• Tidak ada hasil yang ditemukan

Communication Base Rate and Critical Consciousness, Keywords: Gender Mainstreaming

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Communication Base Rate and Critical Consciousness, Keywords: Gender Mainstreaming"

Copied!
279
0
0

Teks penuh

(1)

di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)

AHMAD YUSRON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

Keywords:

Gender Mainstreaming. Under direction of NINUK PURNANINGSIH and AMIRUDDIN SALEH

Kenanga village of district Cirebon, is one area that gets the PNPM Mandiri program. This is due to poverty is still a large population of Kenanga village. PNPM Mandiri is a means to alleviate poverty in Indonesia. The program was characterized by active participation of society, awareness of responsibility towards the development and equitable gender roles. This concept represents a new paradigm in the application system in Indonesian Development. To realize the vision of this mission required a participatory communication. To analyze this concept carried out a study using a qualitative approach to the critical paradigm. For data collection has done by using interview techniques, both participatory observation and observations that are closed, the forum group discussions or FGDs and literature studies. The point object from the unit under study PNPM mandiri are activities revolving loan. Results obtained from this study that the pattern of communication which were conducted in PNPM Mandiri participation was communication with the communication approaches that were sequential. With this communication pattern has been distorted so that the internalization of the program to the community not be comprehensive. As a result, the implementation of the PNPM Mandiri undergone many obstacles.

(4)

Pengarusutamaan Gender: Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH dan AMIRUDDIN SALEH

Dalam rangka menanggulangi kemiskinan pemerintah telah meluncurkan berbagai program. Mulai dari program yang ditujukan untuk petani, dengan berbagai skim kredit dan subsidi, sampai pada berbagai program pemberdayaan untuk keluarga miskin, seperti pemberian dana bergulir, program ekonomi produktif, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Berbagai program tersebut secara signifikan belum mampu menurunkan jumlah penduduk miskin.

Menjawab kondisi ini pemerintah membuat sebuah program yang bersifat komprehensif. Program ini menitikberatkan peran masyarakat menjadi tulang punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran laki-laki dan perempuan. Program tersebut adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi

Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci program ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan dan pemberdayaan. (LP3S & World Bank 2007).

Salah satu bentuk kegiatan PNPM Mandiri adalah pinjaman bergulir. Kegiatan ini memberikan kemudahan akses, terutama masyarakat miskin termasuk perempuan, yang selama ini aksesibilitas mereka terhadap perbankan sangat sulit yang menjadikan mereka khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk berkembang.

Untuk mencapai keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator PNPM Mandiri. Pendekatannya adalah dengan menggunakan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran komunikasi banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi atau model interaksi. Dari latar belakang inilah, penelitian dibuat.

Penelitian ini bertujuan pertama menganalisis komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri, kedua menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri dan ketiga menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman bergulir PNPM Mandiri

Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma kritis. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian sebagai kritik sosial dan penguatan sosial. Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Meski demikian data kuantitatif akan digunakan sebagai penguat data kualitatif.

(5)

Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan dua pola pendekatan yaitu komunikasi partisipatif dan linier. Proses komunikasi yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat banyak menggunakan komunikasi partisipatif, sedangkan komunikasi antara masyaraka dengan fasilitator menggunakan komunikasi linier. Pola komunikasi partisipatif dan linier dilaksankan dalam berbagai siklus PNPM Mandiri dari tahap persiapan sampai evaluasi.

Dilihat dari distribusi pesan, pelaksanaan komunikasi kegitan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga menggunakan simpul-simpul komunikasi. Simpul komunikasi terdiri dari kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh atau memiliki kapasitas sebagai opinion leader. Komunikasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga didukung juga dengan komunikasi sekunder melalui media warga dalam bentuk buletin dan papan informasi. Media warga dalam bentuk media cetak adalah buletin dengan nama gema bangkit. Pada kenyataannya media sekunder, masih belum efektif sebagai sarana komunikasi partisipatif dan masih cenderung sebagai formalitas dan bagian siklus kegiatan PNPM Mandiri yang telah ditetapkan oleh regulator.

Dalam konteks isu gender gender, akses komunikasi tingkat basis memberikan peluang yang sama baik laki-laki dan perempuan untuk mengakses sarana-sarana komunikasi. Pada tingkat partisipasi dan kapasitas dalam kegiatan komunikasi banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh penciptaan iklim komunikasi yang tidak mengakomodir kondisi perempuan. Salah satunya adalah jadwal rembug warga yang sering dilaksanakan pada malam hari hingga larut malam. Selain itu, konsep diri perempuan yang terstigma kuat bahwa kegiatan publik merupakan domain laki-laki baik dari segi peran dan tanggung jawab.

Dilihat dari sudut internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga masih dianggap sebagai kegiatan yang bersifat jangka pendek. Pandangan masyarakat masih memahami kegiatan PNPM Mandiri, hanya sebatas pada kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan warga. Untuk program-program lain seperi bidang sosial dan pinjaman bergulir, banyak tidak diketahui oleh masyarakat. Ironisnya lagi kelompok dari rumah tangga miskin sebagai sasaran program tidak mengetahui program PNPM Mandiri. Rendahnya internalisasi program ini disebabkan sistem komunikasi yang tidak berjalan dengan baik terutama antara simpul komunikasi dengan masyarakat tingkat basis. Selain itu, sifat fatalis dari kelompok miskin, yang menganggap selama ini program penanggulangan kemiskinan tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan nasib mereka.

(6)

miliki. Banyak pemanfaat perempuan menggunakan dana pinjaman bergulir untuk kepentingan kebutuhan sehari-sehari yang bersifat sekunder, seperti untuk pendidikan, perehaban rumah, dan keperluan lainnya. Selain itu, ditemukan juga dana dari pinjaman bergulir digunakan untuk kepentingan suami seperti kepentingan suami berangkat merantau.

Pada pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir, perempuan masih sebatas obyek kegiatan. Hal ini dapat dilihat dari segi kepengurusan dan inisiatif perempuan dalam membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) pinjaman bergulir. Dalam masalah tanggung jawab terhadap pengembalian dana pinjaman bergulir, perempuan lebih bertanggung jawab dibandingkan laki-laki, meski demikian kasus besar kemacetan banyak dilakukan oleh perempuan. Berkaitan dengan kontrol sosial, kegiatan pinjaman bergulir belum terbangun sistem kontrol yang baik, pada tingkat pengelola maupun tingkat masyarakat. Hal ini menjadikan konsep tanggung renteng dalam pelaksanaan pinjaman bergulir belum berjalan. Konsekuensinya, pinjaman bergulir yang secara konsepnya merupakan pinjaman bersama dan dibayar secara bersama, secara aplikasinya sebagai pinjaman individu dan dibayar berdasarkan individu.

