• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah bahasa : studi analisis pemikiran Ibnu Malik Dalam Pembentukan kaidah nahwu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah bahasa : studi analisis pemikiran Ibnu Malik Dalam Pembentukan kaidah nahwu"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

OTORISASI HADÎTS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA

(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Mâlik dalam Pembentukan Kaidah Nahwu)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh;

Aang Saeful Milah 07.2.00.1.15.08.0090

Pembimbing;

Prof. Dr. D. Hidayat. MA

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009 M/1430 H

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini; Nama : Aang Saeful Milah Nomon Induk : 07.2.00.1.15.08.0090 Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Arab

Menyatakan bahwa tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu” adalah benar hasil karya sendiri yang didukung oleh berbagai sumber terkait dan bukan merupakan jiplakan. Apabila ternyata di kemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar dari sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Juni 2009 Penulis

Aang Saaeful Milah

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu”. Yang ditulis oleh Aang Saeful Milah, dengan nomor induk: 07.2.00.1.15.08.0090. Mahasiswa konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.

Jakarta, 04 Juni 2009 Pembimbing

Prof. Dr. D. Hidayat. MA.

(4)

Tesis saudara Aang Saeful Milah, nomor induk 07.2.00.1.15.08.0090, yang berjudul “Otorisasi Hadîts Sebagai Sumber Kaidah Bahasa; Studi analisis pemikiran Ibnu Malik dalam pembentukan kaidah nahwu, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada Hari Selasa, 21 Juli 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim penguji.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji Pembimbing/Penguji

Dr. Udjang Thalib Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA Tanggal, Agustus 2009 Tanggal, Agustus 2009

Penguji Penguji

Dr. H. Sahabuddin, MA Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA Tanggal, Agustus 2009 Tanggal, Agustus 2009

(5)

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB - LATIN

Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

A. Konsonan

Huruf

(6)
(7)
(8)

DAFTAR SINGKATAN

Cet. : Cetakan

dkk. : dan kawan-kawan H. : Tahun Hijriyah

hal. : Halaman

HR. : Hadis Riwayat

J. : Jilid

j. : Juz

M. : Tahun Masehi QS. : al-Quran Surat r.a. : Radhiya Allâh ’anhu

SAW. : Sallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

SWT. : Subhânahu wa Ta‘âla

t.th. : Tanpa tahun

t.tp. : Tanpa tempat penerbit tp. : Tanpa penerbit

(9)

ABSTRAK

Hadîts adalah sumber otoritaf bagi kaidah nahwu, setelah al-Qur’ân. dan Ibnu Mâlik adalah ahli nahwu pertama yang mengembangkan konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu. Meskipun diakui bahwa pada masa ahli nahwu klasik pun Hadîts telah menjadi sumber kaidah nahwu, hanya saja porsi yang diberikan ahli nahwu klasik pada Hadîts Nabi SAW, tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai teks bahasa yang paling fashih dibandingkan dengan lainnya.

Tesis ini sesungguhnya menentang pemikiran ahli nahwu masa kini Muhammad al-Khadr Husayn, bahwa hadîts-hadîts yang dapat dijadikan sumber kaidah nahwu adalah hadîts mutawâtir, shahîh dan hanya berupa hadîts qaulî, bukan hadîts fi’lî atau hadîts taqrirî. Dan tesis ini memperkuat pendapat Thaha Rawi bahwa seluruh teks Hadîts yang terkandung dalam berbagai kitab Hadîts yang masyhur dapat dijadikan sebagai dalil nahwu, tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana yang disampaikan ahli nahwu lainnya.

Pertentangan akan otorisai hadîts ini sesungguhnya juga terjadi pada masa Ibnu Malik, sikap Ibnu Mâlik (w 672 H) yang berani menyatakan bahwa Hadîts adalah sumber kedua setelah al-Qur’ân, menuai kritikan dari ahli nahwu yang hidup sezaman dan setelahnya. Seperti Abu al-Hasan al-Dhâ’i (w 680 H) dan Abu Hayyân (w 745 H). Para penentang pemikiran Ibnu Mâlik ini beralasan bahwa lafadz yang ada pada Hadîts Nabi SAW adalah bukan lafadz Hadîts Nabi SAW sesungguhnya. Karena dalam ilmu Hadîts para ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Alasan kedua adalah, periwayat Hadîts lebih banyak berasal dari kalangan Ajam. Sehingga dikhawatirkan lafadz yang diriwayatkan oleh mereka bercampur dengan bahasa yang tidak fashih.

Untuk memperkuat pendapat Thaha Rawi di atas, penulis menganalisa pemikiran Ibnu Mâlik tentang otorisasi Hadîts melalui karya-karya Ibnu Mâlik di bidang nahwu, seperti; Syawâhid al-Taudhîh, Syarh al-Umdah, Syarh al-Kâfiyah. Karya tersebut menjadi data primer yang menjadi informan original yang menceritakan akan pemikiran Ibnu Mâlik. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Hadîts dalam karya-karya tersebut menjadi objek penelitian penulis, untuk menghasilkan pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu

Dari penelitian ini menghasilkan berbagai kesimpulan di antaranya; dalam pandangan Ibnu Mâlik hadîts qauli, fi’li, taqriri dapat dijadikan sebagai dalil nahwu. Karenanya setiap teks Hadîts yang ada dalam kitab Hadîts, meskipun penuturnya dari kalangan sahabat, tabi’in atau bahkan bukan Muslim sekalipun, seperti Abu Jahal. Kesemuanya dapat dijadikan sebagai sumber kaidah bahasa.

(10)

Abstract

While the holy qur’an is the primary source for Arabic grammar, al-Hadith (the sayings of Prophet Muhammad) constitutes the secondary source, rangking immediately next to the holy qur’an as far as rhetoric and eloquence. To a muslim, the Prophet’s speech (peace be upon him) exhibits such eloquence and rhetoric as would by far excel those of any other Arab. This should be evident from the fact thet he is Allah’s messenger upon whom has descended astricly Arabic holy scripture, the qur’an.

As foe the Arabic language of the prophet’s companions and followers, it was marked by the fluency and naturalness of pure native Arabs, which later generations seem to lack. The later generations were in need of rules to govern their discourse.

While al-hadith is uncontestedly the second source (next to the qur’an) for legislation and Arabic language, it is a standard reference for Arabic grammar according to two of the following three viewpoint; and it is my conviction that al-Hadith will for ever remain a source for citation and quotation-side bay side with the qur’an-a fact confirmed by the Prophet’s own saying: “I have passed over to you two things whith which you shall never go astray : Allah’s Book, and may own tradition”.

I have grouped the controversial views over citation from al-hadith into three tendencies. The first view is that citation from the Prophet’s Hadith to substantiate Arabic grammar is perfectly valid. This position is supported by a number of grammarians like Ibn Kharuf (d. 209 H), Ibn Mâlik (d. 672 H) and Ibnu Hisyam (d. 671 H) This is bay far the strongest position.

Ibnu Mâlik, considering al-hadith asource for grammatical reference, has allowed citation from it. Indeed, of all his contemporaries there is hardly anyone who has better claim for discriminating between true and false versions of Hadith than Ibnu Mâlik himself, who is well-renowneed among the shafi’ite circles; it is through Ibn Mâlik that al-Suyuthi has narrated a number of the prophet’s sayings; it is Imam Yunini, Ibn Jama’ah, and other eminent Muslim leaders that were his Companions. His Syawahid al-Taudhih wa al-Tashhih li Musykilat al-Jami’ al-Shahih (Elucidation and Explication of problems in the true Hadith Volume) provides sufficient evidence that this scholar has pursued only that which falls within the scope of his specialization, and that he is trustworthy as regards the Prophet’s sayings which he would take up or leave whenever the need for citation or quotation arises.

The second position consists in the explicit rejection of quotation or citation from al-hadith. This position is held by a group of grammarians like Abu Hayyan (d. 745 H) Abu al-Hasan Ibn al-Dha’i (d. 680 H). Those who subscribed to this second position had two pieces of evidence to put forward: [a]. the possibility of-a meaning-narration. [b]. the occurrence of numerous instances of solecism, considering the fact that quite a number of narrators were non-Arabs and lacked the native command of Arabic grammar. The third tendency is the compromise position between permitting and refraining from citation. Of those who subscribe ti this view the most prominent is Abu Ishaq al-Syatibi (d. 790 H), who distinguishes two categories of Hadith.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji hanya milik Allah Yang Maha Luhur dan Agung. Dia adalah Dzat Yang Maha Baik, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui keinginan hamba-hamba-Nya dan Maha Memudahkan segala urusan kekasih-kekasih-hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW.

Penelitian ini adalah respon dari kegusaran penulis dalam melihat karya-karya ahli nahwu klasik, yang lebih banyak berdalil dengan syair dari pada Hadîts Nabi SAW. Padahal sejauh pengetahuan penulis, bahasa yang dituturkan oleh Nabi SAW adalah bahasa fashih, terbaik dari pada bahasa lainnya. Untuk mengetahui posisi Hadîts dalam pemikiran ahli nahwu, penulis menelitinya melalui pandangan dan pemikiran Ibnu Malik. Dipilihnya Ibnu Mâlik sebagai tokoh ahli nahwu, bukan tanpa alasan. Ia adalah ulama yang memiliki pengaruh terbesar dalam pemikiran nahwu. Dan ia disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang paling perhatian dalam membela dan mempertahankan bahasa Hadîts Nabi SAW. Maka itu, tidak heran jika teks Hadîts Nabi SAW mendapatkan porsi yang lebih, jika dibandingkan dengan sikap ahli nahwu sebelumnya, terhadap teks Hadîts.

