VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL–A DI BAGIAN SELATAN
SELAT MAKASSAR
NOVILIA ROSYADI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN
KONSENTRASI KLOROFIL-A DI BAGIAN SELATAN SELAT
MAKASSAR
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
RINGKASAN
NOVILIA ROSYADI. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG dan BISMAN NABABAN.
Perairan bagian selatan Selat Makassar merupakan perairan yang relatif subur karena di perairan ini secara periodik ditemui upwelling sepanjang musim timur dan asupan nutrien dari limpasan daratan (run off) pada musim barat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas Suhu Permukaan Laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar.
Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar. Penelitian ini menggunakan data SPL dari citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer
(NOAA-AVHRR) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 4x4km2 yang diunduh dari situs NASA (http://podaac.jpl.nasa.gov) dan data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor
(SeaWiFS) berupa composite 8 harian dan bulanan dengan resolusi spasial 9x9km2 yang diunduh dari situs NASA (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov). Kedua jenis data ini memiliki periode waktu pada Januari 1998 – Desember 2009. Nilai SPL diestimasi dengan menggunakan algoritma pathfinder dan konsentrasi klororfil-a menggunakan algoritma OC4v4.
Secara umum nilai SPL cenderung lebih tinggi pada musim barat (November – Februari) antara 26,4 – 31,0 °C dan cenderung lebih rendah pada musim timur (Mei – Agustus) antara 25,7 – 30,6 °C. Sebaliknya, konsentrasi klorofil-a relatif tinggi pada musim timur (Mei – Agustus) antara 0,15 – 2,48 mg/m3 dan relatif rendah pada musim barat (November – Februari) antara 0,10 – 2,03 mg/m3. Nilai SPL yang paling rendah pada musim timur umumnya terdapat pada sampling area 1 yang diikuti dengan konsentrasi klorofil-a yang paling tinggi serta kecepatan angin yang relatif lebih tinggi, yang mengindikasikan fenomena upwelling.
Berdasarkan data composite 8 harian SPL dan klorofil-a, upwelling diduga mulai terjadi pada bulan minggu ke-3 April untuk data SPL dan klorofil-a serta kejadian upwelling rata-rata terjadi pada minggu ke-2 bulan Mei. Kejadian
upwelling umumnyamencapai maksimum pada minggu ke-2 Agustus untuk SPL dan minggu ke-3 Agustus untuk klorofil-a. Upwelling ini umumnya berakhir pada minggu ke 4 Oktober baik berdasarkan SPL maupun konsentrasi klorofil-a.
Upwelling didugaterjadi akibat pengaruh angin yang berasal dari Tenggara pada musim timur (Mei – Agustus) dimana kecepatan angin maksimum terjadi pada bulan Agustus yang ditandai dengan kejadian upwelling maksimum. Hal ini terlihat dari Ekman transport yang menguat ke arah barat daya pada musim ini.
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Novilia Rosyadi
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Judul skripsi : VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL–A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR
Nama : Novilia Rosyadi NIM : C54063422
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir Djisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. NIP. 19480630 197803 1 002 NIP. 19651206 199103 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a di Bagian Selatan Selat Makassar”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu
Kelautan. Penulis menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak
dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengalami banyak kesulitan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan,
M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ide, masukan, dan
arahan serta meluangkan waktu kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku dosen penguji dan
Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku Ketua Komisi Pendidikan S1
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan masukan
untuk perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan nasehat dan bimbingan selama masa perkuliahan.
4. Para dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah
memberikan ilmu dan masukan selama masa perkuliahan.
5. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat yang telah
6. Kedua Orang tua yaitu Rosyad Ali dan Dahlia Agung yang memberikan
dukungan baik secara moral, finansial maupun doa yang tidak putus-putusnya
kepada penulis.
7. Elfira Rosyadi dan Fachriza Rosyadi yang senantiasa memberikan semangat
dan doa kepada penulis.
8. Firmansyah Samad yang senantiasa menemani penulis dengan sabar,
memberikan masukan dan bantuannya dalam penulisan skripsi.
9. Kristina Simamora dan Romdonul Hakim yang berjuang bersama penulis
dalam menyelesaikan skripsi.
10. Warga ITK, khususnya ITK 43 yang telah memberikan dukungan dan
semangat pada penulis.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
penelitian berikutnya.
Bogor, Februari 2011
DAFTAR TABEL ... x
2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar ... 4
2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a ... 5
2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL) ... 7
2.4. Upwelling ... 9
2.5. Penginderaan Jauh Satelit ... 12
2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR ... 13
4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal ... 30
4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a ... 34
4.1.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial ... 34
4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal ... 37
4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a ... 45
4.4. Faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a ... 48
4.4.1. Angin ... 48
4.4.2. Ekman Transport ... 53
4.4.3. Curah Hujan ... 57
5. KESIMPULAN ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 68
1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010) ... 14
2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010) ... 14
3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010) ... 15
4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1 ... 32
5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2 ... 33
6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3. ... 33
7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1 ... 41
8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2 ... 41
9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3 ... 42
10. Fluktuasi mingguan SPL ... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind; (b) suatu pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai
(Thurman and Trujillo, 2004) ... 11
2. Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001) ... 13
3. Peta Lokasi Penelitian ... 17
4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS ... 20
5. Southern Oscillation Index (SOI) (BOM, 2010) ... 25
6. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004 ... 27
7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004 ... 28
8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004 ... 29
9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004 ... 29
10. Fluktuasi nilai SPL rata-rata bulanan di perairan selatan Selat Makassar pada sampling area 1, sampling area 2, dan sampling area 3 periode Januari 1998 – Desember 2009 ... 31
11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004 ... 35
12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004 ... 35
13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004 ... 37
14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004 ... 37
sampling area 3 ... 46 18. Plot rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO (kurva biru)
vs.non ENSO (kurva merah) : (a) sampling area 1; (b) sampling area 2; (c) sampling area 3 ... 47 19. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim barat : (a) tahun
ENSO; (b) tahun non ENSO ... 50 20. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim peralihan : (a) tahun
ENSO; (b) tahun non ENSO ... 51 21. Pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur : (a) tahun
ENSO; (b) tahun non ENSO ... 52 22. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim barat : (a)
tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 54 23. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim peralihan:
(a)tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 55 24. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim timur : (a)
tahun ENSO; (b) tahun non ENSO ... 56 25. Hubungan antara jumlah curah hujan dan konsentrasi klorofil-a (sampling
area1) di selatan Selat Makassar ... 58 26. Fluktuasi TPL bulanan pada musim barat di selatan Selat Makassar tahun
2004 ... 60
27. Fluktuasi TPL bulanan pada musim peralihan I di selatan Selat Makassar tahun 2004 ... 61
28. Fluktuasi TPL bulanan pada musim timur di selatan Selat Makassar tahun 2004 ... 61
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi oseanografi di perairan selatan Selat Makassar banyak
dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dan angin Muson.
ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati selat-selat di Indonesia yang disebabkan oleh
perbedaan Tinggi Paras Laut (TPL) antara kedua Samudera tersebut (Wyrtki,
1987 in Hasanudin, 1998). Angin Muson, disebabkan adanya perbedaan tekanan antara Asia Tenggara dan Australia (Ilahude dan Nontji, 1999).
Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin Muson, memiliki pola
sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antar musim. Perbedaan suplai
massa air, perbedaan pola angin secara vertikal, serta upwelling diduga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan yang diindikasikan dengan
pola sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia. Perairan Selat Makassar
dipengaruhi oleh massa air dari Laut Pasifik melalui Selat Makassar kemudian
menuju Laut Jawa. Fenomena penurunan massa air permukaan terjadi di pantai
Ujung Pandang sekitar 5-10 cm. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada bulan
Agustus terdapat pada daerah selatan Selat Makassar dengan konsentrasi sebesar
1,88 – 2,50 mg/m3 (Manoppo, 2003).
Selat Makassar bagian Selatan merupakan perairan yang relatif subur bila
dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Penyuburan perairan Selat
Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim
tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi akibat adanya penaikan
massa air dalam (upwelling) di beberapa lokasi di Selat Makassar (Ilahude, 1978). Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton
untuk proses fotosintesis. Klorofil-a juga merupakan salah satu parameter
indikator tingkat kesuburan perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di
laut sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, suhu,
salinitas, nitrat, dan fosfat (Afdal dan Riyono, 2004). Kandungan nutrien perairan
sangat berkaitan erat dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi
kandungan nutrien perairan maka semakin tinggi juga konsentrasi klorofil-a.
Sebaliknya di perairan bebas, faktor suhu perairan mempunyai hubungan terbalik
dengan konsentrasi klorofil-a. Umumnya pada lokasi “upwelling” (dimana suhu perairan relatif lebih rendah dibanding dengan sekitarnya) terdapat konsentrasi
klorofil-a yang relatif lebih tinggi. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa di pantai
barat laut Australia SPL pada musim barat yaitu 29°C dan mengalami penurunan
menjadi 24°C pada musim timur (Juli – Agustus) saat terjadi upwelling. Ilahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara
(Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Terjadinya upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi, oksigen relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan
homogen. Pada batas atas (lapisan permukaan) efek upwelling tidak begitu jelas. Kondisi tersebut tergantung pada kekuatan atau intensitas upwelling . Distribusi plankton dan klorofil juga menunjukkan pengaruh pada upwelling dan drainase
pesisir terhadap produktivitas Selat Makassar bagian Selatan. Konsentrasi
3
Nilai ini lebih tinggi dari nilai konsentrasi klorofil-a pada pra upwelling periode Mei 1975 yang berkisar 0,2 -0,4 mg/m3 (Ilahude, 1978).
Penelitian terhadap variabilitas SPL dan klorofil-a pada Selat Makassar
bagian Selatan telah banyak dilakukan (Ilahude, 1970 ; Ilahude, 1978 ; Afdal dan
Riyono, 2004), namum penelitian tersebut umumnya bersifat insidentil dan
terfokus pada setiap kali reseach cruise bukan pada pemahaman distribusi atau variabilitas secara spasial dan temporal dalam kurun waktu yang lama. Dengan
demikian, penelitian terhadap variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara
spasial dan temporal di perairan selatan Selat Makassar sangat perlu dilakukan.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas SPL dan
konsentrasi klorofil-a di bagian Selatan Selat Makassar, menjelaskan faktor
penyebab variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a secara spasial dan temporal,
dan mempelajari variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar musim dan
4
2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar
Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan
perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian
selatan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan
dengan Pulau Kalimantan dan dibagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya
massa air yang berasal dari sungai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pertukaran
massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi, Laut Flores, dan Laut
Jawa akan mempengaruhi kandungan korofil-a dan produktivitas primer di
perairan Selat Makassar (Afdal dan Riyono, 2004).
Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur
Indonesia, arus lintas ini biasa disebut dengan Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO). ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari
Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur
termasuk Selat Makassar sehingga sumberdaya hayati laut sangat ditentukan oleh
kuat lemahnya arus ini (Wyrtki, 1961). ARLINDO yang berasal dari Pasifik tidak
dipengaruhi adanya perubahan angin Muson, yang terjadi justru sebaliknya. Arus
lintas ke arah selatan yang melalui Selat Makassar paling kuat terjadi kira-kira
pada musim panas bagi belahan bumi bagian utara, yang pada saat itu angin
Muson berasal dari arah tenggara (Hasanudin, 1998).
Menurut Wyrtki (1961), pada umumnya pola arus laut Indonesia
dipengaruhi oleh perubahan angin Muson, terutama pada lapisan permukaan. Pada
5
Laut Banda didorong ke arah Laut Flores, kemudian ke Laut Jawa dan Selat
Makassar didorong oleh angin yang datang dari barat menyebrangi Laut Flores
menuju Laut Banda.
Adanya variabilitas ARLINDO terhadap ruang dan waktu, sangat
berpengaruh terhadap estimasi transport, fluks bahang, dan air tawar dai
ARLINDO. Waktu terjadinya puncak transpor maksimum ARLINDO pada pintu
masuk dan pintu keluar, diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda, sehingga
diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield dan Gordon,
1992).
Akibat dinamika regional di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan
perairan Indonesia, maka aliran ARLINDO mengalami variasi dari skala waktu
dalam semusim (30-60 hari), antar musiman sampai antar tahuan. Bagian barat
daerah tropis Samudera Pasifik sangat dipengaruhi fenomena iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO), sementara Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem Muson dan fenomena dipole mode (Saji et al., 1999).
2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu
melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksidasi dengan
bantuan sinar surya dan unsur hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti
karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik,
fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Fitoplankton yang subur umumnya
terdapat di perairan sekitar muara sungai, perairan pesisir atau diperairan lepas
pantai di mana terjadi proses naiknya massa air dalam (upwelling). Pada daerah
(Nontji, 2005). Tingginya kandungan klorofil-a pada lapisan permukaan diduga
disebabkan adanya pengaruh dari faktor cahaya dibanding lapisan bawahnya,
sehingga pada lapisan permukaan, laju fotosintesis dapat berlangsung lebih cepat
(Afdal dan Riyono, 2004)
Klorofil-a merupakan katalisator yang esensial dalam proses
berlangsungnya fotosintesis. Laju fotosintesis yang terjadi di dalam laut yang
mendapat penyinaran dengan intensitas cahaya tertentu adalah merupakan fungsi
dari klorofil-a diperairan tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak merupakan
faktor pembatas (limiting factor). Selain sebagai katalisator klorofil-a juga berfungsi menyerap energi cahaya (kinetic energy) yang dapat digunakan dalam proses fotosintesi yakni cahaya dengan luas spektrum yang hampir sama dengan
cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang 390-760 nm (Riyono, 2006).
Menurut Basmi (1995) klorofil-a merupakan jenis pigmen terbesar yang
terkandung dalam fitoplankton. Selain itu fitoplankton juga dilengkapi
pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi
sinar.
Menurut Sunarto (2008) produktivitas primer perairan pada dasarnya
bergantung kepada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrop yang mampu
mentransformasi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman.
Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau
(fitoplankton) adalah sebagai berikut:
7
Selain faktor utama klorofil-a, faktor yang lainya mempengaruhi proses
fotosintesis dan tentu saja produktivitas primernya adalah keberadaan cahaya dan
nutrien. Kedua faktor ini menentukan distribusi spasial maupun temporal
fitoplankton. Faktor-faktor ini harus berada pada tempat dan yang waktu secara
bersamaan. Nutrien yang tinggi yang menempati lapisan dimana cahaya tidak
dapat menembus (zona afotik) lagi, tidak bermanfaat bagi proses fotosintesis.
Sebaliknya pada lapisan permukaan dimana intensitas cahaya berlimpah,
fotosintesis tidak dapat berjalan sempurna tanpa adanya nutrien. Oleh karena itu
mekanisme alami telah mempertemukan kedua faktor itu antara lain melalui
proses upwelling (Sunarto, 2008).
2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL)
Zona suhu permukaan laut tertinggi (thermal equator) letaknya tidak tepat berhimpitan dengan khatulistiwa bumi, melainkan ke arah utara. Nilai SPL di
belahan bumi bagian Selatan pada umumnya lebih rendah dari pada SPL yang
berada di belahan bumi bagian Utara. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari
benua Antartika yang dingin pada Kutub Selatan Bumi. Selain itu apabila dilihat
dari keadaan masing-masing samudera, pada umumnya akan diperoleh bahwa
SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi daripada bagian timurnya. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh arus-arus lautan yang membawa bahang dari daerah
khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi (Ilahude, 1999).
Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu
di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas:
Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m
dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan
ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur,
lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim
barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari
perairan.
b) Lapisan termoklin
Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas
(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan
termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m
atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada
termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C
pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.
c) Lapisan dalam
Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya
mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada
daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.
d) Lapisan dasar
Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada
samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai
9
Perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28°C sampai
dengan 31°C, sedangkan di daerah terjadinya upwelling bisa turun hingga 25°C (Nontji, 2005).
2.4. Upwelling
Naikan massa air (upwelling) adalah istilah yang digunakan untuk
peristiwa timbulnya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas, bahkan ada yang
sampai ke lapisan paras (surface layer). Massa air yang naik ini berasal dari lapisan 100 m - 200 m atau lebih, biasanya mempunyai suhu yang rendah dan
zat-zat hara yang tinggi. Itulah sebabnya daerah-daerah naikan massa air ini
umumnya merupakan perairan yang subur. Upwelling juga mampu meningkatkan produktivitas biologi di lautan dan di sepanjang garis pantai. Beberapa daerah
perikanan terbesar di dunia sangat tergantung pada kejadian upwelling musiman (Conway, 1997; Thurman and Trujillo, 2004; Nontji, 2005).
Upwelling di Selat Makassar bagian selatan terjadi sekitar bulan Juli sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Pada musim timur,
massa air dari Selat Makassar bertemu dengan massa air dari Laut Flores di
daerah ini, keduanya kemudian bergabung dan mengalir ke barat menuju Laut
Jawa. Dalam kondisi ini dimungkinkan massa air permukaan di dekat pantai
Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut, dan untuk
menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Upwelling di daerah ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Laut Banda.
Kecepatan naiknya massa air dalam kurang lebih sama sekitar 0,0005 cm/detik,
dan daerahnya cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya sekitar 0,2 juta
perubahan salinitas dan kandungan hara (Nontji, 2005). Menurut Conway (1997)
upwelling berlangsung selama berbulan-bulan, namun upwelling tidak selalu terjadi pada seluruh musim.
Pada bagian selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi Tinggi Paras Laut
(TPL) dengan periode tahunan, selain periode 2, 3, dan 4 bulanan. Anomali TPL
rendah tersebut terjadi bersamaan dengan bagian tengah Selat Makassar. Fluktuasi
tahunan diperkirakan berkaitan dengan anomali TPL yang terjadi pada musim
timur (meskipun pada bulan lain juga terjadi anomali TPL rendah) saat arus
permukaan di Laut Flores bergerak ke barat sehingga massa air tersedot (Purba
dan Atmadipoera, 2005).
Menurut Sunarto (2008) upwelling biasanya mengakibatkan konsentrasi nutrien (nitrit, fospat, dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang
nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling
biasanya memiliki produkktivitas biologi yang tinggi.
Terdapat tiga proses yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling. Pertama, ketika air bergerak menjauh dari garis pantai oleh pergerakkan angin
sehingga terjadi kekosongan yang kemudian diisi upwelling. Kedua, ketika arus dalam bertemu dengan rintangan (mid ocean ridge) maka akan dibelokan ke atas dan memencar keluar permukaan air. Ketiga, terdapat tikungan yang tajam di
garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi
kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik
mengisi kekosongan tersebut (Gambar 1; Thurman and Trujillo, 2004).
11
dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan
menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air
permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada
air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997)
Gambar 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind (b) suatu
pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004).
Menurut Wyrtki (1961) Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun
intensitasnya dapat berubah-ubah. Tipe ini terjadi merupakan tipe upwelling
yang terjadi di lepas pantai Peru.
dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai
permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa.
3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih
berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang
terjadi di laut Banda dan Arafura.
2.5. Penginderaan Jauh Satelit
Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat
pengindera yang biasa disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak
jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya. Objek yang diindera adalah objek yang
terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari
jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga
yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya,
distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik. Data
penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Gambar 2;
13
Gambar 2. Sistem penginderaan jauh (Purwadhi, 2001)
2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR
Instrumen SeaWiFS diluncurkan pada tanggal 1 Augustus 1997 dengan
kendaraan peluncur Pegasus. Instrumen SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view Sensor) telah dimodifikasi untuk menghasilkan respon bilinear, sensitivitas asli dipertahankan sampai sekitar 80% dari rentang output digital, dan kemudian
berubah kontinyu untuk memperpanjang rentang dinamis substansial, hasil bersih
tidak jenuh diharapkan atas awan (atau terang pasir, es, dll) (NASA, 2010).
Dalam aplikasinya sensor SeaWiFS mampu memberikan informasi
tentang warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a.
SeaWiFS juga menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi organisme mikroskopik fitoplankton dalam perairan (NASA, 2010).
SeaWiFS memiliki 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal pada panjang
gelombang sinar tampak dan 2 kanal pada panjang gelombang infra merah. Kanal
lebar kanal 40 nm (NASA, 2010). Karateristik SeaWiFS dan panjang gelombang
SeaWiFS disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010)
Orbit Type Sun Synchronous at 705 km
Equator Crossing Noon +20 min, desending
Orbital Period 99 minutes
Swath Width 2,801 km LAC/HRPT (58.3 degrees)
Swath Width 1,502 km GAC (45 degrees)
Spatial Resolution 1.1 km LAC, 4.5 km GAC
Real Time Data Rate 665 kbps
Revisit Time 1 day
Digitization 10 bits
Tabel 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010)
Kanal Panjang Gelombang
Pada tahun 1960 sampai 1965 , telah diluncurkan 10 satelit TIROS untuk
tujuan penelitian dan pengembangan. Kemajuan TIROS N menjadi prototipe
ditingkatkan untuk satelit NOAA yang digunakan saat ini. Satelit NOAA
15
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Data dari satelit NOAA polar yang mengorbit ditransmisikan terus dan dapat diterima oleh setiap stasiun
bumi dalam jangkauan radio. Jenis layanan yang dikenal sebagai direct readout. Untuk menerima data dari AVHRR terdapat dua kategori layanan antara lain High Resolution Picture Transmissin (HRPT) dan Automatic Picture Transmissin
(APT) (Conway, 1997).
