• Tidak ada hasil yang ditemukan

Degradasi bahan organik dan pemanfaatannya sebagai penghasil energy listrik pada sedimen tambak udang melalui sediment microbial fuel cell

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Degradasi bahan organik dan pemanfaatannya sebagai penghasil energy listrik pada sedimen tambak udang melalui sediment microbial fuel cell"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

DEGRADASI BAHAN ORGANIK

DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI PENGHASIL ENERGI

LISTRIK PADA SEDIMEN TAMBAK UDANG MELALUI

SEDIMENT MICROBIAL FUEL CELL

YAYAN FIRMANSYAH C34062363

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

YAYAN FIRMANSYAH. C34062363. Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan AKHIRUDDIN MADDU.

Permasalahan-permasalahan besar sering terjadi pada pengembangan budidaya udang di dunia. Kejadian-kejadian tersebut meliputi pencemaran sedimen tambak akibat sisa pakan, penggunaan bahan kimia, zat antibiotik, dan timbulnya penyakit pada udang. Berbagai teknik dan manajemen budidaya tambak telah banyak dikembangkan, namun penggunaan sediment microbial fuel cell (SMFC) sebagai teknologi pendegradasi atau penurunan akumulasi bahan organik pada tambak udang belum pernah diterapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penurunan akumulasi bahan organik dan energi listrik yang dihasilkan pada sedimen tambak udang melalui sediment microbial fuel cell.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penentuan tempat pengambilan sampel dan kondisi tempat pengambilan sampel sedimen pada tambak udang. Tahap kedua meliputi pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang yang ada. Tahap ketiga adalah berupa pembuatan rangkaian SMFC.Tahap keempat adalah pengukuran arus listrik dan tegangan yang dihasilkan SMFC dengan menggunakan multimeter dan tahap kelima meliputi karakterisasi pada substrat hasil dari proses degradasi bahan organik melalui SMFC, sehingga dapat dilihat adanya perubahan terhadap kadar akumulasi bahan organik pada sedimen tambak udang yang ada.

Kualitas air tambak udang di Desa Jayamukti memiliki suhu berkisar antara 29-30oC, salinitas 18-20 ppm, pH 7,5-8,5, DO 3-4 mg/l dan kecerahan sebesar 25-30 cm. Analisis terhadap tekstur sedimen tambak menunjukkan bahwa sedimen tambak udang di Desa Jayamukti tergolong jenis tanah liat, dengan kandungan bahan organik berupa karbon organik (C) 1,45±0,44%, Nitrogen (N) 0,11±0,03%, rasio C/N 13 dan Fosfor (P) 59 ppm. Sedangkan kandungan bahan organik pada sedimen setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan yaitu, karbon organik 1,29±0,34 %, Nitrogen 0,10±0,02 %, sehingga ratio C/N sebesar 12 dan kandungan P yang tersedia 40±4,08 ppm. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan menjadi 21,53±2,7 (cmol(+)/kg), dan secara umum nilai kation basa ditukarpun mengalami penurunan yaitu pada Mg 22,30±3,07 (cmol(+)/kg), K 4,18±0,85 (cmol(+)/kg), dan Na 46,48±14 (cmol(+)/kg).

SMFC dengan substrat sedimen tambak udang dapat menghasilkan arus listrik yang mencapai puncak produksi arus listrik pada hari ke-24, yaitu ~161,99 mA/m2dan tegangan sebesar ~0,39 V.

(3)

DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI PENGHASIL ENERGI

LISTRIK PADA SEDIMEN TAMBAK UDANG MELALUI

SEDIMENT MICROBIAL FUEL CELL

YAYAN FIRMANSYAH C34062363

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Celladalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi

yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(5)

Judul Penelitian : Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell

Nama Mahasiswa : Yayan Firmansyah

NRP : C34062363

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Bambang Riyanto, S.Pi. M.Si Dr. Akhiruddin Maddu NIP. 19690603 199802 1001 NIP. 19660907 199802 1006

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini

mengambil judul Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si dan Bapak Dr. Akhiruddin Maddu selaku

dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan

kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si selaku dosen penguji, atas segala saran dan

masukannya yang diberikan kepada penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan

Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Keluarga terutama Ibunda, Almarhum Ayah tercinta, Adikku Novi Fajriani, dan

kakaku Asep Gunawan, keluarga Dewi K Indiana yang telah memberikan

semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penyusunan

skripsi ini.

5. Dosen dan Staf THP, Laboran THP (Ibu Ema, Lastri, Mas Zaky dan Mas Ipul)

dan Laboran Balai Tanah Bogor (Ibu Nurjanah) atas bantuan dan kerjasama

selama penelitian berlangsung.

6. Rizky Chairunisah atas semangat, perhatian, kesetiaan dan bantuannya kepada

penulis selama penelitian dan penyususnan skripsi ini.

7. Teman-teman satu bimbingan “Tim Smart”, Supri, Ratna dan Cece, terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya dalam satu bimbingan.

8. Teman-teman PKMP (Fitriani Idham, Abdul Basir, Rizky Chairunisah, Dini

Aulia dan Dianita), Wahyu Ramadhan, Reza, Uty, Rizal, Adi, Nabila, Nadya,

Cen-cen, Linda, Pak Budi dan Mas Tedi yang telah memberikan saran dan

(7)

9. Teman-teman THP 43, 44, 45 dan 46, terimakasih atas kebersamaannya selama

di THP tercinta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan, dalam proses penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 19 Agustus 1987,

yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan

Bapak Alm. Awing dan Ibu Yati. Penulis memulai jenjang

formal di Sekolah Dasar Negeri Kertamukti Desa Jayamukti

Kecamatan Blanakan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian

melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Blanakan

dan lulus pada tahun 2003 serta Sekolah Menengah Atas di

SMA Negeri 1 Subang dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Departemen Teknologi

Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan minor Manajemen

Fungsional Pemasaran, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan

akademik di IPB penulis pernah aktif sebagai Wakil Ketua Himpunan Profesi

Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) tahun 2008, dan Badan Pengawas

Himpunan Profesi Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) tahun 2009. Ketua

Gerakan Makan Ikan (GMI) tahun 2009. Asisten Praktikum mata kuliah Avertebrata

Air (2008), sebagai Koordinator Asisten Praktikum mata kuliah Avertebrata Air

(2009) dan Koordinator Asisten Praktikum Mata Kuliah Teknologi Produk

Tradisional Hasil Perairan. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan yang bersifat

prestatif, diantaranya penyaji PIMNAS bidang PKMK ke XXII – UNIBRAW Malang 2009, juara setara emas poster PIMNAS ke XXII – UNIBRAW Malang 2009, juara II teater se-Bogor TETRANOLOGI 2009.

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel

(9)

DAFTAR ISI

3.3.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel ... 12

3.3.2 Pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang ... 13

3.3.3 Pembuatan rangkaian SMFC ... 13

3.3.4 Pengukuran arus listrik dan tegangan SMFC tambak ... 14

3.3.5 Karakterisasi substrat SMFC ... 15

3.4 Prosedur Pengujian ... 15

3.4.1 Penentuan tekstur tanah dengan metode pipet... 15

3.4.2 Pengukuran pH ... 17

3.4.3 Pengukuran daya hantar listrik ... 17

3.4.4 Penetapan C-organik ... 17

3.4.5 Penetapan N ... 18

3.4.6 Penetapan P-tersedia ... 18

3.4.6 Penetapan kapasitas tukar kation dan kation basa ... 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti ... 20

4.2 Karakterisasi Sedimen Tambak Udang Desa Jayamukti Blanakan .. 22

(10)

4.4 Karakteristik Substrat SMFC Tambak Udang Desa Jayamukti ... 31

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kualitas air tambak udang desa Jayamukti ... 20

2 Karakteristik sedimen tambak Desa Jayamukti Blanakan ... 23

3 Karakteristik substrat SMFC sedimen tambak udang di Desa

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Microbial Fuel cell ... 8

2 Model produksi listrik MFC pada sedimen laut ... 9

3 Susunan SMFC ... Error! Bookmark not de

4 Grafik hasil pengukuran kuat arus listrik ... 29

5 Grafik hasil pengukuran tegangan ... 29

6 Produksi arus listrik pada sedimen hidup dan sedimen steril yang

dilakukan Holmes et al (2004) ... 30

7 Perubahan warna sedimen tambak udang ... 31

8 Persentase kandungan karbon organik pada sedimen sebelum dan setelah 40 hari pengukuran ... 33

9 Persentase kandungan nitrogen total pada sedimen sebelum dan setelah 40 hari pengukuran ... 34

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Letak pengambilan sedimen tambak di Desa Jayamukti ... 43

