• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penunjang Keputusan untuk Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Penunjang Keputusan untuk Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Agroindustri kelapa sawit di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati di dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Dirjen Perkebunan (2008) mencatat bahwa hingga akhir tahun 2007, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih dari enam juta hektar yang tersebar di 22 propinsi. Pada Tabel 1.1 disajikan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut propinsi pada tahun 2003 hingga tahun 2007. Peningkatan luas lahan perkebunan ini akan meningkatkan kapasitas olah tandan buah segar (TBS) di pabrik kelapa sawit (PKS) sehingga kuantitas minyak kelapa sawit dan inti sawit sebagai produk olahan TBS akan mengalami peningkatan. Namun di sisi lain, peningkatan kapasitas olah TBS tersebut juga akan meningkatkan kuantitas limbah PKS yang dihasilkan. Limbah PKS harus dapat ditangani dengan benar dan tepat agar dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dapat diminimalisir. Apalagi dengan peningkatan kuantitas limbah PKS seperti saat ini, maka bobot limbah PKS yang harus dibuang ke lingkungan sebagai badan penerima semakin bertambah sehingga resiko pencemaran lingkungan juga semakin meningkat.

(2)

2 dimanfaatkan tanpa harus diolah terlebih dahulu (Ditjen PPHP Departemen Pertanian, 2006). Indonesia 5.283.557 5.284.723 5.453.816 6.594.914 6.611.614 0,25 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)

(3)

3 tersebut. Pada Tabel 1.2 disajikan mengenai jenis, potensi dan pemanfaatan limbah PKS. Berbagai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang telah dikembangkan diharapkan dapat membantu pihak industri kelapa sawit dalam menangani limbah PKS yang dihasilkan.

Tabel 1.2. Jenis, potensi dan pemanfaatan limbah PKS

Jenis limbah Potensi per ton TBS (%) Manfaat

Tandan kosong 21,5 – 23 Pupuk kompos, pulp kertas, papan partikel, energi

Wet decanter solid 4,0 Pupuk kompos, makanan

ternak

Cangkang 6,5 Aran aktif, papan partikel Serabut 13,0 Energi, pulp kertas, papan

partikel

Limbah cair 50 – 60 Pupuk, air irigasi, sumber energi

Air kondensat - Air umpan boiler Sumber : Ditjen PPHP Departemen Pertanian (2006)

Banyaknya alternatif metode pengolahan dan pemanfaatan yang tersedia membuat pihak industri kelapa sawit perlu untuk mempertimbangkan berbagai faktor agar metode yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan kondisi perusahaan dan tujuan penanganan limbah PKS yang ingin dicapai. Pada akhirnya diharapkan terpilihnya metode pengolahan dan pemanfatan limbah PKS yang dapat diterapkan secara tepat dan optimal. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti mencoba untuk mengembangkan suatu sistem guna membantu pihak industri kelapa sawit dalam mempertimbangkan dan menentukan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang akan diterapkan. Sistem yang dikembangkan yaitu berupa sistem penunjang keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan limbah PKS. Sistem ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan pertimbangan kepada pihak industri kelapa sawit dalam memilih dan menerapkan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang tepat dengan kapasitas yang optimal sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial serta menjaga kelestarian lingkungan.

Metode analisis optimasi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

goal programming. Menurut Bertolini dan Bevilacqua (2005), goal programming

(4)

4 dari unit-unit (satuan) ukuran yang tidak homogen. Metode goal programming yang digunakan akan dikombinasikan dengan metode Analytical Hierarchy Process

(AHP). Metode AHP berfungsi sebagai pemberi nilai prioritas pencapaian terhadap tujuan optimalisasi pemanfaatan limbah PKS yang dirumuskan pada penelitian ini.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model Sistem Penunjang Keputusan optimalisasi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit. Model yang dikembangkan terdiri dari :

1. Model penentuan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah cair dan limbah padat PKS yang akan diterapkan. Model ini menggunakan metode analisis goal programming yang dikombinasikan dengan metode analytical hierarchy process. 2. Model analisis biaya untuk pengoperasian berbagai metode pengolahan dan

pemanfaatan limbah cair dan limbah padat PKS. Model ini menggunakan metode heuristik dalam tahapan analisis biaya.

3. Informasi mengenai metode pengolahan dan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit yang direkomendasikan oleh pihak-pihak yang berkecimpung (pakar) dalam sistem penanganan limbah PKS.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini mencakup pemodelan optimalisasi pemanfaatan limbah PKS yang kemudian dikembangkan dalam suatu model Sistem Penunjang Keputusan yang terkomputerisasi. Sistem yang dikaji mencakup kriteria dan alternatif metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS, penentuan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang tepat dengan kapasitas pemanfaatan yang optimal serta menghitung analisis biaya dari pengolahan dan pemanfaatan limbah tersebut. Sistem ini diharapkan mampu memberikan alternatif keputusan untuk menunjang proses pemilihan metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang lebih bermanfaat, menguntungkan dan ramah lingkungan.

(5)

5 metode pengolahan dan pemanfaatan yang dikaji pada penelitian ini merupakan rekomendasi dari pihak Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Berikut rincian metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang dikaji :

1. Limbah cair PKS

Metode pengolahan yang dikaji yaitu :

a) metode kolam stabilisasi, informasinya diperoleh dari literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006) yang menyajikan bahasan mengenai instalasi kolam stabilisasi pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam,

b) metode tangki anaerobik-aerasi lanjut, informasinya diperoleh dari literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006) yang menyajikan bahasan mengenai instalasi tangki anaerobik-aerasi lanjut pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam,

c) metode reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT), informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Buana, dkk (2000) yang menyajikan bahasan mengenai analisis finansial penerapan metode RANUT pada PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam.

Metode pemanfaatan yang dikaji :

a) pemanfaatan limbah cair terolah untuk irigasi dan pemupukan (teknik aplikasi :

flatbed, traktor tangki dan longbed), informasinya diperoleh dari PT. Condong, Garut (Putri, 2009) yang telah menerapkan teknik aplikasi lahan yang dikaji, b) pemanfaatan biogas sebagai sumber energi, informasinya diperoleh dari

literatur yang dikeluarkan oleh Ditjen PPHP Deptan (2006),

c) pemanfaatan limbah cair terolah sebagai penambah nutrisi kompos TKKS , informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Wulfert, dkk (2000). 2. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

Metode pengolahan yang dikaji adalah metode teknologi kompos TKKS, informasinya diperoleh dari PT. Surya Faster Growing (2004) yang telah menerapkan metode teknologi kompos TKKS.

(6)

6 a) pemanfaatan TKKS sebagai mulsa dan pemanfaatan kompos TKKS di lahan perkebunan, informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Pahan (2008) dan Taniwiryono (2009),

b) penjualan/pemasaran kompos TKKS, informasinya diperoleh dari literatur yang disusun oleh Buana, dkk (2000).

Informasi dan data mengenai penerapan berbagai metode sebagian diperoleh dari berbagai perusahaan kelapa sawit yang memiliki pabrik kelapa sawit dengan kapasitas olah yang sama (30 ton TBS/jam) dan telah menerapkan salah satu metode pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS yang dikaji. Sementara itu, informasi dan data yang diperoleh dari studi literatur serta wawancara dilakukan karena sebagian metode penanganan limbah yang dikaji belum banyak diterapkan oleh pabrik kelapa sawit sehingga sulit memperoleh data dan informasi penerapannya. Informasi dan data yang diperoleh akan digunakan pada tahapan verifikasi terhadap model yang telah dikembangkan. Oleh karena data dan informasi diperoleh dari tahun penulisan yang berbeda, maka untuk penyetaraan nilai biaya digunakanlah nilai persentase inflasi yang terjadi di Indonesia (antara tahun 2001 – 2009) sebagai asumsi.

D. OUTPUT PENELITIAN

Penelitian ini menghasilkan output berupa perangkat lunak sistem penunjang keputusan optimalisasi pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang bernama PW (Palm Oil Mill Waste) Optima 1.0. Model sistem ini memiliki empat submodel, yaitu model analisis biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah cair PKS, model analisis biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah TKKS, model optimalisasi pemanfaatan limbah cair PKS, serta model optimalisasi pemanfaatan TKKS. Hasil analisis model ini yaitu meliputi :

1. kapasitas optimal dari pengolahan dan pemanfaatan limbah cair PKS serta TKKS, 2. penggunaan biaya yang optimal dari pengolahan dan pemanfaatan limbah cair

PKS serta TKKS,

3. nilai keuntungan optimal yang diperoleh pihak industri kelapa sawit,

(7)

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA SAWIT DAN PENGOLAHANNYA

1. Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tumbuhan tropis yang tergolong dalam famili Palmae dan berasal dari Afrika Barat. Meskipun demikian, kelapa sawit dapat tumbuh di luar daerah asalnya, termasuk Indonesia. Hingga kini, tanaman ini telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit (Fauzi et al, 2006).

Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan, 2008) : Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : E. guineensis Jacq., E. oleifera (H.B.K) Cortes, E odora

Lebih lanjut, Fauzi et al (2006) menjelaskan bahwa kelapa sawit tergolong tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20 – 75 cm. Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15 – 18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m. Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah sebanyak 20 – 22 tandan/tahun.

2. Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Pabrik kelapa sawit adalah industri pengolahan tandan buah segar (TBS) dari tanaman kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak inti sawit (palm kernel oil). Proses pengolahan TBS menjadi crude palm oil (CPO) dan

(8)

8 a. Stasiun penerimaan buah

Stasiun penerimaan buah merupakan tempat penerimaan pertama bagi TBS yang berasal dari kebun sebelum diolah dalam PKS. Di stasiun ini, TBS akan ditimbang di jembatan timbang (weight bridge) dan ditampung sementara di penampungan buah (loading ramp).

b. Stasiun rebusan (sterilizer)

Stasiun rebusan merupakan stasiun yang melakukan proses perebusan TBS. Proses perebusan sangat menentukan kualitas hasil pengolahan TBS di PKS. Tujuan dari proses perebusan TBS yaitu menghentikan perkembangan asam lemak bebas (ALB), memudahkan proses pemipilan, mengurangi kadar air di dalam buah sehingga mempermudah proses pengempaan dan pemisahan minyak dari zat nonlemak serta penyempurnaan dalam proses pengolahan inti sawit. Proses perebusan TBS dilakukan dengan menggunakan tekanan uap sebagai media panasnya.

c. Stasiun pemipilan (stripper)

TBS yang telah direbus dikirim ke stasiun pemipilan dan dituangkan ke alat pemipil (thresher) dengan bantuan hoisting crane. Pada stasiun pemipilan dilakukan proses pemipilan untuk melepaskan brondolan dari tandannya. Proses pemipilan ini terjadi akibat tromol berputar pada sumbu mendatar yang membawa TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS dan menyebabkan brondolan terlepas dari tandannya. Brondolan dibawa ke stasiun pencacahan (digesting) dan pengempaan (pressing). Sementara itu, tandan yang telah dilepaskan brondolannya atau tandan kosong keluar melalui ujung tromol dan dibawa oleh empty bunch conveyor menuju tempat penampungan tandan kosong. d. Stasiun pencacahan (digester) dan pengempaan (presser)

(9)

9 Gambar 2.1 Diagram alir proses pengolahan TBS (Pahan, 2008)

Minyak

Oil Purifier Buffer Sludge Tank

Sludge Separator

Kernel Silo Clay bath

(10)

10 biji dibawa oleh cake breaker conveyor (CBC) menuju stasiun pemisahan biji dan inti.

Di dalam sand trap tank terjadi proses pengendapan sebagian kotoran berupa lumpur (sludge) maupun pasir, sedangkan minyak serta sebagian kotoran yang tidak mengendap berada di bagian atas dan dialirkan menuju saringan getar (vibrating screen). Kotoran yang mengendap tersebut dialirkan menuju fat pit. Pada saringan getar, minyak kasar disaring untuk memisahkan minyak kasar dari kotoran berupa serabut kasar. Minyak kasar yang telah disaring dialirkan menuju tangki minyak kasar (crude oil tank atau COT)), sedangkan kotoran berupa serabut kasar dibawa ke stasiun pengempaan untuk diproses kembali. Hal ini bertujuan untuk mengutip minyak yang masih terdapat pada serabut kasar sehingga minyak yang terbuang dapat dikurangi.

e. Stasiun pemurnian (Clarifier)

Pada stasiun pemurnian, minyak kasar yang diperoleh dari hasil pengempaan akan dibersihkan dari kotoran (padatan, lumpur, maupun air) agar diperoleh CPO dengan kualitas sebaik mungkin dan dapat dipasarkan dengan harga layak. Proses pemurnian mulai dilakukan pada COT. Pada COT, minyak kasar dijaga pada temperatur 90 OC untuk memperbesar perbedaan berat jenis antara minyak, air, dan kotoran sehingga dapat mempermudah proses pengendapan. Selanjutnya, minyak dari COT dikirim ke tangki pengendap (vertical clarifier tank

atau VCT), sedangkan sebagian kotoran yang mengendap (sludge) akan dibuang melalui saluran pembuangan yang dibuka tiap satu jam. Sludge tersebut dialirkan ke

fat pit.

Di dalam VCT, temperatur dijaga pada kisaran 90 - 95 OC untuk mempermudah proses pengendapan kotoran sehingga terpisah dari minyak kasar dan dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk (stirer agitator). Minyak dari VCT selanjutnya dikirim ke oil tank, sedangkan sludge dikirim ke

(11)

11 kotoran-kotoran ringan yang terkandung di dalamnya. Proses pemisahan dalam oil purifier ini menggunakan metode pemusingan dengan putaran tinggi untuk memisahkan cairan-cairan yang tidak saling bersenyawa (tidak saling melarutkan), mempunyai berat jenis yang berbeda, dan benda padat yang terkandung di dalamnya. Fase yang lebih berat, dalam hal ini air dan kotoran (sludge), akan mendapat gaya sentrifugal yang lebih besar sehingga akan terlempar lebih jauh ke bagian luar dari sumbu putar. Minyak yang telah dimurnikan di dalam oil purifier diharapkan memiliki kadar kotoran sebesar 0,01 – 0,02% dan kadar air ± 5%.

Selanjutnya, minyak dipompa menuju vacuum dryer. Di dalam vacuum dryer terjadi proses pengurangan kadar air pada minyak dengan proses pengeringan yang menggunakan tekanan rendah (vakum) antara 0,650 sampai -700 mmHg dengan temperatur berkisar antara 90 – 95 OC. Pemberian tekanan dan temperatur pada vacuum dryer dilakukan menggunakan steam ejector. Minyak yang telah melalui proses pengeringan ini diharapkan memiliki kadar air berkisar antara 0,01 – 0,02%. Kemudian, minyak dialirkan menuju oil transfer tank

sebagai tempat penampungan sementara minyak yang telah dimurnikan sebelum dialirkan dan disimpan di dalam tangki timbun.

f. Stasiun pemisahan biji dan inti (kernel)

Proses pemisahan biji dan inti meliputi dua metode, yaitu metode pemisahan biji dan serabut serta metode pengolahan dan pemisahan inti sawit.

Metode pemisahan biji dan serabut

Cara yang digunakan untuk memisahkan biji dari serabut kelapa sawit yaitu dengan menggunakan tarikan atau hisapan udara pada sebuah kolom pemisah (separating column) yang terdapat pada depericarper. Kemudian biji masuk ke tromol pembersih biji (nut polishing drum) untuk membersihkan sisa-sisa serabut yang masih menempel pada biji. Biji yang telah bersih akan terdorong oleh beater arm ke ujung nut polishing drum dan selanjutnya dibawa oleh

elevator menuju nut grading drum untuk dipisahkan berdasarkan ukurannya. Metode pengolahan dan pemisahan inti kelapa sawit (IKS)

(12)

12 Sebelum ditampung di dalam nut silo, biji bersih akan memasuki tromol pemisah biji (nut gradingdrum) untuk memisahkan antara biji berukuran kecil dengan biji berukuran besar. Tujuan pemisahan biji adalah untuk memperoleh efisiensi pemecahan biji yang optimal karena alat pemecah biji telah diset untuk memecahkan biji dengan ukuran tertentu. Pengeringan biji dilakukan di dalam

nut silo dan bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat di dalam biji sehingga daya lekat inti dan cangkang semakin renggang. Biji yang telah dikeringkan di dalam nut silo selanjutnya diumpankan ke alat pemecah biji, yaitu king cracker. Biji-biji tersebut akan terpecah sehingga mengeluarkan inti sawit (palm kernel) yang ada di dalamnya. Hasil pemecahan dari king cracker berupa campuran kernel, cangkang dan kotoran halus selanjutnya dibawa oleh conveyor dan elevator menuju ke bagian pemisahan.