Alhamdulillah, sejak penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007, hingga selesainya penulisan tesis ini, penulis tidak mendapatkan hambatan-hambatan berarti. Namun demikian tantangan yang memotivasi penulis untuk lebih kritis dan giat dalam memperkaya pengetahuan dalam bidang yang penulis tekuni, tentunya tidak sedikit. Keberhasilan penulis dalam melewati tantangan-tantangan tersebut, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari dosen, kawan, keluarga dan semua pihak yang ada dibalik layar keberhasilan ini.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap jajaran staf departemen Agama yang membiayai studi yang penulis lakukan. Kepada segenap dosen dan civitas akademika sekolah pasca sarjana UIN Jakarta, yang telah berkhidmah dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan penulis, khususnya

(13)

pembimbing penulis; Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA. Dan kepada para penguji tesis ini; Dr. Udjang Thalib, Prof. Dr. Moh. Matsna, MA dan juga Dr. Syahabuddin, MA yang sudah penulis anggap sebagai orang tua penulis sendiri.

Kepada orang tua penulis Bpk. Abdul Hakim dan segenap keluarga, ayah mertua penulis Bpk. H. Kusnadi dan segenap keluarga, istri penulis Hj. Nendah Nurjannah. S.Sos yang selalu mendorong penulis untuk lebih giat dalam menuntut ilmu, dan putra penulis Saqy Fatih Ulwan, penulis ucapkan Jazakumullah.

Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, beliau adalah guru penulis di bidang Hadîts dan ilmu Hadîts, ajaran dan bimbingannya telah membuat penulis berani untuk mengkaji penelitian ini, yaitu otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa. Segenap guru-guru pesantren Modern Darul Ulum lido, penulis haturkan jazakumullah, beliau-beliau adalah guru-guru penulis yang pertama kali menanamkan ilmu agama dan bahasa Arab pada diri penulis. Kawan-kawan penulis yang berada di berbagai penjuru dunia; Belanda, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, Sudan, Maroko dan juga seluruh sahabat dan teman diskusi penulis, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih pada mereka atas kesediaannya sebagai sahabat dan teman diskusi.

Di antara yang berperan dalam keberhasilan penulisan tesis ini adalah staf perpustakaan sekolah pasca sarjana UIN Jakarta dan LIPIA. Khususnya Kang Mukhtar, Lc dan Ust. Dahri, Lc; keduanya staf perpustakaan LIPIA yang selalu membantu penulis dalam mencarikan referensi-referensi primer, sehingga proses penulisan tesis ini lebih ringan dari semestinya.

Dan terakhir, kepada seluruh muslimin dan muslimat yang selalu mendoakan penulis, saudara-saudara penulis yang ada di Tasikmalaya, tempat kelahiran penulis dan seluruh orang-orang yang menyayangi penulis, penulis haturkan terima kasih. Allah yarhamuna wa yusahhil umurana insya Allah.[]

Pondokgede, 09 Agustus 2009

Aang Saeful Milah

(14)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PENULIS……….. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……… iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI……….. iv A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Permasalahan……..………... 13

C. Tujuan Penelitian………... 15

D. Signifikansi Penelitian………16

E. Kajian Terdahulu yang Relevan ………... 16

F. Metode Penelitian……….. 18

G. Sistematika Penulisan………... 19

BAB II HADITS DAN NAHWU A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu……… 22

B. Nahwu pada Periode Klasik ………. 35

C. Aliran Pemikiran Nahwu……….. 39

BAB III IBNU MALIK DAN AHLI NAHWU KLASIK A. Biografi Ibnu Malik………. 52

B. Hadits dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik……… 57

(15)

G. Mengedepankan khabar dari Mubtada’………... 78

H. Naib al-Fâ’il……….

81 I.

Al-Munada……… … 82

J.

Al-Istitsna’……… … 83

K. Isim Tafdhil atau af’al

al-Tafdhil………. 85

L. Menyembunyikan huruf al-Nidâ’……… 86

M. Menyembunyikan huruf fa’ pada jawâb syarth……… 87

N. Fi mengandung makna ta’lîl……… 90

(16)

A. Kesimpulan……….. 166

B. Saran………. 169

DAFTAR PUSTAKA………... 170

DAFTAR HADITS……….. 170 RIWAYAT HIDUP PENULIS………

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di antara hasil Konferensi Dakwah Islamiyah ke-8, yang berlangsung pada akhir tahun 2008 M di Libya,1 adalah seruan kepada seluruh umat Islam untuk memperdalam dan mengkaji ilmu bahasa Arab. Karena bahasa Arab memiliki arti penting bagi umat Islam, ia terpilih menjadi bahasa al-Qur’ân dan al-Hadîts; kitab suci umat Islam. Dalam ibadah shalat, yang merupakan ibadah wajib dan sebagai bentuk komunikasi hamba dengan Tuhan-Nya, lafadz yang digunakan adalah bahasa Arab, tidak dibenarkan menggunakan selainnya. Maka itu sangat tepat jika seruan tersebut menjadi perhatian ulama dunia, karena pada nyatanya tidak sedikit umat Islam yang salah dan menyimpang dalam memahami teks al-Qur’ân, disebabkan

1

Konferensi ini digelar oleh World Islamic Call Society (WICS) sebuah lembaga dakwah yang didirikan Libya pada tahun 1972 M. Perhelatan akbar ini mempertemukan 460 organisasi massa Islam dari 120 Negara, di antaranya Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan pada 27-30 oktober 2008 dengan pembahasan utama seputar tantangan dakwah di Era global.

(17)

kurangnya memahami ilmu bahasa Arab. Karenanya Ibnu Khaldûn (w 732 H) mewajibkan bagi ahli agama untuk belajar dan memahami ilmu bahasa Arab.2

Secara historis, bahasa Arab termasuk pada kelompok bahasa Semit.3 Di antara bahasa-bahasa Semit yang ada, bahasa Arab adalah bahasa yang paling maju.4 Dalam pandangan Ahmad Ghafur faktor inti yang mendukung kemajuan bahasa Arab ini adalah kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’ân yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, bahkan pada masa awal kemunculan Islam, al-Qur’ân mampu menyatukan berbagai dialek5 yang ada di jazirah Arab.6 Selain karena kitab suci tersebut dibaca dan ditelaah oleh seluruh umat Islam bahkan umat lainnya, dari kedua teks tersebut juga banyak melahirkan makna-makna baru bagi kata-kata bahasa Arab, sehingga satu kata memiliki makna lebih dari satu, atau satu jenis dzat memiliki puluhan bahkan ratusan kata.7 Selain itu, ulama Islam sendiri banyak

2

Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 545. Senada dengan Ibnu Khaldûn, Ibnu Fâris pun menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab merupakan kewajiban pokok bagi pengkaji al-Qur’ân dan al-Hadîts. Lihat Ibn Fâris, al-Shâhiby, hal. 50.

3

Jurjy Zaydân, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfâdz al-‘Arabiyyah (Dâr al-Hilâl), hal. 48.

4

Bahasa yang pernah digunakan umat manusia, dapat dibagi menjadi tiga rumpun; Pertama Indo-Eropa. Kedua; Semit-Hemit dan Ketiga Turania. Bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab saat ini sangat terbatas sekali penggunanya. Bahkan menurut para ahli bahasa, tidak sedikit bahasa yang pernah digunakan manusia sebagai alat komunikasi telah hilang dari peredaran dan tidak digunakan lagi. Ini tentu berbeda dengan bahasa Arab yang hingga saat ini kian maju dan berkembang. Lihat Mahmûd Fahmi Hijâzy, Ilm al-Lughah, madkhal târikhî muqâran fi dhau’i al-Turâts wa al-Lughat al-Sâmiyyah, (Kuwait), hal. 194-213

5

(18)

berkontribusi pada kemajuan bahasa Arab, misalnya dengan munculnya ilmu tafsîr, hadîts, filsafat dan keilmuwan lainnya yang menuntut adanya istilah-istilah baru dalam keilmuwan tersebut,8 sehingga menambah kosa kata dalam bahasa Arab.

Di antara faktor pendukung kemajuan bahasa Arab lainnya adalah keistimewaan dari segi unsur-unsur kebahasaan yang dimiliki bahasa Arab itu sendiri. Secara umum suatu bahasa mempunyai dua macam unsur, al-Shaut (bunyi) dan al-Dilâlah (makna). Al-Dilâlah ini merupakan kajian leksikologi, sintaksis, morfologi dan stilistik,9 dalam bahasa Arab dikenal dengan Qâ’idah Nahwiyah dan Qâ’idah Sharfiyyah.10 Dari sisi keistimewaan bunyi, bahasa Arab tidak perlu diragukan lagi, karena ia memiliki lima belas makhraj (tempat keluar) huruf dan tiga belas sifat bunyi.11

Ibnu al-Atsîr (w. 606 H) menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang terjaga dan tidak dimasuki oleh kesalahan dan kecacatan, hal itu berlangsung hingga terjadi ekspansi ke beberapa daerah yang menyebabkan bangsa Arab bercampur dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain.12 Sesungguhnya terjaganya kualitas keluhuran bahasa Arab tidaklah mengherankan, karena masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah

Bahkan menurut De’ Hammaer ditemukan kata yang menunjuk kepada unta dan keadaannya sebanyak 5.644 kata. Lihat M. Qurais Syihab, Mukjizat al-Qur’ân, hal. 96.