2 Pengukuran kualitas air tambak ... 44

3 Pengukuran arus listrik dan tegangan, serta rangkaian SMFC ... 45

4 Data pengukuran arus listrik ... 46

5 Data pengukuran tegangan ... 47

6 Data hasil pengujian sedimen tambak udang Desa Jayamukti Kecamatan Blanakan di Balai Tanah Bogor (sebelum dirangkaikan dengan SMFC) ... 48

7 Data hasil pengujian karakteristik substrat SMFC tambak udang Desa Jayamukti (setelah dirangkaikan SMFC)... 49

(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan produksi udang dunia dan perkembangan perdagangan udang

global selalu diiringi dengan berbagai isu dan permasalahan besar dalam

budidaya. Pencemaran tambak akibat sisa pakan, treatment kimia dan antibiotik,

dan perkembangan penyakit, merupakan contoh kasus dalam budidaya udang

yang sering muncul (Ahn et al. 2010). Budidaya udang juga disinyalir

menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas tanah,

pemanasan global, pencemaran air, serta kontaminasi sedimen tambak pada

lingkungan sekitar (Bergheim & Asgard 1996).

Jackson et al. (2003) menyampaikan bahwa hampir 90% sumber protein

pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22% dikonversi menjadi

biomassa udang, 7% dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14%

terakumulasi pada sedimen dan 57% tersuspensi di air tambak. Limbah organik

yang terbuang ini dapat menyebabkan ledakan plankton dan masalah kekurangan

oksigen pada perairan, peristiwa ini dikenal sebagai pembusukan di perairan.

Apabila pembusukan tidak berlangsung lancar, maka akan terjadi penumpukan

amonia sampai pada konsentrasi yang membahayakan udang dan hewan air

lainnya. Secara umum produksi amonia yang berasal dari ekskresi dan

pembusukan kotoran udang dan sisa pakan di tambak udang bervariasi antara

4,5% - 5,5% dari biomassa udang yang diproduksi (Chàvez-Crooker dan

Obreque-Contreras 2010).

Avnimelech dan Ritvo (2001) menjelaskan bahwa tingkat pemberian pakan

yang tinggi tersebut akan mengakibatkan peningkatan hasil-hasil metabolisme

udang dan dekomposisi bahan-bahan organik pada sedimen tambak menjadi

sebesar 10.000-200.000 mg/kg. Kemudian Boyd (2000), menyampaikan bahwa

oksidasi dari sulfida akan menghasilkan asam sulfat yang dapat menyebabkan

kondisi lingkungan tambak menjadi asam (pH 4-5,5), sehingga dapat

membahayakan kondisi udang. Selanjutnya Avnimelech dan Rivto (2003)

menambahkan bahwa bahan organik yang mengandung nitrogen dapat digunakan

(15)

mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam tambak dan menyebabkan

meningkatnya permintaan oksigen pada sedimen (Sediment Oxygen

Demand/SOD) dari rata-rata 0,06 g O2 m-2 h-1 menjadi 0,24 g O2 m-2 h-1 dalam

3 minggu. Yuvanatemya (2007) lebih lanjut menyampaikan bahwa tingginya

bahan organik (10-100 mg/kg pada air tambak dan 10.000-200.000 mg/kg pada

sedimen tambak) dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat pada

kematian massal udang secara mendadak. Secara praktis, Lemonnier dan Brizard

(2001) menyampaikan bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak

telah mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup udang dari 60%

menjadi 10%.

Bahan organik di dasar akan meningkat seiring dengan masa pemeliharaan

udang, karena adanya penambahan hasil ekskresi dan sisa pakan yang tidak

dibuang seluruhnya ke luar tambak. Besarnya limbah yang dibuang dan masuk ke

perairan bergantung pada luas tambak yang dioperasikan dan jenis teknik

budidaya yang digunakan serta kemampuan peraiaran melakukan pengenceran

melalui arus pasang surut di perairan (Chàvez-Crooker dan Obreque-Contreras

2010).

Selain itu, pencemaran pada sedimen tambak dapat terjadi karena adanya

residu kimia, seperti antibiotik dan pestisida. Graslund et al. (2003) mencatat

bahwa petambak udang di Thailand, rata-rata menggunakan 13 jenis bahan kimia,

4 pestisida dan disinfektan, dan 3 produk untuk peningkatan kualitas tanah dan air

tambak. Penggunaan antibiotik ini disinyalir oleh Boyd et al. (2000) akan

mengakibatkan resistensi bakteri patogen dan mengubah komposisi komunitas

bakteri pada sedimen tambak, sehingga mengakibatkan perubahan proses

biogeokimia.

Selama masa budidaya, bahan organik yang terakumulasi pada sedimen

biasanya diberi perlakuan agar dapat menghilangkan racun dan bahan yang tidak

diinginkan. Manajemen tambak yang umum dilakukan adalah dengan cara

pengeringan dan pengapuran (kalsifikasi) serta penyiponan. Selain itu

dikembangkan pula teknik-teknik modern, seperti bioremediasi (Thomas et al.

1992), probiotik (Wang and Hang 2007), minimal water exchange system

(16)

Boyd (2000) menyampaikan bahwa pengeringan dasar tambak dilakukan

untuk mempercepat degradasi bahan organik, sedangkan pengapuran dilakukan

untuk menetralkan keasaman dan aktivitas mikrobial. Sedangkan bioremediasi

secara umum adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan

mikroorganisme (jamur, bakteri). Aiyushirota (2009) menyampaikan bahwa pada

dasarnya bioremediasi pada tambak digunakan untuk meningkatkan kesuburan

tambak, dan teknologi ini lebih baik jika diterapkan pada tahap persiapan tambak.

Sedangkan probiotik dalam sistem budidaya udang merupakan penambahan ke

dalam lingkungan tambak berupa jenis-jenis bakteri non patogenik (tidak

menyebabkan penyakit) yang bertujuan untuk perbaikan mutu tambak. Menurut

Thomas et al. (1992), beberapa spesies bakteri yang dipakai dalam probiotik

adalah Bacillus, Pseudomonas, Acinetobacter, Cellulomonas, Rhodoseudomonas,

Nitrosomonas, dan Nitrobacter, yang diduga dapat membantu proses mineralisasi

limbah organik. Aplikasi probiotik pada dasar tambak menurut laporan Wang and

Han (2007) dapat mempercepat dekomposisi limbah organik, namun Hariati

(2008) menyampaikan bahwa konsep probiotik ini memiliki kelemahan, yaitu:

kemampuan bertahan, kolonisasi, kompetisi nutrien dari bakteri probiotik ini

cukup bervariasi untuk masuk ke dalam satu lingkungan ekosistem yang sudah

mengandung beberapa ratus jenis spesies bakteri lainnya.

Minimal water exchange system merupakan suatu metode yang digunakan

dalam manajemen penanganan limbah air tambak dengan cara penggantian air

yang minimal, terutama di 60 hari pertama masa budidaya. Penggantian air hanya

untuk mengganti penyusutan air karena penguapan dan rembesan di bulan

pertama budidaya. Volume penggantian air maksimal 5% per hari. Minimal water

exchange system hanya mampu membuang akumulasi bahan organik yang ada

pada perairan tambak, sedangkan bahan organik yang terakumulasi pada sedimen

tetap mengendap dan tidak terbuang, sehingga hal ini dapat membahayakan

komoditas budidaya dalam tambak (Aiyushirota 2009).

Adapun teknologi lain yang sering digunakan dalam memperbaiki masalah

tambak adalah bioflok. Bioflok merupakan teknologi budidaya yang didasarkan

pada prinsip assimilasi nitrogen anorganik (ammonia, nitrit dan nitrat) oleh

(17)

oleh organisme budidaya sebagai sumber makanan (Kuhn et al. 2010). Lumpur aktif dapat diibaratkan sebagai „sup mikroba‟ yang terbentuk dari pemberian aerasi secara terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme

pengurai dalam limbah cair. Teknik ini mencoba untuk mengolah limbah

budidaya secara langsung di dalam petak budidaya dengan mempertahankan

kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu

(Kuhn et al. 2010). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei

mampu menurunkan feeding convertion rate sebesar 20% dan menghasilkan

50 ton udang/ha dengan panen bertahap (Aiyushirota 2009). Aiyushirota (2009)

menyampaikan bahwa komposisi mikroorganisme pada bioflok terdiri dari bakteri

70% dan plankton 30%. Penggunaan bioflok di Indonesia belum ideal, karena

persyaratan lingkungan tambak intensif belum terpenuhi (kepadatan tebar yang

baik 80 sampai 120 ekor per m2 dengan sistem tertutup). Ditambahkan, bahwa

bioflok akan lebih efektif pada tambak dengan dasar plastik atau semen, selain itu

air tambak harus selalu berputar. Hal ini menyebabkan dalam aplikasinya,

teknologi bioflok harus menggunakan kincir air lebih banyak (1 kincir untuk 30

kg biomassa), sehingga menuntut penggunaan listrik yang lebih besar.

