• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji efek Antiinflamasi Ekstrak etil Asetat lumut hati Mastigophora diclados secara IN VIVO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji efek Antiinflamasi Ekstrak etil Asetat lumut hati Mastigophora diclados secara IN VIVO"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETIL ASETAT

LUMUT HATI Mastigophora diclados

SECARA IN VIVO

SKRIPSI

CHURMATUL WALIDAH

NIM : 109102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETIL

ASETAT LUMUT HATI Mastigophora diclados

SECARA IN VIVO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

CHURMATUL WALIDAH

NIM : 109102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Nama : Churmatul Walidah

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophora diclados secara In Vivo

Peneletian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web) Nees secara in vivo. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode remaserasi yang dipekatkan menggunakan vaccum rotary evaporator. Ekstrak kental dengan berbagai variasi dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB secara oral diberikan pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Asetosal digunakan sebagai kontrol positif dengan dosis 125 mg/KgBB secara oral. Penelitian ini menggunakan metode udem buatan pada telapak kaki tikus dengan induksi karagenan 1% sebanyak 0,2 mL sebagai penginduksi udem. Pada uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara setiap dosis dengan kontrol negatif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05) dan semua dosis ekstrak terdapat perbedaan bermakna dengan kontrol

positif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05). Dari semua kelompok uji pada

penelitian ini, kelompok yang mempunyai daya inhibisi udem terbesar adalah kelompok kontrol pembanding yaitu asetosal dengan daya hambat udemnya sebesar 76,35% pada jam kesatu diikuti dengan dosis 5 mg/KgBB dengan daya hambat 71,44% pada jam keenam.

(7)

vii

ABSTRACT

Name : Churmatul Walidah

Program Study : Pharmacy

Title : The Antiinflammatory Effect of Ethyl Acetate Extract

Liverwort Mastigophora diclados In Vivo.

The research was conducted in order to determine the antiinflammatory activity of the ethyl acetate extract of the liverwort Mastigophora diclados (Bird. Ex Web.) Nees in vivo. Extraction was performed by using a remaceration method which was concentrated by using a vacuum rotary evaporator . Variety doses of extract was 5 mg/kg, 10 mg/kg, 50 mg/kg, and 100 mg/kg body weight are orally given to the male albino rat strain Sprague dawley . Aspirin was used as positive control at 125 mg/Kg body weight dose given orally. This study used hind paw edema method by the injection of carrageenan with 0,2 mL of 1 % as an edematogenic agent. ANOVA analysis showed that there were significant differences between each doses of the extract with the negative control (ρ ≤ 0,05) and all doses of the extract are significant differences with the positive control (ρ ≤ 0,05). From all experimental groups in this study, the highest dose that could inhibit edema was a dose of positive control, aspirin 125 mg/Kg body weight, on 76,35% at first hour followed by dose of 5 mg/Kg body weight that could inhibit edema at sixth hour on 71,44%.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi,

Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah, serta inayah-Nya,

saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah, Jakarta.

Saya sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini,

sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan

Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah

meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan,

memberikan ilmu, masukan, dan saran, sejak proposal skripsi,

pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan skripsi.

2. Bapak Prof. DR. dr. (hc), M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Jurusan Program

Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan

pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Para laboran laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kemudahan dalam hal penggunaan alat dan bahan untuk

(9)

ix

6. Kedua Orang tua saya, ayahanda Ainul Huri dan ibunda Mushonnifah,

dan semua keluarga besar yang selalu memberikan dorongan moril, materil,

spiritual hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, semoga

segala amal dan jerih payah kalian semua mendapat balasan yang

sebaik-baiknya disisi Allah SWT.

7. Untuk sahabatku, Neneng Nurhalimah, yang tak pernah bosan memberikan

masukan, dukungan, doa dan semangat bagi penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan penelitian uji aktivitas, Ira, Migi, Widya,

Indah, Nida, Liza, Ota, yang telah membantu dalam segala hal yang

bersangkutan dengan hewan percobaan dari awal hingga akhir penelitian

serta tak henti memberikan semangat dan dukungan bagi penulis selama

proses penyelesaian skripsi.

9. Teman-teman farmasi angkatan 2009 khususnya EDTA-C yang

sama-sama berjuang bersama-sama selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan

ini.

10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut

membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna

tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati,

penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi

kalangan akademis dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa

farmasi, serta masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 28 November 2013

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

GAMBAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 2

1.3Tujuan ... 3

1.4Manfaat ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1Mastigophora diclados ... 4

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan ... 4

2.1.2 Kandungan Kimia ... 5

2.1.3 Aktivitas Biologis ... 5

2.2Simplisia ... 5

2.3Ekstrak ... 6

2.3.1 Ekstraksi ... 6

2.3.2 Ekstraksi dengan Pelarut ... 7

2.4Inflamasi ... 9

2.4.1 Definisi ... 9

2.4.2 Mekanisme ... 10

2.4.3 Jenis-jenis Inflamasi ... 11

2.4.4 Obat-obat Antiinflamasi ... 11

2.4.5 Asam Asetil Salisilat ... 12

2.4.6 Metode Uji Antiinflamasi ... 13

2.4.7 Karagenan ... 17

2.4.8 Natrium Karboksimetil Selulosa (Na CMC) ... 17

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2Alat dan Bahan ... 19

3.2.1 Alat ... 19

3.2.2 Bahan Penelitian ... 19

3.2.3 Bahan Kimia ... 20

(12)

xii

3.3Rancangan Prosedur Kerja ... 20

3.3.1 Preparasi Sampel ... 20

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 21

3.3.3 Penapisan Fitokimia ... 21

3.3.4 Uji Parameter Non-Spesifik Ekstrak ... 23

3.3.5 Uji Efek Antiinflamasi ... 23

3.4Analisis Data ... 28

BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 29

4.1.1Hasil Ekstraksi dari Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

4.1.2 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu ... 29

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

4.1.4 Hasil Uji Antiinflamasi ... 30

4.1.5 Hasil Uji Statistik ... 33

4.2 Pembahasan ... 34

BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Antiinflamasi ... 25

Tabel 4.1 Data Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

Tabel 4.2 Rata-rata Volume Udem ... 30

Tabel 4.3 Rata-rata Persen Udem ... 31

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi ... 10

Gambar 2.2 Struktur Kimia Asam Asetil Salisilat ... 12

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Rata-rata Volume Udem terhadap Waktu ... 31

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Persen Rata-rata Udem terhadap Waktu ... 32

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird.ex Web)