8

Ahmad Abd al-Ghafûr Aththâr, Difâ’ an al-Fushha, hal. 36

9

Ali Abd al-Wâhid Wâfi, Fiqh al-Lughah hal 164

10

(19)

dan permulaan Islam berkomunikasi dengan fashâhah.13 Pada masa itu bahasa yang digunakan adalah bahasa fashih, baik dalam ragam frozen, formal maupun consultative. Bahkan sebagian peneliti bahasa mengungkapkan bahwa bahasa fashih merupakan tabiat dan karakter bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan permulaan Islam.14 Terjaganya bahasa Arab fashih ini berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah di daerah pedesaan, sedangkan di perkotaan hingga akhir abad kedua hijriyah.15

Pada masa jahiliyah,16 bangsa Arab hidup bersuku-suku dengan tingkat kefashihan yang berbeda-beda. Letak geografis tempat tinggal setiap suku yang berbeda itu telah mengakibatkan perbedaan tingkat kefashihan antara satu tempat dengan tempat lain. Suku pedalaman jazirah Arab memiliki tingkat kefashihan yang berbeda dengan suku-suku yang berada di pinggiran jazirah Arab. Dan suku yang menetap di pedalaman mempunyai tingkat kefashihan paling tinggi, suku-suku tersebut adalah suku Tsaqîf, Kinânah, Hudzayl, Khuzâ’ah, Gatafân, Tamîm dan Asad.17 Sedangkan suku-suku yang menetap di pinggiran jazirah Arab mempunyai bahasa yang kurang fashih sejak zaman jahiliyah. Ini terjadi karena suku-suku tersebut telah bercampur dengan orang-orang Ajam (non-arab).

13

Al-Fashâhah berarti ungkapan yang jelas dan nyata, serta terbebas dari kesalahan secara lingusitik. Adapaun bahasa Arab Fashih adalah bahasa Arab yang terhindar dari berbagai kerancuan, yaitu bahasa Arab baku atau bahasa Arab standar. Lihal lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 3419-3420

14

Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990), hal. 5

15

Abbâs Hasan, Al-Lughah wa Nahwu Bayna Qadîm wa Hadîts ( Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, hal. 24

16

Jurzy Zaydan membagai periode Jahiliyah pada dua masa. Jahiliyah pertama adalah sebelum masehi hingga abad kelima masehi, menurut Zaydan bahasa Arab pada masa ini belum widespread (tersebar luas). Adapun masa Jahiliyah kedua dimulai dari abad kelima masehi hingga datangnya Islam, masyarakat pada masa ini merupakan masyarakat yang pandai dalam berbahasa Arab, mereka berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu pada masa ini bahasa Arab yang digunakan adalan bahasa yang baik, selamat dari kecacatan dan terpatri kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Jurjy Zaydan, al-Lughah al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, hal 12-14. lihat juga Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyat al-Lughah al-Arabiyyah, hal. 42

17

Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555

(20)

Dengan bercampurnya Ajam dan Arab, dan intensnya komunikasi antara keduanya telah berdampak langsung pada kualitas bahasa di masyarakat tersebut, sehingga dalam perjalanannya, muncullah Lahn18 dalam bahasa Arab, yang kemudian membentuk bahasa yang disebut dengan bahasa ‘Amiyah.19 Akibatnya di beberapa suku, pengguna bahasa Arab fushhah mengalami degradasi, kecuali Quraisy dan Bani Sa’ad.20 Ini karena letak geografis Quraisy jauh dari kota-kota di luar Arab, sehingga Quraisy memiliki bahasa yang paling fashih di antara suku lainnya.21 Dengan munculnya lahn karena akibat kentalnya komunikasi Ajam dan Arab, berpengaruh pula pada bacaan Qur’ân sebagian Muslim, bahkan kesalahan dalam membaca al-Qur’ân ini, ditemukan pada generasi Muslim pertama.22

Sesuai dengan kenyataan di atas, sejak Islam mulai dijadikan sebuah keyakinan masyarakat Arab, perhatian terhadap penyusunan kaidah-kaidah penulisan, pembacaan dan penuturan bahasa Arab dirasakan sangat penting. Maka beberapa ulama yang prihatin akan hal di atas, berusaha semaksimal mungkin, agar bahasa

18

(21)

Arab terjaga kemurniannya, diantara yang paling populer adalah Ali bin Abi Thâlib dan Abu al-Aswad al-Du`aly.23

Maka itu sesungguhnya motivasi penulisan gramatika bahasa hadir dari kesadaran masyarakat generasi pertama akan pentingnya memahami al-Qur’ân secara mendalam.24 Sehingga peletakan kaidah nahwu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan, terlebih bagi Ajam yang belum memahami bahasa Arab fashih dengan sempurna. Selain motivasi agama, ada motivasi non-agama yang menguatkan masyarakat Arab untuk meletakkan kaidah gramatika dalam bahasa mereka, yaitu kebanggaan akan keluhuran dan keistimewaan yang terdapat dalam bahasa Arab.25 Mereka khawatir bahasa yang luhur ini akan rusak oleh lahn, karena becampur dengan bahasa Ajam. Itu sebabnya mengapa kaidah bahasa Arab perlu ditulis dan ditetapkan, antara lain sebagai alat kontrol bagi kefashihan bahasa itu sendiri.

Dalam proses penetapan kaidah gramatika bahasa Arab, para ulama nahwu tentunya berpijak pada sumber bahasa Arab, Ahmad menyatakan bahwa sumber nahwu terdiri dari dua macam; Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah. Sumber al-Manqûl terdiri dari al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW, dan perkataan orang Arab baik yang berbentuk Sya’ir ataupun Natsr. Adapun al-Ma’qûl terdiri dari Qiyâsh dan Ishtishhâb atau yang lainnya, disebut demikian karena kedua sumber tersebut diperoleh melalui akal.26

23Abu al-Aswad menceritakan bahwa ia bertemu Amîr al-Mu’minîn Ali

. k.w, di tangannya terdapat Raq’ah. Kemudian aku bertanya; wahai

Amir al-Mu’

minin apa ini? Dia menjawab; Aku telah mengamati perkataan masyarakat, dan aku temukan perkataannya telah rusak karena seringnya

berkomunikasi dengan Ajam, maka aku berinisiatif untuk melakukan sesuatu agar mereka dapat merujuk dan kembali pada ini (raq’ah). Kemudian Ali

(22)

Tidak ada perselisihan di kalangan ahli nahwu dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber dalam penetapan kaidah nahwu. Hal ini berbeda dengan Hadîts Nabi SAW, yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam syariat. Dalam ilmu bahasa Arab, otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa menjadi kontroversi, padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbahasa Arab di antara sahabat dan seluruh umatnya. Dan pada prakteknya Hadîts kurang diperhitungkan dalam penetapan kaidah nahwu.27 Kalaupun ada teks Hadîts Nabi SAW dalam sebagian literature ilmu nahwu, itu sebatas pelengkap dan penguat atas sumber lain yaitu al-Qur’ân dan perkataan orang Arab, tidak dimaksudkan sebagai

hujjah dalam penetapan kaidah nahwu.28

Kaitannya dengan kontroversi otoritas Hadîts di atas, ahli nahwu terbagi ke dalam tiga pandangan berkenaan dengan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu; Pertama, madzhab yang membolehkan. Madzhab ini adalah madzhab Ibnu Mâlik, ia adalah ahli nahwu yang dengan tegas menyatakan bahwa Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan syair. Alasannya, perkataan Nabi SAW merupakan perkataan paling fashih dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi alasan utama madzhab ini dalam mempertahankan dan membela Hadîts sebagai dalil nahwu. Madzhab ini pun membantah jika peran Hadîts dalam melahirkan kaidah nahwu baru muncul belakangan. Dalam pandangan madzhab ini, ahli nahwu klasik pun telah berdalil dengan Hadîts, hanya saja kuantitas Hadîts yang digunakan tidak sebanyak Hadîts yang digunakan oleh ahli nahwu yang hidup pada abad ketujuh dan seterusnya. Maka itu ulama madzhab ini berkeyakinan kuat bahwa Hadîts adalah sumber kaidah nahwu yang sah, keyakinan ini terwujud dalam karya-karya yang lahir dari ulama madzhab ini. Dalam penetapan kaidah nahwu mereka menjadikan Hadîts sebagai dalil atas kaidahnya.

27

Abd al-Hamid al-Syalqany, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh; Jâmi’ah al-Riyâdh 1980 M), hal. 55

28

Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby, hal. 47-48

(23)

Tidak dipungkiri bahwa sebelum Ibnu Mâlik, ada ulama lain yang menjadikan Hadîts sebagai dalil nahwu yaitu al-Suhayli (w 581 H), beliau disebut sebagai orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Meskipun ada juga ulama lain yang mengatakan bahwa Ibnu Kharûf (w 609 H) adalah orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan nahwu, namun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Ied, ia mengatakan bahwa pernyataan ulama kontemporer yang mengatakan hal demikian adalah keliru, karena al-Suhayli hidup lebih awal dibandingkan dengan Ibnu Kharûf. Selain itu al-Suhayli juga disebut sebagai inspirator bagi Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah bahasa Arab.29

Sanggahan atas pandangan para penentang Hadîts, ditegaskan pula oleh ahli nahwu kontemporer yang mendukung madzhab ini, dengan dua jawaban; Pertama, memang benar ada tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu terjadi pada masa awal Islam, sebelum kodifikasi Hadîts di kitab-kitab yang dikenal saat ini. Karena pada awal Islam, bahasa Arab yang mereka gunakan belum rusak, kefashihannya masih terjaga, kalaupun terjadi periwayatan dengan makna, itu hanya pergantian lafadz Nabi SAW dengan lafadz yang sinonim. Kedua, adanya anggapan bahwa ulama klasik tidak menggunakan Hadîts sebagai dalil gramatika, maka sesungguhnya sikap ulama klasik tersebut tidaklah menunjukkan larangan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu.30 Melainkan karena tidak semua ahli gramatika bahasa Arab menguasai periwayatan Hadîts. Sehingga absennya Hadîts dalam karya mereka, bukanlah menunjukkan keraguan mereka akan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa, melainkan karena faktor lain, seperti belum maraknya tradisi periwayatan Hadîts pada masa itu. Ini berbeda dengan periwayatan syair, yang mudah didapatkan dari setiap orang Arab.

