• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characteristic reproduction of males Bandicoot (Echymipera kalubu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characteristic reproduction of males Bandicoot (Echymipera kalubu)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK REPRODUKSI

BANDIKUT (Echymipera kalubu) JANTAN

ANGELINA NOVITA TETHOOL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011

(3)

ABSTRACT

ANGELINA NOVITA TETHOOL. Characteristic reproduction of males Bandicoot (Echymipera kalubu). Under direction of RADEN IIS ARIFIANTINI and SRIHADI AGUNGPRIYONO

Bandicoot (Echymipera kalubu) is one of endemic species in Papua, which has various benefits for the people in Papua. The purpose of this research was to study male reproductive organs characteristics, the quality of cauda epididymal spermatozoa and spermatogenesis processes. This study used 21 males E. kalubu of three different stages of age. Sperm morphology was assessed by using Carbofuchsin (William’sstain) and the stages of spermatogenesis was analized by using Periodic Acid Schiff (PAS) stain. The results showed that reproductive organs comprised of gonad (testis), accessory glands and penis. Testis were elipsoid in shape, the accessory glands consisted of prostat gland and Cowper gland, and the penis was bhipid. Epididymal sperm concentration and motility increased with sperm maturity. The length of sperm head, midpiece andprincipal piece were 2.91±0.40μm, 13.99±0.87 μm and 145.59±5.38 μm, respectively and the total length of spermatozoa was 162.51±5.12 μm. Finally,E. kalubu had nine stages of spermatogenesis with ten step development of spermatids into spermatozoa.

(4)

ANGELINA NOVITA TETHOOL. Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan. Dibimbing oleh RADEN IIS ARIFIANTINI dan SRIHADI AGUNGPRIYONO

Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu satwa endemik Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar dan populasinya masih berlimpah pada habitat yang sesuai. Echymipera kalubu memiliki beberapa keunggulan, antara lain: memiliki laju reproduksi yang paling tinggi diantara semua marsupialia dengan jumlah anak perkelahiran 2-4 ekor, merupakan hewan marsupialia (berkantung) yang dagingnya dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani serta memiliki nilai etno-zoologis (rambut, tulang dan anak bandikut umur 12 hari dipercaya berkhasiat untuk pengobatan) bagi masyarakat di Papua dan mempunyai struktur organ reproduksi yang unik, dimana saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan pembuangan feces bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas. Informasi mengenai status biologi reproduksiE. kalubu yang hidup liar di alam hingga saat ini belum banyak dilaporkan. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik dari organ reproduksi jantan, yang terdiri dari: morfologi organ kelamin, kualitas spermatozoa yang berasal dari epididimis serta gambaran spermatogenesis padaE. kalubu sebagai data dasar yang akan mendukung perkembangbiakan di penangkaran.

Bandikut (E. kalubu) jantan yang digunakan sebanyak 21 ekor berasal dari kabupaten Manokwari. Penelitian terbagi menjadi tiga tahap, yaitu pengamatan karakteristik organ reproduksi, karakteristik spermatozoa asal epidimis (motilitas, konsentrasi dan morfologi spermatozoa) dan tahapan spermatogenesis. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif dan variabel yang diukur adalah rata-rata yang didapat dari setiap variabel dengan menggunakan standar deviasi.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa testis E. kalubu berada di luar abdomen dan terbungkus oleh skrotum yang tidak berpigmen dengan organ reproduksi terdiri atas testis, epididimis, vas deferens dan dua buah kelenjar asesoris (kelenjar prostat dan cowper) serta memiliki ciri khas pada glans penis yang berbentuk bhipid (bercabang) dan tidak memiliki kelenjar vesikularis. Motilitas dan konsentrasi spermatozoa asal kauda epididimis meningkat sejalan dengan peningkatan kedewasaan. SpermatozoaE. kalubu memiliki bentuk kepala yang kecil dan batas antara kepala dengan ekor tidak sejelas pada spermatozoa ternak pada umumnya. Panjang kepala spermatozoa 2,91±0,40 μm, midpiece 13,99±0,87 μm dan principal pieceadalah 145,59±5,38 μm dengan panjang total adalah 162,51±5,12 μm. Bandikut (E. kalubu) memiliki sembilan tahapan spermatogenesis dengan sepuluh langkah transformasi (perkembangan) spermatid menjadi spermatozoa.

(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa atau mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

ANGELINA NOVITA TETHOOL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

NRP : B352090011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet (K)

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Biologi Reproduksi

Dr. drh. M. Agus Setiadi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan kasih,

berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

yang berjudul Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada

Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si dan drh. Srihadi Agungpriyono Ph.D, PAVet (K)

selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan koreksi selama

proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan

kepada Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.Si sebagai penguji luar komisi pada saat

ujian tesis, Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai ketua Program studi serta

seluruh staf pengajar Program studi Biologi Reproduksi atas segala ilmu yang

diberikan selama ini, kepada Rektor, Dekan Fakultas Peternakan Perikanan dan

Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua yang telah memberikan kesempatan

tugas belajar, kepada Departemen Pendidikan Nasional (DITJEN DIKTI) atas

bantuan beasiswa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program

Pascasarjana di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ibu

Dr. drh. Savitri Novelina, drh. Sri Wahyuni, M.Si, mas Rudi, teman-teman KRP

2009 (Arie, mas Fitra, mas Ibnu, P’Ullum, P’Mazda, P’Riky, P’Herry, Bu Sri dan

Bu Nur), rekan-rekan Lab. Fisiologi dan Reproduksi FPPK UNIPA (P’Jen,

P’Priyo, P’Irba dan K’Uni) serta rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu atas bantuan dan saran-sarannya. Kepada Papa, Mama, Kakak-kakak,

Adik-adik di Manokwari, Ibu mertua, kakak dan adik di Manado terima kasih atas

dukungan moril dan doa selama ini. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan

kepada suami tercinta Luky Sembel dan anak tersayang Nicky Fidelis Adrie

Sembel atas semangat, perhatian, pengertian dan kasih sayangnya selama ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga

Tesis ini dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Oktober 2011

(10)

1980 dari ayah Johannes Tethool dan ibu Susana Jamlaay. Penulis merupakan

anak ketiga dari lima bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Produksi Ternak Fakultas

Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua dan lulus

tahun 2004. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Papua

sejak tahun 2005 sampai sekarang. Penulis melanjutkan ke Program Magister

Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor tahun 2009 dengan Beasiswa BPPS Departemen

(11)

DAFTAR ISI

Sistematika dan Penyebaran Bandikut ... 5

Anatomi dan Morfologi Organ Reproduksi Jantan ... 7

Morfologi Spermatozoa ... 9

Spermatogenesis dan Tahapan Tubuli Seminiferi ... 12

Parameter Kualitas Spermatozoa ... 15

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ... 19

Metode Penelitian ... 19

Karakteristik Organ Reproduksi ... 19

Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis ... 20

Tahapan Spermatogenesis ... 22

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Organ ReproduksiEchymipera kalubuJantan ... 23

Testis ... 24

Epididimis ... 25

Vas deferens... 25

Kelenjar Asesoris... 25

Organ Kopulatoris ... 28

Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis ... 29

Motilitas Spermatozoa ... 30

Konsentrasi Spermatozoa ... 31

Morfologi dan Morfometri Spermatozoa ... 32

(12)

Halaman

1. Dimensi Prostat pada Beberapa Spesies Marsupial ... 26

2. Morfometri Organ ReproduksiEchymipera kalubuJantan ... 29

3. Motilitas (%) dan Konsentrasi (x106/mL) SpermatozoaEchymipera kalubuyang Dikoleksi dari Kauda Epididimis ... 32

4. Tingkat Abnormalitas SpermatozoaE. kalubu(%) ... 35

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Echymipera kalubuJantan ... 5

2. Saluran Reproduksi Tammar wallaby (Macropus eugenii) Jantan ... 7

3. Penampakan Ventral Saluran Reproduksi Bandikut (Isoodon Macrourus) Jantan ... 9

4. Struktur Spermatozoa pada Mamalia ... 9

5. Tahapan Fase Spermiogenesis ... 11

6. Proses Spermatogenesis pada Mamalia ... 13

7. Perkembangan Sel-Sel Germinal pada Tahapan Spermatogenesis Tikus ... 15

8. Testis dan PenisEchymipera kalubu ... 23

9. Organ ReproduksiE. kalubuJantan ... 24

10. Kelenjar Prostat ... 27

11. Kelenjar Cowper ... 28

12. Grafik Motilitas SpermatozoaE. kalubuyang Dikoleksi dari Kauda Epididimis (%) ... 30

13. Grafik Konsentrasi Spermatozoa E. kalubu yang Dikoleksi dari Kauda Epididimis (x106/mL) ... 31

14. Spermatozoa NormalE. kalubu ... 32

15 Morfologi Spermatozoa AbnormalE. kalubu ... 33

16. Grafik Persentase Abnormalitas Spermatozoa E. kalubu ... 34

17. Tahapan Siklus Tubuli Seminiferi pada SpermatogenesisE. kalubu (I-IX) ... 37

18. Sembilan Tahapan Morfologi Siklus Tubuli SeminiferiE. kalubu ... 38

(14)

Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu satwa endemik

Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar dan populasinya masih

berlimpah pada habitat yang sesuai (Learyet al.2008). Satwa ini tergolong Ordo

Peramelemorphia dengan Famili Peramelidae dan Peroryctidae. Famili

Peramelidae banyak terdapat di Australia, sedangkan Famili Peroryctidae

terutama genusEchymiperabanyak ditemukan pada daerahNew Guineatermasuk

Papua (Gordon & Hulberth 1989). Hewan ini merupakan hewan berkantung

(Marsupialia) yang memiliki sifat nokturnal, soliter dan omnivora

(Menzies 1991).