Nees ... 48 Lampiran 2 Perlakuan Hewan Uji pada Saat Penelitian ... 49 Lampiran 3 Hasil Uji Antiinflamasi ... 50 Lampiran 4 Determinasi Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird.ex Web)

Nees ... 52 Lampiran 5 Proses Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora

diclados ... 53 Lampiran 6 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophora diclados ... 54 Lampiran 7 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak Etil Asetat

Lumut Hati Mastigophora diclados ... 56 Lampiran 8 Aklimatisasi Hewan Percobaan ... 57 Lampiran 9 Skema Kerja Antiinflamasi ... 58 Lampiran 10 Perhitungan Dosis Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophora

diclados ... 59 Lampiran 11 Konversi Dosis Hewan ... 61 Lampiran 12 Perhitungan Dosis Asam Asetil Salisilat ... 62 Lampiran 13 Hasil Pengukuran Volume Udem Telapak Kaki Tikus Setelah

Diinduksi Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 63 Lampiran 14 Hasil Persentase Udem Telapak Kaki Tikus Setelah Diinduksi

Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 65 Lampiran 15 Hasil Persentase Inhibisi Udem Telapak Kaki Tikus Setelah

Diinduksi Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 67 Lampiran 16 Perhitungan Persen Udem dan Persen Inhibisi Udem Telapak

Kaki

Tikus ... 69 Lampiran 17 Hasil Statistik Uji Efek Antiinflamasi dengan Metode Udem

(16)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa,

yaitu sekitar 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300

diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Rustam, et al., 2007). Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan obat adalah tumbuhan tingkat

rendah yaitu lumut hati.

Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk ke dalam

divisi bryophyta. Informasi kajian flora tingkat rendah seperti bryophyta masih belum banyak diinformasikan, berbeda dengan flora tingkat tinggi yang

sudah banyak dipublikasikan (Immamuddin, 2006).

Lumut hati dengan beragam filum yang kecil, merupakan

rumput-rumputan yang diperkirakan terdiri dari sekitar 5.000 spesies. Tanaman ini

membentuk spora dan dapat tumbuh hampir di semua habitat yang

tersedia, terutama di lokasi yang lembab. Lumut hati dibedakan dari

kelas-kelas tumbuhan lumut lainnya karena adanya minyak tubuh (oil bodies), yang mampu mensintesis senyawa yang larut lemak seperti asetogenin,

terpenoid dan senyawa aromatik, sementara yang lainnya tidak (Ludwiczuk

& Asakawa, 2010). Lumut hati memiliki badan minyak (oil bodies) sebagai penanda yang sangat penting untuk klasifikasi lumut hati tersebut.

Beberapa kandungan kimia dari lumut hati merupakan senyawa yang khas

bagi kelas ini dan menunjukkan berbagai aktivitas biologis yang menarik,

seperti antimikroba, sitotoksik, antioksidan dan sejumlah enzim yang

bekerja sebagai inhibitor serta memiliki aktivitas yang merangsang apoptosis

(Komala, 2010).

Dalam penelitian sebelumnya, Komala, et al. (2010) telah melaporkan bahwa tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti mengandung senyawa-senyawa fenolik seskuiterpenoid

(17)

2

dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik, antioksidan, dan antimikrobial.

Antioksidan bekerja dapat menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai

mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner,

inflamasi, artitis, diabetes dan penuaan (Ali et al., 2011). Maka dapat diasumsikan bahwa tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados yang tumbuh di Indonesia memiliki kandungan kimia yang hampir sama dengan

Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti dan ada kemungkinan mempunyai aktivitas antiinflamasi.

Rasa nyeri dan peradangan (inflamasi) merupakan gejala penyakit

atau kerusakan yang paling sering terjadi yang disebabkan karena suatu

kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan yang diikuti dengan

pembebasan dan pembentukan bahan mediator, seperti prostagladin, histamin,

serotonin dan bradikinin (Tjay, 2007).

Pada penelitian sebelumnya, Purnamasari (2013) melaporkan bahwa

terdapat aktivitas antiinflamasi pada ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados dengan menggunakan metode pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan

sebagai penginduksi udem pada dosis ekstrak 0,1 mg/kgBB, 1mg/kgBB, 10

mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 1000 mg/kgBB. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian lanjutan mengenai efek antiinflamasi lumut hati Mastigophora diclados ekstrak etil asetat dengan cara maserasi bertingkat, diawali dengan pelarut non polar (n heksan) kemudian dilanjutkan dengan pelarut semi polar

(etil asetat). Ekstrak yang diujikan adalah ekstrak etil asetat dengan tujuan

untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas antiinflamasi pada ekstrak semi

polarnya.

1.2Rumusan Masalah

Apakah ekstrak etil asetat dari lumut hati Mastigophora diclados mempunyai efek antiinflamasi secara in vivo?

(18)

3

1.3Tujuan

Untuk menguji aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat dari lumut hati

Mastigophora diclados secara in vivo pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dan metode induksi karagenan.

1.4Manfaat

1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan data ilmiah mengenai efek

antiinflamasi ekstrak etil asetat dari lumut hati Mastigophora diclados.

2) Secara Metodologi

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui pengujian

aktivitas antiinflamasi dengan menggunakan metode induksi karagenan

pada kaki tikus.

3) Secara Aplikatif

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bahwa

tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados merupakan bahan obat dengan aktivitas antiinflamasi, sehingga dapat mendukung penggunaan

(19)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mastigophora diclados

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan lumut hati mastigophora menurut Crandall et al. (2008) adalah :

Kingdom : Plantae

Phylum : Marchantiophyta

Class : Jungermanniopsida

Order : Jungermanniales

Suborder : Lophocoleineae

Family : Mastigophoraceae

Genus : Mastigophora Nees. Species : M. diclados (Brid.) Nees

2.1.2 Kandungan Kimia

Menurut Asakawa (2007), berdasarkan kandungan kimianya,

mastigophoraceae dan herbertaceae memiliki kesamaan, karena

sama-sama menghasilkan senyawa seskuiterpenoid herbertan sebagai

komponen utamanya.

Asakawa et al. (2004) mengemukakan bahwa dari pemeriksaan GC / MS ekstrak eter M. diclados (Brid. Ex F. Weber) Nees dari Borneo menunjukkan adanya senyawa herbertene, herbertenol,

herbertene-2,3-diol dan herbertene-1 ,2-diol. Dalam koleksi sebelumnya

dari M.diclados Malaysia Timur, selain herbertanes, herbertane dimer, juga ditemukan senyawa pada mastigophorenes A-D. Spesies di

Malaysia Barat tidak menghasilkan herbertanes, melainkan jenis

(20)

5

siklik diklorinasi bis-bibenzyls, dimana tidak ada diterpenoids dan

dimer herbertane yang telah terdeteksi.