Sensor AVHRR memberikan informasi spektral yang sangat akurat, dan
memiliki resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km dan tiap scene mencakup area yang besar sekitar 1000 km E-W dan antara 3000 sampai 4000 km N-S. Sensor ini
memiliki 5 band spektral mulai dari merah sampai inframerah termal dan cocok
untuk aplikasi seperti pemantauan lingkungan (NOAA, 2010). AVHRR yang
pertama mempunyai 4 channel radiometer yang diluncurkan bersama satelit TIROS-N pada bulan Oktober 1978. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 channel instrument (AVHRR/2) yang diluncurkan bersama NOAA 7 pada bulan Juni 1981. Versi terbaru adalah AVHRR/3 dengan 6 channel, pertama dilakukan pada NOAA 15 yang diluncurkan pada bulan Mei 1998 (NOAA, 2010). Karakteristik
AVHRR/3 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010)
AVHRR/3 Channel Channel
Number
Resolution at Nadir
Wavelenth (um) Typical Use
16
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang
terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit,
pengambilan data pendukung, pengolahan data satelit serta data pendukung, dan
penulisan skripsi.
Lokasi penelitian adalah perairan bagian selatan Selat Makassar yang
secara geografis terletak pada koordinat 2°LS – 7°LS dan 116°BT – 120°BT
(Gambar 3). Untuk mengkuantifikasikan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a dari
satelit, pada lokasi penelitian ditentukan 3 sampling area yang dianggap dapat mewakili lokasi penelitian yaitu sampling area1 pada koordinat tengah 5°43’1”LS ;118°53’27”BT, sampling area2 pada koordinat titik tengah 5°43’1”LS ;
117°1’19”BT, dan sampling area3 pada koordinat titik tengah 3°35’13”LS ; 117°58’40”BT. Dari ketiga sampling area ini, nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a diekstrak untuk kemudian diolah dan dianalisis variabilitasnya secara temporal.
Ukuran piksel dari masing-masing sampling area adalah 5x5 piksel dengan resolusi spasial 9x9 km2 untuk data konsentrasi klorofil-a dari citra satelit
SeaWiFS sehingga luasan dari setiap sampling area adalah 2025 km2 dan untuk data SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR dengan resolusi spasial 4x4 km2
sehingga diperoleh luasan setiap sampling area adalah 400 km2. Pengolahan data citra dilakukan di Laboratorium Komputer Departemen Ilmu dan Teknologi
17
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Alat dan Data Penelitian
3.2.1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang telah dilengkapi
dengan software untuk pengolahan data. Software yang digunakan adalah SeaDas 5.2 dengan menggunakan sistem operasi Linux Ubuntu 7.1, Surfer 8.0, Arcview GIS 3.3, Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, WinRAR 3.42, dan Ocean Data View (ODV).
3.2.2. Data Penelitian
Data yang digunakan untuk penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Data konsentrasi klorofil-a diekstrak dari citra satelit SeaWiFS level 3
composite data bulanan dengan periode Januari 1998 – Desember 2009 yang diperoleh dari websiteNational Aeronatic Space Agency
(NASA) http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov.
2. Data SPL diekstrak dari citra satelit NOAA-AVHRR yang memiliki
resolusi spasial 4x4 km2, berupa composite data 8 harian bulan April - Oktober dengan periode 1998 – 2009 serta composite data bulanan dengan periode Januari 1998 – Desember 2009 diperoleh dari website National Aeronatic Space Agency (NASA) dengan situs
http://www.podaac.jpl.nasa.gov.
3. Data rata-rata curah hujan bulanan dari Stasiun Meteorologi Paotere
Makassar dengan periode Januari 1998 - Desember 2008 yang
diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) Pusat.
4. Data angin bulanan rata-rata yang memiliki resolusi spasial 1.5˚x1.5˚
dengan periode Januari 1998 – Desember 2009, diperoleh dari situs
Europen Center for Medium – Range Weather Forecasts (ECMWF) yaitu http://www.ecmwf.int.
5. Data Ekman transport dihitung dari data angin. 6. Data Tinggi Paras Laut (TPL) yang diunduh dari situs
http://www.ccar.colorado.edu.
3.3. Pengolahan Data
3.3.1. SPL dan Konsentrasi Klorofil-a
Pengolahan citra NOAA dan SeaWiFS dilakukan dengan menggunakan
19
resolusi spasial 4x4 km2dari Januari 1998 sampai dengan Desember 2009 dan
citra SeaWiFS level 3 composite data bulanan dengan resolusi spasial 9x9 km2.
Data citra SeaWiFS level 3 sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik dengan
format HDF (Hierachical Data Format) dan memiliki nilai konsentrasi klorofil-a dalam satuan mg/m3. Data hasil download harus terlebih dahulu diekstrak agar data tersebut dapat kita proses lebih lanjut. Ekstrak data dilakukan dengan
menggunakan software WinRAR 3.42. Proses selanjutnya adalah cropping citra (pemotongan citra) sesuai lokasi penelitian. Kemudian dilakukan penentuan
sampling area penelitian yang terdiri dari 3 sampling area yaitu sampling area1
(5°43’1”LS ;118°53’27”BT), sampling area2 (5°43’1”LS ; 117°1’19”BT), dan
sampling area3 (3°35’13”LS ; 117°58’40”BT). Penentuan range data valid untuk nilai konsentrasi klorofil-a dan SPL adalah salah satu proses penting, untuk
konsentrasi klorofil-a range data valid diambil 0 < x ≤ 10 mg/m3 dan untuk SPL range data valid diambil 20 < x ≤ 32 °C. Data output dari pengolahan SeaDAS
adalah data dengan format ASCII dan data display dengan format *.TIFF.
Selanjutnya data ASCII tersebut di import dan disimpan ulang dengan format text (*.txt). Kemudian dilakukan quality control yang bertujuan untuk menghilangkan data yang tidak termasuk dalam valid range nilai yang telah ditentukan
sebelumnya. Data hasil quality control selanjutnya dirata-rata bulan dan kemudian dibuat menjadi grafik fluktuasi bulanan SPL dan klorofil-a. Metode pengolahan
Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan NOAA AVHRR dan Citra SeaWiFS
Untuk dapat menghasilkan citra sebaran spasial SPL dan klorofil-a
bulanan serta 8 harian, maka setelah proses cropping area penelitian perlu dilakukan setting citra yang meliputi landmask, coastline, dan grid. Landmask
21
adalah image display dalam format *.TIFF, sehingga dapat dilakukan analisis spasial 8 harian dan bulanan (SPL dan klorofil-a).