Bandikut memiliki laju reproduksi yang paling tinggi diantara semua

marsupialia dengan jumlah anak perkelahiran 2-4 ekor dan frekuensi beranak

sebanyak 5-6 kali dalam setahun (Petocz 1994). Bandikut adalah hewan

marsupialia (berkantung) yang dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani dan

memiliki nilai etno-zoologis (rambut, tulang dan anak Bandikut umur 12 hari

dipercaya berkhasiat untuk pengobatan) bagi masyarakat Papua (Warsono 2009).

Penggunaan Bandikut sebagai model dalam penelitian hewan marsupial perlu

mendapat perhatian mengingat hewan ini memiliki ukuran tubuh yang kecil

sehingga memudahkan dalam penanganan, ekonomis dalam menggunakan bahan

coba, lebih efisien dalam pemakaian ruang dan mudah untuk melakukan

percobaan ulang karena statusnya yang masih melimpah pada habitat aslinya.

Satwa ini memiliki struktur organ reproduksi yang unik, dimana saluran akhir alat

reproduksi, saluran kencing dan saluran pembuangan kotoran bermuara dalam

satu saluran anus mirip kloaka pada unggas (Warsono 2009).

Pemanfaatan satwa liar secara umum yang berasal dari alam, nantinya

dapat menyebabkan menurunnya jumlah populasi sehingga perlu adanya suatu

upaya penanganan yang mengarah pada kegiatan konservasi. Konservasi

merupakan upaya yang umumnya bertujuan untuk melestarikan dan melindungi

keanekaragaman genetika, species atau jenis dan untuk memanfaatkannya bagi

kepentingan manusia. Konservasi secara in situdanex situ merupakan kegiatan

(15)

2

biologi reproduksi dari satwa liar sangat penting untuk pelaksanaan kegiatan

konservasi ex situ. Salah satu aspek dalam biologi reproduksi satwa liar adalah

pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi dari organ reproduksi baik jantan

maupun betina, yang dapat digunakan untuk proses pembudidayaan,

perkembangbiakkan, serta bahan penentu kebijakan dalam pengelolaan kehidupan

satwa di penangkaran.

Proses pembudidayaan Bandikut (E. kalubu) sebagai salah satu satwa

harapan untuk dijadikan sumber protein hewani (ternak pedaging) diperlukan

beberapa tahapan pengkajian. Komponen yang perlu diteliti meliputi jenis pakan,

tingkah laku, habitat yang disenangi, upaya untuk mengubah pakan alami, daya

adaptasi selama proses budidaya serta faktor reproduksi yang merupakan faktor

penentu dalam keberhasilan budidaya (Warsono 2009). Faktor-faktor ini

merupakan dasar yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengoptimalkan

produktivitas serta usaha domestikasi Bandikut (E. kalubu).

Keberhasilan budidaya sangat dipengaruhi oleh aspek fisiologi organ

reproduksi. Organ reproduksi hewan jantan berkaitan dengan tingkat fertilitas

yang dapat diketahui dengan melihat kondisi semen dan spermatozoa. Informasi

mengenai kualitas spermatozoa juga dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya

preservasi maupun kriopreservasi. Spermatozoa dapat dikoleksi dari epididimis

ternak atau hewan dan dapat dimanfaatkan dalam prosedur teknologi reproduksi.

Menurut Hafez dan Hafez (2000) pada fertilisasiin vitro (IVF) spermatozoa yang

berasal dari kauda epididimis telah memiliki motilitas dan kemampuan membuahi

oosit yang sama baiknya dengan spermatozoa hasil ejakulasi. Beberapa upaya

telah dilakukan untuk memanfaatkan spermatozoa epididimis satwa liar

diantaranya pada Petaurus breviceps papuanus T. (Suarni & Ermayanti 2009),

Iberian red deer (Cervus elaphus hispanicus) (Santoz et al. 2006), Elan

(Taurotragus oryx) (Bisset & Bernard 2010),Kucing (Cocchiaet al. 2009).

Informasi tentang reproduksi hewan jantan secara khusus mengenai

dinamika spermatogenesis merupakan hal mendasar yang dapat digunakan untuk

mencegah spesies dari kepunahan serta meningkatkan program pemuliaan pada

spesies tertentu secara alami maupun buatan (Comizzoli et al. 2000).

(16)

dengan proliferasi secara mitosis spermatogonium dan kemudian spermiogenesis

dimana spermatid haploid akan berkembang menjadi spermatozoa (Almeidaet al.

2006). Aktivitas spermatogenesis dapat diamati secara morfologi melalui sediaan

histologi, melalui pendeteksian imunohistokimia (keberadaan hormon steroid di

jaringan testis) dan histokimia (keberadaan ikatan lektin). Tehnik-tehnik ini dapat

digunakan untuk mengetahui dan menduga proses-proses spermatogenesis yang

terjadi di dalam tubuli seminiferi.

Berbagai penelitian terkait reproduksi Bandikut di Australia telah banyak

dilakukan diantaranya meliputi reproduksi Northen Brown Bandicoot (Isoodon

macrourus) (Vernes & Pope 2009), ritme aktivitas dari Southern Brown

Bandicoot (Isoodon obelus) di penangkaran (Larcombe 2003), fisiologi

reproduksi Bilby betina (Macrotis lagotisThylacomidae) (Ballantyneet al. 2009),

pengaruh perubahan musim pada saluran reproduksi Bandikut jantan (Isoodon

macrourus) (Thodunter & Gemmel 1987) dan kebiasaan Bandikut menggali

sebagai suatu upaya adaptasi lingkungan (Long 2009). Saat ini penelitian

mengenai Bandikut yang tersebar di daerah Papua belum banyak dilaporkan,

beberapa penelitian yang telah dilakukan meliputi sifat biologis dan karkas daging

Bandikut (Warsono 2009) serta tingkah laku harian Bandikut di penangkaran

(Manufandu 2000). Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan suatu

penelitian untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik reproduksi

Bandikut (E. kalubu) jantan sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tentang

status biologi reproduksi yang dimiliki pada spesies ini.

Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:

1. Mempelajari karakteristik organ reproduksi Bandikut (E. kalubu) jantan.

2. Mempelajari kualitas spermatozoa Bandikut (E. kalubu) asal kauda

epididimis.

(17)

4

Manfaat

Hasil penelitian ini berguna sebagai data dasar dan informasi yang penting

dalam upaya perkembangbiakkan dan preservasi sumber genetik Bandikut

(E. kalubu) untuk menunjang upaya konservasi yang akan dilakukan pada spesies

(18)

Sistematika zoologis Bandikut adalah sebagai berikut (Petocz 1994)

(Gambar 1):

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Infraclass : Methatheria

Superordo : Marsupialia

Ordo : Peramelemorphia

Famili : Peroryctidae

Genus : Echymipera

Species : Echymipera kalubu

Gambar 1 Echymipera kalubujantan

Bandikut memiliki ordo yang dibedakan dalam dua famili, yaitu

Peramelidae(bandicoots and bilbies) memiliki empat genus, sepuluh spesies, dan

Peroryctidae(Peroryctid bandicoots) mempunyai empat genus dan sebelas spesies

(19)

6

sedangkan famili Peroryctidae terutama genus Echymipera banyak ditemukan di

kepulauan Maluku dan New Guinea (Menzies 1991). Daratan New Guinea

memiliki tiga genus (Peroryctes, Microperoryctes dan Rhynchomeles) dengan

sebelas spesies merupakan endemik dan genusEchymiperayang merupakan pusat

genus di New Guinea dengan empat spesies dan satu spesies diantaranya meluas

sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di

Australia dengan satu spesies juga penyebarannya meluas sampai keNew Guinea

bagian selatan (Graeme & Maynes 1990).

Bandikut merupakan hewan nokturnal, soliter dan omnivora. Jumlah

spesies Bandikut di dunia adalah sebanyak 21 spesies, sebagian besar hanya

ditemukan diNew Guineadan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Secara

umum daerah penyebaran Bandikut dari ketinggian 0-4300 meter dari permukaan

laut pada habitat padang rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan

dataran rendah, hutan lebat, hutan lumut dan areal pepohonan (Menzies 1991).