Ada dua metode pemisahan kernel dan cangkang, yaitu sistem pemisahan kering dan pemisahan basah. Pemisahan kering dilakukan dalam suatu kolom vertikal (LTDS atau Light Tenera Dust Separator) dengan bantuan hisapan udara dari blower, dimana fraksi yang lebih ringan akan terhisap ke bagian atas, sedangkan fraksi yang lebih berat akan jatuh ke bawah. Proses pemisahan dilakukan pada dua kolom pemisah, yaitu LTDS 1 dan LTDS 2. Pemisahan basah dilakukan dengan menggunakan claybath dengan prinsip pemisahan berdasarkan perbedaan berat jenis antara inti dan cangkang menggunakan larutan kaolin. Inti yang sudah terpisah dari cangkang dimasukkan ke silo inti untuk diturunkan kadar airnya. Pengeringan ini bertujuan untuk menonaktifkan kegiatan mikroorganisme sehingga pembentukan jamur atau kenaikan asam dapat dibatasi pada saat inti disimpan. Selanjutnya, inti tersebut dibawa oleh

vanbelt conveyor menuju silo penyimpanan inti (bulk kernel silo).

3. Limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

(13)

13 Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah dalam volume yang sangat besar. Hal ini dapat terlihat pada neraca massa pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) yang disajikan pada Gambar 2.2. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan limbah cair.

Gambar 2.2. Neraca massa pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan, 2006)

Limbah padat dapat dibuang secara langsung ke lingkungan tanpa harus diolah terlebih dahulu. Sementara untuk limbah cair, sebelum dibuang ke lingkungan, harus

(14)

14 diolah terlebih dahulu sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah padat dan limbah cair PKS juga dapat dimanfaatkan oleh PKS setelah limbah tersebut diolah dengan metode pengolahan tertentu. Pemanfaatan limbah PKS tersebut juga harus didasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

a. Limbah cair pabrik kelapa sawit

1) Karakteristik limbah cair pabrik kelapa sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung bahan organik yang dapat mengalami degradasi. Pada Tabel 2.1 disajikan komposisi jumlah air limbah dari 1 ton CPO yang diproduksi. Pada Tabel 2.2 disajikan kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh PKS berdasarkan parameter lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Tabel 2.1 Komposisi jumlah air limbah dari satu ton CPO

No. Uraian Kapasitas

1 Air 2,35 ton

2 NOS (Non Oil Solid) 0,13 ton

3 Minyak 0,02 ton

Jumlah 2,50 ton

Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006) Tabel 2.2 Kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh PKS secara umum

No. Parameter

Lingkungan Satuan

Limbah Cair

Kisaran Rata-rata

1 BOD mg/l 8.200 – 35.000 21.280

2 COD mg/l 15.103 – 65.100 34.720

3 TSS mg/l 1.330 – 50.700 31.170

4 Nitrogen Total mg/l 12 – 126 41

5 Minyak dan Lemak mg/l 190 – 14.720 3.075

6 pH - 3,3 – 4,6 4

Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Ditjen PPHP, Deptan (2006)

(15)

15 BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD adalah banyaknya oksigen yang terlarut dalam ppm atau milligram per liter (mg/l) yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan organik di dalam air (Fardiaz, 1992).

COD (Chemical Oxygen Demand)

COD adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram per liter (mg/l) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara kimiawi (Sugiharto, 1987).

TSS (Total Suspended Solid)

TSS adalah jumlah total bobot bahan (padatan) yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter (mg/l) atau ppm. TSS menggambarkan padatan melayang dalam cairan limbah. Pengaruh TSS lebih nyata pada kehidupan biota dibandingkan dengan total solid. Semakin tinggi TSS, maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi (Kristanto, 2004).

Nitrogen total

Nitrogen total merupakan penjumlahan dari kandungan nitrogen organik, total amoniak, NO3-N dan NO2-N di dalam air limbah. Semakin tinggi kandungan total nitrogen dalam cairan limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada biota (Suprihatin dan Ismayana, 2000).

Minyak dan lemak

Kandungan minyak dan lemak di dalam air limbah dapat mempengaruhi aktifitas mikroba dan merupakan pelapis permukaan cairan limbah sehingga menghambat proses oksidasi pada saat kondisi aerobik. (Fardiaz, 1992).

pH

(16)

16 2) Peraturan mengenai penanganan limbah cair PKS

Limbah cair PKS harus diolah terlebih dahulu hingga memenuhi baku mutu air limbah sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995. Daftar baku mutu limbah cair industri kelapa sawit diberikan pada lampiran B.IV di dalam Keputusan Menteri tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 2.3. Setelah memenuhi baku mutu air limbah tersebut, barulah limbah cair dapat dibuang ke badan air seperti sungai atau danau.

Tabel 2.3 Baku mutu limbah cair untuk industri kelapa sawit

Parameter Kadar Maksimum

(mg/l)

Beban Pencemaran Maksimum (mg/l)

BOD5 100 0,25

COD 350 0,88

TSS 250 0,63

Minyak dan Lemak 25 0,063

Nitrogen Total (sebagai N) 50,0 0,125

pH 6,0 – 9,0

Debit Limbah Maksimum 2,5 m3 per ton produksi minyak sawit Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 1995

Selain itu, dalam proses penanganan limbah cair juga diwajibkan kepada pihak industri kelapa sawit untuk memiliki izin pembuangan air limbah hasil pengolahan limbah cair PKS yang diatur atau dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat yang penetapannya berdasarkan pada :

Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 111 tahun 2003 tentang pedoman mengenai syarat dan tata cara perizinan serta pedoman kajian pembuangan air limbah ke air atau sumber air.

3) Metode pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit

(17)

17 a) Pengolahan secara fisika, dilakukan sebelum pengolahan lanjutan air limbah yang bertujuan untuk menyisihkan bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan mudah menguap atau bahan-bahan yang terapung.

b) Pengolahan secara kimia, dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun, dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan.

c) Pengolahan secara biologi, dilakukan karena semua air limbah mengandung bahan organik yang dapat diolah secara biologi.

Dalam penanganan limbah cair PKS, teknik pengolahan yang digunakan lebih mengarah ke pengolahan secara fisika dan biologi. Tahapan pengolahan limbah cair PKS dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment), pengolahan utama (primary treatment) dan pengolahan akhir (post treatment), seperti yang disajikan pada Gambar 2.3. Pada tiap tahapan akan dilakukan proses pengolahan limbah cair PKS dengan metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Subdit Pengelolaan Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Berikut penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut :

a) Tahap pengolahan pendahuluan (pre treatment)

Rangkaian proses pengolahan limbah cair PKS yang dilakukan pada tahap pendahuluan pengolahan pendahuluan yaitu :

i. Proses segregasi aliran

Proses segregasi (pemisahan) aliran limbah cair PKS berdasarkan sumbernya, yaitu limbah cair yang berasal dari air rebusan TBS, stasiun klarifikasi dan air hidrosiklon.

ii. Proses pengurangan minyak dan lemak

(18)

18 mengurangi kemungkinan terbentuknya buih yang dapat mengganggu proses pengolahan pada tahap pengolahan utama.

Gambar 2.3 Tahap pengolahan limbah cair PKS

Menurut Hassan, et al (2004), pemisahan minyak dan lemak dari limbah cair PKS dapat dilakukan dengan oil skimmer yaitu pemisahan dengan bantuan uap panas yang dimasukkan ke dalam limbah cair PKS untuk membantu mempercepat pemisahan antara minyak dan cairan lumpur.

iii. Proses penurunan suhu limbah cair PKS

Suhu limbah cair PKS diturunkan dari suhu 70 – 80 OC menjadi 40 – 45 OC dan dilakukan di menara atau bak pendingin. Proses ini dilakukan selama 1 sampai 2 hari. Tujuan dari proses ini yaitu untuk menurunkan suhu limbah cair PKS agar

dibuang ke badan air Kolam aerobik-aerasi

Kolam pengendapan Pengolahan akhir

Secara aerobik Limbah cair PKS

1. Segregasi aliran 2. Pengutipan minyak 3. Penurunan suhu

RANUT

Kolam anaerobik Tangki anaerobik Pengolahan pendahuluan

Pengolahan utama

(19)

19 sesuai dengan kondisi suhu yang ideal untuk mikroorganisme yang akan digunakan pada tahapan pengolahan utama.

b) Tahap pengolahan utama (primary treatment)

Tahap pengolahan utama terdiri dari 2 tahap proses pengolahan, yaitu proses pengolahan limbah cair secara anaerobik dan secara aerobik.

i. Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik (tanpa oksigen)

Rantai reaksi anaerobik ditunjukkan pada Gambar 2.4. Pada tahap pertama, bahan-bahan organik dikonversi oleh bakteri menjadi bahan-bahan organik yang terlarut. Pada tahap kedua, bahan-bahan organik terlarut tersebut dikonversi oleh bakteri asidifikasi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan sebagainya sehingga air limbah yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Tahap kedua juga menghasilkan hidrogen dan karbondioksida. Tahap selanjutnya adalah dua tahap pembentukan asam asetat dan metana serta karbondioksida. Bersamaan dengan dua tahap terakhir, terjadi pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri pemakan sulfat. Jika kandungan sulfur dalam air limbah tinggi, hidrogen sulfida yang terkandung di dalam gas akan menimbulkan masalah bau dan korosi (Siregar, 2005).

