• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Dengan Model Experiential Learning (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 9 Kota Tangerang Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Dengan Model Experiential Learning (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 9 Kota Tangerang Selatan)"

Copied!
271
0
0

Teks penuh

(1)

EXPERIENTIAL LEARNING

(Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VIII

SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan)

Oleh

Ikfi Mubarokah

NIM. 106017000522

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa dengan Model Experiential Learning”.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada utusan Allah SWT pembawa rahmat bagi semesta alam, yakni Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta kita semua selaku ummat-Nya yang selalu berusaha istiqomah untuk menjalankan semua sunah-sunahNya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, waktu, arahan, kesabaran dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

4. Ibu Dra. Afidah Mas’ud, selaku Dosen Pembimbing II yang penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, waktu, arahan, motivasi, nasehat dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

5. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang banyak memberikan motivasi dan arahan serta penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, waktu, arahan, nasehat dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

(6)

iv

Subekti, S.Pd., sebagai kolaboratoryang telah membantu selama penelitian. 8. Seluruh dewan guru dan staf SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan. Siswa

siswi SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan khususnya kelas VIII-5 yang telah membantu peneliti dalam penelitian ini.

9. Teristimewa penulis sampaikan untuk kedua orangtuaku tercinta, ayahanda Djamaluddin dan ibunda Ifah yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Meski penulis banyak melakukan kekhilafan dan kesalahan. Terima kasih banyak ini untuk kalian, hanya ini yang bisa penulis berikan 10. Kakakku Beni Kheroni J., S.S.,M.Ag. beserta Istri Lu’luatun Nafisah,

Am.Keb. dan putra tercinta Ahsin Sakho Muhammad. Kakakku Luthfinnisa, S.Pd.I. beserta suami Setyo Wibowo, S.T., dan putra tercinta Muhammad Hafidz Musyafa’, yang banyak memberikan naungan, dukungan, motivasi dan semangatnya baik secara moril dan materil, semoga pelajaran yang telah kalian berikan dibalas keberkahan yang melimpah oleh Allah SWT. Amiin.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, mudah-mudahan bantuan, bimbingan, dukungan serta doa yang telah diberikan mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, Desember 2013 Penulis,

(7)

v

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR .. ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR BAGAN ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR DIAGRAM ... x

DAFTAR POLIGON ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II DESKRIPSI TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL INTERVENSI TINDAKAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 9

A. Deskripsi Teoritik ... 9

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 9

a. Pengertian Masalah Matematika... 9

b. Jenis-jenis Masalah Matematika ... 11

c. Pengertian Pemecahan Masalah Matematika ... 12

d. Langkah-langkah Pemecahan Masalah ... 14

e. Karakteristik Pemecah Masalah Matematika ... 16

2. Model Experiential Learning ... 17

1. Pengertian Experiential Learning ... 17

2. Karakteristik Experiential Learning ... 19

3. Peran Fasilitator ... 20

4. Tahap-tahap Experiential Learning ... 21

5. Tujuan Experiential Learning ... 29

(8)

vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 36

A. Tempat dan WaktuPenelitian ... 36

B. Metode Penelitian ... 36

C. Desain Intervensi Tindakan ... 38

D. Indikator Keberhasilan Kinerja ... 40

E. Subjek dan Partisipan yang Terlibat dalam Penelitian ... 41

F. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian ... 41

G. Tahap Intervensi Tindakan ... 41

H. Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan ... 43

I. Data dan Sumber Data ... 43

J. Instrumen Pengumpulan Data ... 43

K. Teknik Pengumpulan Data ... 48

L. Teknik Keterpercayaan (Trustworthiness) Studi Pemeriksaan ... 48

M. Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis ... 49

N. Tindak Lanjut/Pengembangan Perencanaan Tindakan ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Deskripsi Data Hasil Intervensi Tindakan ... 52

1. Penelitian Pendahuluan ... 52

2. Karakteristik Subjek Penelitian ... 53

3. Pelaksanaan Pembelajaran pada Siklus I ... 54

4. Pelaksanaan Pembelajaran pada Siklus II ... 76

B. Interpretasi Analisis Data ... 96

C. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 101

D. Hasil Temuan Penelitian ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(9)

vii

Bagan 2.2 Siklus Model Experiential Learning David Kolb ... 22

Bagan 2.3 Siklus empat langkah dalam Experiential Learning David Kolb.... 22

Bagan 2.4 Learning Style Inventory dan 4 Tipe Gaya Pelajar ... 26

Bagan 2.5 Honey & Mumford: Typology of Learners ... 27

Bagan 3.1 Desain Penelitian ... 38

(10)

viii

Tabel 2.2 Perbedaan antara Experiential Learning dengan Pelatihan dan

Pengajaran Konvensional ... 31

Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah ... 44

Tabel 4.1 Skor Aktivitas Pembelajaran Matematika Siswa pada Siklus I ... 66

Tabel 4.2 Rata-rata Persentase Respon Siswa pada Siklus I ... 68

Tabel 4.3 Hasil Wawancara pada Siklus I ... 69

Tabel 4.4 Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa pada Siklus I ... 71

Tabel 4.5 Persentase Skor Tiap Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Siklus I ... 72

Tabel 4.6 Keberhasilan Tindakan pada Siklus I ... 74

Tabel 4.7 Kekurangan Tindakan pada Siklus I ... 75

Tabel 4.8 Persentase Aktivitas Pembelajaran Matematika Siswa pada Siklus II 88 Tabel 4.9 Rekapitulasi Respon Siswa Pada Siklus II ... 90

Tabel 4.10 Hasil Wawancara pada Siklus II ... 91

Tabel 4.11 Tabel Distribusi Frekuensi Nilai Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa pada Siklus II ... 92

Tabel 4.12 Persentase Skor Tiap Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Siklus II ... 94

(11)

ix

Gambar 4.1 Peneliti dan Guru Membantu Siswa Saat Berdiskusi Kelompok.. . 56

Gambar 4.2 Lingkaran yang Dibuat Siswa Saat Tahap Experience .. ... 58

Gambar 4.3 Kerja Sama Siswa Saat Tahap Experience pada Materi Luas Lingkaran ... 60

Gambar 4.4 Aktivitas Guru Kolaborator dan Siswa Saat Presentasi ... 61

Gambar 4.5 Peneliti Membantu Siswa Saat Diskusi Kelompok dan Presentasi ... 63

Gambar 4.6 Suasana Tes Siklus I Di Kelas VIII-5 ... 65

Gambar 4.7 Suasana Kelompok Mewujudkan Pengalaman ... 79

Gambar 4.8 Suasana Siswa Saat Merefleksi dan Mengkonsep Pengalaman .... 82

Gambar 4.9 Antusiasme Siswa Saat Diminta Presentasi ... 82

Gambar 4.10 Situasi Saat Diskusi Kelompok ... 84

Gambar 4.11 Suasana Active Experimentation dan Presentasi Siswa ... 86

(12)

x

Matematika Siswa ... 97 Diagram 4.2 Persentase Respon Pada Siswa pada Siklus I dan Siklus II ... 98 Diagram 4.3 Perbandingan Rata-rata Persentase Indikator Kemampuan