Echymipera kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam. Bagian

kepala berwarna kehitaman dan memiliki warna yang lebih terang pada bagian

tenggorokan dan pipi. Bandikut jenis ini mempunyai ciri rambut yang tajam,

bagian punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai

leher. Warna rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman

dengan ujung lebih pucat. Moncong agak panjang, telinga ekor dan kaki pendek

serta memiliki empat pasang gigi seri (Graeme & Maynes 1990). Telapak kaki

belakang berwarna hitam dan tidak terlalu berkembang dengan sempurna

dibandingEchymipera pada umumnya. Bobot badan jantan lebih besar daripada

betina dengan kisaran 1483.75 g untuk jantan dan 850.71 g untuk betina (Warsono

2009). Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan

New Guinea. Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan

tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih kering di

pulau Waigeo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur, Manokwari, Merauke

dan selatan New Guineadengan ketinggian 1550 m dari permukaan laut (Gordon

(20)

Anatomi dan Morfologi Organ Reproduksi Jantan

Sistem reproduksi hewan jantan secara umum terdiri atas sepasang testis,

vas deferens, epididimis, kelenjar asesoris dan penis. Marsupial jantan memiliki

saluran reproduksi yang terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, kelenjar

prostat, kelenjar Cowper, penis dan glans penis yang berbentuk bhipid atau

tunggal (Renfree 1993). Bagian-bagian organ reproduksi marsupial jantan dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Saluran reproduksi Tammar Wallaby jantan (Macropus eugenii) (Sumber: Renfree 1993).

Testis merupakan organ reproduksi primer tempat dihasilkannya spermatozoa

yang akan membuahi oosit pada hewan betina sewaktu terjadi perkawinan dan

fertilisasi. Testis mengandung lobuli testis yang membentuk saluran-saluran kecil

yang disebut tubuli seminiferi tempat berlangsungnya proses spermatogenesis.

Pada bagian mediastinum testis, tubuli bergabung membentuk rete testis

kemudian melalui duktus eferens dihubungkan dengan bagian kepala epididimis

(kaput epididimis).

Epididimis merupakan suatu struktur memanjang yang bertaut rapat

dengan testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaput epididimis

(21)

8

yang berfungsi dalam penyerapan cairan, korpus epididimis (badan) berada pada

bagian tengah yang berfungsi dalam pematangan spermatozoa dan kauda

epididimis (ekor) berada pada ujung distal dari testis yang berfungsi sebagai

tempat penyimpanan spermatozoa (Biscoe & Renfree 1987). Kauda epididimis

merupakan tempat penyimpanan spermatozoa dan mengandung sekitar 75% total

spermatozoa epididimis (Hafez 2000).

Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang tidak berpasangan dan

mengelilingi pelvis uretra. Kelenjar ini menghasilkan sekresi alkalin yang

memberikan bau khas pada cairan semen serta berfungsi mensekresikan cairan

untuk membersihkan dan menetralisir uretra dari bekas urine dan kotoran-kotoran

lain sebelum ejakulasi. Kelenjar Cowper merupakan sepasang kelenjar kecil yang

terletak pada tiap sisi pelvis uretra.

Penis merupakan organ kopulatoris dan berfungsi sebagai tempat

pengeluaran urine dan deposisi semen ke dalam saluran reproduksi betina. Penis

mamalia memiliki tiga bagian cekungan yang terdapat pada sekitar penile uretra

(Hafez 2000). Skrotum merupakan suatu kantong yang berfungsi untuk

melindungi testis dan epididimis serta mempertahankan suhu yang lebih rendah

daripada suhu badan yang diperlukan untuk proses spermatogenesis.

Pada Eastern barred bandicoot testes berada di luar dan dibungkus

dengan skrotum. Perkembangan terjadi pada kelenjar-kelenjar asesoris, seperti

kelenjar prostat yang berada subkutan dan terletak pada anterior kloaka

(Gambar 3). Penis pada hewan ini berbentuk S dan berakhir pada glans penis

yang berbentuk bhipid. Glans penis yang berbentuk bhipid kemungkinan

berhubungan dengan bentuk vagina marsupial yang terdiri atas dua bagian, yaitu

dua lateral vagina dan median vagina (Biscoe & Renfree 1987). Selanjutnya

kantung kencing yang dimiliki hewan ini terletak pada bagian dorsal prostat

(Seebeck 2001). Echymipera kalubu jantan ditandai dengan adanya dua buah

testes yang terbungkus dalam skrotum menggantung keluar abdomen sekitar tiga

cm dari anus. Saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan saluran

pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas

(22)

A B

Gambar 3 Penampakan ventral saluran reproduksi Bandikut (Isoodon macrourus) jantan (A) selama musim tidak kawin (B) selama musim kawin. B: Bladder, P: Prostat, V: Vas deferens, M: Membranous urethra, T: Testis, E: Epididimis (Sumber: Thodunter & Gemmel 1987).

Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa memiliki dua bagian utama yaitu kepala yang mengandung

inti (nukleus) dan ekor (flagellum) (Gambar 4). Bagian ekor terdiri atas leher

(neck piece), badan (middle piece), ekor utama (principal piece) dan ujung ekor

(end piece).

Gambar 4 Struktur spermatozoa pada mamalia. a. Spermatozoa tikus. b. Spermatozoa manusia. H: Kepala, Ne: Leher, MP-EP: Ekor (MP: Middle piece, PP:

Principal piece, EP:End piece) (Sumber: Toshimori 2009).

Struktur kepala

Kepala spermatozoa berfungsi sebagai pembawa dan menjaga DNA

hingga terjadinya fertilisasi. Bagian kepala spermatozoa terdiri atas daerah

(23)

10

akrosom. Pembentukan akrosom terjadi pada tahap spermiogenesis dari proses

spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas fase golgi, fase cap (tudung),

fase akrosomal dan fase pematangan atau maturasi (Senger 2005) (Gambar 5).

Akrosom adalah derivat dari apparatus golgi yang terbentuk sepanjang

tahap awal spermatogenesis. Akrosom spermatozoa berfungsi dalam menginisiasi

reaksi fisikokimia pada saat fertilisasi dan mengandung glikoprotein yang

disekresikan oleh retikulum endoplasma serta apparatus golgi, termasuk

enzim-enzim yang digunakan pada waktu penetrasi spermatozoa.

Pembentukan akrosom terjadi pada tahap spermiogenesis dari

spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas empat tahap (Gambar 6), yaitu:

Fase Golgi

Fase golgi merupakan tahap pertama dari pembentukan akrosom. Pada

tahap ini terbentuk granula proakrosomal pada gelembung golgi yang kemudian

bergabung membentuk butir akrosom tunggal dalam gelembung akrosomal.

Sentriol proksimal akan bergerak dari sitoplasma ke dasar nukleus yang nantinya

akan menjadi leher antara kepala dan ekor. Sentriol distal berkembang menjadi

aksonema (flagella di ekor).

Fase Cap (Tudung)

Terjadi pergerakan butir akrosom ke arah anterior. Butir-butir akrosom

akan memipih yang disebut inner dan outer akrosom serta terdapat membran.

Ekor akan terbentuk dari sentriol distal. Spermatid akan bergerak ke arah lumen

tubuli seminiferi.

Fase akrosomal

Akrosom kemudian akan berkembang menutup duapertiga area kepala.

Kepala dan sitoplasma akan memanjang dan inti akan mengalami kondensasi.

Terdapat mikrotubulus dari selubung yang akan menjadi postnuclear cap.

(24)

A B

C D

Gambar 5 Tahapan fase spermiogenesis. A. Fase golgi, B. Fase cap (tudung), C. Fase akrosomal, D. Fase pematangan (maturation) (Sumber: Senger 2005).

Fase pematangan (maturation)

Spermatid akan memanjang dan akan dilepaskan ke lumen dan sisa

sitoplasma akan bergerak ke arah posterior. Mitokondria akan mengelilingi

flagella dari dasar inti sampai dengan sepertiga dari ekor. Granul kromatin yang

berkondensasi akan diganti dengan protamin di dalam inti.

Struktur Ekor

Bagian ekor terdiri atas leher (neck piece), badan ekor (middle piece), ekor

utama (principal piece) dan ujung ekor (end piece). Leher (neck piece)

merupakan bagian yang paling pendek dan terletak antara kepala dan leher.

Badan ekor (middle piece) merupakan bagian dari ujung bagian bawah leher

hingga annulus (struktur pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor

utama). Ekor utama (principal piece) merupakan bagian terpanjang dari flagella

mulai dari annulus hingga ujung atas dari bagian ujung ekor. Ujung ekor (end

piece) merupakan bagian akhir dari ekor, bagian ini diawali dari berakhirnya

(25)

12

Leher (connecting piece)

Leher adalah bagian terpendek dan terletak antara kepala dan ekor.

Bagian utama adalah kapitulum yang merupakan bagian berkolom dan dan

memiliki struktur serabut yang pekat. Pada bagian yang berkolom terdapat

sentriol proksimal, dimana sentriol ini berperan dalam pembentukan aksonema

selama spermiogenesis. Pada spermatozoa dewasa fungsi sentriol ini belum

diketahui.

Badan (midpiece)

Bagian ini dimulai dari ujung bawah bagian leher hingga annulus (struktur

pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor utama). Ciri dari bagian ini

adalah adanya mitokondria yang tersusun heliks sebagai sumber energi untuk

pergerakan spermatozoa dan selubung mitokondria. Membran mitokondria sangat

stabil dan tahan terhadap tekanan selama pergerakan flagella.