Menurut Asakawa (2004), data ini menunjukkan bahwa

setidaknya ada tiga ras geografis M. diclados di Asia, tipe bis-bibenzyl di Jepang, jenis mastigophorene di borneo (Malaysia Timur), dan jenis

pimarane serta turunan pimarane trachylobane diterpenoid di Taiwan

dan Malaysia Barat.

2.1.3 Aktivitas Biologis

M. diclados memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel HL-60 dan KB, antioksidan, dan aktivitas antimikrobial terhadap Bacillus subtilis (Komala, 2010 ; Komala, et al., 2010)

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan

belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan

yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati,

simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah

simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat

tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari

tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya

dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).

2.3 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan

pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan

dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga

(21)

6

Faktor-faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah :

1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),

dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi

tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan

dan bagian yang digunakan (Depkes RI, 2000).

2. Faktor kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),

dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi

kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat

ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam

berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang

dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan

pelarut cair (Depkes RI, 2000).

Kelarutan dan stabilitas senyawa pada simplisia terhadap

pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman

dipengaruhi oleh struktur kimia yang berbeda-beda (Depkes RI, 2000).

Simplisia yang lunak seperti rimpang, akar dan daun mudah

diserap oleh pelarut, sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu

diserbuk sampai halus. Sedangkan simplisia yang keras seperti biji,

kulit kayu, dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu

diserbuk sampai halus. Selain sifat fisik dan senyawa aktif dari

simplisia, senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia seperti

protein, karbohidrat, lemak dan gula juga harus diperhatikan (Depkes

(22)

7

2.3.2 Ekstraksi dengan Pelarut

Dengan menggunakan metode penyarian atau pelarut dalam

ekstraksi dapat dibedakan macam-macam cara ekstraksi diantaranya:

a. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara

teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik

berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus).

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan

seterusnya. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang

tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan

(Depkes RI, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari

tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya

1-5 kali bahan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih

(23)

8

b. Cara Panas

1. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah

pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin

balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

2. Soxhletasi

Soxhletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut

yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus

sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif

konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 2000).

3. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur

ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur

40-50oC (Depkes RI, 2000).

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama

waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan

untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air

dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan

zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan

kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak

(24)

9

5. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari

30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI,

2000).

2.4Inflamasi

2.4.1 Definisi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat

vaskular terjadi karena rangsangan eksogen dan endogen.

Peradangan adalah respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan

disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen

mikrobiologis yang berupaya untuk menonaktifkan atau

menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang

merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi

Biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan tapi

kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin

jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga dapat

berakibat fatal (Sen, et al., 2010).

2.4.2 Mekanisme

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan

mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel

maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang

diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut

bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya

siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam

arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan

endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrin,

prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan

leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan

(25)

10

Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi

(Katzung, 2006)

Saat berlangsungnya feomena inflamasi ini banyak mediator

kimiawi yang dilepaskan secara lokal seperti histamin,

5-hidroksitriptamin (5HT) atau serotonin, faktor kemotaktik, bradikinin,

leukotrien, dan prostaglandin (Utami, 2011).

2.4.3 Jenis-jenis Inflamasi

Umumnya peradangan terbagi menjadi dua jenis yaitu

peradangan akut dan peradangan kronis (Sen et al., 2010).

Reaksi inflamasi terurai oleh mekanisme yang berbeda dan

terjadi pada fase seperti:

a) fase akut : vasodilatasi lokal sementara dan peningkatan

permeabilitas kapiler

b) fase sub-akut : Infiltrasi leukosit dan fagositosis sel

(26)

11

Peradangan akut adalah tanggapan awal dari tubuh mengambil

faktor risiko seperti infeksi atau trauma dan lain-lain, ini adalah garis

tidak spesifik dan pertahanan pertama tubuh terhadap bahaya. Fitur

utama dari peradangan akut termasuk :

a) akumulasi cairan dan plasma di lokasi yang terkena dampak

b) aktivasi intravaskular datar atau memungkinkan

c) polymorph-nuklir neutrofil sebagai sel inflamasi (Sen et al., 2010).

Ketika faktor-faktor risiko memperpanjang dan tidak dihapus,

akan terjadi peradangan akut dan kemudian akan berubah menjadi

peradangan kronis. Hal ini terjadi untuk durasi yang lebih lama dan

terkait dengan adanya makrofagen, limfosit, sel darah proliferasi,

fibrosis dan nekrosis jaringan. Para makrofagen menghasilkan

sejumlah macam produk biologis aktif yang menyebabkan

kerusakan jaringan dan karakteristik fibrosis peradangan kronis (Sen

et al., 2010).

2.4.4 Obat-obat Antiinflamasi

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi

terbagi ke dalam golongan :

a) Antiinflamasi Steroid

Obat ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu

enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam

arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah:

prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason

(Katzung, 2006).

b) Antiinflamasi Non Steroid

Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase

sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi

terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah : aspirin, ibuprofen,

indometasin, diklofenak, fenilbutazon, dan pirosikam (Katzung,

(27)

12

2.4.5 Asam Asetil Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan aspirin atau

asetosal adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang luas

digunakan dan digolongkan dalam obat bebas (Gunawan, 2009).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Asam Asetil Salisilat

(Gunawan, 2009)

Asam asetil salisilat bekerja menghambat enzim siklooksigenase

secara irreversibel (prostagladin sintetase), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida. Pada

dosis yang tepat obat ini akan menurunkan pembentukan prostagladin

maupun tronboksan A2, tetapi tidak leukotrien (Gunawan, 2009).

Efek samping dari asam asetil salisilat adalah terjadinya

gangguan pada lambung (gastritis), pendarahan saluran cerna, muntah,

tinusitus, penurunan pendengaran, vertigo, meningkatkan kadar asam

urat serum dan hepatitis ringan (Gunawan, 2009).