Biofuel cell secara umum terdiri dari microbial fuel cell (MFC) dan

enzimatik fuel cell (Hong et al. 2008). Penggunaan mikroba dalam fuel cell ini

menggantikan fungsi dari enzim, sehingga dihasilkan substrat yang lebih murah

(Shukla et al. 2004a). Sediment microbial fuel cell (SMFC) merupakan salah satu

model dari MFC (Hong 2009a). Prinsip kerja dari SMFC ini sangat sederhana,

yaitu menempatkan dua elektroda yang saling terhubung, yaitu anoda pada

sedimen yang bersifat anaerobik dan katoda pada badan air yang mengandung

oksigen terlarut (Lovley 2006). Secara mekanisme, SMFC dilakukan dengan

memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada sedimen untuk mendegradasi

bahan organik dan menghasilkan elektron yang ditransfer ke anoda kemudian

dialirkan melaui sirkuit eksternal sebelum bereaksi dengan penerima elektron di

katoda (Chae et al. 2008 & Pant et al. 2010).

Kajian pada bidang perikanan, MFC telah dikembangkan sebagai teknologi

dalam pengolahan limbah hasil perikanan (You 2009) dan mengurangi tingkat

(18)

pengembangan SMFC pada perairan saat ini adalah telah dicobakan berbagai jenis

sedimen, antara lain sedimen estuaria dari dekat Pantai Raritan USA dan sedimen

rawa asin dari Tuckerton USA (Reimers et al. 2001), sedimen Danau Ilgam Seoul

(Hong et al. 2008), sedimen Sungai Gongji (Hong et al. 2009a), sedimen Danau

Sihwa (Hong et al. 2009b), sedimen laut Teluk Jakarta (Idham 2010), sedimen

Danau Hussain Sagar Hyderabad dan sedimen Sungai Uppal Hyderabad (Mohan

et al. 2009), serta sedimen laut Pelabuhan Boston (Holmes et al. 2004). SMFC ini

ternyata dapat menurunkan bahan organik yang terkandung dalam sedimen, pada

penelitian Hong et al. (2008) kandungan karbon organik pada sedimen Danau

Ilgam Seoul mengalami penurunan setelah dirangkaikan dengan SMFC dari

3,52% menjadi 2,37%, sedangkan pada penelitian Hong et al.(2009b) kandungan

karbon organik pada sedimen Danau Sihwa Korea mengalami penurunan setelah

dirangkaikan dengan SMFC dari 6,4% menjadi 4,20%. Pada penelitian Idham

(2010), bahan organik pada sedimen laut Teluk Jakarta mengalami penurunan

setelah dirangkaikan dengan SMFC, masing-masing karbon organik (dari

2,19±0,44% menjadi 1,88±0,07%), nitrogen total (dari 0,19±0,06% menjadi

0,15±0,03), dan fosfor (dari 128±4,95% menjadi 88±15,91%).

Sediment Microbial Fuel Cell (SMFC) sebagai teknologi baru proses

percepatan penurunan kadar akumulasi bahan organik pada tambak udang belum

pernah dikembangkan. Selain itu diharapkan, SMFC dapat dikembangkan pula

untuk menghasilkan energi listrik. Secara teoritis menurut Logan (2008), energi

listrik yang dihasilkan dari SMFC, ditimbulkan dari proses degradasi bahan

organik oleh mikroorganisme melalui reaksi katalitik atau melalui mekanisme

sistem bioelektrokimia dari mikroorganisme. Oleh karena itu, penelitian untuk

mempelajari fungsionalisasi kualitas sedimen tambak udang dengan menggunakan

teknologi SMFC menjadi sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penurunan akumulasi bahan

organik dan energi listrik yang dihasilkan pada sedimen tambak udang melalui

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Sedimen Tambak

Sedimen merupakan bagian terpenting dalam usaha budidaya udang.

Keadaan sedimen akan mempengaruhi kualitas air tambak hasil produksi

(Boyd 2000). Menurunnya kondisi kualitas air dan sedimen dasar tambak akibat

meningkatnya akumulasi bahan organik dan timbulnya senyawa toksik seperti

amonium dan nitrit merupakan salah satu faktor penyebab penurunan produksi

udang. Garno (2004), mengemukakan bahwa akumulasi bahan organik pada

sistem tambak udang sudah dapat dideteksi sejak awal masuknya pakan buatan

(pelet) ke dalam sistem tambak tersebut, dan kegagalan budidaya udang lebih

diakibatkan oleh pencemaran organik yang terakumulasi di sedimen tambak dari

pada akibat pencemaran yang berasal dari luar sistem tambak. Menurut Sabar dan

Widiyanto (1998), peningkatan bahan organik pada tambak semi intensif terjadi

mulai hari ke-60, diawal operasional konsentrasi bahan organik pada sedimen

tambak sebesar 41,0 mg/L dan setelah 60 hari operasional konsentrasinya

meningkat menjadi 140 mg/L, yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfat, dan sulfur.

Meningkatnya konsentrasi senyawa toksik amonium dan nitrit di tambak

merupakan faktor penghambat dalam budidaya udang. Senyawa-senyawa

toksik tersebut diproduksi oleh aktifitas mikroba dan hasil ekskresi udang yang

dibudidayakan. Amonia dihasilkan oleh bakteri amonifikasi dan senyawa nitrit

diproduksi dari proses reduksi nitrat oleh bakteri denitrifikasi. Nitrit juga berupa

senyawa intermediat dari proses nitrifikasi. Senyawa amonium dan nitrit bersifat

toksik bila konsentrasinya sudah melebihi ambang batas. Konsentrasi senyawa

toksik di tambak udang umumnya menunjukkan peningkatan pada hari ke-15

setelah udang ditebar, yaitu untuk amonium di sedimen mencapai 500 µM, total

nitrat dan nitrit mencapai 15 µM, sedangkan konsentrasi nitrogen organik terlarut

pada hari ke tiga sudah mencapai sekitar 100 –120 µM (Burford et al. 2002). Meningkatnya konsentrasi amonium bersifat toksik pada sistem tambak

udang, walaupun mekanisme toksisitasnya belum diketahui dengan jelas akan

tetapi terlihat keterkaitan antara jumlah amonia dan aktifitas fisiologis udang,

(20)

et al. 1985). Sedangkan senyawa nitrit bersifat toksik dan akan menghambat

proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah. Apabila senyawa

nitrit diikat oleh darah akan terbenbentuk methemoglobin (Hb + NO2 = Met-Hb),

dan darah yang mengandung Met-Hb berwarna coklat (brown blood diseases)

(Boyd, 1990).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)

Fuel cell adalah komponen elektrokimia yang mengubah energi pada reaksi

kimia secara langsung menjadi energi listrik, air dan panas. Fuel cell memiliki

prinsip yang sama dengan baterai, namun bahan bakar dan oksidanya berada di

luar, sehingga memungkinkan fuel cell dioperasikan terus-menerus sepanjang

reaktan terus disuplai. Salah satu fuel cell berbasis biologi adalah microbial fuel

cell. Prinsip kerja MFC mirip dengan hidrogen fuel cell, yaitu terdapat aliran

proton dari ruang anoda menuju ruang katoda melalui membran elektrolit dan

aliran elektron yang bergerak ke arah yang sama melalui kabel konduksi (Hoogers

2002). Prinsip kerja microbial fuel cell secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Elektron diperoleh dari substrat yang telah dioksidasi dan ditransfer ke

anoda (Reguera et al. 2005). Ada beberapa mekanisme transfer elektron dari

bakteri menuju elektroda, yaitu menggunakan mediator eksternal seperti tionin

dan neutral red yang biasanya mahal dan beracun, transfer elektron secara

langsung dari dinding bakteri ke anoda, menggunakan mediator yang dihasilkan

oleh bakteri (Rabaey dan Verstraete 2005), dan menggunakan bakteri yang dapat

menghantarkan listrik (Gorby et al. 2006). Elektron yang diterima di anoda

kemudian dialirkan melaui sirkut eksternal sebelum bereaksi dengan penerima

elektron di katoda. Berbagai kajian terakhir MFC dilakukan terhadap elektroda

(Cheng 2006a, Cheng 2006b), membran (Cheng 2006b), desain reaktor MFC (Liu

dan Logan 2004), jenis bakteri yang digunakan (Nimje et al. 2009), jenis substrat

yang digunakan (Lu et al. 2009, Moon et al. 2006) dan variasi parameter

(21)

Gambar 1 MicrobialFuel cell (Logan 2008).