Ekor utama (principal piece)

Ekor utama adalah bagian terpanjang dari flagella yang dimulai dari

annulus hingga ujung atas bagian ujung ekor. Pada bagian ini terdapat selubung

serabut, struktur skeletal yang mengelilingi aksonema dan serabut tebal. Fungsi

selubung serabut mirip dengan serabut tebal yaitu untuk mengontrol pergerakan

flagella.

Ujung ekor (endpiece)

Bagian ini merupakan bagian akhir dari ekor, dimana bagian ini diawali

dari berakhirnya selubung serabut. Ujung ekor merupakan tempat berakhirnya

elemen aksonema yang ditandai dengan adanya mikrotubul subunit A tanpa

dyenin dan ketiadaan mikrotubul subunit B.

Spermatogenesis dan Tahapan Tubuli Seminiferi

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa yang

diawali terbentuknya spermatogonia yakni sel germinal di dalam tubuli seminiferi.

Spermatogenesis terjadi dalam struktur ekstensif tubuli seminiferi dari testis.

Tubuli seminiferi dilapisi oleh epitel seminiferi dan mengandung cairan lumen,

dimana spermatozoa dilepaskan sepenuhnya terbentuk. Epitel seminiferi terdiri

(26)

ditemukan pada tahapan yang berbeda dari dasar tubuli hingga lumen dan

dikelilingi oleh sitoplasma dari sel somatik dan sel Sertoli (Hess 1999).

Gambar 6 Proses spermatogenesis pada mamalia (Sumber: Anonim 2010).

Spermatogenesis terbagi atas tiga fase, yaitu fase proliferasi, meiosis dan

spermiogenesis (Hess 1999; Senger 2005; Dreef et al. 2007). Fase proliferasi

merupakan fase pertama, dimana spermatogonium adalah sel yang paling matang

dan terletak di sepanjang dasar epitel seminiferi. Pada tahap mitosis,

spermatogonia yang berkumpul di membran basalis (spermatogonia tipe A)

membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang selanjutnya disebut

spermatogonia tipe B. Spermatogonia B merupakan tahap terakhir pada

pembelahan secara mitosis. Tahap ini menghasilkan sel untuk memasuki fase

kedua, yaitu spermatosit preleptotene yang akan bergerak menjauhi dasar tubuli

seminiferi dan mendekati sertolijunction(Gambar 7) (Hess 1999).

Fase meiosis terjadi proses reduction-division, yang merupakan

mekanisme biologis dimana sebuah sel germinal tunggal dapat meningkatkan

(27)

14

germinal individu yang mengandung untai tunggal setiap kromosom atau setengah

jumlah kromosom yang biasanya ditemukan dalam sel-sel tubuh (Hess 1999).

Tahap pembelahan meiosis, terjadi sintesis DNA serta pembelahan spermatosit

primer yang mengandung 23 pasang kromosom menjadi spermatosit sekunder

yang mengandung 23 pasang kromosom. Spermatosit ini akan mengalami

pembelahan meiosis kedua untuk memproduksi spermatid dengan jumlah

kromosom 23. Proses meiosis diperpanjang selama jangka waktu yang panjang,

karena itu spermatosit ditemukan di setiap tahap spermatogenesis dan dua jenis

spermatosit yang berbeda dapat diamati dalam beberapa tahap (Gambar 7).

Tahap spermiogenesis merupakan tahap dimana setiap spermatid dibentuk

kembali secara fisik oleh sel sertoli dengan menghilangkan beberapa sitoplasma;

mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu

kepala yang padat dan megumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah

satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Gambar 6). Fase spermiogenesis

terdiri dari tiga tahapan secara umum, yaitu: inti memanjang dan kromosom

berkondensasi, aparatus golgi menghasilkan lisosom seperti granul dan sel

membentuk ekor panjang yang dilapisi mitokondria (Hess 1999).

Epitel tubuli seminiferi dari marsupial terdiri atas lapisan-lapisan germinal

sel dan sel-sel Sertoli (Biscoe & Renfree 1987). Lebih lanjut dikatakan bahwa

siklus di dalam tubuli seminiferi dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan

spermatogenesis yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi pada testis. Lapisan

epitel tubuli seminiferi testis terdiri atas spermatogonia, spermatosit dan

spermatid. Pada proses spermatogenesis terjadi proses diferensiasi spermatogonia

(diploid) menjadi spermatozoa (haploid). Pembentukan spermatozoa dari

spermatogonia terjadi melalui beberapa tahapan tertentu yang ditandai dengan

perubahan sel-sel spermatogenik (Biscoe & Renfree 1987).

Proses spermatogenesis merupakan proses yang dikendalikan oleh susunan

syaraf pusat, melalui poros hipotalamus-hipofisis dan juga secara lokal pada testis.

Kelenjar hipofisis anterior mensekresikan hormon gonadotropin Follicle

Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh

GnRH dimana FSH mempunyai peranan terhadap perkembangan sel-sel sertoli,

(28)

mensekresikan testosterone. Testosterone yang dihasilkan akan berdifusi ke

tubuli seminiferi untuk mengatur spermatogenesis dan bertugas memelihara

sel-sel Sertoli. Sel sertoli merupakan sel-sel pemelihara sel-sel-sel-sel spermatogenik (Senger

2005).

Gambar 7 Perkembangan sel-sel germinal pada tahapan spermatogenesis tikus (Sumber: Dreef 1999).

Parameter Kualitas Spermatozoa

Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kualitas spermatozoa meliputi

evaluasi makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi volume

semen, warna, konsistensi (kekentalan) dan pH (derajat keasaman). Evaluasi

mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas, konsentrasi, morfologi dan

abnormalitas spermatozoa.

Volume semen bagi setiap individu bervariasi tergantung pada perbedaan

umur, bangsa, nutrisi, libido dan kondisi dari individu itu sendiri. Warna semen

umumnya berkaitan erat dengan konsentrasi dan konsistensi. Semakin tinggi

konsentrasi spermatozoa dapat mengakibatkan meningkatnya konsistensi dan

(29)

16

pH (derajat keasaman) dapat mempengaruhi daya tahan spermatozoa.

Semakin rendah atau semakin tinggi dari pH normal dapat menyebabkan kematian

spermatozoa. pH semen normal bervariasi antara 6.5-6.9 dengan rata-rata 6.75.

Variasi pH semen kemungkinan dipengaruhi oleh konsentrasi asam laktat yang

dihasilkan dalam proses akhir metabolisme. Metabolisme spermatozoa dalam

keadaan anaerobik akan menghasilkan asam laktat yang tertimbun dan

meningkatkan atau menurunkan derajat keasaman.

Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai

kriteria penentu kualitas semen. Derajat kekeruhan spermatozoa ditentukan oleh

konsentrasi spermatozoa. Semakin banyak konsentrasi spermatozoa

menyebabkan semakin keruh warna semennya.

Motilitas atau daya gerak spermatozoa ditentukan setelah melakukan

penampungan semen. Faktor yang mempengaruhi motilitas spermatozoa terbagi

menjadi dua, yaitu faktor endogen yang meliputi umur sperma, maturasi sperma,

penyimpanan energi (ATP), agen aktif dan faktor eksogen yang meliputi biofisik

dan fisiologi, cairan suspensi dan adanya rangsangan hambatan (Ax et al. 2000).

Pengamatan motilitas spermatozoa dapat dilakukan menggunakan mikroskop

dengan lensa objektif 40X pada ulasan semen di atas objek glass yang ditutup

cover glass. Motilitas spermatozoa berperan dalam penentuan kualitas semen

karena akan berkaitan erat dengan kemampuan spermatozoa dalam melakukan

aktivitas fertilisasi.

Gerakan merupakan cerminan dari motilitas spermatozoa. Semakin aktif

dan semakin banyak bergerak ke depan maka nilai dari gerakan tersebut semakin

baik. Gerakan individu yang progresif akan menyebabkan spermatozoa menjadi

semakin cepat bertemu dengan ovum. Gerak melingkar atau mundur yang terjadi

pada spermatozoa menunjukkan bahwa terjadicold shock, penurunan suhu secara

mendadak, panas yang berlebihan, adanya bahan-bahan kimia dan benda asing.

Secara morfologi abnormalitas spermatozoa dikategorikan menjadi

abnormalitas primer (berkaitan dengan kepala sperma dan akrosom), sekunder

(berkaitan dengan keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier

(berkaitan dengan kerusakan ekor) (Ax et al. 2000). Barham dan Pennington

(30)

sekunder. Abnormalitas primer merupakan bentuk-bentuk perubahan yang terjadi

pada proses spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi. Bentuk-bentuk

abnormalitas ini antara lain kepala yang terlampau besar (macrocephalus) dan

kecil (microcephalus), kepala pendek dan melebar, ekor ganda dan ekor

melingkar (coiled), putus atau terbelah. Abnormalitas sekunder terjadi setelah

spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi, selama perjalanan melalui

epididimis, ejakulasi atau penampungan ejakulat termasuk pemanasan yang

berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urin dan antiseptik.