Pendugaan nilai SPL menggunakan algoritma pathfinder v5. Algoritma ini merupakan modifikasi dari algoritma SPL Non Linier (NLSST) yang dibuat berdasarkan perbedaan nilai suhu kecerahan pada kanal4 dan 5 (T4-T5). Berikut
adalah algoritma pathfinder v5 (Kilpatrick et al., 1998) :
ܵܵܶ௦௧=ܽ+ܾܶସ+ܿ(ܶସ−ܶହ)ܵܵܶ௨௦௦+݀(ܶସ−ܶହ)(secሺݐℎ݁ݐܽሻ− 1)...(2)
Keterangan :
a, b, c, dan d = koefisien determinasi regresi linier pada data base SPL in situ
hasil mooring dan buoy dengan resolusi spasial antar pengukuran.
SSTguess = nilai perkiraan pertama SPL dari Reynolds OISST 0,1o dan resolusi temporal tidak lebih dari 30 menit.
theta = sudut zenith dari satelit.
Pendugaan estimasi konsentrasi klorofil-a adalah dengan menggunakan
algoritma Ocean Chlorophyll 4-band algorithm version 4 (OC4v4). Algoritma ini menggunakan nilai tertinggi dari rasio kanal 443 nm, 490 nm dan 510 nm dengan kanal 555 nm untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a. Persamaan polynomial pangkat empat untuk algoritma OC4v4 (O'Reilly et al., 2000) sebagai berikut : ܱܥ4ݒ4:ܥܽ = 10,ଷିଷ,ோାଵ,ଽଷோ
Grafik rataan bulanan SPL dan konsentrasi klorofil-a hasil pengolahan
pada Microsof Excel 2007 dianalisis untuk mengetahui adanya variasi dalam tiap musim pada tiap tahunnya di lokasi penelitian. Interpretasi fluktuasi klorofil-a dan
SPL secara temporal berdasarkan pada penurunan dan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan SPL serta nilai tertinggi dan terendahnya. Kemudian variasi
konsentrasi klorofil-a dan SPL dalam tiap-tiap musim pada lokasi penelitian
dibandingkan dengan tahun yang berbeda pada lokasi penelitian yang sama.
Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui sebaran dari konsentrasi
klorofil-a dan SPL secara spasial pada lokasi penelitian. Data sebaran spasial
konsentrasi klorofil-a dan SPL pada bulan-bulan yang sama dianalisis sehingga
dapat diketahui pada bulan apa saja konsentrasi klorofil-a dan SPL tinggi ataupun
rendah dengan melihat degradasi warna pada citra sebaran spasial konsentrasi
klorofil-a dan SPL bulanan. Hal yang sama dilakukan pada citra sebaran spasial
konsentrasi klorofil-a hasil composite 8 hariansecara musiman, sehingga dapat diketahui pada musim apa saja konsentrasi klorofl-a dan SPL tinggi ataupun
rendah.
3.3.2. Angin
Pengolahan data angin dimulai dengan download data angin dengan format netcdf (*.nc). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial berukuran
1,5° x 1,5° dengan cakupan area global. Data yang digunakan selama 12 tahun
(1998-2009) dengan interval 6 jam, yaitu : Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00.
23
(*.txt). Kemudian data tersebut dirata-ratakan tiap bulan sehingga diperoleh hasil
berupa rata-rata u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] bulanan selama 12 tahun (1998 – 2009) yang mewakili daerah bagian selatan Selat
Makassar. Data bujur, lintang, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters
[m/s] dengan format (*.txt) diproses dengan Surfer 8.0 dengan cara grid data bulanan.
Digitasi daratan adalah suatu proses untuk menampilkan darat. Kemudian
overlay antara vektor (arah pergerakan angin) dengan basemap (darat) sehingga menghasilkan tampilan arah pergerakkan angin.
Analisis data angin adalah dengan cara membaca arah pergerakan angin
yang telah dikelompokan tiap musim pada tahun ENSO dan non-ENSO dan kemudian membandingkan kecepatan angin antara tahun ENSO dan non-ENSO.
3.3.3. Ekman Transport
Ekmantransport didekati dari perhitungan wind stress yang
diformulasikan dalam Large and Pond (1981) in Nababan (2009), sebagai berikut:
௫,௬=|ଵ| ଵ,ଵ...(5)
τx, τyadalah komponen wind stress untuk sumbu x dan y, u10, v10 adalah kecepatan
angin pada sumbu x dan y yang diturunkan dari kecepatan angin permukaan pada
ketinggian 10 m di atas permukaan laut (W10), dan Cdadalah “drag coefficient”
yang tergantung pada kecepatan angin sebagai berikut:
Cd = 0.0012; 0 < W10< 11m/s
Cd= 0.00049 + 0.000065 W10; W10 > 11m/s
bumi selatan. Ekmantransport yang dipetakan dalam skripsi ini hanya
memberikan gambaran ke arah mana pergerkan Ekmantransport ini, sementara nilai transport (volume) belum menggambarkan nilai yang sebenarnya mengingat data kedalaman Lapisan Ekman tidak diketahui.
3.3.4. Curah hujan
Data curah hujan diambil dari stasiun Meteorologi Paotere, Makassar,
Sulawesi Selatan pada koordinat 6°6’37,5” LS ; 119°25’11,5” BT yang diperoleh
di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, Jakarta. Data
tersebut merupakan jumlah curah hujan (mm) harian yang kemudian
dirata-ratakan menjadi bulanan selama periode Januari 1998 – Desember 2008. Data
tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan
Microsoft Excell 2007. Data curah hujan dibandingkan dengan data konenstrasi klorofil-a sampling area1, karena lokasi pengambilan data curah hujan paling dekat dengan sampling area1. Analisis data curah hujan dilakukan untuk mengetahui adanya variasi pada tiap musim setiap tahunnya, serta interpretasi
fluktuasi berdasarkan nilai maksium dan minimum. Melihat hubungan antara
konsentrasi klorofil-a di sampling area1 dan curah hujan.
3.3.5. Analisis Interannual
Southern Oscillation Index (SOI) merupakan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin serta umumnya digunakan untuk penentuan masa El
Nino dan La Nina. Nilai SOI negatif terjadi saat tekanan udara lebih rendah dari
rata-rata di Tahiti dan lebih tinggi di Darwin. Pada kondisi SOI negatif SPL yang
25
Sedangkan pada kondisi SOI yang positif, SPL perairan Pasifik Timur tropis
umumnya lebih rendah dari kondisi normalnya. Bulan-bulan yang termasuk dalam
kategori (El Niño Southern Oscillation) ENSO adalah yang memiliki nilai SOI ≤
-10 dan untuk kategori La Nina adalah bulan yang memiliki nilai SOI ≥ -10 (Tritel,
2010). Dengan demikian maka bulan-bulan terjadinya ENSO selama periode
penelitian adalah Januari, Februari, Maret, April 1998; Mei, Agustus, Desember
2002; Juni 2003; April, Juni 2004; Februari, April, Mei 2005; Agustus, Oktober
2006; Januari, April 2008; dan Oktober 2009 (Gambar 5).Periode non- ENSO dalam penelitian ini adalah bulan-bulan yang tidak termasuk kedalam kategoti
bulan ENSO.