2.4.6 Metode Uji Antiinflamasi

1. UV-Eritema pada Hewan Babi

Level prostaglandin E (PGE) pada kulit babi telah

menunjukkan adanya peningkatan selama 24 jam setelah terpapar

radiasi UV 280-320 nm. Perkembangan dari peningkatan level

PGE sejalan dengan perkembangan fase perlambatan terjadinya

eritema. Perlambatan terjadinya UV-eritema pada hewan

(28)

13

dengan fenilbutazon dan obat-obat NSAID lainnya. Eritema

adalah tanda awal terjadinya inflamasi yang nantinya akan muncul

tanda lainnya yakni eksudasi plasma dan terjadinya edema (Patel,

et al., 2012).

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap

eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Hewan

percobaan dihilangkan bulu menggunakan suspensi barium sulfat.

Dua puluh menit kemudian dibersihkan menggunakan air panas.

Hari berikutnya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya

diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengah dosisnya

lagi diberikan setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema

dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm di atas hewan.

Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2002).

2. Permeabilitas Vaskular

Selama terjadinya inflamasi, permeabilitas vaskular

meningkat sehingga memungkinkan komponen-komponen plasma

seperti antibodi dan komponen lain menyebabkan luka atau infeksi

jaringan. Uji digunakan untuk mengevaluasi aktivitas

penghambatan obat terhadap peningkatan permeabilitas vaskular

dengan induksi radang. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrin dilepaskan selama stimulasi

terhadap sel mast. Hal ini digunakan untuk mendilatasi arteriola

dan venula dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebagai

konsekuensinya, cairan dan protein plasma dikeluarkan dan

ternetuklah edema. Peningkatan permeabilitas dapat dikenali

dengan infiltrasi dari injeksi pada kulit hewan percobaan dengan

(29)

14

3. Induksi Oxazolon pada Telinga Mencit

Metode ini adalah model penurunan kontak hipersensitivitas

yang memungkinkan adanya evaluasi secara kuantitatif dari

aktivitas antiinflamasi sistemik dan topikal dari pemberian

senyawa-senyawa secara topikal. Oxazolon meningkatkan level

Th2 sitokin dan menurunkan level Th1 sitokin pada kulit yang

mengalami luka. Th2 sitokin, terutama IL-4, berperan penting pada

perkembangan dermatitis pada metode ini (Patel, et al., 2012).

Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0,01 ml 2%

larutan oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam24

jam. Kemudian hewan dikorbankan dengan anastesi lalu dibuat

preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi

indikator inflamasi udem (Vogel, 2002).

4. Edema Minyak Croton pada Tikus dan Mencit

Minyak croton mengandung 12-o-tetracanoilphorbol-13-asetat (TPA) dan ester probol yang lain sebagai agen iritasi utama.

TPA mampu mengaktivasi protein kinase C (PKC), yang mampu

mengaktivasi enzim lain seprti mitogen activated protein kinases (MPAK) dan phospholipase A2 (PLA2) yang menstimulasi

pelepasan platelet activation factor (PAF) dan AA. Hal ini menstimulasi permeabilitas vaskular, vasodilatasi,

polymorphonuclear leukocytes migration, pengeluaran histamin dan serotonin dan sintesis moderat dari inflammatory eicosanoids oleh enzim siklooksigenase (COX) dan 5-lipooksigenase (5-LOX).

Inhibitor COX dan 5-LOX, antagonis leukotrin B4 (LTB4) dan

kortikosteroid menunjukkan efek antiinflamasi secara topikal

(30)

15

5. Induksi Radang Pada Tikus

Kemampuan obat-obat antiinflamasi untuk menghambat

radang pada telapak kaki tikus setelah diinjeksikan agen

penginduksi radang. Beberapa senyawa penginduksi radang (iritan)

telah digunkan, misalnya brewer’s yeast, formaldehid, dextran, egg albumin, kaolin, aerosil, sulfated polysaccharides like carrageenan atau naphthoylheparamine. Volume telapak kaki tikus diukur

sebelum dan sesudah diinjeksikannya senyawa penginduksi radang

dan tikus yang diberi perlakuan dibandingkan hasilnya dengan

tikus yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dengan menggunakan

pletismograf. Induksi radang dengan karagenan berhubungan

dengan 3 fase, yakni pada fase pertama terjadi degranulasi oleh sel

mast sehingga terjadilah pelepasan histamin dan serotonin (1 jam),

fase kedua (60-150 menit) dikarakterisasi oleh pelepasan bradikinin

dan nyeri serta produksi eikosanoid pada fase terakhir (3-4 jam)

(Patel, et al., 2012).

6. Uji Pleura

Dapat digunakan beberapa iritan, seperti histamin, bradikinin,

prostaglandin, degranulator sel mast, dextran, enzim, antigen,

mikroba, dan iritan non spesifik seperti turpentin dan karagenan.

Induksi karagenan pada tes pleura ini merupakan metode yang

paling baik untuk pengukuran inflamasi akut dimana metode ini

mampu dengan mudah untuk mengukur fluid extravasation, migrasi leukosit, dan beberapa parameter biokimia yang termasuk

dalam respon inflamasi (Patel, et al., 2012).

Prosedur untuk pengujian ini adalah pleura tikus mula-mula

diinduksi dengan injeksi intrapleural 0,1 mL karagenan 1%.

Setelah 4 jam, hewan tersebut dibunuh dengan pemberian eter

(31)

16

pleura tersebut diambil dan dideterminasi exudasi,

myeloperoksidase, aktivitas adenosin deaminase, dan level nitrat

oksida sebagaimana pada determinasi dari total perhitungan

leukosit. Hitung leukosit total dilakukan dengan Neubauer chamber (Patel, et al., 2012).

7. Teknik Pembentukan Kantong Granuloma

Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa iritan

secara subkutan pada hewan percobaan. Granulasi jaringan mulai

membelah dan akan terus membelah sampai menutupi bagian

dalam kantong granuloma. Jaringan ini terdiri dari fibroblas, sel-sel

endotel, dan infiltrasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear.

Pada GPA, jaringan yang terus tumbuh ini dapat mengarah menjadi

senyawa karsinogenik dan mutagenik. Salah satu keuntungan dari

teknik ini adalah kemungkinan untuk membawa senyawa uji untuk

kontak langsung dengan sel target dengan menginjeksikannya pada

kantong granuloma. Senyawa dapat diberikan per oral atu injeksi

parenteral (Patel, et al., 2012).

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang

terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk

pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit

abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi

berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat

radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul

granuloma (Vogel, 2002).

2.4.7 Karagenan

Karagenan adalah polimer linear yang tersusun dari sekitar

25.000 turunan galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber

dan kondisi ekstraksi. Karagenan dikelompokkan menjadi 3 kelompok

(32)

17

pistillataatau atau Chondrus crispus, yang dapat larut dalam air dingin (Annis Hidayati, 2008). Sedangkan karagenan kappa dan iota larut dalam air pada suhu 800C (Rowe, et al., 2006).