2.3 Sedimen Microbial Fuel Cell (SMFC)

Sediment microbial fuel cell (SMFC) merupakan bentuk pengembangan dari

microbial fuel cell (MFC). Secara alami, mikroorganisme mengoksidasi bahan

organik yang tersedimentasi dari kolom air dan mereduksi Fe (III) atau Mn (IV).

Beberapa jenis mikroorganisme juga mendegradasi bahan organik kompleks

sehingga menghasilkan produk fermentasi (asetat), dan penerima electron

(senyawa aromatic dan asam lemak rantai panjang). Asumsi mekanisme kerja

SMFC pada sedimen laut serupa dengan rantai makanan mikroorganisme yang

menggunakan anoda (elektroda) sebagai penerima electron menggantikan Fe (III)

dan Mn (IV) (Gambar 2). Bahan

organik

Anoda Katoda

Membran Penyemprot

(22)

Gambar2 Model produksi listrik MFC pada sedimen laut (Lovley 2006).

Prinsip kerja dari SMFC yang menggunakan mikroorganisme hidup dalam

reaksi elektrokimia, menjadikan sistem MFC sangat sensitif terhadap perubahan

kondisi lingkungan yang dapat membunuuh mikroorganisme tersebut (Mench

2008). Struktur dan aktivitas mikroorganisme dipengaruhi oleh berbagai

parameter yaitu suhu, pH, potensial redoks, dan kekuatan ion (Torres et al. 2008).

Liu et al. (2005) juga menyatakan bahwa kinerja SMFC secara umum

tergantung dari komponen-komponen penyusunnya, yang meliputi jenis dan

struktur elektroda, ada atau tidaknya membrane penukar proton, serta kelengkapan

membrane. Jenis bahan dan struktur anoda berdampak pada penempelan

mikroorganisme, transfer electron, dan oksidasi substrat. Bahan yang biasa

digunakan sebagai anoda adalah karbon (carbon cloth atau graphite felt) karena

stabil terhadap kultur mikroba, memiliki konduktivitas yang tinggi, dan luas

permukaan yang besar (Watanabe 2008). Namun penggunaan elektroda berbasis

karbon pada katoda akan mengakibatkan ketidakefisienan (Kim et al. 2002),

sehingga perlu dilakukan pelapisan dengan katalis, misalnya platinum

(Pham et al.2004).

Kondisi lingkungan seperti konduktivitas, juga mempengaruhi kinerja dari

SMFC. Air laut memiliki konduktivitas listrik yang tinggi dibandingkan air

sungai, yaitu ∼50,000 dan 500 S/cm pada 20 °C. Oleh karena itu, SMFC dengan

Air

Alat Elektronik

Bahan organik masuk dari kolom air

Sedimen

Asam Asetat, produk senyawa lemak minor fermentasi aromatik

Hidrolisis dan Fermentasi Gula, Asam amino

(23)

menggunakan air laut dapat menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan

dengan menggunakan air sungai (tawar). Produksi listrik pada SMFC juga

ditentukan oleh jenis katalis pada katoda, bahan yang digunakan pada elektroda,

(24)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai bulan Juni

2011 di Tambak Udang Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Subang-Jawa

Barat, Laboratorium Bahan Baku dan Laboratorium Biokimia, Departemen

Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor serta Balai Penelitian Tanah Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan untuk treatment

elektroda pada rangkaian SMFC meliputi HCl 1N, NaOH 1N, akuades, dan air

tambak. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian karakteristik sedimen

SMFC adalah akuades, air bebas ion, air bebas ion yang bebas CO2, NaCl, KCl,

HCl, larutan ekstraksi Olsen 20 ml, carbon hitam, amonium asetat, kalium

dikromat, larutan standar 5000 ppm C, etanol 96%, pasir kuarsa bersih, filter pulp,

larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.

Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengambilan sedimen dan

air tambak yang terdiri dari botol, tali, plastik ukuran 5 kg, alat tulis, kertas label

dan Eikmann Grab volume 1 liter. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan

rangkaian dan pengukuran arus serta tegangan dari SMFC adalah gelas ukur 500

ml, multimeter (Masda DT830D), elektroda karbon grafit (berbentuk silinder

dengan dimensi (39 x 7 mm), resistor 560 Ω ± 5% dan kabel N.Y.A ETERNA (1 x 2,5mm). Alat-alat yang digunakan untuk menganalisis kualitas air tambak

meliputi pH meter (kertas lakmus), alat portable waterproof dissolved oxygent

meter (HI 9142) refraktometer (Milwaukee MR 100 ATC Salinity Refractometer),

keping secci disc. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisika kimia sedimen

tambak meliputi oven, desikator, destilator, freeze dried (Freeze dryer ALPHA

(25)

3.3 Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap

pertama adalah penentuan tempat pengambilan sampel dan kondisi tempat

pengambilan sampel sedimen pada tambak udang (Ghangrekar et al. 2003). Tahap

kedua adalah pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi

sedimen tambak udang yang ada (mengacu Hong et al. 2009). Tahap ketiga

adalah berupa pembuatan rangkaian SMFC yang mengacu pada penelitian

Holmes et al.(2004). Tahap keempat adalah pengukuran arus listrik dan tegangan

yang dihasilkan SMFC dengan menggunakan multimeter masda DT830D

(Holmes et al. 2004). Tahap kelima adalah karakterisasi pada substrat hasil dari

proses degradasi bahan organik melalui SMFC (Hong et al. 2009), sehingga dapat

dilihat adanya perubahan terhadap kadar akumulasi bahan organik pada sedimen

tambak udang tersebut.

3.3.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel

Tambak yang dijadikan tempat pengambilan sampel merupakan satu petak

tambak udang milik warga (perorangan/rakyat) dengan produktivitas yang sangat

rendah (ketetapan tersebut berdasarkan informasi dari kelompok petani tambak

Desa Jayamukti). Lokasi tambak ini sangat dekat dengan aliran sungai sebagai

sumber air laut dan air tawar. Pengambilan dilakukan pada 3 stasiun (stasiun I

pada daerah air masuk atau inlet, stasiun II di tengah tambak, stasiun III pada

sekitar saluran pembuangan air atau outlet), masing-masing stasiun dilakukan

pengambilan kembali (ulangan) sebanyak 3 kali pada area yang berlainan

(Ghangrekar et al. 2003). Gambaran lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengambilan sedimen dilakukan pada dasar tambak dengan kedalaman

± 130 cm menggunakan alat Eikmann Grab volume 1 liter. Sedimen yang telah

diambil selanjutnya langsung dimasukkan ke dalam polybag dengan kondisi

sampel masih terendam air. Kondisi lain yang dilakukan adalah udara yang masih

terdapat di dalam polybag dikeluarkan terlebih lalu, baru kemudian diikat rapat

(Idham 2010). Semua sampel sedimen dan air tambak, selanjutnya disimpan pada

cool box agar suhu sampel terjaga untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk

(26)

3.3.2 Pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang

Pengukuran parameter fisik terhadap kualitas air tambak, yaitu : suhu, DO,

pH, salinitas dan kecerahan (BSN 2009), dilakukan di lapangan pada pukul 10.00

WIB. Pengukuran suhu air tambak dilakukan dengan menggunakan termometer

pada tiga titik (inlet, tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan.

