13.Sahabat-sahabat Wisma Bintang 27A: Meri Lestari, Nira N.S., Ariyani, Siska, Lina, Jania Riska, Reikha R., Novita K., Fidryaningsih F., Dea J. Muntamah, Siti Komariah, Depta, Nining, dan Iip atas persahabatan dan dukungan yang diberikan.

(11)

DAFTAR ISI

2.4 Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Cadangan Karbon Berdasarkan Perubahan Tutupan Lahan ... 10

3.5.3 Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon dalam Skala Lanskap ... 25

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Dasar Hukum ... 27

4.2 Keadaan Fisik Kawasan ... 29

(12)

13

4.2.2 Topografi ... 29

4.2.3 Geologi dan Tanah ... 30

4.2.4 Iklim ... 30

4.3 Potensi Biotik ... 31

4.3.1 Flora dan Tipe Habitat ... 31

4.3.2 Fauna ... 33

4.4 Potensi Wisata Alam ... 33

4.5 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ... 34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Vegetasi di Plot Sampling Permanen (PSP) ... 35

5.1.1 Vegetasi di PSP ... 35

5.1.2 Parameter Tegakan di PSP ... 39

5.2 Penutupan Lahan ... 41

5.2.1 Penutupan Lahan di TNMB Tahun 1989 ... 41

5.2.2 Penutupan Lahan di TNMB Tahun 2001 ... 43

5.2.3 Penutupan Lahan di TNMB Tahun 2005 ... 45

5.3.4 Penutupan Lahan di TNMB Tahun 2010 ... 47

5.3 Biomassa dan Cadangan Karbon Tersimpan di Berbagai Tipe Penutupan Lahan ... 49

5.3.1 Cadangan Karbon Hutan ... 49

5.3.2 Cadangan Karbon Non-hutan ... 51

5.4 Perubahan Cadangan Karbon Tersimpan dalam Skala Lanskap 52

5.5 Kondisi Reference Level di TNMB ... 64

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah

dan metode pengukurannya ... 6

2. Karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi penelitian ... 7

3. Informasi citra satelit Landsat dan daftar peta pendukung yang digunakan dalam penelitian ... 12

4. Kelas penutupan lahan yang digunakan untuk klasifikasi ulang tipe penutupan lahan di TNMB ... 16

5. Ukuran dan jumlah PSP pengukuran cadangan karbon pada beberapa tipe tersimpan ... 20

6. Daftar persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan ... 24

7. Kerapatan kayu pada berbagai tipe penutupan lahan ... 25

8. Parameter tegakan dan diameter di berbagai tipe penutupan lahan ... 40

9. Luas dan persentase penutupan lahan di TNMB tahun 1989 ... 41

10. Luas dan persentase penutupan lahan di TNMB tahun 2001 ... 43

11. Luas dan persentase penutupan lahan di TNMB tahun 2005 ... 45

12. Luas dan persentase penutupan lahan di TNMB tahun 2010 ... 47

13. Rata-rata biomassa dan cadangan karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan di TNMB ... 49

14. Perubahan penutupan lahan di TNMB ... 54

(14)

13

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB ... 4

2. Peta lokasi penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB ... 13

3. Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital ... 14

4. Tahap pendugaan perubahan cadangan karbon ... 19

5. Peta lokasi Plot Sampling Permanen (PSP) di TNMB ... 21

6. Plot contoh untuk pengukuran biomassa ... 22

7. Peta zonasi kawasan TNMB ... 28

8. Vegetasi di hutan primer dan hutan sekunder di TNMB ... 35

9. Vegetasi mangrove di TNMB ... 36

10. Vegetasi kebun campuran dan areal pertanian di TNMB ... 37

11. Vegetasi semak belukar di Sepuran dan padang rumput dan alang-alang di Nanggelan ... 38

12. Vegetasi perkebunan di PT. Perkebunan Bandealit dan PT. Perkebunan Sukamade Baru ... 39

13. Peta penutupan lahan di TNMB tahun 1989 ... 42

14. Peta penutupan lahan di TNMB tahun 2001 ... 44

15. Peta penutupan lahan di TNMB tahun 2005 ... 46

16. Peta penutupan lahan di TNMB tahun 2010 ... 48

17. Peta deforestasi dan reforestasi di TNMB periode 1989 – 2001 ... 58

18. Peta deforestasi dan reforestasi di TNMB periode 2001 – 2005 ... 61

19 Peta deforestasi dan reforestasi di TNMB periode 2005 – 2010 ... 63

20. Data historis cadangan karbon pada periode 1989 – 2010 dan estimasi cadangan karbon pada periode 2011 – 2014 pada kondisi RL ... 67

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Posisi koordinat 40 Plot Sampling Permanen (PSP) di Taman Nasional

Meru Betiri ... 75 2. Data biomassa tersimpan pada 40 Plot Sampling Permanen (PSP) di

Taman Nasional Meru Betiri ... 77 3. Data cadangan karbon tersimpan pada 40 Plot Sampling Permanen

(16)

13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim didefinisikan sebagai berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain temperatur dan distribusi curah hujan dalam kurun waktu yang panjang dan berdampak luas terhadap kehidupan manusia. Walaupun masih diperdebatkan, namun peneliti yang tergabung dalam IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mempercayai bahwa pemanasan global disebabkan oleh peningkatan rata-rata temperatur akibat adanya peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dari hasil kegiatan manusia. Dampak perubahan iklim di Indonesia antara lain yaitu meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kejadian iklim ekstrim, dan kekeringan, dapat berlanjut pada perusakan lingkungan dan degradasi (Kementerian Lingkungan Hidup 2010). Inventarisasi GRK penting dilakukan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan untuk mitigasi dampak perubahan iklim, termasuk di Indonesia.

Berdasarkan hasil inventarisasi GRK pada periode 2000 – 2005 di Indonesia, emisi GRK dari sektor tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry-LULUCF) mencapai 48% dari total emisi GRK nasional, dengan emisi pada tahun 2004 sebesar 1,415 juta Gg.CO2e (Kementerian Lingkungan Hidup 2010). Emisi tersebut berasal dari

deforestasi dan perubahan penutupan hutan/penggunaan lahan seluas 1,1 juta ha per tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya laju deforestasi yaitu kebakaran dan kerusakan hutan, pencurian kayu ilegal, konversi hutan menjadi lahan pertanian, lahan transmigrasi, pengembangan distrik baru, dan pertambangan dalam skala besar (Kementerian Lingkungan Hidup 2010). Dalam upaya mengurangi emisi GRK dari sektor LULUCF, Indonesia mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD).