Bentuk-bentuk abnormalitas ini meliputi kepala tanpa ekor, bagian tengah yang

melipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung

(31)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari-Juli 2011 di Laboratorium

Fisiologi dan Reproduksi Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Negeri Papua, Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi

Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium Riset Anatomi

Departermen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan 21 ekor Bandikut (E. kalubu) jantan dari

kabupaten Manokwari yang dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan berat

badan, yaitu kelompok prapubertas: 370-640 g, dewasa muda: > 640-850 g dan

dewasa: > 850 g (dewasa). Echymipera kalubujantan mulai kawin dengan berat

badan 650 g (Lyne 1964, diacu dalam Warsono 2009) dan jantan dewasa dengan

kisaran berat badan 840-1500 g (Flannery 1995).

Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga macam pengamatan, yaitu

pengamatan karakteristik organ reproduksi (bagian dari organ reproduksi),

karakteristik spermatozoa asal kauda epididimis (motilitas spermatozoa,

konsentrasi spermatozoa dan morfologi yang meliputi abnormalitas spermatozoa

serta morfometri spermatozoa) dan gambaran tahapan spermatogenesis yang

diamati melalui gambaran tubuli seminiferi dari sediaan histologi. Untuk

pengamatan ini hewan dikorbankan dengan cara pengeluaran darah (exsanguinasi)

dari artericarotis communissetelah hewan dianastesi dengan kombinasi

ketamin-hidroklorida (50 mg/kgBB) dan xylazin-ketamin-hidroklorida (10 mg/kgBB) (Schaeffer

1997; Fowler 2008).

1. Karakteristik Organ Reproduksi

Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap bentuk dari organ reproduksi

jantan. Pengamatan morfometri dilakukan melalui pengukuran panjang, lebar

(32)

Vas deferens, Kelenjar Prostat, Kelenjar Cowper (Kelenjar Cowper 1 dan Cowper

2), Crus Penis, Penis, Glans penis (Thodunter & Gemmel 1987; Renfree 1993).

Bahan yang digunakan kertas tissue, NaCl fisiologis, sedangkan alat yang

digunakan adalah spuit 1 mL, scalpel, pinset, gunting, kaliper (mm) dan pita ukur

(cm).

Testis: pengukuran panjang dan diameter dilakukan dengan menggunakan kaliper. Pengukuran panjang dimulai pada ujung testis dari salah satu sisi ke sisi

yang lain tanpa epididimis. Pengukuran diameter dilakukan pada bagian tengah

dari testis kemudian dilakukan penimbangan.

Epididimis: pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan kaliper, dimulai dari kaput hingga kauda epididimis, kemudian dilakukan penimbangan.

Vas deferens: panjang vas deferens diukur dengan menggunakan kaliper yang dimulai dari akhir kauda epididimis hingga ujung akhir vas deferens yang berada

dekat prostat.

Kelenjar Prostat:pengukuran panjang, lebar dan tebal menggunakan kaliper dan selanjutnya ditimbang.

Kelenjar Cowper 1: pengukuran tebal menggunakan kaliper selanjutnya ditimbang.

Kelenjar Cowper 2: pengukuran tebal menggunakan kaliper selanjutnya ditimbang.

Crus Penis:pengukuran tebal menggunakan kaliper dan selanjutnya ditimbang. Penis:pengukuran panjang total penis dimulai dari pangkal penis hingga ke ujung penis dan juga dilakukan pengukuran panjang glans penis.

2. Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis

Koleksi spermatozoa dilakukan dengan menyayat kauda epididimis.

Evaluasi yang dilakukan terhadap spermatozoa epididimis meliputi: Motilitas

spermatozoa, Konsentrasi spermatozoa dan Morfologi spermatozoa.

Bahan dan alat yang digunakan adalah epididimis, NaCl, formolsaline,

pewarna Carbofuchsin (William’s stain), alkohol absolut, chloramin 0.5%, alkohol

95%, air destilasi dan kertas tissue. Peralatan yang digunakan meliputi object

glass, cover glass, jarum suntik 5 mL, mikropipet 1-10 µL, kotak hitung

(33)

21

Motilitas spermatozoa

Motilitas spermatozoa dihitung dengan menempelkan kauda yang telah

disayat pada object glasskemudian diteteskan NaCl sebanyak 1 tetes. Campuran

spermatozoa dan NaCl tadi diambil satu tetes dan diteteskan pada object glass

yang lain dan ditutup dengan cover glass. Motilitas spermatozoa selanjutnya

diamati aktivitas gerak spermatozoa dimana spermatozoa hidup akan bergerak dan

spermatozoa dinilai dari lima lapang pandang. Spermatozoa yang motil akan

bergerak ke depan dan spermatozoa yang bergerak ditempat, bergerak melingkar,

bergerak mundur dan diam sebagai spermatozoa yang tidak motil, penilaian

menggunakan skoring 0-100%.

Konsentrasi spermatozoa

Kauda epididimis disayat-sayat kemudian di flushing menggunakan NaCl

sebanyak 5 mL. Spermatozoa yang telah di flushing kemudian disentrifugasi

dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit (Setiadi et al. 2006). Cairan diatas

kemudian dibuang, suspensi padat yang terdapat di bagian bawah diambil

sebanyak 5 μL dan diencerkan dengan formolsaline, dihomogenkan dan

diteteskan satu tetes pada kotak hitung Neubauer. Konsentrasi spermatozoa

merupakan jumlah spermatozoa yang telah diperoleh dikalikan dengan faktor

pengencer dan faktor hemositometer.

Morfologi spermatozoa

Morfologi spermatozoa diamati pada sediaan ulas yang diwarnai dengan

Carbofuchsin (William’s stain). Spermatozoa epididimis yang telah dicampur

dengan NaCl, dihomogenkan dengan batang pengaduk, dibuat preparat ulas tipis

(smear) dan dikeringudarakan. Kemudian preparat ulas ini difiksasi dan dicuci

dengan alkohol absolut selama 4 menit dan keringudarakan. Setelah itu preparat

dimasukkan di dalam chloramin 0.5% selama 2 menit dan dicuci dengan air

destilasi, alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan William’s selama 8-10 menit.

Tahap akhir preparat dicuci dengan air mengalir perlahan dan dikeringkan.

Morfologi dan abnormalitas spermatozoa dievaluasi dari 10 lapang pandang

menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa objektif 40X

(34)

3. Tahapan Spermatogenesis

Bahan dan alat yang digunakan adalah testis, NaCl fisiologis, kertas tissue,

paraformaldehid 4%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, 95 dan

100%), xylol, paraffin, aquades, pewarna periodic acid Schiff (PAS) dan perekat

entelan. Peralatan yang digunakan adalah botol sampel, pinset, wadah penyimpan

jaringan,object glassdan penutup, inkubator 370C, inkubator paraffin, blok kayu,

bunsen, mikrotom, water bath, meja pemanas, termometer, mikroskop Olympus

BX41.

Untuk pengamatan spermatogenesis (proses pembentukan spermatozoa)

yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi, testis difiksasi dengan larutan

paraformaldehid 4% selama 3x24 jam, kemudian jaringan diproses hingga

menjadi blok parafin. Jaringan dalam blok paraffin dipotong menggunakan

mikrotom dengan ketebalan 3 µm dan dilekatkan pada object glass. Sediaan

histologi kemudian diwarnai dengan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk

menentukan tahapan spermatogenesis (Kiernan 1990). Frekuensi tahapan

spermatogenesis ditentukan dengan cara jumlah tubuli pada masing-masing

tahapan dibagi dengan jumlah total tubuli dikali dengan 100.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan konfirmatif dengan

variabel yang diukur adalah rata-rata yang didapat dari setiap variabel dengan

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bandikut (E. kalubu) memiliki dua buah testis diluar abdomen dengan

posisi menggantung secara transversal. Testis terbungkus oleh skrotum yang

tidak berpigmen (berwarna putih) dan tidak ditumbuhi rambut. Menurut Biscoe

dan Renfree (1987), beberapa kelompok marsupial memiliki skrotum yang

berpigmen dan tidak berpigmen. Penis dikeluarkan melalui satu saluran

bersama-sama dengan saluran pembuangan kotoran (satu saluran anus mirip kloaka)

(Gambar 8). Pada E.kalubu dewasa jarak antara kloaka dengan testis adalah

22.25±0.3 mm.

Gambar 8 Testis dan PenisEchymipera kalubu.

Organ ReproduksiEchymipera kalubuJantan

Struktur organ reproduksi E. kalubujantan mirip dengan organ reproduksi

marsupial jantan lainnya yaitu tidak memiliki kelenjar vesikularis. Organ-organ

tesebut terdiri atas sepasang testis, epididimis dan vas deferens, kelenjar prostat,

dua buah kelenjar Cowper (bulbouretral), crus penis, penis serta glans penis yang

berbentuk bhipid (bercabang dua) (Gambar 9). Hasil penelitian ini mirip dengan

hasil penelitian Paris et al. (2005) pada Tammar wallaby (Macropus eugenii),

namun Tammar wallaby memiliki glans penis yang tunggal dan tiga buah kelenjar

Cowper.

