• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi, Kohesivitas Dan Pembentukkan Identitas Di Kalangan Komuter Berkereta Api.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi, Kohesivitas Dan Pembentukkan Identitas Di Kalangan Komuter Berkereta Api."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API

(Kasus: Kereta Api Patas Purwakarta)

SITI KHADIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Kelompok, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter” adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2015

(3)

Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter Berkereta Api. Dibimbing oleh DJUARA P LUBIS dan RILUS KINSENG.

Kereta Api Patas Purwakarta merupakan moda transportasi andalan pekerja di Jakarta yang berdomisili di Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang hingga Tambun. Umumnya penumpang yang berada disetiap gerbong selalu sama. Kondisi gerbong yang padat, latar belakang beragam serta wajah penumpang kereta yang selalu sama setiap harinya menciptakan kedekatan di antara sesama penumpang melalui komunikasi. Melalui komunikasi yang intensif setiap hari akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial dalam gerbong kereta karena memiliki tujuan sama yaitu keamanan dan kenyamanan selama dalam perjalanan. Penelitian ini menghasilkan (1) deskripsi proses komunikasi kelompok dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas Purwakarta, (2) analisis hubungan proses komunikasi kelompok dengan karakteristik individu dan akses informasi, (3) analisis hubungan kohesivitas dengan karakteristik individu dan akses informasi, (4) analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas (5) analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok.

Penelitian ini dilaksanakan di gerbong empat KA. Patas Purwakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 86 responden. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan accidental sampling, sedangkan untuk informan berjumlah 7 orang yang dipilih dengan menggunakan teknik snowball sampling.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap anggota kelompok terlibat aktif dalam proses komunikasi sebesar 82.6 %, sehingga proses komunikasi yang berjalan bersifat dinamis dan terbuka. Setiap anggota kelompok mengerti terhadap pesan yang disampaikan dalam kelompok sebesar 91.9 %. Pesan-pesan yang disampaikan dalam kelompok adalah informasi seputar keluarga, pekerjaan dan gaya hidup. Setiap individu memiliki pengetahuan dan ketaatan yang tinggi terhadap norma sebesar 86 %. Norma dan sanksi hanya untuk mengatur partisipasi anggota dalam proses komunikasi dan berlaku efektif walaupun tidak tertulis. Kohesivitas terbentuk di antara anggota kelompok melalui perasaan saling sebesar 84.0%, keterbukaan sebesar 66.3%, kebersamaan dalam kelompok sebesar 72.1% dan kebersamaan diluar kelompok sebesar 50%. Umur memiliki hubungan nyata negatif dengan dengan tingkat pengetahuan dan ketaatan terhadap norma kelompok. Artinya semakin bertambah usia anggota kelompok maka semakin rendah tingkat pengetahuan dan ketaatan anggota terhadap norma kelompok. Posisi pekerjaan memiliki hubungan negatif dengan peran dalam komunikasi, semakin baik posisi pekerjaan anggota kelompok maka semakin rendah perannya dalam proses komunikasi. Jenis kelamin memiliki perbedaan nyata dengan proses komunikasi kelompok. Posisi pekerjaan yang memiliki hubungan negatif dengan dengan kebersamaan di luar gerbong. Terdapat perbedaan nyata antara jenis kelamin dengan kebersamaan di luar gerbong. Kebersamaan memiliki hubungan yang sangat nyata dengan akses informasi. Pembentukan identitas berhubungan dengan proses komunikasi dan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok yang dapat dilihat dari semakin tinggi keterlibatan anggota kelompok dalam proses komunikasi maka semakin tinggi pula pembentukkan identitas kelompok. Semakin tinggi perasaan saling memiliki antar sesama anggota kelompok maka semakin tinggi pembentukkan identitas. Pembentukkan identitas kelompok berhubungan sangat nyata dengan manfaat yang diterima oleh anggota dan keluarga anggota kelompok.

(4)

SITI KHADIJAH. Communication, Cohesiveness and Identity Among Commuters Buggy Fire. Supervised by DJUARA P LUBIS and RILUS KINSENG.

Railway Patas Purwakarta is the only mode of transportation of workers who live in Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang until Tambun. Generally, passengers are always the same in every carriage. Conditions of carriage of solid, diverse backgrounds and train passengers face is always the same every day creates closeness among fellow passengers through communication. Through intensive communication every day eventually forming social groups in the train because it has the same purpose, namely security and comfort during the trip. This study aimed to (1) description the process of group communication and cohesiveness railway Patas Purwakarta, (2) analysis of relationship communication process group with individual characteristics and access to information, (3) analysis of the relationship cohesiveness with individual characteristics and access to information, (4) analysis of the relationship formation of group identity with the group communication and cohesiveness (5) analysis of the relationship formation of group identity with group benefits.

The study was conducted to 86 members of the group in KA.Patas Purwakarta with quantitative methods using questionnaires as research instruments. Sampling technique using accidental sampling, while the informant amounted to 7 people were selected using snowball sampling technique. Test analysis using Spearman rank statistic and chi Square to analyze the relationship between the characteristics of the group members, with the communication process and individual attitudes towards cohesiveness among commuters.

The study states that each member of the group is actively involved in the communication process amounted to 82.6%, so the communication process runs is dynamic and open. Each member of the group understand the message conveyed in the group amounted to 91.9%. The messages conveyed in the group is information about family, work and lifestyle. Every individual has the knowledge and observance of high against the norm of 86%. Norms and sanctions just to organize members' participation in the communication process and is effective even if unwritten. Cohesiveness is formed between the group members through mutual feelings of 84.0%, amounting to 66.3% of Gender has a significant difference with the group communication process. Job positions have a negative relationship with the togetherness outside the carriage. There is a real difference between the sexes with togetherness outside the carriage. Togetherness have a very real connection with access to information. The formation of identity associated with the process of communication and individual attitudes toward group cohesiveness that can be seen from the higher involvement of members of the group in the communication process, the higher the formation of group identity. The higher the feeling of belonging among fellow members of the group, the higher the formation of identity. The formation of a very real group identity associated with the benefits received by members and family members of the group.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

KOMUNIKASI, KOHESIVITAS DAN PEMBENTUKAN

IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API

(Studi Kasus: KA. Patas Purwakarta)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

(7)
(8)

Judul Tesis : Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter Berkereta Api

Nama : Siti Khadijah NRP : I352120101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua

Dr Ir Rilus A Kinseng, MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa apa yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini dengan judul “Komunikasi Kelompok, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter” yang mana penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Komunikasi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manumur, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kerpada Dr Ir Djuara Lubis, MS dan Dr Ir Rilus Kinseng MA selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran, dan bimbingannya. Penulis sampaikan penghargaan kepada penumpang kereta api Patas Purwakarta, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan ananda tercinta atas segala doa dan dukungannya, serta kepada seluruh teman-teman KMP angkatan 2012 atas segala motivasi dan semangat yang diberikan.

Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2015

(10)

Halaman

Hasil Studi Komunikasi Kelompok, Kohesivitas, Pembentukkan Identitas Kelompok dan Kebaruan Penelitian 4 GAMBARAN UMUM KA. PATAS PURWAKARTA

(11)

FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA GERBONG EMPAT Proses Komunikasi Kelompok

Kohesivitas Kelompok

Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Karakteristik Anggota dan Akses Informasi

Hubungan Kohesivitas Kelompok dengan Karakteristik Anggota dan Akses Informasi

44 47 50

52

6 PEMBENTUKKAN IDENTITAS KELOMPOK DAN

HUBUNGANNYA DENGAN PROSES KOMUNIKASI

KELOMPOK DAN KOHESIVITAS

Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Pelembagaan Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Internalisasi

Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Pembentukkan Identitas Kelompok

Hubungan Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas Kelompok

54 56 59

60

7 MANFAAT KELOMPOK

Manfaat Kelompok Bagi Diri Anggota Kelompok Manfaat Kelompok Bagi Keluarga Anggota Kelompok

Hubungan Pembentukkan Identitas Kelompok dengan Manfaat Kelompok

62 66 68

8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

69 70 DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 77

(12)

Halaman

1 Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian 28

2 Nilai uji koefisien cronbach alpha 29

3 Jumlah dan presentase responden menurut karakteristik anggota kelompok KA.Patas Purwakarta tahun 2014

s Purwakarta

35

4 Jumlah dan Persentase Proses Komunikasi dalam Kelompok tahun 2014 45 5 Jumlah dan persentase kohesivitas kelompok tahun 2014 48 6 Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan

proses komunikasi tahun 2014 .

51

7 Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dengan proses komunikasi tahun 2014

79

8 Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014

53

9 Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014

79

10 Jumlah dan persentase pembentukkan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta melalui proses pelembagaan tahun 2014

55

11 Jumlah dan persentase pembentukan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta melalui proses internalisasi tahun 2014

57

12 Hasil uji korelasi antara proses komunikasi dengan pembentukkan identitas tahun 2014

60

13 Hasil uji korelasi antara kohesivitas dengan pembentukkan identitas kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta tahun 2014

.

61

14 Jumlah dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta bagi diri

63

15 Jumlah dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta bagi keluarga

.

67

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk 7

2 Kerangka berfikir 22

3 Jalur KA.Patas Purwakarta 33

4 Aktivitas komunikasi dalam gerbong kereta 46

5 Partisipasi Anggota Kelompok dengan Memberi Sumbangan Sukarela 47 6 Ekspresi bahagia anggota kelompok yang dapat arisan 64

7 Aktivitas bermain kartu gaple 65

1 Tabel Chi Square 79

2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 80

3 Pola Operasi KA.Patas Purwakarta tahun 2014 81

4 Informan Penelitian 82

5 Dokumentasi Penelitian 83

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah komuter di Indonesia mencapai 6,9 juta orang. Dari total komuter tersebut 3,6 juta orang berada di wilayah Jabodetabeka (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang) (Laporan Deputi Gubernur bidang Perindustrian, Perdagangan dan Transportasi 2014). Tingginya tingkat mobilitas komuter menuju kota Jakarta karena aktivitas industri dan perdagangan di perkotaan dan semakin sulit kesempatan bekerja di pedesaan. Goldthorpe (1992) dan Almeida (2005) mengatakan bahwa komuter yang berdatangan dari desa ke kota, disebabkan karena areal pertanian yang menjadi mata pencaharian berkurang signifikan. Akibatnya muncul ekspansi kegiatan perkotaan (komuter).

Setiap hari, mobilitas komuter mengalir deras dari berbagai daerah pinggiran kota menuju pusat kota (Surya 2006). Sebagian besar komuter melakukan mobilitas untuk bekerja (Abdillah 2014). Jakarta menjadi tujuan komuter karena percepatan pembangunan dan pertumbuhan industri terus meningkat. Friedman mengidentifikasi kota sebagai wilayah inti yang berperan sebagai pusat pelayanan dan sebagai pusat pembangunan dan dapat memberikan peluang ekonomi (Adisasmita 2006).

Di Indonesia, umumnya para komuter memilih tempat tinggal di daerah pinggiran karena kemampuan yang terbatas untuk membeli atau menyewa lahan sebagai tempat tinggal. Komuter yang memilih tempat tinggal di daerah pinggiran memberikan dampak positif bagi pusat kota, yaitu mengurangi kepadatan penduduk dan semakin berkembangnya daerah pinggiran sebagai tempat tinggal para komuter (Badan Pusat Statistik 2014). Menurut Marbun (1979) mobilitas komuter yang tinggi harus diimbangi dengan ketersediaan dan kemudahan sarana transportasi dan pendukungnya. Ketersediaan dan kemudahan sarana transportasi seperti kereta api, APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway), omprengan (mobil pribadi yang membawa penumpang orang kantoran dengan memungut biaya kepada penumpang) menyebabkan komuter memilih tempat tinggal di daerah pinggiran sementara wilayah bekerja berada di pusat kota. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh mobilitas komuter juga tidak sedikit, yaitu kemacetan yang tidak bisa dihindari setiap harinya, polusi, dan peningkatan stres. Transportasi massal seperti bis, omprengan dan kereta api menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan, polusi dan stress. Jasa transportasi omprengan menjadi sarana transportasi alternatif yang berkembang pesat sejak kenaikan BBM.. Para pekerja kantoran yang biasa pulang pergi membawa kendaraan pribadi beralih dengan memilih mobil omprengan. Hal ini dilakukan untuk menghemat pengeluaran setiap bulan.

Namun demikian jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta api lebih banyak daripada mobil omprengan dan bis. Hal ini dikarenakan komuter yang menggunakan mobil akan mengalami stres yang lebih karena macet dibandingkan dengan komuter yang menggunakan kereta api (Wener dan Evans 2011).

(16)

2015). Selain itu kereta api memiliki keunggulan seperti tarif yang terjangkau bagi kalangan menengah bawah, waktu perjalanan relatif cepat, bebas dari kemacetan jalan raya dan stress (Wener dan Evans 2011) serta sesuai untuk daerah yang memiliki kepadatan penduduk dengan lahan terbatas dan kegiatan ekonomi tinggi (Munawar 2005). Jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta setiap harinya kian bertambah 800.000-an orang sebagai imbas dari kenaikan BBM (Julianery 2015). Perjalanan menggunakan kereta api diminati sebagian besar komuter yang bekerja di kota Jakarta tetapi memiliki tempat tinggal di daerah pinggiran. Sejarah mencatat, dari masa kolonial kereta api berperan menghubungkan kota-kota besar hingga daerah pedesaan (Ilmanda 2013).

Jumlah penumpang akan meningkat saat jam sibuk baik pagi dan sore hari. Hal ini menyebabkan setiap gerbong kereta api selalu penuh dan padat, namun penumpang yang memenuhi gerbong tersebut selalu sama orangnya setiap hari. Penumpang-penumpang yang selalu bertemu setiap hari di dalam gerbong saling berinteraksi dan berkomunikasi. Menurut McFarlane (2010) komunikasi sebagai jalan untuk mengelola hubungan dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Perjalanan dengan menggunakan kereta api menjadi ruang bagi individu-individu dalam gerbong kereta untuk saling mengenal dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi setiap harinya sebagai solusi untuk mengusir rasa jenuh dan stress selama dalam perjalanan menuju tempat masing-masing. Interaksi dan komunikasi setiap hari secara intensif baik pada saat berangkat bekerja dan pulang bekerja menciptakan kedekatan antara satu penumpang dengan penumpang lainnya dalam kereta. Komunikasi dan interaksi yang intensif setiap harinya akhirnya membentuk kelompok dalam gerbong kereta. Kelompok menurut Adler, terdiri dari “a small collection of people who interact each other, usually face to face, over time in order to reach goals” (2009). Kelompok setidaknya harus terdiri dari tiga atau lebih individu yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu.

Telah terjadi pergeseran nilai sangat mendasar pada masyarakat industri. Kelompok terbentuk berdasarkan pilihan sukarela dan kesamaan profesi ataupun hobi yang umumnya selalu berorientasi ekonomi (Hidayat 2015). Menurut Gerhard Lenski (Macionis 2012) perubahan masyarakat terjadi salah satunya karena dampak sosial teknologi transportasi. Teknologi transportasi bagi masyarakat urban berpengaruh terhadap intensitas interaksi sosial, membuat orang yang tinggal bersebelahan dalam satu wilayah tidak mengenal satu sama lain dan interaksi intensif berpindah pada ruang perjalanan (transportasi). Kelompok-kelompok sosial nonkeluarga seperti teman selama perjalanan mulai mengambil peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu serta membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan melalui komunikasi. Komunikasi ini lalu mendorong perubahan sosial (social change) dengan terbentuknya komunitas baru seperti komunitas nebeng (nebengers), dan komunitas kereta api Patas Purwakarta.