(17)

adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan dapat memberikan insentif bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Masripatin 2007). Saat ini, REDD berkembang menjadi mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon yang kemudian disebut REDD-plus (Kementerian Kehutanan 2010). Keputusan COP-15 di Copenhagen menekankan pentingnya penggunaan kombinasi teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk memantau perubahan penutupan lahan dengan pengukuran karbon di lapang menggunakan panduan inventarisasi GRK yang terdapat dalam IPCC Guidelines 2006.

Salah satu implementasi REDD-plus yaitu melakukan kegiatan demonstrasi dengan agenda utama inventarisasi GRK menggunakan IPCC Guidelines 2006. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan kawasan konservasi yang dipilih sebagai tuan rumah pelaksana kegiatan demonstrasi REDD-plus. Pemilihan ini dikarenakan kawasan TNMB memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan memberikan dampak positif maupun negatif pada kelestarian hutan di TNMB (Kementerian Kehutanan 2010). Kawasan TNMB didominasi oleh hutan hujan tropika dan memiliki enam tipe penutupan lahan utama yaitu hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, padang rumput dan alang-alang, agroforestri, dan perkebunan. Pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD-plus di TNMB saat ini salah satunya adalah kegiatan pengukuran dan pemantauan cadangan karbon yang diacu dalam REDD-ITTO Project PD 519/08/Rev.1(F).

(18)

13

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menduga cadangan karbon tersimpan pada berbagai tipe penutupan lahan di TNMB, dan

2. Menduga perubahan cadangan karbon tersimpan di TNMB periode 1989 - 2001, 2001 – 2005, dan 2005 - 2010.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk kegiatan pemantauan cadangan karbon dan dapat dijadikan sebagai tingkat referensi (Reference Level-RL) menggunakan data historis cadangan karbon tersimpan bagi pihak pengelola TNMB.

1.4 Kerangka Penelitian

Perubahan iklim disebabkan oleh berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain temperatur dan distribusi curah hujan dalam kurun waktu yang panjang dan berdampak luas terhadap kehidupan manusia. Pemanasan global berkontribusi dalam mengubah pola iklim global akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Berdasarkan hasil inventarisasi GRK pada tahun 2000 – 2005 di Indonesia, sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) berkontribusi menghasilkan emisi mencapai 48% dengan emisi pada tahun 2004 sebesar 1,415 juta Gg.CO2e yang berasal dari deforestasi dan perubahan

penutupan hutan/penggunaan lahan dengan laju rata-rata 1,1 juta ha per tahun. Dalam upaya mengurangi emisi GRK dari sektor LULUCF, Indonesia mengimplementasikan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-plus (REDD-plus).

Skema REDD-plus merupakan mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan. Salah satu implementasi REDD-plus yaitu melakukan kegiatan demonstrasi inventarisasi GRK dengan menggunakan IPCC Guidelines 2006. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan kawasan konservasi yang dipilih sebagai tempat implementasi kegiatan demonstrasi REDD-plus. Pelaksanaan REDD-plus di TNMB saat ini dititikberatkan dalam kegiatan pengukuran dan pemantauan cadangan karbon.

(19)

Penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB diharapkan dapat memberikan gambaran dalam pemantauan cadangan karbon historis di TNMB. Penelitian ini menggunakan kombinasi teknologi penginderaan jauh dengan pengukuran langsung di lapang. Integrasi data perubahan penutupan lahan dengan data hasil pengukuran cadangan karbon pada skala plot dapat memberikan pendugaan perubahan cadangan karbon pada skala lanskap. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk kegiatan pemantauan cadangan karbon dan dapat dijadikan sebagai Reference Level (RL) menggunakan data historis cadangan karbon tersimpan bagi pihak pengelola TNMB. Kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB.

Perubahan iklim global

Emisi karbon dari sektor LULUCF

Implementasi REDD-plus di TNMB

Pengukuran cadangan karbon tersimpan sesuai IPCC Guidelines 2006

Pengukuran karbon tersimpan di lapang

Pemantauan penutupan lahan multiwaktu hasil remote sensing

Kajian perbandingan cadangan karbon tersimpan dengan perubahan penutupan lahan multiwaktu dalam skala lanskap

Nilai cadangan karbon tersimpan pada masing-masing tipe penutupan lahan dan perubahan lahan multiwaktu

(20)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomassa dan Karbon Tersimpan

2.1.1 Definisi Biomassa dan Karbon Tersimpan

Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown 1997 diacu dalam Lasco 2004). Biomassa terbagi menjadi dua komponen biomassa yaitu komponen biomassa di atas permukaan tanah dan komponen biomassa di bawah permukaan tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Komponen biomassa di atas permukaan tanah merupakan bagian terbesar dari total jumlah biomassa. Potensi penyerapan karbon secara maksimum dapat diperoleh dengan cara meningkatkan biomassa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada di tanah, karena jumlah bahan organik tanah relatif lebih kecil dan masa keberadaannya yang singkat (Canadell 2002 diacu dalam Lusiana et al. 2005).

Komponen karbon tersimpan di atas permukaan tanah meliputi tumbuhan hidup (batang, cabang, ranting, daun, buah, bunga, dan liana) dan tumbuhan yang telah mati (batang kayu dan akar mati, serta serasah). Komponen karbon tersimpan di bawah permukaan tanah meliputi akar tumbuhan, organisme tanah, dan bahan organik tanah. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon (carbon pool) dalam periode lama atau sebentar. Peningkatan jumlah karbon tersimpan dalam carbon pool mewakili jumlah karbon yang terserap oleh tumbuhan.

Lasco et al. (2004) menyatakan bahwa tumbuhan menyerap karbon dan disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara termudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon. Sedjo dan Salomon (1988) diacu dalam Lusiana et al. (2005) menjelaskan bahwa penyerapan cadangan karbon dapat ditingkatkan melalui cara: a) peningkatan pertumbuhan biomassa hutan secara alami; b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu; dan c) pengembangan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, CO2 yang diserap dari udara, air dan

(21)

seluruh tubuh tumbuhan dan akhirnya tertimbun dalam tubuh tumbuhan berupa daun, batang, ranting, bunga, biji dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tumbuhan hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sekuestrasi). Total jumlah C yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Total

jumlah C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati dapat menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran.