Gambar 5. Southern Ocillation Index (SOI) (BOM,2010)
Analisis interannual dalam penelitian ini difokuskan untuk
membandingkan nilai SPL dan konsentrasi klorofil-a antara tahun ENSO dan
3.3.6. Tinggi Paras Laut (TPL)
Data TPL yang digunakan merupakan data harian pada pertengahan bulan
dengan periode Januari 1998 – Desember 2009. Data tersebut diperoleh dari
Colorado Center of Astrodynamics Research (CCAR) dengan website
http://ccar.colorado.edu. Analisis data yaitu dengan cara melihat gradasi warna
untuk diidentifikasi apakah terjadi anomali positif (tinggi paras laut di atas
27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Variabilitas Nilai SPL
4.1.1. Variabilitas Nilai SPL Secara Spasial
Variabilitas nilai SPL secara spasial di lokasi studi secara umum tidak
menunjukkan nilai yang berbeda nyata atau bersifat homogen khususnya pada
musim barat dan musim peralihan I. Pada musim barat nilai SPL berkisar antara
26,4°C – 31,0°C . Pada bulan Januari dan Februari nilai SPL secara spasial terlihat
relatif lebih rendah dari bulan sebelumnya hal ini diduga karena tingginya tutupan
awan sehingga mempengaruhi nilai akurasi estimasi nilai SPL. Contoh sebaran
spasial pada musim barat disajikan pada Gambar 6.
Pada musim peralihan I (Maret - April), nilai SPL masih terlihat relatif
tinggi dan masih terlihat indikasi pengaruh penutupan awan atau uap air. Pada
akhir musim peralihan I (April) tahun 2004, di bagian selatan pulau Sulawesi
sudah mulai terlihat gejala penuruan nilai SPL yang mengindikasikan adanya
permulaan fenomena upwelling. Contoh sebaran spasial SPL pada musim peralihan I disajikan pada gambar 7.
Gambar 7. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004.
Sebaran spasial SPL pada musim timur (Mei – Agustus) memperlihatkan
dengan jelas fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar. Secara umum, kejadian upwelling ini dimulai pada bulan Mei yang terjadi di bagian selatan Pulau Sulawesi dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Contoh sebaran
SPL pada musim timur disajikan pada Gambar 8.
Pada musim peralihan II (September – Oktober) sebaran SPL menunjukan
kejadian upwelling di bagian selatan Selat Makassar dimana luasan dan kekuatan
29
Gambar 8. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004.
Gambar 9. Pola sebaran SPL bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II tahun 2004.
Fenomena upwelling pada musim timur dan musim peraliahan II di selatan Selat Makassar ditandai dengan penurunan SPL yang mencolok sekitar 2°C dari
nilai rata-ratanya mencapai nilai SPL terendah 25,7°C (Tabel 4). Berdasarkan pola
Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa SPL di Selat Makassar
selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL
mengalami peningkatan sebesar 0,8 °C mencapai nilai sekitar 29,4°C. Tingginya
SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik
yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan
Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL
lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian ini, pada musim barat (November – Februari) tahun
2004 yang disajikan pada Gambar 6 terlihat bahwa nilai SPL yang lebih tinggi
dibandingkan musim timur (Mei – Agustus) tahun 2006 (Gambar 8) cenderung
bergerak ke arah barat daya Pulau Sulawesi.
4.1.2. Variabilitas Nilai SPL Secara Temporal
Berdasarkan data bulanan rata-rata SPL pada periode Januari 1998 hingga
Desember 2009, diperoleh variabilitas nilai SPL di bagian selatan Selat Makassar
seperti disajikan pada Gambar 10. Nilai SPL tertinggi di sampling area1 adalah 30,9 °C terjadi pada bulan Maret dan nilai terendahnya adalah25,7 °C di bulan
Agustus (Tabel 4). Nilai SPL tertinggi pada sampling area2 adalah 31,0 °C di bulan Desember dan nilai terendah adalah 26,8 °C di bulan Januari (Tabel 5).
Nilai SPL tertinggi pada sampling area3 adalah 30,7 °C di bulan April dan nilai terendahnya adalah 26,4 oC di bulan Januari (Tabel 6). Pada tahun dan bulan
31
Rendahnya nilai SPL pada musim timur (Mei - Agustus) yang berkisar
25,7 – 30,6°C (lihat Gambar 8, Tabel 4) menunjukkan adanya fenomena
upwelling di lokasi penelitian. Hal tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Ilahude (1978) yang menjelaskan bahwa pada saat terjadi fenomena upwelling di selatanSelat Makassar yaitu pada bulan Agustus 1971 dan Agustus 1974
ketebalan lapisan homogen menurun hingga 50 m. Pada lapisan tersebut terdiri
dari massa air yang lebih dingin dengan suhu 26 – 27°C. Menurut Ilahude (1970),
efek dari upwelling distribusinya cukup jelas. Penyebaran fenomena upwelling ini terlihat dengan jelas mulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi.
Tabel 4. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area1
Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut (
0
Lain halnya dengan sampling area1 dan sampling area2, pada sampling area3 pengaruh fenomena upwelling tidak terlihat dengan jelas dan kisaran SPL di lokasi ini pada musim timur tergolong relatif tinggi yaitu 27,7 °C – 30,4°C
33
Secara umum, fluktuasi SPL pada tiga sampling area memiliki pola yang sama, nilai SPL relatif rendah pada musim timur dan relatif tinggi pada musim
barat dimana nilai terendah ditemukan pada sampling area1 (Gambar 10).
Tabel 5. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area2
Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut ( 0
Tabel 6. Rata-rata nilai SPL dari citra NOAA-AVHRR di sampling area3
Bulan Nilai Suhu Permukaan Laut (
Pada umumnya saat musim barat (November – Februari) kisaran nilai SPL
tinggi antara lain di sampling area1 berkisar antara 27,5°C – 30,8°C (Tabel 4),
sampling area2 antara 26,8°C – 31,0°C (Tabel 5), dan sampling area3 antara 26,4°C – 30,5°C (Tabel 6).
4.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a
4.2.1. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Spasial
Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata dengan periode
Januari 1998 – Desember 2009 yang kemudian dikelompokan berdasarkan
musim, sehingga diperoleh sebaran spasial kosentrasi klorofil-a. Contoh sebaran
spasial klorofil-a disajikan pada Gambar 11, 12, 13, dan 14.
Pola sebaran spasial konsentrasi klorofil-a di selatan Selat Makassar
terlihat berbeda pada setiap musim yang berbeda. Pada musim barat (November –
Februari) tahun 2004, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terdapat di daerah
pesisir. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh asupan nutrien dari daratan
sebagai akibat relatif tingginya curah hujan pada musim ini. Sedangkan di daerah
jeluk sebaran spasial konsentrasi klorofil-a terlihat relatif rendah (Gambar 11).
Pada bulan Februari sebaran klorofil-a tidak terlihat begitu jelas yang diduga
adanya tutupan yang cukup tebal sehingga terdapat banyak gradasi warna hitam
(Gambar 11).
Pada musim peralihan I (Maret-April, Gambar 12) tahun 2004, sebaran
35
Gambar 11. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim barat tahun 2004.