(7)

©Hak Cipta milik IPB 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip Hak Cipta sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan

masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(8)

di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)

AHMAD YUSRON

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Peminjaman Bergulir PNPM Mandiri Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)

Nama : Ahmad Yusron

NIM : I352080081

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si Ketua

Diketahui,

Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Anggota

Koordinator Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Komunikasi Tingkat Basis dan Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender (Studi Kasus Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon)

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan pada tesis ini.

2. Dr. Ir Djuara P. Lubis, MS dan Dr. Ir. Sarwititi Agung, MS yang telah membimbing pada saat kolokium.

3. Almarhum KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang telah memberi inspirasi dan pencerahan terhadap penulis tentang persamaan hak dalam berkehidupan. 4. Koordinator Kabupaten dan fasilitator kelurahan (Faskel) yang telah

memberikan data-data awal kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

5. Aktivis penggerak kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga yang telah bersedia melakukan diskusi-diskusi berkenaan dengan partisipasi gender. 6. Lurah kenanga beserta staf yang telah membantu memberikan data-data

demografi kelurahan Kenanga.

7. Teman-teman seperjuangan di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan angkatan 2008.

8. Ikhsan Fuady, kompti angkatan 2008 yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil.

9. Orang terkasihku istriku Dara Agusti, A.Md., anakku Redlita Annisa dan Muhammad Prabu Wiguna yang senantiasa sabar menunggu.

10.Keluarga besar alm. H. Samsuri Ibnu Hadjar yang telah memberikan dorongan moril dan spirituil.

Bogor, Juni 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 15 Juli 1975, putra kedua dari empat bersaudara pasangan (alm) H. Samsuri Ibnu Hadjar dan Hj. Mariyatul Kibtiyah

Tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung dan pada tahun 2008 melanjutkan

studi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Cirebon pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Selain aktif di dunia pendidikan penulis aktif di Yayasan Banati, sebuah yayasan untuk pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2009, penulis menjadi tenaga ahli Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam rangka pembuatan rencana induk pengembangan daerah tertinggal di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

(13)

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Penelitian ... 1

Rumusan Masalah Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 6

Definisi Istilah ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Kegiatan PNPM Mandiri ... 11

Feminimisasi Kemiskinan ... 13

Pembangunan Berwawasan Gender ... 17

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan ... 23

Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan... 25

Partisipasi Masyarakat ... 28

Pemberdayaan dalam Perspektif Gender ... 31

Komunikasi Partisipatif dan Linier ... 34

Komunikasi Kelompok ... 40

Kesadaran Kritis Pengarusutamaan Gender ... 42

Review Hasil Penelitian tentang Gender ... 44

Kerangka Pemikiran ... 46

METODE PENELITIAN ... 49

Paradigma Penelitian ... 49

Desain Penelitian ... 51

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

Data dan Instrumen ... 53

Analisa Data ... 56

Hipotesis Pengarah ... 56

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

Gambaran Obyek Penelitian ... 59

Kondisi Geografis dan Administrasi... 59

Kondisi Demografis ... 60

Pelapisan Masyarakat dan Kegiatan PNPM Mandiri ... 62

Sistem Komunikasi Masyarakat ... 64

Komunikasi Tingkat Basis Kegiatan PNPM Mandiri..……….. 66

Komunikasi Tingkat Basis dalam Berbagai Dimensi.... 66

(14)

Pencitraan Kegiatan PNPM Mandiri... 86

Internalisasi Berdasarkan Keragaman Karakteristik …. 88 Pengarusutamaan Gender Kegiatan Pinjaman Bergulir ... 91

Kegiatan Pinjaman Bergulir di Kelurahan Kenanga .... 91

Isu Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri…... 93

Akses Gender dalam Kegiatan Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri ....……….. 94

Partisipasi dalam Aspek Gender pada Kelembagaan UPK ... 95

Pemanfaatan Pinjaman Bergulir dalam Aspek Gender.. 97

Inisiasi Perempuan dalam Pembentukan KSM ...….. 99

Kontrol dan Tanggung Jawab pada Kegiatan Pinjaman Bergulir ……….. 104

Pembangunan Sistem Kontrol Sosial Kegiatan Pinjaman Bergulir ... 110

Jawaban Hipotesis Pengarah ... 112

SIMPULAN DAN SARAN ... 115

Simpulan ... 115

Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA... 117

(15)

1 Data, sumber informasi dan instrumen ... 55

2 Pembagian wilayah ... 59

3 Penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ... 60

4 Tingkat pendidikan penduduk berdasarkan sebaran tingkat RW ... 60

5 Jumlah penduduk Kelurahan Kenanga berdasarkan mata pencaharian ... 61

6 Matriks situasi komunikasi pada kegiatan rapat kesiapan masyarakat kegiatan PNPM Mandiri ... 67

7 Matriks situasi komunikasi pada fase persiapan kegiatan PNPM Mandiri ... 68

8 Matriks situasi komunikasi pada fase perencanan kegiatan PNPM Mandiri ... 72

9 Matriks situasi komunikasi pada fase pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ... 73

10 Matriks situasi komunikasi pada fase evaluasi kegiatan PNPM Mandiri ... 75

11 Gambaran suasana aplikasi model komunikasi tingkat basis ... 76

12 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap rapat kesiapan masyarakat pada kegiatan PNPM Mandiri ... 80

13 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap persiapan kegiatan PNPM Mandiri ... 80

14 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap perencanaan kegiatan PNPM Mandiri ... 81

15 Matriks komunikasi isu gender dalam tahap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri ... 82

16 Matriks komunikasi dalam isu gender pada tahap evaluasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ... 8

17 Distribusi peran dan pemanfaatan program dalam aspek gender ... 85

18 Matriks gambaran internalisasi program ... 86

19 Isu gender pada dalam kegiatan pinjaman bergulir ... 94

20 KSM yang dibentuk oleh kepengurusan sebelum pembenahan ... 99

21 KSM yang didirikan berdasarkan inisiatif masyarakat ... 103

(16)

1 Alur kegiatan PNPM Mandiri ... 12

2 Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri ... 34

3 Peran komunikasi dalam pembangunan ... 36

4 Model komunikasi linier Lasswell ... 36

5 Model komunikasi sirkular Schramm ... 37

6 Kerangka pemikiran ... 47

7 Siklus kegiatan PNPM Mandiri ... 66

8 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase persiapan ... 69

9 Alur pembentukan kelembagaan BKM ... 70

10 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase perencanaan ... 72

11 Alur Kegiatan PNPM Mandiri fase pelaksanaan ... 74

12 Alur kegiatan PNPM Mandiri fase evaluasi ... 75

13 Sekuen-sekuen dalam komunikasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ... 77

14 Metode pelaksanaan pinjaman bergulir sebelum pembenahan ... 100

(17)

1. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang gambaran umum

obyek penelitian……… 122

2. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga ... 123 3. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang internalisasi

kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga………. 125 4. Pedoman penelusuran data dan informasi tentang kesadaran kritis

pengarusutamaan gender………... 126 5. Dokumentasi foto kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Pembangunan dapat dipandang sebagai sarana menuju pada perubahan dan merupakan siklus alamiah sebagai jawaban atas perkembangan peradaban manusia. Hal ini mengindikasikan pemaknaan sebuah pembangunan tidak dapat dilihat pada satu sudut pandang. Hal tersebut dapat dilihat pada paradigma, teori, konsep dan aplikasi yang dibangun yang sangat beragam. Kondisi ini telah menciptakan berbagai kajian tentang pembangunan.