2.1.2 Pengukuran Biomassa dan Karbon Tersimpan

Pengukuran biomassa tumbuhan dilakukan untuk menduga nilai karbon tersimpan didalamnya. Penghitungan biomassa tumbuhan dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu a) sampling dengan pemanenan (destruktif); b) sampling tanpa pemanenan (non-destruktif); c) pendugaan menggunakan penginderaan jauh; dan d) pembuatan model (Sutaryo 2009). Parameter dan metode pengukuran biomassa yang telah digunakan dalam berbagai penelitian, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah dan metode pengukurannya

No. Parameter Metode

1. Arang dan abu Destruktif

2. Serasah kasar dan halus Destruktif

3. Tumbuhan bawah Destruktif

4. Tumbuhan berkayu Destruktif

5. Pohon hidup Non-destruktif, persamaan allometrik 6. Pohon mati yang masih berdiri Non-destruktif, persamaan allometrik 7. Pohon mati yang sudah roboh Non-destruktif, rumus silinder 8. Tunggak pohon Non-destruktif, rumus silinder Sumber: Hairiah et al. (2001).

2.1.3 Karbon Tersimpan di Berbagai Tipe Penutupan Lahan

(22)

13

Tabel 2 Karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi penelitian

Tipe lahan Lokasi Karbon tersimpan

(Mg.ha-1)

Hutan primer Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 230, 10 Hutan primer Tambling Wildlife Nature Conservation,

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan2

178, 44

Hutan sekunder (bekas tebangan 0 – 10 tahun)

Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 206, 80

Hutan sekunder Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan2

BKPH Parung Panjang, KPH Bogor3 26, 94

Kebun campuran (umur 0-10 tahun)

Resort Andongrejo, SPTN II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri4

28, 49

Agroforestri kopi muda Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan2

27, 92

Agroforestri cokelat muda Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan2

14, 04

Padi Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur1 4, 80 Padang rumput Tambling Wildlife Nature Conservation,

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan2

3, 44

Sumber: 1Lusiana et al. (2005); 2Prasetyo (2010); 3Dahlan et al. (2005); 4Tim PKLP TNMB 2010 (2010).

2.2 Perubahan Iklim

(23)

letusan gunung berapi), dan pendorong perubahan global lainnya (contoh: konversi lahan, polusi, eksploitasi sumberdaya alam secara tak terkendali) (Parry et al. 2007 diacu dalam Locatelli et al. 2008). Dampak perubahan iklim di

Indonesia antara lain meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kejadian iklim ekstrim, dan kekeringan, dapat berlanjut pada perusakan lingkungan dan degradasi (Kementerian Lingkungan Hidup 2010).

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropika terluas di Asia Tenggara akan terkena dampak perubahan iklim secara langsung. Hutan hujan tropika sangat rentan terhadap perubahan temperatur dan perubahan distribusi curah hujan karena umumnya berada di kelerengan yang curam dan memiliki kondisi iklim yang sangat spesifik (Pounds et al. 1999; Foster 2002 diacu dalam Locatelli et al. 2008). Mangrove sangat rentan terhadap perubahan iklim terutama dipengaruhi oleh kenaikan air laut, perubahan sedimentasi, erosi, dan salinitas. Inventarisasi GRK dalam IPCC Guidelines 2006 terbagi kedalam enam sektor yaitu energi, industri, pertanian, kebakaran gambut, perubahan tutupan lahan dan hutan, serta limbah.

Berdasarkan hasil inventarisasi GRK pada tahun 2000 – 2005 di Indonesia, emisi GRK dari sektor tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan atau LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) mencapai 48% dari total emisi GRK nasional, dengan emisi pada tahun 2004 sebesar 1,415 juta Gg.CO2e (Kementerian Lingkungan Hidup 2010). Emisi tersebut berasal dari

(24)

13

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di negara-negara berkembang menjadi isu penting dalam berbagai forum kehutanan terutama setelah masuknya isu ini ke dalam Agenda COP-11 UNFCCC (Conference of Parties-United Nations Framework Convention on Climate Change) di Montreal tahun 2005. REDD adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan dapat memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Masripatin 2007). Saat ini, skema REDD berkembang menjadi mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan, yang umum disebut REDD-plus (Kementerian Kehutanan 2010). Salah satu keputusan COP-13 di Bali yaitu dalam pelaksanaan implementasi REDD-plus, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional (Masripatin 2007). Metodologi berstandar internasional yang telah banyak diaplikasi oleh berbagai negara anggota COP adalah IPCC Guidelines 2006 yang berisi tentang panduan inventarisasi GRK. Keputusan COP-15 di Copenhagen menekankan pentingnya penggunaan kombinasi antara teknologi penginderaan jauh (remote sensing) untuk pemantauan perubahan penutupan lahan dengan inventarisasi karbon hutan di lapang (ground-based forest carbon inventory).

2.3 Perubahan Penutupan Lahan

Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan, yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 diacu dalam Lo 1996). Perubahan penutupan lahan dari yang bervegetasi menjadi terbuka akibat pembukaan lahan untuk pertanian atau pemukiman akan berdampak pada penyerapan sinar matahari dan penimbunan C (karbon). Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah karbon tersimpan akan merosot. Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi serasah, namun terjadi

secara bertahap. Pelepasan CO2 dalam jumlah besar secara terjadi saat kebakaran

(25)

dibandingkan dengan pemotongan tanpa pembakaran yang kehilangan jumlah karbon tersimpan relatif kecil hanya 22%.

2.4 Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Cadangan Karbon Berdasarkan Perubahan Tutupan Lahan

Penggunaan SIG dan penginderaan jauh dalam pendugaan cadangan karbon dan perubahannya telah dimasukkan dalam metode IPCC Guidelines 2006. Proses inventarisasi karbon dalam metode IPCC Guidelines 2006 menggunakan interpretasi kelas lahan dan perubahannya dari data satelit multiwaktu secara konsisten. Hasil pemetaan perubahan tutupan lahan akan diintegrasi dengan data hasil pengukuran cadangan karbon menghasilkan pendugaan perubahan cadangan karbon multiwaktu. Penggunaan data satelit multiwaktu secara konsisten dapat meningkatkan tingkat keakurasian pendugaan cadangan karbon pada lahan tersebut (IPCC 2006).

Ada lima satelit yang masih beroperasi hingga saat ini dan dapat digunakan dalam pemetaan penutupan lahan, yaitu Landsat, SPOT, IKONOS, Quick Bird, dan ALOS (Daichi). Penelitian ini menggunakan citra Landsat 5 TM dan citra Landsat 7 ETM+ karena memiliki rentang waktu perekaman citra yang lama ( >20 tahun). Penggunaan citra satelit multiwaktu dimaksudkan untuk membuat peta perubahan penutupan lahan multiwaktu dengan menggunakan citra satelit secara konsisten. Pada April 2003, satelit Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan pada korektor garis pemindai yang menyebabkan hilangnya sebagian data (gap data) pada koordinat tertentu. Gap data ini dapat menurunkan kualitas data dalam memantau penutupan lahan, sehingga perlu diperbaiki dengan menggunakan data satelit pada koordinat yang sama menggunakan data citra satelit alternatif (GOFC-GOLD 2009). Data citra satelit alternatif yang dapat digunakan antara lain Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+ yang telah diproses, SPOT, ASTER, IRS, CBERS, atau DMC.