(17)

dengan sesama para anggota. Selain pada komunitas nebengers, komunitas berkereta api juga terbentuk dari para komuter berkereta api. Pertemuan setiap hari para komuter di dalam gerbong kereta, membentuk kelompok pada KA. Patas Purwakarta.

Kelompok pada KA. Patas Purwakarta terbentuk di latar belakangi oleh kepentingan serta tujuan yang sama yaitu memperoleh rasa aman dan nyaman selama dalam perjalanan. Menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penumpang harusnya menjadi tanggung jawab PT. KAI (Persero) sesuai dengan UU No .23 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak

pembangunan nasional” (Departemen Perhubungan 2007).

Kelompok sosial komuter pada KA. Patas Purwakarta merupakan kelompok yang anggotanya berasal dari semua golongan masyarakat dengan suku, agama dan latar belakang yang berbeda. Komunikasi verbal dan non verbal yang kerap dilakukan oleh anggota kelompok memunculkan julukan khusus kepada kelompok yang terbentuk. Bentuk komunikasi non verbal yang diperlihatkan begitu unik dan khas. Prilaku komunikasi muncul sebagai bentuk perlindungan kepada anggota kelompok apabila ada penumpang “asing” atau di luar anggota gerbong mengancam kenyamanan dan keamanan anggota kelompok. Prilaku komunikasi ini merupakan proses kognitif sosial terkait dengan kelompok dalam menghasilkan identitas sosial dan perilaku kelompok (Hogg 2006).

Di dalam kelompok sosial ini, terdapat beberapa hal menarik ditemukan, misalnya dalam hal perilaku-perilaku komunikasi komuter secara individu maupun secara berkelompok yang disebabkan interaksi antar anggotanya yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Misalnya saja ada anggota kelompok yang masih single mendapatkan jodohnya pada kelompok sosial ini juga. Dengan bergabungnya penumpang kereta ke dalam kelompok sosial ini, mereka mendapatkan beberapa hal positif bagi dirinya. Kesan positif yang tertanam pada anggota kelompok membentuk rasa saling percaya serta tolong menolong antara satu dengan yang lainnya bahkan lingkungan disekitar mereka.

(18)

mengganggu komunikasi anggota kelompok dan kohesivitas kelompok sosial komuter.

Mobilitas komuter merupakan aktivitas yang selalu ada pada masyarakat industri. Teknologi transportasi kereta api bagi masyarakat urban berpengaruh terhadap interaksi sosial yang pendorong perubahan sosial (social change) dengan terbentuknya komunitas-komunitas nonkeluarga melalui hubungan pertemanan selama dalam perjalanan. Aktivitas interaksi dan komunikasi komuter selama dalam perjalanan akan berpengaruh terhadap sosialisasi budaya, pendidikan, pekerjaan individu dan membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar ide dan gagasan melalui komunikasi. Hal ini tentunya tidak hanya berpengaruh pada pembentukan kelompok sosial komuter saja, tetapi juga berkorelasi terhadap manfaat yang diterima oleh individu anggota dan keluarga masing-masing anggota. Sosialisasi dan pertukaran informasi dari proses komunikasi mampu membangun budaya, pengetahuan anggota dan menularkannya kepada keluarga masing-masing. Melihat pentingnya proses komunikasi dan interaksi komuter selama dalam perjalanan sebagai pendorong perubahan sosial, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukan Identitas di Kalangan

Berkereta Api”.

Perumusan Masalah

Peningkatan mobilitas komuter menyebabkan kemacetan tidak bisa dihindari setiap harinya. Kereta api sebagai moda transportasi komuter mengambil peran sebagai moda transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan menuju Jakarta. Namun segala sesuatu ada sisi positif dan negatifnya. Di samping sebagai moda transportasi yang murah dan cepat, ternyata kereta juga memiliki kelemahan dari sisi keamanan dan kenyamanan, khususnya KA. Patas Purwakarta.

Kondisi gerbong yang padat, dengan wajah penumpang yang selalu sama setiap harinya akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial di gerbong kereta. Perbedaan latar belakang dan karakter antar penumpang yang beragam seperti suku, etnis, agama dan status sosial ekonomi tidak menjadi halangan dalam membentuk kelompok. Kelompok sosial yang terbentuk berawal dari komunikasi. Proses komunikasi yang terjadi mampu membentuk kelompok-kelompok sosial dalam gerbong kereta. Melalui komunikasi secara individu maupun kelompok terjadi pertukaran informasi, gagasan, dan pengalaman, sekaligus menjadi bagian dari proses perubahan sosial. Kohesivitas kelompok sebagai salah satu upaya dalam merekatkan jalinan komunikasi para anggotanya.

Namun kenyataannya dalam menyampaikan informasi dan menerima informasi merupakan hal yang tidak mudah, dan menjadi tantangan dalam proses komunikasinya. Belum lagi perbedaan latar belakang anggota dan komunikasi terus menerus terkadang menjadi permasalahan yang kerap muncul diantara sesama anggota maupun di luar anggota kelompok dan ini dapat mengganggu komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial komuter baik yang dilakukan di internal kelompok maupun eksternal kelompok.

(19)

yang diperoleh dari perkotaan diharapkan mampu membangun pengetahuan anggota dan bermanfaat bagi keluarga mereka. Hal-hal ini menarik untuk eksplorasi lebih lanjut dengan berfokus pada isu-isu dan tantangan yang ada dalam kelompok sosial komuter. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses komunikasi dan kohesivitas dalam kelompok gerbong empat KA. Patas Purwakarta?

2. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan proses komunikasi?

3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan kohesivitas kelompok?

4. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi dan kohesivitas?

5. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian utama dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas pada gerbong empat KA.Patas Purwakarta. Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah menghasilkan :

1. Deskripsi proses komunikasi dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas Purwakarta.

2. Analisis hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan proses komunikasi.

3. Analisis hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan kohesivitas kelompok.

4. Analisis hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas.

5. Analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat kelompok.

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kegunaan Akademis

Memperkaya khasanah penelitian komunikasi dengan bidang kajian komunikasi pembangunan, kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial dalam bidang kajian komunikasi pembangunan.

2. Kegunaan Praktis

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Commuting (Nglaju)

Penglaju berasal dari kata “nglaju” (Jawa) yang berarti pergi ke tempat lain umumnya mengerjakan suatu pekerjaan dan tidak punya rencana untuk menginap di tempat tujuan. Menurut Mantra (2000), mobilitas harian (nglaju) atau komuter adalah jika seseorang yang bekerja dalam satu hari, yaitu pergi pada pagi hari dan kembali sore hari atau di hari yang sama, dilakukan secara terus menerus setiap harinya. Salah satu alasan mobilitas penduduk dari desa ke kota adalah pekerjaan. Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan bahwa komuter adalah seseorang yang melakukan suatu kegiatan bekerja/sekolah/kursus di luar Kabupaten/Kota tempat tinggal dan secara rutin pergi dan pulang (PP) ke tempat tinggal pada hari yang sama.

“Nglaju” tidak mempunyai batasan yang jelas. Lee (1966)

mengungkapkan bahwa tidak ada pembatasan jarak perpindahan penglaju sehingga peneliti dapat mempergunakan batas administrasi seperti Negara, propinsi, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan atau dukuh. Semua itu tergantung pada tujuan penelitian. Oleh karena itu, definisi umum komuter atau penglaju adalah orang yang keluar dari batas wilayah tertentu dalam waktu yang tertentu pula.