(20)

20 Pada proses pengolahan limbah cair PKS secara anaerobik, terdapat tiga metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Subdit Pengelolaan Lingkungan Ditjen PPHP Departemen Pertanian, yaitu metode kolam anaerobik, tangki anaerobik dan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT).

i. Kolam anaerobik (kolam stabilisasi)

Kolam anaerobik merupakan metode pengolahan limbah cair PKS dengan menggunakan kolam-kolam sebagai tempat berlangsungnya proses pengolahan limbah cair PKS secara anaerobik. Pada Gambar 2.5 disajikan dasar perancangan untuk sistem kolam anaerobik aerasi. Proses anaerobik dilakukan di dalam kolam-kolam anaerobik yang terdiri dari kolam asidifikasi (pengasaman), kolam anaerobik primer dan anaerobik sekunder.

Pada kolam asidifikasi, bahan-bahan organik yang telah dikonversi menjadi bahan terlarut akan dikonversi menjadi asam organik, alkohol, aldehid dan sebagainya. Pada kolam anaerobik primer, akan terjadi proses asetogenesis dan fermentasi metana terhadap air limbah hingga tercapai baku mutu air limbah untuk aplikasi lahan. Sementara kolam anaerobik sekunder dimanfaatkan untuk melanjutkan proses di kolam anaerobik primer dan diperuntukkan terhadap limbah cair yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan. Secara prinsip, proses kerja yang terjadi di kolam anaerobik sekunder sama dengan kolam anaerobik primer. Pada Tabel 2.4 disajikan kisaran komponen kimia limbah cair PKS sebelum dan setelah penanganan dengan metode kolam anaerobik (kolam stabilisasi).

ii. Tangki anaerobik

(21)

21 Tabel 2.4 Kisaran komponen kimia limbah cair PKS sebelum dan setelah

penanganan dengan metode kolam stabilisasi.

Uraian WPH Sumber : Pamin, Siahaan dan Tobing (1996)

Proses anaerobik, yang dilakukan dalam dua tahapan proses anaerobik, yaitu :  Proses anaerobik yang dilakukan di tangki anaerobik tertutup, dengan alur

proses pengolahan sama dengan proses pengolahan yang terjadi di kolam anaerobik pada metode kolam stabilisasi. Gas metan (biogas) yang dihasilkan dari proses pengolahan air limbah secara anaerobik akan ditampung dan kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Limbah cair yang telah mengalami biodegradasi di dalam tangki memiliki BOD < 2000 mg/l sehingga dapat diaplikasikan di lahan perkebunan. Fraksi lumpur yang dihasilkan akan mengendap pada dasar tangki dan dialirkan menuju bak pengeringan lumpur.

 Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerob, yang dilakukan untuk mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam tangki anaerobik (yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam pengendapan ini akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses anaerobik di tangki anaerobik. Biosolid yang mengendap pada dasar kolam akan diambil dan dialirkan ke sand bed.

iii. Metode reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT)

(22)

22 Gambar 2.5 Dasar perancangan sistem kolam anaerobik aerasi dengan kapasitas olah PKS 30 ton TBS /jam (Subdit Pengelolaan

(23)

23 Gambar 2.6 Rancang bangun sistem tangki anaerobik tertutup (resirkulasi gas)/aerasi-aerobik. Dirancang untuk kapasitas olah PKS 30

(24)
(25)

25 Gambar 2.7. Proses pengolahan air limbah secara anaerobik pada reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT) (Subdit Pengelolaan

(26)

26

digester. Biogas yang dihasilkan diukur dengan alat pengukur gas. Pengoperasian reaktor dilakukan pada suhu kamar (26 – 28 OC).

Proses anaerobik pada kolam pengendapan anaerobik dilakukan untuk mengolah lebih lanjut limbah cair hasil biodegradasi di dalam RANUT (yang tidak termanfaatkan untuk aplikasi lahan). Pada kolam pengendapan ini akan terjadi proses pengendapan yang bertujuan untuk memisahkan mikroorganisme (biosolid) dari air limbah setelah proses anaerobik di RANUT. Biosolid yang mengendap pada dasar kolam akan diambil dan dialirkan ke sand bed.

Proses pengolahan limbah cair secara aerobik

Air limbah yang keluar dari proses pengolahan secara anaerobik masih mengandung bahan organik, misalnya substrat, seperti hidrogen, karbon, oksigen dan nitrogen, sehingga perombakan harus dilanjutkan dengan perombakan secara aerobik yang dilakukan di kolam aerobik-aerasi. Perombakan secara aerobik membutuhkan oksigen sehingga dilakukan proses aerasi atau pemberian oksigen ke dalam proses perombakan. Oksigen akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerobik yang terdapat di dalam air limbah untuk merombak bahan-bahan organik di dalam air limbah.

Rantai reaksi aerobik ditunjukkan pada Gambar 2.8. Pada tahap pertama, senyawa-senyawa organik diambil oleh bakteri, kemudian senyawa-senyawa organik yang terlarut dikonversikan ke dalam massa bakteri sehingga menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap kedua, biomassa yang dihasilkan pada tahap pertama dikurangi oleh mikroorganisme lain, misalnya oleh Ciliata. Tahap ini juga menghasilkan air, karbondioksida dan amonia. Pada tahap yang lebih lanjut, amonia dapat dikonversikan oleh bakteri, yaitu dinitrifikasi menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) (Siregar, 2005).

c) Tahap pengolahan akhir (post treatment)

(27)

27 Gambar 2.8 Rantai reaksi aerobik (Siregar, 2005)

4) Metode Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Terolah

Terdapat beberapa metode pemanfaatan limbah cair PKS hasil pengolahan di IPAL, yaitu :

a) Aplikasi lahan

Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk di lahan perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar kandungan hara dalam limbah tersebut seperti disajikan pada Tabel 2.4. Pemanfaatan limbah ini, disamping sebagai pupuk, juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah, biaya tersebut diperkirakan dapat diturunkan sebesar 50 – 60% (Pamin, Siahaan dan Tobing, 1996). Hal tersebut dikarenakan pemanfaatan limbah cair untuk aplikasi lahan ini menggunakan limbah cair dari kolam anaerobik primer, sehingga jumlah (kapasitas) limbah cair yang akan diolah di kolam pengolahan berikutnya pada IPAL akan berkurang. limbah cair dari kolam anaerobik primer (setelah diolah secara anaerobik) dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lahan karena limbah cair tersebut telah memiliki nilai BOD antara 3500 – 5000 mg/l yang masih memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Pertanian No. KB. 310/453/MENTAN/XII/95 tentang standarisasi pengolahan limbah cair PKS terutama untuk aplikasi lahan sebagai sumber air dan pupuk, seperti disajikan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Baku mutu limbah cair PKS untuk aplikasi lahan

No. Uraian Batasan kepekatan

1 BOD (mg/l) < 3500

2 Minyak dan lemak (mg/l) < 3000

3 pH 6,0

(28)

28 Aplikasi lahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Pemilihan teknik aplikasi yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit sangat tergantung kepada kondisi dan luas areal yang tersedia maupun faktor berikut, yaitu jenis dan volume limbah cair, topografi lahan yang akan dialiri, jenis tanah dan kedalaman permukaan air tanah, umur tanaman kelapa sawit, luas lahan yang tersedia dan jaraknya dengan pabrik, serta dekat tidaknya dengan air sungai atau pemukiman penduduk (Subdit Pengelolaan Lingkungan, Departemen Pertanian, 2006).

Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain teknik flatbed, traktor-tangki dan longbed (Wulfert, dkk, 2000).

Teknik flatbed

Teknik ini digunakan pada lahan berombak-bergelombang dengan membuat konstruksi diantara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit yang dapat mengalirkan limbah dari atas ke bawah dengan kemiringan tertentu. Teknik ini dibangun mengikuti kemiringan tanah. Proses pada teknik ini yaitu mengalirkan limbah dari kolam limbah melalui pipa menuju bak-bak distribusi yang berukuran 4m x 4m x 1m, kemudian limbah dialirkan ke parit sekunder (flatbed) yang berukuran 2,5m x 1,5m x 0,25m, yang dibuat pada tiap 2 baris tanaman. Dengan teknik pengaliran ini, secara periodik lumpur yang tertinggal pada flatbed dikuras agar tidak tertutup lumpur.

Teknik traktor-tangki

Pelaksanaan teknik ini yaitu dengan mengangkut limbah cair dari IPAL ke areal tanaman dengan menggunakan traktor yang menarik tangki serta digunakan pompa sentrifugal yang dihubungkan dengan lubang (chasis) ke tangki untuk mengeluarkan air limbah ke lahan aplikasi. Untuk mengurangi biaya transportasi aplikasi limbah dengan teknik ini, areal tanaman untuk aplikasi sebaiknya berdekatan dengan IPAL. Traktor berjalan pada jalan pikul dan limbah disemprotkan sepanjang baris pohon tempat tumpukan pelepah yang dipangkas.

Teknik parit atau alur (longbed)

(29)

29 untuk lahan yang curam atau berbukit. Limbah sepanjang parit dialirkan perlahan-lahan untuk mengurangi erosi dan banjir. Parit yang lurus memanjang dibangun di lahan yang sedikit miring dan limbah dialirkan hingga ujung parit. Seperti aplikasi flatbed, limbah cair dipompakan melalui pipa ke tempat yang relatif tinggi dan didistribusikan ke parit primer. Jumlah parit tergantung pada topografi. Kecepatan aliran diatur perlahan-lahan untuk memungkinkan perkolasi dan juga mencegah erosi. Biaya aplikasi limbah cair dengan teknik ini relatif murah, tetapi masalah yang sering timbul adalah distribusi aliran yang tidak merata dan parit tertimbun lumpur. Pembangunan parit tidak terlalu dalam, sekitar 20 cm atau 30 cm dengan lebar sekitar 30 cm. Parit ini dapat dibangun secara manual atau mekanis di sepanjang baris tanaman, namun tidak mengganggu jalan pemanen dan transportasi TBS. Hasil percobaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menunjukkan bahwa kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH (Ekuivalen Curah Hujan) per bulan atau setara dengan 126.000 liter limbah cair PKS terolah per hektar dengan pupuk anorganik sebanyak 50% dari dosis standar kebun, dapat meningkatkan produksi TBS sebesar 36% dibanding perlakuan tanpa aplikasi limbah cair dan aplikasi pupuk standar kebun 100% (Wulfert, dkk, 2000).

b) Biogas

Biogas merupakan gas metan dan karbondioksida hasil penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair PKS serta penguraian tersebut dilakukan oleh mikroba pada proses biologis kondisi anaerobik. Komposisi gas yang dihasilkan rata-ratanya adalah 60-70 % gas metan, 20-40 % gas karbondioksida, 0,2-0,3 % hidrogen sulfida dan gas lainnya. Proses produksi gasbio secara mikrobiologis dikenal dengan istilah fermentasi metan. Bakteri yang berperan dalam proses tersebut adalah bakteri metan, terutama

Methanobacillus omelianskii, Methanobacterium formicum, Methanosarcina methanica dan Methanococcusmazeki.

(30)

30 menghasilkan 36,46 m3 biogas dari tiap ton limbah cair PKS yang diolah. Hasil penelitian Wulfert dkk (2000) menyebutkan bahwa jika biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel genset, maka dapat dihasilkan tenaga listrik sebesar 26 kWh per ton TBS, sedangkan kebutuhan spesifik tenaga listrik per ton TBS diperkirakan sekitar 15 – 17 kWh.

c) Pakan ternak

Bagian limbah cair yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan ternak adalah lumpur yang berasal dari hasil pengendapan pada kolam pengendapan dan tangki atau reaktor anaerobik yang disebut lumpur sawit. Lumpur sawit ini kemudian dipisahkan cairannya (dikeringkan) sehingga menghasilkan solid. Solid inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Cara untuk mengawetkan solid adalah dengan dibuat pakan blok (dikeringkan). Dengan cara ini, selain daya simpan solid lebih lama, juga kandungan nutrisinya lebih lengkap karena adanya beberapa bahan pakan lain yang ditambahkan. Pakan solid dalam bentuk blok bisa diberikan baik untuk ternak ruminansia besar maupun kecil. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa solid berpotensi sebagai sumber nutrisi baru untuk ternak dengan kandungan bahan kering 81,56%, protein kasar 12,63%, serat kasar 9,98%, lemak kasar 7,12%, kalsium 0,03%, fosfor 0,003%, dan energi 154 kal/100 g (Utomo et al. 1999).

Beberapa penelitian mengenai aplikasi solid sebagai pakan ternak telah banyak dilakukan, yaitu sebagai berikut :

Pemberian solid pada domba bentuk segar atau complete feed block (CFB), baik yang difermentasi dengan effective microorganism (EM4) maupun tanpa difermentasi (Widjaja et al. 2000a).

Pemberian solid pada sapi dapat dalam bentuk segar atau dicampur dengan air (Widjaja et al. 2000b).

(31)

31 Pemberian lumpur sawit yang belum dan telah difermentasi pada unggas (Sinurat et al. 1998).

d) Bahan penambah nutrisi kompos

Limbah cair terolah hasil pengolahan di IPAL dan fraksi lumpur hasil pengendapan dapat dimanfaatkan sebagai bahan penambah nutrisi pada proses pembuatan kompos dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Menurut Schuchardt dkk (2000), penambahan limbah cair ini juga berguna untuk memenuhi kebutuhan air untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang digunakan sebagai inokulum pada proses pengomposan TKKS. Penambahan limbah cair ini dilakukan selama 9 minggu masa pengomposan dengan volume 5 m3 per ton TKKS yang diolah menjadi kompos. Pada tabel 2.6 disajikan kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir dengan penambahan limbah cair sebanyak 5 m3 per ton TKKS.

Tabel 2.6 Kalkulasi kandungan nutrien pada bahan kering kompos akhir dengan penambahan limbah cair sebanyak 5 m3 per ton TKKS Nutrien Satuan Kompos Limbah cair Kompos dengan

limbah cair

Sumber : Schuchard, dkk (2000) b. Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit

1) Pemanfaatan limbah padat pabrik kelapa sawit a) Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

Tandan kosong merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pemipilan TBS di stasiun pemipilan pada pabrik kelapa sawit. Terdapat beberapa metode pengolahan TKKS dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak industri kelapa sawit, yaitu :

Mulsa

(32)

32 menurunkan temperatur tanah, mempertahankan kelembapan tanah dan membantu mengurangi dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman serta produksi pada saat kemarau. Untuk areal yang curah hujannya tinggi, TKKS secara signifikan dapat mengurangi kerugian nutrisi melalui proses pencucian dan aliran permukaan atau menjaga terjadinya erosi tanah. Selain itu, mulsa TKKS juga dapat menjadi pemasok tambahan unsur hara tanah. Pada Tabel 2.7 disajikan persentase unsur hara dalam TKKS.

 Metode aplikasi mulsa

Terdapat dua metode aplikasi TKKS sebagai mulsa di areal kebun, yaitu secara

mulching dan disposal. Pada aplikasi secara mulching, TKKS diaplikasikan pada suatu areal tertentu berdasarkan sifat tanah dan hara yang dibutuhkan tanaman kelapa sawit. Sementara, pada aplikasi secara disposal, TKKS diaplikasikan di sisi jalan serta tidak didasari oleh sifat tanah dan hara yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit. TKKS yang diaplikasikan secara

disposal tidak diperbolehkan karena secara prinsip akan merugikan, mengingat pemanfaatan hara oleh tanaman kelapa sawit tidak optimal dan menjadi penyebab penyebaran hama Oryctes (Pahan, 2008).