Kesimpulannya menurut madzhab ini Hadîts adalah dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sehingga tidak perlu diragukan keotentikannya sebagai ucapan Nabi

29

Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 87

30

Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 9

(24)

SAW. Karena kemampuan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab fashih tidak ada tandingannya. Maka itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak ucapan Nabi SAW sebagai dalil. Adapun bantahan mereka terhadap para penentang Hadits sebagai dalil Nahwu akan dianalisa dalam sub bab berikutnya.

Kedua, madzhab yang tidak membolehkan.Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa pelopor ulama nahwu yang tidak membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu adalah Ibnu al-Dhâ’i (w 686 H) dan Abu Hayyân (w 745 H). Ibnu al-Dhâ’i dikenal sebagai orang pertama yang mengkritisi konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, dan ia menyimpulkan bahwa para ahli bahasa terdahulu seperti Sybawaih dan lainnya tidak pernah berdalil dengan Hadîts, sikap mereka ini dalam pandangan Ibnu al-Dhâ’i disebabkan karena dalam ilmu Hadîts ada kaidah yang menyatakan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan maknanya saja.31 Sehingga lafadz yang disebut sebagai Hadîts Nabi SAW dimungkinkan merupakan lafadz periwayat Hadîts. Pendapat ini kemudian diikuti oleh muridnya, Abu Hayyân. Dan kemudian Abu Hayyân menjadi orang pertama yang mengkritisi pemikiran Ibnu Mâlik, yang nota bene banyak berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu32.

Ulama madzhab ini menjelaskan, di antara sebab penolakan mereka adalah, karena ketidakyakinan mereka akan lafadz Hadîts tersebut merupakan lafadz Rasulullah SAW, ketidakyakinan ini berdasarkan dua hal; Pertama, adanya kaidah yang mengatakan bolehnya bagi periwayat Hadîts untuk meriwayatkan suatu Hadîts dengan maknanya saja,33 sehingga dimungkinkan lafadz Hadîts yang ia riwayatkan bukanlah lafadz yang diucapkan Nabi SAW, namun lafadz dari periwayat Hadîts tersebut. Buktinya ditemukan satu kisah tentang peristiwa pada masa Nabi SAW, diriwayatkan dengan berbagai lafadz yang berbeda, padahal peristiwanya sama dan

31

Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 85

32

Al-Baghdâdi, Khizânah Adab, juz 1, hal. 14. Lihat juga di Hasan Mûsa Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 47

33

Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 86 dan lihat juga Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, hal. 48

(25)

sumbernya juga sama yaitu Rasulullah SAW. Menurut madzhab ini, hal tersebut membuktikan bahwa Hadîts yang dikenal sekarang, lafadznya tidaklah pasti sama dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW. Contohnya adalah riwayat;34

(26)

Ketiga, madzhab pertengahan. Di antara kedua madzhab di atas, terdapat madzhab ketiga, yaitu sebagian ulama yang secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak berpihak pada salah satu di antara kedua madzhab tersebut. Karena itu, ulama madzhab ini terkadang berdalil dengan Hadîts dan terkadang juga tidak, mereka memiliki konsep tersendiri tentang otorisasi Hadîts, yang tentunya berbeda dengan kedua madzhab pendahulunya. Pelopor madzhab ini adalah Imam al-Syâtibi (w 790 H), beliau mengatakan, “Kami belum pernah menemukan satu ulama nahwu pun yang berdalil dengan Hadîts, yang kami temukan adalah mereka berdalil dengan syair dalam penetapan kaidah nahwu, karena dalam Hadîts yang dinukil adalah maknanya saja, bukan lafadznya. Sehingga lafadznya berbeda-beda meskipun dalam konteks yang sama, ini tentunya berbeda dengan syair, dalam syair para periwayat lebih fokus pada lafadznya.37

Dalam pandangan al-Syâtibi, dari sisi penukilan Hadîts terbagi ke dalam dua macam; pertama, Hadîts yang dinukil hanya maknanya saja, tidak dengan lafadznya, maka Hadîts ini tidak dapat dijadikan dalil. Kedua, Hadîts yang dinukil oleh periwayat dengan makna dan lafadznya dengan maksud-maksud tertentu, yaitu untuk menunjukkan kefashihan bahasa Nabi SAW, seperti surat-surat yang ditulis oleh beliau, misalnya surat kepada Hamdân, Wâ’il bin Hajar, dan juga peribahasa Rasulullah SAW. Maka itu menurut madzhab pertengahan, kategori Hadîts ini dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu.38

Ulama kontemporer berbeda pendapat apakah al-Suyûthi bagian dari yang sepakat atau tidak akan otoritas Hadîts sebagai dalil nahwu, karena al-Suyûthi tidak menyatakan secara terang-terangan bahwa ia menolak Hadîts atau menerimanya sebagai dalil nahwu. Meskipun dalam karya-karya bahasanya ia kerap menampilkan Hadîts sebagai dalil bahasa.39 Karena itu al-Baghdâdi mengkategorikan al-Suyuthi

37

Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 90

38

Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 12

39 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 91

(27)

bagian dari madzhab pertengahan, kesimpulan ini dihasilkan setelah ia menganalisa pendapat al-Suyûthi dalam kitab al-Iqtirâh.40

Barulah pada abad ketujuh hijriyah pandangan ahli nahwu terhadap otoritas Hadîts mulai terbenahi, seiring hadirnya ahli nahwu berasal dari Andalusia yaitu Ibnu Mâlik, yang secara terang-terangan membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Bahkan sejak lahirnya al-Kitab karya Sybawaih (w. 180 H) hingga kehadiran Syarh Umdah al-Hâfidz karya Ibnu Mâlik (w. 672 H), menurut penelitian ulama bahasa hanyalah Ibnu Mâlik yang terbanyak berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, yaitu berjumlah empat puluh tujuh (47) Hadîts yang tertuang dalam karyanya Syarh Umdah al-Hâfidz.41 Komitmen Ibnu Mâlik dalam membela keunggulan Uslub bahasa Arab dalam Hadîts ini juga dibuktikan dengan salah satu karyanya, yaitu Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh.

Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian pemikiran nahwu Ibnu Mâlik dikenal bahkan diikuti oleh ahli bahasa Arab yang datang kemudian, bahkan pemikiran-pemikirannya tentang Ihtijâj bi al-Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu pun menjadi rujukan utama dibandingkan ulama lainnya.

Kepopuleran pemikiran Ibnu Malik ini tersebar hingga negera Indonesia, padahal secara geografis, Indonesia sangat jauh dengan tempat di mana Ibnu Mâlik menetap. Namun karya Ibnu Mâlik tidak asing di kalangan santri pengkaji bahasa Arab. Di antara karya yang paling populer adalah Alfiyah Ibnu Mâlik,42 yang memuat seribu bait kaidah ilmu bahasa Arab. Di beberapa pesantren kitab ini adalah puncak dan standar kemahiran santri dalam bahasa Arab.43 Bahkan santri yang mampu menghapal bait-bait dalam kitab Alfiyah dianggap santri istimewa. Namun yang disayangkan, sedikit sekali pengkaji ilmu bahasa Arab yang menggali pemikiran-pemikirannya dalam konteks sumber penetapan kaidah nahwu, dan pandangannya

40

Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 13

41

Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 93

42

Pada awalnya kitab ini bernama al-Khulâshah, namun kemudian dikenal dengan Alfiyah, disebut demikian karena dalam kitab tersebut terkandung seribu bait kaidah nahwu.

43

Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi, hal. 286

(28)

terhadap Ushûl al-Nahwi, khususnya terhadap Hadîts. Padahal mengenal tokoh dan pemikirannya tidak kalah penting dari pada mengenal buah karyanya.

Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts dan ilmu bahasa Arab adalah bagian dari ilmu agama, karenanya mengkajinya adalah merupakan usaha yang tidak dapat dihindarkan. Nampaknya ungkapan Muhammad bin Sirîn (W. 110 H) lebih diperlukan saat ini, yaitu “Ilmu ini (mengenai agama) menjelma atau merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu”.44 Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan ilmu ajaran Islam hendaknya diperoleh dari seorang muslim yang mumpuni dalam bidangnya, bukan dari sebaliknya.

Untuk itulah, penulis meneliti pemikiran Ibnu Mâlik bukan hanya karena pemikirannya dianut oleh banyak ulama ahli bahasa, namun juga karena karya dan gagasannya sungguh bermanfaat bagi umat Islam yang cinta akan ilmu Agama, khususnya berkaitan dengan pemikirannya terhadap Hadîts. Sehingga pemikirannya dalam bidang sumber bahasa Arab tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib untuk diteliti.

B. PERMASALAHAN

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas, banyak hal yang patut untuk dikaji dan ditemukan jawabannya. Baik dari sisi Ibnu Mâlik, Hadîts maupun sistem penetapan kaidah nahwu. Sehingga akan lahirlah beberapa pertanyaan, misalnya;

a. Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Mâlik tentang Hadîts?

b. Bagaimana lingkup kajian nahwu yang dikemukakan oleh Ibnu Mâlik?

c. Sejauh mana otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu bagi Ibnu Mâlik dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya?

d. Apa yang mendasari pemikiran otorisasi Hadîts Ibnu Mâlik dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

44

Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10

(29)

e. Sejauh mana kualitas hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik sebagai dalil kaidahnya.

Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai refresentatif pemikiran ulama nahwu Andalusia, bahkan ia banyak menghadirkan kaidah-kaidah nahwu yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan kedua madzhab besar nahwu yaitu; Bashrah dan Kûfah.45 Lantas;

f. Apa perbedaan mendasar antara pemikiran nahwu Andalusia dan Bashrah serta Kûfah?

g. Sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu sesudahnya?

h. Jika dilihat dari sisi keindonesiaan, mengapa pemikiran Ibnu Mâlik dan karya-karyanya banyak memenuhi pengajian bahasa Arab di pesantren-pesantren, padahal banyak pemikiran ahli nahwu selainnya yang telah mapan.46

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas.

2. Batasan Masalah

Setelah mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dari latar belakang di muka, nampaknya tidak semua masalah tersebut dapat diteliti dalam peneltitan ini. Maka itu sudah menjadi keharusan untuk membatasi masalah-masalah apa saja yang akan dikaji dalam penelitian ini. Secara khusus tesis ini akan meneliti;

a. Otorisasi Hadits sebagai sumber kaidah nahwu, perspektif Ibnu Malik dan membandingkannya dengan ulama klasik.

45

Meskipun Bashrah dan Kufah merupkan pusat pendidikan ilmu bahasa Arab, namun Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang memunculkan kaidah-kaidah yang berbeda dari keduanya. Padahal dari sisi pendidikan, Ibnu Mâlik pun mengenyam dan mengkaji al-Kitab karya Sybawaih kepada Ali Abd Abdillah bin Mâlik al-Mirsyani. Adanya perbedaan antara kaidah Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik ini adalah salah satu yang akan penulis buktikan dalam penelitian ini.

46

Misalnya al-Mubarrad (w. 285 H) dengan karyanya al-Muqtadhab, Ibnu al-Khasyab (w. 567 H) dengan karyanya al-Murtajal, al-Zujajî (w. 337 H) dengan karyanya al-Jumal. lihat Hasan Musa, al-Nuhât wa al-Hadits al-Nabawî, hal. 91-72

(30)

b. Fokus kajian ini hanya pada kaidah-kaidah Ibnu Malik yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW dalam syarh Umdah, syarh Kâfiyah dan syawâhid al-Taudhîh.

c. Kaidah nahwu yang akan diteliti dalam tesis ini adalah; Isim, fi’il, huruf, tawâbi’ dan maf’ûl.

3. Rumusan Masalah

a. Bagaimana otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu dalam pandangan Ibnu Mâlik jika dibandingkan dengan ahli nahwu klasik.

b. Kaidah-kaidah apa saja yang bersumber dari Hadîts, dan bentuk Hadîts apa yang digunakan sebagai dalil kaidah nahwu; apakah qauli saja, atau juga fi’li, dan taqriri. Apakah hanya hadîts marfû’ bagaimana dengan hadîts mauqûf atau maqthû’

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam sikap dan ucap yang lahir dari manusia, pastinya memiliki tujuan dan maksud tertentu,47 terlepas apakah tujuannya baik atau tidak. Begitu pula dengan penelitian ini. Selain sebagai bukti kontribusi penulis terhadap pemikiran kaidah bahasa Arab,48 tesis ini juga membuktikan bahwa teks Hadîts (matan) mengandung stilistik bahasa yang luhur, di samping ia juga merupakan sumber hukum syariat.49

47

Hal ini sesuai dengan wejangan Nabi SAW. “Innama A’mâl bi Niyât..” (HR. al-Bukhari)

48

Ketertarikan penulis pada kajian nahwu, antara lain adanya motivasi yang menyebutkan banyaknya keutamaan-keutamaan yang disampikan oleh para sahabat maupun ulama salaf bagi pengkaji nahwu. Misalnya Umar bin Khattâb r.a pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia dapat menguatkan akal dan menambah wibawa”, maksud dari bahasa Arab di sini adalah ilmu bahasa atau nahwu. Al-Sakhâwi juga pernah mengatakan, “Mengkaji nahwu untuk menjaga firman Allah SWT dan Sabda Nabi SAW adalah bagian dari kewajiban, karena menjaga syariat adalah kewajiban, dan untuk mencapai itu diperlukan ilmu nahwu”. Untuk mengetahui lebih jelas akan keutamaan mempelajari ilmu bahasa Arab, lihat Mahmud Fajal, Al-Hadits Nabawy fi Nahwi al-Araby, hal. 44-48.

49

Dalam penelitian ini penulis membantah bahwa dalam matan Hadîts terdapat kecacatan bahasa dari sisi kaidah nahwu. Meskipun ada ulama yang menilai keshahihan Hadîts dengan melihat apakah bahasa yang tersurat baik atau buruk, maka itu dalam pandangannya meskipun Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam besar, shahih dari sisi sanad, namun buruk dari sisi kebahasaan, maka Hadîts itu palsu atau lemah. Inilah yang didakwakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya al-Manâr al-Munîf fi

(31)

Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan meneliti pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Dan tidak kalah pentingnya tesis ini juga membuktikan bahwa Ibnu Mâlik adalah pelopor ahli nahwu yang paling banyak berdalil dengan Hadîts Nabi SAW dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah;

1. Membuktikan bahwa hadits Nabi SAW dalam bentuk qauli, fi’ili, hadîst mauqûf atau marfû’ merupakan dalil nahwu yang otoritatif.

2. Membuktikan bahwa kaidah nahwu Ibnu Mâlik memiliki corak yang beragam atas kaidah nahwu sebelumnya, sebagai penguat atau bantahan atas kaidah yang ada sebelum Ibnu Mâlik.

D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.50 Itulah ujaran Nabi Muhammad SAW, sebagai cambuk bagi umatnya untuk selalu membawa kebaikan bagi yang lainnya. Karena itu usaha dalam penelitian ini juga memiliki signifikansi yang besar bagi pengkaji kaidah bahasa dan Hadîts. Antara lain;

1. Bagi pengkaji ilmu bahasa, akan mendapati kaidah-kaidah yang lahir dari Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan ahli nahwu klasik.

2. Bagi pengkaji Hadîts, akan mendapatkan wujud kongkrit otorisasi Hadîts dalam kaidah nahwu melalui pemikiran Ibnu Malik.

3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi tentang pemikiran Ibnu Mâlik, tentunya bagi pengkaji bahasa Arab yang selama ini memanfaatkan karya-karya Ibnu Mâlik.

al-Shahîh wa al-Dhaîf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988). Karenanya tidaklah mengherankan jika kitab ini menuai kritikan keras dari berbagai ahli Hadîts.

50

(32)

E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN

Sejauh ini tidak banyak suatu kajian khusus yang membahas subjek ini secara utuh. Tentu telah ada beberapa karya yang dalam satu atau lain cara membahas sejumlah permasalahan sejenis. Sekalipun demikian, karya-karya tersebut tidak ditujukan untuk membahas otorisasi Hadîts dalam pandangan Ibnu Mâlik. Sejauh yang penulis temukan, kajian tersebut hanya diangkat sebagai pelengkap dari konsentrasi kajian yang dilakukan oleh para peneliti nahwu. Namun kajian-kajian tersebut sangat berguna bagi penelitian ini, sebagai langkah awal memasuki pintu penelitian yang akan dilakukan. Di antara penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah;

Pertama, Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyîn, dirâsah wa tahlîl wa taqwîm karya Sayid Rizki Thawil (Disertasi di Universitas Al-Azhar). Penelitian ini mengungkap perbedaan pandangan ahli nahwu Bashrah dan Kûfah, sebagai kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu. Dalam penelitian ini disebutkan sebab-sebab perbedaan Bashrah dan Kûfah dalam penetapan kaidah nahwu, dan juga pengaruhnya terhadap kajian nahwu di Negara sekitarnya seperti Andalusia dan Baghdad. Keterkaitan penelitian Thawil, dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, hasil kajian Thawil yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pandangan para ahli nahwu terhadap Hadîts sebagai sumber penetapan kaidah nahwu, merupakan salah satu faktor lahirnya perbedaan dalam pembentukan kaidah nahwu.

Kedua, Al-Manhaj al-Nahwy li Ibni Mâlik, karya D. Hidayat (Disertasi IAIN Jakarta 1998). Penelitian ini mengungkap peran Ibnu Mâlik terhadap perbedaan kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu, yaitu Bashrah dan Kûfah. Menurut penelitian ini, konsep nahwu perspektif Ibnu Mâlik lebih banyak dipengaruhi oleh aliran nahwu Andalusia, yang nota-bene tidak terlalu dikenal di kalangan ulama nahwu. Yang menarik dari penelitian ini, diungkapnya peran Ibnu Mâlik terhadap Ushûl al-Nahwi, salah satunya adalah Ihtijâj bi al-Hadîts. Dari penelitian ini, diketahui bahwa Ibnu Mâlik adalah tokoh ahli bahasa Arab yang paling banyak

(33)

mengambil hujjah dan syâhid dari Hadîts Nabi SAW, jika dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya. Namun dalam penelitian ini tidak diungkap dan diteliti sejauh mana otorisasi Hadits dalam pandangan Ibnu Mâlik dan kaidah-kaidah apa saja yang lahir dari teks Hadits Nabi SAW. Kekosongan inilah yang berusaha penulis kaji dan teliti, untuk memperkuat dan membuktikan kembali bahwa Ibnu Mâlik adalah sosok ahli nahwu yang cermat dalam menganalisa dan meletakkan kaidah nahwu dari salah satu sumber otoritatif, Hadîts Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, Ilmu-Ilmu bahasa Arab dan perkembangannya pada zaman Dinasti Abbâsiyah 1, karya Ade Kosasih (Tesis IAIN Jakarta 1997). Penelitian ini mendeskripsikan perkembangan nahwu sejak awal masa kemunculannya berikut sebab dan faktor peletakan kaidah ilmu bahasa Arab, diantaranya adalah nahwu. Penelitian ini mempertegas keistimewaan bahasa Arab dengan mendeskripsikan faktor-faktor kelahiran ilmu bahasa Arab yang berasal dari faktor internal dan eksternal dari bahasa itu sendiri. Penelitian ini juga memperkuat akan kefashihan dan keluhuran bahasa yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini sangat tepat untuk dijadikan pijakan awal dalam penelitian yang penulis lakukan. Sebagai gambaran historis kemunculan ilmu bahasa Arab.