(26)

13

citra landsat 7 ETM+ mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menduga kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium dibandingkan SPOT-5. Kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah tegakan A. mangium di areal BKPH Parung Panjang berdasarkan citra landsat 7 ETM+

sebesar 16,52 Mg.ha-1 (Dahlan et al. 2004).

Studi korelasi cadangan karbon dengan karakteristik spektral citra landsat di Gunung Papandayan dilakukan oleh Ulumuddin et al. (2005). Studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara cadangan karbon dengan kanal tunggal, indeks vegetasi dan texture measure. Hubungan tersebut masih relatif lemah (R < 0,70), sehingga masih diragukan keakuratannya bila dibuatkan model estimasinya. Peningkatan hubungan dapat dilakukan dengan regresi berganda metode stepwise, sehingga dapat diperoleh hubungan cadangan karbon dengan dua karakteristik spektral atau lebih yang korelasinya kuat (R > 0,70). Hubungan tersebut bersifat empiris, namun dapat digunakan untuk membuat model persamaan regresi untuk estimasi cadangan karbon pada tingkat bentang alam pada populasi data yang sama dan area yang sama.

Lusiana et al. (2005) menduga cadangan karbon berdasarkan nilai NDVI pada tingkat piksel dan hubungan regresi terhadap cadangan karbon di Daerah

Aliran Sungai (DAS) Sembakung dan Sebuku (Kabupaten Nunukan tanpa

Kecamatan Krayan). Widiyati et al. menggunakan citra Landsat 5 dan 7.

Penggunaan koreksi terhadap areal tutupan awan menunjukkan bahwa rata-rata

kerapatancadangan karbon di DAS Sembakung danSebuku (Kabupaten Nunukan

tanpa Kecamatan Krayan) menurun antara tahun 1996 – 2003 dari 211 Mg.ha-1 menjadi 175 Mg.ha-1. Hilangnya cadangan karbon sebesar 17% dalam kurun

waktu 7 tahun terjadi akibat konversi hutan primer seluas 217.000 ha (24%)

menjadi tipe penggunaan lahan lainnya yang masih menyimpan sebagian

cadangan karbon tersimpan dari hutan primer.

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2010 – Januari 2011, dengan rincian Mei – Juli 2010 di TNMB untuk pengambilan data lapang di TNMB dan Agustus 2010 – Januari 2011 untuk pengolahan data dan penyelesaian laporan akhir di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian pendugaan cadangan karbon di TNMB tersaji pada Gambar 2.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

a. Alat dan bahan yang digunakan saat pengukuran di lapang yaitu: Global Positioning System (GPS) Garmin eTrex Vista HCx, alat tulis dan kalkulator, tallysheet, kamera, meteran, pita ukur, plastik kiloan, trashbag transparan,

alkohol 70%, timbangan, golok, tali rafia, kompas, dan Oven Binder tipe ED. b. Alat dan bahan yang digunakan saat pengolahan dan analisis data yaitu: satu

paket Sistem Informasi Geografis (SIG), Software ERDAS Imagine 9.1, Software ArcGis 9.3, Software Microsoft word, Software Microsoft excel, citra landsat dan peta-peta pendukung penelitian.

Informasi keseluruhan citra landsat dan daftar peta pendukung yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Informasi citra satelit landsat dan daftar peta pendukung yang digunakan dalam penelitian

No. Judul Sumber

1. Peta rupa bumi Balai Taman Nasional Meru Betiri 2. Peta tata batas kawasan

3. Peta PSP dan Boundary REDD-plus

4. Citra Landsat path/row: 117/066, dengan seri Landsat dan tanggal perekaman yaitu:

4.1 TM / Landsat 5 acq. 6 Mei 1989 U.S. Geological Survey,

http://glovis.usgs.gov

4.2 ETM+ / Landsat 7 acq. 14 September 2001; 20 Mei 2005; 24 April 2007; 21 Januari 2009; dan 11 Februari 2010

Badan Planologi Kehutanan

(28)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB.

(29)

3.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi diameter pohon, bambu, pisang, jenis-jenis Arecaceae, liana, dan nekromassa, serta berat basah dan berat kering tumbuhan bawah dan serasah untuk dicari nilai biomassa dan karbon tersimpan, serta tipe penutupan lahan dan sejarah pengelolaan lahan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi citra landsat path/row 117/066 multiwaktu dan peta-peta pendukung penelitian, serta studi literatur untuk mendukung data primer dan analisis data tentang cadangan karbon. 3.4 Metode Pengambilan Data

3.4.1 Pembuatan Peta

3.4.1.1 Peta rupa bumi digital

Data spasial yang telah dikumpulkan kemudian diubah ke dalam data digital dengan dijitasi layar (on screen digitizing) dan seperangkat komputer menggunakan software ArcGis 9.3 yang menghasilkan keluaran berupa data digital. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai bahan data acuan dalam penentuan wilayah penelitian serta data acuan dalam koreksi geometrik pada pengolahan citra. Tahapan pemasukan data disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital.

Peta rupa bumi

Scan

Screen digitizing

Editing

Atributing

Transformasi koordinat

(30)

15

3.4.1.2 Peta penutupan lahan terklasifikasi

Metode yang digunakan yaitu pendekatan dengan membangun korelasi kuantitatif antara informasi dari skala piksel pada citra landsat dengan pengukuran jumlah karbon tersimpan di lapangan. Konsistensi penggunaan citra landsat untuk mendapatkan data perubahan penutupan lahan penting dilakukan dalam penelitian ini. Konsistensi penggunaan citra landsat diperlukan untuk mendapatkan peta perubahan penutupan lahan yang akurat untuk rentang waktu 22 tahun.