Tabel 2.7 Persentase unsur hara dalam TKKS Hara utama

 Aplikasi mulsa pada TBM

(33)

33 Aplikasi TKKS pada tahun pertama dilaksanakan dekat pangkal pokok (10 cm) dengan cara disebar satu lapis mengelilingi pokok. Aplikasi TKKS harus segera dimulai setelah bibit ditanam di lapangan. Aplikasi TKKS menjamin ketersediaan unsur hara bagi tanaman, memelihara kelembapan tanah, menurunkan suhu tanah dan menekan pertumbuhan gulma di piringan. Oleh sebab proses dekomposisi dan penguraian unsur hara dari TKKS berjalan lambat, pupuk anorganik harus diaplikasi penuh (100 %) pada tahun pertama penanaman.

Aplikasi kedua dilaksanakan sekitar 12 bulan setelah aplikasi pertama. TKKS diaplikasikan 0,5 m dari pangkal pokok dengan cara disebar satu lapis mengelilingi pokok. TKKS yang diaplikasi lebih dari satu lapisan akan mendorong berkembangnya kumbang Oryctes pada tumpukan TKKS tersebut. Mulsa TKKS harus dikontrol secara berkala untuk memastikan ada tidaknya kumbang Oryctes yang berkembang biak pada TKKS tersebut. Apabila hal ini terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan. Pada tahun kedua ini, TKKS dan pupuk anorganik diaplikasi, tetapi pupuk anorganik dapat dikurangi menjadi 50 % terhadap rekomendasi.

Semua pupuk anorganik harus disebar merata di atas TKKS. Selanjutnya pupuk tersebut secara perlahan tercuci oleh air hujan dan diserap oleh pokok sawit. TKKS tidak mempengaruhi penyerapan unsur hara oleh tanaman, tetapi aplikasi TKKS dapat membantu mengurangi kehilangan pupuk yang diakibatkan pencucian, aliran permukaan dan erosi tanah (Pahan, 2008).  Aplikasi mulsa pada TM

Dasar aplikasi tergantung dari jenis tanah, status unsur hara tanah, pertumbuhan dan umur tanaman kelapa sawit yang akan dimulsa. Rekomendasi aktual dan areal yang akan diaplikasi TKKS pada tanaman mineral normal yaitu 250 kg/pokok atau 35 ton/ha. Sementara pada tanah sangat berpasir dapat ditingkatkan menjadi 360 kg/pokok atau 50 ton/ha. TKKS hanya diaplikasi satu kali dalam setahun dan harus terus diaplikasi kembali 12 bulan kemudian.

(34)

34 gawangan mati, karena digunakan sebagai tempat pelepah yang ditunas nantinya. Aplikasi TKKS dua lapis atau lebih tidak diperbolehkan karena dapat mempercepat pembiakan kumbang Oryctes tumpukan. Mulsa TKKS harus dikontrol secara berkala terhadap serangan Oryctes. Apabila hal itu terjadi, segera lakukan tindakan penanggulangan yang tepat (Pahan, 2008). Kompos (pupuk organik)

Kompos merupakan limbah padat yang mengandung bahan organik yang telah mengalami pelapukan, dan jika pelapukannya berlangsung dengan baik disebut pupuk organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia telah mengembangkan dua macam teknik pengomposan TKKS, yaitu pengomposan dengan pembalikan dan tanpa pembalikan (Taniwiryono, 2009).

 Pengomposan dengan pembalikan

(35)

35 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9, sebagian diakibatkan oleh pewarnaan yang dilakukan oleh limbah cair.

Gambar 2.9 Penumpukan pada pengomposan TKKS dengan pembalikan  Pengomposan tanpa pembalikan

Teknik ini dilakukan dengan bantuan mikroba terseleksi dari golongan jamur. Selama proses pengomposan tidak dilakukan pembalikan sehingga hemat bahan bakar (energi) dan tenaga kerja. Tanpa pembalikan yang dimaksud di sini adalah tanpa pembalikan selama proses biologis berlangsung, yaitu selama 2 minggu sekali. Pada kondisi demikian, penggunaan mesin pembalik tidak diperlukan. Penggunaan mikroba dari golongan jamur didasarkan kepada kenyataan bahwa perombak lignin dan selolosa yang paling efisien adalah dari golongan jamur atau cendawan. Kebanyakan limbah padat perkebunan memiliki kandungan lignin dan selulosa yang tinggi. Fakta menunjukkan bahwa di lapangan tidak pernah dijumpai tanaman berkayu yang batangnya dilapukkan oleh bakteri, tetapi selalu oleh jamur atau cendawan.

(36)

36 Dengan cara demikian, dua hal dilakukan sekaligus yaitu pengomposan dan perbanyakan biopestisida.

b) Serabut kelapa sawit

Serabut kelapa sawit merupakan limbah padat kelapa sawit hasil proses pencacahan dan pengempaan brondolan kelapa sawit. Metode pemanfaatan serabut yang dilakukan oleh PKS adalah sebagai bahan bakar boiler untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkit listrik. Nilai kalor yang dihasilkan dari pembakaran serabut kelapa sawit yaitu 2637 - 4554 kkal/kg. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas olah 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 12 ribu ton serabut kelapa sawit. Apabila efisiensi pembangkitan sebesar 25%, maka tiap tahunnya akan dihasilkan energi listrik sebesar 9,2 – 15,9 GW tiap tahunnya (Budiarto dan Agung, 2008).

Gambar 2.10 Penumpukan pada pengomposan TKKS tanpa pembalikan c) Cangkang kelapa sawit

(37)

37

B. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN

Dalam suatu proses pengambilan keputusan, perusahaan akan menghadapi kesulitan dengan adanya berbagai alternatif pilihan dalam suatu tahapan proses yang akan dilaksanakan. Kondisi tersebut menuntut perusahaan untuk mengetahui dan mengerti tentang masalah yang dihadapi, alternatif-alternatif yang ada dan kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif guna mendapatkan alternatif yang terbaik untuk dipilih. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang suatu model sistem yang dapat menggambarkan masalah tersebut secara menyeluruh agar tahapan pengambilan keputusan dapat dilaksanakan lebih sederhana dan optimal. Model sistem yang dirancang dikenal dengan sistem penunjang keputusan.

Sistem penunjang keputusan adalah pendekatan secara sistem dalam mengambil keputusan, yang merupakan konsep spesifik yang menghubungkan sistem informasi terkomputerisasi dengan para pengambil keputusan seperti manajer dan investor. Turban dan Aronson (2001) dalam Marimin (2004) mendefinisikan sistem penunjang keputusan sebagai suatu sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menggunakan data dan model untuk memecahkan persoalan yang bersifat tidak terstruktur.

Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan (SPK) adalah konsepsi model. Konsepsi model ini menggambarkan hubungan abstrak antara tiga komponen utama dalam penunjang keputusan, yaitu pengambil keputusan atau pengguna, model dan data. Masing-masing komponen tersebut dikelola oleh sebuah sistem manajemen. Menurut Marimin (2004), struktur SPK terdiri dari data yang tersusun dalam sistem manajemen basis data (SMBD), kumpulan sistem yang tersusun dalam sistem manajemen basis model (SMBM), sistem pengolahan problematik, sistem manajemen dialog dan pengguna.

(38)

38 model merupakan sistem perangkat lunak yang mempunyai empat fungsi pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model, untuk memperbarui dan mengubah model serta memanipulasi data. Pada intinya, sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengolahan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam pemodelan SPK. Sistem manajemen dialog merupakan subsistem untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Sedangkan sistem pengolah problematik adalah subsistem yang bertugas sebagai koordinator dan pengendali dari operasi sistem secara keseluruhan. Sistem ini menerima input dari ketiga sistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Sistem ini berfungsi sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antar subsistem (Marimin, 2004).

C. PROSES HIERARKI ANALITIK

Proses hierarki analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Metode ini dapat digunakan dalam memodelkan permasalahan dan pendapat-pendapat, dimana permasalahan yang ada telah dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji (Saaty, 1993).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian, tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk mendapatkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut (Marimin, 2004).

D. GOAL PROGRAMMING

(39)

39 telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan syarat-ikatan yang ada, yang membatasinya berupa sumber daya yang tersedia, teknologi yang ada, kendala tujuan dan sebagainya (Nasendi dan Anwar, 1985).