(13)

xi

pada Siklus I ... 72 Poligon 4.2 Distribusi Frekuensi Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

(14)

xii

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) Siklus I ... 123

Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa (LKS) Siklus II ... 140

Lampiran 5 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siklus I ... 156

Lampiran 6 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Siklus I ... 162

Lampiran 7 Hasil Uji Reabilitas Instrumen Tes Siklus I ... 163

Lampiran 8 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Siklus I ... 164

Lampiran 9 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Tes Siklus I …..….…….. 165

Lampiran 10 Soal Tes Siklus I ... 166

Lampiran 11 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siklus II ... 169

Lampiran 12 Hasil Uji Validitas InstrumenTes Siklus II ... 179

Lampiran 13 Hasil Uji Reabilitas Instrumen Tes Siklus II ... 180

Lampiran 14 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Siklus II ... 181

Lampiran 15 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Tes Siklus II ... 182

Lampiran 16 Soal Tes Siklus II ... 183

Lampiran 17 Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Sebelum Tindakan ... 186

Lampiran 18 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Sebelum Tindakan ... 187

Lampiran 19 Hasil Tes Siklus I ... 188

Lampiran 20 Hasil Tes Siklus II ... 189

Lampiran 21 Hasil Observasi Sebelum Tindakan ... 190

Lampiran 22 Lembar Pedoman Wawancara Siswa dan Guru Sebelum Tindakan ... 191

Lampiran 23 Hasil Wawancara pada Siswa Sebelum Tindakan ... 192

(15)

xiii

Lampiran 28 Hasil Observasi Siswa Siklus II ... 198

Lampiran 29 Lembar Pedoman Wawancara Siswa ... 199

Lampiran 30 Lembar Pedoman Wawancara Guru ... 200

Lampiran 31 Hasil Wawancara Siswa pada Siklus I……….…….. 201

Lampiran 32 Hasil Wawancara Guru pada Siklus I ... 203

Lampiran 33 Hasil Wawancara Siswa pada Siklus II ………..….…….. 204

Lampiran 34 Hasil Wawancara Guru pada Siklus II ... 206

(16)

1

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan keahlian tertentu kepada manusia untuk mengembangkan bakat serta kepribadian mereka. Agar mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka manusia harus berusaha mengembangkan dirinya salah satunya dengan pendidikan. Oleh karena itu, masalah pendidikan perlu mendapat perhatian dan penanganan lebih yang menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan relevansinya.

Salah satu bidang studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah matematika. Oleh karena itu, matematika merupakan bidang studi yang menduduki peranan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jam pelajaran matematika di sekolah yang lebih banyak dibanding dengan jam mata pelajaran lainnya. Selain itu, matematika merupakan mata pelajaran yang diberikan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan sebagian di perguruan tinggi (PT), tidak seperti halnya dengan mata pelajaran lain yang hanya diberikan pada jenjang tertentu.

Bertolak dari pentingnya peranan matematika dalam pendidikan, maka matematika perlu diajarkan. Cornelius mengemukakan alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan: sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; sarana mengenal hubungan dan generalisasi pengalaman.1

Cockroft menambahkan bahwa matematika perlu diajarkan karena: meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan;

1

(17)

dan memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.1

Tujuan umum pendidikan matematika ditekankan untuk memiliki; kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.2 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 dikemukakan bahwa, mata pelajaran matematika diajarkan di sekolah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan; memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

Dilihat dari tujuan tersebut, pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang cukup penting dalam proses pembelajaran matematika. Melalui kegiatan pemecahan masalah, aspek-aspek kemampuan matematika yang penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, dan lainnya dapat dikembangkan secara lebih baik.

Menurut Holmes, orang yang terampil memecahkan masalah akan mampu berpacu dengan kebutuhan hidupnya, menjadi pekerja yang lebih produktif, dan memahami isu-isu kompleks yang berkaitan dengan masyarakat global.3 Pentingnya pemecahan masalah juga ditegaskan dalam NCTM yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika.4

Di tingkat nasional, rendahnya prestasi kompetensi matematika siswa Indonesia tercermin dari hasil ujian nasional (UN). Selama beberapa tahun

1

Ibid., h. 254.

2

Erman Suherman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2003), h. 58.

3

Sri Wardhani, dkk., Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SD, (Yogyakarta: PPPPTK MATEMATIKA, 2010), h. 7.

4

(18)

penyelenggaraan, nilai terendah dari hasil UN tingkat SMP/Mts, dicapai oleh mata pelajaran matematika.5 Masalah ini yang sekarang banyak disoroti oleh pakar-pakar dan pelaksana pendidikan. Peningkatan standar nilai kelulusan yang ditetapkan tiap tahunnya dirasakan sangat memberatkan siswa khususnya yang memiliki kemampuan belajar yang rendah.

Mencermati kondisi pendidikan matematika di negeri kita dewasa ini, sebagian besar pelaksanaannya baru sebatas menghasilkan peserta didik yang hafal apa yang mereka pelajari tanpa mengerti secara utuh apa yang mereka pelajari.6 Siswa dituntut untuk memahami suatu konsep tanpa tahu bagaimana pembentukan konsep itu berlangsung, hal ini menyebabkan siswa kita lupa terhadap apa yang dipelajari hingga akhirnya berdampak pada menurunnya hasil belajar. Sistem pembelajaran yang ditetapkan di sekolah-sekolah pada umumnya berpusat pada guru. Cara yang dipakai guru dalam pembelajaran matematika adalah menerangkan, memberi contoh soal dan memberi latihan pada siswa, begitupun siswa hanya dilatih untuk dapat menyelesaikan soal-soal dengan contoh yang diberikan oleh guru.7 Lemahnya penguasaan konsep dan prinsip oleh siswa, dapat mengakibatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah akan lemah pula.

Hal tersebut terjadi juga di SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan. Dari hasil pengamatan, pembelajaran matematikanya masih cenderung berorientasi pada buku teks dan berpusat pada guru. Dalam proses pembelajaran siswa hanya mendengarkan, setelah itu mencatat rangkuman yang ada di papan tulis hasil catatan guru. Guru matematika masih terfokus pada kebiasaannya mengajar dengan menggunakan langkah-langkah pembelajaran seperti: menyajikan materi pembelajaran, memberikan contoh-contoh soal dan meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada buku teks

5

Yuyun Yunengsih, UN Dapatkah menjadi Tolak Ukur, 2010,

(http://www.scribd.com/doc/62469597/18-Yuyun-Yunengsih-Dkk-UN-dapatkah-menjadi-tolak-ukur). 17 Juli 2010, 18:12 WIB.

6

Suhendra, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Jakarta; Universitas Terbuka, 2007), h. 714.

