• Tidak ada hasil yang ditemukan

Detection and Identification of Plant Viruses and Mites from Import and Local Shallot

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Detection and Identification of Plant Viruses and Mites from Import and Local Shallot"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI VIRUS DAN TUNGAU PADA

BIBIT BAWANG MERAH IMPOR DAN LOKAL

ARIF KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

xiii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Deteksi dan Identifikasi Virus dan Tungau pada Bibit Bawang Merah Impor dan Lokal” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Arif Kurniawan NRP A352100194

(4)
(5)

i

ABSTRACT

ARIF KURNIAWAN. Detection and Identification of Plant Viruses and Mites from Import and Local Shallot. Supervised by GEDE SUASTIKA and SUGENG SANTOSO

Every year, Indonesia imports large amount of shallots from several countries. This hight importation may increase the risk of entrance of quarantine pests and diseases. Laboratory study was conducted in order to detect and identify viruses and mites associating import and local shallots. Observations were conducted using shallots imported from Thailand, Philippines, and China; whereas for local varieties, observations were done using several varieties of shallots (varieties Jawa, Biru, Nganjuk, Brebes and Tuk Tuk) collected from farmers in Bantul Districs Yogyakarta. Based on RT-PCR and sequencing of the nucleotide, no viruses were found on imported shallots, but Shallot

yellow stripe virus (SYSV) was found from local varieties Jawa and Brebes, with diseases

incidence of 60% and 53.3% respectively. Morphological-based identification found 12 genus of 11 families of non quarantine pest mites were found on import and local shallots. The most frequent species found were Caloglyphus berlesei, Cheyletus

mallacensis, Proctolaelaps sp and Leiodynichus sp.

(6)
(7)

iii

RINGKASAN

ARIF KURNIAWAN. Deteksi dan Identifikasi Virus dan Tungau pada Bibit Bawang Merah Impor dan Lokal. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA dan SUGENG SANTOSO

Bawang merah (Allium cepa L. var. ascalonicum Backer) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia, sehingga lalu lintas komoditas ini cukup tinggi, baik impor maupun antar daerah. Dari sisi perlindungan tanaman, tingginya laju impor bawang merah beresiko memperbesar peluang masuknya berbagai organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dari luar negeri ke Indonesia, diantaranya virus dan tungau. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus dan tungau yang terbawa pada umbi bawang merah impor dan lokal.

Penelitian dimulai sejak Oktober 2011 sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, serta Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian. Penelitian dilakukan dengan pemeriksaan sampel bawang merah impor asal Thailand, Filipina, China, varietas lokal (varietas Jawa, Biru, Nganjuk, Brebes dan Tuk Tuk) yang didapatkan dari Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Primary sample diambil secara acak pada tiga titik (bagian depan bawah, tengah dan bagian belakang atas) di dalam kontainer atau gudang penyimpanan bawang merah. Primary sample dicampur sampai homogen sehingga didapatkan composite sample. Sebanyak 2 kg submitted sample diambil dari composite sample dan dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu archive sample sebagai cadangan dan working sample untuk pemeriksaan virus dan tungau.

Pemeriksaan virus dilakukan dengan mengambil 30 umbi bawang merah dari working sample dan ditumbuhkan pada tanah steril di rumah kasa. Setelah tanaman berumur 20 hari, sampel daun diambil secara komposit yang masing-masing mewakili 5 tanaman. Selanjutnya dilakukan deteksi dengan metode two-step RT-PCR menggunakan primer spesifik untuk Onion yellow dwarf virus (OYDV), Shallot yellow stripe virus (SYSV), Shallot latent virus (SLV), dan Shallot virus X (ShVX). Hasil amplifikasi dilanjutkan dengan sikuen yaitu dengan mengirimkan sampel ke First Base Genetica Science (Singapura).

Pemeriksaan tungau dilakukan pada 15 g bagian umbi dan 4 g bagian daun dari working sample. Sampel diekstraksi dengan metode Berlese-Tullgren yang dimodifikasi. Tungau hasil ekstraksi dibuat preparat slide menggunakan media Heinze Polyvinyl Alcohol (PVA) dan dipanaskan pada suhu 43–45 oC selama 14 hari kemudian identifikasi dilakukan dengan pengamatan morfologi di bawah mikroskop.

(8)

iv

National Center for Biotechnology Information (NCBI) dan berdasarkan data GenBank menunjukkan bahwa tingkat kemiripan isolat SYSV pada varietas Jawa dan Brebes dengan SYSV isolat lain berkisar 91–94%. Berdasarkan analisis homologi terhadap sikuen nukleotida protein selubung menunjukkan bahwa SYSV isolat Jawa dan Brebes merupakan satu strain (nilai homologi kedua isolat 100%). SYSV isolat Jawa dan Brebes merupakan spesies yang sama dengan isolat SYSV dari China, Jepang, Korea Selatan dan Vietnam (nilai homologi kedua isolat dengan SYSV isolat lain lebih dari 90% yaitu berkisar 91.8–94.9%). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa nilai homologi sikuen nukleotida SYSV isolat Jawa dan Brebes hanya 72% bila dibandingkan dengan spesies lain (misalnya OYDV) di dalam genus Potyvirus. SYSV isolat Jawa dan Brebes paling dekat dengan SYSV isolat Hangzhou China dan SSan Korea Selatan dengan nilai homologi 94.9%. Analisis filogenetik memperlihatkan dengan jelas bahwa isolat SYSV isolat Jawa dan Brebes berada pada cluster yang sama dengan SYSV dari China, Korea selatan, Jepang dan Vietnam dan berbeda cluster dengan OYDV yang merupakan genus Potyvirus.

Berdasarkan identifikasi secara morfologi, pada bawang merah impor dan lokal ditemukan 12 genus dari 11 famili tungau yang bukan merupakan OPT Karantina. Tungau yang paling banyak ditemukan adalah Caloglyphus berlesei, Cheyletus mallacensis, Proctolaelaps sp. dan Leiodynichus sp. C. berlesei dan C. mallacensis merupakan tungau yang ditemukan pada semua jenis sampel bawang merah impor dan lokal. Proctolaelaps sp. ditemukan pada 3 dari 4 jenis sampel bawang merah impor dan semua jenis sampel bawang merah lokal. Leiodynichus sp. ditemukan pada semua jenis sampel bawang merah impor dan 3 dari 4 jenis sampel bawang merah lokal.

(9)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(10)
(11)

vii

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI VIRUS DAN TUNGAU PADA

BIBIT BAWANG MERAH IMPOR DAN LOKAL

ARIF KURNIAWAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dhamayanti Adidharma

(13)

ix

Judul Tesis : Deteksi dan Identifikasi Virus dan Tungau pada Bibit Bawang Merah Impor dan Lokal

Nama : Arif Kurniawan NRP : A352100194

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Deteksi dan Identifikasi Virus dan Tungau pada Bibit Bawang Merah Impor dan Lokal” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu prasyarat dalam menyelesaikan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Fitopatologi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc dan Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, pengkayaan wawasan, saran, kritik serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Dhamayanti Adidharma selaku Penguji luar komisi, Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc sebagai perwakilan dari Program Studi Fitopatologi yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Trisnasari, Ibu Iyar, Ibu Umu Salamah, Ibu Cucu, Pak Agusman, Pak Dedy, Pak Achrom, Ibu Kresnamurti, Pak Jati Adiputra, Ibu Isti, Ibu Wiwik Endarsih, Pak Agus Suparto, rekan-rekan di Bidang Benih Tumbuhan Badan Karantina Pertanian, Mbak Tuti, Mbak Miftah, Mbak Melinda di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi IPB, Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Perak, Balai Uji Terap Teknik dan Metoda Karantina Pertanian yang telah banyak membantu dan mendukung penulis dalam melaksanakan penelitian serta Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta Bapak Paidjan dan Ibu Sutiyem di Yogyakarta, Bapak Suparmin dan Ibu Tutik di Klaten, mas Antok serta adik-adikku (Bayu, Nugraha, Danang, Rindha) yang banyak memberikan dukungan, dorongan, kasih sayang, do’a serta semangatnya kepada penulis selama ini. Teruntuk istri tercinta Yuli Fitriati juga ananda tersayang Anindha Naazih Ramadhani, bapak ucapkan terima kasih atas semua yang telah kalian berikan untuk bapak selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Aprida Cristin, Selamet, Ratih Rahayu, Erna Maryana, Dwi Wahidati Oktarima, Aulia Nusantara, Rahma Susila, Joni Hidayat, Nur Fitriawati, Sri Setiyawati, Nurul Dwi Handayani, Lulu Sugiharto, Catur Yogo Hendro atas dukungan, persahabatan dan kerjasamanya selama ini. Semoga ini menjadi awal yang baik dan sukses selalu untuk kita semua.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2012

(16)
(17)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Desember 1980 dari pasangan Bapak Paijan dan Ibu Sutiyem. Penulis menyelesaikan studi S1 di Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, dan mendapatkan gelar sarjana tahun 2003.

Penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian sejak tahun 2005 sebagai petugas fungsional calon Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) di Stasiun Karantina Tumbuhan kelas II Adisucipto (sekarang Balai Karantina Pertanian kelas II Yogyakarta). Tahun 2006 penulis dimutasikan ke Balai Karantina Tumbuhan kelas I Soekarno-Hatta (sekarang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta) dan diangkat menjadi POPT pada tahun 2007. Tahun 2009 sampai saat ini penulis bertugas di Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Badan Karantina Pertanian.

(18)
(19)

xv

Mite-borne filamentous viruses (MbFV) .………... 7

Shallot latent virus (SLV) ……….. 8

Shallot yellow stripe virus (SYSV) ……… 9

Tungau pada Bawang Merah ……… 9

Aceria tulipae ……….. 9

Rhizoglyphus spp. ……… 10

Caloglyphus spp. ……… 11

BAHAN DAN METODE …..………….……….. 13

Waktu dan Tempat Penelitian ……...……… 13

Bahan Penelitian ……..………...……….. 13

Metode Pengambilan Sampel .………...………. 14

Metode Pemeriksaan Virus ………... 15

Penularan pada tanaman indikator ……….. 15

Deteksi secara molekuler ……… 16

Metode Pemeriksaan Tungau ………..……….. 19

Ekstraksi tungau ……….. 19

Pembuatan preparat ………. 20

HASIL DAN PEMBAHASAN .……… 23

Pengamatan Pertumbuhan Bawang Merah ………..…. 23

Deteksi Virus ….………..………...……….. 25

Penularan pada tanaman indikator ……….. 27

Deteksi secara molekuler (RT-PCR) …..………. 27

Pengamatan kejadian penyakit ……… 30

Identifikasi Tungau ………... 32

Jenis-jenis tungau yang ditemukan ….……….……… 31

Frekuensi spesies tungau yang ditemukan ………..… 46

KESIMPULAN ………..… 51

DAFTAR PUSTAKA ………... 53

(20)
(21)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Sampel bawang merah yang digunakan untuk pemeriksaan virus dan

tungau ………. 13

2 Komponen sintesis cDNA menggunakan First-Strand cDNA

Synthesis Kit (GE Healthcare) ……… 17 3 Primer yang digunakan untuk reaksi PCR terhadap virus pada

bawang merah ………. 18

4 Komposisi reaksi PCR menggunakan MasterMix (Qiagen) untuk

volume satu reaksi 25 µl ………. 18 5 Siklus PCR yang digunakan untuk amplifikasi DNA ……… 18 6 Data sikuen virus pada GenBank yang dibandingkan dengan isolat

SYSV Jawa dan Brebes ……….. 29

7 Homologi sikuen nukleotida gen protein selubung isolat SYSV pada bawang merah varietas Jawa dan Brebes dengan isolat virus pada

bawang-bawangan dari negara lain ……….. 29 8 Jenis tungau yang diperoleh dari ekstraksi umbi bawang merah

impor dan lokal dengan metode Berlese-Tullgren yang dimodifikasi .

(22)
(23)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Sampel bawang merah yang digunakan untuk pemeriksaan virus dan

tungau. Sampel bibit bawang merah impor asal Thailand (T1, T2), Filipina (F) dan China (C). Bibit lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J),

Nganjuk (Ng), Brebes (B) dan Tuk Tuk (Bj) …….……… 14 2 Skema Berlese-Tullgren yang dimodifikasi untuk ekstraksi tungau .. 20 3 Persentase daya tumbuh sampel umbi bawang merah yang diuji pada

hari ke 14 setelah tanam: bawang merah impor asal Filipina (F), asal Thailand (T1 dan T2), asal China (C). Bawang merah lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), Brebes (B), dan Tuk Tuk (Bj). Nilai rataan yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan analisis sidik ragam yang

dilanjutkan dengan uji Tukey ….………...……….. 23 4 Jumlah anakan maksimum sampel bawang merah yang diamati

sampai hari ke 20 setelah tanam: bawang merah impor asal Filipina (F), asal Thailand (T1 dan T2), asal China (C). Bawang merah lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), dan Brebes (B). Nilai rataan yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan

uji Tukey ……….……….……… 24

5 Tinggi tanaman bawang merah impor (a) dan lokal (b). Bawang merah impor: asal Thailand (── T1 dan ▲ T2), asal Filipina (── F), asal China (── C). Bawang merah lokal: varietas Biru (── Bi), Jawa (── J), Nganjuk ( ▲ Ng), Brebes (── B),

Tuk Tuk (── Bj) ………. 25

6 Sampel bawang merah yang telah ditumbuhkan di rumah kasa untuk

pengujian virus ………...………. 26

7 Gejala garis-garis pendek berwarna kuning pada daun abnormal yang diperoleh dari pertanaman bawang merah (a), gejala garis-garis kuning yang muncul pada sebagian bawang merah yang

ditumbuhkan di rumah kasa (b) ………...………...…… 26 8 Penentuan 6 komposit dari 30 umbi bawang merah yang

ditumbuhkan ………..……...……….. 27

9 Gejala lesio lokal pada tanaman C. amaranticolor pada hari ke 20 setelah inokulasi dengan sap daun bawang merah varietas Jawa (a),

(24)

xx

Halaman 10 Hasil PCR menggunakan primer spesifik OYDV (a), ShVX (b) dan

SLV (c) terhadap sampel bibit bawang merah impor asal Filipina (F), Thailand (T1, T2), dan China (C). Bibit lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), Brebes (B) dan Tuk Tuk (Bj). M = 100 bp

DNA Ladder (Fermentas) dan N = kontrol negatif .…...……… 28 11 Hasil PCR menggunakan primer spesifik SYSV terhadap komposit

(1–6) sampel bibit bawang merah asal Thailand (T1, T2), Filipina (F) dan China (C). Bibit lokal varietas Jawa (J) dan Brebes (B). M =

50 bp DNA Ladder (Fermentas) dan N = kontrol negatif .…….…… 28 12 Pohon filogenetik SYSV pada umbi bawang merah varietas Jawa

dan Brebes ………... 30

13 Hasil amplifikasi untuk deteksi SYSV pada setiap individu (1–5) sampel bibit bawang merah lokal varietas Jawa (a) dan varietas Brebes (b) pada komposit (K.1, 2, 3, 4, 5 dan 6), M = 50 bp DNA

Ladder (Fermentas), P = kontrol positif dan N = kontrol negatif ….. 31 14 Persentase daya tumbuh () dan persentase infeksi SYSV () pada

sampel bibit bawang merah yang diimpor dari Thailand (T1, T2), Filipina (F) dan China (C), dan bibit lokal varietas Jawa (J) dan

Brebes (B) ………... 31

15 Morfologi C. berlesei yang ditemukan pada umbi bawang merah (a– g) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (h–k). tungau betina (a), tungau jantan (b), jantan heteromorfik (c), hypopus (d), cakar pada pretarsus (e), seta berbentuk daun pada pretarsus (f), ujung seta d4 bergerigi (g), ilustrasi tungau betina (h), cakar pada pretarsus (i), seta berbentuk daun pada pretarsus tungkai

I pada pemampang dorsal (j) dan penampang ventral (k) ……… 35 16 Morfologi Hystiostoma sp. yang ditemukan pada umbi bawang

merah (a–b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–d). Tungau betina dewasa (a), Hypopus (b), ilustrasi bagian

dorsal (c) dan bagian ventral (d) ………. 36 17 Morfologi Polyphagotarsonemus sp. yang ditemukan pada umbi

bawang merah (a) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (b–c). Tungau betina dewasa (a), ilustrasi bagian dorsal (b)

dan bagian ventral (c) ……….……….... 38 18 Morfologi Klemania sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah

(a–d) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (e–f). Tungau dewasa (a), susunan seta dorsal (b), bentuk seta dorsal (c), penebalan sternal (d), ilustrasi susunan seta dorsal (e) dan penebalan

(25)

xxi

Halaman 19 Morfologi Bdella sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–

b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–g). Tungau dewasa (a), gnatosoma (b), ilustrasi bagian dorsal (c), bagian ventral (d), palpus (e), ujung palpus (f), chelicera (g) ….…………...