Salah satu kajian tersebut adalah konsep Socioeconomic Development.

Konsep ini memiliki tajuk yang secara eksplisit menunjukkan penonjolan aspek sosial di samping aspek ekonomi. Implikasi yang diharapkan dari pendekatan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkesinambungan,

berkurangnya pengangguran, berkurangnya dampak negatif di bidang kesehatan sebagai akibat kemiskinan, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, dan kemandirian (Sutomo 1998).

Hal serupa juga sesuai dengan pemahaman yang dibuat oleh UNESCO yang menyatakan bahwa tujuan dan sarana pembangunan bukan membangun benda melainkan membangun manusia. Pengertian ini dapat disederhanakan bahwa pembangunan mengandung dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek manusia (Poostchi 1986). Dari konsep ini dapat diambil sebuah kesimpulan besar bahwa pembangunan harus dilaksanakan secara komprehensif dengan menitikberatkan masyarakat sebagai bagian modal pembangunan yang berasaskan keadilan.

Dalam konteks Indonesia pembangunan diidentikan dengan program penanggulanagan kemiskinan karena persoalan bangsa selama ini adalah kemiskinan. Pengentasan kemiskinan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat telah dimulai lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Periodisasi serta berbagai program yang dijalankan selama kurun waktu tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Periode 1974-1988

(19)

2. Periode 1988-1998

Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan berbagai program ad hoc penanggulangan kemiskinan pasca krisis (Padat Karya, PDMDKE).

3. Periode 1998-2006

Program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di berbagai sektor: PPK, P2KP, P2MPD, WSLIC, KPEL, P4K, dan lain-lain.

Setelah dilakukan evaluasi secara mendalam ternyata pola sekarang dilakukan parsial sehingga tidak efektif untuk penanggulangan kemiskinan. Seringkali dijumpai ada daerah-daerah yang mendapat lebih dua program, sementara ada daerah yang sama sekali tidak dapat. Oleh karena itu, mulai pada akhir 2006, mulai dilakukan program yang mengintegrasi antar sektoral dalam upaya menanggulangi kemiskinan.

4. Periode 2007- ke depan

Harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). (Royat, 2008)

Pengentasan kemiskinan harus dilaksanakan secara komprehensif yang tidak diukur hanya pada aspek fisik belaka. Tetapi juga dapat dilihat pada kondisi pola pikir masyarakat serta keadilan partisipasi gender. Dalam kaitan keadilan partisipasi gender dapat dilihat dengan menggunakan parameter Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM).

Dalam konteks partisipasi gender, sementara ini masih menunjukkan adanya ketidakadilan peran gender. Hal ini dapat dilihat ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang. Kondisi ini tercermin dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Unifem pada tahun 2000 yang

menunjukkan rendahnya representasi perempuan dalam ranah publik. Disebutkan bahwa dalam DPR representasi perempuan hanya mencapai 8,8%, MPR 9,1%, anggota DPA 2,7%, Hakim Agung 13,7%, kepala desa/lurah 2,3%, jabatan struktural kepegawaian 15,2% (BPS & Unifem 2000 dalam Nugroho 2008).

(20)

punggung sebagai modal sosial dengan mengedepankan aspek keadilan peran

laki-laki dan perempuan. Program tersebut adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini merupakan replikasi, di dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang merupakan implementasi Millennium Development Goals (MDGs). Kata kunci dari program ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian kegiatan pembangunan dan pemberdayaan perempuan (LP3S & World Bank 2007).

Semangat dalam PNPM Mandiri mengindikasikan adanya gerakan pengarusutamaan gender (PUG). Gerakan PUG merupakan upaya untuk menggugah kesadaran para pengambil kebijakan akan perlunya gender equality dari hasil pembangunan. Penyelenggaraan PUG mencakup pemenuhan kebutuhan praktis gender dan pemenuhan kebutuhan strategis gender. Kebutuhan praktis gender adalah pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan perempuan yang sifatnya untuk memperbaiki kondisi mereka agar menjalani kehidupan serta peran-peran sosial mereka secara layak dan bermartabat. Kebutuhan strategis adalah perubahan peraturan hukum, penafsiran ulang atas ajaran agama yang dianggap mensubordinasikan perempuan, penghapusan kekerasan dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan.

PNPM Mandiri dilaksanakan dengan mengembangkan tiga aspek kegiatan yang disebut dengan tridaya. Kegiatan tersebut antara lain, bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Kegiatan bidang ekonomi salah satunya diaplikasikan melalui

kegiatan punjaman bergulir yang mudah diakses oleh masyarakat miskin termasuk perempuan yang sementara ini terkendala dengan akses perbankkan. Sehingga perempuan, khususnya pelaku usaha kecil menengah sangat sulit untuk berkembang.

(21)

Untuk mewujudkan keberhasilan misi dan visi PNPM Mandiri sangat

dibutuhkan komunikasi, yang terselenggara pada tingkat basis dan regulator PNPM Mandiri. Pendekatannya adalah komunikasi pembangunan yang difokuskan pada usaha penyampaian dan pembagian (sharing) ide, gagasan dan inovasi pembangunan antara pemerintah dan masyarakat. Pada proses tersebut,

informasi dibagi dan dimanfaatkan bersama-sama dan seluas-luasnya sebagai suatu yang berguna untuk kehidupan (Dilla 2007).

Rumusan Masalah Penelitian

PNPM Mandiri adalah program dengan mengusung konsep bottom up, keberdayaan, kemandirian dan keadilan gender. Konsep ini merupakan konsep yang revolutif karena mengindikasikan adanya perubahan besar dalam konsep pembangunan masyarakat di Indonesia. Konsep seperti ini diyakini mampu oleh pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pembangunan terutama pengentasan kemiskinan.

Kata kunci pertama keberhasilan konsep ini adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam pembangunan. Kesadaran kritis masyarakat tidak hanya dipahami sebatas partisipasi dalam pembangunan, tetapi juga dalam persoalan peran antara laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan PNPM Mandiri tidak dinilai pada ukuran-ukuran fisik pembangunan tapi juga pada ukuran keadilan gender. Dalam kaitan ini komunikasi memegang peranan penting di dalam menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dan penciptaan keadilan dalam perspektif gender.