Kemudahan komuter untuk melakukan mobilitas di dukung oleh teknologi transportasi dan pendukungnya. Menurut Suparlan teknologi adalah alat yang efektif untuk mengubah suatu kebudayaan, termasuk kereta api yang membawa komuter dari wilayah pinggiran ke wilayah perkotaan atau sebaliknya (Syafri 2010)

Mantra (2000) menyebutkan bahwa mobilitas penduduk dapat dibedakan menjadi dua, pertama mobilitas penduduk permanen yaitu gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lainnya dengan niatan menetap di daerah tujuan, kedua mobilitas penduduk non permanen yaitu gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Jadi seberapapun lamanya seorang telah bertempat tinggal di suatu daerah tujuan selama tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan maka orang tersebut disebut migran non permanen.

(21)

Gambar 1. Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk Sumber : Mantra (2000)

Menurut Hartshorn (1980), arus perjalanan menuju tempat kerja pada kota modern dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:

1. Kota ke kota

Perjalanan jenis ini termasuk arus dalam sentral kota major work centre, yang dimaksud di sini adalah Central Business District (CBD). Mobil merupakan moda yang penting dalam perjalanan ini.

2. Suburb ke city

Pergerakan ini dimulai dari suburb dan berakhir di pusat kota terutama di CBD dan disekitar daerah kerja. Pergerakan ini biasanya memakai mobil pada jalan bebas hambatan atau arteri. Pada kota yang sedang dan kota yang besar, bus ekspres merupakan pilihan utama atau transit kereta api ulang alik melengkapi perjalanan dengan mobil.

3. Suburb ke suburb

Pergerakan ini tipenya adalah perjalanan dari area residen yang jauh ke pusat suburb yang dekat. Ciri pergerakan ini memakai mobil dan melalui jalan bebas hambatan dan arteri utama.

Faktor-faktor penyebab munculnya komuter (penglaju) dibagi menjadi dua yaitu:

1. Faktor internal

(22)

dengan membandingkan penghasilan dari pekerjaan yang ada disekitar tempat tinggalnya dan penghasilan dari pekerjaan tempat lain yang dituju berdasarkan pertimbangan untung rugi (Keban 1994).

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang mendorong seseorang untuk nglaju yang berasal dari luar dirinya yaitu transportasi. Transportasi merupakan sarana yang penting bagi seorang penglaju seperti yang dikemukakan oleh Hugo (1981) bahwa nglaju dibatasi oleh jarak dan jaringan transportasi yang tersedia di suatu daerah tempat tinggal dan dapat terjadi bila lokasi tempat kerja dapat dicapai dengan mudah serta ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang sudah banyak menjangkau daerah tempat tinggal sehingga meningkatkan integrasi antara tempat asal dan tempat tujuan.

Kelompok Sosial

Menurut Adler (2009), kelompok terdiri dari “a small collection of people who interact eachother, usually face to face, over time in order to reach goals”. Di dalam beberapa definisi tentang kelompok menyatakan bahwa agar dianggap sebagai sebuah kelompok, maka setidaknya harus terdiri dari tiga atau lebih individu yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekumpulan orang yang berada di dalam satu waktu dan tempat yang sama belum dapat dikatakan sebuah kelompok karena di antara sekumpulan orang tersebut belum tentu berinteraksi secara intensif dan memiliki tujuan bersama. Ada dua hal yang membuat sekumpulan orang dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, yakni interaksi dan saling ketergantungan.

Sedangkan menurut Bimo (2010), kelompok dapat dianggap kelompok apabila dikategorikan sebagai berikut:

1. Besar kecilnya kelompok atau ukuran kelompok, ada kelompok kecil dengan beranggotakan kurang dari 20 orang dan kelompok besar beranggotakan lebih dari 20 orang.

2. Tujuan, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan anggota yang memiliki tujuan yang sama, misalnya kelompok belajar.

3. Value (nilai), merupakan kelompok yang terbentuk atas dasar orang- orang yang memiliki kesamaan nilai, misalnya kelompok agama.

4. Duratioin (waktu lamanya), ada kelompok yang jangka waktunya pendek dan juga ada kelompok dengan jangka waktunya lama.

5. Scope of activities, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan jumlah aktivitasnya.

6. Minat, merupakan kelompok yang beranggotakan orang-orang memiliki minat yang sama, misalnya kelompok pemancing.

7. Daerah asal, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan kesamaan daerah asal, misalnya ikatan mahasiswa berasal dari daerah Yogyakarta.

8. Formalitas, ada kelompok formal dan ada juga kelompok informal.

(23)

Interaksi merupakan syarat utama dari sebuah kelompok sosial. Di dalam komunikasi sebuah kelompok, interaksi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yakni interaksi secara verbal dan non-verbal. Interaksi secara verbal memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi menggunakan bahasa dan kata-kata secara lisan maupun tulisan. Sedangkan interaksi non-verbal memungkinkan anggota kelompok sosial untuk berbagi ide dan makna dengan menggunakan bahasa tubuh dan mimik wajah. Komunikasi verbal dan non-verbal ini pada akhirnya dapat memperkuat ikatan dan mendukung keberlangsungan kelompok sosial.

Faktor lain yang menjadikan sekumpulan orang sebagai sebuah kelompok sosial adalah saling ketergantungan. Anggota kelompok memiliki

behavioral and goal interdependence.” (Barge in Eadie 2009). Behavioral interdependence mengacu pada bagaimana pesan anggota kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pesan dari kelompok lain. Sedangkan goal interdependence merupakan tujuan utama bersama yang dimiliki oleh sebuah kelompok.

Penelitian terkini yang dilakukan oleh Stohl dan Putnam (2003) menemukan faktor lain yang mencirikan sebuah kelompok sosial, yakni bahwa kelompok sosial terikat dalam sebuah konteks (context) yang disebut sebagai bonafide group perspective (Barge in Eadie 2009). Setidaknya ada tiga faktor yang membuat kelompok sosial terikat dalam konteks:

1. Anggota kelompok dan regu membawa latar belakang perilaku, profesi dan budaya yang berbeda-beda ke dalam pengalaman berkelompok. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan seorang individu untuk bergabung di dalam kelompok sosial secara tabula rasa atau tanpa referensi apapun. Individu mendasarkan interaksi mereka pada identitas dan pengalaman dengan kelompok sebelumnya.

2. Kelompok memiliki eksistensi. Kelompok ada dalam kurun waktu tertentu yang berhubungan dengan ide dan aspirasi yang dibawa oleh setiap anggota kelompok dan menjadikan ide serta aspirasi tersebut menjadi bagian dari pengalaman kelompok yang mempengaruhi tingkah laku dari para anggota kelompok tersebut. Hal ini membuat kehidupan berkelompok tidak statis, melainkan dinamis dengan berbagai tantangan, permasalahan dan konflik yang pernah dilalui.

3. Kelompok dan regu terikat dan berinteraksi dengan kelompok dan regu lain. Pada level individu, keterikatan bisa berupa keanggotaan gsaya dan keterikatan dengan kelompok dan regu lain dengan konteks yang berbeda. Sedangkan pada level kelompok, kelompok dan regu saling terhubung dan berinteraksi dengan kelompok dan regu lain dengan cara yang unik dan memiliki tujuan tertentu.

(24)

seorang individu enggan berperilaku di luar etika dan norma kelompok karena dapat menyebabkan keluarnya individu tersebut dari keanggotaan kelompok.