40

20 Morfologi Cheyletus mallacensis yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–e). Tungau dewasa (a), gnatosoma (b), ilustrasi tungau dewasa

(c), gnatosoma (d), tungkai pertama (e) …….……… 42 21 Morfologi Cunaxa sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–

b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c). Tungau dewasa (a), bagian anterior (gnatosoma dan propodosoma)

(b), ilustrasi gnatosoma (c) .……….………... 43 22 Morfologi Tydeus sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a)

dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (b–c). Tungau dewasa (a), ilustrasi bagian dorsal (b), bagian ventral (c) ...

44

23 Morfologi Typhlodromus sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–d). Tungau dewasa (a), susunan seta pada dorsal (b), ilustrasi

susunan seta dorsal (c) dan penampang bagian ventral (d) ...……….. 45 24 Morfologi Proctolaelaps sp. yang ditemukan pada umbi bawang

merah (a–c) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–g). Tungau dewasa (a), susunan seta dorsal (b), gnatosoma (c), ilustrasi bagian dorsal (d), bagian ventral (e), gnatosoma (f), bentuk

chelicera (g) ……….…... 46

25 Morfologi Leiodynichus sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (b– d). Tungau dewasa (a), ilustrasi penampang idiosoma dari arah

lateral (b), bagian dorsal (c), bagian ventral (d) …..……… 47 26 Morfologi Trematura sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah

(a) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (b).

(26)
(27)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium cepa L. var. ascalonicum Backer) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 725 000 ton, dan konsumsi bawang merah ini meningkat sekitar 5% setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan. Dengan demikian secara ekonomi, usaha bawang merah cukup menguntungkan serta mempunyai pasar yang cukup luas (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2006).

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) kebutuhan domestik bawang merah pada tahun 2010 adalah 976 284 ton dengan perincian 824 284 ton untuk konsumsi, 97 000 ton untuk benih, 20 000 ton untuk kebutuhan industri dan 35 000 ton untuk ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012) produksi bawang merah pada tahun 2010 mencapai 1 048 934 ton. Meskipun produksi bawang merah sudah bisa melampaui kebutuhan dalam negeri, pada tahun 2010 Indonesia masih melakukan impor bawang merah sebesar 76 173.68 ton (165.16 ton untuk bibit dan 76 008.52 ton untuk konsumsi); sementara volume ekspor bawang merah pada tahun 2010 sebesar 1 237.55 ton. Pada tahun 2011 impor bawang merah mengalami peningkatan nyata menjadi 158 288.60 ton (3 841.66 ton untuk bibit dan 154 446.94 ton untuk konsumsi), sedang volume ekspornya sebesar 11 589.62 ton (Badan Karantina Pertanian 2012).

(28)

2

diperkirakan seluas 116 900 hektar. Daerah tersebut adalah NAD (Pidie), Sumatera Utara (Tapanuli Utara, Tobasa dan Padang Sidempuan), Jawa Barat (Majalengka, Cirebon dan Bandung), Jawa Tengah (Kendal, Pemalang, Tegal dan Brebes), DIY (Kulon Progo dan Bantul), Jawa Timur (Probolinggo, Nganjuk, Pamekasan dan Kediri), NTB (Lombok Timur dan Lombok Barat), Nusa Tenggara Timur (Rote Ndau), Sulawesi Tengah (Kota Palu dan Donggala), Sulawesi Utara (Sangihe Talaud), Sulawesi Selatan (Enrekang).

Sehubungan dengan era perdagangan global, arus perdagangan komoditas pertanian antar negara semakin meningkat. Kebutuhan dan konsumsi bawang merah di Indonesia mendorong tingginya arus lalu lintas bawang merah baik impor maupun antar daerah di wilayah Indonesia, baik sebagai bahan perbanyakan untuk budidaya maupun untuk konsumsi. Dari sisi perlindungan tanaman, tingginya laju impor bawang merah beresiko memperbesar peluang masuknya berbagai Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dari luar negeri ke Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus melakukan berbagai upaya pencegahan terhadap masuknya OPT, khususnya OPT Karantina (OPTK) yang dapat terbawa pada bawang merah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memperketat pengawasan terhadap bawang merah impor agar bebas dari berbagai OPTK. Beberapa OPTK yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan kelompok virus dan tungau. Virus penting pada bawang merah antara lain Onion yellow dwarf virus (OYDV), Mite-borne filamentous virus (MbFV), Shallot latent virus (SLV), dan Shallot yellow stripe virus (SYSV) sedangkan tungau penting pada bawang merah adalah Aceria tulipae, Rhizoglyphus spp. dan Caloglypus spp. (Diekmann 1997; EPPO 2007; CABI 2007). Menurut Peraturan Menteri Pertanian nomor 93 tahun 2011, virus dan tungau yang merupakan OPTK adalah OYDV dan Rhizoglyphus echinopus.

(29)

3

Peraturan Menteri Pertanian nomor : 18/Permentan/OT.140/2/2008 jo. nomor 90/Permentan/OT.140/12/2011 tahun 2011 tentang Persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Dalam rangka mitigasi terhadap introduksi dan penyebaran OPTK bawang merah, peraturan-peraturan yang ditetapkan perlu didukung dengan informasi dan kajian ilmiah sebagai dasar untuk penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi peraturan yang telah ditetapkan. Disamping itu informasi dan kajian ilmiah tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan informasi teknis yang diperlukan untuk mendukung akselerasi ekspor produk pertanian, khususnya bawang merah.

Data mengenai beberapa OPT bawang merah di Indonesia sudah ada namun masih perlu dilengkapi, terutama untuk kelompok virus dan tungau yang dapat terbawa pada umbi bawang merah yang dilalulintaskan. Oleh karena itu perlu penelitian untuk melakukan deteksi dan identifikasi virus dan tungau baik pada bibit bawang merah impor maupun lokal.

Tujuan Penelitian

(30)

4

(31)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Bawang Merah

Bawang merah (Allium cepa L. var. ascalonicum Backer) merupakan anggota famili Lilyceae yang dapat dikembangbiakkan secara vegetatif melalui umbi dan juga secara generatif melalui biji. Bawang merah banyak diusahakan di daerah tropis pada dataran rendah (10–250 m dpl), tetapi juga dapat tumbuh di dataran tinggi (800–1200 m dpl). Tanaman ini tumbuh baik pada lingkungan dengan suhu udara 25–32 oC, kelembaban udara rendah, dengan panjang penyinaran lebih dari 12 jam. Jenis tanah yang sesuai adalah lempung berpasir, tanah aluvial atau latosol berpasir dengan struktur bergumpal yang kaya bahan organik, drainase baik dan pH tanah 5.5 sampai dengan 6.5 (Schwartz & Mohan 1999; Karno 2011). Sentra pertanaman bawang merah di Indonesia meliputi: Cirebon, Majalengka, Majalaya, Ciwidey, Brebes, Bantul, Nganjuk dan Batu-Malang (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2006; Basuki & Kurniawan 2009).

Pada umumnya bahan perbanyakan bawang merah berupa umbi. Umbi yang digunakan untuk bahan perbanyakan biasanya diperoleh dari tanaman yang sudah cukup tua (berumur 70–80 hari setelah tanam), berukuran sedang (5–10 gram per umbi), segar dan sehat (padat dan tidak keriput), serta berwarna cerah (tidak kusam). Sebelum ditanam umbi harus disimpan 2–4 bulan setelah panen atau panjang tunasnya sudah mencapai setengah panjang umbi atau lebih (Karno 2011).

Bawang merah di daerah tropis umunya sulit menghasilkan biji, sehingga budidaya bawang merah umumnya dilakukan dengan penanaman umbi bibit. Umbi bibit dihasilkan dengan memperpanjang waktu panen menjadi 60–80 hari. Sementara untuk tujuan konsumsi bawang merah dipanen setelah 55 hari (Schwartz & Mohan 1999; Karno 2011). Waktu panen ini lebih cepat dibandingkan waktu panen bawang merah dari biji yang baru dapat dipanen 85 hari setelah tanam.

(32)

6

penyakit. Sebagian besar OPT bawang merah ditularkan dan disebarkan melalui umbi sebagai bahan perbanyakan diantaranya adalah kelompok virus dan tungau.

Virus pada Bawang Merah

Beberapa jenis virus yang menyerang bawang-bawangan, antara lain adalah Garlic common latent virus (GCLV), Garlic dwarf virus, Leek yellow stripe virus (LYSV), OYDV, SLV, dan SYSV. Virus-virus tersebut dapat ditularkan oleh Myzus ascallonicus, Aphis fabae dan beberapa famili Aphididae lainnya secara non persisten. Virus lain yang menyerang bawang-bawangan adalah MbFV yang dapat ditularkan oleh tungau (Diekmann 1997; EPPO 2007). Empat jenis virus yang dianggap penting pada bawang merah adalah OYDV, MbFV, SLV, dan SYSV (Diekmann 1997; EPPO 2007; CABI 2007).