PNPM Mandiri bercirikan pemberdayaan dan keadilan telah memberikan akses kepada perempuan sebagai pengelola dan pemanfaat kegiatan di antaranya dalam kegiatan pinjaman bergulir. Pengembangan dari situasi ini adalah penelaahan yang lebih dalam apakah kemudahan akses ini merupakan bentuk

afirmasi terhadap perempuan atau bagian eporia atau benar-benar menunjukkan kesadaran kritis.

(22)

pinjaman bergulir PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga. Dari gambaran secara

umum ditarik pada perumusan secara khusus sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon? Unit analisis yang dikembangkan adalah: (1) Komunikasi tingkat basis dalam berbagai

dimensi; (2) Aplikasi model komunikasi tingkat basis; (3) Komunikasi kegiatan PNPM Mandiri dalam isu gender.

2. Bagaimana gambaran internalisasi PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga? Unit analisis yang akan ditelusuri adalah pencitraan dan aktivasi kegiatan PNPM Mandiri dan internalisasi berdasarkan keragaman karakteristik.

3. Bagaimana pengarusutamaan gender kegiatan pinjaman bergulir? Unit analisis yang ditelusuri adalah: (1) Gambaran kegitan pinjaman bergulir di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon; (2) Isu gender dalam kegiatan pinjaman bergulir; (3) Peran perempuan pada kelembagaan unit pengelola keuangan; (4) Akses perempuan terhadap pinjaman bergulir; (5) Keragaman profil perempuan pemanfaat pinjaman bergulir; (6) Inisiasi perempuan dalam pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat pinjaman bergulir; (7) Tanggung jawab perempuan terhadap pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir; (8) Perempuan dan kontrol sosial kegiatan pinjaman bergulir.

Tujuan Penelitian

PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga merupakan program inovasi yang

memerlukan pembelajaran yang intensif pada masyarakat. Hal ini mengindikasikan perlunya manajemen komunikasi yang strategis, terarah dan tepat sasaran, karena visi misi PNPM Mandiri sebagai sarana pendobrak pola pembangunan sentralisme dan paradigma kerangka berpikir lama. Titik krusial

program ini ada pada kegiatan pinjaman dana bergulir, karena selama ini program pinjaman bergulir khususnya di Kelurahan Kenanga tidak berjalan dengan baik. Hal ini tentunya diperlukan sebuah kesadaran kritis bersama sehingga program pinjaman bergulir dapat berjalan dengan baik .

(23)

muncul dari sebuah pembelajaran dengan menggunakan media komunikasi. Dari

paparan di atas tujuan penelitian ini dapat disederhanakan sebagai berikut:

1. Menganalisis model komunikasi tingkat basis kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

2. Menganalisis internalisasi kegiatan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga

Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

3. Menganalisis pengarusutamaan gender dalam kegiatan pinjaman di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mencoba membangun satu kesatuan antara komunikasi tingkat basis dengan kesadaran kritis gerakan pengarusutamaan gender. Dari perumusan penelitian yang dibuat, maka kegunaan penelitian ini mencakup tiga aspek yaitu:

1. Kegunaan teoretis.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu komunikasi baik secara konseptual dan teoretis terutama mengenai komunikasi partisipasi.

2. Kegunaan kritis.

Diharapkan penelitian ini sebagai inspirasi untuk membangun kesadaran kritis dalam perspektif gender terutama berkenaan dengan keseimbangan dan keadilan peran antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi pembangunan.

3. Kegunaan praktis.

Diharapkan penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dan bahan informasi bagi perencana dan pengambil kebijakan oleh instansi tertentu yang terkait dengan kegiatan PNPM Mandiri yang berkenaan dengan kesadaran kritis

(24)

Definisi Istilah

Setiap penelitian memiliki ranah kajian khas yang memunculkan beberapa istilah spesifik. Tentunya dalam kaitan penelitian ini istilah spesifik yang muncul adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan kegiatan PNPM Mandiri dan kajian gender. Berikut ini beberapa istilah penting yang berhubungan dengan tema kajian

penelitian:

1. BKM : Badan Keswadayaan Masyarakat adalah suatu badan yang dibentuk masyarakat yang bertujuan untuk mengelola PNPM Mandiri.

2. Faskel : Fasilitator Kelurahan adalah seseorang yang ditugasi untuk melakukan pendampingan pada tingkat basis dalam kegiatan PNPM Mandiri.

3. GAD : Gender and Development adalah konsep

pembangunan yang melibatkan secara penuh perempuan di dalam mengikuti proses pembangunan dari perencanaan sampai evaluasi.

4. GDI : Gender-related Development Index adalah ukuran yang digunakan dalam parameter gender yang berkaitan dengan pembangunan.

5. GEM : Gender Empowerment Measurement ukuran yang digunakan untuk melihat tingkat keberdayaan masyarakat terutama kaum perempuan dalam pembangunan.

6. IDT : Inpres Desa Tertinggal adalah program pemerintah pada masa orde baru untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan.

7. Korkab : Koordinator Kabupaten adalah orang yang bertugas untuk melakukan koordinator dalam kegiatan PNPM Mandiri dalam lingkup kabupaten atau kota.

(25)

9. MDGs : Millennium Development Goals adalah program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bervisi misi mengentaskan kemiskinan dengan target 2015 dengan mengedepankan delapan aspek prioritas.

10. PJM : Program Jangka Menengah adalah istilah yang

digunakan untuk program selama tiga tahun yang dibuat dan dilaksanakan oleh BKM.

11. PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah di dalam mengaplikasikan konsep pembangunan berparadigma bottom up menitikberatkan pada partisipasi, pemberdayaan dan kemandirian masyarakat.

12. PUG : Pengarusutamaan Gender adalah sebuah gerakan afirmasi yang ditujukan untuk meningkatkan peran terutama perempuan dalam proses pembangunan. 13. Renta : Rencana Tahunan adalah istilah yang digunakan

untuk nama program satu tahunan yang dilaksanakan oleh BKM yang bersumber dari program jangka menengah.

14. RPuK : Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan adalah sebuah lembaga swadaya yang berbasis di Aceh yang

intens dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. 15. RWT : Rapat Warga Tahunan adalah siklus kegiatan dalam

program PNPM Mandiri yang merupakan sarana masyarakat untuk melakukan monitoring dan evaluasi

program.

(26)

17. UPL : Unit Pengelola Lingkungan adalah unit kerja BKM

yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur lingkungan.

18. UPS : Unit Pengelola Sosial adalah unit kerja BKM yang bertanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan sosial.