Citra satelit yang digunakan yaitu citra landsat 5 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter per 1 piksel. Khusus untuk citra landsat dengan waktu perekaman diatas tahun 2003, citra landsat mengalami kerusakan berupa area yang hilang berbentuk garis hitam (stripping gap) akibat kerusakan korektor pemindai pada satelit landsat 7 ETM+. Kerusakan stripping gap dapat diperbaiki dengan cara pengisian gap menggunakan alternatif citra landsat yang berdekatan bulan atau tahun. Hasil perbaikan citra tersebut masih memadai untuk memenuhi kebutuhan pembuatan peta penutupan lahan. Penjelasan mengenai cara perbaikan kerusakan citra (stripping gap) akan dijelaskan dalam tahapan lanjutan pengolahan citra.

Masing-masing band citra landsat yang diperoleh berupa kumpulan data Tagged Image File Format (TIFF) berdasarkan nomor band (saluran spektral) yang harus diubah terlebih dahulu (import file) menjadi data Image (IMG). Masing-masing data band berformat IMG lalu diproses dengan cara menyatukan 6 band sesuai komposisi band yang akan digunakan, yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. Penyatuan band ini disebut layerstack. Band yang digunakan untuk mengetahui kenampakan vegetasi dan non-vegetasi adalah komposisi band 5:4:3.

(31)

nilai RMS-error (Root Mean Square-error) yang menunjukkan tingkat ketepatan penempatan titik GCP terhadap peta RBi. Ketepatan titik GCP semakin tinggi bila nilai RMS-error semakin rendah. Pengujian keakuratan citra hasil koreksi geometrik dilakukan dengan menghitung penyimpangan terhadap peta RBi yang menjadi referensi. Citra hasil koreksi geometrik dapat diterima apabila posisi penyimpangan tidak melebihi satu piksel.

(32)

17

Setelah pengukuran di lapang selesai dilakukan, klasifikasi penutupan lahan dilakukan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan parametric rule untuk citra landsat ialah maximum likelihood. Masing-masing citra landsat diklasifikasi secara terbimbing dengan dipandu dari titik-titik koordinat plot sampling permanen (PSP) pengukuran biomassa. Penutupan lahan yang teridentifikasi setelah dilakukan pengukuran di lapang ternyata memiliki perbedaan dengan klasifikasi penutupan lahan yang menjadi acuan sebelumnya. Terdapat beberapa tipe penutupan lahan tambahan hasil dari pemisahan penutupan lahan tertentu, seperti yang awalnya penutupan lahan eks-jati diklasifikasi ulang menjadi kebun campuran dan areal pertanian, serta penutupan lahan perkebunan diklasifikasi ulang menjadi empat tipe penutupan lahan berbeda berdasarkan vegetasi yang ditemukan dan nilai digital number yang terlihat pada citra. Oleh karena itu, peta penutupan lahan yang dihasilkan memiliki tipe penutupan lahan yang lebih banyak daripada tipe penutupan lahan yang dijadikan acuan klasifikasi ulang. Hasil klasifikasi citra secara terbimbing berupa peta penutupan lahan pada tahun spesifik.

(33)
(34)

19

Gambar 4 Tahap pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB.

Citra satelit multiwaktu Peta pendukung: RBI

dan tata batas kawasan

Koreksi geometrik

Pemotongan citra

Penggunaan titik koordinat PSP REDD-plus

Survey lapang

Klasifikasi terbimbing Areal contoh

Pengukuran

karbon Citra multiwaktu

terklasifikasi

tidak

terima Akurasi

Peta penutupan lahan multiwaktu

1. Analisis perubahan tutupan lahan 2. Analisis perubahan cadangan karbon

Data perubahan cadangan karbon Karbon tiap tipe

(35)

3.4.2 Pengukuran Biomassa Tumbuhan 3.4.2.1 Penempatan sampling

Pengukuran biomassa tumbuhan dilakukan pada plot sampling permanen (PSP) di dalam kawasan yang telah dibuat oleh pengelola TNMB. Penentuan lokasi pengukuran dilakukan dengan menentukan letak PSP berdasarkan tipe penutupan lahan dan vegetasi yang ada di dalam kawasan. Penentuan sebaran PSP dilakukan dengan menetapkan jumlah PSP yang masing-masing berukuran 20 m x 100 m pada beberapa tipe penutupan lahan di TNMB. Ukuran dan jumlah PSP pengukuran cadangan karbon pada beberapa tipe penutupan lahan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Ukuran dan jumlah PSP pengukuran cadangan karbon pada beberapa tipe penutupan lahan

Tipe penutupan lahan Ukuran plot

(m2)

Jumlah plot

Hutan primer 2000 17

Hutan sekunder 2000 11

Mangrove 2000 2

Kebun campuran 2000 3

Areal pertanian 2000 1

Semak belukar 2000 3

Padang rumput dan alang-alang 2000 1

Perkebunan karet 2000 2

Total Plot 40

(36)

21

Gambar 5 Peta lokasi Plot Sampling Permanen (PSP) di TNMB.

(37)

3.4.2.2 Teknik pengukuran biomassa tumbuhan

Pengukuran biomassa pohon, tumbuhan non-berkayu, dan nekromassa dilakukan dengan cara non-destruktif. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan serasah dilakukan dengan cara destruktif. Metode pengambilan sampel dan bentuk plot contoh pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini diacu dalam panduan pengukuran biomassa oleh Hairiah dan Rahayu (2007). Bentuk plot pengukuran biomassa tumbuhan berbentuk persegi panjang dengan pembagian sub-plot yang disesuaikan dengan ukuran masing-masing sub-plot (Gambar 6). Plot pengukuran biomassa tumbuhan disebut plot sampling permanen (PSP). PSP yang digunakan merupakan PSP yang sudah dibuat dan ditetapkan oleh pengelola TNMB untuk kegiatan pengukuran dan pemantauan cadangan karbon.

20 m x 100 m

Keterangan:

a. Pal permanen tiap plot sampling permanen (PSP);

b. Subplot kecil untuk pengukuran semai berdiameter < 0,5 cm, tumbuhan bawah dan serasah, masing-masing berukuran 0,5 m x 0,5 m;

c. Subplot medium untuk pengukuran pohon berdiameter 5 cm-20 cm, bambu, pisang, jenis-jenis Arecaceae, dan liana;

d. Subplot besar untuk pengukuran pohon berdiameter > 20 cm dan nekromassa.

Gambar 6 Plot contoh untuk pengukuran biomassa.