7

(19)

yang mereka gunakan dalam mengajar dan kemudian membahasnya bersama siswa. Pembelajaran seperti ini tentunya kurang dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal matematika berdasarkan apa yang dicontohkan guru, jika diberikan soal non rutin maka mereka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan hasil tes pemecahan masalah matematika siswa sebelum tindakan (Lampiran 18), menunjukkan nilai rata-rata siswa yaitu 60,85. Hasil yang diperoleh belum mencapai indikator yang ditentukan yaitu nilai rata-rata siswa hasil tes pemecahan masalah matematik ≥ 70. Dapat dinyatakan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan masih rendah.

Hasil observasi diperkuat dengan adanya wawancara guru bidang studi matematika, bahwasannya metode ceramah menjadi metode yang biasa digunakan dalam pembelajaran matematika, dan siswa belum mampu memahami masalah ketika berhadapan pada soal pemecahan masalah, siswa tidak mampu mengimplikasikan rumus yang telah diajarkan oleh guru pada soal pemecahan masalah. Selain dengan guru, wawancara juga dilakukan dengan seorang siswa. Bahwasannya siswa tersebut menyukai pelajaran matematika jika materi yang dipelajari mudah serta atau guru menerangkan materi pelajaran sampai siswa benar-benar paham dan mendapati soal yang serupa dengan yang dicontohkan, jika menghadapi soal non rutin atau soal pemecahan masalah, siswa cenderung mengesampingkannya bahkan mengabaikannya. Saat ditanya pembelajaran secara individual atau kelompok yang lebih disukai, bahwasannya mereka lebih menyukai pembelajaran matematika berkelompok, dengan adanya diskusi pemahaman yang belum dimengerti lebih mudah ditanyakan dengan sesama teman.

Alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan diatas salah satunya adalah dengan menggunakan experiential

learning. Melalui pembelajaran ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang

(20)

pengalaman. Hasil dari proses pembelajaran experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti teori behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.

Seperti halnya proses pembelajaran kontekstual yang menghubungkan dan melibatkan peserta didik dengan dunia nyata, pembelajaran inipun lebih mengedepankan connented knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata), dengan demikian pembelajaran dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan. Experiential learning (pembelajaran berdasarkan pengalaman) sebagai metode yang membantu pendidik dalam mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata, sehingga dengan pengalaman nyata tersebut siswa dapat mengingat dan memahami informasi yang didapatkan dalam pendidikan sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.8

Experiential learning dilandasi teori John Dewey, yakni prinsip belajar

sambil berbuat (learning by doing). Prinsip ini berdasarkan asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, meningkat apabila guru menerima peranan non-intervensi.9

Pengajaran berdasarkan pengalaman melengkapi siswa dengan suatu alternatif pengalaman belajar dengan menggunakan pendekatan kelas, pengarahan guru misalnya metode ceramah. Strategi pengajaran ini menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif dengan personalisasi. Rumusan pengertian tersebut menunjukkan bahwa pengajaran berdasarkan pengalaman memberi para

8

Nurul Qomariyah, Experiential Learning; Adakah Menjamin Peningkatan Mutu Pendidikan?, 2009, (http://alyaqanitha.wordpress.com). 06 Desember 2011, 12:05 WIB.

9

(21)

siswa seperangkat/serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru. Cara ini mengarahkan para siswa ke dalam eksplorasi yang alami dan investigasi langsung ke dalam suatu situasi pemecahan masalah/daerah mata pelajaran tertentu.10

Model Experiential Learning adalah suatu model proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini,

Experiential Learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk

menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.11

Proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta perkiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain/baru. Proses implementasi merupakan situasi atau konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai.

Dengan memperhatikan kelebihan pembelajaran melalui experiential

learning dan pentingnya mengakomodasi kemampuan peserta didik dalam

mengkombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalamannya agar mampu memecahkan masalah matematika, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa dengan Model Experiential Learning”

A. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

10

Ibid., h. 212.

11

(22)

1. Banyak siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit. 2. Rendahnya kemampuan matematika siswa.

3. Metode pengajaran matematika yang masih berpusat pada guru.

4. Pembelajaran matematika masih menggunakan pendekatan konvensional melalui latihan berulang dan menghafal rumus-rumus.

5. Kurangnya keaktifan siswa dalam pembelajaran.

6. Siswa mengalami kesulitan saat berhadapan dengan soal-soal non-rutin. 7. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

B. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka masalahnya akan dibatasi pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Sedangkan pembelajaran yang dimaksud adalah model experiential learning, yakni suatu model yang mengaktifkan pembelajar dengan 4 tahap; concrete experience, reflect observation, abstract

conceptualization, dan active experimentation, guna membangun pengetahuan

dan keterampilan melalui pengalamannya.

Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud adalah pemecahan masalah berdasarkan pendapat Polya yaitu kemampuan: a) memahami masalah, b) menyusun rencana pemecahan masalah, c) melakukan penghitungan pemecahan masalah, d) melihat atau mengecek kembali hasil yang dikerjakan.

C. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian tindakan ini adalah:

1. Apakah model experiential learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika?

(23)

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika. Mengetahui respon peserta didik terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model experiential learning dan mengetahui apakah model experiential learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi sekolah, dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah.

2. Bagi Guru, hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun rencana dan program pengajarannya agar diterapkan model pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan hasil belajar matematika peserta didik.

3. Bagi peneliti, sebagai umpan balik dalam proses belajar mengajar bidang studi matematika, dan untuk menambah pengetahuan serta pengalaman. 4. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dan

(24)

9 A. Deskripsi Teoritik

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

a. Pengertian Masalah Matematika

Masalah menurut sebagian ahli pendidikan matematika adalah pertanyaan yang harus dijawab atau direspon, namun tidak semua pertanyaan dapat dikatakan menjadi masalah. Suatu pertanyaan dapat menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan secara prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku.1

Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk mengerjakannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seseorang anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah.2 Jadi adanya masalah, karena orang itu tidak puas apa yang telah atau sedang terjadi, dan dia memandangnya sebagai suatu yang perlu diprioritaskan.3

Permasalahan yang kita hadapi dapat dikatakan masalah jika masalah tersebut tidak bisa dijawab secara langsung, karena harus menyeleksi informasi (data) yang diperoleh. Dan tentunya jawaban yang diperoleh bukanlah kategori masalah yang rutin (tidak sekedar

1

Fajar Shodiq, Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pendidikan Matematika, (Yogyakarta: Diknas PPPG Matematika, 2009), h. 4.

2

Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 92-93.

3

(25)

memindahkan/mentransformasi dari bentuk kalimat biasa kepada kalimat matematika).1

Krulik and Rudnik mendefinisikan masalah secara formal sebagai berikut: a problem is a situation quantitatif or otherwise, that confront an individual or a group individual, that requires resolution and for wich the individual sees do apperent or obvius mean or part

obtaining a solution.2

Definisi tersebut menjelaskan bahwa masalah adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau kelompok tersebut tidak memiliki cara yang langsung dapat ditemukan solusinya. Hal ini berarti masalah tersebut dapat ditemukan solusinya dengan menggunakan strategi berpikir yang disebut dengan pemecahan masalah.