F. METODE PENELITIAN

Dilihat dari sumber datanya, penelitian ini termasuk bagian dari penelitian kepustakaan. Karena sumber datanya murni dari studi pustaka. Maka itu, penelitian ini menggunakan metode pustaka, tentunya dengan memadukan beberapa pendekatan sesuai dengan jenis data yang diteliti. Di antaranya;

1. Pendekatan isi teks; jenis pendekatan ini dipergunakan untuk mengkaji kandungan kaidah nahwu yang terdapat pada karya-karya Ibnu Mâlik, dan meneliti kaidah-kaidah nahwu yang terlahir dari teks Hadîts Nabi SAW.

(34)

2. Pendekatan sejarah, gunanya untuk memetakan pemikiran ahli nahwu terhadap Hadîts Nabi SAW dalam penetapan kaidah nahwu, mulai dari awal kemunculan nahwu hingga masa Ibnu Mâlik.51

3. Pendekatan sosial-antropologis, ini penulis lakukan karena penulis meyakini pemikiran Ibnu Mâlik tidak mungkin berdiri sendiri, pastinya dipengaruhi oleh sosial dan budaya dimana Ibnu Mâlik tinggal.52

Dengan pendekatan-pendekatan di atas, penulis melakukan usaha-usaha yang menunjang keberhasilan penelitian ini. Pada awalnya penulis akan mengidentifikasi kaidah-kaidah nahwu Ibnu Mâlik yang terlahir dari Hadîts Nabi SAW, kemudian mengelompokkannya sesuai dengan tema-tema dalam kaidah nahwu. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan oleh Ibnu Mâlik, penulis menganalisis Hadîts tersebut dengan mengkonfirmasikannya pada kitab-kitab Hadîts. Untuk melihat orisinalitas pemikiran Ibnu Mâlik, penulis akan menghubungkan kaidah-kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik dengan kaidah-kaidah ahli nahwu yang hidup sebelum maupun yang semasa dengan Ibnu Mâlik. Bahkan jika ada, penulis akan menghubungkannya juga dengan para ahli nahwu yang datang setelah Ibnu Mâlik, ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu setelahnya. Dan langkah terakhir, penulis akan membuktikan orientasi pemikiran Hadîts Ibnu Mâlik. Sehingga dalam tataran ilmiah, akan diketahui apakah pemikiran Ibnu Mâlik merupakan pemikiran baru, atau merupakan pengembangan konsep pemikiran pendahulunya, atau mungkin hanya mengulangi apa yang sudah dikaji oleh para ahli nahwu sebelumnya.

Agar usaha penelitian ini menuai hasil maksimal, maka sumber data penelitian sejatinya merupakan data-data yang menunjang langsung dalam keberhasilan penelitian ini, baik itu data primer maupun sekunder. Data-data primer dalam

51

Dalam hal ini penulis mencoba membandingkan Ibn Mâlik dengan ahli nahwu sebelumnya, dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah nahwu, seperti Sybawaih (w. 180 H), al-Anbâry ( w. 577 H), Ibnu Ya’isy (w. 643 H), Ibnu Usfhûr (w. 669 H)

52

Meskipun pada awalnya Andalusia tidak dikenal sebagai pusat madzhab besar dalam ilmu bahasa Arab, namun tidak sedikit ulama tafsir, hadits dan bahasa yang menetap di Andalusia, seperti Tsabit bin Muhammad (627 H) dan Ali al-Mirsyani (698 H).

(35)

penelitian ini, penulis peroleh dari karya-karya Ibnu Mâlik, dan sungguh tidak semua karya Ibnu Mâlik penulis jadikan sebagai data primer, namun hanya karya-karya yang ada kaitannya dengan penelitian ini yaitu kaidah-kaidah nahwu yang ditulis oleh Ibnu Mâlik. Antara lain; seperti Syawâhid Taudhih, Syarh Umdah dan Syarh al-Kâfiyah..

Adapun data sekunder yang penulis gunakan untuk menunjang data primer di atas adalah; karya-karya Ibnu Mâlik dalam bidang Nahwu yang di-syarh oleh para ulama, seperti Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyâm al-Anshary dan juga Syarh Alfiyah Ibn Mâlik karya Ibnu Aqîl al-Hâsymy. Dan juga karya-karya lain yang ditulis ahli nahwu klasik berkenaan dengan kaidah nahwu. Selain itu juga karya-karya berkenaan dengan Hadîts dan nahwu yang ditulis ulama yang otoritatif di bidang keilmuwannya menjadi data yang sangat urgen dalam tesis ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Pembahasan dalam Tesis ini terdiri atas enam bab, yakni Pendahuluan, Hadîts dan Nahwu, Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik, serta Penentuan Ibnu Mâlik berkenaan dengn fi’il, isim dan huruf, tawabi’, maf’ul dan kaidah nahwu lainnya, berikut analisis bentuk Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Dan yang terakhir penutup.

Bab pertama, dalam bab ini penulis menceritakan latar belakang pemilihan topik pembahasan, kemudian dari uraian latar belakang tersebut, penulis mengidentifikasi masalah yang ada dalam lingkup topik pembahasan. Agar kajian ini lebih fokus dan mendalam pada suatu permasalahan, tidak semua permasalahan tersebut dikaji dalam penelitian ini, karenanya penulis membatasi masalah-masalah yang akan diteliti sesuai pertimbangan waktu dan konsentrasi pada topik yang menjadi fokus dari penelitian ini. Dalam bab ini juga, penulis mengungkapkan tujuan dan signifikansi dari penelitian, sehingga hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siapa pun yang cinta akan perkembangan Ilmu nahwu, khususnya.

Bab kedua, Hadîts dan Nahwu. Penulis mengungkap tentang kedudukan Hadîts di antara sumber kaidah nahwu dan perkembangan ilmu nahwu mulai dari

(36)

awal pembentukannya hingga masa Ibnu Mâlik, dengan tujuan untuk lebih mengenal dan menampakkan kedudukan Hadîts dalam pandangan aliran pemikiran nahwu.

Bab ketiga, penulis mengungkap sosok Ibnu Mâlik, dari sisi potret kehidupan dan keilmuwannya. Kemudian penulis meneliti relasi Ibnu Mâlik dengan tokoh-tokoh sezamannya dan membandingkan pandangan Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik terhadap Hadîts Nabi SAW. Tentunya dengan meneliti karya-karya yang ditulis oleh mereka dan menganalisa riwayat hidupnya serta hubungan mereka dengan Hadîts Nabi SAW. Sehingga diketahui sejauh mana perkenalan dan kemampuan Ibnu Mâlik terhadap Hadîts dan Ilmu Hadîts. Karena hemat penulis, sejauh ini Ibnu Mâlik hanya dikenal sebagai ahli nahwu saja, jarang sekali diungkap dalam literatur Hadîts bahwa ia juga merupakan ulama yang konsen dalam Hadîts.53

Bab keempat, bab ini adalah bab inti dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis menganlisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik yang berkenaang dengan fi’il, isim dan juga huruf, yang berpijak pada Hadîts Nabi SAW, dan membandingkannya dengan kaidah dari ahli nahwu lain yang berpijak pada selain Hadîts, yaiu syair.

Bab Kelima, bab ini juga merupakan bab inti dalam penelitian penulis. Maka itu dalam bab ini akan dianalisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik berkenaan dengan tawabi’, maf’ul, dan kaidah lainnya. Dan untuk membuktikan bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik, dalam bab ini jug dianalisa hadîts-hadîts yang dijadikan sumber oleh Ibnu Mâlik sebagai kaidah nahwu, dan membandingkannya dengan pendapat ahli nahwu lain yang juga bersumber pada Hadîts tersebut.

Bab keenam, penutup yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, penulis menguraikan point inti dari penelitian ini sebagai jawaban dari rumusan masalah yang penulis tetapkan. Dan pastinya penelitian ini tidak sesempurna yang diharapkan, karena itu penulis mengemukakan saran-saran bagi para pembaca

53

Hal ini berbeda dengan Imam al-Suyûthi (w. 911 H), beliau sangat populer baik di kalangan ahli bahasa atau ahli Hadits, dan pemikirannya pun banyak dikutip oleh kalangan ahli hadits maupun ahli bahasa. Salah satu karya monumental dalam ilmu bahasa adalah al-Muzhir.

(37)

dan peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini, dan hal-hal yang perlu dikaji kembali oleh peneliti berikutnya.

BAB II

NAHWU DAN HADÎTS

A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu

Layaknya sebuah hukum syariat yang penetapannya wajib berdasarkan dalil, nahwu yang merupakan kaidah bahasa Arab dan menjadi perangkat penting dalam memahami dalil-dalil syariat, al-Qur’ân dan al-Hadîts, mesti juga bersumber dari dalil otoritatif. Karenanya memahami dan mengkaji ushûl al-Nahwi yang merupakan kajian sumber kaidah nahwu, tidak kalah penting dari nahwu itu sendiri, bukankah untuk menghasilkan buah manis dan pohon kokoh mesti berasal dari akar yang bagus. Dan ushûl al-Nahwi adalah akar dari pohon yang bernama kaidah bahasa Arab.