Komunikasi dalam Kelompok

Emanuel (2007) menjelaskan komunikasi memainkan peran penting dalam merubah hidup kita, kebanyakan orang dilahirkan dengan kemampuan fisik untuk mendapatkan media komunikasi yang diperlukan, namun potensi tersebut tidak menjamin bahwa mereka akan belajar untuk berkomunikasi secara efektif (Mc Farlane, 2010). Mc Farlane (2010), mengatakan bahwa “Communication is the vehicle that allows us to recall the past, think in the present, and plan for the future. It enables us to manage our relationship with others, and to interpret and interact with aou envirotment”. Dengan berkomunikasi kita mampu memaknai orang lain dan berinteraksi. Dengan berinteraksi manumur mampu berpikir dan memaknai suatu simbol serta menghasilkan makna yang dipahami secara bersama.

Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion hange), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Sesuai dengan pendapat Carl Hovland (Effendy 2005).

Kelompok terdiri dari beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Arifin 2008). Menurut Shaw (1976) mendefinisikan komunikasi kelompok adalah kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu komponen ini hilang individu yang terlibat tidaklah berkomunikai dalam kelompok..

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan menganggap mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Mulyana 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.

Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasi

Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan sosiologi, namun dalam kesempatan ini disampaikan hanya tiga klasifikasi kelompok (Soekanto 2006).

Kelompok primer dan sekunder

(25)

kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.

2. Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan

Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (stsayard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.

3. Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif

Cragan dan Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.

Karakteristik K omunikasi dalam K elompok

Fungsi kelompok dalam individu ada dua alasan seseorang bergabung dalam kelompok. Pertama, untuk mencapai tujuan yang bila dilakukan sendiri tujuan itu tidak tercapai. Kedua, dalam kelompok seseorang dapat tepuaskan kebutuhannya dan mendapatkan reward sosial seperti rasa bangga, rasa dimiliki, cinta, pertemanan, dan sebagainya. Besarnya anggota kelompok akan mempengaruhi interaksi dan keputusan yang dibuatnya. Brainstorming dalam mengambil keputusan kelompok akan efektif bila anggota kelompoknya 5-10 orang (Griffin 2003).

Kelompok memiliki pengetahuan yang luas dan probabilitas yang lebih besar bahwa seseorang dalam kelompok akan memiliki pengetahuan khusus yang relevan dengan persoalan kelompok. Namun demikian, kelompok juga tidak selalu menghasilkan keputusan yang lebih baik.

Individu dalam kelompok harus menunggu gilirannya dalam memberikan kontribusi kepada kelompok. Akibat giliran dalam mengungkapkan pendapat ini, di antara anggota kelompok seringkali mengalami production blocking, terganggu pikirannya, atau kehilangan motivasi untuk berpartisipasi (malas). Individu kadang tidak mau berbagi (sharing) dalam memberikan kelompoknya mayoritas maka pengambilan keputusannya akan sangat efektif, sebaliknya bila kelompoknya minoritas, maka sering kali orang mengalami kekecewaan, karena merasa tidak diperhatikan (Griffin, 2003). Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kelompok (Griffin 2003).

(26)

menyebar opini, konsekuensinya adalah semakin lemah partisipasi individu dalam kelompok tersebut.

2. Kesamaan anggota kelompok keputusan kelompok akan cepat dan mudah dibuat bila anggota kelompok sama satu dengan yang lain.

3. Pengaruh (pengkutuban) polarisasi kelompok. Seringkali keputusan yang dibuat kelompok lebih ekstrim dibandingkan keputusan individu. Hal itu disebabkan karena adanya perbadingan sosial. Tidak semua orang berada di atas rata-rata. Oleh karena itu untuk mengimbanginya perlu dibuat keputusan yang jauh dari pendapat orang tersebut.

Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan: a. melaksanakan tugas kelompok, tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok- disebut prestasi (performance), b. memelihara moral anggota-anggotanya, tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.

Faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu (Rakhmat 2 0 0 1 ): keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki

nilai moral”. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional, tetapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok.

Janis berpendapat bahwa anggota – anggota kelompok sering kali terlibat di dalam sebuah gaya pertimbangan dimana pencarian konsensus lebih berat. Partisipasi di dalam kelompok dimana keinginan untuk mencapai suatu tujuan atau tugas lebih penting dari pada menghasilkan solusi pemecahan masalah yang masuk akal. Janis yakin bahwa apabila kelompok yang kemiripan antaranggotanya tinggi dan memiliki hubungan baik satu sama lain gagal untuk menyadari sepenuhnya akan adanya pendapat yang berlawanan, ketika mereka menekan konflik hanya agar mereka dapat bergaul dengan baik, atau ketika anggota kelompok tidak secara penuh mempertimbangkan semua solusi yang ada, mereka rentan terhadap groupthink.

Kelompok melakukan devensive avoidance, yaitu mencoba menghindari informasi yang mungkin menyebabkan kecemasan. Janis (1982) menulis bahwa group thinking terjadi karena pembuat keputusan itu adalah kelompok yang kohesif.

(27)

kelompok. Kelompok yang kohesif jauh lebih mungkin untuk terlibat dalam groupthink . Groupthink akan terjadi apabila kohesivitas tinggi dan kecenderungan untuk mencari konsensus dalam kelompok-kelompok yang memiliki ikatan erat akan mengakibatkan mereka mengambil keputusan-keputusan yang inferior. Kelompok-kelompok sering sekali tidak mendiskusikan semua pilihan yang sebenarnya dapat dipertimbangkan. Serta kelompok sangat selektif dalam menangani informasi.

Gejala Groupthink dapat digambarkan dari 3 tipe: yaitu: over-estimasi terhadap kelompoknya, kedekatan berpikir, dan tekanan untuk menjadi sama (seragam). Kelompok dapat menghindari Groupthink dengan dua tahap: discouraging leader, dan menghindari isolasi kelompok. Kelompok jangan sampai dominan, dan memberikan kepada anggota untuk mengkritik. Untuk menghindari isolasi kelompok, rencana kebijakan kelompok dapat dibagi ke dalam sub grup dan dan sub grup ini bertemu untuk membahas tujuan kelompok secara terpisah, dengan pemimpin masing-masing sub group yang berbeda dengan pemimpin semula.

Kohesivitas Kelompok

Kohesivitas kelompok merupakan derajat dimana anggota kelompok saling menyukai, memiliki tujuan yang sama, dan ingin selalu mendambakan kehadiran anggota lainnya. Kohesivitas kelompok adalah suatu tingkat daya tarik dan bagaimana suatu perasaan anggota terhadap anggota lain, dan hal ini akan tertampilkan dalam perasaan "ke-kita-an" (groupness).

Mcshane dan Glinow (2003) mengatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Anggota kelompok merasa kompak adalah ketika mereka percaya kelompok mereka akan membantu mereka menyelesaikan tujuan mereka, saling mengisi kebutuhan mereka, atau memberikan dukungan sosial selama krisis.

Robbins (2001) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Misalnya, kelompok yang kompak karena menghabiskan banyak waktu bersama, atau kelompok yang berukuran kecil menyediakan sarana interaksi yang lebih intensif, atau kelompok yang telah berpengalaman dalam menghadapi ancaman dari luar menyebabkan anggotanya lebih dekat satu sama lain.

Gibson (2003) mengungkapkan bahwa kohesivitas kelompok adalah kekuatan ketertarikan anggota yang tetap pada kelompoknya dari pada terhadap kelompok lain. Mengikuti kelompok akan memberikan rasa kebersamaan dan semangat dalam menjalani aktivitas menuju tempat masing-masing.

Forsyth (1999) dalam Walgito (2010) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan didalamnya terdapat kekompakkan dan saling tolong menolong yang tinggi.