Moursund menyatakan bahwa seseorang dianggap memiliki atau mengalami masalah bila menghadapi empat kondisi berikut, yaitu:3 1) Memahami dengan jelas kondisi atau situasi yang sedang terjadi. 2) Memahami dengan jelas tujuan yang diharapkan. Memiliki

berbagai tujuan untuk menyelesaikan masalah dan dapat mengarahkan menjadi satu tujuan penyelesaian.

3) Memahami sekumpulan sumber daya yang dapat dimafaatkan untuk mengatasi situasi yang terjadi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini meliputi waktu, pengetahuan, keterampilan, teknologi atau barang tertentu.

4) Memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan.

Dalam Wikipedia disebutkan bahwa, masalah matematika adalah suatu masalah yang diterima untuk dianalisis dan memungkinkan

1

Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan masalah Matematika, (Bandung: UPI Press 2006), h. 4.

2

Didin Abdul Muiz Lidinillah, Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika dan Pelajarannya di Sekolah Dasar, 2009, (http://abdulmuizlidinillah.files.wordpress.com/2009/03/ heuristik-pemecahan-masalah.pdf), h.2, 27 Januari 2012, 15:05 WIB.

3

(26)

untuk dapat diselesaikan dengan metode-metode matematika. Jadi masalah matematika adalah segala sesuatu yang diketahui tujuannya baik berupa pertanyaan maupun situasi terbuka dan menantang yang menghendaki pemecahannya menggunakan algoritma atau rumusan matematika dan prosedur yang tidak rutin.

b. Jenis-jenis Masalah Matematika

Dalam pembelajaran matematika, masalah dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran fenomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis masalah matematika yaitu masalah translasi, masalah aplikasi, masalah proses dan masalah teka-teki.4

1) Masalah translasi

Merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya perlu adanya translasi (perpindahan) dari bentuk verbal ke bentuk matematika.

2) Masalah aplikasi

Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam keterampilan dan prosedur matematika.

3) Masalah Proses

Biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah. Masalah semacam ini memberikan kesempatan kepada siswa sehingga dalam diri siswa terbentuk keterampilan menyelesaikan masalah sehingga dapat membantu siswa menjadi terbiasa menyeleksi masalah dalam berbagai situasi.

4

(27)

4) Masalah teka-teki

Dimaksudkan untuk rekreasi dan kesenangan serta sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan yang efektif dalam pengajaran matematika. Dalam hal ini berarti pula masalah situasi tersebut dapat ditemukan solusinya dengan menggunakan pemecahan masalah.

c. Pengertian Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah tidak terlepas dari pengetahuan akan inti masalah tersebut, pemahamannya terhadap masalah, prosedur atau langkah yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, maupun aturan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hal ini sejalan dengan teori belajar Gagne yang menyatakan bahwa; memecahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah kita kenal menurut kombinasi yang berlainan. Dalam memecahkan masalah sering harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah perlu dipikirkan.5

Menurut Lenchner (1983), memecahkan masalah matematika adalah proses menerapkan pengetahuan matematika yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi yang baru yang belum dikenal. Sementara itu menurut Robert Harris di dalam situs www.vitualsalt.com (diakses 4 Maret 2010) menyatakan bahwa memecahkan masalah adalah the management of a problem in a way that successfully meets the goals established for treating it. Jika

diterjemahkan kurang lebih bermakna “pengelolaan suatu problem

5

(28)

sehingga berhasil memenuhi tujuan yang ditetapkan untuk melakukannya.6

Pemecahan/penyelesaian masalah merupakan proses penerimaan tantangan dan kerja keras untuk memyelesaikan masalah tersebut. Jadi aspek penting dari makna masalah adalah bahwa penyelesaian yang diperoleh tidak dapat dikerjakan dengan prosedur rutin. Berpikir keras harus dilaksanakan untuk mendapatkan cara menyelesaikan suatu masalah. Kalkulasi/perhitungan sederhana dan aplikasi langsung rumus-rumus tidak dikualifikasikan sebagai permasalahan.7

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika adalah suatu kegiatan yang mengatasi kesulitan yang ditemui dengan menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, sehingga diperoleh jalan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Melalui penggunaan masalah-masalah yang tidak rutin siswa tidak hanya terfokus pada bagaimana menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi yang ada, tetapi juga menyadari kekuatan dan kegunaannya dan terlatih melakukan penyelidikan dan penerapan berbagai konsep matematika yang telah mereka pelajari.

Dijelaskan juga pada dokumen Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 (Depdiknas, 2004), bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi strategik. Ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan merumuskan pernyataan kedalam model matematika.

Indikator yang menunjukkan pemecahan masalah matematika antara lain adalah: 8

6

Sri Wardani, dkk, Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SMP, (Yogyakarta : PPPPTK Matematika, 2010), h. 15.

7

Adjie dan Maulana, loc. cit.

8

(29)

1. Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah dan membuat model matematika dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dalam menyelesaikannya (memahami masalah).

2. Memilih dan menerapkan strategi untuk memyelesaikan masalah matematika dan atau diluar matematika (menyelesaikan masalah). 3. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan

asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban (jawaban masalah) dan

4. Menerapkan matematika secara bermakna (menyelesaikan masalah).

d. Langkah-langkah Pemecahan Masalah

Polya secara rinci menguraikan empat langkah penyelesaian pemecahan masalah matematika diantaranya:9

1) Memahami masalah

Langkah ini sangat menentukan kesuksesan memperoleh solusi masalah. Langkah ini melibatkan pendalaman situasi masalah, melakukan pemilihan fakta-fakta, menentukan hubungan diantara fakta-fakta dan membuat formulasi pertanyaan masalah. Setiap masalah yang tertulis, bahkan yang paling mudah sekalipun harus dibaca berulang kali dan informasi yang terdapat dalam masalah dipelajari dengan seksama. Biasanya siswa harus menyatakan kembali masalah dalam bahasanya sendiri.

Untuk memahami suatu masalah kita dapat membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:10

a) Bacalah dan bacalah berulang kali masalah tersebut. Pahami kata demi kata, kalimat demi kalimat.

b) Identifikasi apa yang diketahui dari masalah tersebut. c) Identifikasi apa yang hendak dicari.

9

Wardani, Op. cit., h. 33-34.

10

(30)

d) Abaikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan. e) Jangan menambahkan hal-hal yang tidak ada sehingga

masalahnya menjadi berbeda dengan masalah yang kita hadapi. 2) Membuat rencana pemecahan masalah

Langkah ini perlu dilakukan dengan percaya diri ketika masalah sudah dapat dipahami. Rencana solusi dibangun dengan mempertimbangkan struktur masalah dan pertanyaan yang harus dijawab. Jika masalah tersebut masalah rutin dengan tugas menulis kalimat matematika terbuka, maka perlu dilakukan penerjemahan masalah menjadi bahasa matematika. Jika masalah yang dihadapi adalah masalah nonrutin, maka suatu rencana perlu dibuat, bahkan kadang strategi baru perlu digunakan.