Onion yellow dwarf virus (OYDV)

Virus ini termasuk genus Potyvirus, partikel virus berbentuk filamen, tidak terbungkus, umumnya berlekuk-lekuk (flexuous), panjang sekitar 772–823 nm dengan berat protein selubung sekitar 34 kDa (Takaichi et al. 2001). Virus ini ditularkan oleh M. persicae dan beberapa famili dari Aphididae secara non persisten serta dapat ditularkan secara mekanis. Virus tidak ditularkan secara kontak antara tanaman terinfeksi dan tanaman sehat, tidak ditularkan melalui biji maupun polen. Penyebaran virus secara alami dibantu serangga vektor dan melalui bahan perbanyakan vegetatif dari bawang yang terinfeksi (Brunt et al. 1996; Diekmann 1997).

Gejala OYDV pada daun bawang merah berupa garis-garis tidak beraturan berwarna kuning atau terlihat hampir seluruhnya menguning. Daun melengkung ke bawah, memipih dan mengeriting. Pertumbuhan tanaman terganggu sehingga menjadi kerdil dan ukuran umbi lebih kecil dibandingkan umbi normal. Jika infeksi OYDV disertai infeksi virus lain, akan menimbulkan gejala yang lebih parah (Bos et al. 1978; Diekmann 1997).

(33)

7

pengaruh pada bawang daun. OYDV dapat menyebabkan gejala lesio lokal pada Chenopodium murale (Diekmann 1997; CABI 2007).

Virus dapat dideteksi secara serologi dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), namun pada awal pertumbuhan tanaman sulit dideteksi karena konsentrasi virus sangat sedikit (Van Dijk 1993; Brunt et al. 1996).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 93/Permentan/OT.140/12/ 2011 tahun 2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina, OYDV merupakan OPTK kategori A2 yaitu sudah ada di Indonesia, namun penyebarannya masih terbatas dan merupakan golongan I yaitu tidak dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan.

Mite-borne filamentous viruses (MbFV)

Virus ini termasuk genus Alexivirus dengan sifat filogenetik antara Potyvirus dan Carlavirus. Bentuk partikel virus berupa filament berlekuk (flexuous crossbanded) dengan panjang 700–800 nm (Diekmann 1997; Antoniw & Adams 2012). Beberapa virus yang termasuk dalam MbFV adalah Onion mite-borne latent dan Shallot mite-borne latent viruses (Van Dijk et al. 1991), Shallot virus X (ShVX) (Kanyuka et al. 1992; Vishnichenko et al. 1993), Garlic viruses A, B, C, D (Sumi et al. 1993) dan Garlic mite-borne mosaic virus (Yamashita et al. 1996). Sampai saat ini pembeda virus-virus tersebut masih belum jelas (Diekmann 1997).

Virus ditularkan oleh Aceria tulipae (Eriophyid Wheat Curl Mite). Virus ini juga dapat ditularkan secara mekanis tetapi tidak ditularkan melalui benih. Sehingga selain melalui vektor, penyebaran MbFV lebih banyak melalui bahan perbanyakan vegetatif (Van Dijk et al. 1991; Diekmann 1997).

Infeksi MbFV bersifat laten, sehingga umumnya tidak menimbulkan gejala atau jika timbul gejala hanya berupa garis-garis pendek yang tipis (Diekmann 1997). Virus ini dapat menginfeksi bawang merah, bawang putih, bawang

(34)

8

C. amaranticolor, C. murale, C. quinoa dan Atriplex hortensis menunjukkan terjadinya lesio lokal (Van Dijk et al. 1991; Van Dijk & Van der Vlugt 1994).

Virus ini sudah tersebar luas, namun arti penting secara ekonomi dan kerugian yang ditimbulkan belum banyak dilaporkan (Diekmann 1997). Tingginya variabilitas protein selubung MbFV, menyebabkan virus ini sulit dideteksi dengan metode serologi (Diekmann 1997).

Shallot latent virus (SLV)

Virus ini termasuk genus Carlavirus, partikel virus berbentuk filamen sedikit berlekuk (flexuous) dengan panjang sekitar 650 nm (Diekmann 1997; Antoniw & Adams 2012). Virus ini dapat ditularkan secara mekanis maupun melalui vektor kutu daun secara non persisten. Namun demikian, penularan SLV melalui kutu daun kurang efisien dibandingkan Potyvirus, sehingga penyebaran virus ini lebih banyak melalui bahan perbanyakan vegetatif. Penularan SLV melalui benih khususnya pada bawang merah dan bawang putih belum dilaporkan (Van Dijk 1993; Diekmann 1997).

Infeksi tunggal SLV pada bawang merah, bawang putih, bawang bombai dan bawang daun tidak menunjukkan gejala dan kurang mempunyai arti penting. Tetapi jika infeksinya menyertai infeksi virus lain (dari genus Potyvirus), virus ini dapat memperparah kerusakan dan menyebabkan kehilangan hasil yang serius. Pada tanaman indikator Chenopodium spp., Celosia argentea dan Vicia faba, SLV menimbulkan gejala lesio lokal (Van Dijk 1993) serta gejala sistemik pada Nicotiana occidentalis dan N. hesperis.

Selain pada bawang merah dan bawang putih, SLV mempunyai kisaran inang yang luas dalam famili Alliaceae dan ditemukan pada lebih dari 80 Allium spp. Virus ini tersebar luas di Asia dan Eropa, serta pernah dilaporkan di Mexico (Van Dijk 1993; Barg et al. 1997).

(35)

9

Shallot yellow stripe virus (SYSV)

Virus ini termasuk genus Potyvirus, bentuk partikel virus berlekuk-lekuk (flexuous) dengan panjang sekitar 700–800 nm. Virus ini ditularkan oleh kutu daun secara non persisten, dapat ditularkan secara mekanis namun tidak ditularkan melalui biji. Selain melalui vektor, penyebaran virus ini lebih banyak melalui bahan tanaman yang terinfeksi (Van Dijk 1993; Van der Vlugt et al. 1999).

Gejala pada daun bawang merah berupa garis-garis mosaik berwarna kuning tipis dan merupakan gejala ringan. Isolat SYSV yang virulen dapat menyebabkan malformasi, hambatan pertumbuhan tanaman, dan nekrosis. Inokulasi pada tanaman indikator C. quinoa dan C. amaranticolor menyebabkan terjadinya lesio lokal (Diekmann 1997).

Virus ini telah dilaporkan tersebar luas di Asia (Diekmann 1997) termasuk di Indonesia, China, dan Thailand (Van der Vlugt et al. 1999), namun arti penting secara ekonomi belum dilaporkan. Inang SYSV adalah bawang merah, bawang multiplier, chinese chive, bawang putih, bawang bombai dan rakkyo. SYSV dapat dideteksi dengan Triple Antibody Sandwich (TAS)-ELISA menggunakan antibodi monoklonal (Barg et al. 1997).

Selain empat jenis virus tersebut, virus lain yang dapat menyerang bawang merah adalah Arabis mosaic virus (pernah dilaporkan di Jerman dan Belanda), Tobacco necrosis virus (pernah dilaporkan di Belanda), serta Tomato black ring virus (pernah dilaporkan di Irlandia Utara, Jerman dan Belanda), namun statusnya bukan merupakan virus penting pada bawang merah (Diekmann 1997).

Tungau pada Bawang Merah

Tungau yang dianggap penting pada bawang merah adalah A. tulipae, R. echinopus, R. setosus dan Caloglypus spp. (Diekmann 1997; CABI 2007).

Aceria tulipae

(36)

10

umbi. Bentuk nimfa menyerupai dewasa dan terbagi menjadi dua stadia. Tungau dapat ditemukan di sepanjang lipatan rongga pada daun, dan setelah dewasa, tungau bergerak menuju umbi. Pada kondisi yang tidak mendukung, tungau memasuki fase diapause. Penyebaran tungau dapat melalui bahan tanaman dan angin (Diekmann 1997).

Kerusakan yang ditimbulkan tungau ini mirip dengan gejala virus. Tanaman mengalami hambatan pertumbuhan, pada daun terjadi goresan-goresan mosaik berwarna kuning, mengalami distorsi, saling melilit dan terlipat sehingga sulit dipisahkan. Tungau ini juga dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada umbi yang disimpan berupa pembusukan umbi (Diekmann 1997).

Tungau bersifat kosmopolit dan merupakan hama penting pada bawang putih, bawang merah dan bawang bombai. Selain menyebabkan kerusakan secara langsung, tungau ini juga merupakan vektor MbFV (Diekmann 1997).

Rhizoglyphus spp.