Pengukuran dissolved oxigen (DO) air tambak dilakukan dengan menggunakan

alat portable waterproof dissolved oxygent meter (HI 9142) pada tiga titik (inlet,

tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Pengukuran pH air tambak

dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus pada tiga titik (inlet, tengah dan

oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Pengukuran salinitas air tambak

dilakukan dengan menggunakan refraktometer pada tiga titik (inlet, tengah dan

oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Adapun karakterisasi sedimen tambak

udang yang dilakukan mengacu pada penelitian Hong et al. (2010), yaitu tekstur

tanah, pH (H2O dan KCl), daya hantar listrik (DHL), jumlah karbon organik,

jumlah nitrogen total, fosfor tersedia (BSN 2009), kapasitas tukar kation (KTK),

K dapat ditukar (K dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan Mg dapat ditukar (Mg dd)

(Wignyosukarto 1998).

3.3.3 Pembuatan rangkaian SMFC

Elektroda yang digunakan untuk penyusunan SMFC adalah grafit yang

diperoleh dari baterai AA terbuang atau yang tidak terpakai lagi. Sebelum

digunakan, elektroda karbon dinetralkan dengan perlakuan yang mengacu

Holmes et al.(2004), antara lain :

1) Elektroda direndam dengan 1N HCl selama 1 hari kemudian dibilas dengan

akuades.

2) Elektroda direndam dengan 1N NaOH selama 1 hari kemudian dibilas dengan

akuades.

3) Elektroda direndam dengan akuades hingga saat akan digunakan.

Masing-masing elektroda yang telah diberi perlakuan, dilubangi dengan bor

kemudian dihubungkan dengan kabel dengan menggunakan epoxy. Keberhasilan

hasil sambungan antara elektroda dengan kabel diuji dengan mengunakan

multimeter. Pengujian hasil perangkaian elektroda dan kabel dilihat dari adanya

(27)

Kegiatan pembuatan rangkaian SMFC mengacu pada penelitian Holmes et al.

(2004), sedimen tambak udang dimasukkan ke dalam gelas piala hingga

ketinggian 3 cm, kemudian sebuah elektroda yang terbuat dari karbon berbentuk

silinder dengan dimensi 39 x 7 mm (anoda) ditutup dengan sedimen tambak

udang setinggi 2 cm. Selanjutnya air tambak sebanyak 400 ml dimasukkan ke

dalam gelas piala dan didiamkan selama 24 jam untuk untuk mengendapkan

partikel-partikel sedimen tambak. Pada hari berikutnya, sebuah elektroda (katoda)

ditempatkan pada air tambak beberapa sentimeter dari permukaan sedimen

tambak. Kabel dari anoda dan katoda dihubungkan dengan resistor dengan

hambatan 560 Ω ± 5%. Air yang hilang karena penguapan selama masa pengamatan diganti dengan air yang telah diionisasi. SMFC dioperasikan pada

kondisi gelap pada suhu sekitar 27 °C. SMFC dari tiap kedalaman dibuat

sebanyak 2 buah dan 1 buah sebagai kontrol (anoda dan katoda tidak

dihubungkan). Rangkaian SMFC selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Susunan SMFC

3.3.4 Pengukuran arus listrik dan tegangan SMFC tambak

Pengukuran arus listrik dan tegangan dilakukan menggunakan multimeter

Masda DT830D, dan hasil pengukuran arus listrik dikonversi menjadi current

density, contoh perhitungan konversi arus listrik menjadi current density bisa

dilihat pada Lampiran 8. Penentuan lamanya pengukuran arus listrik dan tegangan V

3 cm 2 cm 1 cm

560 Ω

Air

Sedimen

(28)

berdasarkan pada pola kecenderungan perubahan arus listrik dan tegangan yang

dihasilkan oleh penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada sedimen

SMFC tambak udang, dimana dalam pengukuran akan diperoleh puncak produksi

arus listrik dan penurunan arus listrik hingga akhir pengukuran (Holmes et al.

2004).

Pengukuran arus listrik dan tegangan dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu

pengukuran arus listrik dan tegangan terhadap sedimen tambak udang yang telah

dirangkaikan dengan SMFC menggunakan multimeter yang dihubungkan secara

paralel dengan resistor (dibuat sebanyak 9 buah), dan pengukuran terhadap

kontrol yaitu terhadap sedimen tambak yang dirangkaikan SMFC dengan

menggunakan multimeter tanpa dihubungkan secara parallel dengan resistor

(dibuat sebanyak 3 buah). Konversi current density diperhitungkan dengan

membagi jumlah arus yang dihasilkan terhadap luas permukaan anoda.

3.3.5 Karakterisasi substrat SMFC

Analisis karakteristik substrat SMFC bertujuan untuk melihat perubahan

kandungan bahan organik pada sedimen tambak udang yang digunakan akibat

proses dalam SMFC. Jenis analisis yang digunakan sama dengan analisis

karakterisasi sedimen tambak udang,yaitu analisis kandungan karbon organik,

nitrogen, fosfor, pengukuran pH, daya hantar listrik (DHL), K dapat ditukar (K

dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan Mg dapat ditukar (Mg dd), serta kapasitas tukar

kation (KTK) (Hong et al. 2010 dan Wignyosukarto 1998).

3.4 Prosedur Pengujian

Pengujian yang dilakukan meliputi karakteristik sedimen tambak udang dan

karakteristik substrat SMFC dari beberapa perlakuan. Pengujian meliputi

penentuan tekstur tanah metode pipet, pengukuran pH, penentuan daya hantar

listrik, penetapan C-organik Walkey & Black, penetapan jumlah N Kjeldhal,

penetapan P-tersedia Olsen, K dapat ditukar (K dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan

Mg dapat ditukar (Mg dd) serta penetapan kapasitas tukar kation.

3.4.1 Penetuan tekstur tanah dengan metode pipet (Sudjadi et al. 1997)

Pengujian diwali dengan penimbangan 10 gram contoh tanah (<2 mm), yang

(29)

dibiarkan semalam. Keesokannya campuran tersebut ditambah 25 ml H2O2 30%

dan dipanaskan sampai tidak berbusa. Selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas

ion dan 20 ml HCl 2N kemudian dididihkan selama 10 menit. Setelah agak dingin

campuran diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml, kemudian dicuci

menggunakan penyaring Berkefield sampai bebas asam. Selanjutnya ditambah 10

ml larutan peptisator Na4P2O7 4%.

Pemisahan pasir dilakukan dengan pengayakan suspensi tanah yang telah

diberi peptisator dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion.

Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran

yang tertahan ayakan dipindahkan dalam pinggan alumunium yang telah diketahui

bobotnya dengan air bebas ion. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven

pada suhu 105 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang

(berat pasir = A gram). Pemisahan debu dan liat dilakukan dengan pengenceran

filtrat dalam silinder menjadi 500 ml dan diaduk selama 1 menit. Setelah itu filtrat

segera dipipet sebanyak 20 ml kedalam pinggan alumunium. Kemudian filtrat

dikeringkan pada suhu 105 oC selama semalam, didinginkan dalam desikator, dan

ditimbang (berat debu+liat+peptisator=B gram).

Pemisahan liat dilakukan dengan pengadukan lagi selama 1 menit, lalu

dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada suhu kamar. Suspensi liat dipipet sebanyak

20 ml pada kedalaman 5,2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam

pinggan alumunium, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC,

didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (berat liat + peptisator = C gram).

Penentuan jumlah pasir, debu, dan liat dilakukan berdasarkan perhitungan :

(30)

3.4.2 Pengukuran pH (Rayment & Hingginson 1992)

Pengukuran pH tanah dalam KCl dilakukan dengan penimbangan 20 gram

tanah yang dimasukkan ke dalam gelas piala. Kemudian ditambahkan 20 ml 1 N

KCl dan didiamkan selama 30 menit sambil diaduk beberapa kali. Penentuan pH

dengan menggunakan pH meter.

Pengukuran pH tanah dalam H2O dilakukan dengan penimbangan 20 gram

tanah kering yang dimasukkan pada gelas piala berukuran 50 ml, kemudian

ditambahkan 20 ml akuades dan didiamkan selama 30 menit sambil diaduk

beberapa kali. Pengukuran pH tanah dengan menggunakan pH meter.

3.4.3 Pengukuran daya hantar listrik (Rayment & Hingginson 1992)

Penimbangan 10 gram contoh tanah ke dalam botol kocok, tambahkan 50

ml air bebas ion. Kemudian botol kocok selama 30 menit. Pengukuran DHL

suspensi tanah dilakukan dengan konduktometer yang telah dikalibrasi

menggunakan larutan baku NaCl dan dibaca setelah angka konstan. Nilai DHL

dilaporkan dalam satuan dS m-1.