3) Melaksanakan rencana pemecahan masalah

Untuk mencari solusi yang tepat, rencana yang sudah dibuat pada langkah 2 harus dilaksanakan dengan hati-hati. Untuk memulai estimasi solusi yang dibuat sangat perlu. Diagram, tabel atau urutan dibangun secara seksama sehingga si pemecah masalah tidak bingung. Tabel digunakan jika perlu. Jika solusi memerlukan komputasi, kebanyakan individu akan menggunakan kalkulator untuk menghitung daripada menghitung dengan kertas dan pensil dan mengurangi kekhawatiran yang sering terjadi dalam pemecahan masalah. Jika muncul ketidakkonsistenan ketika melaksanakan rencana, proses harus ditelaah ulang untuk mencari sumber kesulitan masalah.

4) Melihat (mengecek) kembali

(31)

Menurut Dodson dan Hollander kemampuan pemecahan masalah yang harus ditumbuhkan siswa dalam mempelajari matematika adalah sebagai berikut:

1) Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika.

2) Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi. 3) Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan

memilih prosedur yang benar.

4) Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan. 5) Kemampuan untuk menaksir dan menganalisis.

6) Kemampuan untuk memvisualisasikan dan menginterpretasi kualitas dan ruang.

7) Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh. 8) Kemampuan untuk berganti metode yang telah diketahui.11

Berdasarkan uraian-uraian yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan matematik dengan menggabungkan konsep-konsep, melibatkan aspek pengetahuan, dan aturan-aturan matematika yang telah diperoleh sebelumnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

e. Karakteristik Pemecah Masalah Matematika

Suydam yang dikutip oleh Klurik dan Reys merangkum karakteristik kemampuan seorang problem solver yang baik sebagai berikut:12

a. Mampu memahami istilah dan konsep matematika. b. Mampu mengetahui keserupaan, perbedaan, dan analogi.

11 Herry Pribawanto Suryawan, “

Strategi Pemecahan Masalah Matematika”, http://ebockbrowse.com/strategi-pemecahan-masalah-matematika-pdf-d33814193 , diakses pada senin 3 Desember 2012, 18:46 WIB

12

(32)

c. Mampu mengidentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih prosedur dan data yang tepat.

d. Mampu mengetahui detail yang tidak relevan. e. Mampu memperkirakan dan menganalisis.

f. Mampu memvisualkan dan menginterpretasi fakta dan hubungan yang kuantitatif.

g. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh. h. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah.

i. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya.

j. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.

2. Model Experiential Learning

1) Pengertian Experiential Learning

Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam pembangunan manusia sudah tampak sejak awal abad IV SM. Gagasan pendidikan berbasis pengalaman (experiential education) atau yang disebut learning by doing memiliki sejarah panjang. Awalnya, para guru outdoor menyebut experiential education sebagai gaya belajar di luar ruangan. Senada dengan itu, program pendidikan petualangan, yang berlangsung di luar ruangan (outdoor), memanfaatkan pengalaman di dunia nyata untuk mencapai tujuan belajarnya. Pemikiran mengenai pendidikan berbasis pengalaman semakin berkembang dengan munculnya karya John Dewey (1938) yang mengungkapkan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman sebagai landasan dalam menetapkan pendidikan formal. Model pendidikan ini terus berkembang, hingga pada tahun 1977 berdiri

Association for Experiential Education (AEE).13

13

(33)

Experiental learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Model ini menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistic dalam proses belajar. Dalam

experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam

proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan ELT dari teori-teori belajar lainnya. Istilah experiential learning disini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih daripada afektif dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar.

Pembelajaran dengan model experiential learning mulai diperkenalkan pada tahun 1984 oleh David Kolb dalam bukunya yang

berjudul “Experiential Learning; experience as the source of learning

and development”. Experiential Learning mendefinisikan belajar

sebagai “proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan

bentuk pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh kombinasi

pemahaman dan mentransformasikan pengalaman”.14

Experiential

learning itu adalah proses belajar, proses perubahan yang

menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran, pembelajaran yang dilakukan melalui refleksi dan juga melalui suatu proses pembuatan makna dari pengalaman langsung. Experiential

Learning berfokus pada proses pembelajaran untuk masing-masing

individu.15

Experiential Learning (pembelajaran berdasarkan pengalaman)

sebagai metode yang membantu pendidik dalam mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata, sehingga dengan pengalaman nyata tersebut siswa dapat mengingat dan memahami informasi yang

14

Ilham Budiman, Model Pembelajaran Experiental Learning, 2011, h. 1, (http://fisikasma-online.blogspot.com). 06 Desember 2011, 11:48 WIB.

15

(34)

didapatkan dalam pendidikan sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.16

Experiential Learning adalah suatu pendekatan yang dipusatkan

pada siswa yang dimulai dengan landasan pemikiran bahwa orang-orang belajar terbaik itu dari pengalaman. Dan untuk pengalaman belajar yang akan benar-benar efektif, harus menggunakan seluruh roda belajar, dari pengaturan tujuan, melakukan observasi dan eksperimen, memeriksa ulang, dan perencanaan tindakan. Apabila proses ini telah dilalui memungkinkan peserta didik menkombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman untuk belajar keterampilan baru, sikap baru atau bahkan cara berpikir baru untuk memecahkan masalah-masalah baru.

2) Karakteristik Experiential Learning

Kolb mengusulkan bahwa experiential learning mempunyai enam karakteristik utama, yaitu:17

1. Belajar terbaik dipahami sebagai suatu proses. Tidak dalam kaitannya dengan hasil yang dicapai.

2. Belajar adalah suatu proses kontinu yang didasarkan pada pengalaman.

3. Belajar memerlukan resolusi konflik-konflik antara gaya-gaya yang berlawanan dengan cara dialektis.

4. Belajar adalah suatu proses yang holistik.

5. Belajar melibatkan hubungan antara seseorang dan lingkungan. 6. Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan yang

merupakan hasil dari hubungan antara pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi.

Experiential Learning itu sendiri berisi 3 aspek yaitu:

Pengetahuan (konsep, fakta, informasi), Aktivitas (penerapan dalam

16

Nurul Qomariyah, Experiential Learning: Adakah Menjamin Peningkatan Mutu Pendidikan?, 2011, (http://alyaqanitha.wordpress.com). 06 Desember 2011, 12:05 WIB.