19. WAD : Women and Development adalah pendekatan yang menitikberatkan pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur dimensi ruang dan waktu yang digunakan oleh perempuan. 20. WID : Woman in Development adalah kebijakan program

(27)
(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Kegiatan PNPM Mandiri

Secara umum PNPM dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Selain itu, PNPM Mandiri diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam rangka lebih mengefektivkan upaya-upaya pengurangan kemiskinan (LP3S & World Bank 2007).

PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat menuju kemandiriannya dalam pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.

PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan dana stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan

(29)

tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat (Ditjen

PMD 2008).

Pada pelaksanaan operasional kegiatan PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar otonomi, desentralisasi, partisipasi, kesetaraan dan keadilan gender, demokratis, transparansi dan berorientasi pada masyarakat miskin (Ditjen

PMD 2008).

Dalam konteks aplikasi kegiatan PNPM Mandiri dapat digambarkan dalam Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Alur kegiatan PNPM Mandiri

Gambar 1 Di atas menunjukkan bahwa konsep PNPM Mandiri adalah program berbasis masyarakat. Kegiatan PNPM Mandiri diawali dengan pemetaan swadaya (PS). Pemetaan swadaya dilakukan oleh masyarakat yang telah diberikan pelatihan. Hasil dari pemetaan swadaya masyarakat meliputi berbagai tiga aspek besar yaitu: bidang kondisi fisik lingkungan warga, sosial dan ekonomi warga.

Hasil pemetaan ini merupakan sumber dalam pembuatan Program Jangka Menengah (PJM) dan Rencana Tahunan (Renta). Program Jangka Menengah dan Renta dibuat oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki badan hukum. Selanjutnya

PJM dan Renta yang sudah disepakati bersama masyarakat diaplikasikan dalam program aksi yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Pelaksanaan PNPM Mandiri di Kelurahan Kenanga dimulai sejak tahun 2007, dengan nama Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Program ini memiliki tiga sasaran yaitu: (1) Peningkatan sarana lingkungan fisik warga dengan melaksanakan perbaikan sarana lingkungan warga seperti

Penguatan program (pelatihan-pelatihan) Pemetaan

swadaya

Pembuatan PJM/Renta

(30)

pengaspalan jalan, saluran pembuangan air limbah rumah tangga, pembuatan rabat

beton dan lain-lain; (2) Peningkatan taraf kesejahteraan sosial yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan; (3) Ekonomi bergulir yaitu memberikan pinjaman lunak tanpa agunan kepada masyarakat dengan sistem berkelompok. Proporsi penggunaan anggaran dalam

program ini adalah 70% digunakan untuk pembangunan peningkatan sarana fisik lingkungan, 10% untuk kegiatan sosial dan 20% untuk kegiatan ekonomi (pinjaman bergulir).

Feminimisasi Kemiskinan

Lahirnya PNPM Mandiri, merupakan jawaban atas hasil program-program pengentasan kemiskinan yang selama ini belum mendapatkan hasil yang optimal. Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh semua negara di dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Sampai tahun 2006, BPS memperkirakan hampir 17,4% dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin. Data lain yang ditunjukkan Whitehead dalam Cahyono (2005) telah mendata bahwa lebih dari setengah penduduk miskin di negara berkembang adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk kategori miskin, 70 persennya adalah kaum perempuan. Hal ini menguatkan terjadinya feminimisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.

Kemiskinan pada hakikatnya merupakan persoalan klasik dan belum

ditemukan suatu rumusan atau formulasi penanganan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konsep tunggal tentang kemiskinan. Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan, literatur mengenai kebijakan sosial menunjuk pada dua paradigma atau teori besar (grand theory)

mengenai kemiskinan yakni paradigma neoliberal dan demokrasi sosial (Suharto 2005). Dua paradigma atau pandangan ini kemudian muncul cetak biru dalam menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-program anti kemiskinan.

(31)

komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776) dan Frederick Hayek, The Road of Serfdom (1944) dipandang sebagai rujukan kaum neoliberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne et al. (1992) dalam Suharto (2005) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absences of states intervention in the economy.”

Para pendukung neoliberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanya sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu menjalankan tugasnya (Shanon 1991; Spicker 1995; Cheyne et al. 1998 dalam Suharto 2005). Penerapan program-program structural adjustmen, seperti program jaringan pengaman sosial (JPS) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan contoh konkret dari pengaruh neoliberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan.

Teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan adanya ketidakadilan

dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economy) dan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian yang

muncul sebagai jawaban tehadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920an dan awal tahun 1930an.

(32)

yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya

dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya (choices). Sebaliknya ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (defedency) karena

dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.

Dengan menggunakan perspektif lebih luas lagi David (2004) dalam Suharto (2005) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi: (1) Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi; (2) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakikat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan); (3) Kemiskinan sosial yaitu kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas; (4) Kemiskinan konsekuensional, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

Mariana dan Purnama (2005) menyebutkan bahwa kemiskinan yang

dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Oleh karena itu menurutnya, sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak

hanya secara ekonomi mereka terbelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi mereka pun kurang diberi tempat. Hal ini yang pada gilirannya memunculkan Feminimisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia.

(33)

empowerment, opportunity, capacity and security. Masalah pemberdayaan perempuan meliputi dua hal. Pertama pemberdayaan ekonomi terkait dengan minimnya atau lemahnya akses perempuan terhadap institusi keuangan formal. Kedua, masalah pemberdayaan juga terkait dengan minimnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan regional.

Berbagai kajian tentang kemiskinan menunjukkan minimnya akses kelompok miskin terhadap institusi keuangan formal terutama dalam hal akses terhadap fasilitas perbankkan. Minimnya akses tersebut terkait kesulitan yang dihadapi kelompok miskin dalam penyediaan jaminan perbankkan karena pemilikan aset yang dapat dijadikan jaminan lebih sering diatasnamakan laki-laki. Untuk itu, diperlukan terobosan yang telah dilakukan Grammen Bank yang diprakarsai Mohammad Yunus, pemenang hadiah nobel. Dalam konteks PNPM Mandiri persoalan ini dipecahkan dengan adanya program pinjaman dana bergulir yang dikelola oleh masyarakat.

Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir (2005) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya

perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.

Budaya patriarki dengan sistem kekerabatan yang bertumpu pada laki-laki akan menjadikan laki-laki merasa lebih superior dan berkuasa, sementara

(34)

dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik. Kondisi seperti ini

tampak dengan jelas karena sampai saat ini keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan, ekonomi dan lain-lain masih cukup menonjol.