Gambar 12. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan I tahun 2004.
Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a musim timur (Mei –
Agustus) tahun 2004 pada bulan Mei 2004 belum terlihat adanya peningkatan
konsentrasi klorofil-a, dapat dilihat dengan jelas bahwa konsentrasi klorofil-a
dan maksimum terjadi pada bulan Agustus (Gambar 13). Tingginya konsentrasi
klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim timur akibat adanya
fenomena upwelling yang juga ditandai dengan rendahnya nilai SPL di daerah tersebut (Gambar 8).
Pada awal musim peralihan II (September), fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar masih jelas terlihat dan pada akhir musim perlaihan II
(Oktober) diperkirakan fenomena upwelling akan berakhir (Gambar 13). Tingginya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar pada musim
timur sampai musim peralihan II ini akibat meningkatnya unsur hara di
permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam. Wyrtki (1961) dan Ilahude (1978) menjelaskan bahwa upwelling pada daerah initerjadi pada musim timur yaitu Juni – Agustus. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh
Wouthuyzen (2002), Afdal dan Riyono (2004) menjelaskan bahwa kandungan zat
hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi pada lapisan permukaan di Selat
Makassar akibat upwelling masih ditemukanpada musim peralihan II pasca
musim timur. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kisaran konsentrasi
klorofil-a sebesklorofil-ar 0,16 – 1,14 mg/m3. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini,
dimana konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi terjadi di selatan Selat Makassar
pada musim timur (Juni – Agustus) dan musim peralihan II pada bulan September
(Gambar 13) adalah sebagai akibat dari fenomena upwelling. Pada bulan Mei dan Juni konsentrasi klorofil-a yang tinggi masih terbatas pada daerah pesisir wilayah
selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus konsentrasi
klorofil-a yang relatif tinggi tersebar hingga barat daya Pulau Sulawesi, dimana
37
Gambar 13. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim timur tahun 2004.
Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata secara spasial pada musim peralihan II.
4.1.2. Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a Secara Temporal
Data klorofil-a dari satelit SeaWiFS bulanan rata-rata di petakan pada
bagian selatan Selat Makassar terhadap waktu sehingga diperoleh sebaran
(Gambar 15). Berdasarkan hasil bulanan rata-rata konsentrasi klorofil-a di selatan
Selat Makassar terjadi fluktuasi dengan kisaran nilai 0,09 mg/m3 - 2, 48 mg/m3
(Gambar 15). Pola fluktuasi konsentrasi klorofil-a pada tiga sampling area
terlihat relatif sama (Gambar 15) dimana nilai konsentrasi klorofil-a pada
sampling area1 berkisar antara 0,09 mg/m3 - 2, 48 mg/m3 dengan rata-rata 0,41 mg/m3 (Tabel 7), sampling area2 antara 0,13 mg/m3 - 0,79 mg/m3 dengan rata-rata 0,28 mg/m3 (Tabel 8), dan sampling area3 antara 0,14 mg/m3 - 2, 03 mg/m3 dengan rata-rata 0,38 mg/m3 (Tabel 9). Terdapat beberapa data kosong (no data) pada tahun-tahun tertentu seperti tahun 2008 (Januari-Maret), hal tersebut terjadi
akibat adanya tutupan awan.
Nilai konsentrasi klorofil-a maksimum pada sampling area1 (2,48 mg/m3) terjadi pada Agustus (Musim Timur) dan minimum (0,09 mg/m3) terjadi pada
bulan Maret (Musim Peralihan I) (Gambar 15, Tabel 7). Untuk sampling area2, nilai konsentrasi klorofil-a maksimum (0,79 mg/m3) terjadi pada bulan April
(Musim Peralihan 1) dan minimum (0,13 mg/m3) terjadi pada bulan Desember
(Musim Barat) (Gambar 15, Tabel 8). Nilai konsentrasi klorofil-a pada sampling area3 maksimum (2,03 mg/m3) terjadi pada bulan Februari (Musim Barat) dan minimum (0,14 mg/m3) terjadi pada bulan Mei (Musim Timur) (Gambar 15,
Tabel 9).
Nilai konsentrasi klorofil-a tertinggi pada sampling area1 sebesar 2,48 mg/m3 terjadi pada bulan Agustus tahun 2004 saat fenomena upwelling
maksimum di lokasi ini (Tabel 7). Hal ini terlihat dari nilai SPL terendah yaitu
25,7 °C (lihat Tabel 4) yang juga terjadi pada bulan Agustus tahun 2004. Menurut
39
pada saat upwelling (Agustus 1974) berkisar antara 0,4 – 0,7 mg/m3, sedangkan sebelum terjadinya upwelling (Mei 1975) kandungan klorofil-a berada dikisaran 0,2 - 0,4 mg/m3.
Secara umum pada sampling area1, nilai konsentrasi klorofil-a relatif tinggi terjadi pada musim timur (Mei - Agustus) dan musim peralihan II
(September – Oktober), sedangkan nilai konsentrasi klorofil-a yang relatif rendah
terjadi pada musim barat ( November - Februari). Hasil ini menunjukkan bahwa
fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada musim timur (Mei-Agustus) sampai musim peralihan II (September-Oktober).
Pada umumnya di musim barat (November – Februari) daerah selatan
Selat Makassar konsentrasi klorofil-a relatif rendah. Rata-rata konsentrasi
klorofil-a di musim barat pada sampling area1 berkisar antara 0,10 mg/m3
sampai 0,52 mg/m3 (Tabel 7). Pada sampling area2 rata-rata konsentrasi klorofil-a di musim barat berkisar antara 0,13 mg/m3 sampai 0,56 mg/m3 (Tabel 8).
Sedangkan pada sampling area3 di musim barat rata-rata konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,14 mg/m3 sampai 2,03 mg/m3 (Tabel 9). Konsentrasi klorofil-a
yang relatif tinggi pada musim barat di lokasi ini bukan merupakan akibat
fenomena upwelling namun diduga akibat tingginya curah hujan pada musim ini sehingga menambah deposisi nutrient dari atmosfer dan daratan. Hal ini juga
41
Tabel 7. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area1
Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m
3
Tabel 8. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area2
Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m
Tabel 9. Rata-rata konsentrasi klorofil-a dari citra SeaWiFS di sampling area3
Bulan Konsentrasi Klorofil-a (mg/m
3
Berdasarkan data SPL composite 8 harian, diketahui bahwa terbentuknya fenomena upwelling paling cepat terjadi pada minggu ke-3 April 2004 dan
umumnya dimulai pada minggu 2 Mei , mencapai maksimum pada minggu
ke-2 Agustus ke-2004, dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober ke-2004 (Gambar 16, Tabel
10). Sedangkan berdasarkan data klorofil-a composite 8 harian, terbentuknya fenomena upwelling umumnya dimulai pada minggu ke-3 Mei 2004, mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2004, dan akan berakhir pada minggu ke-4
43
Gambar 16. Mulai hingga berakhirnya upwelling serta pergerakannya
Fenomena upwelling di bagian selatan Selat Makassar berulang setiap tahunnya yaitu pada periode 1998 – 2009. Secara umum upwelling diduga mulai minggu ke-3 April 2005 (Tabel 10) untuk SPL dan klorofil-a (Tabel 11), akan
mencapai maksimum pada minggu ke-3 Agustus 2002 untuk SPL (Tabel 10) dan
klorofil-a (Tabel 11), dan berakhir pada minggu ke-4 Oktober 2006 untuk SPL
Tabel 10. Fluktuasi mingguan SPL
Tabel 11. Fluktuasi mingguan klorofil-a
45
4.3. Interannual Variabilitas SPL dan Klorofil-a
Variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan (interannual) dianalisis dengan membandingkan data SPL dan konsentrasi klorofil-a setiap
musim antar tahun. Dari analisis data SPL dan konsentrasi klorofil-a, ditemui
variabilitas SPL dan konsentrasi klorofil-a antar tahunan yang significant terdapat diantara tahun ENSO vs. tahun non-ENSO. Garis berwarna biru pada Gambar 17 dan 18 menunjukan variabilitas nilai SPL dan klorofil-a pada saat tahun-tahun
ENSO, sedangkan untuk garis berwarna merah merupakan variabilitas nilai SPL
dan klorofil-a pada tahun-tahun non-ENSO.