17

(35)

kegiatan) dan Refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu). Ketiganya merupakan kontribusi penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Relasi dari ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:18

Bagan 2.1

Relasi antara EL dengan Aspek Pembelajaran

Sedangkan dalam merancang experiental learning, ada 4 tahapan yang harus dilalui yaitu:

1. Experiencing : tantangan pribadi atau kelompok,

2. Reviewing : menggali individu untuk mengkomunikasikan

pembelajaran dari pengalaman yang didapat,

3. Concluding : menggambarkan kesimpulan dan kaitan antara

masa lalu dan sekarang, serta

4. Planning : menerapkan hasil pembelajaran yang dialaminya.

3) Peran Fasilitator

Di dalam proses belajar dengan model experiential learning, pengajar berfungsi sebagai seorang fasilitator. Artinya pengajar hanya memberikan arah (guide) tidak memberikan informasi secara sepihak dan menjadi sumber pengetahuan tunggal. Setelah peserta didik melakukan suatu aktivitas, selanjutnya peserta didik akan mengabstraksikan sendiri pengalamannya. Permasalahan yang dihadapi, bagaimana cara menyelesaikan masalah, apa yang dapat

18

(36)

dipelajari untuk memperbaiki diri dimasa depan. Jadi, pengajar lebih menggali pengalaman peserta itu sendiri. Untuk itu kemampuan yang diperlukan untuk menjadi fasilitator adalah mengobservasi perilaku peserta didik, menghidupkan suasana aktif partisipatif, bersikap netral dan percaya atas kemampuan peserta didik untuk memecahkan persoalannya sendiri.

4) Tahap-tahap Experiential Learning

Model Experiential Learning sebagai pembelajaran dapat dilihat sebagai sebuah siklus yang terdiri dari dua rangkaian yang berbeda, memiliki daya tangkap dalam pemahaman dan memiliki tujuan yang berkelanjutan. Bagaimanapun, kesemua itu harus diintegrasikan dengan urutan untuk mempelajari apa yang terjadi. Daya tangkap dalam memahami sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengamatan yang dialami lewat pengalaman, sementara tujuan yang berkelanjutan berhubungan dengan perubahan dari pengalaman. Komponen-komponen tersebut harus saling berhubungan untuk memperoleh pengetahuan.

Dengan kata lain dapat disingkat sebagai berikut “pengamalan yang dilakukan sendirian tidak cukup dijadikan pembelajaran, harus dilakukan secara terperinci dan perubahan yang dilakukan sendiri tidak dapat mewakili yang dibutuhkan pembelajaran, untuk itu diperlukan

perubahan yang dibutuhkan dalam pembelajaran”. David Kolb,

mengembangkan Model Experiential Learning yang dapat digambarkan seperti berikut ini:19

19

(37)

Bagan 2.2

Siklus Model Experiential Learning David Kolb

Mengacu pada bagan di atas, pada dasarnya pembelajaran Model

Experiential Learning ini sederhana dimulai dengan melakukan (do),

refleksikan (reflect) dan kemudian terapkan (apply). Jika dielaborasi lagi maka akan terdiri dari lima langkah, yaitu mulai dari proses mengalami (experience), berbagi (share), analisis pengalaman tersebut

(proccess), mengambil hikmah atau menarik kesimpulan (generalize),

dan menerapkan (apply). Begitu seterusnya kembali ke fase pertama, alami. Siklus ini sebenarnya tidak pernah berhenti.

Masing-masing tujuan dari rangkaian-rangkaian tersebut kemudian muncullah langkah-langkah dalam proses pembelajaran, yaitu: Concrete experience, Reflective observation, Abstract

concep-tualization, Active experimentation.

Bagan 2.3

Siklus empat langkah dalam Experiential Learning David Kolb.20

20

(38)

Adapun penjabaran dari langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Concrete experience (feeling): Belajar dari pengalaman-pengalaman yang spesifik. Peka terhadap situasi. Individu mempunyai pengalaman langsung yang konkrit.

2. Reflective observation (watching): Mengamati sebelum membuat suatu keputusan dengan mengamati lingkungan dari perspektif-perspektif yang berbeda. Memandang dari berbagai hal untuk memperoleh suatu makna. Kemudian ia mengembangkan observasinya atau merefleksikannya.

3. Abstract conceptualization (thinking): Analisa logis dari gagasan-gagasan dan bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi. Dari itu dibentuk generalisasi dan abstraksi.

4. Active experimentation (doing): Kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa. Termasuk pengambilan resiko. Implikasi itu yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikan sebagai pegangannya dalam menghadapi pengalaman-pengalaman baru.21

Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action).

21

(39)

Menurut experiential learning theory, agar proses belajar mengajar efektif, seorang siswa harus memiliki 4 kemampuan, yakni:22

Tabel 2.1

Empat Kemampuan Menurut Teori Experiential Learning

Kemampuan Uraian Pengutamaan

(1) Concrete

Experience (CE)

Siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman. pengalaman dari berbagai segi.

Watcing menjadi teori yang sehat.

Thinking (berpikir)

(4) Active

Experimentation (AE)

Siswa menggunakan teori untuk memecahkan masalah-masalah dan mengambil keputusan.

Doing (berbuat)

Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu

Learning Style Inventory (LSI) dan membedakan 4 tipe gaya pelajar,

yaitu:23

1. “Converger”.

(40)

Pelajar serupa ini lebih mengutamakan CE dan RO, kebalikan dari

converger”. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan imajinasi

mereka. Mereka suka memandang sesuatu dari berbagai segi dan menjalin berbagai hubungan menjadi suatu keseluruhan yang bulat.

Mereka disebut “divergers” karena subur dalam melahirkan ide-ide

baru dan trampil dalam “brainstorming”. Mereka ini suka menghadapi manusia. Bidang spesialisasi mereka sering bahasa, kesusastraan, sejarah, dan ilmu-ilmu social lainnya. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, konseling, urusan personalia, dan pengembangan organisasi.

3. “Assimilator”.

Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menciptakan model teori. Mereka disebut assimilator, karena mereka suka mengasimilisasikan berbagai ragam hal menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Mereka kurang perhatian kepada menusia dan lebih tertarik kepada konsep-konsep yang abstrak. Mereka juga kurang mengindahkan penerapan praktis dari ide-ide. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian.

4. “Accomodator”.

Mereka ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada pengalaman yang konkrit (CE) dan eksperimentasi aktif (AE). Mereka suka akan pengalaman baru dan melakukan sesuatu. Mereka berani mengambil risiko dan disebut accommodator, karena mereka mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi yang baru. Mereka intuitif dan sering melakukan

(41)

bagi mereka ialah lapangan usaha dan teknik dan menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran.

Hubungan antara keempat tipe itu dapat digambarkan dalam bagan yang berikut:

Bagan 2.4

Learning Style Inventory dan 4 Tipe Gaya Pelajar Peter Honey dan Alan Mumford mengembangkan sistem cara belajar mereka sebagai variasi pada model Kolb. Empat tahap yang dikembangkan oleh Honey dan Mumford secara langsung saling terkait, karena berbeda dari model Kolb dimana cara belajar yang merupakan produk kombinasi pembelajaran tahapan siklus. Yang khas dari presentasi Honey dan Mumford tentang gaya masing-masing tahapan pada lingkaran atau empat tahap berhubung dengan putaran arus diagram.