Dari pemaparan konsep, teori, beserta data-data tentang kemiskinan yang ada mengindikasikan perlunya sebuah penyelesaian kemiskinan secara

komprehensif. Dalam kaitan ini, penanganan kemiskinan harus melihat berbagai variabel, seperti variabel sosial, kemasyarakatan dan ekonomi. Hadirnya PNPM Mandiri diharapkan mampu menjadi jembatan dalam mengentaskan persoalan pembangunan terutama persoalan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena visi dan misi PNPM Mandiri adalah mengentaskan kemiskinan yang berbasis pada masyarakat.

Pembangunan Berwawasan Gender

Dewasa ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka (Arjani 2008). Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat menuju terwujudnya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).

Latar belakang munculnya konsep pembangunan berwawasan gender

adalah kesenjangan dan ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini pada sebagian masyarakat di dunia merupakan warisan sejarah dan gejala budaya, yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan alam serta persepsi manusia tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan.

Secara empiris manusia melihat adanya perbedaan biologis, disertai dengan persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan setiap gender. Atas dasar itu manusia mengatur pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah dan masyarakat.

(35)

konsep gender. Hal ini sangat esensial dalam menganalisis persoalan-persoalan

ketidakadilan sosial yang menimpa perempuan, yang diakibatkan oleh perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam struktur masyarakat (Sudirja 2007).

Kesalahpahaman terhadap konsep ini memunculkan sebuah stigma yang tidak adil dalam konstruksi sosial dalam masyarakat. Implikasinya adalah ketidakadilan peran dalam sektor publik antara laki-laki dan perempuan. Keadaan ini tentunya bertolak belakang dengan sistem konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sudah memberi penegasan bahwa

setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan.

Dewasa ini berkembang stigma bahwa pembangunan berwawasan gender adalah pembangunan yang berperspektif perempuan. Stigma ini tentunya harus diluruskan karena makna pembangunan berwawasan gender memiliki dimensi yang sangat luas. Pembangunan berwawasan gender bukan hanya dilihat dari sisi bentuk dan pemanfaatan program yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan perempuan. Pembangunan berwawasan gender juga harus dipandang bagaimana aksesibilitas perempuan dalam pembangunan, penguasaan terhadap modal-modal pembangunan dan lebih penting lagi bagaimana kiprah perempuan dalam pembangunan.

Lebih jauh memahami gender dalam pembangunan terutama dalam perspektif perempuan tentunya harus dipahami peran perempuan secara komprehensif. Dalam pengembangan citra dan prospek perempuan abad XXI, terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi, di mana seratus persen hidupnya untuk mengurusi keluarga dan patron pembagian kerja jelas (perempuan di rumah atau domestik, pria di luar rumah atau publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran

(36)

menyita waktu dan perhatian perempuan, dukungan moral dan tingkat kepedulian

pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu peduli pada kepentingan perempuan) akan meningkatkan populasinya (Vitayala

dalam Hastuti 2004).

Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan dimasukkannya isu perempuan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 dan terbentuknya lembaga Menteri Peranan Perempuan pada tahun yang sama yang berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999, di mana perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pada perkembangannya, pada tahun 2000 telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional. Inpres ini berisi instruksi kepada menteri, bupati atau walikota, kepala lembaga pemerintah nondepartemen untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing

Pada intinya ada tiga hal yang perlu diperhatikan, dalam pembangunan

berwawasan gender (Sudirja 2007) yaitu:

1. Kemampuan perempuan sebagai sumberdaya insani pembangunan perlu

ditingkatkan dan diarahkan secara bersungguh-sungguh melalui pendidikan,

pelatihan dan penyuluhan, agar:

a. Perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya baik dalam keluarga maupun masyarakat.

b. Perempuan dapat lebih memanfaatkan kesempatan yang ada seoptimal

mungkin.

(37)

nontradisional (misalnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

politik, pertahanan dan keamanan).

2. Pemberian kesempatan kepada perempuan untuk berperan aktif sebagai mitra sejajar pria perlu ditunjang oleh sikap mental, perilaku dan pandangan masyarakat terhadap perempuan, terutama peran aktif di luar lingkungan

keluarga dan rumah tangga.

3. Penyesuaian sistem dan struktur pranata sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik.

Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development (GAD).

Konsep GAD tidak lahir begitu saja, tetapi mengalami proses yang panjang dimulai dari pemikiran WID, WAD. Masing-masing konsep berkembang sesuai dengan pengembangan konsep pembangunan dan kritik terhadap aplikasi konsep pembangunan yang ada, serta teori feminis yang menjadi bagian dari kritik terhadap pembangunan tersebut.

WID menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga seperti pendidikan, keterampilan serta kebijakan yang dapat

meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan WID berpijak pada dua sasaran (1) pentingnya prinsip egalitarian. Prinsip egalitarian adalah kepercayaan bahwa semua orang sederajat. Egalitarianisme adalah doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia

(38)

oleh para perempuan di sektor produksi. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa

sektor produktif identik dengan sektor publik dan ini banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sedangkan perempuan kurang dilibatkan bahkan tidak diberi peran sama sekali, karena kedudukan perempuan ada pada sektor domestik bukan produktif (Handayani & Sugiarti 2008).

Program-program yang dapat diterapkan untuk pelaksanaan pendekatan WID adalah program-program yang dapat menghasilkan pendapatan bagi perempuan. Untuk lebih mendorong perempuan memasuki dunia publik, maka diperlukan beberapa persyaratan antara lain pendidikan dan keterampilan. Untuk itu implikasinya dengan pemberian kesempatan belajar dalam jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi akan lebih memberikan kemampuan dan keterampilan bagi perempuan. Diharapkan dengan pemberian pendidikan ini, perempuan dapat mewakili kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang menunjang sektor-sektor produktif dan publik masyarakat. Selain pendidikan juga bekal keterampilan, baik melalui lembaga-lembaga formal maupun informal. Diharapkan melalui pendidikan keterampilan akan memberikan nilai tambah bagi perempuan dalam mencari penghasilan atau menambah pendapatan keluarga. Program yang lain dari WID adalah pemberian fasilitas kesejahteraan sosial seperti pemenuhan kebutuhan bagi kesehatan perempuan.

Pendekatan WID menekankan terintegrasikannya perempuan dalam pembangunan, maka WAD lebih mengarah pada hubungan antara perempuan dan proses pembangunan. Dalam pendekatan WAD tidak dibahas letak kedudukan

laki-laki dan perempuan. Sudah ada pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan, kesempatan dan peran yang sejajar. Oleh karena itu, isu dalam WAD adalah bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Hal ini sangat berkorelasi dengan situasi negara. Pada beberapa

negara berkembang atau beberapa yang tergolong dalam jajaran dunia ketiga, peran laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi secara struktur internasional, khususnya mereka yang berada dalam golongan kelas sosial bawah.

(39)

oleh struktur politik yang lebih stabil dan merata, baik dalam skala nasional

maupun internasional.