Tungau ini termasuk famili Acaridae (bulb mites). Tubuh berbentuk bulat, berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan dengan panjang tubuh 0.3–0.9 mm. Tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki gemuk, pendek berwarna putih sampai kecoklatan dan pergerakannya lambat (Diekmann 1997).

Telur berbentuk bulat dengan diameter 0.2 mm dan diletakkan pada umbi. Pada kondisi yang sesuai, tungau betina dapat meletakkan telur sampai 100 butir dan siklus hidupnya kurang dari 15 hari. Pada suhu 27 oC tungau ini memerlukan waktu 12 hari untuk menyelesaikan siklus hidupnya, sementara pada suhu 16 oC siklus hidupnya berlangsung selama 40 hari. Pada kondisi yang tidak mendukung tungau ini membentuk tahap pradewasa khusus yang berwarna coklat mengkilap. Penyebaran tungau melalui serangga, vertebrata, atau bahan tanaman yang terserang tungau ini (Diekmann 1997; Biobest 2011).

(37)

11

penyakit, atau karena luka mekanis. Infestasi berat di penyimpanan menyebabkan pelunakan dan pembusukan umbi secara masal (Diekmann 1997).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 93/Permentan/OT.140/12/ 2011 tentang Jenis organisme pengganggu tumbuhan karantina. R. echinopus (bulb mite) merupakan OPTK kategori A1 yaitu OPTK yang dinyatakan belum ada di Indonesia dan merupakan golongan II atau dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan.

Caloglyphus spp.

Tungau ini termasuk famili Acaridae, tubuh gemuk membulat berukuran 0.6–0.9 mm. Siklus hidupnya dipengaruhi suhu dan kelembaban. Pada suhu lingkungan 22 oC dengan kondisi kelembaban dan ketersediaan sumber pakan yang mendukung, siklus hidup berlangsung antara 8–9 hari. Perkembangbiakan akan semakin meningkat pada kelembaban relatif yang tinggi. Sehingga dalam waktu 39 hari, satu ekor tungau betina dapat menghasilkan telur sebanyak 1034 butir. Tungau ini menyukai tempat lembab, bercendawan dan tempat yang mengandung lapisan film air tipis (Hughes 1961).

(38)
(39)

13

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Oktober 2011 sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, serta Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel umbi bawang merah impor asal Thailand, Filipina dan China; dan sampel umbi bawang merah lokal varietas Jawa, Biru, Brebes dan Nganjuk, serta sampel bawang merah bentuk biji varietas Tuk-Tuk (PT. East West Seed Indonesia). Jenis sampel bawang merah impor dan lokal yang didapatkan untuk penelitian sebagian besar berupa umbi (Tabel 1 dan Gambar 1). Sampel tanaman bawang merah bergejala virus digunakan sebagai kontrol positif untuk pemeriksaan virus. Pemeriksaan virus menggunakan tanaman indikator C. amaranticolor, bufer fosfat, Xprep Plant RNA Mini Kit (Philakorea Technology), First-Strand cDNA Synthesis Kit (GE Healthcare), MasterMix (Qiagen) dan primer spesifik untuk OYDV, SYSV, SLV, dan ShVX. Alkohol 70% dan media Heinze Polyvinyl Alcohol (PVA) diperlukan untuk pemeriksaan tungau.

Tabel 1 Sampel bawang merah yang digunakan untuk pemeriksaan virus dan tungau

(40)

14

Gambar 1 Sampel bawang merah yang digunakan untuk pemeriksaan virus dan tungau. Sampel bibit bawang merah impor asal Thailand (T1, T2), Filipina (F) dan China (C). Bibit lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), Brebes (B) dan Tuk Tuk (Bj).

Metode Pengambilan Sampel

Sampel bawang merah impor diambil dari pelabuhan laut Tanjung Priok Jakarta dan pelabuhan laut Tanjung Perak Surabaya. Pengambilan sampel bawang merah impor dilakukan pada saat bawang merah diturunkan dari alat angkut di gudang pemilik. Pengambilan sampel bawang lokal dilakukan di gudang penyimpanan bawang merah di kabupaten Bantul Provinsi DIY dan sampel tanaman bawang merah bergejala virus yang digunakan sebagai kontrol positif diambil di kabupaten Bantul Provinsi DIY.

Pengambilan sampel dilakukan di dalam kontainer (sampel bawang merah impor) dan gudang penyimpanan (sampel bawang merah lokal) dengan cara mengambil bawang merah secara acak pada tiga titik di dalam kontainer atau gudang yaitu di bagian depan bawah, tengah dan bagian belakang atas untuk mendapatkan primary sample. Primary sample dicampur hingga homogen sehingga didapatkan composite sample. Dari composite sample diambil  2 kg submitted sample untuk dibawa ke laboratorium.

(41)

15

langsung untuk menekan pengaruh fluktuasi suhu saat pengangkutan ke laboratorium.

Di laboratorium, submitted sample dipisahkan menjadi dua bagian yaitu archive sample sebagai sampel cadangan dan working sample digunakan untuk pemeriksaan virus dan tungau. Pengambilan sampel tanaman bawang merah bergejala dilakukan dengan mengamati pertanaman bawang merah milik petani, kemudian memotong sampel daun dari tanaman yang menunjukkan gejala serangan virus berupa garis-garis mosaik berwarna kuning pada daun dan tanaman yang mengalami hambatan pertumbuhan.

Metode Pemeriksaan Virus

Pemeriksaan virus pada bibit bawang merah dilakukan dengan mengambil secara acak 30 umbi bawang merah dari working sample, kemudian ditumbuhkan pada tanah steril di rumah kasa. Sterilisasi tanah menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC tekanan 1 atm selama 15 menit. Sebelum ditanam, umbi dipotong 25% (atau  1.5 cm) bagian ujung umbi untuk mempercepat pertumbuhan. Setelah bawang merah berumur 20 hari, diambil sampel daun komposit yang masing-masing mewakili 5 tanaman.

Sampel yang telah diambil digunakan untuk penularan pada tanaman indikator (C. amaranticolor), pemeriksaan secara molekuler dengan metode reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) dan untuk penentuan kejadian penyakit (virus) pada sampel bawang merah tersebut.

Penularan pada tanaman indikator

(42)

16

Deteksi secara molekuler

Deteksi virus secara molekuler dilakukan dengan metode two-step RT-PCR, dengan tahapan meliputi ekstraksi RNA, sintesis complementary DNA (cDNA), PCR, visualisasi hasil PCR dan dokumentasi.

Ekstraksi RNA. Ekstraksi RNA total dari 0.1 g daun bawang merah dilakukan dengan menggunakan Xprep Plant RNA Mini Kit (Philakorea Technology). XPRB buffer disiapkan dalam tabung bebas RNase dan ditambahkan 10 µl β-merkaptoetanol (β-ME) per 1 ml XPRP buffer, serta ditambahkan etanol (96–100%) sebanyak 60 ml ke dalam Wash buffer 2 sebelum digunakan untuk pertama kali.

(43)

17

hasil ekstraksi. RNA ini dapat langsung digunakan atau disimpan pada suhu -20 oC.

Sintesis cDNA. Sintesis cDNA menggunakan First-Strand cDNA Synthesis Kit (GE Healthcare). Sintesis cDNA dilakukan dengan mengambil sebanyak 8 µl RNA hasil ekstraksi dipindahkan ke tabung ependorf ukuran 1.5 ml dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 10 menit pada penangas air. Selanjutnya dicampurkan dengan komponen reaksinya (Tabel 2).

Tabel 2 Komponen sintesis cDNA menggunakan First-Strand cDNA Synthesis Kit (GE Healthcare)

Komponen Volume (µl)

First-strand reaction mix 5.0

Primer pd(N)6 1.0

DTT solution 1.0

RNA template 8.0

Volume total 15.0

Setelah semua komponen reaksi dicampurkan, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 1 jam menggunakan heat block. Hasil sintesis menghasilkan cDNA yang selanjutnya digunakan untuk proses PCR.