Gambar 9 diambil dari kelompok E. kalubu dewasa. Gambaran organ

reproduksi dapat dilihat secara jelas pada kelompok dewasa, karena pada

kelompok ini organ-organ reproduksi telah terbentuk dengan sempurna serta tidak

(36)

Gambar 9 Organ reproduksi E. kalubu jantan; 1). Testis; 2). Epididimis; 3). Vas deferens; 4). Kelenjar Prostat; 5). Kelenjar Cowper; 6). Crus penis; 7). Penis; 8). Uretra; 9).Vesica urinaria; 10). Ginjal. Bar: 1 cm

Testis

Testis berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan sekresi hormon

androgen (Senger 2005). Testis E. kalubu berbentuk elipsoid dengan ukuran

(panjang dan berat) yang meningkat seiring dengan perkembangan kedewasaan.

Hasil yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Biscoe dan Renfree (1987), bahwa

testis pada marsupial dewasa umumnya berbentuk elipsoid. Ukuran panjang dan

berat testis berbeda pada setiap kelompok, yaitu prapubertas mempunyai panjang

9.83±0.16 mm, meningkat pada dewasa muda, yaitu 14.30±0.11 mm dan paling

besar pada dewasa, yaitu 14.98±0.24 mm serta memiliki berat masing-masing

0.33±0.01 g, 0.83±0.01 g dan 0.94±0.03 g.

Berat testis E. kalubu hasil penelitian lebih kecil bila dibandingkan

dengan kelompok marsupial lainnya, seperti berat testis Tammar wallaby adalah

12,5±1,5 g (Paris et al. 2005); berat testis dan epididimis Isoodon macrourus

berkisar antara 5,6-7,9 g (Thodunter & Gemmel 1987). Perbedaan ini

kemungkinan disebabkan karena perbedaan spesies serta ukuran dan berat badan

dari masing-masing kelompok hewan tersebut. Menurut Biscoe dan Renfree

(1987), berat testis bervariasi pada spesies marsupial dan berhubungan dengan

(37)

25

Epididimis

Epididimis dihubungkan dengan testis oleh duktus efferens yang

berfungsi menyalurkan spermatozoa dan menyerap sebagian besar cairan yang

dikeluarkan oleh testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian yaitu: kaput,

corpus dan kauda yang masing-masing bertanggung jawab terhadap penyerapan,

pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Panjang dan berat epididimis

E. kalubu juga berbeda-beda tergantung pada perkembangan kedewasaannya.

Pada kelompok prapubertas panjang ataupun beratnya paling kecil. Pada

kelompok dewasa muda panjangnya berbeda dengan yang dewasa tetapi

mempunyai berat yang sama yaitu 0,26±0,01 g (Tabel 2). Ukuran ini termasuk

kecil bila dibandingkan dengan hewan marsupial lainnya, seperti Tammar wallaby

yang memiliki berat epididimis 3,2±0,30 g (Paris et al. 2005) dan pada Honey

possumsepididimis kiri 56,20±15,70 g serta kanan 51,5±16,0 g (Russel & Renfree

1989). Berat dan panjang yang berbeda-beda selain disebabkan oleh perbedaan

spesies hewan kemungkinan juga karena epididimis setiap individu memiliki

kapasitas yang berbeda dalam penyimpanan spermatozoa, seperti yang dikatakan

Cummins et al. (1986), bahwa beberapa spesies marsupial memiliki kapasitas

penyimpanan spermatozoa yang terbatas hanya untuk beberapa juta spermatozoa.

Vas deferens

Vas deferens merupakan saluran yang menghubungkan epididimis dengan

uretra, saluran ini berfungsi sebagai saluran transportasi spermatozoa dari

epididimis yang nantinya akan bercampur dengan sekresi dari kelenjar prostat dan

Cowper. Panjang dan diameter vas deferens hasil penelitian ini berbeda-beda,

paling pendek terdapat pada kelompok prapubertas 41.99±0.38 dengan diameter

1.44±0.23 dan paling panjang terdapat pada kelompok dewasa yaitu 67,21±0,57

mm dengan diameter 1.97±0.56 mm.

Kelenjar asesoris

Kelenjar asesoris berfungsi mengeluarkan sekresi yang akan bercampur

dengan spermatozoa, dimana sekresi dari kelenjar asesoris ini berfungsi untuk

mempertahankan kelangsungan hidup dan pergerakan spermatozoa. Echymipera

kalubuhanya memiliki dua buah kelenjar asesoris, yaitu kelenjar prostat (Gambar

(38)

dihasilkan oleh kedua kelenjar tersebut, hal ini berbeda dengan ternak pada

umumnya dimana plasma semen 75% dihasilkan oleh kelenjar vesikularis.

Prostat

Kelenjar prostat memberikan sekresi pada semen yang membantu sebagai

pelicin pada spermatozoa. Menurut Biscoe dan Renfree (1987), kelenjar prostat

mensekresikan seminal plasma yang mengandung karbohidrat dan berfungsi

dalam mempengaruhi motilitas spermatozoa. Hasil penelitian memperlihatkan

bahwa kelenjar prostatE. kalubumemiliki ukuran yang berbeda-beda untuk setiap

perkembangan kedewasaan. Panjang, lebar dan berat paling kecil terdapat pada

kelompok prapubertas dan paling besar pada kelompok dewasa, yaitu panjang

11,05±2,08 mm, lebar 9,66±1,89 mm dan berat 0,66±0,27 g (Tabel 2). Pada

daerah yang memiliki perbedaan musim ukuran kelenjar prostat dipengaruhi oleh

musim kawin. Hal ini dapat dilihat padaI. macrourus saat tidak terjadi musim

kawin berat kelenjar prostat hanya 2.5-7.4 g dan saat terjadi musim kawin

beratnya meningkat menjadi 6.9-8.9 g (Thodunter & Gemmel 1987). Lebih lanjut

menurut Paris et al. (2005) berat prostat Tammar wallaby adalah 15.2±1.8 g.

Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa dimensi kelenjar

prostat berbeda-beda pada beberapa spesies marsupial (Tabel 1).

Tabel 1 Dimensi prostat pada beberapa spesies marsupial

Spesies Prostat (mm)

(Panjang x Lebar) Sumber

Isoodon macrourus 25-33x19-28 Thodunter & Gemmel 1987

Neophascogale lorentzi 22.5x6.0 Wooley 2001

Myotic wallacei 25.5x5.0 Wooley 2001

Dasyurus albopunctatus 28.5x 5.5 Wooley 2001

Kelenjar prostat marsupial umumnya terbagi menjadi dua bentuk, yaitu

bentuk jantung dan wortel (Biscoe & Renfree 1987). Gambar 10A menunjukkan

bahwa kelenjar prostat E. kalubu berbentuk seperti jantung, sedangkan kelenjar

prostat Tammar wallaby berbentuk seperti wortel (Gambar 10B). Hal ini sesuai

dengan pendapat Biscoe dan Renfree (1987), bahwa kelenjar prostat pada

kelompok hewan Peramelidae dan Phascolarctidae berbentuk seperti jantung,

(39)

27

Petauridae, Phalangeridae, Notoryctidae dan Lasiorhinus latifrons berbentuk

seperti wortel.

A B

Gambar 10 Kelenjar Prostat A). Bandikut (E. kalubu); B). Tammar wallaby (Macroupus eugenii) (Pariset al.2005). Bar: 1 cm

Cowper (Bulbouretral)

Kelompok hewan marsupial memiliki jumlah kelenjar Cowper yang

bervariasi dari satu hingga tiga buah. Kelenjar ini berbentuk struktur bulbus yang

bergabung dengan uretra melalui saluran-saluran yang dikelilingi oleh otot-otot

yang halus (Biscoe & Renfree 1987). Echymipera kalubu memiliki dua buah

kelenjar Cowper yang terbentang sepanjang bagian dari uretra dan bentuknya

berbeda pada hewan mamalia pada umumnya, karena berbentuk lobulus-lobulus

(Gambar 11A). Kelenjar Cowper yang ditemukan jumlahnya sama dengan yang

dimiliki oleh Isoodon macrourus, Neophascogale lorentzi dan Sugar glider

(Tedman 1990; Wooley 2001). Menurut Tedman (1990) Sugar glider memiliki

dua multilobus kelenjar Cowper yang terbentang dorsal dan lateral pada rektum.

Kelompok hewan marsupial lainnya, seperti Tammar wallaby, Myotic wallacei,

Dasyurus albopunctatus dan Dasyurus spartacus memiliki tiga buah kelenjar

Cowper (Pariset al2005; Wooley 2001).

Bandikut (E. kalubu) memiliki kelenjar Cowper 1 yang berada dekat

saluran uretra dan memiliki ukuran kelenjar Cowper 1 yang relatif lebih besar,

sedangkan kelenjar Cowper 2 berdekatan dengan kelenjar Cowper 1 namun

memiliki ukuran yang selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan kelenjar

Cowper 1. Kisaran tebal dan berat masing-masing kelenjar Cowper adalah

(40)

1.37±0.01-3.27±1.89 mm dan berat 0.02±0.01-0.10±0.06 g (Gambar 11A). Hasil yang

diperoleh ini sama seperti hasil penelitian Paris et al. 2005 bahwa tiga buah

kelenjar Cowper yang dimiliki Tammar wallaby juga memiliki ukuran yang tidak

sama, yaitu kelenjar Cowper 1 adalah 0.20±0.02 g, Cowper 2 adalah 0.7±0.10 g,

Cowper 3 adalah 0.6±0.10 g.