Pedekatan WAD dititikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan. Kegiatan-kegiatan yang di luar tugas dan tanggung jawab unsur domestik.

Kegiatan domestik berada di luar jalur kegiatan pembangunan. Oleh karena WAD menekankan pada hubungan antara laki-laki dan proses pembangunan maka implementasinya adalah ukuran produktivitas perempuan baik secara kesempatan maupun kemampuan yang dimiliki. WID dan WAD memiliki kesamaan yaitu sama-sama dalam kerangka ekonomi dan politik negara.

Pendekatan GAD lebih menekankan bagaimana hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Pendekatan GAD muncul pada dekade 1980 an sebagai salah satu implementasi dari WID. GAD muncul dari teori bahwa sektor produksi dan reproduksi merupakan kausalitas penindasan terhadap kaum perempuan. (Handayani & Sugiarti 2008). Pandangan bahwa perempuan cenderung diartikan pada peran domestik dan bukan pada sektor publik menyebabkannya ditempatkannya perempuan pada posisi yang subordinat.

Pendekatan GAD menitikberatkan analisisnya pada jawaban atas pertanyaan: mengapa perempuan ditempatkan pada peran-peran yang inferior di masyarakat? Untuk menjawabnya perlu pendekatan holistik atau menyeluruh tentang aspek-aspek kehidupan manusia. Untuk dapat mengetahui posisi perempuan dalam masyarakat perlu ditinjau kondisi sosial, ekonomi, politik dan

budaya. Jadi, pendekatan holistik dipakai untuk memahami posisi perempuan dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya dalam proses pembangunan.

Dalam pendekatan GAD, posisi perempuan diletakkan dalam konstruksi sosial gender serta pemberian tertentu pada perempuan maupun laki-laki.

(40)

Pendekatan GAD secara implementatif cenderung mengarah pada

komitmen pada perubahan struktural. Oleh sebab itulah pelaksanaan GAD memerlukan dukungan sosiobudaya masyarakat dalam politik nasional yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. GAD tidak mungkin terlaksana apabila dalam politik suatu negara masih menempatkan perempuan dalam posisi

yang inferior dan subordinatif.

Dengan karakteristik yang dimiliki, PNPM Mandiri setidaknya merupakan instrumen yang paling penting yang dimiliki pemerintah untuk secara aktif menghapuskan hal-hal yang menghambat kesetaraan gender dalam pembangunan

Arti penting PNPM mandiri dapat dilihat dari potensinya secara nasional untuk: (1) menanggapi kebutuhan praktis perempuan: dengan mendanai, misalnya,

ketersediaan air bersih, fasilitas kesehatan dan pendidikan, yang dapat membantu menghilangkan hambatan praktis dari keterbatasan waktu dan kapasitas yang menghalangi keterlibatan perempuan dalam pembangunan; (2) meningkatkan potensi perempuan dalam kegiatan ekonomi: melalui investasi dalam infrastruktur lokal seperti jalan dan jembatan yang membantu menghilangkan beberapa kendala terhadap akses perempuan terhadap pasar dan sumberdaya; dan mendukung kegiatan keuangan mikro yang membantu perempuan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif dan mengembangkan usahanya; (3) menjamin partisipasi aktif perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan: melalui penekanan pada tingkat partisipasi secara luas yang dapat menghapuskan beberapa hambatan terhadap partisipasi perempuan dalam perencanaan dan

pengambilan keputusan di tingkat lokal serta memastikan bahwa suara mereka terdengar dan bahwa mereka memiliki peluang untuk mempengaruhi proses serta keputusan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka.

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

(41)

Untuk mengeliminasi ketidakadilan ini, maka diperlukan sebuah strategi

dalam kaitan ini adalah pengarusutamaan gender (PUG). Melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan, program atau proyek dan kegiatan pembangunan yang responsif gender serta mempunyai wawasan gender, sehingga dapat mengurangi ketidakadilan gender dan mengantar pada pencapaian kesetaraan dan

keadilan.

Istilah gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan perbedaan laki-laki dan perempuan yang merupakan bentukan budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Istilah pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) tercantum dalam Beijing Platform of Action pada tahun 1995 dalam RPuK (2007) sebagai berikut: “Gender Mainstreaming is a strategy for integrating gender concerns in the analysis formulation and monitoring policies, programs and projects.”

Lebih lanjut lagi Inpres RI No. 9 Tahun 2000 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan serta program pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender menjamin seluruh kebijakan program dan proyek pada setiap sektor pembangunan telah memperhitungkan aspek gender. Hal ini dilakukan dengan melihat laki-laki dan perempuan sebagai pelaku yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam

memanfaatkan hasil pembangunan. Dengan demikian hak-hak perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat dapat ditegakkan.

Berdasarkan Inpres tersebut, tujuan pengarusutamaan gender dapat

(42)

Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan

keadilan gender melalui kebijakan dan progam yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Kemeneg PP 2000)

Keadilan dan kesetaraan gender berusaha diwujudkan dengan program dan proyek-proyek pembangunan, yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan gender, baik yang sifatnya praktis maupun yang strategis. Adapun langkah-langkah yang dilaksanakan untuk mengimplementasikan strategi ini adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan kebutuhan praktis sebagaimana didefinisikan oleh perempuan dan laki-laki untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, menangani kebutuhan strategis perempuan; (2) Menangani kebutuhan strategis golongan ekonomi lemah melalui pembangunan untuk rakyat (RPuK 2007).

Dalam melakukan pengarusutamaan gender paling tidak harus menyentuh tiga hal yaitu: (1) Memasukkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan di setiap level; (2) Menggunakan momentum dan menciptakan ruang dialog yang terus menerus untuk mengembangkan atau menularkan perspektif serta membangun jaringan yang dapat djadikan ”sahabat” dalam memperjuangkan keadilan; (3) Merumuskan dan membuat model-model pendidikan yang dapat membangun kesadaran, yang dimulai dari rumah tangga, sekolah dan pusat kehidupan masyarakat lainnya (RPuK 2007).

Hambatan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Dalam perjalanannya PUG masih mengalami hambatan pada tingkat aplikasi. Diyakini kondisi konstruksi sosial telah menciptakan hambatan dalam pengarusutamaan gender. Dalam pandangan Faqih (2008) terdapat beberapa

konstruksi sosial yang dapat menghambat PUG yaitu: 1. Penomorduaan (subordinasi).

(43)

dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut

terlibat maksimal saat hasil keputusan itu diimplementasikan. Tradisi, adat atau bahkan aturan agama paling sering dipakai alasan untuk menomorduakan perempuan.

2. Pelabelan negatif pada perempuan (Stereotype).

Label negatif banyak kita temukan di masyarakat misalnya perempuan berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alasan-alasannya, dianggap bahwa dia terlalu cerewet, emosional dan tidak berpikir rasional. Jika laki-laki berada pada kondisi yang sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat.