Dalam kajian ushûl al-Nahwi, didapati perbedaan pendapat ulama bahasa berkenaan dengan jumlah dan jenis sumber kaidah nahwu, termasuk urutan sumber

(38)

yang mesti didahulukan. Menurut Afaf Hasanayn ada empat dalil yang sering digunakan ahli bahasa dalam penetapan kaidah nahwu; Pertama, dalil Naqly (simâ’i), yaitu al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW dan perkataan orang Arab, baik itu berupa Syair maupun Natsr. Kedua, dalil Qiyâs. Ketiga, Ijmâ’. Keempat, dalil Ishtishhâb al-Hâl.54 Lain halnya dengan Ibnu Jinni, dalam kitabnya al-Khashâish ia mengungkapkan bahwa dalil nahwu hanya ada tiga, dalil Naql, Qiyâsh dan Ijmâ’.55 Sedangkan Ibnu al-Anbâry menyebutkan dalil nahwu adalah dalil Naql, Qiyâsh dan Istishhâb al-Hâl, beliau tidak menyebutkan Ijmâ’ sebagai sumber dalil.56 Menurut Imam al-Suyûthi tidak disebutkannya Ijmâ’ oleh Ibnu al-Anbâry sebagai salah satu dalil nahwu, menandakan ia berpendapat bahwa Ijmâ’ bukanlah dalil dalam penetapan kaidah nahwu.57

Dari uraian di atas, diketahui bahwa ulama hanya berselisih pada sumber

Ma’qûl, tidak pada sumber Manqûl. Dan ulama nahwu sepakat bahwa al-Qur’ân dan al-Hadîts merupkan sumber utama dalam penetapan kaidah nahwu, dan keduanya patut didahulukan dalam berdalil dan menentukan kaidah nahwu. Maka itu mashâdir manqûlah dan ma’qûlah menjadi urgen untuk dikaji dari sisi perilaku dan pengaruhnya terhadap kaidah nahwu, sebagai gambaran awal dalam menganalisis perilaku Hadîts dalam kaidah nahwu. Dengan demikian akan lebih mudah dalam membandingkan posisi Hadîts sebagai sumber kaidah dengan sumber lainnya.

1. Sumber Manqûl

a. Al-Qur’ân dan Ragam Bacaannya

54

Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi (Kairo: al-Maktabah al-Akadimiyyah 1996), hal. 237-238. Dalam istilah lain Mahmûd Ahmad Nahlah menyebutnya dengan Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah, dan istilah inilah yang penulis gunakan. Lihat dalam karyanya Ushûl al-Nahwi al-Arâby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002), hal. 31

55

Dimasukkannya Ijmâ’ sebagai dalil nahwu, menurut Ibnu Jinni karena adanya sabda Nabi SAW yang mengatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan. Lihat Ibnu Jinni, al-Khashâish, (Beirut: Dâr al-Huda, tth), cet. Ke-2, juz. 1, hal. 189

56

Ibnu al-Anbâry, Al-Ighrâb fi Jadli al-I’râb, hal. 45.

57

Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 21

(39)

Menurut keyakinan umat Islam al-Qur’ân memiliki keluhuran bahasa, bahkan dari sisi ini tidak ada tandingannya.58 Predikat ini tentu saja menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber pertama dalam penetapan kaidah nahwu, artinya jika dalam penetapan kaidah nahwu terdapat pertentangan antara al-Qur’ân dengan teks atau sumber lainnya, maka al-Qur’ân wajib didahulukan. Ini telah menjadi kesepakatan ulama bahasa, siapa saja yang membuat kaidah yang bertentangan dengan struktur bahasa al-Qur’ân, dipastikan kaidah tersebut lemah dan tidak akan diakui.59

Kendati teks al-Qur’ân disepakati kehujjahannya, tidak demikian halnya dengan ragam bacaan al-Qur’ân, bacaan al-Qur’ân yang bentuknya beragam tidak terlepas dari kontroversi akan keabsahannya sebagai dalil nahwu, khususnya bacaan yang berkualitas lemah. Sebagaimana diakui, al-Qur’ân diturunkan dengan tujuh huruf,60 yang berarti tujuh ragam bacaan,61 dan diriwayatkan oleh para ulama qirâ’at, layaknya sebuah Hadîts Nabi SAW yang ditransmisikan oleh periwayat Hadîts. Sehingga dimungkinkan satu ayat memiliki lebih dari dua bacaan. Maka itu, dalam literatur kajian ushûl al-Nahwi, ulama bahasa berbeda pendapat apakah ragam bacaan ayat-ayat suci yang ada, dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu atau tidak. Karena ragam bacaan al-Qur’ân memiliki kualitas yang beragam, ada yang otentik dan ada juga yang tidak.

58

(40)

Dari sisi kualitas periwayatan bacaan al-Qur’ân, Jalâluddin al-Bulqaini membaginya ke dalam Mutawâtir, Ahâd dan Syâdz,62 namun pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena tingkatan ini kurang dikenal dikalangan ulama qirâ’at. Lain halnya dengan pengelompokkan yang disajikan Abu al-Khair Ibnu al-Jaziry yang merupakan imam ahli qirâ’at pada masanya, ia membaginya ke dalam lima tingkatan;63Pertama, Mutawâtir,64 yaitu bacaan yang dinukil oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong, mulai periwayat tingkat pertama hingga periwayat tingkat akhir. Bacaan mutawâtir ini berjumlah sepuluh qirâ’at, namun ada juga yang mengatakan hanya berjumlah tujuh, dan yang terakhir inilah pendapat yang paling popular.65 Kedua, Masyhur yaitu bacaan yang memiliki sanad shahih meskipun tidak mencapai derajat mutawatir, namun sesuai dengan kaidah bahasa Arab66 dan juga sesuai dengan salah satu mushhaf utsmani.67 Ketiga, Ahâd yaitu

62

Yang dimaksud dengan mutawatir di sini adalah al-Qirâ’ah al-Sab’ah atau bacaan tujuh yang telah terkenal. Ahad maksudnya adalah bacaan yang diriwayatkan oleh tiga orang yang termasuk dalam al-Qira’ah al-Asyrah, selain kelompok pertama. Adapun bacaan Syâdz adalah bacaan para tâbi’în seperti al-A’masy, Yahya bin Watstsab dan Ibnu Jubair. Menurut Imam al-Suyûthi, pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena jarang sekali digunakan oleh para ulama. Lihat Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr 1996), cet. Ke-3, juz. 1, hal 236.

63

Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 241-242

64

Para ulama ada yang membagi Hadîts mutawatir kedalam dua bagian; Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi. Meskipun demikian keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong dalam Hadîts Nabi SAW. Adapun yang membedakan keduanya hanya pada bentuk, yaitu lafdzi dan ma’nawi. Ulama berbeda pendapat dalam ungkapan ‘sekelompok orang’ ini, ada yang mengatakan berjumlah lima orang, sepuluh, empat puluh bahkan tujuh puluh orang. Ada juga yang menyebutkan bahwa Hadîts mutawatir adalah Hadîts yang diriwayatkan dari periwayat pertama hingga akhir masing-masing tingkatan berjumlah tiga ratus orang lebih, ini karena jumlah sahabat Thalût dan Muslim yang ikut perang Badr berjumlah tiga ratus orang. Imam al-Suyûthi menulis Kitâb al-Fawâ’id al-Mutakâtsirah fi al-Akhbâr al-Mutawâtirah, khusus memuat Hadîts mutawatir. Selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2006) cet. Ke-3, hal. 281. Lihat juga Imam al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr 1993), hal. 352

65

Mereka adalah 1. Abu Ja’far Yazîd bin al-Qa’qa’ (130 H), 2. Nâfi’ bin Abi Na’îm (169 H), 3. Abdullah bin Katsîr (120 H), 4. Abu al-Amr al-Ala’ (154 H), 5. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadhramy (205 H), 6. Abdullah bin Âmir (118 H), 7. Âshim bin Badlah Abi al-Najud (127 H), 8. Hamzah bin Habib al-Ziyât (156 H), 9. Ali bin Hamzah al-Kisâ’i ( 189 H) dan 10. Khalf bin Hisyam al-Asady (229 H). Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, (Jeddah: Dar al-Majma’ al-Ilmi 1979), hal. 17

66

(41)

bacaan yang sanadnya shahih namun bertentangan dengan rasm mushhaf dan kaidah bahasa Arab, seperti bacaan yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim.68 Keempat,

Syâdz yaitu bacaan yang memiliki sanad tidak shahih, kategori ini menjadi kontroversi di kalangan ulama.69

Imam al-Suyûthi menambahkan satu macam lagi, sehingga berjumlah enam, yaitu bacaan yang serupa dengan Hadîts Mudraj, yaitu menambahkan kata atau kalimat dalam bacaan al-Qur’ân dengan maksud sebagai penjelasan lengkap atas kata sebelumnya, jenis ini terjadi pada bacaan Ibnu Abbâs.70

Terkait dengan bacaan Syâdz di atas, ulama berbeda pendapat, apakah bacaan Syâdz dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu? Imam al-Suyûthi

(42)

mengungkapkan bahwa bacaan al-Qur’ân yang riwayatnya bersifat mutawatir maupun ahad dapat dijadikan dalil nahwu, bahkan menurutnya jika bacaannya bersifat Syâdz pun dapat dijadikan dalil, baik itu sesuai dengan qiyâs ataupun tidak.71 Contoh kaidah nahwu yang berasal dari ragam bacaan syâdz, yaitu bolehnya Lâm al-Amr bersambung dengan Fi’il al-Mudhâri’ yang diawali dengan Ta’ al-Khithâb

(43)

Kritikan tersebut kemudian ditentang oleh Iman al-Suyûthi, bahwa menurutnya bacaan mereka itu memiliki sanad mutawatir, dan tidak ada kecacatan di dalamnya.77 Sebelum Imam al-Suyûthi mengatakan hal tersebut, Ibnu Mâlik telah lebih dahulu membantah pendapat al-Farâ, Ibnu Mâlik menegaskan bahwa diakuinya bacaan mereka oleh segenap kaum Muslim merupakan bagian dari bukti bolehnya menjadikan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah dan bahasa,78 dan Ibnu Mâlik adalah di antara pelopor penggunaan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah nahwu.