Di dalam model goalprogramming terdapat sepasang variabel yang dinamakan variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung nilai penyimpangan atau deviasi yang akan terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai ruas kanannya. Agar deviasi itu minimum, artinya nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sedapat mungkin mendekati nilai ruas kanannya maka variabel deviasional itu harus diminimumkan di dalam fungsi tujuan (Siswanto, 2007).

Bila pada model program linear, kendala-kendala fungsional menjadi pembatas bagi usaha pemaksimuman atau peminimuman fungsi tujuan, maka pada model goal programming kendala-kendala itu merupakan sarana untuk mewujudkan sasaran yang hendak dicapai. Mewujudkan suatu sasaran, berarti mengusahakan agar nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sama dengan nilai ruas kanannya. Itulah sebabnya, kendala-kendala di dalam model goal programming selalu berupa persamaan dan dinamakan kendala sasaran. Keberadaan sebuah kendala sasaran selalu ditandai oleh kehadiran variabel deviasional sehingga setiap kendala sasaran pasti memiliki variabel deviasional. Ciri khas lain yang menandai model goal programming adalah kehadiran variabel deviasional di dalam fungsi tujuan yang harus diminimumkan (Siswanto, 2007).

Dalam penyelesaian model goal programming, urutan peminimuman variabel deviasional akan menentukan urutan sasaran yang dicapai. Oleh karena itu, pengaturan prioritas sasaran yang hendak dicapai dapat dilakukan dengan mengendalikan urutan pemilihan variabel deviasional yang harus diminimumkan. Ada tiga macam sasaran di dalam model goal programming, yaitu sasaran-sasaran dengan prioritas yang sama, sasaran-sasaran dengan prioritas yang berbeda, serta sasaran-sasaran dengan prioritas dan bobot yang berbeda (Siswanto, 2007).

(40)

40 dengan prioritas dan bobot yang berbeda. Semakin besar nilai koefisien sebuah variabel deviasional dari suatu kendala sasaran, maka semakin tinggi prioritasnya untuk dicapai. Pembagian prioritas tersebut dikatakan sebagai pengutamaan (preemptive), yaitu mendahulukan tercapainya kepuasan pada suatu tujuan (sasaran) yang telah diberikan prioritas utama sebelum menuju kepada tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas berikutnya. Namun, pembedaan ini tidak bersifat absolut. Nilai koefisien yang semakin tinggi belum tentu membuat sebuah kendala sasaran pasti terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, analisis sensitivitas koefisien fungsi tujuan akan menentukan batas-batas dimana penambahan atau pengurangan nilai prioritas sasaran yang tercermin pada koefisien variabel deviasional akan mengubah penyelesaian optimal yang telah diperoleh atau tidak (Siswanto, 2007).

Model umum suatu persoalan goal programming yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (preemptive weights) dengan urutan ordinal (ordinal rangking) dapat dirumuskan sebagai berikut (Siswanto, 2007) :

Minimumkan

Syarat ikatan :

Pembatas fungsional :

dan Xj, di-, di+≥ 0 di-, di+ = 0 Keterangan :

Xj = Peubah (variabel) pengambil keputusan atau kegiatan yang kini dinamakan sebagai sub tujuan

Ck = Jumlah sumber daya k yang tersedia

Aij = Koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xi)

(41)

41 Gkj = Koefisien teknologi fungsi kendala biasa

di-, di+ = Deviasi plus dan minus dari tujuan atau target ke-i Py, Ps = Faktor prioritas

Wi,y+ = Timbangan relatif dari di+ dalam urutan (rangking) ke-y Wi,s- = Timbangan relatif dari di- dalam urutan (rangking) ke-s

E. ANALISIS BIAYA

Biaya alat dan mesin pertanian terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap (fixed cost/owning cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost/operating cost). Apabila kapasitas suatu alat atau mesin pertanian diketahui atau dapat dihitung, maka biaya pokok per satuan produk dapat diketahui (Pramudya dan Dewi, 1992).

1. Biaya Tetap

Biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode akan tetap jumlahnya. Biaya tetap adalah kelompok biaya yang diperlukan dalam aktifitas berjalan yang totalnya akan relatif tetap sepanjang periode aktivitas operasional. Biaya tetap sering juga disebut biaya kepemilikan (owning cost). Biaya ini tidak tergantung pada produk yang dihasilkan dan bekerja atau tidaknya mesin serta besarnya relatif tetap. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya tetap yaitu biaya penyusutan, biaya bunga modal dan asuransi, biaya pajak dan biaya gudang atau garasi (Pramudya dan Dewi, 1992).

Biaya penyusutan

Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan akibat penurunan nilai dari suatu alat atau mesin akibat dari pertambahan umur pemakaian. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menghitung besarnya biaya penyusutan adalah dengan metode garis lurus tanpa memasukkan bunga modal dalam perhitungannya. Besarnya biaya penyusutan dianggap sama setiap tahunnya atau penurunan nilai bersifat tetap sampai pada akhir umur ekonomisnya.

(42)

42 akhir. Persamaan biaya penyusutan dengan menggunakan garis lurus adalah sebagai berikut:

L = Perkiraan umur ekonomis (tahun) Biaya bunga modal dan asuransi

Bunga modal sebenarnya berupa biaya semu karena tidak benar-benar dikeluarkan oleh sistem pengolahan. Nilai biaya ini diperhitungkan karena pengolahan telah melakukan investasi sejumlah uang untuk membeli mesin dan fasilitas lain. Karena telah diinvestasikan, uang tersebut tidak dapat lagi berkembang jika halnya uang tersebut disimpan di bank. Besarnya bunga modal dapat dihitung pemungutan pajak untuk mesin pertanian memang belum banyak dilakukan. Apabila belum ada ketentuan pemungutan pajak untuk mesin pertanian dan nilai ini akan diperhitungkan, maka biaya pajak ditentukan berdasarkan persentase taksiran terhadap harga mesin atau peralatan tersebut. Besarnya persentase berbeda dari satu negara ke negara lain. Dibeberapa negara besarnya pajak sekitar 2% dari harga awal pertahun.

Biaya gudang atau garasi

(43)

43 perusahaan, biaya bangunan berupa biaya penyusutan bangunan, sedangkan jika bangunan disewa, maka biaya bangunan berupa biaya sewa bangunan tersebut.

2. Biaya Tidak Tetap

Biaya tidak tetap adalah biaya-biaya yang dikeluarkan pada saat alat dan mesin beroperasi dan jumlahnya bergantung pada jam pemakaiannya (Pramudya dan Dewi, 1992). Apabila jumlah satuan produk yang diproduksi pada masa tertentu naik, jumlah biayanya juga mengalami kenaikan. Perhitungan biaya tidak tetap dilakukan dalam satuan Rp/jam. Contoh biaya yang termasuk biaya tidak tetap antara lain adalah :

Biaya bahan bakar

Biaya ini adalah pengeluaran untuk sumber tenaga yaitu bensin, solar, atau listrik. Untuk kebutuhan bensin atau solar satuannya dalam liter/jam. Dengan mengetahui harga per liternya di lokasi maka akan didapat biaya dalam Rp/Jam. Pada motor listrik konsumsi listrik dinyatakan dalam kilowatt atau watt. Dengan mengetahui tarif listrik dalam Rp/kwh maka akan didapat biaya tenaga listrik dalam Rp/Jam. Biaya pelumas

Pelumas diberikan untuk memberikan kondisi kerja yang baik bagi mesin dan peralatan. Minyak pelumas untuk traktor meliputi oli mesin, oli transmisi, oli garden dan oli hidrolik. Pada mesin pengolahan hasil, pompa air dan generator listrik tidak terdapat biaya hidrolik dan oli garden. Besarnya biaya pelumas ditentukan berdasarkan banyaknya penggantian oli pada suatu mesin pada setiap periode tertentu dan harga satuan oli yang digunakan.

Biaya perbaikan dan pemeliharaan

Biaya perbaikan dan pemeliharaan pada alat-alat mesin pertanian meliputi biaya penggantian bagian yang telah aus, upah tenaga kerja terampil untuk perbaikan khusus, pengecatan, pembersihan/pencucian dan perbaikan-perbaikan karena faktor yang tak terduga. Besarnya biaya perbaikan dan pemeliharaan dapat dinyatakan dalam persentase terhadap harga awal suatu mesin pertanian.