(28)

yang diperoleh anggota dari kelompok, efektiivitas tugas, bagaimana proses dipentingkannya seorang anggota, serta komunikasi. Komunikasi sebagai indikator disini dapat dilihat dari kuantitasnya, yaitu jumlah dan frekuensinya, serta dapat dilihat dari kualitasnya, yaitu tingkat kebebasan dan keterbukaan (free and openess) dalam berkomunikasi (Beebe dan Materson, 1994). Bormann (1990) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan komposisi kelompok merupakan kondisi karakteristik dari para anggota yang dapat terdiri dari umur, jenis kelamin, kompetensi, kebutuhan sosial dan psikologis.

Dahnke dan Clatterbuck (1990) menyatakan istilah komposisi kelompok merujuk pada cara berprilaku, keahlian, latar belakang, karakteristik personal (seperti umur, gender, kemampuan, dan atribut berupa kepribadian, idiosyncratic, dan karakteristik bagaimana antar yang satu berelasi dengan yang lain. Prosesnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu karakteristik anggota dan bagaimana mereka bereaksi terhadap yang lain, dan kombinasi dari anggota ini akan mempengaruhi kemampuan performansi kemampuan performasi kelompok sebagai sebuah keseluruhan unit. Lebih lanjut dijelaskan ukuran kelompok berpengaruhi terhadap kedekatan, dan bentuk hubungan, pengambilan keputusan. Disamping itu secara umum anggota yang lebih heterogen akan memberikan keuntungan terhadap peningkatan/ sumbangan karena kemampuan, keahlian, pengetahuan yang dibawanya, bila dibandingkan kelompok yang sangat homogen.

Tingginya kohesivitas kelompok mempengaruhi terjadinya umpan balik yang maksimal dan mendorong komunikasi yang lebih efektif dan efisien (Bormann 1990). Perilaku dalam kelompok “dua kepala lebih baik daripada yang dikerjakan oleh seorang individu”. Interaksi dalam kelompok bisa menghasilkan ide dan solusi baru .Disamping itu kohesivitas kelompok akan secara khusus menjadi produktif jika semua anggota kelompok termotivasi untuk melalukan pekerjaan atau tugas secara baik (Hare 1962). Biasanya kohesivitas ini dikaitkan dengan produktivitas kelompok. Namun tidak semua bentuk kohesivitas kelompok ini berdampak positif, karena anggota bisa merasa tertekan untuk selalu konform terhadap norma kelompok.

(29)

Pembentukkan Identitas Kelompok

Identitas didefinisikan sebagai “the cultural, societal, relational, and individual images of self-conception, and this composite identity has group membership, interpersonal, and individual self-reflective implications.” (Littlejohn 2009) Konsep identitas berasal dari kata kerja to identify yang melibatkan proses pendeskripsian, penamaan, dan pengklasifikasian (Barker, 2004). Pembentukan identitas tidak terjadi secara instan, tetapi dibangun melalui interaksi dan komunikasi antara dua atau lebih individu. Identitas terbagi ke dalam beberapa kategori, yakni identitas diri, identitas sosial, dan identitas budaya. Giddens (1991) mengungkapkan bahwa identitas diri melibatkan kesadaran

kognitif diri untuk menjadi “seseorang”, bukan hanya sekedar aktor tetapi memiliki konsep diri (Hill, Watson et al 2007). Identitas diri menurut Stella Ting Toomey (1999) dibentuk melalui interaksi, sehingga tidak ada seorang pun yang membentuk konsep diri dalam keadaan vakum (Hill, Watson et al 2007).

Brown (2000) berargumen bahwa “our social identity – our sense of who we are and what we are worth –is intimately bound up with our group memberships” (Hill, Watson et al 2007). Maka, dapat dikatakan bahwa identitas sosial individu berubah-ubah mengikuti status keanggotan individu tersebut di dalam kelompok sosial. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sudah menikah, di dalam kelompok sosial keluarga berperan sebagai seorang ayah yang memegang kendali dan memimpin, namun identitasnya sebagai ayah berubah ketika individu tersebut berada di dalam kelompok sosial di kantornya.

Identitas kultural oleh Kim dikonseptualisasikan sebagai klasifikasi sosiologis (atau demografis) dan atribut psikologis individu dengan kelompok tertentu (Littlejohn 2009). Lebih lanjut Kim mengungkapkan lima cara untuk mempelajari permasalahan-permasalahan seputar identitas kultural, diantaranya proses intrapersonal, kompetensi komunikasi antarbudaya, adaptasi terhadap budaya baru, identitas budaya dalam konteks antarbudaya, dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam lingkungan yang berbeda budaya.

Menurut teori kategorisasi diri yang dirumuskan oleh Turner, Hogg, Oakes, Reicher, dan Wetherell (1987) menunjukan bahwa individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial, maka individu tersebut mengalami proses yang disebut depersonalisasi. Secara khusus, individu tersebut menganggap bahwa setiap anggota kelompok, memiliki nilai-nilai dan paham yang sama. Dengan demikian, orang-orang cenderung untuk mematuhi norma-norma kelompok. Identitas diri seseorang merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif karena kita menggambarkan kelompok sendiri memiliki norma yang baik.

(30)

Swann, Gamez, Seyle, Morales, dan Huici menunjukkan bahwa beberapa orang menunjukkan identitas yang menyatu dengan kelompoknya, di mana individu merasa identitas diri pribadi dan identitas sosial saling tumpang tindih (Hogg 2006). Hal ini terjadi ketika individu menerima umpan balik mengenai harapan yang menyimpang dari dirinya maka akan terjadi sebuah manipulasi identitas pribadi untuk menguatkan diri dengan kelompok yang mereka ikuti. Ketika individu menyadari identitas sosial telah melekat dengan identitas pribadinya maka mereka akan sadar betapa pentingnya keberadaan kelompok-kelompok yang diikuti, kemudian hal ini akan mengubah perilaku individu secara dramatis. Pertama, mereka akan menjadi lebih cenderung menunjukkan nilai-nilai yang melambangkan kelompok mereka). Kedua, mereka akan berprasangka bahwa individu dari kelompok lain (di luar kelompok yang diikuti) juga akan menunjukan kualitas individu yang melambangkan anggota dari kelompok sosial lainnya (Hogg 2001. Sebagai contoh, jika mereka melihat suatu kelompok

sebagai kelompok komuter “gerbong setan”, maka individu di luar kelompok tersebut akan cenderung menafsirkan perilaku anggota kelompok tersebut sebagai individu yang memiliki perilaku brutal.

Biasanya kelompok sosial membangun identitasnya secara positif. Muncullah ide dari sebuah kelompok untuk membandingkan aspek positif dengan kelompok lain. Identitas sosial merupakan kesadaran diri secara khusus diberikan kepada hubungan antar kelompok dan hubungan antar individu dalam kelompok. Individu sebagai anggota sebuah kelompok dalam proses pembentukan identitas sosial kelompok tersebut mengalami depersonalisasi. Depersonalisasi adalah proses dimana individu menginternalisasikan bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya atau dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik (Baron dan Byrne 2003).

Identitas sebuah kelompok dibentuk oleh proses-proses sosial. Proses-proses sosial yang membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebuah kelompok tidak bisa dipahami secara langsung oleh masyarakat bahwa kelompok tersebut memiliki identitas. Perlu adanya pembentukkan identitas sebuah kelompok kepada masyarakat agar kelompok tersebut dipahami sebagai sebuah kelompok yang memiliki identitas. Pembentukkan identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara pelembagaan dan internalisasi. Proses pelembagaan ditandai dengan semua tindakan anggota kelompok akan mengalami proses pembiasaan. Tindakan tersebut akan dilakukan secara berulang-ulang dalam kehidupannya, pada akhirnya pelakunya akan memahami sebagai pola yang dimaksudkan. Tindakan-tindakan anggota kelompok dalam proses pelembagaan ini kemudian akan dilegitimasikan. Fungsi legitimasi tersebut adalah untuk membuat obyektivitas tindakan- tindakan anggota kelompok yang telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif (Berger dan Luckmann 2012).