Karagenan sebagai suatu turunan polisakarida akan dikenali

tubuh sebagai suatu substansi asing sehingga mampu menginduksi

terjadinya edema melalui berbagai mekanisme. Karagenan akan

merangsang fosfolipida membran sel mast yang terdapat di jaringan

ikat di sekitar telapak kaki tikus untuk mengeluarkan asam arakidonat

dengan bantuan enzim fosfolipase A2 sehingga menghasilkan berbagai

macam produk mediator inflamasi dengan bantuan Radical Oxygen Spesies (Nuswantoro, 2011).

Setelah pelepasan mediator inflamasi, terjadi edema yang

mampu bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam

waktu 24 jam setelah injeksi (Hidayati, 2008).

Uji aktivitas antiinflamasi dengan metode induksi karagenan

merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antiinflamasi yang

sederhana, mudah dilakukan dan sering dipakai. Selain itu,

pembentukan radang oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan

jaringan (Fitriyani, 2011). Karagenan digunakan sebagai penginduksi

inflamasi karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain

tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas,

memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi

(Vogel, 2002).

2.4.8 Natrium Karboksimetil Selulosa (Na CMC)

CMC adalah polisakarida anionik linear yang larut dalam air

dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk

CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir

bebas, tidak berasa, dan tidak berbau. Fungsi dasar CMC adalah untuk

mengikat air, menstabilkan komponen lain, dan mencegah pengerutan

(33)

18

Natrium CMC adalah garam dari asam karboksilat. Pada pH

3.0 atau lebih rendah,CMC akan kembali menjadi bentuk asam bebas

tidak larut. Sifat yang paling berguna dari CMC adalah daya

pengentalannya. Viskositas larutan hampir tidak terpengaruh pada pH

5−7, pada pH<3 viskositas mungkin meningkat dan pengendapan bentuk asam bebas dari CMC dapat terjadi, pada pH>10 terjadi sedikit

penurunan viskositas. Viskositas larutan CMC menurun dengan

(34)

19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi (Laboratorium

Penelitian I) dan Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret – Agustus 2013.

3.2Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

neraca analitik, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, spatula, kertas

saring, batang pengaduk, kaca arloji, cawan penguap, pipet tetes,

lumpang dan stamper, blender, vaccum rotary evaporator, krus, desikator, oven, spuit, sonde, stopwatch, kandang tikus, timbangan

hewan, pletsimometer, sarung tangan, masker, alumunium foil, label,

kapas.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

lumut hati Mastigophora diclados (mastigophoraceae) yang diambil di pohon batang pinus dan batang agathis pada ketinggian 800 m

blok 55, Gunung Slamet, Purwokerto, sebanyak 2,220 kg basah,

serbuk kering (simplisia) 2,203 kg, simplisia yang digunakan dalam

ekstraksi sebanyak 2,103 kg dengan warna hijau dan bau khas

(35)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan untuk uji efek antiinflamasi yang digunakan adalah

karagenan jenis kappa untuk induksi radang yang diperoleh dari Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan

Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, asam asetil salisilat sebagai zat

pembanding diperoleh dari Laboratorium Penelitian Kimia Obat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, natrium karboksimetil selulosa (Na CMC), dan NaCl

fisiologis 0,9%.

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah n-heksan, etil

asetat. Sedangkan bahan untuk penapisan fitokimia adalah kloroform,

amonia, pereaksi dragendorf, pereaksi meyer, HCl, H2SO4, FeCl3,

NaOH, etil asetat dan aquadest.

3.2.4 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan strain

Sprague Dawley umur 2-3 bulan dengan bobot badan berkisar antara 200-250 g (Widiyantoro, 2012). Hewan tersebut diperoleh dari

Gajah Mada Veterinary (Gamavet), Yogyakarta yang disimpan dalam

kandang tikus pada suhu ruang, lampu dalam keaadaan hidup selama

12 jam dan lampu keadaan mati selama 12 jam, diberikan

makanan standar dan diberikan minum air.

3.3Rancangan Prosedur Kerja

3.3.1 Preparasi Sampel

1) Pengumpulan dan penyediaan lumut hati Mastigophora diclados. 2) Lumut hati Mastigophora diclados disortasi basah, dicuci dengan

air sampai bersih, dikeringanginkan dalam ruangan, disortasi

kering, ditimbang kemudian dihaluskan dengan blender hingga

(36)

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.2 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora

diclados

Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados dilakukan dengan cara remaserasi bertingkat, diawali dengan perendaman menggunakan pelarut n-heksan, kemudian etil asetat, dan

terakhir metanol. Campuran bubuk daun dan pelarut tersebut

dimaserasi /direndam sampai diperoleh filtrat jernih (Asmaliyah,

2010). Pada penelitian ini yang diambil adalah ekstrak etil asetat. Oleh

karena itu, setelah dimaserasi dengan etil asetat, maserat disaring dan

dipekatkan dengan rotary evaporator. Dihitung hasil % rendemen ekstrak dengan rumus :

% rendemen ekstrak = Bobot ekstrak yang didapat

Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi

x

100%

3.3.3 Penapisan Fitokimia (Ayoola, et al., 2008)

1. Uji Antraquinon

Sejumlah ekstrak didihkan bersama asam sulfat (H2SO4) lalu

disaring selagi hangat. Filtrat yang dihasilkan ditambah dengan 5

mL kloroform dan dikocok. Lapisan kloroform dipipet dan

dimasukkan kedalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan 1

mL ammonia. Perubahan warna yang terjadi pada larutan

mengindikasikan adanya antraquinon.

2.Uji Terpenoid

Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 2 mL kloroform.

Kemudian dengan hati-hati ditambahkan H2SO4 pekat (3 mL)

sampai membentuk lapisan. Terbentuknya warna merah

(37)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Uji Flavonoid

Tiga metode yang digunakan untuk menguji flavonoid.

1) Amonia encer (5 mL) ditambahkan ke sebagian filtrat

encer dari ekstrak. Kemudian asam sulfat pekat (1 mL)

ditambahkan. Sebuah warna kuning yang hilang

menunjukkan adanya flavonoid.

2) Beberapa tetes larutan aluminium 1% ditambahkan ke

sebagian dari filtrat. Terbentuknya warna kuning

menunjukkan adanya flavonoid.