Proses PCR. Reaksi PCR menggunakan cDNA hasil sintesis sebelumnya sebagai cetakan. Sebagai pereaksi digunakan MasterMix (Qiagen) dan primer spesifik untuk OYDV, SYSV, SLV, dan ShVX (Tabel 3). Total volume

(44)

18

Tabel 3 Primer yang digunakan untuk reaksi PCR terhadap virus pada bawang merah

Virus

target Primer

Produk

PCR Referensi OYDV F 5’- CGAAGCAAATTGCCAAGCAG -3’

R 5’- CGATTAGCTGCCCCTCTAAC -3’

601 bp (Mahmoud et al. 2007) SYSV F 5’- ACACGAGCCACACACGCACA -3’

R 5’- TCCCTAACAAAACGTGCAACACTCA -3’

749 bp (NCBI 2011) SLV F 5’- AAACCTTTTGGTTCACTTTAGG -3’

R 5’- GCGTGCTATATTTAAGTTGCATAC -3’

992 bp (Torrico et al. 2010) ShVX F 5’- ATTTAGGGGTGAAGGTCTGT -3’

R 5’- GAGTTTTGAGGTCGTTGG -3’

912 bp (Egusquiza et al. 2008) F (primer “forward”), R (primer ”reverse”)

Tabel 4 Komposisi reaksi PCR menggunakan MasterMix (Qiagen) untuk volume satu reaksi 25 µl

Komponen Volume untuk 1 reaksi (µl)

Nuklease free water 8.5

Tabel 5 Siklus PCR yang digunakan untuk amplifikasi DNA

No Proses Primer Siklus

(45)

19

Visualisasi hasil PCR dilakukan dengan elektroforesis PCR menggunakan media agarose gel 1.5% (w/v) dalam bufer TAE 1X yang mengandung larutan etidium bromida 1 µl per 10 ml larutan agarose untuk pewarnaan pita DNA.

Elektroforesis dilakukan dengan mencampurkan DNA hasil PCR sebanyak 10 µl dengan 2 µl Loading dye di atas kertas parafilm dan diresuspensi hingga homogen. Selanjutnya dilakukan elektroforesis menggunakan alat elektroforesis (Mupid-eXu) yang diprogram pada tegangan 100 V, 400 mA, selama 30 menit. Marker yang digunakan adalah 50 bp DNA Ladder. Setelah proses elektroforesis selesai, pita-pita DNA yang terbentuk pada agarose gel didokumentasikan dengan menggunakan Gel Doc (Bio-Rad).

Hasil PCR yang menunjukkan adanya amplifikasi pita DNA virus (sesuai panjang produk primer yang digunakan), dilanjutkan sikuen di First Base Genetica Science (Singapura). Hasil sikuen dikonfirmasikan dengan data virus yang tersedia di GenBank menggunakan program BLAST (Basic Local Aligment Search Tool) yang terdapat pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI) di www.ncbi.nlm.nih.gov. Selanjutnya dilakukan analisis homologi terhadap isolat virus lain yang tersedia pada GenBank menggunakan BioEdit version 7.0.0, dan dilanjutkan pembuatan pohon filogeni menggunakan program Mega 4 untuk menunjukkan kekerabatan dengan virus isolat lain yang tersedia pada GenBank.

Metode Pemeriksaan Tungau Ekstraksi tungau

(46)

20

Gambar 2 Skema Berlese-Tullgren yang dimodifikasi untuk ekstraksi tungau.

Working sampel diambil sebanyak 15 g umbi dan 4 g daun bawang merah. Bagian umbi dipotong-potong  0.5 cm, dan bagian daun dipotong-potong  2 cm,

kemudian ditempatkan pada kasa penyangga di dalam corong ekstraksi dan diinkubasi di bawah lampu pijar 40 watt yang ditempatkan 30 cm di atas corong ekstraksi selama 6 hari sampai sampel menjadi kering. Tungau yang tertampung pada gelas (berisi alkohol 70%) di bawah corong diamati menggunakan mikroskop stereo untuk menghitung populasi tungau yang ditemukan dan segera dilanjutkan dengan pembuatan preparat slide.

Pembuatan preparat

Pembuatan preparat slide menggunakan media Heinze Polyvinyl Alcohol (PVA) dengan komposisi polyvinyl alcohol 10 g, air suling 40–60 ml, asam laktat (85–92%) 35 ml, fenol 1% (menggunakan pelarut air suling) 25 ml, Gliserol 10 ml, chloral hydrate 100 g (Zhang 2003; Collof 2009).

(47)

21

(48)
(49)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Pertumbuhan Bawang Merah

Pengamatan pertumbuhan bawang merah dilakukan terhadap persentase daya tumbuh, jumlah anakan dan tinggi tanaman. Hasil pengamatan daya tumbuh menunjukkan rata-rata daya tumbuh sampel bawang merah mencapai 68.75% hingga 100% (Gambar 3). Hal ini berarti semua sampel bawang merah baik untuk tujuan bibit maupun konsumsi, memiliki daya tumbuh hampir sama. Sehingga keduanya berpotensi sebagai bahan perbanyakan, namun juga berpotensi sebagai media pembawa OPT bawang merah.

Gambar 3 Persentase daya tumbuh sampel umbi bawang merah yang diuji pada

hari ke 14 setelah tanam: bawang merah impor asal Filipina (F), asal Thailand (T1 dan T2), asal China (C). Bawang merah lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), Brebes (B), dan Tuk Tuk (Bj). Nilai rataan yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Tukey.

Berdasarkan analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95%, terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan daya tumbuh diantara sampel bawang merah yang diuji, kecuali varietas Brebes yang nyata lebih rendah daya tumbuhnya. Hal ini menunjukkan kualitas umbi varietas Brebes kurang baik jika digunakan untuk bahan perbanyakan.

(50)

24

Gambar 4 Jumlah anakan maksimum sampel bawang merah yang diamati sampai hari ke 20 setelah tanam: bawang merah impor asal Filipina (F), asal Thailand (T1 dan T2), asal China (C). Bawang merah lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), dan Brebes (B). Nilai rataan yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Tukey.

(51)

25

Untuk pemeriksaan virus, umbi bawang perlu ditumbuhkan terlebih dahulu agar konsentrasi virus yang terdapat di dalam jaringan umbi (yang umumnya dalam konsentrasi rendah) dapat meningkat sehingga deteksi melalui RT-PCR dapat berhasil. Penumbuhan sampel bawang merah dilakukan di dalam rumah kasa (Gambar 6) untuk menghindari infestasi OPT. Pada saat penumbuhan bawang merah, kondisi suhu udara dalam rumah kasa berkisar antara 26.90–37.33

(52)

26

Gambar 6 Sampel bawang merah yang telah ditumbuhkan di rumah kasa untuk pengujian virus.

Gambar 7 Gejala garis-garis pendek berwarna kuning pada daun abnormal yang diperoleh dari pertanaman bawang merah (a), gejala garis-garis kuning yang muncul pada sebagian bawang merah yang ditumbuhkan di rumah kasa (b).

Tanaman bawang merah yang tumbuh sebagian besar tidak menunjukkan adanya gejala serangan virus. Namun pada varietas Jawa beberapa daun bawang merah yang tumbuh menunjukkan gejala garis-garis mosaik berwarna kuning yang mirip dengan gejala yang ditemukan di lahan bawang merah di kabupaten Bantul (Gambar 7).

Pengujian virus pada sampel bawang merah dilakukan dengan memotong daun dari 30 umbi bawang merah yang ditumbuhkan masing-masing 1 daun per umbi. Setiap 5 daun dijadikan 1 komposit sehingga didapatkan 6 komposit. (Gambar 8). Dari masing-masing komposit daun bawang merah tersebut

selanjutnya digunakan untuk uji penularan pada tanaman indikator C. amaranticolor dan uji molekuler menggunakan metode RT-PCR guna

(53)

27

Gambar 8 Penentuan 6 komposit dari 30 umbi bawang merah yang ditumbuhkan.

Penularan pada tanaman indikator

Pengamatan terhadap penularan secara mekanis pada C. amaranticolor menunjukkan gejala lesio lokal berupa bercak-bercak berwarna kuning, terlihat jelas setelah 20 hari pada varietas Jawa dan Brebes (Gambar 9). Hal ini mengindikasikan keberadaan virus pada bawang merah varietas Jawa dan Brebes.

Gambar 9 Gejala lesio lokal pada tanaman C. amaranticolor pada hari ke 20 setelah inokulasi dengan sap daun bawang merah varietas Jawa (a), varietas Brebes (b).

Deteksi secara molekuler (RT-PCR)

(54)

28

Brebes, yang ditunjukkan oleh adanya pita DNA dengan panjang sekitar 749 bp pada sampel yang diuji (Gambar 11).

Gambar 10 Hasil PCR menggunakan primer spesifik OYDV (a), ShVX (b) dan SLV (c) terhadap sampel bibit bawang merah impor asal Filipina (F), Thailand (T1, T2), dan China (C). Bibit lokal varietas Biru (Bi), Jawa (J), Nganjuk (Ng), Brebes (B) dan Tuk Tuk (Bj). M = 100 bp DNA Ladder (Fermentas) dan N = kontrol negatif.