Tahap1: Having an Experience, mempunyai sebuah Pengalaman dan berperan sebagai Activis (gaya 1), baik di sini maupun sekarang. Selain itu, orang dengan ciri ini juga suka berteman, mencari tantangan dan pengalaman, berpikiran terbuka, dan merasa bosan dengan implementasi.

(42)

berbagai kesimpulan, mendengarkan sebelum berbicara, dan penuh pertimbangan.

Tahap3: Concluding from the Experience, menyimpulkan dari pengalaman dan bersikap Theorists (gaya 3). Orang dengan tipe ini memikirkan segala hal melalui langkah-langkah yang logis, mengasimilasi berbagai fakta yang berbeda ke dalam teori-teori yang koheren secara rasional dan objektif, serta menolak subjektivitas, juga sembrono dalam berbicara. Tahap4: Planning the next steps, merencanakan langkah

selanjutnya dan bersikap Pragmatists (gaya 4). Orang dengan tipe ini berusaha mencari dan menguji coba ide baru, praktis, membumi, menikmati pemecahan masalah dan membuat keputusan dengan cepat, serta bosan dengan pembicaraan yang panjang.24

Dari tahapan di atas, ada kesamaan yang kuat antara Honey dan Mumford tahapan yang sesuai dan gaya belajar Kolb:25

Activistc= Accommodating, Reflectorc= Diverging

Theoristc= Assimilating, Pragmatist = Converging

Bagan 2.5

24

Dina Indriana, Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), h. 129.

25

(43)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang memperhatikan atau menitikberatkan pada pengalaman yang akan dialami peserta didik. Dengan terlibat langsung dalam proses belajar dan mengkonstruksi sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat sehingga menjadi suatu pengetahuan.

Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapkan model experiential learning guru harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Menurut Oemar Hamalik, mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning adalah sebagai berikut:26

1. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pegalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) mengenai hasil yang potensial/memiliki seperangkat hasil-hasil alternatif tertentu. 2. Guru memberikan rangsangan dan motivasi pengenalan terhadap

pengalaman.

3. Siswa dapat bekerja secara individual/bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.

4. Para siswa di tempatkan di dalam situasi-situasi nyata pemecahan masalah, bukan dalam situasi pengganti.

5. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, dan menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut.

6. Keseluruhan kelas menyajikan pengalaman yang telah dipelajari sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman guru melaksanakan pertemuan yang membahas bermacam-macam pengalaman tersebut.

26

(44)

Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran experiential learning disusun dan dilaksanakan dengan berangkat dari hal-hal yang dimiliki oleh peserta didik. Prinsip inipun berkaitan dengan pengalaman di dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta dalam cara-cara belajar yang biasa dilakukan oleh peserta didik.

5) Tujuan Experiential Learning

Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk

mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri.

6) Manfaat Experiential Learning

Beberapa manfaat model experiential learning secara individual antara lain adalah:

1) Meningkatkan kesadaran akan rasa percaya diri.

2) Meningkatkan kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah.

3) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi situasi yang buruk.

4) Menumbuhkan dan meningkatkan komitmen dan tanggung jawab. 5) Mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi.

Sedangkan manfaat model experiential learning dalam membangun dan meningkatkan kerjasama kelompok antara lain adalah:

1) Mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antar sesama anggota kelompok.

(45)

3) Mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat tersembunyi dan kepemimpinan.

4) Meningkatkan empati dan pemahaman antar sesama anggota kelompok.

3. Pembelajaran Konvesional

Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah yang lazim diterapkan dalam pengajaran matematika. Konvensional adalah sebuah pembelajaran secara klasikal yang biasa digunakan oleh setiap pendidik untuk mendidik peserta didiknya. Dalam pembelajaran konvensional, guru memiliki peranan yang sangat penting. Guru dituntut untuk menjelaskan materi dari awal hingga akhir pelajaran untuk menjamin materi tersebut dapat dipahami oleh semua peserta didik, jadi pada proses pembelajaran konvensional lebih berpusat pada guru.

Pembelajaran konvensional menyebabkan peserta didik menjadi pasif dalam proses pembelajaran, karena pembelajaran yang berlangsung lebih berpusat pada guru dan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Hal ini menyebabkan kurangnya interaksi yang terjadi antara guru dengan peserta didik. Peserta didik lebih banyak mendengarkan, mencatat, dan akhirnya menghafal penjelasan yang diberikan oleh guru. Dalam proses pembelajaran peserta didik hanya sekali-kali bertanya mengenai hal-hal yang disampaikan oleh guru dan biasanya hal tersebut dilakukan oleh peserta didik yang sama. Sehingga proses pembelajaran yang berlangsung menjadi kurang efektif.

Menurut Nasution menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran biasa adalah:

1) Tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati dan diukur.

(46)

3) Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru.

4) Siswa umumnya pasif karena dominan mendengarkan uraian guru. 5) Dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus belajar dengan

kecepatan yang umum ditentukan oleh kecepatan guru mengajar. 6) Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif. 7) Diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja yang menguasai bahan

pelajaran secara tuntas, sebagian lain akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang gagal.

8) Guru terutama berfungsi sebagai penyalur pengetahuan (sebagai sumber informasi/pengetahuan). 27

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya dimana guru mendominasi kelas dengan metode ceramah dan tanya jawab, peserta didik hanya menerima saja apa yang disampaikan oleh guru, sehingga aktivitas peserta didik dalam pembelajaran menjadi pasif dan proses belajar peserta didik menjadi kurang bermakna.

Perbedaan antara experiential learning dengan pelatihan dan pengajaran konvensional direpresentasikan secara sederhana seperti pada tabel di bawah ini:28

Tabel 2.2

Perbedaan antara Experiential Learning dengan Pelatihan dan Pengajaran Konvensional

Pelatihan Konvensional Experiential Learning

Pelatihan terpusat/ terfokus dan teoritis. Pembelajaran terpusat/ terfokus dan benar-benar melakukannya.

Menentukan desain dan isi mata pelajaran yang tetap.

Kemunkinan terbuka dan fleksibel.

Untuk kebutuhan-kebutuhan eksternal (organisasi, ujian, dan sebagainya).

Untuk pertumbuhan dan penemuan internal.

Tranfer/ menjelaskan pengetahuan/ keterampilan.

Mengembangkan pengetahuan/

keterampilan/ emosi melalui pengalaman.

27

S. Nasution, Op. cit., h. 209-211.

28

(47)

Pengiriman/ fasilitasi yang terstruktur dengan tetap.

Tidak dikirimkan, minimal fasilitasi dan tidak tertsrukturkan.

Komponennya dapat diukur dengan ikatan waktu.