Pembuatan plot contoh pengukuran dan cara pengukurannya yaitu sebagai berikut: a. Pada setiap lokasi dibuat plot contoh pengukuran pada lokasi yang kondisi vegetasinya seragam. Lokasi sebaiknya menghindari tempat bervegetasi terlalu rapat atau terlalu jarang. Plot dibuat dengan ukuran 20 m x 100 m (2000 m2) untuk sub-plot besar, yang didalamnya dibuat sub-plot medium berukuran 5 m x 40 m (200 m2) dan sub-plot kecil berukuran 0,5 m x 0,5 m (0,25 m2).

b. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan serasah dilakukan pada sub-plot kecil 0,5 m x 0,5 m (0,25 m2) sebanyak 6 plot. Tumbuhan bawah (herba dan rumput-rumputan) dan semai berdiameter > 5 cm diambil secara destruktif lalu dipisahkan antara daun dan batang. Serasah (daun-daun mati yang ada di atas

5 m x 40 m

a b c

(38)

23

permukaan tanah dan ranting mati yang ada di atas permukaan tanah dengan diameter < 5 cm) diambil dan dipisahkan antara daun dan batang. Tumbuhan bawah dan serasah dimasukkan ke dalam plastik spesimen dan diberi label. Lalu ditimbang berat basah daun atau batang, dan dicatat dalam tallysheet. c. Biomassa tumbuhan bawah dan serasah diketahui dari pengukuran sub-contoh

tanaman dari masing-masing biomasa daun dan batang sekitar 100 – 300 g. Bila biomasa contoh yang didapatkan hanya sedikit (< 100 gr) maka ditimbang semuanya dan dijadikan sebagai subcontoh. Sub-contoh biomassa tumbuhan yang telah diambil lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 0C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan nilai berat kering konstan. Setelah pengeringan selesai, ditimbang berat keringnya dan dicatat dalam tallysheet.

d. Biomassa pohon berdiameter 5 – 20 cm, tumbuhan non-berkayu (bambu, pisang, palmae), dan liana diukur dalam sub-plot medium berukuran 5 m x 40 m (200 m2). Pohon yang berada di dalam plot ini diukur diameter batang pohon setinggi dada (dbh = 1,3 m dari permukaan tanah). Tumbuhan non-berkayu diukur diameter dan tinggi individu, sedangkan liana diukur diameter saja. e. Biomassa pohon berdiameter > 20 cm dan nekromassa diukur dalam sub-plot

besar berukuran 20 m x 100 m (2000 m2). Pada plot ini, dilakukan pengukuran dbh batang pohon. Khusus untuk pohon tidak bercabang seperti kelapa, diukur diameter dan tinggi pohon. Pengukuran biomassa nekromassa dilakukan dengan membedakan cara pengukuran antara nekromassa bercabang (baik berupa pohon mati tegak maupun pohon mati rebah/tumbang) dan nekromassa tidak bercabang (tunggak atau pohon rebah maupun mati yang tidak bercabang). Pengukuran biomassa nekromassa bercabang diukur diameter pangkal dan diameter ujung lalu dirata-ratakan. Pengukuran biomassa nekromassa tidak bercabang diukur diameter (lingkar batang) dan panjang/tinggi nekromassa tersebut.

(39)

berdiameter < 5 cm, tumbuhan bawah, dan serasah didapatkan dari hasil penimbangan berat kering setelah dioven.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Biomassa Tersimpan

Pendugaan nilai biomassa tersimpan pada masing-masing tipe penutupan lahan didapat dari hasil perhitungan berat kering tumbuhan bawah, serasah, pohon, tumbuhan non-berkayu, dan nekromassa. Pendugaan nilai biomassa pohon, tumbuhan non-berkayu, dan nekromassa dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik yang telah dibuat dan diuji oleh para peneliti sebelumnya. Persamaan allometrik untuk pohon, tumbuhan non-berkayu, dan nekromassa disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Daftar persamaan allometrik yang digunakan untuk menduga nilai biomassa tersimpan

No. Kategori biomassa Persamaan allometrik Sumber

1. Pohon dan nekromassa bercabang BK = 0,11. (D2,62) Katterings (2001)

2. Arecaceae dan nekromassa tidak

bercabang BK = 0,25π. .H(D

Sumber: 1, 2, 5, 7, 8 diacu dalam Hairiah dan Rahayu (2007); 3, 4, 6 diacu dalam Dadun Sutaryo (2009).

(40)

25

Tabel 7 Kerapatan kayu pada berbagai tipe penutupan lahan

Tipe penutupan lahan Nilai tengah kerapatan kayu (g.cm-3)

Hutan primer 0,52

Hutan sekunder 0,50

Padang rumput dan alang-alang 0,48

Semak belukar 0,56

Agroforestri 0,52

Perkebunan karet 0,65

Nekromassa berkayu 0,40

Sumber: BTNMB (2010).

Pendugaan nilai biomassa tumbuhan bawah dan serasah didapatkan dari hasil perhitungan total berat kering (BK) sampel yang diacu dalam Hairiah dan Rahayu (2007) yaitu:

Total BK (g) =

3.5.2 Karbon Tersimpan

Nilai karbon tersimpan pada masing-masing tipe penutupan lahan dihitung dengan menggunakan faktor konversi karbon yang diacu dalam Lasco et al. (2004), yaitu:

1. Karbon tersimpan di hutan primer = biomassa x 50%

2. Karbon tersimpan di hutan sekunder dan mangrove = biomassa x 44,6% 3. Karbon tersimpan di agroforestri dan perkebunan = biomassa x 44% 4. Karbon tersimpan di semak belukar dan padang rumput dan alang-alang

= biomassa x 42,9%

Pada tipe penutupan lahan terbangun, lahan terbuka, dan badan air tidak dilakukan pengukuran cadangan karbon.

3.5.3. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon dalam Skala Lanskap

Penelitian ini menggunakan pendekatan klasifikasi kelas-kelas penutupan lahan berdasarkan hasil survey dan pengukuran yang telah dilakukan. Hasil klasifikasi penutupan lahan kemudian dikonversi menjadi kelas cadangan karbon berdasarkan atribut cadangan karbon dari kelas penutupan lahan tersebut. Pendugaan cadangan karbon berdasarkan data spasial dilakukan dengan menggunakan informasi luas penutupan lahan hasil klasifikasi.

Informasi luas tiap kelas penutupan lahan lalu dikalikan dengan data hasil perhitungan cadangan karbon di atas permukaan tanah dari kelas penutupan lahan yang bersangkutan. Pendugaan cadangan karbon pada empat citra terklasifikasi

BK subcontoh x Total BB BB subcontoh

Keterangan :

(41)

multiwaktu dilakukan dengan proses pemberian atribut ulang pada penutupan lahan dengan data rata-rata cadangan karbon tiap tipe penutupan lahan tersebut. Hasil yang diharapkan adalah dugaan cadangan karbon berdasarkan tipe penutupan lahan pada waktu yang berbeda, sehingga dapat diketahui perubahan cadangan karbon berdasarkan perubahan penutupan lahan.