Adanya lahn dalam ragam bacaan al-Qur’ân tersebut menurut para penentang, adalah berdasarkan ungkapan Utsmân bin Affân. r.a. ketika diserahkan padanya beberapa mushhaf, Utsman r.a mengatakan bahwa di dalamnya terdapat lahn.79 Ada juga riwayat lain dari Urwah, bahwa ia pernah bertanya pada Aisyah. r.a perihal terdapatnya lahn dalam beberapa ayat,80 kemudian Aisyah menjawab bahwa itu kesalahan para penulis ketika menulis mushhaf.81

Riwayat di atas yang dijadikan dalil oleh mereka dibantah oleh para ulama, dengan beberapa sanggahan; Pertama, riwayat itu tidak-lah benar dari Utsmân, karena kualitas sanad periwayatan tersebut dha`îf, yang disebabkan mudhtharib dan munqathi’. Kedua, kalaupun riwayat itu shahih, maksudnya tidaklah demikian,

mengherankan karena al-Farâ’ adalah di antara ulama bahasa yang sangat menguasai karya Sybawaih ini, dan bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya. Atau boleh jadi al-Farâ’ menganggap apa yang dituangkan oleh Syabawaih bukanlah suatu ketetapan pasti, karena Sybawaih bukan dari kalangan Arab. Namun tentunya kita bertanya-tanya mengapa al-Farâ’ tidak mengkritisi pendapat Sybawaih dan justru beliau banyak mengambil ilmu darinya. Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989), cet. Ke-1, hal. 103-104

77

A l-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37

78

(44)

karena yang dimaksud dalam riwayat tersebut berkenaan dengan metode penulisan.82 Di antara ulama yang membantah pendapat ini adalah Ibnu al-Anbâri dalam kitabnya

al-Radd ala man Khalafa Mushhaf Utsmân.83

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa ragam bacaan al-Qur’ân yang diriwayatkan oleh para ulama juga merupakan dalil dalam kaidah nahwu. Ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama, bahwa ragam bacaan al-Qur’ân merupakan sunnah yang tidak boleh ditentang, karena ragam bacaan al-Qur’ân telah terjadi pada masa Nabi SAW, dan Nabi SAW membenarkannya.84

b. Hadîts Nabi SAW

Jika disebutkan kata Hadîts, maka difahami bahwa ia sebagai perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW.85 Namun ada juga ulama yang mengatakan apa yang disandarkan pada sahabat dan tâbi’în, juga merupakan bagian dari Hadîts.86 Terminologi di atas umumya dianut oleh ahli Hadîts dan fiqih. Sedangkan ahli nahwu memiliki terminologi sendiri tentang Hadîts Nabi SAW. Menurut mereka dalam bidang nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW, sebabnya karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja,87 dan perkataan Nabi SAW itulah yang merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada juga sebagian ahli nahwu yang menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan ahli Hadîts dan memiliki hukum marfu’, merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya itu dapat dijadikan dalil kaidah nahwu.88 Sedangkan sebab masuknya perkataan tâbi’în di antara yang layak untuk dijadikan sumber kaidah adalah, karena adanya beberapa perkataan mereka yang tertuang dalam kitab-kitab Hadîts seperti perkataan

82

(45)

al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar bin Abdul Azîz. Karenanya ahli nahwu menetapakan perkataan mereka sesungguhnya memiliki kualitas shahih untuk dijadikan dalil nahwu.89

Banyak alasan mengapa Hadîts menjadi bagian dari sumber kaidah nahwu, antara lain adalah kefashihan bahasa Nabi SAW, Nabi adalah orang yang paling fashih dalam berbicara bahasa Arab. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan keluhuran bahasa Nabi SAW, antara lain adalah Ibnu Asâkir dalam târikh-nya meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengakui bahwa ia pernah belajar bahasa Isma’îl, dan Jibril turut serta menjaga dan mengajarkannya.90 Dan sahabat-sahabat Nabi SAW pun mengakui keluhuran bahasa Nabi SAW, dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapati orang yang lebih fashih dalam bahasa Arab, kecuali Nabi SAW.91 Selain itu Nabi SAW juga mengakui bahwa ia pernah diajarkan pula al-Asmâ’, sebagaimana Nabi Adam a.s diajarkan.92

Alasan lain otorisasi Hadîts Nabi SAW sebagai bagian dari dalil nahwu adalah terpeliharanya periwayatan Hadîts oleh para sahabat dan ulama setelahnya. Sehingga otentisitas Hadîts sebagai ucapan Nabi SAW dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah.93 Maka itu, dari sisi keluhuran bahasa, Hadîts menjadi kajian urgen bagi ahli nahwu, karena bahasa yang terkandung dalam Hadîts lebih baik dibandingkan dengan bahasa syair ataupun natsr. Kendati kuantitas kajian bahasa Hadîts baru meningkat pada abad ketujuh, yaitu pada masa Ibnu Mâlik, namun ini menunjukkan bahwa Hadîts bukan hanya dikaji dari sisi kandungan hukumnya, namun juga dari sisi keluhuran stilistik bahasa.

89

Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987), hal. 46

90

Imam Suyuthi mengutipnya dari Asâkir, lihat riwayat selengkapnya di Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 35.

(46)

c. Perkataan orang Arab

Yang dimaksud dengan orang Arab di sini adalah mereka yang memiliki kefashihan dalam berbahasa dan ucapannya terhindar dari penyimpangan bahasa. Kendati demikian, tidak seluruh ucapan Arab dapat dijadikan dalil bahasa, karena seiring kemajuan zaman, sosialisai dan pertukaran antar budaya satu negeri dengan yang lainnya tidak dapat dihindarkan, akibatnya tidak setiap wilayah Arab mampu mempertahankan kefashihan bahasanya. Karenanya perlu ditentukan batasan masa dimana ucapan masyarakat Arab dapat dijadikan dalil nahwu. Sesungguhnya kajian batasan masa ini telah diteliti ahli bahasa dan sejarah, meskipun tidak dipungkiri terjadi perselisihan pendapat tentang batasan masa orang Arab yang dapat dijadikan hujjah dalam bahasa fashih. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa orang Arab yang sah dan perkataannya dapat dijadikan dalil nahwu adalah orang Arab perkotaanyang hidup hingga akhir abad kedua, sedangkan orang Arab Badui yang ada di Jazirah Arab perkataannya dapat dijadikan dalil Nahwu hingga akhir abad keempat.94 Perbedaan batasan masa ini, ditentukan berdasarkan kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan kemurnian bahasanya.

Ucapan masyarakat Arab ini terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Syair dan Natsr. Meskipun terbagi ke dalam dua bentuk, bagi ahli nahwu klasik keduanya tidak menjadikan yang satu lebih penting dari yang lain, dalam posisinya sebagai dalil nahwu, kendati dalam beberapa kesempatan tidak dipungkiri bahwa ahli nahwu lebih banyak berdalil dengan syair.95 Gejala ini diakui oleh Ibrahim Anis, menurutnya ada ahli nahwu klasik yang memisahkan antara Syair dan Nastr, di antara ulama tersebut adalah al-Subki.96

94

Abbâs Hasan, Al-Lughah wa Nahwu, bayna Qadim wa Hadits, (Mesir: Dar- al-Ma’arif t.th), hal. 24

95

Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 86

96

Ibrâhim Anis, Min Asrâr al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah 1975), cet. Ke 5 lihat juga di Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 87

Referensi

Dokumen terkait

Dalam stratigrafi tradiosional pengertian lapisan tidak terlalu ditekankan, bahkan definisinyapun tidak ada, Dalam stratigrafi tradiosional pengertian lapisan tidak

tidak terlepas dari pandangannya mengenai tanah sebagai faktor produksi. Menurut Raffless, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah. Dengan demikian sudah

Perangkat lunak ini mampu menghasilkan informasi tentang besarnya pembayaran pembukaan sewa dan informasi kunjungan nasabah yang datang untuk melakukan transaksi

'DODP SHQHOLWLDQ LQL GLODNXNDQ DPRELOLVDVL HQ]LP OLSDVH &DQGLGD UXJRVD SDGD PDWULNV ]LUNRQLD DJDURVD \DQJ GLDNWL YDVL JXJXV HSRNVLGD $JDURVD \DQJ ND\D DNDQ JXJXV

Sedangkan problematika non linguistik yang pertama adalah kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa yang timbul dari faktor lingkungan yang meliputi:

Larutan natrium silikat dibuat dengan menggunakan metode sol-gel, keadaan optimum pada larutan diperlukan hasil rendemen konsentrasi serta analisa kandungan yang terdapat

Adapun prosedur pendaftaran hak atas tanah perseorangan yang berasal dari tanah ulayat atau tanah marga di Kecamatan Parbuluan adalah sebagai berikut: Pertama:

Pengamatan yang dilakukan meliputi suhu harian rata-rata dari anthesis hingga panen, sesuai dengan perlakuan umur panen, laju respirasi selama penyimpanan, umur