Biaya operator

(44)

44 Biaya hal-hal khusus

Biaya hal-hal khusus adalah biaya dari penggantian suatu bagian atau suku cadang yang mempunyai nilai yang tinggi (harganya mahal), tetapi memerlukan penggantian yang relatif sering karena pemakaian.

3. Biaya Total

Biaya total merupakan jumlah biaya tetap dan biaya tidak tetap. Nilainya dinyatakan dalam jumlah biaya per tahun atau biaya per jam. Untuk perhitungan biaya total diperlukan adanya nilai perkiraan jam kerja mesin per tahun. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut:

BTT x

BT

B

dimana: B = Biaya total (Rp/jam) BT = Biaya tetap (Rp/tahun) BTT = Biaya tidak tetap (Rp/jam) x = Jam kerja per tahun (jam/tahun)

4. Biaya Pokok

Pramudya dan Dewi (1992) menyebutkan bahwa biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan.

F. PENELITIAN TERDAHULU

1. Penelitian mengenai pengolahan dan pemanfaatan limbah PKS

Mailinton (2007), melakukan penelitian mengenai model penilaian cepat penanganan limbah pabrik kelapa sawit. Pada hasil penelitiannya dibuat suatu model penilaian kinerja penanganan limbah kelapa sawit yang diimplementasikan dalam sebuah perangkat lunak komputer. Dalam model tersebut mencakup beberapa metode penanganan limbah pabrik kelapa sawit dan parameter-parameter limbah tersebut yang dapat berdampak pada lingkungan.

(45)

45 dan lumpur ditangani dengan teknologi sistem kolam dan limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dimanfaatkan sebagai mulsa. Kedua, limbah cair dan lumpur dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Ketiga, limbah cair dan lumpur serta TKKS diolah menjadi kompos dengan teknologi pengomposan.

2. Penelitian mengenai penggunaan model AHP-GP

Badri (2001) melakukan penelitian dengan mengkombinasikan metode AHP dan GP untuk pemodelan sistem pengawasan mutu untuk kualitas pelayanan. Nilai hasil analisis metode AHP akan dijadikan nilai bobot pada pemodelan fungsi kendala sasaran untuk pencapaian nilai global dan nilai lokal AHP pada pemodelan GP yang dilakukan. Nilai global AHP adalah nilai tingkat pencapaian tujuan (goal) pada hierarki AHP apabila menerapkan/menggunakan alternatif tertentu pada hierarki AHP tersebut. Nilai lokal AHP adalah nilai tingkat pencapaian kriteria dalam hierarki AHP apabila menerapkan/menggunakan alternatif tertentu pada hierarki AHP tersebut.

Oleh karena dari nilai AHP tersebut akan dimodelkan fungsi kendala sasaran, maka terdapat nilai deviasi dari fungsi kendala sasaran tersebut yang akan diminimumkan pada fungsi tujuan. Bentuk model AHP-GP yang dirumuskan oleh Badri (2001) yaitu sebagai berikut :

Fungsi tujuan :

Fungsi kendala :

a11X1 + a21X2+ …… + a1nXn + DB1– DA1 = b1

a21X1 + a22X2+ …… + a2nXn + DC2– DD2 = b2 . . . . . .

am1X1 + am2X2+ …… + amnXn + DBm– DAm = bm

am1X1 + am2X2+ …… + amnXn + DCm– DDm = bm dan

(46)

46 Xj = Variabel keputusan atau sub tujuan

amn = Koefisien variabel keputusan

bm = Tujuan atau target yang ingin dicapai

DBi = Variabel deviasi bawah/negatif dari tujuan/target ke-i DAi = Variabel deviasi atas/positif dari tujuan/target ke-i Wk = bobot relatif deviasi (pada pendekatan AHP)

DCk = Variabel deviasi bawah/negatif dari tujuan/target ke-k (pada pendekatan AHP)

(47)

47

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luasan lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Namun di sisi lain, kuantitas limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang dihasilkan dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) di PKS juga ikut meningkat. Hal ini membuat resiko pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh limbah PKS akan meningkat apabila limbah PKS tidak ditangani secara tepat dan optimal. Bobot limbah PKS yang harus dibuang ke lingkungan sebagai badan penerima akan semakin bertambah.

Limbah PKS terdiri dari limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Limbah gas umumnya telah ditangani di areal PKS sebelum dibuang ke lingkungan. Limbah padat terdiri dari cangkang, serabut dan tandan kosong. Cangkang dan serabut umumnya digunakan sebagai bahan bakar boiler atau dijual kepada pihak lain, sementara tandan kosong dimanfaatkan di lahan perkebunan sebagai mulsa. Kandungan biomassa di dalam limbah padat yang dapat terurai secara alami membuat resiko pencemarannya terhadap lingkungan sangat kecil. Limbah cair harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena kandungan bahan-bahan organik di dalamnya yang berpotensi tinggi untuk mencemari lingkungan. Umumnya, limbah cair yang telah terolah dimanfaatkan untuk air irigasi dan penambah nutrisi tanah di lahan perkebunan. Selain itu, apabila telah memenuhi baku mutu limbah cair PKS yang telah ditetapkan pemerintah, maka limbah cair PKS dapat dibuang ke badan penerima seperti sungai dan danau.

(48)

48 menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi di PKS dan tandan kosong kelapa sawit dapat diolah menjadi pupuk kompos yang dapat diaplikasikan di lahan perkebunan sebagai pengganti pupuk anorganik yang harganya semakin mahal.

Namun, metode-metode penanganan limbah PKS yang telah dikembangkan belum terlalu dilirik oleh pihak industri kelapa sawit untuk diterapkan di PKS yang mereka kelola. Hal ini karena umumnya metode-metode yang dikembangkan tersebut memerlukan biaya penerapan yang relatif besar sehingga mereka masih menerapkan metode-metode konvensional seperti metode kolam stabilisasi untuk mengolah limbah cair PKS. Di lain hal, banyaknya metode penanganan limbah PKS yang tersedia membuat pihak industri kelapa sawit perlu mempertimbangkan berbagai faktor agar apabila mereka dapat memilih dan menerapkan metode penanganan limbah PKS yang sesuai dengan kondisi perusahaan dan tujuan penanganan limbah yang ingin dicapai.

Suatu sistem penunjang keputusan dicoba dikembangkan dengan harapan dapat digunakan sebagai alat bantu bagi pihak industri kelapa sawit pada proses pengambilan keputusan dalam pemilihan metode penanganan limbah PKS yang akan diterapkan. Sistem yang dibangun berupa sistem penunjang keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan limbah PKS. Melalui sistem ini juga diharapkan pihak industri kelapa sawit dapat mengetahui nilai-nilai keuntungan yang dapat diperoleh dari berbagai metode penanganan limbah PKS sehingga nilai penerapan suatu metode penanganan limbah PKS tidak hanya dilihat dari biaya penerapannya saja tetapi juga dilihat dari nilai manfaat yang akan diperoleh nantinya.

Gambar

Gambar 2.9  Penumpukan pada pengomposan TKKS dengan pembalikan
Gambar 2.10  Penumpukan pada pengomposan TKKS tanpa pembalikan
Gambar 3.1  Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3.2 Metodologi penyelesaian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proporsi tepung beras merah yang lebih tinggi menyebabkan kadar amilosa dalam adonan kerupuk menjadi lebih tinggi seperti yang dapat dilihat pada Tabel

1) Menyerahkan surat kuasa bermeterai (asli) dari pimpinan Penyedia Barang/Jasa (direktur utama/direktur/kepala cabang perusahaan, atau jabatan setingkat lainnya) apabila

c. Siswa memperoleh angka tertinggi ditugaskan sebagai reader 1, Siswa yang memperoleh nomor tertinggi ke dua menjadi penantang 1, Siswa yang memperoleh

User dapat mengetahui nama anggota beserta alamat anggota yang belum mengembalikan buku beserta tanggal buku tersebut harus di kembalikan Sistem harus dapat melakukan

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan CVRP menggunakan algoritma sweep, diperoleh total jarak tempuh kendaraan yaitu 142.9 km

Karena dari persamaan penurunan suatu karakteristik minyak isolasi transformator sebanding dengan usia pakai yang dikalikan dengan exponensial kenaikan temperaturnya, dan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau

hidupnya secara optimal, hal ini dapat dilakukan oleh seorang guru dalam melestarikan bahasa daerah pada anak.. Bahasa merupakan aspek yang penting untuk perkembangan