(42)

27

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah dan Dasar Hukum

Kawasan hutan Meru Betiri pada awalnya berstatus hutan lindung yang ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Hindia Belanda, yaitu melalui Besluit van den Directur van Landbouw Neverheid en Hendel Nomor 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Beslutit Directur van Economiche Zaken Nomor 5751 tanggal 28 April 1938. Kawasan Meru Betiri pada tahun 1967 ditunjuk sebagai (calon) suaka alam. Kemudian komplek hutan Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 ha berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 276/Kpts/Um/6/1972 dengan tujuan utama untuk melindungi satwa harimau jawa (Panthera tigris sondaica).

Kawasan Suaka Alam Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 ha dengan SK Menteri Pertanian Nomor 529/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982. Perluasan tersebut meliputi Areal Perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT. Perkebunan Bandealit seluas 2155 ha serta kawasan hutan lindung sebelah utara dan perairan laut sepanjang pantai selatan seluas 845 ha. Suaka Margasatwa Meru Betiri kemudian dinyatakan sebagai kawasan (Calon) Taman Nasional melalui Surat Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. Pernyataan kawasan Meru Betiri sebagai (Calon) Taman Nasional dikeluarkan bersamaan dengan diselenggarakannya Kongres III Taman Nasional se-Dunia di Denpasar, Bali. Sejak berakhirnya ijin HGU perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT. Bandealit tahun 1980, maka status perluasan kawasan (Calon) Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58.000 ha diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 377/Kpts-II/1986 tentang pengaturan pengelolaan dalam masa peralihan areal perkebunan.

(43)

Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam No. 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 31 Desember 1999 dengan pembagian zonasi sebagai berikut:

a. Zona Inti seluas 27.915 ha terdiri atas hutan hujan tropika, hutan pantai, dan hutan bambu. Zona ini hanya dimanfaatkan untuk penelitian dan inventarisasi flora dan fauna yang bermanfaat.

b. Zona Rimba seluas 22.622 ha terdiri atas mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan hujan tropika dan hutan bambu. Zona ini umumnya digunakan untuk menunjang pendidikan dan penelitian seperti pengamatan satwa dan habitatnya serta ekosistem yang menunjang pendidikan dan rekreasi.

c. Zona Pemanfaatan Khusus seluas 1.285 ha merupakan formasi hutan hujan tropika dan hutan bambu. Kawasan ini secara khusus telah dimanfaatkan penduduk setempat untuk menanam palawija dan tanaman endemik, dan dipergunakan juga oleh peneliti untuk merehabilitasi kawasan yang telah rusak atau gundul.

d. Zona Rehabilitasi seluas 4.023 ha tersusun atas hutan pantai dan hutan bambu yang secara khusus dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, paket wisata. e. Zona Penyangga/Rehabilitasi seluas 2.155 ha yang hanya merupakan hutan

hujan tropika ini dikembangkan untuk ekoagroturisme dan budidaya tanaman obat serta penangkaran satwa jenis tertentu.

Sumber: BTNMB (2010).

(44)

29

4.2 Keadaan fisik Kawasan 4.2.1 Letak dan Luas

Kawasan TNMB terletak di dua wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Provinsi Jawa Timur yaitu bagian barat berada di kabupaten Daerah Tingkat II Jember dengan luas 37.626 ha dan bagian timur berada di kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Kawasan TNMB secara geografis

terletak antara 113º58'48’’ - 113º58'30’’ BT dan 8º20'48’’ - 8º33'48’’ LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Batas-batas wilayah kawasan TNMB meliputi:

a. Sebelah Utara, berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum Perhutani RPH Curahtakir.

b. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.

c. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia.

d. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Dati II Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen, PTPN XII Kota Blater dan RPH Sabrang.

4.2.2 Topografi

Kawasan TNMB berupa perbukitan yang berbatasan dengan kawasan pantai (bagian selatan). Kawasan ini berada pada ketinggian antara 900 - 1223 mdpl. Kondisi kelerangan tanah sangat beragam, mulai dari keadan datar, landai hingga memiliki kelerangan dengan tingkat yang curam. Kawasan Meru Betiri didominasi dengan bukit-bukit yang relatif tersebar secara merata. Keadaan umum topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Pantai datar yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-sungai yang berada di kawasan antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di Pantai Selatan Jawa

(45)

Sumberdadung (520 m dpl), dan G. Rajegwesi (160 m dpl). Gunung yang terdapat di SPTN II di Ambulu antara lain: G. Rika (535 m dpl), G. Guci (329 m dpl), G. Alit (534 m dpl), G. Gamping (538 m dpl), G. Sanen ( 437 m dpl), G. Butak (609 m dpl), G. Mandilis (844 m dpl), dan G. Meru (344 m dpl).

4.2.3 Geologi dan Tanah

Jenis tanah di kawasan TNMB secara umum merupakan asosiasi dari jenis aluvial, regosol dan latosol. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat rendah sampai pantai, sedangkan regosol dan latosol umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung. Suganda dkk (1992) dalam BTNMB (2010) menyebutkan bahwa geologi kawasan TNMB terdiri atas Aluvium, Formasi Sukamade, Formasi Puger, Formasi Batu Ampar, Anggota Batu Gamping Formasi Meru Betiri, Formasi Meru Betiri, Formasi Mandiku, dan Batu Terobosan.

Aluvium, Formasi Sukamade, Formasi Puger, Formasi Batu Ampar dan anggota batu gamping Formasi Meru Betiri berasal dari batuan endapan permukaan dan batuan sedimen. Formasi Meru Betiri dan Formasi Mandiku berasal dari batuan gunung api. Batuan terobosan berasal dari batuan terobosan. Aluvium terbentuk pada zaman Holosen Kuartier, Formasi Batu Ampar terbentuk pada Zaman Oligosen, Formasi Mandiku dan Formasi Puger terbentuk pada Zaman Akhir Miosen Tersier, Batuan terobosan terbentuk pada Zaman Tengah Miosen Tersier sedangkan Formasi Meru Betiri, Formasi Sukamade, anggota batu gamping Formasi Meru Betiri terbentuk pada Zaman Awal Miosen Tersier. 4.2.4 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim kawasan TNMB bagian utara dan tengah termasuk iklim B dan C, dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2.544 – 3.478 mm per tahun dengan rata-rata bulan kering selama empat sampai lima bulan dan bulan basah selama tujuh sampai sampai delapan bulan. Kawasan TNMB bagian barat mempunyai tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata 2.300 mm per tahun, dan kawasan bagian timur mempunyai curah hujan rata-rata 1.300 mm per tahun sehingga kondisinya lebih kering.