(55)

29

Setelah dilakukan sikuen dan analisis menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) pada National Center for Biotechnology Information (NCBI) dengan berdasarkan data GenBank, menunjukkan bahwa tingkat kemiripan isolat SYSV pada varietas Jawa dan Brebes dengan SYSV isolat lain (Tabel 6), berkisar 91–94%. Selanjutnya dilakukan analisis homologi (Tabel 7) dengan membandingkan isolat SYSV pada varietas Jawa dan Brebes terhadap isolat lain pada GenBank (Tabel 6).

Tabel 6 Data sikuen virus pada GenBank yang dibandingkan dengan isolat SYSV Jawa dan Brebes

Isolat virus Kode aksesi pada

GenBank Sumber

SYSV Hangzhou China (AJ311370) Chen et al. 2002*

SYSV wels onion Jepang (AB353120) Yamamoto dan Fuji 2008* SYSV SSan Korea Selatan (AB669435) Chung et al. 2011** SYSV VN/S1 Hue Vietnam (DQ925456) Ha et al. 2008* OYDV YH1 Zhejiang China (AJ292231) Chen et al. 2001* SLV WA-1 Australia (JF320811) Wylie et al. 2012* * (dipublikasikan pada jurnal); ** (tidak dipublikasikan pada jurnal)

Tabel 7 Homologi sikuen nukleotida gen protein selubung isolat SYSV pada bawang merah varietas Jawa dan Brebes dengan isolat virus pada bawang bawangan dari negara lain

(56)

30

91.8–94.9%. Hal ini menunjukkan bahwa SYSV isolat Jawa dan Brebes merupakan satu spesies dengan isolat SYSV dari China, Jepang, Korea Selatan dan Vietnam, karena untuk genus Potyvirus, nilai homologi suatu virus di atas 90% dikategorikan sebagai satu spesies. Kesimpulan ini didukung oleh kenyataan bahwa homologi sikuen nukleotidanya sangat rendah (72%) bila dibandingkan dengan spesies virus lain (misalnya OYDV) di dalam genus Potyvirus. SYSV isolat Jawa dan Brebes paling dekat dengan SYSV isolat Hangzhou China dan SSan Korea Selatan dengan nilai homologi 94.9%.

Analisis filogenetik (Gambar 12) memperlihatkan dengan jelas bahwa isolat virus yang ditemukan pada bawang lokal varietas Jawa dan Brebes merupakan spesies SYSV yang ditunjukkan dengan hubungan kekerabatan yang dekat dengan SYSV dari China, Korea selatan, Jepang dan Vietnam dan agak jauh dengan OYDV yang masih satu genus dengan SYSV yaitu genus Potyvirus. Sebagai outgroup digunakan SLV yang juga dapat menginfeksi bawang merah namun termasuk genus Carlavirus.

Gambar 12 Pohon filogenetik SYSV pada umbi bawang merah varietas Jawa dan Brebes.

Pengamatan kejadian penyakit

Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dengan ekstraksi RNA yang dilanjutkan dengan RT-PCR terhadap masing-masing individu sampel penyusun komposit yang terindikasi terinfeksi SYSY pada pemeriksaan sebelumnya (Gambar 11). Sebagai kontrol positif digunakan sampel bawang merah hasil RT-PCR dan sikuen sebelumya dan kontrol negatif digunakan daun bawang merah sehat asal biji.

Potyvirus

(57)

31

Gambar 13 Hasil amplifikasi untuk deteksi SYSV pada setiap individu (1–5) sampel bibit bawang merah lokal varietas Jawa (a) dan varietas Brebes (b) pada komposit (K.1, 2, 3, 4, 5 dan 6), M = 50 bp DNA Ladder (Fermentas), P = kontrol positif dan N = kontrol negatif.

Gambar 14 Persentase daya tumbuh () dan persentase infeksi SYSV () pada sampel bibit bawang merah yang diimpor dari Thailand (T1, T2), Filipina (F) dan China (C), dan bibit lokal varietas Jawa (J) dan Brebes (B).

Hasil amplifikasi (Gambar 13) menunjukkan bahwa pada bawang merah varietas Jawa, dari 30 umbi yang ditanam 18 umbi menunjukkan positif SYSV, sehingga kejadian infeksi SYSV pada varietas Jawa adalah 60%; sementara pada varietas Brebes dari 30 umbi yang ditanam 16 umbi menunjukkan positif SYSV, sehingga kejadian infeksi SYSV pada varietas Brebes adalah 53.3%.

Apabila persentase kejadian SYSV pada bawang merah disandingkan dengan persentase daya tumbuh umbi (Gambar 14), terlihat bahwa dengan adanya infeksi SYSV pada umbi bawang tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap daya tumbuh umbi bawang merah. Kondisi ini sesuai dengan penelitian

(58)

32

Diekmann (1997) yang menyatakan bahwa umbi yang terserang masih mempunyai daya tumbuh yang baik dan masih dapat berproduksi.

Kerugian ekonomi akibat virus ini belum pernah dilaporkan. Selain itu umbi yang terserang masih mempunyai daya tumbuh yang baik dan masih dapat berproduksi, sehingga penyebarannya melalui umbi sebagai bahan perbanyakan menjadi terabaikan. Hal ini menyebabkan tingginya potensi penyebaran SYSV melalui umbi bawang merah yang dilalulintaskan, sehingga dapat mengancam pertanian bawang merah jika pada suatu saat keberadaan virus ini menjadi dianggap penting di Indonesia.

Identifikasi Tungau

Tungau sering terbawa pada umbi bawang merah dan menimbulkan kerusakan umbi dalam penyimpanan serta berpotensi sebagai hama di lapangan. Pemeriksaan tungau dilakukan dengan cara memisahkan tungau dari bawang merah dengan metode ekstraksi Berlese-Tullgren yang dimodifikasi, dilanjutkan dengan pembuatan preparat dan identifikasi morfologi tungau.

Jenis-jenis tungau yang ditemukan

Ekstraksi dengan metode corong Berlese-Tullgren yang dimodifikasi memanfaatan aktifitas tungau untuk memisahkan tungau dari sampel bawang merah. Tungau hidup akan cenderung menjauhi sinar lampu dan bergerak ke bawah corong, sehingga jatuh dan tertampung pada gelas di bawah corong. Selama proses ekstraksi yang berlangsung selama 6 hari, suhu dalam kotak ekstraksi 34.17–38.73 oC dengan kelembaban relatif 36.33–61%.

Berdasarkan identifikasi secara morfologi didapatkan sebanyak 12 genus dari 11 famili tungau yang terbawa pada sampel umbi bawang merah impor dan lokal, yang berdasarkan sifat hidupnya dapat digolongkan menjadi 4, yaitu tungau pemakan tumbuhan (fitofag), pemakan sisa tumbuhan atau pengurai (saprofag), pemakan cendawan (mikofag) dan pemakan tungau atau arthropoda yang lain (predator) (Tabel 8).

(59)

33

merupakan tungau yang hanya ditemukan pada sampel bawang merah lokal. Menurut Hughes (1961) Bdella sp. merupakan tungau predator, sedangkan Hystiostoma sp. merupakan tungau fitofag pada komoditas pertanian. Tungau ini seringkali bercampur pada koloni Rhyzoglyphus sp. dan Caloglyphus sp. Cunaxa sp. merupakan tungau predator yang kosmopolit sedangkan Polyphagotarsonemus sp. merupakan tungau fitofag, namun juga dapat bersifat polifag jika tidak menemukan inangnya.

Tabel 8 Jenis tungau yang diperoleh dari ekstraksi umbi bawang merah impor dan lokal dengan metode Berlese-Tullgren yang dimodifikasi

No Tungau

Beberapa tungau kosmopolit yang ditemukan pada sampel bawang merah antara lain Klemania sp. dan Trematura sp. (tungau saprofag), Proctolaelaps sp. dan Leiodynichus sp. (tungau mikofag), serta Cheyletus mallacensis, Typhlodromus sp. dan Tydeus sp. (tungau predator). Tungau-tungau tersebut seringkali ditemukan berasosiasi dengan Caloglyphus sp. (Hughes 1961).

(60)

34

sampel bawang merah lokal. Leiodynichus sp. ditemukan pada seluruh sampel bawang merah impor dan 3 dari 4 jenis sampel bawang merah lokal. Klemania sp. ditemukan pada 3 dari 4 jenis sampel bawang merah impor dan lokal. Typhlodromus sp. ditemukan pada 3 dari 4 jenis sampel bawang merah impor dan 1 dari 4 jenis sampel bawang merah lokal sedangkan Tydeus sp. ditemukan pada 1 dari 4 jenis sampel bawang merah impor dan 3 dari 4 jenis sampel bawang merah lokal. Trematura sp. ditemukan pada 1 dari 4 jenis sampel bawang merah impor dan lokal.