Tidak ada ikatan waktu, lebih susah untuk diukur

Cocok untuk kelompok dan hasil yang tetap. Terarah pada individu, hasilnya fleksibel.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1) Nanik Lestariningsih, dalam: Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning) pada Bioteknologi di SMP NEGERI 3 UNGARAN. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: hasil belajar siswa kelas IXD, IXE dan IXG diatas rata-rata KKM yang ditentukan di SMP N 3 Ungaran yaitu > 65. Rata-rata hasil belajar siswa kelas IXD adalah 91,54, kelas IXE adalah 86,28 dan kelas IXG adalah 91,42. Optimalnya nilai yang diperoleh kelas IXD, IXE dan IXG dipacu oleh laporan eksperimen dalam proses pembelajaran yang tinggi. Nilai rata-rata laporan eksperimen siswa yaitu 93,06 untuk kelas IXD dan kelas IXE, dan 90,59 untuk kelas IXG. Adanya eksperimen siswa yang tinggi memberikan efek yang positif terhadap tanggapan siswa pada proses eksperiential learning, siswa lebih tertarik, termotivasi, lebih aktif, lebih paham, dan materi lebih tersampaikan dan memberikan pengalaman. Kesimpulan hasil penelitian menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran berbasis pengalaman(experiential learning) pada materi bioteknologi di SMP N 3 Ungaran mampu mengoptimalkan hasil belajar dan aktivitas siswa.29

2) Erwan Sutarno, dalam: Penerapan Siklus Belajar Experintial Learning untuk Menigkatkan Kompetensi Dasar Fisika Siswa Kelas X di SMA N 2 Singaraja. Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: terjadi peningkatan nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor; dan juga peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan

29Nanik Lestariningsih, “Pe

(48)

modul praktikum fisika. Hasil analisis terhadap respon siswa menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif terhadap pembelajaran.30

3) Isah Cahyani, dalam: Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi Pembelajar BIPA. Universitas Pendidikan Indonesia.

Hasil penerapan metode Experiential Learning ditanggapi dalam bentuk angket mahasiswa satu kelas sebanyak 50 orang. Adapun tanggapan pembelajar terhadap penerapan EL pengajaran menulis yaitu pembelajar merasa termotivasi dan terdapat variasi metode sebanyak 50 orang. Hal ini menunjukkan bahwa 100% pembelajar menikmati penerapan metode EL dalam pengajaran menulis karena menyenangkan dan mereka dapat belajar bekerja sama serta saling mengenal teman, dan berbagi rasa serta dapat mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan.31

C. Kerangka Konseptual Intervensi Tindakan

Tujuan umum pendidikan matematika ditekankan untuk memiliki; kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.32 Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi karena dalam kegiatan memecahkan masalah matematika terangkum kemampuan matematika lainnya seperti; penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, pemahaman konsep, koneksi dan komunikasi siswa.

Experiential learning menyediakan kesempatan kepada siswa untuk

melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif, pengalaman mempunyai peranan sentral dalam proses belajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengajaran berdasarkan pengalaman memberikan para siswa

30

Erwan Sutarno, “Penerapan Siklus Belajar Experintial Learning untuk Menigkatkan Kompetensi Dasar Fisika Siswa Kelas X di SMA N 2 Singaraja, skripsi pada Fakultas MIPA Universitas Pendidikan Ganesha, (www.undiksha.ac.id). 06 Desember 2011, 13:25 WIB.

31

Isah Cahyani, Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi Pembelajar BIPA, 2011, (www.ialf.edu/kipbipa/papers/CahyaniIsah.doc). 06 Desember 2011, 13:30 WIB

32

(49)

seperangkat/rangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru. Experiential learning mengarahkan para siswa ke dalam eksplorasi yang alami dan investigasi langsung ke dalam suatu situasi pemecahan masalah/daerah mata pelajaran tertentu. Melalui model ini, siswa tidak hanya belajar tentang konsep materi belaka, akan tetapi dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk dijadikan sebagai suatu pengalaman. Hasil dari proses experiential

learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti

teori behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Seperti halnya proses pembelajaran kontekstual yang menghubungkan dan melibatkan siswa dengan dunia nyata, model ini pun lebih mengedepankan model connented knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata), dengan demikian pembelajaran dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan.

Experiential learning dilandasi juga oleh teori John Dewey, yakni

prinsip belajar sambil berbuat (learning by doing). Prinsip ini berdasarkan asumsi bahwa para siswa dapat memperoleh lebih banyak pengalaman dengan cara keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingkan dengan bila mereka hanya melihat materi/konsep. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, meningkat apabila guru menerima peranan non-intervensi.33

Dengan demikian, penggunaan model experiential learning dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

33

(50)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian yang

(51)

36

Penelitian ini bertempat di SMP Negeri 9 Kota Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Lontar Martil Perum. Serua Permai Pamulang dan dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2012/2013.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.1 Metode PTK berusaha mengkaji dan merefleksi suatu pendekatan atau strategi pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan proses dan produk pelajaran di kelas.

Prosedur pelaksanaan PTK terdiri dari rangkaian beberapa siklus yang berulang. Siklus adalah suatu putaran kegiatan yang beruntun yang kembali ke langkah semula.2 Setiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (action), pengamatan/observasi

(observation), dan refleksi (reflection). Setiap siklus dilaksanakan sesuai

dengan perubahan yang ingin dicapai berdasarkan indikator keberhasilan kerja. Berikut ini deskripsi dari empat tahap kegiatan yang tersebut:

a. Perencanaan (Planning)

Setelah mengamati kondisi real pembelajaran yang terjadi di kelas, kemudian peneliti mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang terjadi di kelas. Selanjutnya peneliti merencanakan tindakan apa yang akan dikenakan terhadap subjek penelitian. Pada tahap perencanaan meliputi kegiatan:

1

Suharsimi Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h.3.

2

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Peneliti dan Guru Membantu Siswa Saat Berdiskusi KelompokGambar 4.1
Gambar 4.2 Lingkaran yang Dibuat Siswa Saat Tahap Experience
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa penguasaan konsep perkembangan teknologi siswa kelompok eksperimen yang diberi perlakuan model CTL lebih baik dari- pada penguasaan konsep perkembangan tek-

Beranjak dari kenyataan yang ada maka penelitian tentang pasar uang yang ditinjau dari segi norma hukum Islam mencoba untuk mengetahui apakah mekanisme transaksi

Untuk lebih memahami tentang verba tidak beraturan kala lampau Perfekt, sebaiknya pembelajar bahasa Jerman perlu juga mempelajari pola perubahan bentuk verba tidak

Mencari korelasi antara data pengukuran langsung dengan hasil image processing, yaitu analisis korelasi antara berat buah dengan luas area objek dari citra,

keperawatan utama kerusakan interaksi sosial : Menarik diri diruang. arjuna RSJD

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2010, untuk melihat

Persetujuan ini berlaku juga untuk I.and Berlin, dengan ketentuan bahwa Pernerintah Republik Federal Jerman tidak rremberikan pernyataan yang berlawanan terhadap