3. Peminggiran (Marginalisasi).

Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan pada termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini

perempuan.

4. Beban kerja berlebih (Multi-Burdened).

Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan yang berlebihan. Hal inilah juga yang sering menjadi bahan diskusi dalam

(44)

saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan

pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). Sebagian yang lain, terutama laki-laki, khawatir jika perempuan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga.

5. Kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis (misalnya kata-kata yang merendahkan dan melecehkan), kekerasan seksual (contoh perkosaan dll). Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan).

Secara teoritis, hambatan pengarusutamaan gender dapat ditelusuri dengan menggunakan pisau analisis teori “kelompok yang dibungkam.” Teori ini merupakan teori komunikasi kritis dan termasuk dalam konteks kultural yang membahas mengenai gender dan komunikasi. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengungkap struktur-struktur penting yang menyebabkan penindasan dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.

Teori kelompok yang dibungkam berawal dari karya Edwin dan Shirley Ardener, para antropolog sosial yang tertarik dengan hirarki sosial. Pada tahun 1975, Edwin Ardener dalam West dan Turner (2008) menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti kaum perempuan, kaum miskin dan kulit berwarna, harus belajar untuk

bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan.

(45)

berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat; (2) Laki-laki merupakan

kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan; (3) Agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam ranah sistem ekspresi yang dominan tersebut.

Partisipasi Masyarakat

Berbicara partisipasi masyarakat dalam pembangunan, akan ditemukan rumusan pengertian yang bervariasi sejalan dengan luasnya lingkup penggunaan. Konsep pembangunan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua teknik, yaitu: partisipasi masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Kedua teknik pembangunan ini merupakan proses pemberdayaan yang berarti pembangunan harus bersumber dari, oleh dan untuk masyarakat. Konsep pembangunan juga dapat dipahami sebagai program dan gerakan sosial. (Anwar 2007).

Dalam pandangan lain yang disampaikan oleh Deshler dan Sock, (1985) dalam Ditjen Cipta Karya (2008a) disebutkan bahwa secara garis besar terdapat tiga tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation).

Partisipasi teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis pada konteks pengembangan

masyarakat.

Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis secara bersamaan. Pengembangan

partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi.

(46)

berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis,

bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi).

Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan dua

tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu digunakan dalam pengembangan program dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi Christ Roche (1999) dalam Ditjen Cipta Karya (2008a).

Terdapat beberapa pertimbangan rasional yang mendasari strategi pengembangan partisipasi masyarakat (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008). Secara normatif asumsi yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat lokal harus memperoleh proyek dan program pembangunan yang mereka tentukan sendiri. Asumsi normatif ini didasari oleh asumsi dedukt if bahwa masyarakat lokal yang paling tahu apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya dan mereka memiliki hak dan kemampuan untuk menyatakan pemikiran dan kehendaknya tadi. Dengan demikian, apabila program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan di tingkat lokal didasari keputusan yang diambil masyarakat sendiri maka program tersebut akan lebih relevan dan lebih menyentuh permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat.

Lebih lanjut asumsi teoritis yang dapat dikembangkan dalam strategi pengembangan partisipasi masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Tujuan

pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antarkelompok-kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi setempat; (2) Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat. Asumsi ini ingin menempatkan partisipasi masyarakat sebagai sarana sekaligus tujuan dari proses

(47)

internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program (Mikkelsen 1999 dalam Soetomo 2008).

Berbagai asumsi tersebut dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk mengembangkan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Berdasarkan asumsi tersebut Mikkelsen (1996) dalam Soetomo

(2008) membedakan adanya empat pendekatan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Pertama, pendekatan partisipasi pasif. Pendekatan ini didasarkan bahwa pihak eksternal yang lebih tahu, lebih menguasai pengetahuan, teknologi, skill dan sumberdaya. Dengan demikian, bentuk partisipasi ini akan melahirkan tipe komunikasi satu arah, dari atas ke bawah, hubungan pihak eksternal dan masyarakat lokal bersifat vertikal.

Kedua, pendekatan partisipasi aktif. Dalam pendekatan ini sudah dicoba dikembangkan komunikasi dua arah, walaupun pada dasarnya masih berdasarkan pada anggapan yang sama dengan pendekatan yang pertama, bahwa pihak eksternal lebih tahu dibandingkan masyarakat lokal. Pendekatan ini sudah mulai membuka dialog, guna memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara intensif dengan para petugas dari institusi eksternal. Salah satu contohnya adalah pendekatan pelatihan dan kunjungan.

Ketiga, pendekatan partisipatif dengan keterikatan. Pendekatan ini mirip kontrak sosial antara pihak eksternal dengan masyarakat lokal. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan masyarakat lokal dan apa yang harus dilakukan dan diberikan pihak eksternal. Dalam model ini masyarakat

setempat mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaan kegiatan yang telah disepakati dan mendapat dukungan dari pihak eksternal baik finansial maupun teknis.

Keempat, partisipasi atas permintaan setempat. Bentuk ini mencerminkan

(48)

Pemberdayaan dalam Perspektif Gender

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat

(Kartasasmita 1996).

Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan, antara lain:

1. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan kekuasaan yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995 dalam Suharto, 2005).

2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson e al. 1994 dalam Suharto 2005).

3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift & Levin 1987 dalam Suharto (2005).

4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya Rapport (1984) dalam Suharto (2005).

Dalam pandangan Parson, et al. (1994) dalam Suharto (2005) bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu

Gambar

Gambar 2. Proses komunikasi dalam PNPM Mandiri
Gambar 3. Peran komunikasi dalam pembangunan
Gambar 5. Model komunikasi sirkular Schramm
Gambar 6. Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini adalah penelitian pre eksperimen ( One group Pretest-Posttest Designs ). Populasi dalam penelitian ini adalah semua santri TK/TPA Nurul Istiqomah Kampung

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai jenis tindak direktif dan ciri penandanya, jenis tindak direktif yang dominan digunakan, serta makna imperatif dari

Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu

Oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme tubuh saat aktivitas fisik berat, dapat menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas yang bersifat sangat reaktif terhadap sel

Di Indonesia sendiri peningkatan jumlah limbah elektronik dikarenakan beberapa faktor, antara lain: (1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste kepada publik;

[r]

1.3.2 Implementasi Supervisi (pengawasan) akademik oleh kepala SD adalah wujud nyata pelaksanaan supervisi akademik dalam pembelajaran matematika yang

Dari pengolahan data minyak sawit mentah (CPO) diperoleh kesimpulan yaitu pengendalian persediaan minyak sawit mentah (CPO) dengan metode EOQ tahun 2011 sebanyak 1.138 ton dengan