3) Sebagian dari ekstrak dipanaskan dengan 10 mL etil asetat

yang telah diuapkan selama 3 menit. Campuran kemudian

disaring dan 4 mL filtrat dikocok dengan penambahan 1

mL larutan amonia encer. Terbentuknya warna kuning

menunjukkan adanya flavonoid.

4. Uji Saponin

Sejumlah ekstrak ditambahkan 5 mL aquades dalam

tabung reaksi. Larutan dikocok kuat dan diamati. Terbentuknya

busa stabil menunjukkan adanya saponin.

5. Uji Fenolik

Sejumlah ekstrak dalam 10 mL air dididihkan dalam

tabung reaksi kemudian disaring. beberapa tetes besi klorida

0,1% ditambahkan dan diamati, terbentuknya warna hijau

kecoklatan atau biru-hitam menunjukkan adanya fenolik.

6. Uji Alkaloid

Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam asam klorida encer,

dipanaskan kemudian disaring. 5 mL filtrat ditambahkan dengan 2

mL amonia dan 5 mL kloroform, dikocok. Lapisan kloroform

(38)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Uji Mayer : Filtrat diberi reagen mayer, terbentuknya

endapan berwarna kuning menunjukkan adanya alkaloid.

2. Uji Dragendroff : Filtrat diberikan reagen dragendroff,

terbentuknya endapan merah menunjukkan adanya alkaloid.

3.3.4 Uji Parameter Non-Spesifik Ekstrak (Depkes RI, 2000)

1. Uji Kadar Air

Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselen

bertutup yang sebelumnya telah ditara. Krus yang berisi ekstrak

kemudian dikeringkan pada suhu 1050C selama 5 jam dan

ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1

jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak

lebih dari 0,25%.

2. Uji Kadar Abu Total

Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang

telah ditara, dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,

didinginkan, ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat

dihilangkan, ditambahkan air panas, disaring melalui kertas saring

bebas abu. Dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan

ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap,

ditimbang. Dihitung kadar abu total terhadap bahan yang telah

dikeringkan di udara.

3.3.4 Uji Efek Antiinflamasi

Uji aktivitas antiinflamasi atau anti radang dilakukan

berdasarkan kemampuan ekstrak/fraksi/senyawa aktif mengurangi

atau menekan derajat udema (pembengkakan karena radang) yang

diinduksi zat penyebab radang pada hewan percobaan (Widiyantoro

(39)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada penelitian ini, induksi udema dilakukan pada kaki tikus

dengan cara penyuntikan suspensi karagenan 1% 0,2 mL intraplantar.

a. Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari dosis

yang mempunyai efek terhadap hewan percobaan. Dosis yang

diberikan untuk percobaan pendahuluan adalah 10, 100, dan

1000 mg/kg BB. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa

dosis 1000 mg/kg BB menyebabkan kematian semua hewan coba

dalam satu kelompok dalam kurun waktu 24 jam. Sedangkan pada

dosis 10 dan 100 mg/kg BB mampu menunjukkan efek positif

dan setelah dianalisa secara statistik hasil hambat udem dari

kedua dosis belum menunjukkan perbedaan yang bermakna

pada taraf uji statistik 0,05 (ρ ≥ 0,05), maka dilakukan pengujian lagi dengan penurunan dosis di bawah dosis 100 mg/kg

BB, yaitu dosis 50 mg/kg BB dan penurunan dosis di bawah dosis

10 mg/KgBB, yaitu dosis 5 mg/Kg BB.

b. Pengelompokan Hewan Percobaan

Jumlah hewan percobaan yang digunakan menurut WHO

adalah 5 ekor untuk tiap kelompok. Dalam penelitian ini

digunakan 5 ekor tikus untuk masing-masing kelompok.

Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok, dimana

masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus dengan rincian sebagai

(40)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Antiinflamasi

Kelompok Jumlah Tikus Perlakuan

1 5 Kelompok kontrol negatif : diberi suspensi Na CMC 0,5 %

2 5

Kelompok kontrol positif : diberi suspensi asetosal dalam Na CMC 0,5%

3 5

Kelompok uji 1: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 5 mg/kg BB

4 5

Kelompok uji 2: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 %dengan dosis 10 mg/kg BB

5 5

Kelompok uji 3: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 50 mg/kg BB

6 5

Kelompok uji 4: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 100 mg/kg BB

c. Penyiapan Hewan Percobaan

Tikus dipuasakan selama lebih kurang 18 jam sebelum

perlakuan, namun air minum tetap diberikan. Pada awal penelitian,

tiap tikus diberi tanda dengan spidol pada sendi belakang kiri, agar

(41)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tiap tikus ditimbang. Volume kaki tikus diukur dan dicatat sebagai

volume dasar untuk tiap tikus (Fitriyani, 2011).

d. Perencanaan Dosis Asetosal

Dosis lazim asetosal untuk manusia adalah 325-650 mg untuk

sekali pakai. Untuk dosis analgetik adalah 500 mg sekali pakai.

Dosis asetosal sebagai antiinflamasi 2-3 x dosis analgetik (Tjay,

2007). Maka dosis untuk antiinflamasi (1000-1500) mg. Dosis

yang dapat diberikan pada tikus (200 g) dihitung menggunakan

rumus tabel konversi dosis hewan (Reagan-Shaw, et al., 2007) (Lampiran 12)

Pada penelitian ini digunakan asetosal dengan dosis 25

mg/200 g atau 125 mg/kgBB.

e. Pembuatan Suspensi Asetosal

Untuk dosis 25 mg/200 g atau 125 mg/kgBB, asetosal

ditimbang sebanyak 625 mg, digerus perlahan dalam lumpang,

kemudian ditambahkan sebagian NaCMC 0,5% diaduk sampai

homogen dan ditambahkan Na CMC 0,5% sampai volume 25 mL.

f. Pembuatan Suspensi Bahan Uji

Ekstrak lumut hati Mastigophora diclados dibuat dalam sediaan suspense Na CMC 0,5%. Konsentrasi ekstrak pada dosis 5

mg/KgBB adalah 1 mg/mL, pada dosis 10 mg/KgBB adalah 2

mg/mL, pada dosis 10 mg/KgBB adalah 10 mg/mL, pada dosis 50

mg/KgBB adalah 20 mg/mL (Lampiran 10)

Untuk dosis 5 mg/KgBB, ditimbang sebanyak 10 mg ekstrak,

didispersikan dalam suspensi Na CMC 0,5% yang telah dibuat

sebelumnya, dicampur sampai homogen dan dicukupkan sampai 10

(42)

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

g. Pembuatan Karagenan 1% (b/v)

Karagenan 1% dibuat dengan melarutkan 100 mg karagenan

dalam 10 mL larutan fisiologis (NaCl 0,9%) (Annis Hidayati,

2008).

h. Prosedur Uji Efek Antiinflamasi (Patel, 2011)

1. Hewan percobaan (tikus putih) diaklimatisasi dalam ruang

penelitian selama 4 minggu dan dipuasakan selama lebih

kurang 18 jam sebelum perlakuan dan tetap diberi minum.

2. Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok (kelompok kontrol

negatif, kelompok kontrol positif, kelompok uji 1, kelompok

uji 2, kelompok uji 3, dan kelompok uji 4) secara acak, dimana

masing masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus.

3. Setiap tikus diberi tanda dengan spidol pada sendi belakang

kiri, agar pemasukan kaki dalam air raksa setiap kali selalu

sama.

4. Menimbang berat badan setiap tikus.

5. Mengukur volume kaki tikus (sebagai volume dasar untuk

setiap tikus) dengan pletismometer.

6. Pada kelompok kontrol negatif diberikan Na CMC 0,5 %,

pada kelompok kontrol positif diberikan suspensi asetosal

dalam Na CMC 0,5%, dan pada kelompok uji diberikan zat uji

ekstrak dalam Na CMC 0,5% sesuai dosis yang direncanakan

secara oral.

7. 1 jam setelah pemberian suspensi zat uji atau suspensi kontrol,

disuntikkan larutan karagenan 1% pada telapak kaki tikus

sebanyak 0,2 mL setelah sebelumnya kaki tikus dibersihkan

dengan alkohol 70%.

8. Volume kaki tikus yang telah disuntik karagenan 1% dalam

larutan NaCl 0,9% diukur dengan alat pletismometer dengan

cara mencelupkan telapak kaki tikus ke dalam alat tersebut

(43)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

selama 6 jam yaitu pada jam ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, dan

ke-6 (Buadonpri, 2009).

9. Mengukur volume udem telapak kaki masing-masing tikus.

10.Menghitung persentase udem dan persentase inhibisi

pembentukan udem dengan rumus :

 Perhitungan persentase radang tiap waktu ditentukan

dengan rumus sebagai berikut (Hidayati, 2008) :

% radang = Vt − Vo

Vo x 100%

Dimana :

Vt = volume telapak kaki tikus pada waktu t

Vo= volume telapak kaki tikus sebelum injeksi

karagenan

 Persentase inhibisi radang dihitung dengan rumus sebagai

berikut (Rustam, 2007):

% inhibisi radang = ( − )x 100%

Dimana :

a = volume udem pada kelompok hewan kontrol

b = volume udem pada kelompok hewan uji

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk

melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat

homogenitas data. jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka

dilanjutkan dengan uji Analisis Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf

kepercayaan sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh

bermakna atau tidak. jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan

(44)

29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 Hasil Ekstraksi dari Lumut Hati Mastigophora diclados

Dari 2,103 kg lumut hati Mastigophora diclados yang diekstraksi, diperoleh ekstrak kental 41,78 g. Jadi rendemen yang didapat adalah

1,98 %.

4.1.2 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak

Dari hasil uji kadar air ekstrak didapatkan bahwa kadar air ekstrak

etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 0,47% dan hasil uji kadar abu didapatkan bahwa kadar abu ekstrak etil asetat lumut hati

Mastigophora diclados sebesar 10%.

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat lumut hati

Mastigophoradiclados

Tabel 4.1 Data Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophoradiclados

Pengujian Ekstrak etil asetat lumut

hati Mastigophoradiclados

Antraquinon -

Terpenoid +

Flavonoid -

Saponin -

Fenolik -

(45)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk gambar hasil penapisan fitokimia ekstrak etil asetat lumut

hati Mastigophoradiclados dapat dilihat pada lampiran 6.

4.1.4 Hasil Uji Antiinflamasi

1) Rata-rata volume udem telapak kaki tikus setelah diinduksi

karagenan pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.2 Rata-rata Volume Udem (mL)

Kelompok Rata-rata Volume Udem (mL) ± SD tiap 1 jam selama 6 jam

(46)

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.1. Grafik hubungan rata-rata volume udem terhadap waktu

2) Rata-rata persen udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan

pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.3 Rata-rata Persen Udem

Kelompok Persen Rata-rata Udem (%) ± SD tiap 1 Jam Selama 6 Jam

(47)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.2 Grafik hubungan persen rata-rata udem terhadap waktu

3) Rata-rata persen inhibisi udem telapak kaki tikus setelah diinduksi

karagenan pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.4 Rata-rata Persen Inhibisi Udem

Kelompok Persen Inhibisi Udem (%) ± SD tiap 1 Jam Selama 6 Jam

(48)

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.3 Grafik hubungan persen rata-rata inhibisi udem terhadap waktu

4.1.5 Hasil Uji Statistik

Ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados dengan dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB dapat

menghambat udem pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi dengan

penginduksi udem karagenan 1% sebanyak 0,2 mL secara bermakna (ρ ≤

0,05) dengan kontrol negatif dan semua variasi dosis uji memiliki perbedaan

secara bermakna terhadap kontrol positif (asetosal 125 mg/KgBB) pada taraf

uji (ρ≤ 0,05). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 1 2 3 4 5 6

P

e

rsen

(%)

Waktu (jam)

Persen Rata-rata Inhibisi Udem

(49)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan uji efek antiinflamasi ekstrak etil asetat

lumut hati Mastigophora diclados secara in vivo. Lumut tersebut diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto pada ketinggian 800 m blok 55 yang hidup di

batang pinus dan batang aghatis. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih

dahulu lumut dideterminasi untuk menguji kebenaran tumbuhan. Hasil dari

determinasi menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian

adalah lumut hati jenis Mastigophora diclados (Brid ex. Web) Nees dari suku Mastigophoraceae (Lampiran 4).

Bagian yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah semua bagian

tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados. Sebanyak 2,220 kg lumut terlebih dahulu dicuci bersih untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang

menempel pada bahan, kemudian disortasi basah yang fungsinya untuk

memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan,

dikeringanginkan pada suhu kamar, disortasi kering dengan tujuan untuk

memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak

diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal, kemudian bahan

dihaluskan dengan blender dengan tujuan untuk memperkecil luas permukaan

bahan sehingga memudahkan difusi pelarut pada simplisia yang diekstraksi.