(46)

31

sampai dengan Maret, sedangkan pada akhir Bulan April sampai dengan Oktober terjadi musim kemarau. Curah hujan di kawasan ini bervariasi antara 1252 - 2818 mm per tahun dengan bulan basah antara bulan November - Maret, dan kering antara April - Oktober. Perkebunan Bandealit tercatat bahwa di Bandealit memiliki rata-rata curah hujan antara 1438 - 2818 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember – Maret. Perkebunan Sukamade tercatat bahwa di Sukamade memiliki rata-rata curah hujan tahunan antara 1307 – 1856 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari - Maret.

4.3 Potensi Biotik

4.3.1 Flora dan Tipe Habitat

Kawasan TNMB mempunyai flora sebanyak 518 jenis, terdiri atas 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi. Kawasan TNMB memiliki formasi vegetasi yang lengkap dan juga beberapa jenis flora langka antara lain bunga Rafflesia (Rafflesia zollingeriana), juga terdapat Balanophora fungosa yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp. Selain itu, terdapat pula jenis flora yang digunakan sebagai bahan baku obat/jamu tradisional sebanyak 239 jenis. Berikut ini merupakan jenis flora yang diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat adalah Cabe Jawa (Piper retrofractum), Kemukus (Piper cubeba), Kedawung (Parkia roxburghii), Kluwek/Pakem (Pangium edule), Kemiri (Aleuritus moluccana), Pule Pandak (Rauwolfia serpentina), Kemaitan (Lunasia amara), Anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora), Sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata).

Kawasan hutan TNMB didominasi oleh hutan hujan tropika dengan 5 tipe vegetasi. Lima tipe vegetasi tersebut terdiri atas hutan pantai, mangrove, hutan rawa, padang rumput dan alang-alang, serta hutan hujan tropika. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan TNMB dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Hutan Pantai

(47)

Barringtonia terdiri atas Keben (Baringtonia asiatica), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia catappa), Pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain. Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang memiliki luasan sedikit, umumnya menempati daerah sekitar teluk yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi.

b. Mangrove

Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah Bakau-bakauan (Rhizophora sp), Api-api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Di muara Sungai Sukamade terdapat formasi Nipah (Nypa fruticans).

c. Hutan Rawa

Jenis vegetasi yang banyak dijumpai diantaranya Mangga hutan (Mangifera sp), Sawo kecik (Manilkara kauki), Ingas/Rengas (Gluta renghas), Pulai (Alstonia scholaris), Kepuh (Sterculia foetida), dan Barringtonia spicota. Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang Hutan Payau Sukamade.

d. Padang Rumput dan Alang-alang

Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit. Jenis yang tumbuh antara lain Glagah (Saccharum spontanum), Rumput gajah (Panisetum curcurium) dan herba pendek serta rumput-rumputan.

e. Hutan Hujan Tropika

Tipe vegetasi ini terdiri atas hutan hujan bawah dan hutan hujan tengah. Sebagian besar kawasan hutan TNMB merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika. Pada tipe vegetasi ini juga terdapat jenis-jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana.

(48)

33

Rau (Dracontomelon mangiferum), Glintungan (Bischoffia javanica), Ledoyo (Dysoxylum amoroides), Randu agung (Gossampinus heptaphylla), Nyampuh (Litsea sp), Bayur (Pterospermum javanicum), Bungur (Lagerstromia speciosa), Segawe (Adenanthera microsperma), Aren (Arenga pinnata), Langsat (Langsium domesticum), Bendo (Artocarpus elasticus), Suren (Toona sureni), dan Durian (Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti: Bambu bubat (Bambusa sp), Bambu wuluh (Schizastychyum blumei), dan Bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Terdapat juga beberapa jenis rotan, diantaranya yaitu Rotan manis (Daemonorops melanocaetes), Rotan slatung (Plectomocomia longistigma), Rotan warak (Plectomocomia elongata) dan lain-lain.

4.3.2 Fauna

Fauna yang telah teridentifikasi di kawasan TNMB sebanyak 217 jenis, terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115 jenis yang tidak dilindungi, meliputi 25 jenis mamalia (18 diantaranya dilindungi), 8 reptilia (6 jenis diantaranya dilindungi), dan 184 jenis burung (68 jenis diantaranya dilindungi). Keragaman jenis fauna tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelas antara lain aves, mamalia, herpetofauna (amphibi dan reptilia) dan perairan. Kelompok besar yang berada dalam kawasan TNMB adalah jenis aves, mamalia (herbivora, primata dan karnivora besar) dan reptilia besar (penyu laut, biawak dan ular phyton).

Fauna yang terdapat di kawasan TNMB diantaranya adalah Banteng (Bos javanicus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Macan tutul (Panthera

pardus melas), Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), Rusa (Cervus timorensis), Bajing terbang ekor merah (Iomys horsfieldii), Merak (Pavo muticus), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu hijau (Chelonia mydas), dan Penyu ridel/lekang (Lepidochelys olivacea).

4.4 Potensi Wisata Alam

Gambar

Gambar 1  Kerangka penelitian pendugaan perubahan cadangan karbon di TNMB.
Tabel 1  Parameter-parameter biomassa dan nekromassa di atas permukaan tanah        dan metode pengukurannya
Tabel 2  Karbon tersimpan di berbagai tipe penutupan lahan di beberapa lokasi penelitian
Gambar 3  Bagan alir pembuatan peta rupa bumi digital.
+7

Referensi

Dokumen terkait

File yang telah dienkripsi hanya dapat dibuka dengan fasilitas Deskripsi dan juga harus mengetahui kunci atau password untuk mendeskripsi file hasil Enkripsi tersebut. Sehingga

Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tersebut, maka dapat diketahui bahwa bentuk akta ada dua yaitu akta yang dibuat oleh Notaris

tergantung pada bagaimana mereka berinteraksi dengan UMNO dan PAS, dua partai politik yangbanyak bersaing memperebutkan massa dari kelompok Islam. Namun demikian,

22 Hal itu dipahami dari arti bai’at yang berarti seseorang telah menyatakan dirinya terjual ( / ) atau dia telah menjual diri secara total untuk berupaya menegakkan aturan

Pembelajaran bukan sekadar guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, namun kegiatan pembelajaran harus dapat menciptakan suasana belajar yang membuat siswa nyaman

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) sedangkan pengolahan data menggunakan software e-views 4. Hasil penelitian ini

[r]

[r]