(31)

Proses sosialisasi primer dalam sebuah kelompok sosial lingkupnya tidak berbeda dengan keluarga, yaitu lingkupnya di dalam kelompok sosial itu sendiri. Proses sosialisasi sekunder pada individu merupakan proses sosialisasi lanjutan dari proses sosialisasi primer yang lingkupnya tidak hanya lingkup keluarga. Proses sosialisasi sekunder dalam sebuah kelompok sosial lingkupnya bukan hanya dalam sebuah kelompok sosial itu sendiri, melainkan cakupannya luas di luar kelompok sosial tersebut (Berger dan Luckmann 2012).

Identitas dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, dan prinsip moral atau gaya sosial (Kellner, 2010). Identitas tidak terbentuk secara sendiri, namun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya identitas. Faktor-faktor pembentuk identitas tersebut antara lain (Lisnia 2011): bedasarkan tekanan kelompok atau dapat digunakan untuk mengelompokkan individu dengan identitas tertentu. Kehidupan berkelompok menawarkan kenyamanan dalam individu berinteraksi dengan individu lainnya. Kenyamanan berinteraksi antar individu dalam sebuah kelompok mendorong terbentuknya identitas karena dengan berinteraksi dalam suatu kelompok juga terdapat interaksi yang saling mempengaruhi.

(3) Status Sosial

Analisis mengenai identitas dan gaya hidup selalu dikaitkan dengan status sosial. Karena status sosial berpengaruh terhadap terbentuknya identitas. Kelompok sosial memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya pekerja urban ulang alik untuk bergabung dengan kelompok tersebut.

(4) Media Massa

Media massa dalam pembentukan identitas membantu membentuk kerangka pemikiran individu dalam menentukan selera. Media massa menawarkan berbagai bentuk keelokan dan keindahan yang mempengaruhi kondisi psiko-sosial individu untuk mengikuti media massa.

(5) Kesenangan (Pleasure and Fun)

Kesenangan menjadi faktor pendorong dalam pembentukan identitas manumur melalui gaya hidup manumur tersebut. Gaya hidup manumur tercipta melalui kesenangan dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

(32)

Karakteristik Individu

Kepribadian merupakan kesatuan organisasi, seluruh isi sifat-sifat dari seseorang individu yang dinyatakan dalam bentuk yang berbeda dengan yang lain (Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah-peubah yang penting dalam mengkaji masyarakat lokat diantaranya adalah peubah karakteristik individu.

Dari beberapa pendapat mengenai karakteristik individu, diduga karakteristik individu masyarakat penerima bedah rumah dan sertifikat tanah gratis memiliki hubungan yang signifikan dengan proses komunikasi serta partisipasi, yaitu meliputi : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan, luas lahan dan pengalaman mendapat bantuan, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Umur

Umur individu akan dipengaruhi pertumbuhan baik aspek biologis maupun psikis. Pertumbuhan psikis akan tampak pada aspek kejiwaan (kedewasaan). Berdasarkan hasil penelitian Kurniawati (2010) umur berhubungan negatif dengan partisipasi dalam bidang ekonomi artinya umur sebagian responden masuk kategori sedang maka partisipasinya dalam bidang ekonomi posdaya rendah baik dalam perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan mengevaluasi kegiatan. Sedangkan menurut Akbar (2013) pada petani yang lebih tua memiliki tingkat pengalaman lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berumur lebih muda.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah jenis kelamin seorang individu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian Rizal (2006) menyatakan bahwa sebagian besar para migrasi sirkuler adalah laki-laki. Data tersebut juga sesuai dengan data dari Sakernas (Survei Tenaga Kerja Nasional) pada tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sebagian besar tenaga kerja komuter di Indonesia adalah laki-laki yang jumlahnya mencapai sekitar 70 persen (4,95 juta orang).

3. Jenis Pekerjaan

Pekerjaan secara umum didefinisikan sebagai pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan atau sesuatu yangg dilakukan untuk mendapat nafkah (Podo et al 2013). Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan sebuah karya bernilai imbalan dalam bentukuang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah pekerjaan dianggap sama dengan profesi.

4. Tingkat Pendidikan

Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk mengahsilkan perubahan-perubahan pada perilaku manumur. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manumur terutama dalam membukan cakrawala/pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berfikir secara ilmiah. Berdasarkan penyeleanggaraan pendidikan dibedakan nmenjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal.

5. Tingkat Pendapatan

(33)

adalah keseluruhan penerimaan berupa uang yang dihasilkan tiap individu yang telah bekerja. Pendapatan dapat dilihat dari penerimaan rata-rata setiap bulan dalam satuan rupiah (Rp).

Hasil Studi Komunikasi Kelompok, Kohesivitas, Pembentukan Identitas Kelompok l dan Kebaruan Penelitian

Berdasarkan kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini, baik berdasarkan objek kajian (identitas kelompok sosial) maupun pendekatan teori yang digunakan (komunikasi kelompok, dan kohesivitas), berikut disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini.

Sejauh penelusuran yang sudah dilakukan, penelitian mengenai identitas pernah dilakukan olehMirra Noor Milla dan Faturrochman yang berjudul

“Pembentukan Identitas Mujahid Global pada Terpidana Kasus Terorisme di Indonesia”. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis yang berbasis naratif-etnografi. Lima terpidana kasus terorisme dipilih sebagai informan utama berdasarkan variasi subjek dari eksplorasi awal yang ditemukan di lapangan. Mereka terdiri dari terpidana kasus Bom Bali, tiga dari mereka telah dieksekusi mati. Analisis naratif dilakukan pada hasil wawancara, dokumentasi (naskah, surat pribadi, merekam audio, audio-visual merekam dan otobiografi dipublikasikan) serta catatan riset pada pengamatan di lapangan. Pada penelitian ini ditemukan bahwa teroris melakukan subordinasi identitas pribadi mereka ke dalam identitas kelompok. pembentukan identitas dari mulai dari identitas muslim kaffah (integralistik), identitas seorang muslim sejati dilakukan dengan membangun identitas diri mereka sebagai mujahidin. Proses penguatan identitas terjadi ketika ada ancaman terhadap kelompok mereka. Penanaman ideologi jihad terjadi dalam kelompok, jihad kolektif dianggap sebagai kewajiban untuk semua muslim. Proses mobilitas yang terjadi di dalam kelompok membedakan teroris yang memilih cara-cara konvensional atau jalan teror untuk mencapai tujuan jihad fi sabilillah mereka.

Penelitian mengenai identitas juga dilakukan Dominikus Isak Petrus Berek yang berjudul “Fashion Sebagai Komunikasi Identitas Sub Budaya (Kajian Fenomenologi terhadap Komunitas Street Punk Semarang”. Penelitian ini menggunakan kajian fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Melalui kontak dengan komunitas Punk yang berkelanjutan, maka diperoleh informasi tentang ritual-ritual, perayaan-perayaan, dan permasalahan yang dimiliki para anak Punk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap individu dalam komunitas Street Punk Semarang berinteraksi satu sama lain membentuk identitas dalam konteks tertentu. Kegagalan dalam memperoleh kebebasan dari kelompok yang berkuasa, mendorong tiap individu untuk lebih menambah intensitas pergerakan pemberontakan atau mencari jalan lain akan tetapi tetap dalam koridor yang

mereka yakini sebagai „anti kemapanan‟ dan „anti penindasan‟. Penguatan

identitas dilakukan melalui aktifitas putaran melodi lagu (musikalitas), aktifitas politik individu maupun kolektif yang divisualisasikan lewat tubuh dan

diklaimnya sebagai „anti kemapanan‟ dan „anti penindasan‟. Komunitas Punk

(34)

apolitis dan semangat Punk yang ada pada periode sebelumnya diserukan seolah melekat dengan Street Punk yang ada di Semarang saat ini.