Caloglyphus berlesei (Tungau Fitofag)

C. berlesei mempunyai tubuh gemuk membulat, kutikula halus dan mengkilap dengan panjang idiosoma 0.6–0.9 mm (Gambar 15). Bagian posterior tungau betina cenderung membulat sedangkan pada tungau jantan cenderung menyempit dan tidak menonjol. Permukaan idiosoma bagian ventral tanpa penebalan yang tegas dan bagian dorsal terdapat garis melintang yang memisahkan propodosoma dan hysterosoma. Bagian dorsal propodosoma terdapat dua pasang seta panjang dan sepasang seta pendek. Chelicerae berbentuk capit. Tarsus I dan II terdapat seta yang ujungnya berbentuk daun. Pada pangkal ruas dorsal tarsus I, terdapat seta yang tumbuh sejajar tarsus. Cakar pretarsus menempel pada sepasang sklerit yang terbungkus pretarsus. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Caloglyphus berlesei dapat ditemukan pada semua sampel umbi bawang merah impor maupun lokal.

(61)

35

Gambar 15 Morfologi C. berlesei yang ditemukan pada umbi bawang merah (a– g) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (h–k). tungau betina (a), tungau jantan (b), jantan heteromorfik (c), hypopus (d), cakar pada pretarsus (e), seta berbentuk daun pada pretarsus (f), ujung seta d4 bergerigi (g), ilustrasi tungau betina (h), cakar pada pretarsus (i), seta berbentuk daun pada pretarsus tungkai I pada pemampang dorsal (j) dan penampang ventral (k).

h i j k

a b

c d

(62)

36

Hystiostoma sp. (Tungau Fitofag)

Hystiostoma sp. mempunyai tubuh berwarna keputih-putihan, dengan panjang idiosoma 0.4–0.7 mm (Gambar 16). Tiap pangkal palpus terdapat sepasang duri, satu mengarah ke samping dan yang lain mengarah ke belakang. Idiosoma terdapat garis melintang yang memisahkan propodosoma dan hysterosoma. Ujung posterior idiosoma sedikit melesak ke dalam. Bagian ventral terdapat penebalan berbentuk cincin berjumlah dua pasang. Satu pasang terletak antara koksa II dan III, satu pasang yang lain letaknya lebih berdekatan dan sejajar koksa IV. Propodosoma berbentuk segitiga, apodema tungkai I dan III bertemu pada garis tengah tubuh. Dua pasang tungkai belakang mengarah ke depan.

Gambar 16 Morfologi Hystiostoma sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–d). Tungau betina dewasa (a), hypopus (b), ilustrasi bagian dorsal (c) dan bagian ventral (d).

a b

(63)

37

Chelicera memiliki organ memanjang dengan ujung bergerigi (serate) dan dapat digerakkan ke depan dan ke belakang di dalam rongga mulut. Penebalan berbentuk cincin berjumlah dua pasang pada ventral merupakan organ osmoregulator. Pra dewasa khusus (hypopus) bertubuh pipih dengan kutikula tersklerotisasi, Bagian ventral terdapat piringan pelekat tersusun atas 8 pelekat berbentuk bulat yang pada pola 2-4-2. Pada suhu 25–30 oC, siklus hidup berlangsung 3–3.5 hari. Hystiostoma sp. dapat berkembang biak melalui kawin dan partenogenesis, yaitu satu betina dapat menghasilkan tungau jantan dan betina. Tungau ini kosmopolit dan banyak ditemukan pada sayuran yang membusuk (Hughes 1961).

Polyphagotarsonemus sp. (Tungau Fitofag)

Polyphagotarsonemus sp. mempunyai tubuh berbentuk oval, panjang idiosoma kurang dari 0.25 mm (Gambar 17). Tubuh berwarna kuning, permukaan mengkilap dengan batas yang jelas antara propodosoma dan hysterosoma. Propodosoma berbentuk segitiga sedangkan hysterosoma terbagi menjadi tiga ruas melintang yang terlihat dari sisi dorsal. Tungkai ramping, tungkai I dan II mengarah ke anterior dan tungkai III dan IV mengarah ke posterior. Trokanter tungkai II lebih panjang dari pada yang lain dan tungkai ke IV mengecil. Pada ujung tarsus I terdapat satu cakar, sedangkan pada ujung tarsus II dan III terdapat 2 cakar. Pada tarsus IV cakar berupa sepasang seta yang panjangnya tidak sama.

(64)

38

Gambar 17 Morfologi Polyphagotarsonemus sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (b–c). Tungau betina dewasa (a), ilustrasi bagian dorsal (b) dan bagian ventral (c).

Klemania sp. (Tungau Saprofag)

Klemania sp. mempunyai tubuh berwarna kecoklatan, dengan panjang idiosoma 0.44 mm (Gambar 18). Bagian dorsal mengalami penebalan dan ditumbuhi seta berbentuk seperti daun (plumose). Seluruh seta dorsal berjumlah lebih dari 23 pasang (28–29 pasang), dengan seta dorsal yang tumbuh berurutan berjumlah kurang dari 8 pasang. Barisan seta pada tepi penebalan dorsal bagian posterior berjumlah 19 pasang atau lebih.

Palptarsus dengan semacam seta khusus (prongs) yang bercabang dua. Ujung kornikuli menggarpu. Tungau betina mempunyai dua pasang seta pada penebalan sterna dan terdapat penebalan pada daerah anal dan ventri-anal. Penebalan pada daerah genital lebih mendatar atau sedikit cembung pada bagian posteriornya. Bagian permukaan ventral tungau jantan hampir tertutup penebalan

b c

(65)

39

sterni-genital dan ventri-anal. Tungau ini pernah dilaporkan terdapat di Irlandia (Hughes 1961).

Gambar 18 Morfologi Klemania sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a–d) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (e–f). Tungau dewasa (a), susunan seta dorsal (b), bentuk seta dorsal (c), penebalan sternal (d), ilustrasi susunan seta dorsal (e) dan penebalan sterna (f).

a b

c d

(66)

40

Bdella sp. (Tungau Predator)

Bdella sp. mempunyai tubuh berwarna merah atau gelap. Panjang tubuh dari ujung gnatosoma sampai posterior 1,12 mm (Gambar 19). Kutikula halus dan hampir tanpa penebalan. Propodosoma berbentuk segitiga dengan bagian anterior meruncing. Hysterosoma memanjang dan dilengkapi sejumlah seta. Gnatosoma memanjang dan membentuk moncong meruncing, ramping dan panjangnya sekitar ¼ panjang idiosoma. Dari arah dorsal, ujung chelicera menyerupai gunting, dan pada sisi luar masing-masing chelicera terdapat dua pasang seta. Tungkai tersusun atas 6 ruas dan terdapat sejumlah seta. Tarsus panjang dan terdapat sepasang cakar pada ujung pretarsus.

Gambar 19 Morfologi Bdella sp. yang ditemukan pada umbi bawang merah (a– b) dibandingkan dengan kunci identifikasi Hughes (1961) (c–g). Tungau dewasa (a), gnatosoma (b), ilustrasi bagian dorsal (c), bagian ventral (d), palpus (e), ujung palpus (f), chelicera (g).

a b

Gambar

Tabel 1  Sampel bawang merah yang digunakan untuk pemeriksaan virus dan
Gambar 5  Tinggi tanaman bawang merah impor (a) dan lokal (b).  Bawang
Gambar 6  Sampel bawang merah yang telah ditumbuhkan di rumah kasa untuk pengujian virus
Tabel 8  Jenis tungau yang diperoleh dari ekstraksi umbi bawang merah impor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Stein dan Book menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa

Menurut Durianto, Sugiarto, dan Joko Budiman (2004; p.2) mendefinisikan merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut untuk

Apabilaseorang pelaku usaha telah mempunyai skill (kemampuan) tapi tanpa ada tekad (kemauan yang kuat) untuk berwirausaha maka skill (kemampuan) berwirausaha itu akan

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan strategi yang bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan karakteristik atau status secara sistematis,

Soeharso-990 adalah Kapal Rumah Sakit dengan kemampuan sebagai rumah sakit tingkat II yang dalam pengorganisasiannya masuk didalam Armada RI Kawasan Timur pada jajaran

Kohesivitas yang ditunjukkan oleh subjek penelitian tersebut dapat dilihat dari (a) aktifitas kelompok dalam komunitas (main bola bareng, berkumpul setiap hari, bakti sosial

Dari pembahasan tentang sistem pendidikan Islam masa Daulah Abbasiyah di Baghdad di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut bahwasanya perkembangan dan kemajuan

Penelitian dari Mirhaghjou, Niknami, Moridi, Pakseresht dan Kazemnejad (2016) pada 675 wanita menopause di Iran menunjukkan wanita yang menikah memiliki kualitas hidup