Hasil akhirnya diperoleh simplisia sebanyak 2,203 kg. Simplisia tersebut

kemudian digunakan untuk membuat ekstrak kental etil asetat.

Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebagai bahan uji dalam penelitian ini dibuat dengan metode ekstraksi maserasi. Pada

proses pembuatan ekstrak ini dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, yang dikenal

dengan istilah remaserasi. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang

tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000).

Metode maserasi dipilih karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan

merupakan metode yang umum digunakan dalam proses ekstraksi.

Dalam hal ini pelarut yang digunakan adalah n-heksan dan etil asetat.

Pada awalnya simplisia dimaserasi dengan n-heksan (non polar) dalam wadah

(50)

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kemudian, simplisia tersebut dimaserasi kembali dengan menggunakan

pelarut etil asetat (semi polar) dalam wadah yang gelap. Pelarut diganti setiap

2 hari sekali sampai diperoleh filtrat bening. Filtrat tersebut kemudian disaring

dan pelarut diuapkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator sehingga didapatkanlah ekstrak kental etil asetat. Karena ekstrak yang

dihasilkan belum terlalu kental dan masih terdapat kandungan air di dalamnya,

maka dilakukan freeze drying dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut air dari padatan terlarut dengan tetap mempertahankan senyawa yang ada.

Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang diperoleh sebesar 41,78 g dengan rendemen 1,98 %.

Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados menunjukkan bahwa dalam ekstrak etil asetat positif mengandung metabolit sekunder terpenoid, sedangkan hasil uji metabolit sekunder saponin,

fenolik, alkaloid, flavonoid, dan antrakuinon menunjukkan hasil negatif.

Pengujian parameter non spesifik ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang dilakukan adalah uji kadar air dan kadar abu ekstrak. Kadar air ekstrak sebesar sebesar 0,47%. Penentuan kadar air ini menggunakan metode

gravimetrik yang pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan

dengan jalan pemanasan pada suhu 1050C, kemudian menimbang bahan

sampai berat konstan. Kadar air ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak.

Menurut literatur, kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini

bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dan mikroba dalam

ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997). Untuk hasil uji kadar abu didapatkan

bahwa kadar abu ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 10%. Menurut literatur Materia Medika Indonesia (MMI), kadar abu dalam

ekstrak tidak boleh lebih dari 15%. Penentuan kadar abu bertujuan untuk

memberikan gambaran kandungan mineral ekstrak (Dekes RI, 2000). Disini

ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan

menguap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja.

Metode yang digunakan dalam pengujian antiinflamasi adalah

pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan

(51)

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

karena merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antiinflamasi yang

sederhana, mudah dilakukan, dan sering dipakai (Fitriyani, 2011). Karagenan

1% digunakan sebagai penginduksi udem karena waktu pembengkakan yang

disebabkan oleh karagenan relatif pendek yaitu sekitar 3-5 jam sehingga

memudahkan pengamatan. Pembengkakan yang disebabkan oleh karagenan

akan berkurang dalam waktu 1-5 hari tanpa meninggalakan bekas (Musfiroh,

2009). Selain itu, pembentukan radang oleh karagenan tidak menyebabkan

kerusakan permanen pada jaringan sekitar inflamasi. Karagenan sebagai

penginduksi udem merupakan turunan polisakarida yang akan dikenali tubuh

sebagai substansi asing sehingga mampu menginduksi terjadinya udem

melalui beberapa mekanisme. Karagenan akan merangsang fosfolipid

membran sel mast yang terdapat di jaringan ikat di sekitar telapak kaki tikus

untuk mengeluarkan asam arakidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A2

sehingga menghasilkan berbagai macam produk mediator inflamasi dnegan

bantuan Radical Oxygen Species (Kee dan Hayes, 1996). Akibatnya terjadi pembengkakan lokal pada telapak kaki tikus yang disertai warna kemerahan

akibat akumulasi mediator inflamasi. Hal ini ditandai dengan gerakan kaki tikus yang tidak normal setelah diinjeksikan karagenan. Pada penelitian ini

digunakan 0,2 mL suspensi karagenan 1% pada telapak kaki tikus karena lebih

terlihat volume udem yang terbentuk pada telapak kaki tikus yang telah

diinduksi (Rustam, et al., 2007). Karagenan yang dipakai pada penelitian ini adalah karagenan dengan jenis kappa sebesar 1% 0,2 mL. Hal ini mengacu

pada penelitian sebelumnya (Purnamasari, 2013) yang juga menggunakan

karagenan dengan jenis kappa dan konsentrasi 1% sebanyak 0,2 mL. Pada

penelitian sebelumnya (Purnamasari, 2013) telah dilakukan uji pendahuluan

mengenai konsentrasi karagenan jenis kappa, dimana hasilnya adalah

karagenan jenis kappa dengan konsentrasi 1% sebanyak 0,2 mL mampu

menghasilkan volume udem yang jelas pada telapak kaki tikus.

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan

galur Sprague Dawley (Widiyantoro, 2012) dengan umur 2-3 bulan dan bobot badan 200-250 gram. Pemilihan jenis kelamin jantan didasarkan pada

Gambar

GAMBAR GAMBAR ...............................................................................................
Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Antiinflamasi  ..................................
Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi  ......................................................................
Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tri wardhana Kesuma : Uji Efek Antiinflamasi Sediaan Topikal Ekstrak Etanol Dan Etil Asetat Rimpang Tumbuhan Kunyit (Curcuma domestica Val.) Terhadap Mencit, 2009. Dasar salep

Uji Aktivitas Penghentian Pendarahan Luar dan Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Berenuk ( Crescentia cujete .L) secara In- Vivo3. Dibawah bimbingan Susanti,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antiinflamasi fraksi air buah mahkota dewa terhadap udem yang ditimbulkan oleh karagenin 1% pada telapak kaki tikus

Konsentrasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh 4% b/v mempunyai efek Antiinflamasi yang tidak berbeda nyata dengan suspensi natrium diklofenak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek antiinflamasi dari ekstrak etanol umbi lobak putih terhadap telapak kaki tikus yang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek antiinflamasi dari ekstrak etanol daun ketapang (EEDK) terhadap telapak kaki tikus putih jantan

Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol, etil asetat dan n-heksan daun kecombrang memiliki kemampuan antiinflamasi yang baik dalam penurunan udem sebesar secara berturut-turut

Berdasarkan penelitian antiinflamasi kali ini metode yang peneliti gunakan adalah metode dengan pembentukan edema buatan pada telapak kaki mencit dengan menggunakan keragenan 1%