3.4.4 Penetapan C-organik metode Walkey & Black (Rayment & Hingginson 1992)

Penimbangan 0,5 gram tanah ukuran <0,5 mm dan dimasukkan kedalam

labu ukur 100 ml. kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan dikocok.

Selanjutnya ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat dan dikocok lalu diamkan selama

30 menit. Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan air bebas ion lalu biarkan

dingin dan diimpitkan. Keesokan harinya dilakukan pengukuran absorbansi

larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai

pembanding dibuat standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan

standar 5.000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama

dengan pengerjaan sampel. Penetapan C-organik dilakukan perhitungan :

C-organik (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml – 1 x 100 mg contoh-1xfk = ppm kurva x 100 x 1.000-1 x 100 x 500 – 1 x fk

= ppm kurva x 10 x 500 – 1 x fk Keterangan

Ppm kurva : kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.

100 : konversi ke %

(31)

3.4.5 Penetapan N metode Kjeldhal (Burt 2004)

Ke dalam labu Kjeldhal 25 ml dimasukan 0,5 gram tanah, selanjutnya

ditambahkan 1,9 gram campuran Se, CuSO4, dan NaSO4. Kemudian 5 ml H2SO4

pekat dan digoyangkan perlahan agar semua tanah terbasahi oleh H2SO4.

Campuran lalu ditetesi dengan paraffin cair sebanyak 5 tetes. Labu Kjeldhal

dipanaskan dengan api kecil kemudian secara bertahap api dibesarkan hingga

diperoleh cairan yang berwarna terang (hijau-biru). Selanjutnya ditambahkan air

sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan cara digoyangkan. Setelah itu,

ditambahkan 5 ml NaOH 50%. Proses destilasi dimulai dan hasil destilat

ditampung dalam erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO4 4% dan 5 tetes

indikator Conway. Destilasi dilakukan sampai isi destilasi mencapai 1000 ml.

Hasil destilat dititrasi dengan HCl yang telah dibakukan sampai terjadi perubahan

warna dari hijau ke merah. Penetapan N ditentukan berdasarkan perhitungan

Kadar N (%) = isi HCl (contoh-blanko) x N HCl x 14 x 100 Berat sampel x 1000 x faktor koreksi

3.4.6 Penetapan P-tersedia metode Olsen (Watanabe & Olsen 1965)

Penimbangan 1 gram tanah ukuran <0,2 mm kemudian dimasukkan dalam

botol kocok. Kemudian ditambahkan 20 ml pengekstrak Olsen dan dikocok

selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan. Apabila larutan keruh maka

dilakukan penyaringan kembali. Ekstrak yang didapat kemudian dipipet sebanyak

2 ml ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya bersama deret standar ditambahkan 10

ml pereaksi pewarna fosfat dan dikocok hingga homogen. Absorbansi larutan

diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Penetapan

P-tersedia ditentukan berdasarkan perhitungan : deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. fp : faktor pengenceran (bila ada)

142/90 : faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5

(32)

3.4.7 Penetapan kapasitas tukar kation dan kation basa (Ca, K, Mg dan Na) (Burt 2004)

Penimbangan 2,5 gram tanah kering yang telah diayak kemudian

dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 15 ml, selanjutnya ditambahkan 1 ml

larutan NH4OAc pH 7. Campuran dikocok sampai merata dan dibiarkan semalam.

Selanjutnya dikocok kembali lalu disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan

2500 rpm. Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring dengan saringan, dan filtrat

ditampung dalam labu ukur 100 ml. Penambahan NH4OAc diulangi sampai 3 kali.

Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan ekstraksinya didekantasi

ke dalam labu ukur 100 ml, setelah itu ditambahkan larutan NH4OAc. Ekstraksi

ini digunakan dalam penetapan kadar K, Na, Ca, dan Mg yang dapat

dipertukarkan serta untuk penetapan kejenuhan basa. Untuk pencucian kelebihan

NH4+ tambahkan 10 ml alkohol 80% ke dalam tabung sentrifuse yang berisi residu

tanah tersebut. Campuran tersebut diaduk sampai merata, disentrifuse,

didekantasi, dan filtratnya dibuang. Pencucian kelebihan NH4dengan alkohol ini

dilakukan sampai tanah dalam tabung sentrifuse bebas NH4. Hal ini dapat

diketahui dengan menambahkan beberapa tetes pereaksi Nessier pada filtrate

tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4+.

Setelah bebas dari NH4+, tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung

sentrifuse ke dalam labu didih. Kemudian air ditambahkan sebanyak 450 ml

kedalam labu didih. Pada labu didih ditambahkan beberapa butir labu didih, 5-6

tetes paraffin cair dari 20 ml NaOH 50%, kemudian didestilasi. Destilat

ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0,4 N dan 5-6 tetes

indikator Conway. Destilasi dihentikan jika destilat yang ditampung mencapai

150 ml, kelebihan asam dititrasi dengan NaOH 0,1 N. sampai dicapai warna

berubah menjadi hijau. Penetapan nilai KTK dan kation basa dihitung berdasarkan

rumus :

KTK (me/100 g) = (ml blanko – ml contoh) x N NaOH x 100 Bobot contoh tanah 105 oC

(33)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti

Kualitas air tambak udang Desa Jayamukti yang diukur meliputi suhu,

derajat keasaman (pH), salinitas, kecerahan dan oksigen terlarut (Dissolve Oxygen

atau DO). Hasil pengukuran kualitas air tambak udang Desa Jayamukti dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti

Parameter Satuan Hasil penelitian Standar* Optimum**

Salinitas ppm 18-20 15 – 30 15 – 25

Nilai standar untuk budidaya udang Windu Berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN2009). **

Nilai optimum untuk budidaya udang Windu (Wignyosukarto 1998).

Salinitas air tambak udang di Desa Jayamukti berkisar anatara 18-20 ppm.

Nilai salinitas ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran

standar untuk budidaya udang (15-30 ppm), dengan nilai optimum berkisar antara

15-25 ppm (Wignyosukarto 1998). Nilai salinitas air tambak di Desa Jayamukti

tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Palafox

et al. (1996), menyatakan bahwa salinitas berhubungan dengan osmoregulasi

udang, dan apabila udang dipaksa untuk menyesuaikan diri di luar batas kisaran

salinitas yang optimum, maka udang akan banyak mengeluarkan energi. Apabila

terus-menerus energi ini dipakai maka energi untuk pertumbuhan udang akan

berkurang dan menyebabkan laju pertumbuhan udang menjadi rendah. Selain itu

perubahan salinitas secara cepat juga akan menyebabkan tingkat kematian udang

tinggi.

Nilai pH air pada tambak udang Desa Jayamukti berkisar antara 7,5-8,5,

nilai ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar

untuk budidaya udang (7,5-8,5), sehingga nilai pH tersebut masih baik untuk

pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Adapun nilai pH optimum untuk

budidaya udang berkisar 8-8,5 (Wignyosukarto 1998). Kondisi perairan yang

(34)

gangguan fisiologi udang, pelunakan kulit (karapas), serta penurunan derajat

kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien 1992). Wardoyo (1997), nilai

pH yang ideal untuk udang adalah 6,8-9,0 sedangkan pH air dengan kisaran

4,5-6,0 dan 9,8-11,0 menyebabkan terganggunya metabolisme udang bahkan dapat

menyebabkan kematian udang.

Suhu air tambak Desa Jayamukti hasil pengukuran pada pukul 10 pagi

dengan menggunakan termometer berkisar antara 29-30 oC. Nilai tersebut

berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk

budidaya udang yaitu 28-32 oC, sehingga nilai suhu tersebut masih baik untuk

pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, sedangkan nilai suhu optimum

untuk budidaya udang berkisar 29-31 oC (Wignyosukarto 1998). Wyban et al.

(1995), menyatakan bahwa suhu air mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi

didalam perairan dan juga reaksi biokimia yang terjadi didalam tubuh udang.

Suhu air yang optimum bagi perkembangan hidup udang adalah 28-30oC. Kisaran

suhu pada kondisi optimum konsumsi oksigen cukup tinggi sehingga nafsu makan

udang tinggi, sedangkan suhu dibawah 18-25 oC nafsu makan udang menurun.

Kecerahan perairan tambak Desa Jayamukti berkisar antara 25-30 cm, nilai

kecerahan ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran

standar untuk budidaya udang yaitu 30-45 cm, nilai kecerahan tersebut masih baik

untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, sedangkan kecerahan

optimum untuk budidaya udang berkisar antara 30-40 cm (Wignyosukarto 1998).

Kecerahan air bergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran

transparasi perairan dan ditentukan secara visual dengan menggunakan keping

secchi (Jeffries dan Mils 1996 dalam Effendi 2000). Kecerahan air merupakan

fungsi dari bahan yang tersuspensi dan terkoloid dalam air, untuk perairan tambak

bahan-bahan tersebut terutama terdiri dari plankton dan bahan organik (Wardoyo

1997). Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, kekeruhan,

padatan tersuspensi, serta waktu dan ketelitian pengukuran (Effendi 2000).

Oksigen terlarut (DO) pada perairan tambak Desa Jayamukti berkisar antara

3-4 mg/l, nilai ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran

standar untuk budidaya udang yaitu >3 mg/l, nilai oksigen terlarut tersebut masih

(35)

untuk budidaya udang berkisar antara 4-7 mg/l (Wignyosukarto 1998). Kadar

oksigen terlarut bersifat fluktuatif secara harian (diurnal) dan musim bergantung

pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas

fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam air (Effendi

2000). Boyd (1991) menyatakan bahwa, kandungan oksigen terlarut yang dapat

menunjang kehidupan udang secara normal dan baik untuk pertumbuhan adalah

5 mg/l sampai konsentrasi jenuh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kandungan

oksigen yang kurang dari 1 mg/l dapat menyebabkan kematian jika berlangsung

selama beberapa jam, dan untuk kisaran oksigen antara 1-5 mg/l pertumbuhan

akan terganggu jika berlangsung secara terus-menerus.

4.2 Karakterisasi Sedimen Tambak Udang Desa Jayamukti Blanakan

Penilaian kesuburan tanah didasarkan pada analisis laboratorium terhadap

parameter fisik (tekstur), kimia (pH, C-organik dan N total, P, Ca, Mg, K dan Na).

Secara kimiawi, analisis kualitas tanah akan berguna untuk mengetahui antara lain

proses pertukaran ion antara tanah dengan air dan kondisi redoks yang dapat

berpengaruh terhadap ikan atau udang. Kepentingan secara biologis, tidak hanya

terkait langsung bagi kepentingan udang sendiri, namun lebih spesifik, yaitu

stimulasi dan kontinuitas dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan plankton dan

makanan alami yang diperlukan oleh udang serta pemulihan dasar tambak oleh

komunitas bakteri serta kestabilan mutu air. Berdasarkan hasil analisis

laboratorium menunjukkan bahwa sedimen tambak udang Desa Jayamukti

Blanakan berupa tanah lumpur bewarna abu-abu kehitaman yang terdiri atas pasir

0%, debu 23,6% dan liat 76,4%. Sedimen tambak ini memiliki tekstur tanah liat.

Kandungan bahan organik sedimen tersebut meliputi karbon organik

1,45±0,32%, nitrogen 0,11±0,03% sehingga ratio C/N ialah sebesar 13,

kandungan P yang tersedia ialah 59±4,95 ppm, pH (H2O) 7,9±0,15, daya hantar

listrik (DHL) 4,98 dS/m, salinitas 2604±84 mg/l, dan kapasitas tukar kation

(KTK) 23,28±3,60 cmol(+)/kg, dan nilai kation basa ditukar Ca 8,86±1,3 (cmol(+)/kg), Mg 26,16±4,6 (cmol(+)/kg), K 5,8±16 (cmol(+)/kg), dan Na

(36)

Tabel 2 Karakteristik sedimen tambak Desa Jayamukti Blanakan dibandingkan dengan sedimen lain sebelum dirangkai SMFC

Karakteristik sedimen tambak udang (inlet, tengah dan outlet) Desa Jayamukti sebelum dirangkaikan dengan SMFC berdasarkan hasil penelitian ini (diuji di Balai Penelitian Tanah, Bogor),** Nilai standar untuk budidaya udang windu berdasarkan Wignyosukarto (1998)

1

Karakteristik sedimen Danau Ilgam, Seoul berdasarkan hasil penelitian Hong et al. (2008) 2

Nilai standar untuk budidaya udang berdasarkan SNI 7310:2009 (2009) 3

(37)

Tekstur tanah merupakan variabel primer dalam penentuan kelas kesesuaian

lahan sehingga bobot yang diberikanpun juga besar. Informasi mengenai tekstur

tanah sangat penting karena tanah dengan segala aspek fisika, kimia maupun

biologi menentukan produktivitas dari suatu lahan. Berdasarkan hasil analisis

laboratorium menunjukkan bahwa sedimen tambak udang Desa Jayamukti

memiliki jenis tekstur tanah liat. Menurut Brady (1990) partikel liat merupakan

bagian terkecil dari bagian padat penyusun tanah yang memiliki diameter < 0,002

mm. Luas permukaan (8 x 106 per cm), jumlah partikel (90.260.853 x 103 per

gram) dan muatan listriknya tiap satuan massa sangat besar dibanding fraksi

penyusun tanah yang lain (pasir dan debu), sehingga memungkinkan partikel liat

ini mengikat ion-ion kimia, partikel ini merupakan koloid tanah yang dapat

menyelaputi atau bersifat perekat/semen dan butir-butir primer tanah sehingga

dapat membentuk agregat mikro yang dapat menyerap atau mengikat unsur hara.

Tanah dengan dominansi liat mempunyai kemampuan mengikat hara lebih besar,

hal inilah yang menjadi jawaban mengapa tanah dengan kandungan liat tinggi

mempunyai kecepatan tumbuh klekap lebih tinggi, sehingga akan menguntungkan

untuk kegiatan budidaya baik ikan maupun udang dengan sistem tradisional.

Derajat keasaman (pH) sedimen tambak udang Desa Jayamukti tergolong

sedikit alkalis yaitu 7,9±0,35. Penentuan kelas pH didasarkan pada kemampuan

untuk mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah. Pada kisaran pH

6,5-7,5 unsur hara tersedia dalam jumlah yang cukup banyak (optimal), karena bakteri

yang bertindak sebagai dekomposer, juga mampu hidup optimal pada kisaran pH

tersebut. Pada pH kurang dari 6,0 maka ketersediaan unsur hara (fosfor, kalium,

belerang, kalsium, magnesium) menurun dengan cepat, sedangkan pH tanah lebih

besar dari 8,0 akan menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi, mangan, borium,

tembaga dan seng ketersediaannya relatif jadi sedikit (Sarief 1985 dalam A`in

2009).

Variabel C-organik diketahui melalui konversi dari rumusan bahan organik

total atau total organic matter (Sudjadi et al.1997). Kandungan C-organik dalam

tanah merupakan representasi dari bahan organik tanah hasil perombakan dan

penyusunan yang dilakukan jasad renik tanah. Senyawa karbon merupakan

(38)

tinggi maupun rendah (fitoplankton) sehingga penting diketahui untuk bahan

pertimbangan kesesuaian lahan. Hasil analisis kualitas tanah menunjukkan

kandungan C-organik pada sedimen tambak udang di Desa Jayamukti tergolong

rendah yaitu 1,45±0,44% (inlet 1,37±0,29%, tengah 1,76±0,24%, dan outlet

1,2±0,18%), sedangkan standar kandungan C-organik pada sedimen tambak untuk

budidaya udang adalah 3-5% (BSN 2009). Kandungan karbon organik pada

ekosistem tertutup, seperti sedimen tambak udang Desa Jayamukti dan danau

(Hong et al. 2008) relatif lebih tinggi dibandingkan pada ekosistem terbuka,

seperti laut dan sungai (Hong et al. 2010). Hal ini dikarenakan, akumulasi bahan

organik yang sangat dipengaruhi oleh jumlah materi organik yang masuk (sisa

pakan dan aktivitas metabolisme udang), laju pengendapan pada sedimen, dan

kecepatan degradasi bahan organik (Killops & Killops 1993). Adanya perbedaan

karakteristik substrat dan jumlah bahan organik diduga akan berdampak pada

kinerja SMFC yang ada (Chadhuri & Lovley 2003).

Aspek penting lain keberhasilan budidaya sistem tradisional adalah

ketersediaan pakan alami. Jumlah pakan alami ini tidak terlepas dari sediaan

nutrien dasar. Nitrogen dan fosfor bersama dengan karbon dan hidrogen, diakui

sebagai unsur pokok terpenting bagi makhluk hidup, diantaranya untuk

perkembangan protoplasma sel sehingga unsur-unsur ini disebut sebagai “famous nutrient”. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kandungan nitrogen dalam tanah sangat bervariasi bergantung pada pengelolaan dan penggunaan lahan

tersebut. Hasil analisis kualitas tanah menunjukkan kandungan N total pada

sedimen tambak udang Desa Jayamukti tergolong rendah yaitu 0,11±0,03% (inlet

0,12±0,24%, tengah 0,13±0,02%, outlet 0,09±1,7%), sedangkan standar optimum

kandungan N total pada sedimen tambak untuk budidaya udang adalah

0,40-0,75% (BSN 2009).

C/N rasio merupakan suatu cara mudah untuk mengetahui laju proses

dekomposisi. Ada 2 (dua) tahap dalam usaha budidaya, dimana laju proses

dekomposisi sangat berpengaruh penting dalam menjamin kualitas tanah sebagai

media budidaya. Pertama yaitu persiapan pengolahan lahan/tanah dan kedua pasca

pemanenan, tanah yang telah digunakan untuk proses produksi banyak

(39)

dikembalikan kualitasnya. Kelas C/N ratio dikelompokkan dengan pertimbangan

pengaruh C/N ratio terhadap status bahan organik (Foth 1979 dalam A`in 2009).

Berdasarkan perhitungan hasil analisis terhadap kandungan karbon dan nitrogen

diperoleh perbandingan antara persentase karbon terhadap nitrogen (C/N ratio)

pada sedimen tambak di Desa Jayamukti sebesar 13 (inlet 12, tengah 13 dan outlet

13). Nilai C/N ratio tersebut lebih kecil dari 15 sehingga menunjukkan terjadinya

mineralisasi N. Pengertian mineralisasi N adalah proses perubahan N-organik

menjadi N-anorganik oleh mikroba dekomposer. Apabila rasio C/N lebih besar

dari 30 berarti terjadi immobilisasi N, dan jika berada diantara 15–30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi. Proses mineralisasi dan immobilisasi

N dalam tanah sangat ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme tanah, baik jamur,

bakteri, dan sebagainya (Foth 1979 dalam Arshad & Coen 1992).

Fosfat merupakan unsur hara yang sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan metabolisme plankton. Oleh sebab itulah, kandungan fosfat

dalam tanah amat diperhatikan untuk evaluasi kesesuaian lahan. Pada fiksasi

fosfor, beberapa jenis fosfor termasuk diantaranya adalah fosfat tanah diikat dan

dilepaskan ke dalam larutan tanah dan berperan dalam kesuburan tanah (Sarief

1985 dalam A`in 2009). Fosfor di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk

senyawa, baik persenyawaan an-organik yang terikat dengan mineral-mineral

tanah maupun persenyawaan organik yang berhubungan dengan bahan organik

tanah. Posfor di dalam tanah senantiasa diikat oleh Fe, Al dan Ca dalam senyawa

Fe-P, Al-P dan Ca-P. Hasil analisis menunjukkan kandungan P tersedia pada

sedimen tambak udang Desa Jayamukti sebesar 59±35,4 ppm (inlet 96,6±41,42

ppm, tengah 46±7,55 ppm, outlet 35±2 ppm) dan tergolong dalam nilai optimum

untuk budidaya udang yaitu 30-60 ppm (BSN 2009).

Salah satu sifat kimia tanah yang memegang peranan dalam penentuan

kesuburan adalah kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Kapasitas Tukar Kation

suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah menjerap

dan mempertukarkan kation. Secara implisit tingkat KTK juga menunjukkan

keseimbangan reaksi dalam tanah sehingga semua proses yang terdapat

(40)

Melalui KTK kemampuan daya jerap unsur hara dari koloid tanah dapat

ditentukan dengan mudah. Mengingat peranannya yang besar, maka variabel ini

menjadi tolak ukur penilaian kesesuaian lahan untuk lahan pertambakan, kelas

KTK ditentukan berdasarkan standar umum dalam persyaratan budidaya tambak.

Nilai KTK sangat dipengaruhi oleh reaksi tanah (pH), bahan organik, jumlah dan

jenis mineral liat (Notohadiprawiro 2000). Semakin tinggi nilai KTK suatu tanah,

semakin tinggi pula kemampuannya untuk menyerap dan melepaskan unsur hara.

Kation yang dapat ditukar Ca, Mg, K dan Na dapat memberikan indikasi nilai

KTK serta tingkat kesuburan tanah.

Kation yang dapat ditukar Ca, Mg, K dan Na dapat memberikan indikasi

nilai KTK serta tingkat kesuburan tanah. Hasil analisis laboratorium menunjukkan

bahwa nilai KTK pada sedimen tambak udang Desa Jayamukti sebesar

23,28±3,60 cmol(+)/kg (inlet 25,38±2,70 cmol(+)/kg, tengah 22,59±3,71

cmol(+)/kg, outlet 21,89±4,56cmol(+)/kg) dan tergolong dalam nilai optimum

untuk budidaya udang yaitu > 20 cmol(+)/kg (BSN 2009).

Kation-kation dapat ditukar (Ca, Mg, K dan Na) merupakan kation-kation

yang dapat dipertukarkan dan terjerap pada permukaan kompleks jerapan tanah.

Semakin tinggi kation dapat ditukar suatu unsure, maka potensi koloid untuk

memasok larutan tanah dengan unsur-unsur bersangkutan semakin besar (Bailey

et al. 1986 dalam Shukla et al. 2004b).

Hasil analisis laboratorium terhadap sedimen tambak udang di Desa

Jayamukti dibandingkan dengan nilai optimum untuk budidaya tambak udang

(pada Tabel 2) menunjukkan bahwa nilai-nilai kation dapat ditukar untuk Ca

tergolong sedang yaitu 8,86±1,3(cmol(+)/kg) (inlet 9,98±0,33cmol(+)/kg, tengah

8,91±1,61cmol(+)/kg, outlet 7,7±0,49cmol(+)/kg); Mg tergolong tinggi yaitu

26,16±4,6 (cmol(+)/kg) (inlet 28±7,09cmol(+)/kg, tengah 28,04±1,79cmol(+)/kg,

outlet 22,44±0,85cmol(+)/kg); K tergolong tinggi yaitu 5,8±16 (cmol(+)/kg) (inlet

6,28±1,33cmol(+)/kg, tengah 6,28±0,29cmol(+)/kg, outlet 4,85±0,33cmol(+)/kg);

dan Na tergolong tinggi yaitu 55,15±19 (cmol(+)/kg) (inlet

55,76±25,06cmol(+)/kg, tengah 70,35±12,48cmol(+)/kg, outlet

Gambar

Gambar 1 Microbial Fuel cell (Logan 2008).
Gambar 2 Model produksi listrik MFC pada sedimen laut (Lovley 2006).
Gambar 3 Susunan SMFC
Tabel 2 Karakteristik sedimen tambak Desa Jayamukti Blanakan dibandingkan dengan sedimen lain sebelum dirangkai SMFC
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kesalahan pada tahap kemampu- an proses ( process skill ) yang dilakukan siswa adalah tidak menuliskan tahapan-tahapan da- lam menyelesaikan soal, tidak melanjutkan

Hasil pekerjaan subjek AM pada soal nomor 4 pada gambar 8 terlihat bahwa subjek sudah menguasai konsep tentang menggambar grafik fungsi kuadrat, namun pada langkah

berjalan dengan baik, ada berbagai macam masalah yang terjadi dalam suasana belajar, yaitu seorang guru yang kurang menguasai pelajaran, kondisi kelas yang

Berdasarkan uji statistik tidak ada perbedaan antara konsumsi (frekuensi dan sumbangan energi) sugar sweetened beverages (SSBs) pada remaja gizi lebih dan normal (frekuensi

Dari hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan waktu yang dimiliki auditor maka akan berpengaruh negatif terhadap kualitas

Pengujian beda rata-rata harga saham dilakukan untuk menguji hipotesis 1, hipotesis 2, dan hipotesis 3. Harga Saham yang akan digunakan dalam penelitian ini

Perlakuan terbaik adalah tahu dan tempe gembus kacang tanah yang mempunyai kadar protein, nitrogen terlarut, daya cerna dan nilai C-PER yang relatif tinggi dibandingkan

Nilai kontrak yang sama dengan atau lebih besar dari pagu anggaran diberi nilai maksimal dan tetap (dapat dikonversi berdasarkan nilai pada saat pekerjaan