Secara umum, SPL di lokasi penelitian pada tahun ENSO lebih tinggi pada
akhir musim peralihan II, musim barat, sampai musim peralihan I dibandingkan
dengan SPL pada tahun non-ENSO (Gambar 17). Sebaliknya, nilai SPL pada tahun ENSO lebih rendah pada musim timur sampai awal musim peralihan II
dibandingkan dengan SPL pada tahun non-ENSO (Gambar 17).
Berdasarkan data konsentrasi klorofil-a, secara umum nilai konsentrasi
klorofil-a pada akhir musim peralihan II, musim barat, dan musim peralihan I
tahun ENSO lebih rendah dibandingkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a pada
tahun non-ENSO (Gambar 18). Sebaliknya, pada musim timur dan awal Musim peralihan II, nilai konsentrasi klorofil-a pada tahun ENSO lebih tinggi
47
4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Variabilitas SPL dan Klorofil-a
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah
hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas
radiasi matahari. Oleh karena itu SPL, biasanya mengikuti pola musiman (Nontji,
2005). Pada penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas SPL dan
klorofil-a yang akan dibahas antara lain angin, Ekman transport, curah hujan, dan Tinggi Paras Laut (TPL).
4.4.1. Angin
Angin terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara yang
merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari
terhadap tempat-tempat yang berbeda di permukaan bumi. Berdasarkan Brown et al. (2004) angin bertiup dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju ke daerah yang bertekanan rendah. Pola pergerakan angin di Indonesia pada
umumnya mengikuti pergerakan musim dan tahun ENSO serta tahun non ENSO. Setiap musim memiliki arah pergerakan angin yang berbeda-beda.
Pada musim barat (Desember – Februari) angin bulanan rata-ratatahun
ENSO (Gambar 19) di selatan Selat Makassar dominan bergerak dari barat dan
barat laut dengan kecepatan rata-rata 3,2 m/s dan maksimum 4,2 m/s. Sedangkan
pada musim barat (Desember – Februari) tahun non ENSO (Gambar 19) angin bulanan rata-rata bergerak dari utara dan barat (Desember – Februari) dengan
kecepatan rata-rata 4,0 m/s dan maksimum 5,9 m/s. Kisaran konsentrasi klorofil-a
periode Januari 1998 – Desember 2009 pada musim barat antara lain 0,10 – 0,50
mg/m3 (Tabel 7) untuk sampling area 1, 0,15 – 0,56 mg/m3 (Tabel 8) untuk
49
Pada musim peralihan I (Maret - April) tahun ENSO (Gambar 20), pola
pergerakan angin bulanan rata-rata berasal dari utara (Maret) dan dari timur
(April). Sedangkan pada musim peralihan II (Oktober) angin bulanan rata-rata
bergerak dari tenggara (Gambar 20). Musim peralihan I tahun non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari barat laut (Maret) dan dari
timur dan tenggara (April). Musim peralihan II pada tahun ENSO dan non ENSO (Gambar 20) angin bulanan rata-rata bergerak dari tenggara (Oktober).
Pada umumnya pola pergerakan angin bulanan rata-rata pada musim timur
tahun ENSO dan non ENSO relatif sama yaitu dari tenggara namun kecepatannya umumnya lebih tinggi pada tahun ENSO. Pada musim timur tahun ENSO
kecepatan angin rata-rata 5,9 m/s dan mencapai maksimum pada 6,7 m/s,
sedangkan pada tahun non ENSO kecepatan angin rata-rata 5,3 m/s dan
maksimum 6,3 m/s. Arah angin yang berasal dari tenggara pada musim timur ini
mengakibatkan Ekman transport bergerak menuju barat daya (menjauhi pantai selatan Sulawesi). Hal ini mengakibatkan kekosongan air laut di permukaan dan
diikuti pengisian air laut dari kedalaman untuk mencapai keseimbangan
permukaan air. Proses ini mengakibatkan kejadian upwelling yang membawa unsur hara lebih banyak, salinitas lebih tinggi, dan suhu air laut lebih rendah.
Relatif tingginya kecepatan angin pada musim timur tahun ENSO ini
51
53
4.4.2. Ekman Transport
Pola pergerakan Ekman transport rata-rata bulanan di bagian selatan Selat Makassar pada musim barat tahun ENSO (Gambar 22) menuju ke timur laut.
Sementara itu, pergerakan Ekman transport bulanan rata-rata di Selat Makassar pada musim barat tahun non ENSO (Gambar 22) menuju utara (Desmber – Februari).
Pola pergerakan Ekman transport bulanan rata-rata di Selat Makassar pada musim peralihan I (Maret) tahun ENSO (Gambar 23) menuju ke arah timur,
sedangkan pada bulan April Ekman transport bulanan rata-rata ke arah selatan. Pada musim peralihan II (Oktober) tahun ENSO (Gambar 23) Ekman transport
bulanan rata-rata menuju ke barat daya. Pada musim peralihan I (Maret) tahun non
ENSO (Gambar 24) Ekman transport bulanan rata-rata bergerak ke arah timur laut, sedangkan pada bulan April bergerak ke selatan. Pada bulan Oktober Ekman transport bulanan rata-rata bergerak ke barat daya.
Pada umumnya pola Ekman transport bulanan rata-rata musim timur tahun ENSO dan tahun non ENSO (Gambar 24) arah pergerakannya relatif sama yaitu menuju ke barat daya (menjauhi pantai selatan Pulau Sulawesi). Pada saat musim
timur dan musim peralihan II tahun ENSO volume Ekman transport relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tahun non ENSO. Semakin besar volume Ekman transport yang bergerak menjauhi daerah pesisir, maka memungkinkan naiknya massa air dari bawah untuk menggantikan massa air yang bergerak meninggalkan
pesisir semakin besar juga. Hal ini akan menggambarkan tingkat intensitas
55
Gambar 24. Pendekatan pola Ekman transport bulanan rata-rata pada musim timur : (a)tahun ENSO; (b) tahun non ENSO