A B

Gambar 11 A). E. kalubu; 1. Glans penis; 2. Penis; 3. Urethral bulb; 4. Crus penis; 5. Cowper 1; 6. Cowper 2; B). Tammar wallaby; Ub. Urethral Bulb; Cp: Crus penis; Cg2: Cowper 2; Cg3: Cowper 3 (Paris et al 2005). Bar: 1 cm

Organ kopulatoris

Penis

Penis E. kalubu yang dalam keadaan normal berbentuk sigmoid dan

memiliki glans penis yangbhipidatau bercabang (Gambar 10A). Struktur glans

penis marsupial umumnya bercabang, meskipun ada juga yang tidak bercabang

(Dawson et al. 1999). Glans penis yang berbentuk bhipid kemungkinan

berhubungan dengan bentuk vagina marsupial yang terdiri atas dua bagian, yaitu

dua vagina lateral dan vagina median (Biscoe & Renfree 1987; Gordon &

Hulberth 1989). Penis marsupial biasanya memiliki struktur berbentuk sigmoid di

dalam kantung preputial pada kloaka (Biscoe & Renfree 1987). Lebih lanjut

dikatakan bahwa penis biasanya dikeluarkan hanya pada saat terjadi interaksi

seksual dan pada berbagai spesies penis sulit untuk dikeluarkan diluar musim

kawin. Hasil penelitian diperoleh panjang penis pada kelompok prapubertas

13.56±4.23 mm, kelompok dewasa muda 21.9±2.41 mm dan paling panjang pada

(41)

29

Urethral bulb berperan dalam membantu aktivitas otot bulbo-cavernosus

dalam proses pengosongan uretra. Crus penis pada marsupial memisahkan dua

kelenjar Cowper yang ukurannya lebih kecil dan berperan pada proses terjadinya

ereksi (Allen & Cantab 1893; Biscoe & Renfree 1987).

Karakteristik Spermatozoa asal Kauda Epididimis

EpididimisE. kalububerukuran agak kecil (Tabel 2) sehingga tidak semua

evaluasi terhadap karakteristik spermatozoa kauda epididimis dapat dilakukan,

kondisi ini menyebabkan evaluasi mikroskopis hanya dilakukan terhadap

motilitas, konsentrasi dan morfologi spermatozoa.

Tabel 2 Morfometri organ reproduksiE. kalubujantan

Organ Keterangan Echymipera kalubu

Prapubertas Dewasa muda Dewasa

Testis

Panjang (mm) 9.83±0.16 14.30±0.11 14.98±0.24 Diameter (mm) 7.17±0.14 10.05±0.02 10.08±0.28 Berat (g) 0.33±0.01 0.83±0.01 0.94±0.03

Epididimis

Panjang (mm) 18.24±0.89 26.1±0.64 27.79±0.55 Berat (g) 0.07±0.02 0.22±0.01 0.26±0.01

Vas deferens

Panjang (mm) 41.99±0.38 61.86±3.70 67.21±0.57 Diameter (mm) 1.44±0.23 1.79±0.05 1.97±0.56

Prostat

Panjang (mm) 4.82±1.82 9.67±0.78 11.05±2.08 Lebar (mm) 5.08±2.83 9.12±1.25 9.66±1.89 Tebal (mm) 3.01±2.71 6.97±0.66 7.34±1.54 Berat (g) 0.17±0.11 0.54±0.12 0.66±0.27

Cowper 1

Tebal (mm) 1.47±0.03 2.72±0.12 3.30±0.09 Berat (g) 0.01±0.01 0.05±0.01 0.10±0.01

Cowper 2

Tebal (mm) 1.37±0.009 2.39±0.28 3.27±1.89 Berat (g) 0.02±0.01 0.03±0.01 0.10±0.06

Crus penis

Tebal (mm) 2.68±0.05 3.81±0.01 5.25±0.27 Berat (g) 0.05±0.01 0.15±0.01 0.31±0.01

Penis

Panjang (mm) 13.56±4.23 21.9±2.41 26.59±4.44 Diameter (mm) 2.61±1.03 2.83±0.64 3.67±0.82

Glans penis

(42)

Motilitas spermatozoa

Motilitas spermatozoa merupakan salah satu faktor dalam menentukan

kualitas spermatozoa karena menunjukkan persentase spermatozoa yang hidup.

Motilitas spermatozoa biasanya digunakan sebagai indikator dari viabilitas sel,

integritas membran dan fungsi metabolisme intrasel. Motilitas juga merupakan

salah satu parameter untuk menentukan fertilitas tetapi tidak berkorelasi dengan

kemampuan fertilisasi baik secarain vitromaupunin vivo(Durrant 1990).

Motilitas spermatozoa epididimis hasil penelitian pada setiap kelompok

cenderung mengalami peningkatan, paling rendah pada kelompok prapubertas

hanya 33,33±25,17%, meningkat pada kelompok dewasa muda menjadi

41,67±12,58% dan paling tinggi terdapat pada kelompok dewasa, yaitu

57,50±3,54% (Gambar 12). Peningkatan motilitas spermatozoa ketiga kelompok

ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan perkembangan seksual dan

kedewasaan. Informasi mengenai motilitas spermatozoa dari kauda epididimis

E. kalubu belum pernah dilaporkan, pada koala motilitas semen segar yang

dikoleksi menggunakan ejakulator menunjukkan motilitas spermatozoa rata-rata

78,8 ± 2,8% (49-95%) (Johnston et al. 2000). Perbedaan ini dapat dipahami

mengingat teknik koleksi semen yang berbeda, adanya perbedaan ras dan oleh

beberapa faktor antara lain faktor endogen yang meliputi umur dan maturasi

spermatozoa serta penyimpanan energi (ATP) (Axet al.2000).

(43)

31

Konsentrasi spermatozoa

Konsentrasi spermatozoa sangat penting dalam penentuan kemampuan seekor

pejantan dalam membuahi sel telur. Konsentrasi spermatozoa E. kalubu yang

diperoleh mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan kedewasaan

(Gambar 13). Kosentrasi spermatozoa paling rendah pada kelompok prapubertas

1.75±1.14x106/mL dan paling banyak pada kelompok dewasa 12.56±6.33x106/mL

(Tabel 3). Angka konsentrasiE. kalubumasih lebih rendah dibandingkan dengan

konsentrasi spermatozoa epididimis Isoodon obesulus dan I. macrourus dengan

jumlah spermatozoa 48x106/mL 70.97x106/mL (Biscoe & Renfree 1987), namun

masih lebih tinggi dari spermatozoa epididimis Brown marsupial mouse

(Antechinus stuartii) yang hanya 3.5x106/mL sampai dengan 4.4x106/mL (Taggart

& Smith 1990).

Gambar 13 Grafik konsentrasi spermatozoa E. kalubu yang dikoleksi dari kauda epididimis (x106/mL).

Konsentrasi spermatozoa ditentukan oleh ukuran testis dan aktivitas

spermatogenesis yang sebanding dengan perkembangan seksual dan kedewasaan,

serta kualitas makanan dan status kesehatan dari pejantan (Salisbury &

VanDemark 1985; Sumeidiana et al. 2007). Selain itu variasi konsentrasi pada

individu jantan berhubungan dengan aktivitas seksual sepertimating(perkawinan)

sebelum penampungan akan menurunkan konsentrasi dan stres (kemampuan

beradaptasi) (Haron et al. 1999; Sumeidianaet al. 2007). Lebih lanjut dikatakan

pula bahwa perbedaan konsentrasi spermatozoa dapat juga dipengaruhi oleh

(44)

Tabel 3 Motilitas (%) dan Konsentrasi (x106/mL) spermatozoaE. kalubuyang dikoleksi dari kauda epididimis

Kelompok Motilitas (%) Konsentrasi (x106/mL)

Prapubertas 33.33±25.17 1.75±1.14

Dewasa muda 41.67±12.58 8.86±4.21

Dewasa 57.50±3.54 12.56±6.33

Morfologi dan Morfometri Spermatozoa

SpermatozoaE. kalubumemiliki bentuk kepala yang kecil dan batas antara

kepala dengan ekor tidak sejelas pada spermatozoa ternak pada umumnya

(Gambar 14). Karakteristik morfologi spermatozoa ini mirip dengan unggas.

Ukuran dan bentuk spermatozoa antar spesies hewan dapat berbeda-beda, namun

memiliki struktur morfologi yang sama yaitu terdiri atas kepala dan ekor. Hasil

penelitian diperoleh bahwa panjang keseluruhan spermatozoa E. kalubu adalah

162.51±5.12 μm dengan panjang kepala 2.91±0.40 μm, panjang midpiece

13.99±0.87μm dan panjang ekor utama adalah 145.59±5.38μm (Gambar 14).

Gambar 14 Spermatozoa normalE. kalubu. Pewarnaan William’s.

Morfometri spermatozoa hasil penelitian lebih pendek dari beberapa

spesies marsupial lain seperti Perrameles nasuta dengan panjang kepala 5.7 μm,

midpiece 14 μm dan panjang keseluruhan 199.8 μm, I. macrourus memiliki

panjang kepala 6 μm,midpiece 10.7 μm dan panjang keseluruhan 171.1 μm dan

Tarsipes rotatus dengan panjang kepala 10.6 μm, midpiece 91 μm dan panjang

keseluruhan 342.6μm (Hardinget al.1990). Menurut Tourmente (2011), panjang

(45)

33

79.50-349.44 µm. Bila dibandingkan dengan spermatozoa beberapa hewan lain

yang memiliki ukuran tubuh serupa, maka spermatozoa E. kalubu masih lebih

panjang. Pada beberapa rodensia seperti spermatozoa Cavia porcellus memiliki

panjang kepala 7.5±0.3 μm dan panjang ekor 92.3±0.9 μm, panjang kepala

Ctenomys coyhaiquensis 7.6±0.4μm dan panjang ekor 66.3±2.2 μm dan panjang

kepala Aconaemys fuscus 5.6±0.3 μm dan panjang ekor 35.2±2.3 μm

(Gallardo 2002).

Gambar 15 Morfologi spermatozoa abnormal E. kalubu. a-i. abnormal (a. kepala &

midpiece tanpa principal piece; b. detached head; c. kepala & midpiece

pecah; d. principal piece melingkar; e. principal piece bengkok (simple bent); f. coiled pada principal piece; g. principal piece menggulung (bent tail); h.midpiecedanprincipal piecemelipat; i.principal piecetanpa kepala &midpiece). Bar: 20μm

Perbedaan spesies hewan selain mempengaruhi bentuk kepala juga dapat

mempengaruhi ukuran baik panjang kepala maupun panjang keseluruhan

spermatozoa. Selain itu menurut Arifiantiniet al.(2006) bahwa teknik pewarnaan

yang digunakan dalam pengukuran morfometri spermatozoa sapi juga dapat

memberikan pengaruh nyata pada ukuran panjang kepala dan ekor bagian utama

(46)

Spermatozoa normal memegang peranan penting dalam keberhasilan

fertilisasi. Nilai abnormalitas ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa dengan

bentuk yang tidak normal. Abnormalitas kepala yang tertinggi ditemukan pada

kelompok prapubertas 1.73% (Gambar 16). Jenis-jenis abnormalitas kepala pada

kelompok prapubertas adalah detached head 1.73%, kelompok dewasa muda

adalah kepala dan midpiece tanpa principal piece 0.24% dan detached head

1.15% dan kelompok dewasa adalah kepala dan midpiece tanpa principal piece

0.23%,detached head0.58% serta kepala danmidpiecepecah 0.58% (Tabel 4).

Gambar 16 Grafik persentase abnormalitas spermatozoaE. kalubu(%).

Abnormalitas pada ekor tertinggi terdapat pada kelompok dewasa muda

sebanyak 23.23%. (Gambar 16). Jenis-jenis abnormalitas ekor pada kelompok

prapubertas antara lain principal piece bengkok (simple bent) 15.26% dan

principal piece menggulung (bent tail) 3.57%, midpiece dan principal piece

melipat 0.11%, kelompok dewasa muda adalah principal piece bengkok (simple

bent) 16.52%, principal piece melingkar 0.60%, coiled pada principal piece

0.06%, principal piece menggulung (bent tail) 3.33%, midpiece dan principal

piece melipat 2.72% dan kelompok dewasa adalah principal piece bengkok

(simple bent) 12.97%, principal piece melingkar 0.23%, coiled pada principal

piece 0.46%, ekor utama menggulung 0.35%, midpiece dan principal piece

(47)

35

Tabel 4 Tingkat abnormalitas spermatozoaE. kalubu(%)

Kelompok Abnormalitas Persentase

Prapubertas Kepala Kepala danmidpiecetanpaprincipal piece

-Detached head 1.73

Kepala danmidpiecepecah -1.73

Ekor Principal piecebengkok (simple bent) 15.26

Principal piecemelingkar -Coiled padaprincipal piece

-Principal piecemenggulung (bent tail) 3.57

Midpiecedanprincipal piecemelipat 0.11

Principal piecetanpa kepala danmidpiece -18.94

Dewasa muda

Kepala Kepala danmidpiecetanpaprincipal piece 0.24

Detached head 1.15

Kepala danmidpiecepecah -1.39

Ekor Principal piecebengkok (simple bent) 16.52

Principal piecemelingkar 0.60 Coiled padaprincipal piece 0.06

Principal piecemenggulung (bent tail) 3.33

Midpiecedanprincipal piecemelipat 2.72

Principal piecetanpa kepala danmidpiece -23.23

Dewasa Kepala Kepala danmidpiecetanpaprincipal piece 0.23

Detached head 0.58

Kepala danmidpiecepecah 0.58 1.39

Ekor Principal piecebengkok (simple bent) 12.97

Principal piecemelingkar 0.23 Coiled padaprincipal piece 0.46

Principal piecemenggulung (bent tail) 0.35

Midpiecedanprincipal piecemelipat 3.62

Principal piecetanpa kepala danmidpiece 0.23 17.86

Tingkat abnormalitas spermatozoa asal kauda epididimis pada kelompok

prapubertas dan dewasa muda cenderung lebih tinggi, hal ini kemungkinan

disebabkan karena proses spermatogenesis yang terjadi di dalam tubuli seminiferi

belum terjadi secara sempurna. Menurut Holt dan Pickard (1999) salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi tingkat abnormalitas morfologi spermatozoa

adalah tahapan spermatogenesis akhir serta faktor hormonal yang mempengaruhi

(48)

Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi pada bagian kepala dan ekor

spermatozoa (Bonet et al.1993) dan dapat terjadi selama proses spermatogenesis

maupun setelah keluar dari saluran epididimis (Toelihere 1993; Bonetet al.1993;

Ax et al. 2000 dan Johnson et al. 2000). Barham dan Pennington (2009)

membagi abnormalitas atas abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder.

Abnormalitas primer ini terjadi karena kelainan yang terjadi pada saat fase

spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder ini terjadi

saat perjalanan spermatozoa dari tubuli seminiferi menuju epididimis, saat terjadi

ejakulasi, perlakuan semen saat koleksi semen termasuk tahapan selanjutnya

seperti pemanasan, pendinginan, penambahan antibiotik dan terkontaminasi zat

berbahaya lainnya. Abnormalitas primer yang diperoleh dari hasil penelitian

meliputi kepala dan midpiece tanpa principal piece, detached head serta kepala

dan midpiece pecah, sedangkan abnormalitas sekunder meliputi coiled pada

principal piece, principal piece bengkok (simple bent), principal piece

menggulung (bent tail) dan principal piece tanpa kepala dan midpiece

(Gambar 15).

Tahapan Spermatogenesis

Spermatogenesis merupakan suatu proses kompleks, dinamis dan terus

menerus dalam memproduksi spermatozoa haploid yang terjadi di dalam tubuli

seminiferi testis (Dreefet al. 2007). Proses spermatogenesis terbagi menjadi tiga

fase perkembangan penting, yaitu fase proliferatif, fase meiosis dan

spermiogenesis (Hess 1999).

Pewarnaan PAS mewarnai akrosom sehingga dapat dibedakan spermatid

pada berbagai fase dan spermatozoa. Menurut Russel et al. (1990) tahapan

spermatogenesis dapat dibedakan berdasarkan ciri khas dari perkembangan

spermatogonia dan aspek morfologi dari sel germinatif setiap tahap

spermatogenesis. Tahapan spermatogenesis dapat dibedakan juga berdasarkan

kriteria utama yang terletak pada karakteristik morfologi spermatid, letak inti dan

sistem akrosomik. Dengan menggunakan mikroskop cahaya dan pewarnaan PAS

(periodic acid schiff), maka dengan mudah akan didapatkan gambaran

Gambar

Gambar 9 diambil dari kelompok E. kalubu dewasa.
Gambar 9Organ reproduksi E. kalubu jantan; 1). Testis; 2). Epididimis; 3). Vas
Tabel 1 Dimensi prostat pada beberapa spesies marsupial
Gambar 11 A). E. kalubu;
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiono (2011) metode eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan utuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang

Uji t menunjukkan seberapa jauh pengaruh variabel independen secara individual. Ketentuan yang didapat adalah apbila nilai t sig. Maka dapat dikatakan berpengaruh

[r]

terhadap pelepah sawit dapat meningkatkan konsentrasi N-NH3 44,25% di dalam in vitro fermentasi, kecernaan bahan kering 20,0'7% dan kecernaan bahan orsanik 2244%. DAFTAR

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tingkat vegetasi dan informasi tingkat suhu permukaan pada tahun 2013 dan 2015 di Kabupaten Blora,

Peran Lembaga Litbang Pemerintah dalam mendukung pengembangan industri komponen otomotif berbasis polimer di

This command causes the IWF to transmit one or more lines of information text, determined by the manufacturer, which is intended to permit the user of the IWF to identify the