Penelitian mengenai identitas dari masing-masing peneliti melihat proses pembentukan identitas sosial yang dimulai dari identitas individu melebur ke dalam identitas kelompok dengan menggunakan kajian fenomenologi. Mirra Noor Milla dan Faturrochman menekankan proses pembentukan identitas diri menjadi subordinasi identitas kelompok melalui psikologi kelompok. Identitas kelompok keagamaan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi identitas individu. Penguatan identitas kelompok terjadi ketika ada ancaman terhadap kelompok mereka. Sedangkan Dominikus Isak Petrus Berek meneliti proses pembentukan identitas Komunitas Street Punk Semarang berdasarkan proses interaksi dan komunikasi individu yang tergabung dalam komunitas Street Punk dengan menggunakan kajian fenomenologi. Wujud identitas melekat pada setiap aktifitas Komunitas Street Punk Semarang melalui musik dan politik individu maupun kelompok yang divisualisasikan lewat tubuh.

Proses pembentukan identitas sesuai dengan pendapat Swann, Gamez, Seyle, Morales, dan Huici menunjukkan bahwa identitas menyatu dengan kelompoknya, di mana individu merasa identitas diri pribadi dan identitas sosial saling tumpang tindih. Stone (Hogg 2006) menekankan bahwa identitas adalah

lokasi sosial dan individu akan selalu menjawab pertanyaan “Siapa saya?” dengan

mengidentifikasi diri mereka sendiri dalam sebuah kelompok sosial. Seperti

contohnya pernyataan “Saya adalah seorang Wanita” merupakan penegasan kategori sosial yang mengacu pada tindakan bahwa wanita merupakan bagian penting dalam sebuah kelompok ketimbang hubungan antar individu.

Hal ini terjadi ketika individu menerima umpan balik mengenai harapan yang menyimpang dari dirinya maka akan terjadi sebuah manipulasi identitas pribadi untuk menguatkan diri dengan kelompok yang mereka ikuti. Ketika individu menyadari identitas kelompok telah melekat dengan identitas pribadinya maka mereka akan sadar betapa pentingnya keberadaan kelompok-kelompok yang diikuti, kemudian hal ini akan mengubah perilaku individu secara dramatis. Pertama, mereka akan menjadi lebih cenderung menunjukkan nilai-nilai yang melambangkan kelompok mereka. Kedua, mereka akan beranggapan bahwa individu dari kelompok lain (di luar kelompok yang diikuti) juga akan menunjukan kualitas individu yang melambangkan anggota dari kelompok sosial lainnya (Hogg 2001).

Sementara penelitian ini melihat proses pembentukan identitas dari dua hal, yaitu identitas diri yang menyatu dengan kelompoknya, kelompok juga memiliki keterkaitan yang erat dalam proses pembentukan identitas diri. Pembentukan identitas tidak terlepas dari proses komunikasi yang terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal. Selain itu metodologi penelitian yang digunakan adalah mixed method. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan fenomenologi kualitatif dan naratif etnografi. Pada penelitian ini mencoba mengkaji pada kelompok sosial “komuter” yang memiliki peran dalam pembangunan nasional.

Sedangkan untuk penelitian mengenai komunikasi kelompok dan

kohesivitas adalah tesis Muksin, “Jaringan Komunikasi dan Kohesivitas: Kajian

Iklim Kelompok dan Aplikasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman

(35)

menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara jaringan komunikasi dan kohesivitas dengan iklim kelompok. Nilai-nilai lokal yang masih hidup di kelompok adalah salah satu faktor kunci dan berperan dalam implementasi aplikasi pengendalian OPT ramah lingkungan.

Penelitian komunikasi kelompok selanjutnya adalah Fina Pratiwi Gurning

dengan judul “Komunikasi Kelompok pada Komunitas Kompas MuDa”. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan penelitian lapangan (field research). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa yang menjadi komunikator dalam komunitas adalah ketua masing-masing batch dan ketua batch berfungsi sebagai penyambung lidah Marketing Communication PT. Kompas Media Nusantara. Isi pesan yang disampaikan berupa informasi seputar event organizer, dunia jurnalistik. Kohesivitas terbentuk diantara volunteer melalui intensitas interaksi.

Penelitian mengenai komunikasi kelompok bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Seperti terlihat dari penelitian sebelumnya, kedua penelitian menggunakan kedua pendekatan yaitu kualitatif deskriptif dan kuantitatif deskriptif. Sementara penelitian ini lebih fokus pada keinginan untuk melihat proses komunikasi kelompok yang terjadi dalam kelompok sosial komuter sehingga suatu perubahan dan pembentukan identitas dapat terjadi.

Penelitian dengan pendekatan komunikasi kelompok ini diharapkan bisa memperkaya jenis penelitian komunikasi yang membahas soal komunikasi kelompok sosial dan kohesivitas, dan identitas sosial. Berdasarkan penelitian terdahulu yang ditelusuri peneliti, belum ada yang mengaitkan secara langsung antara komunikasi kelompok dan kohesivitas dalam pembentukan identitas kelompok sosial komuter yang menggunakan moda transportasi kereta api.

Perumusan Kerangka Berfikir

Kelompok sosial gerbong kereta merupakan wadah tempat bergabungnya para komuterselama menempuh perjalanan dari desa asal masing-masing menuju tempat kerja atau sebaliknya. Kelompok sosial terbentuk melalui proses komunikasi yang intens antar sesama anggota, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki tujuan dan kebutuhan yakni rasa nyaman dan aman selama menempuh perjalanan hingga sampai ke tempat tujuan masing-masing. Pembentukan kelompok sosial ini mampu menghasilkan identitas sosial bagi individu-individu di dalamnya dan perilaku komunikasi kelompok. Individu-individu ini membentuk rasa saling percaya serta tolong menolong antara satu dengan yang lainnya bahkan lingkungan disekitar mereka sehingga perubahan sosial, dan status sosial terjadi didalamnya. McFarlane (2010) mengatakan bahwa komunikasi adalah kendaraan yang memungkinkan kita untuk mengelola hubungan kita dengan orang lain.

Gambar

GAMBARAN UMUM KA. PATAS PURWAKARTA
Gambar 1. Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk
Gambar 2.  Kerangka Berfikir kereta
Tabel 1 Nilai  uji reliabilitas instrumen penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terdahulu yang telah dilaksankaan oleh Sriani (2011) menyimpulkan bahwa nilai SoF yang kecil pada suatu jaring tidak selalu menghasilkan ketelitian yang baik ketika

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan presepsi tenaga kesehatan di rumah sakit Kabupaten Banyumas terhadap kehalalan obat.Penelitian

Isu penyediaan tadika di kawasan perumahan baru yang kurang ber~esan telilli mewujudkan beberapa masalah seperti bilangan dan lokasi tadika :~yang tidak terancang,

H1 :Ada pengar uh secara signifikan kepemimpinan dalam kapasitasnya visioner penentu arah, agen perubahan, juru bicara, dan pelatih serta kinerja Dosen yang terdiri

Training and Event Management has an intuitive menu that enables user to access individual functions of the application directly via the objects in the business event catalog..

Disarankan bagi Kepala Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan Bidan Desa terutama tentang kunjungan neonatus melalui sosialisasi buku KIA, MTBM dan

perbuatan dengan kematian korban, dalam literatur hukum pidana dikenal adanya beberapa teori seperti: teori syarat condition sine qua non atau teori khusus, dan

Sedangkan menurut terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan