• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kopi Arabika Aceh Sebagai Antioksidan Pada Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Yang Terpapar Asap Rokok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Kopi Arabika Aceh Sebagai Antioksidan Pada Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Yang Terpapar Asap Rokok"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

POTENSI KOPI ARABIKA ACEH SEBAGAI ANTIOKSIDAN

PADA MENCIT (

Mus musculus

L.) JANTAN YANG

TERPAPAR ASAP ROKOK

WARYSATUL UMMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Kopi Arabika Aceh sebagai Antioksidan pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan yang Terpapar Asap Rokok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Warysatul Ummah

(4)

RINGKASAN

WARYSATUL UMMAH. Potensi Kopi Arabika Aceh sebagai Antioksidan Pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan yang Terpapar Asap Rokok. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI, ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan KOEKOEH SANTOSO.

Kopi adalah salah satu minuman paling populer. Pemikiran bahwa konsumsi kopi dapat memiliki efek positif dan negatif masih diperdebatkan. Kopi mengandung senyawa polifenol yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi kopi arabika Aceh sebagai antioksidan pada mencit (Mus musculus L.) jantan yang terpapar asap rokok melalui pengukuran kadar malondialdehid (MDA) serta enzim superoksida dismutase (SOD) hati dan ginjal, pengukuran nilai hematologi butir darah merah (eritrosit), Hb, PCV, butir darah putih (leukosit) dan differensial leukosit (neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, basofil) serta nilai rasio indeks stress (N/L).

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 6 x 4 dengan 3 ulangan, faktor pertama ialah dosis kopi yang terdiri atas tiga level dosis, yaitu 0,91, 1,82 dan 3,64 mg/g BB dan faktor kedua adalah waktu pengamatan yang terdiri atas empat level waktu, yaitu hari ke 7, 14, 21 dan hari 28. Bahan penelitian ini menggunakan rokok kretek dan kopi arabika Aceh. rokok 4 batang/1 jam/hari. Kelompok P3, P4, dan P5 masing-masing dipapar asap rokok 4 batang/1 jam/hari dalam smoking chamber, kemudian diberi kopi dengan dosis 0,91, 1,82 dan 3,64 mg/g bobot badan/hari per oral selama 28 hari. Pada hari ke 7, 14, 21 dan 28, diambil darah untuk pengukuran nilai hematologi serta diambil organ hati dan ginjal untuk analisis MDA dan SOD.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar MDA dan enzim SOD antar kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi kelompok P3 pada MDA hati cenderung memberikan pengaruh menurunkan kadar MDA hati dan kelompok P5 hari ke 21 pada MDA ginjal. Kadar enzim SOD hati cenderung meningkat pada kelompok P4 hari ke 14, sedangkan pada ginjal kadar enzim SOD cenderung meningkat pada kelompok kontrol (P0) hari ke 28 dan kelompok P5.

Jumlah BDM, kadar Hb dan nilai PCV pada kelompok yang terpapar asap rokok lebih tinggi dibandingkan yang diberi asap rokok kombinasi kopi. Hal ini membuktikan bahwa asap rokok membuat kondisi stress lingkungan sehingga jumlah BDM, Hb dan PCV meningkat. Meskipun demikian jumlah BDM, Hb, PCV baik pada kontrol dan perlakuan masih dalam batas normal dan tidak mengubah gambaran darah. Hadirnya kopi diduga dapat membantu menjaga komponen darah tetap dalam kondisi normal akibat pemaparan asap rokok.

(5)

dengan pemberian kopi dosis bertingkat sebagai antioksidan. Nilai hematologi BDP dan differensiasi mencit juga masih dalam batas normal. Nilai basofil pada semua perlakuan tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan jumlah basofil dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Jumlah basofil dalam leukosit darah yaitu kurang dari 1%. Hasil nilai indeks stress (rasio N/L) pada semua kelompok hari ke 7, 14, 21 dan ke-28 masih dalam batas normal, kecuali pada kelompok kopi pada hari ke 21 memiliki rasio N/L sedikit lebih tinggi namun pada hari ke-28 indeks stres (rasio N/L) pada perlakuan kopi menurun drastis. Hal ini diduga tubuh hewan coba sudah mampu beradaptasi terhadap perlakuan yang diberikan.

Dapat disimpulkan bahwa kopi arabika Aceh memiliki potensi sebagai antioksidan pada mencit yang dipapar asap rokok yang terlihat dari kecenderungan penurunan kadar MDA, peningkatan kadar enzim SOD serta nilai hematologi dan nilai indeks stres (N/L) yang stabil. Interaksi antara lama hari pemaparan dan pemberian kopi pada hari ke 21 lebih dominan mempengaruhi nilai dari setiap parameter.

(6)

SUMMARY

WARYSATUL UMMAH. The potential of Aceh Arabica coffee as antioxidant for male mice (Mus musculus L.) exposed to smoke of cigarette. Supervised by HERA MAHESHWARI, ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and KOEKOEH SANTOSO.

Coffee is one of the most popular beverages. Positive and negative effects of coffee consumption was still debated. Coffee contains polyphenolic compounds that have potential as an antioxidants. This study aims to explore the potential of Aceh arabica coffee as an antioxidant in male mice (Mus musculus L.) suffering from cigarette smoke exposure by measuring the levels of malondialdehyde (MDA) and the enzyme superoxide dismutase (SOD) of the liver and kidneys, hematology value measurement of red blood grains (erythrocytes), Hb, PCV, grains of white blood (leukocytes) and differential leukocytes (neutrophils, lymphocytes, monocytes, eosinophils, basophils) and the value ratio of index stress (N/L).

This study used a completely randomized design (CRD) with a 6 x 4 factorial arrangement with three replications, the first factor was dose of coffee administration with three levels i.e., 0,91, 1,82 and 3,64 mg/g and the second factor is the observation time four- time level i.e., 7th, 14th, 21st and day 28th. This research material used cigarettes and Aceh arabica coffee. Sixty five male mice of Balb-C strain with approximately ± 20 g were used and were divided into six groups; each of groups contains 12 mice, the other five mice as control group. The group (P0) is the control. The treatment animals (P1) were only given coffee dose of 3,64 mg/g body weight/oral. The treatment animals (P2) were exposed to smoke of four cigarettes/one hour/day. Group P3, P4, and P5 respectively were exposed to smoke of four cigarette/one hour/day in the smoking chamber, and then were given coffee with a dose of 0,91, 1,82 and 3,64 mg/g body weight/day orally for 28 days. Three mice of each treatment groups were euthanized to take their blood for measurement the value of hematology, the liver and kidney were taken for MDA and SOD analysis.

Statistical analysis showed that the levels of MDA and SOD enzyme was not significantly different (P>0,05), P3 group on liver MDA was tended to decrease liver MDA levels and kidney MDA levels in P5 group on day 21st. Liver SOD enzyme levels was tended to increase in P4 group on day 14th, whereas kidney SOD enzyme levels was tended to increase in the control group (P0) and the P5 group on day 28th.

Number value of BDM, Hb and PCV in cigarette smoke exposed group were higher than that given coffee a combination of cigarette smoke. It is proved that cigarette smoke makes environmental stress conditions so that the number of BDM, Hb and PCV increased. Nevertheless the number of BDM, Hb, PCV both in the control and treatment groups was within normal limits. The presence of aceh arabica coffee can help blood components keep remain in normal conditions as a result of exposure to cigarette smoke.

(7)

exposure time as free radicals can still be offset by giving a dose of coffee graded as antioxidants. BDP hematologic value and differentiation of mice were also within normal limits. Value basophils in all treatments was not found. The number of basophils was less than 1%. The results of index stress (ratio of N/L) in all groups on day 7th, 14th, 21st and 28th is within normal limits, except in coffee group on day 21st a ratio of N/L was higher. It is suspected that experimental animals has been able to adapt to the treatment given.

It can be concluded that the Aceh arabica coffee have potential as an antioxidant in male mice (Mus musculus L.) which was exposed by cigarette smoke, this condition was indicated by decreased of MDA and increased of SOD levels, and the stable of hematology values and the stress index score (N / L). The interaction between the length of exposure days and coffee administration on day 21st is more dominant in influencing the score of each parameter.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat

POTENSI KOPI ARABIKA ACEH SEBAGAI ANTIOKSIDAN

PADA MENCIT (

Mus musculus

L.) JANTAN YANG

TERPAPAR ASAP ROKOK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberi keteladanan, membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2015 adalah Potensi Kopi Arabika Aceh sebagai Antioksidan Pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan yang Terpapar Asap Rokok.

Penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada dosen pembimbing yaitu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc, Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc dan Dr. Drh. Koekoeh Santoso, atas waktu luang, bimbingan, arahan, masukan, motivasi dan semangat hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Almarhumah Dr. Nastiti Kusumorini yang telah membimbing tesis ini dari awal hingga tahap pelaksanaan penelitian, memberi motivasi dan semangat kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari, M.Si, sebagai penguji luar komisi ujian tesis yang telah memberikan arahan, saran atas perbaikan tesis ini.

Teristimewa, penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua, Ayahanda Almarhum Ir. Kasman Bin Usman M.Si dan Ibunda Waki’ah S.Pd yang selalu mencurahkan segala kasih sayang, do’a, kerja keras, kesabaran, perhatian serta dukungan motivasi dan semangat kepada penulis, kepada kakanda Wihdatul Adiya S.St.Pi, Miftahul Jannah S.Pd.I, abang Afdhalul Rizqi S.St.Pi, adinda Hujjatul Balighah Amd.Keb, Fasihul Lisan dan Thariqatul ‘Amaliah serta keluarga yang selalu memberikan perhatian, doa, motivasi, semangat dan kebersaman dalam persaudaraan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) atas pengadaan program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang telah mensponsori penulis selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB), ketua departemen IFO Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc, Ph.D dan dosen-dosen pendidik bagian Anatomi Fisiologi dan Farmakologi (AFF) atas ilmu yang bermanfaat, staf pegawai akademik departemen IFO yang selalu memfasilitasi kebutuhan akademik penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ibu Asmarida, Ibu Sri Hartini, Bapak Wawan, Bapak Dikdik dan pengelola UPHL yang telah membantu dan memberikan izin pemakaian fasilitas selama penelitian berlangsung, teman-teman seperjuangan IFO, Arria Janovie, Fachruddin, Dustan, Heny Nitbani, La Jumadin dan Aziz, serta sahabat-sahabat penulis Zulvia Maika Letis, Cut Dara Dewi, Dwi Putri Ramadhani, Nasrianti Syam, Ria Windi Lestari, Resti Fauziah serta Irmayani Hasibuan dan semua pihak yang telah membantu penelitian dan penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan dan dapat memberikan tambahan informasi.

Bogor, Maret 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2 Kerangka Pemikiran 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kopi (Coffea sp.) 4

Senyawa Aktif pada Kopi 4

Radikal Bebas dan Pengaruh Asap Rokok pada Tubuh 5

3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian 7

Bahan 7 Alat 7 Prosedur Penelitian 8 Persiapan Hewan Coba dan Rancangan Penelitian 8

Analisis Fitokimia Biji Kopi Arabika 8

Analisis DPPH dan Fenol Biji Kopi Arabika 8

Pembuatan Infusa Kopi dan Dosis Kopi 10

Sampling Organ 11

Parameter Pengamatan 11

Pengukuran Kadar MDA (Malondialdehid) Hati dan Ginjal 11

Pengukuran Aktifitas Enzim SOD (Superoksida Dismutase) Hati dan Ginjal 12

Pengukuran Hematologi 12

Pengukuran Jumlah Butir Darah Merah 12

Pengukuran Jumlah Butir Darah Putih dan Diferensial Leukosit 13

Pengukuran Hemoglobin 13

Pengukuran Hematokrit 13

Analisis Data 13 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar MDA (Malondialdehid) Hati dan Ginjal 14 Analisis Enzim SOD (Superoksida Dismutase) Hati dan Ginjal 16

Analisis Hematologi 18

5 SIMPULAN DAN SARAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 29

(16)

DAFTAR TABEL

1 Hasil uji fitokimia biji kopi arabika 8

2 Analisa DPPH biji kopi arabika 9

3 Analisa fenol biji kopi arabika 9

4 Rataan analisis kadar MDA hati mencit setelah pemaparan asap rokok

dan pemberian kopi dengan dosis bertingkat 14

5 Rataan analisis kadar MDA ginjal mencit setelah pemaparan asap rokok

dan pemberian kopi dengan dosis bertingkat 15

6 Rataan analisis enzim SOD pada hati mencit 16

7 Rataan analisis enzim SOD pada ginjal mencit 16

8 Rataan jumlah BDM, BDP, Hb, PCV mencit setelah pemaparan asap rokok dan pemberian kopi dengan dosis bertingkat 18 9 Nilai diferensial leukosit (neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, basofil,

indeks stres) mencit setelah pemaparan asap rokok dan pemberian kopi

dengan dosis bertingkat 21

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran 3

2 Bagan alur penelitian 11

3 Hemositometer Neubauer dibawah mikroskop 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tata cara pemaparan asap rokok 29

2 Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi

dosis 29

3 Prosedur pengujian fitokimia biji kopi arabika Aceh

a.Alkaloid 30

b.Fenolik 30

c.Triterpenoid/Steroid 31

d.Hidro kuinon 31

(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rokok merupakan salah satu kebutuhan yang dapat dinikmati setiap hari sebagai media untuk saling berinteraksi dalam kehidupan bersosial. Kebiasaan merokok ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, mulai dari rasa ingin tahu untuk mencoba, hingga dorongan dari teman-teman tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkan bagi kesehatan. Rokok merupakan sumber radikal bebas eksogen yang dapat mengganggu fungsi sel-sel tubuh, sehingga berdampak negatif terhadap fisiologi tubuh. Usman dan Suryati (2012) melaporkan bahwa rokok mengandung lebih dari 4000 zat yang bersifat racun dan 250 zat di antaranya karsinogenik. Mellawati dan Chichester (1996) menyatakan kelompok terbesar tembakau rokok mengandung 24% senyawa nitrogen, serta 15% hidrokarbon. Komponen dalam setiap batang rokok adalah karbon monoksida (CO) 5-23 mg, asam nitrat 1,6 mg, asetaldehid 0,2-1,3 mg, asam format 0,1-1,1 mg, metil klorida 0,1-0,8 mg, asam sianida 0,03-0,7 mg. Dinas Perhutanan dan Perkebunan Bojonegoro (2014) melaporkan bahwa berat atau jumlah tembakau pada setiap batang rokok sebanyak 0,75 g dengan kandungan nikotin dalam daun tembakau 2%. Trabel et al. (2000) mengemukakan bahan kimia yang terkandung dalam rokok seperti nitrosamin dan oksigen reaktif dapat membentuk radikal bebas jika teroksidasi menjadi NO (nitrit oksida) dan nitrit peroksida (NO2) dalam fase gas, dalam fase tar berupa quinon, semiquinon dan hydroquinone (Q, HQ dan HQ2).

Radikal bebas asap rokok dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, gangguan kesehatan reproduksi, kanker mulut, kanker paru-paru dan penyakit kanker lainnya. Penelitian Samsuria (2009) melaporkan bahwa paparan asap rokok pada tikus bunting menyebabkan terjadinya kegagalan implantasi, penurunan berat pada ovarium dan uterus-plasenta-anak (UPA). Pemaparan asap rokok pada tikus jantan meningkatkan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru, meningkatkan nilai PCV, dan menurunkan kualitas sperma (Unitly 2013). Efek negatif akibat rokok merupakan masalah terbesar yang harus ditanggulangi. Radikal bebas dari asap rokok dapat dinetralisir dengan pemberian antioksidan. Antioksidan dapat berupa enzimatis (superoksida dismutase atau SOD, katalase dan glutation peroksidase, vitamin (vitamin A, C, E dan β-karoten) dan senyawa lain berupa flavonoid, albumin, bilirubin. Antioksidan enzimatis berperan sebagai barier

utama (primer) terhadap kondisi stress oksidatif. Antioksidan non enzimatis (sekunder) berupa asupan nutrisi yang bersumber dari sayuran dan buah-buahan seperti vitamin C, E, A dan β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin. Senyawa-senyawa tersebut berperan dalam menangkap senyawa oksidan (radikal bebas) dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi 2007).

(24)

2

sebagai antioksidan plasma. Kopi yang berkafein atau tidak berkafein sama-sama mengandung antioksidan yang mampu melawan radikal bebas. Terkuaknya isu potensi kopi bagi kesehatan menyebabkan lebih dari separuh jumlah penduduk Amerika mengkonsumsi kopi setiap hari (Winarsi 2007). Merokok dan minum kopi merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh remaja bahkan yang tua. Di Indonesia kebiasaan minum kopi selalu di iringi dengan merokok. Namun demikian, belum diketahui secara pasti efek yang ditimbulkan jika mengkonsumsi kopi bersamaan dengan merokok. Sehubungan dengan hal tersebut maka penggunaan kopi sebagai antioksidan yang berpotensi untuk menetralisir radikal bebas akibat paparan asap rokok perlu di eksplorasi lebih lanjut.

Perumusan Masalah

Asap rokok merupakan sumber radikal bebas yang sangat berbahaya pada tubuh. Bahan tembakau pada rokok mengandung senyawa nikotin yang bersifat psikoaktif menyebabkan ketagihan merokok. Merokok seringkali dilakukan bersamaan dengan meminum kopi. Kopi mengandung senyawa kafein yang dapat memberikan efek keterjagaan/waspada, meningkatkan konsentrasi. Efek yang ditimbulkan jika mengkonsumsi kopi bersamaan dengan merokok belum diketahui secara pasti. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi potensi antioksidan kopi Arabika Aceh untuk menetralisir radikal bebas asap rokok pada mencit (Mus musculus L.) jantan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi kopi arabika Aceh sebagai antioksidan pada mencit (Mus musculus L.) jantan akibat paparan asap rokok melalui pengukuran kadar MDA hati dan ginjal, enzim SOD hati dan ginjal, nilai hematologi serta nilai indeks stres ( rasio N/L).

Hipotesis Penelitian

Kopi arabika Aceh berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas pada mencit (Mus musculus L.) jantan akibat paparan asap rokok.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi informasi ilmiah mengenai potensi kopi khususnya kopi arabika Aceh sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas akibat paparan asap rokok.

Kerangka Pemikiran

Asap rokok yang dihirup mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas berupa CO, CO2, O2, hidrogen sianida, nitrogen, senyawa hidrokarbon. Komponen partikel antara lain tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan

(25)

3 2007). Radikal bebas asap rokok menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang di tandai dengan peningkatan kadar malondyaldehid (MDA). MDA merupakan produk akhir yang di hasilkan dari reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa oksigen reaktif (ROS) yang membentuk hidrogen peroksida (Setiawan dan Suhartono 2007).

Radikal bebas dapat distabilkan dengan pemberian senyawa antioksidan. Salah satu bahan yang mengandung senyawa antioksidan adalah kopi. Kopi mengandung senyawa kafein yang dapat memberikan efek keterjagaan/waspada dan meningkatkan konsentrasi (Winarsi 2007). Pellegrini et al. (2003) meyakini bahwa komponen polifenol berupa asam klorogenat, yakni ester dari asam kafeat dan asam kuinat bertanggung jawab sebagai antioksidan dan senyawa ini merupakan komponen terbanyak yang terkandung dalam kopi. Fenomena saat ini, rokok sering dilakukan dengan minum kopi. Rokok dan kopi merupakan bahan konsumsi yang sangat digemari oleh masyarakat, terutama laki-laki. Masing-masing bahan tersebut memberikan efek tersendiri pada organ target. Efek yang ditimbulkan jika merokok bersamaan dengan minum kopi masih belum begitu diketahui. Hal ini yang menjadi dasar pemikiran untuk mempelajari potensi kopi dengan efek positif nya untuk dapat digunakan sebagai antioksidan yang diberikan pada mencit jantan yang di papari asap rokok.

Stress oksidatif

Fungsi Sel Nikotin,Tar, Co

Radikal bebas Antioksidan Kopi

Kematian Sel Penyakit degeneratif

Asap Rokok

(26)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kopi (Coffea sp.)

Kopi termasuk dalam famili rubiaceae, merupakan tanaman tahunan berkayu, akar tunggang dengan sistem perakaran yang dangkal, pendek, tegak lurus kebawah. Batang kopi beruas sekitar 10 cm, disetiap ruas muncul daun yang berhadapan yang berkembang menjadi cabang. Bunga kopi memiliki tangkai pendek, berwarna putih ketika mekar, berupa kuncup putih kehijauan dengan panjang sekitar 5 mm sebelum mekar. Buah kopi berbentuk bulat dengan diameter sekitar 1 cm. Kulit kopi berwarna hijau saat masih muda, kemudian menjadi kuning dan berwarna merah setelah matang. Secara umum tanaman kopi yang dibudidayakan berupa jenis Arabika dan Robusta. Kopi arabika ditemukan pada tahun 1753. Kopi arabika memiliki kandungan kafein 0,8-1,4 %, memiliki aroma yang kuat dan wangi. Kualitas bijinya jauh lebih baik dibandingkan kopi liberika dan robusta. Kopi robusta ditemukan pada tahun 1895. Kopi robusta mengandung kafein 1,7-4%, aroma khas dan manis, rasanya lebih kasar dibandingkan arabika. Kopi robusta tumbuh didataran rendah, lebih tahan terhadap penyakit karat daun/HV (Hemelia vastatrix) karena mendapatkan penyinaran penuh dari cahaya matahari dibandingkan kopi arabika yang tumbuh didataran tinggi dengan intensitas sinar matahari yang kurang sehingga proses pembungaannya lebih lama. Biji kopi mengandung senyawa volatil dan non volatil. Senyawa volatil memberikan pengaruh pada aroma kopi, sedangkan senyawa non volatil memberikan pengaruh pada mutu kopi. Senyawa non volatil seperti asam klorogenat berperan sebagai antioksidan kuat pada kopi (Nurhakim dan Rahayu 2014).

Senyawa Aktif pada Kopi

(27)

5 Senyawa volatil seperti golongan aldehid, keton dan alkohol memberikan pengaruh pada aroma kopi, sedangkan senyawa non volatil seperti asam klorogenat memberikan pengaruh pada mutu kopi dan berperan sebagai antioksidan kuat pada kopi (Nurhakim dan Rahayu 2014).

Kafein pada kopi mengandung golongan senyawa alkaloid bersifat basa, satu atau lebih atom nitrogen, tidak berwarna, bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal dan sedikit berupa cairan pada suhu kamar (misalnya nikotina). Alkaloid sering digunakan dalam bidang pengobatan karena memiliki respon fisiologi (Harborne 1987).

Lelyana (2008) melaporkan bahwa pemberian larutan kopi 0,72ml/hari dan 2,16 ml/hari pada tikus dapat menurunkan kadar asam urat. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Andersen et al. (2006) telah menemukan bahwa kopi dikaitkan dengan penurunan biomarker stress oksidatif. Svilaas et al. (2004) asupan kopi berkontribusi sebagai antioksidan plasma. Pellegrini et al. (2003) meyakini bahwa komponen polifenol berupa asam klorogenat, yakni ester dari asam kafeat dan asam kuinat bertanggung jawab sebagai antioksidan.

Selain efek positif kopi yang tersebut di atas, kopi juga memiliki efek negatif. Santos et al. (2014) melaporkan konsumsi kopi berdampak negatif terhadap material dan struktur tulang, mengurangi volume ukuran tulang paha dan tulang kortikal, membuat tulang lebih lemah hingga patah. Andrade et al. (2013) melaporkan menghirup asap rokok dan konsumsi kopi memperlambat proses perbaikan tulang. Kopi juga dapat menurunkan pH saliva karena kopi mengandung karbohidrat sederhana dalam konsentrasi yang tinggi yaitu sukrosa dan monosakarida (Andriany et al. 2012).

Radikal Bebas dan Pengaruh Asap Rokok pada Tubuh

Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) merupakan bahan pokok dari pembuatan rokok. Haris et al. (2012) melaporkan rokok diklasifikasikan berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok dan penggunaan filter pada rokok. Asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok menimbulkan pencemaran udara, dan sangat merugikan bagi perokok pasif. Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa asap rokok merupakan sumber radikal bebas yang berdampak negatif bagi tubuh. Winarsi (2007) menyatakan bahwa rokok sumber pembentuk radikal bebas yang berasal dari lingkungan. Radikal bebas yang dihasilkan dari rokok tidak hanya berdampak pada tubuh si perokok, akan tetapi merugikan bagi orang yang berada di sekelilingnya.

(28)

6

pestisida dan asap rokok (Rohmatussolihat 2009). Radikal bebas terbentuk melalui 3 tahapan reaksi, yaitu tahap inisiasi merupakan awal pembentukan radikal bebas; tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal; tahap terminasi yaitu senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa radikal bebas lain sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi 2007).

Asap rokok terbagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap rokok yang dihirup mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas berupa CO, CO2, O2, hidrogen sianida, amoniak, nitrogen, senyawa hidrokarbon. Sebagian besar fase gas adalah CO2, O2 dan nitrogen (Syahdrajat 2007). Kadar nikotin dalam daun tembakau berbeda-beda tergantung jenis dan letak posisi daun, daun yang letaknya lebih tinggi diantara daun yang lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Sekitar 95% alkaloid dalam rokok adalah nikotin, berat kering sekitar 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar satu mg nikotin di absorbsi ke dalam sistem pembuluh darah sistemik (Benowitz et al. 2009).

Darah merupakan komponen jaringan ikat terdiri dari sel-sel yang tertanam dalam matriks cair yaitu plasma. Komponen darah manusia terdiri atas 55% plasma dan 45% unsur-unsur selular. Bagian penyusun plasma yaitu air, ion-ion (elektrolit darah) seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida dan bikarbonat, protein plasma yang terdiri atas albumin untuk keseimbangan dan osmotik dapar pH, fibrinogen untuk penggumpalan darah, immunoglobulin (antibodi) sebagai pertahanan tubuh. Selain itu plasma darah juga terkandung zat-zat yang di transpor oleh darah seperti nutrien (misalnya glukosa, asam lemak, vitamin), kemudian zat-zat buangan metabolisme, gas-gas respirasi (O2 dan CO2) serta hormon. Sedangkan unsur selular darah terdiri dari 5-6 juta per µL (mm3) sel darah merah (eritrosit), 5.000-10.000 per µL (mm3) sel darah putih (leukosit) yang terbagi atas basofil, neutrofil, eosinofil, limfosit dan monosit, serta 250.000-400.000 platelet yang berperan dalam penggumpalan darah (Campbell et al. 2010).

Komponen gas seperti CO dalam asap rokok dapat mengurangi daya angkut O2 darah sebesar 15%. CO menimbulkan desaturasi Hb, menurunkan langsung persediaan O2 untuk jaringan seluruh tubuh termasuk otot jantung. CO menggantikan tempat O2 di Hb, mengganggu pelepasan oksigen, dan mempercepat aterosklerosis (Syahdrajat 2007). Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak jantung 5-20 kali per menit (Kurniati et al. 2012). Karbonmonoksida berasal dari proses pembakaran yang tidak sempurna, merupakan gas beracun, tidak berwarna dan tidak berbau. Karbonmonoksida memiliki kecenderungan kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah dibandingkan oksigen karena daya ikat karbonmonoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih kuat dari daya ikat oksigen dengan hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein yang mengandung besi dan berperan dalam mentranspor O2 (Gondodiputro 2007).

(29)

7 ginjal menyebabkan terjadinya kanker saluran kemih dan mempercepat terjadinya resiko karsinoma pada sel ginjal (Cooper 2006).

Pemaparan asap rokok pada tikus jantan meningkatkan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru, meningkatkan nilai PCV, menurunkan kualitas sperma (Unitly 2013). Fitriani et al. (2010) melaporkan semakin lama waktu paparan asap rokok yang diberikan pada mencit, akan semakin menurunkan kualitas spermatozoa (motilitas, hidup/mati, keutuhan tudung akrosom dan abnormalitas). Pemaparan asap rokok dengan waktu dua jam selama 18 hari telah dapat menyebabkan penurunan nyata terhadap kualitas spermatozoa mencit. Sirajuddin et al. (2011) melaporkan bahwa paparan asap rokok berhubungan nyata dengan bobot lahir bayi dan jumlah minimal yang memberikan efek pada status berat lahir rendah adalah minimal 30 batang rokok per hari. Asap rokok yang diberikan pada tikus bunting terhadap fisiologis induk menyebabkan kegagalan implantasi, penurunan berat pada ovarium dan uterus-plasenta-anak (Samsuria 2009).

3

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan diberbagai tempat. Pemeliharaan hewan dilakukan di unit pengelolaan hewan laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, analisis fitokimia biji kopi arabika Aceh di laboratorium biofarmaka LPPM IPB, analisis DPPH dan Fenol biji kopi arabika Aceh di laboratorium kimia bahan pangan Fakultas Teknik Pertanian (FATETA) IPB dan sampling hewan dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi (FIF) Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2015 sampai bulan April 2015.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculuss L.), rokok kretek, kopi Arabika Aceh, bahan untuk analisis enzim superoksida dismutase (SOD) dan malondialdehid (MDA) adalah: SOD murni (sigma, USA), larutan cytochrom c (Sigma, USA), larutan xantin (Sigma, USA), larutan xantin oksidase (Sigma, USA), thiobar-biturit acid (TBA),

butilhidroksitoluena (BHT) dan bahan kimia lain (buffer potassium fosfat, aquades, dan chloroform/etanol), bahan untuk mengukur alat hematologi (larutan hayem, larutan turk dan reagen drabkins).

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Smoking chamber, spektrofotometer, sonde, hemositometer, mikroskop, sentrifus, dissecting set,

(30)

8

Prosedur Penelitian

Persiapan Hewan Coba dan Rancangan Penelitian

65 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan berumur delapan minggu dengan berat badan ± 20 g berasal dari bagian hewan percobaan FKH-IPB yang sudah di adaptasikan selama satu minggu ditempatkan pada kandang kotak plastik ukuran 60cmx50cm, tinggi 10 cm yang ditutupi dengan kawat ram dan sekam sebagai alas. Mencit diberi pakan standar dan minum ad-libitum. Kandang mencit dijaga agar tidak lembab, ventilasi yang cukup dengan penerangan14 jam dan 10 jam gelap. Penanganan hewan percobaan sesuai dengan persyaratan kode etik yang berlaku, pemberian makanan yang cukup gizi dan sehat serta memperhatikan kebersihan kandangnya. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola faktorial 6 x 4 dengan 3 ulangan. Faktor pertama ialah dosis kopi yang terdiri atas tiga level dosis, yaitu 0,91, 1,82 dan 3,64 mg/g BB. Sementara itu faktor kedua adalah waktu pengamatan yang terdiri atas empat level waktu, yaitu hari ke 7, 14, 21 dan hari 28.

Analisis Fitokimia Biji Kopi Arabika (LAB Pusat LPPM-IPB 2014)

Analisis fitokomia biji kopi Arabika di lakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB. Analisis uji fitokimia biji kopi arabika Aceh meliputi identifikasi senyawa Alkaloid (metode Wagner, Mayer dan Dragendorf), senyawa fenolik (flavonoid, tannin, saponin), senyawa triterpenoid/steroid dan identifikasi senyawa hidro kuinon.

Tabel 1 merupakan hasil uji analisis fitokimia biji kopi arabika Aceh. Hasil analisis fitokimia biji kopi arabika Aceh menunjukkan bahwa biji kopi arabika tidak mengandung triterpenoid. Biji kopi arabika positif mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, tannin, saponin, hidro kuinon dan steroid.

Tabel 1. Hasil uji fitokimia biji kopi arabika

Nama sampel Parameter Fitokimia Hasil

Biji kopi Arabika

Keterangan: - : Negatif, +: Positif lemah, ++: Positif, +++: Positif Kuat

Analisis DPPH dan Fenol Biji Kopi Arabika (LAB FATETA-IPB 2014)

(31)

9 warna ungu. Sebagai standar digunakan larutan asam askorbat. Hasil uji analisis DPPH biji kopi arabika di sajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Analisis DPPH biji kopi Arabika Sampel Berat

Hasil analisis DPPH menunjukkan bahwa kopi seduh memiliki kemampuan menangkap radikal DPPH lebih besar di bandingkan dengan biji kopi hitam yang belum di seduh yaitu (42.7754 mg Asam askorbat/ml). Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) akan menetralisasi radikal DPPH dengan menyumbangkan elektron kepada DPPH, menghasilkan perubahan warna dari ungu menjadi kuning. Penghilangan warna akan sebanding dengan jumlah elektron yang diambil oleh DPPH yang diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm (Prakash et al. 2007).

Tabel 3 merupakan hasil analisis total fenol biji kopi arabika. Pengujian aktivitas total fenol merupakan dasar dilakukan pengujian aktivitas antioksidan. Pengukuran total antioksidan dari tanaman dilakukan dengan mengukur kadar total fenolik menggunakan reagen folin-ciocalteau. Senyawa golongan fenolik dan polifenolik merupakan komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan. Senyawa-senyawa golongan tersebut memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas (Ramle et al. 2008).

(32)

10

kandungan antioksidan pada kopi seduh memiliki kapasitas antioksidan yang lebih tinggi yaitu (4,3644 g/100g) dibandingkan biji kopi yang belum diseduh yaitu (1,0788 g/100g).

Pembuatan Infusa Kopi dan Dosis Kopi

Bubuk kopi arabika Aceh (10 g) direbus dalam 100 ml air selama 15 menit hingga mencapai suhu 90ºC. Hasil rebusan kopi disaring menggunakan kertas saring kemudian di dinginkan. Dosis pemberian kopi pada mencit berdasarkan nilai konversi bobot tubuh manusia 70 kg ke bobot tubuh mencit 20 g. Konsentrasi serbuk kopi per cangkir untuk manusia dewasa yaitu 10 g dalam 200 ml air atau 5% (Lelyana 2008). Dosis standar mencit dengan bobot badan 20 g adalah 0,0026 dosis manusia (Laurence dan Bacharah 1964). Perhitungan dosis kopi yang diperoleh yaitu:

70kg/50kg x 10g= 14 g/kg BB x 0,0026 g = 0,0364 g

= 36,4 mg / 20 gr BB = 1,82 mg/g BB mencit

Pemberian infusa kopi dilakukan secara per oral menggunakan sonde dengan dosis bertingkat kelipatan 2. Kelompok kontrol (P0) tidak dipapar asap rokok dan tidak diberi kopi. Kelompok (P1) hanya diberi kopi dosis 3,64 mg/g BB. Kelompok (P2) hanya dipapar asap rokok sebanyak empat batang per hari. Kelompok (P3) dipapar asap rokok dan diberi kopi dosis 0,91 mg/g BB. Kelompok (P4) dipapar asap rokok dan diberi kopi dosis 1,82 mg/g BB. Kelompok (P5) dipapar asap rokok dan diberi kopi dosis 3,64 mg/g BB.

(33)

11

`

Gambar 2. Bagan alur penelitian

Sampling Organ

Sampling dilakukan pada hari ke tujuh, 14, 21 dan 28 masing-masing tiga ekor mencit dari setiap perlakuan. Mencit yang akan disampling terlebih dahulu dilakukan pengambilan darah melalui Intra Cardial untuk analisis hematologi meliputi, jumlah butir darah merah (eritrosit), butir darah putih (leukosit), diferensial leukosit dan indeks stress (rasio N/L) serta pengukuran hemoglobin dan hematokrit, kemudian mencit di bedah, di ambil organ hati dan ginjal untuk analisis MDA dan SOD.

Parameter Pengamatan

Pengukuran Kadar MDA (Malondialdehida) Hati dan Ginjal Mencit (Conti et al. 1991).

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu mempersiapkan larutan standar berupa larutan kerja 10 µM dibuat dengan mengencerkan stock standar 2,5 mM 1,1,3,3 tetraoksipropana (TEP). Kurva standar dibuat dengan mengencerkan

P0

Tiga ekor mencit pada hari ke 7, 14, 21 28 di sampling

P4

Berat badan, darah, organ hati dan ginjal

(34)

12

larutan standar hingga menghasilkan beberapa konsentrasi yaitu 500, 1000, 2000, 2500, 3000, 4000 dan 5000 pmol/50µL.

Setelah mencit dinekropsi, organ hati dan ginjal dicuci dengan larutan fisiologis 0,9% kemudian dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian ditimbang kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan di freezer pada suhu -20ºC. Sebelum dianalisis dicairkan terlebih dahulu pada suhu ruang. Hati dan ginjal digerus menggunakan mortar (digerus dalam keadaan dingin), ditambahkan 1,25 ml buffer fosfat yang mengandung 11,5 g/L kalium klorida dalam kondisi dingin pH 7,4 (disimpan pada suhu 5ºC). Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit, supernatant keruh yang diperoleh diambil dan disentrifuse lagi 4000 rpm selama 10 menit, 1 ml supernatant yang jernih diambil dan ditambahkan dengan 1 ml campuran larutan asam klorida dingin 0,25 N (2,23 ml asam klorida pekat/100 ml) yang mengandung 15% asam trikloroasetat (w/v); 0,38% asam tiobarbiurat dan 0,5% butilat hidroksitoluen). Campuran larutan dan supernatant tersebut dipanaskan pada inkubator dengan suhu 80ºC selama 1 jam, kemudian didinginkan dengan air mengalir dan disentrifuse 3500 rpm selama 10 menit. Diamati perubahan absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.

Pengukuran Aktivitas Enzim SOD (Superoksida dismutase) Hati dan Ginjal Mencit (Chen et al. 1995).

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu mempersiapkan larutan standar dengan cara melarutkan SOD (Sigma, USA) murni sehingga menghasilkan konsentrasi larutan 0, 50, 100, 200, 250, 300, dan 500 unit/ml H2O dan larutan ini digunakan untuk membuat kurva standar.

Pengukuran aktivitas enzim SOD (Superoksida dismutase) menggunakan sistem xantin/xantin oksidase. Oksidasi xantin menghasilkan asam urat dan anion superoksida, selanjutnya mereduksi ferisitokrom c. Reduksi ferrisitokrom c diamati berdasarkan kenaikan absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Pengukuran aktivitas enzim berlangsung pada suhu 25ºC, sebelum digunakan larutan oksidase harus tetap dalam keadaan dingin (didinginkan selama 15 menit). Sebelum pengukuran medium reaksi segera dipersiapkan dengan memasukan 2,9 ml larutan A (campuran xantin dan larutan sitokrom c) kedalam tabung reaksi tiga ml. Selanjutnya ditambahkan 50 µl larutan baku (kontrol) atau sampel/lisat kemudian divorteks secara perlahan. Reaksi dimulai dengan larutan B (xantin oksidase) divorteks secara perlahan. Diamati perubahan absorbansi pada spektrofotometer. Sebagai blanko digunakan buffer fosfat dan sebagai kontrol digunakan air destilasi.

Pengukuran Hematologi. Pengukuran Jumlah Butir Darah Merah (Eritrosit) Metode Counting dan Neubauer (Sastradipradja et al. 1989).

(35)

13

Pengukuran Jumlah Butir Darah Putih dan Diferensial Leukosit Metode Counting dan Neubauer (Sastradipradja et al. 1989).

Darah diambil menggunakan pipet leukosit yang telah dihubungkan dengan aspirometer hingga menunjukkan angka 0,5 kemudian ditambahkan larutan Turk sampai menunjukkan angka 11 lalu dihomogenkan dengan gerakan seperti angka delapan, selanjutnya sebagian cairan pada ujung pipet dibuang dan sebagian larutan diteteskan kedalam kamar hitung, dihitung butir darah putih pada kotak W.

Gambar 3. Hemositometer Neubauer dibawah mikroskop. Kotak W untuk menghitung BDP, kotak R untuk menghitung BDM (Sastradipradja et al. 1989).

Pengukuran Hemoglobin Metode Sahli (Sastradipradja et al. 1989).

Pengukuran hemoglobin menggunakan metode sahli. Prinsip kerja hemoglobin yaitu darah dengan larutan HCl 0,1 N membentuk hematin berwarna coklat. Warna disamakan dengan warna standar Sahli menggunakan aquadestilata sebagai pengencer.

Pengukuran Hematokrit Metode Mikrohematokrit (Sastradipradja et al. 1989).

Darah diambil menggunakan mikrokapiler, bagian ujung disumbat dengan crestaseal kemudian disentrifuse dengan kecepatan 11.500-15.000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan yang berwarna merah), kemudian dibaca dengan microcapillary hematocrit reader.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan software SPSS release 16. Data kuantitatif (variable dependen) diuji kemaknaanya terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variable independen). Urutan uji diawali dengan uji analysis of varian (ANOVA). Apabila hasil uji menunjukkan signifikan (p<0,05) maka data tersebut dilanjutkan dengan uji Duncan. Untuk melihat ada tidaknya interaksi, data dianalisis dengan general linear model (GLM) dengan menggunakan

(36)

14

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar MDA (Malondialdehid) Hati dan Ginjal

Hati merupakan organ utama dalam proses metabolisme. Hati memiliki banyak fungsi vital, selain menghasilkan empedu hati berperan dalam menguraikan toksin-toksin yang masuk kedalam tubuh dan membantu menyeimbangkan penggunaan nutrient (Campbell et al. 2010). Nikotin yang terkandung dalam asap rokok dimetabolisme di hati, sebagian yang lain di paru-paru dan ginjal (Houezec 2003). Berdasarkan pemikiran bahwa hati dan ginjal merupakan tempat metabolisme utama maka dilakukan pengukuran kadar MDA dan SOD pada organ tersebut. Houezec (2003) melaporkan bahwa metabolit utama nikotin adalah kotinin (70%) dan nikotin-N-oksida (4%). Pembentukan kotinin dalam hati melibatkan sitokrom P450 dan enzim aldehid oksidase. Waktu paruh (half-life) kotinin 16 jam. Nikotin diekskresikan melalui urin sekitar 5-10 %. Asap rokok merupakan sumber radikal bebas eksogen. Radikal bebas yang terbentuk akan menghasilkan produk akhir berupa malondialdehid (MDA). MDA merupakan indikator terjadinya stress oksidatif. Zainuri dan Wanandi (2012) melaporkan bahwa jumlah reactive oxygen spesies (ROS) yang terbentuk di hati akan lebih banyak dibandingkan yang terdapat dalam jantung dan darah, hal ini disebabkan hati sebagai tempat metabolisme utama.

Rataan analisis kadar MDA hati dan ginjal mencit pada masing-masing perlakuan mulai pada hari ke tujuh sampai hari ke 28 perlakuan disajikan pada Tabel 4 dan 5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar MDA hati antar perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dan tidak menunjukkan adanya interaksi antara waktu dan perlakuan dalam menurunkan kadar MDA hati. Perlakuan yang cenderung memberikan pengaruh menurunkan kadar MDA hati yaitu pada perlakuan yang dipapar asap rokok dan diberi kopi dosis 0,91 mg/g BB sebesar 3,23 µg/g sampel (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan analisis kadar MDA (µg/g sampel) hati mencit setelah pemaparan asap rokok dan pemberian kopi dengan dosis bertingkat

Perlakuan Waktu pengambilan (hari) X±SE P W P*W dosis 3,64 mg/g BB; (*) interaksi, (-) tidak ada interaksi

(37)

15 cenderung menurunkan kadar MDA ginjal sebesar 4,50 µg/g sampel. Secara statistik juga terlihat bahwa kadar MDA ginjal lebih tinggi dibandingkan kadar MDA pada hati.

Tabel 5. Rataan analisis kadar MDA (µg/g sampel) ginjal mencit setelah pemaparan asap rokok dan pemberian kopi dengan dosis bertingkat

Perlakuan Waktu pengambilan (hari) X±SE P W P*W dosis 3,64 mg/g BB; (*) interaksi, (-) tidak ada interaksi

Kadar MDA ginjal yang lebih tinggi dibandingkan kadar MDA hati dikarenakan ketersediaan enzim SOD pada ginjal lebih sedikit dibandingkan pada hati. Ismiyati (2009) melaporkan bahwa ketersedian enzim SOD ginjal berkurang saat melakukan proses ekskresi sehingga kadar enzim antioksidan ginjal lebih sedikit dibandingkan pada hati. Penelitian Wresdiyati et al. (2006) melaporkan melalui studi immunohistokimia bahwa bagian ginjal yang mengalami penurunan enzim Cu,Zn-SOD terjadi pada tubulus proksimalis, hal ini disebabkan pada tubulus proksimalis ginjal banyak ditemukan peroksisom. Peroksisom merupakan kompartemen metabolisme yang mengandung enzim katalase berfungsi untuk mengkatalis H2O2 menjadi air dan oksigen. Peran katalase dalam mengkatalisis H2O2 relatif lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan pembentukannya. Sel yang mengandung sedikit katalase sangat rentan pada serangan peroksidasi (Winarsi et al. 2013).

Malondialdehid (MDA) merupakan indikator terjadinya kondisi stress oksidatif. Strees oksidatif terjadi karena jumlah radikal bebas didalam tubuh melebihi jumlah antioksidan. Suarsana et al. (2013) menyatakan stress oksidatif pada tikus menyebabkan kadar enzim superoksida dismutase hati menurun dan kadar malondialdehid hati meningkat. Wresdiyati et al. (2006) melaporkan bahwa kondisi stress hiperkolesterolemia menurunkan kandungan antioksidan Cu Zn SOD pada ginjal. Radikal bebas yang berlebih didalam tubuh menyebabkan terbentuknya peroksidasi lipid. Beberapa produk akhir peroksidasi lipid salah satunya adalah senyawa malondialdehid (MDA). Penelitian Ozbay dan Dulger (2002) melaporkan bahwa peningkatan kadar malondialdehid (MDA) diikuti dengan turunnya enzim superoksida dismutase (SOD).

(38)

16

seluler. Senyawa radikal bebas asap rokok kretek seperti radikal nitrit oksida dan nitrit dioksida (-NO,-NO2) akan mengubah oksigen menjadi radikal superoksida yang akan membentuk hidrogen peroksida dan selanjutnya membentuk radikal hidroksil yang sangat merusak melalui proses reduksi oksigen. Radikal hidroksil (OH*), radikal superoksida (O2-*) dan hidrogen peroksida (H2O2) didalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel dan juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengganggu sistem informasi genetik (Halliwell dan Guteridge 1991).

Analisis Enzim SOD (Superoksida Dismutase) Hati dan Ginjal

Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan antioksidan endogen. Tiga jenis enzim antioksidan endogen yang di miliki tubuh yaitu superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidade (GSH-PX) dan katalase. Enzim SOD berfungsi mengkatalisis reaksi dismutasi radikal bebas anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) (Winarsi 2007). Analisis enzim SOD bertujuan untuk mengukur kapasitas antioksidan eksogen (enzim SOD) setelah pemakaian dalam menetralisir radikal bebas. Peningkatan kadar MDA akan menurunkan kadar enzim SOD didalam tubuh. Penambahan asupan antioksidan eksogen seperti kopi mampu meningkatkan kembali kadar enzim SOD.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar enzim SOD hati dan SOD ginjal antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) dan tidak menunjukkan adanya interaksi antara waktu dan perlakuan. Perlakuan yang diberi kopi dosis 1,82 mg/g BB pada hari ke 14 lebih cenderung meningkatkan kadar enzim SOD pada hati sebesar 1,46 Unit/mg (Tabel 3), dan pada ginjal yang cenderung meningkatkan enzim SOD yaitu perlakuan kontrol hari ke 28 sebesar 1,46 Unit/mg, sedangkan pemberian infusa kopi dosis yang lebih tinggi 3,64 mg/g BB cenderung meningkatkan enzim SOD ginjal sebesar 1,26 Unit/mg.

Tabel 6. Rataan analisis enzim SOD (Unit/mg) pada hati mencit

Perlakuan Waktu pengambilan (hari) X±SE P W P*W dosis 3,64 mg/g BB; (*) interaksi, (-) tidak ada interaksi

Tabel 7. Rataan analisis enzim SOD (Unit/mg) pada ginjal mencit

(39)

17 AR+K3 1,46±0,20a 1,20±0,00ab 1,46±0,20a 0,93±0,20a 1,26±0,18A

X±SE 1,28±0,11A 1,15±0,19A 1,11±0,20A 1,35±0,20A

Ket: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama atau pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p< 0,05). K1= kopi dosis 0,91 mg/g BB, K2 = kopi dosis 1,82 mg/g BB, K3 = kopi dosis 3,64 mg/g BB; (*) interaksi, (-) tidak ada interaksi

Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan antioksidan enzimatis (endogenus) terdapat dalam tingkat intraseluler pada semua organisme aerob. Enzim ini berfungsi melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang di akibatkan oleh radikal bebas. Enzim superoksida dismutase berperan dalam mengkatalisis dismutasi radikal anion superoksida (O2.-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen (O2) (Winarsi 2007). Winarsi et al. (2012) pengukuran aktivitas SOD berdasarkan laju penghambatan reduksi ferisitokrom c oleh anion superoksida yang dihasilkan oleh xantin/xantin oksidase. Xantin akan teroksidasi menjadi asam urat, sedangkan anion superoksida yang terbentuk mereduksi ferisitokrom c. Xantin oksidase ditemukan di sel hati dan otot. Aktivitas SOD tertinggi terdapat pada hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell dan Gutteridge 1991).

Kondisi stress oksidatif menurunkan kadar enzim SOD. Suarsana et al. (2013) menyatakan stress oksidatif pada tikus menyebabkan kadar enzim superoksida dismutase hati menurun dan kadar malonaldehida hati meningkat. Wresdiyati et al. (2006) melaporkan bahwa kondisi stress hiperkolesterolimea menurunkan kandungan antioksidan Cu, Zn SOD pada ginjal. Pada manusia tingkat aktivitas SOD kurang lebih sama, yang berbeda adalah kapasitas induksi SOD, yaitu kemampuan tubuh untuk meningkatkan jumlah SOD saat merespon naiknya jumlah radikal oksigen didalam tubuh. Seiring bertambahnya usia, kekuatan SOD juga semakin mengalami penurunan (Niwa 1997).

Radikal bebas yang dihasilkan oleh asap rokok pada penelitian ini menyebabkan ketersedian enzim SOD mengalami penurunan, terlihat dari meningkatnya kadar MDA hati dan ginjal (Tabel 6 dan Tabel 7). Kondisi stress oksidatif dikarenakan ketidak seimbangan antara jumlah antioksidan dan radikal bebas. Upaya untuk memenuhi kekurangan enzim SOD akibat radikal bebas dapat dilakukan dengan penambahan antioksidan non enzimatis, dalam penelitian ini yaitu kopi. Pemberian kopi cenderung meningkatkan kembali kadar enzim SOD baik di hati maupun di ginjal.

(40)

18

(2012) menyatakan bahwa ekstrak air biji kopi robusta berpotensi sebagai antioksidan yang mencegah gangguan fungsi hati pada tikus model hepatitis yang diinduksi CCL4.

Kopi memiliki kapasitas antioksidan 5-8 kali lebih tinggi dibandingkan antioksidan pada teh (Natella et al. 2002). Senyawa polifenol merupakan komponen yang berperan pada kopi. Asam klorogenat merupakan senyawa polifenol yang banyak terdapat di dalam kopi (Nardini et al. 2002). Jumlah asam klorogenat mencapai 90% dari total fenol yang terdapat dalam kopi (Mursu et al. 2005). Yusmarini (2011) melaporkan bahwa ketersediaan senyawa polifenol dan senyawa antioksidannya turut dipengaruhi oleh proses pengolahan kopi. Pengolahan dengan penghilangan kafein (dekafein) dan penambahan susu pada kopi mengurangi kapasitas antioksidan pada kopi (Komes dan Cvitanovic 2014).

Analisis Hematologi

Sistem sirkulasi darah berperan penting dalam mengantarkan oksigen, nutrient-nutrien serta mengeliminasi zat buangan di seluruh tubuh (Campbell et al. 2010). Guyton (1996) melaporkan bahwa kekurangan jumlah oksigen yang di transport ke jaringan dapat meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah. CO dalam asap rokok dapat mengurangi daya angkut O2 darah sebesar 15% (Syahdrajat 2007). Nikotin yang terkandung dalam asap rokok diserap masuk ke sirkulasi dalam paru-paru, lalu melalui arteri karotis internal akan mencapai otak. Setelah menghisap rokok dalam waktu 10-15 detik nikotin di dalam otak akan bekerja pada reseptor kolinergik nikotinik. Ikatan antara nikotin dengan reseptor menyebabkan pelepasan dopamine yang menimbulkan rasa nyaman (pleasure). Timbulnya rasa nyaman akibat nikotin dalam hitungan detik inilah yang menyebabkan ketergantungan pada rokok (Gayatri et al. 2012).

Pemeriksaan hematologi mencit yang di papar asap rokok dan diberi kopi (BDP dan differensiasi, BDM, Hb, PCV) berguna sebagai indikator terjadinya perubahan fisiologi dan patologi pada hewan. Gambaran hematologi (BDM, BDP, Hb dan PCV) dari setiap perlakuan di sajikan pada Tabel 8, sedangkan gambaran hematologi (differensial leukosit) disajikan pada Tabel 9.

(41)

19

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama atau pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p< 0,05). K1= kopi dosis 0,91 mg/g BB, K2 = kopi dosis 1,82 mg/g BB, K3 = kopi dosis 3,64 mg/g BB; (*)interaksi, (-) tidak ada interaksi.

Hasil uji statistik menunjukkan jumlah BDM (Tabel 8) antar perlakuan tidak berbeda nyata dan jumlah BDM tidak dipengaruhi oleh lama hari pemaparan dan pemberian kopi. Jumlah BDM tertinggi terlihat pada kelompok kontrol yaitu hari ke-28 sebesar (12,08 jt/mm3). Pada perlakuan asap rokok nilai BDM tertinggi pada hari ke-28 yaitu (10,95 jt/mm3). Hasil uji statistik menunjukkan rataan jumlah BDM yang diberi kopi setelah pemaparan asap rokok lebih rendah dibandingkan kontrol dan yang dipapar asap rokok, begitu juga pada perlakuan yang hanya diberi kopi saja. Hal ini membuktikan bahwa kopi berperan sebagai antioksidan. Peran kopi sebagai antioksidan sejalan dengan hasil uji analisis enzim SOD (Tabel 6) yang menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi kopi serta kombinasi asap rokok dan kopi dosis dua (1,82 mg/g) dan dosis tiga (3,64 mg/g) kadar enzim SOD lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang dipapar asap rokok.

(42)

20

Kadar hemoglobin (Hb) dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05), akan tetapi kontrol, asap rokok, asap rokok kombinasi kopi dosis satu (0,91 mg/g), dan asap rokok kombinasi kopi dosis tiga (3,64 mg/g) tidak berbeda nyata antar perlakuan. Sedangkan perlakuan asap rokok kombinasi kopi dosis dua (1,82 mg/g) pada hari ke-14 berbeda nyata dengan hari ke tujuh, 21 dan 28 yaitu sebesar (11,90 g %). Perlakuan yang di beri kopi saja menunjukkan bahwa hari ke 7 berbeda nyata dengan hari ke 14, 21 dan 28 yaitu (11,71g %). Hasil uji juga menunjukkan bahwa rataan kadar Hb pada hari ke-21 lebih rendah dibandingkan dengan hari ke tujuh, 14, dan 28 yaitu (9,34 g %) dan kadar Hb dipengaruhi oleh lama hari pemaparan dan pemberian kopi. Meskipun demikian kadar Hb sama halnya dengan jumlah butir darah merah masih dalam kondisi normal. Kadar hemoglobin (Hb) perlakuan asap rokok sejalan dengan jumlah butir darah merah yaitu lebih tinggi di bandingkan perlakuan asap rokok dengan kombinasi kopi dosis bertingkat (Tabel 8).

Kadar Hb normal pada mencit yaitu 13-16 g/100ml (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Akumulasi rokok yang dipaparkan pada hewan coba menyebabkan Hb meningkat. Peningkatan hemoglobin berkorelasi dengan peningkatan BDM. Butir darah merah mengandung hemoglobin yang kaya akan oksigen. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Senyawa toksik dalam asap rokok seperti karbon monoksida (CO) menggantikan posisi oksigen pada hemoglobin. Karbon monoksida yang terikat di hemoglobin menyebabkan butir darah merah kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan produksi sel darah merah meningkat sehingga kadar hemoglobin juga ikut meningkat. Samsuria (2009) menyatakan bahwa jumlah Hb meningkat setelah pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin, hal ini karena tingginya kadar karbonmonoksida (CO) dalam darah. Nordenberg et al. (1990) melaporkan kadar hemoglobin dan kadar karboksihemoglobin meningkat secara progresif dengan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari. Whitehead et al. (1995) melaporkan bahwa pada perokok konsentrasi hemoglobin meningkat secara signifikan dengan jumlah rokok lebih dari 10 batang per hari.

Hasil uji statistik untuk nilai PCV menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0,05). Hasil uji menunjukkan rataan kadar PCV pada hari ke-21 berbeda nyata dengan hari ke tujuh, 14 dan 28 yaitu (36,86 %) dan kadar PCV dipengaruhi oleh lama hari pemaparan dan pemberian kopi. Kadar PCV pada perlakuan asap rokok lebih tinggi dibandingkan kontrol. Kombinasi asap rokok dan kopi dosis 3,64 mg/g hanya mampu menstabilkan kadar PCV meskipun pada hari ke-28 kadar PCV kombinasi asap rokok dan kopi lebih tinggi dibandingkan perlakuan asap rokok yaitu (37,83 %). Hasil penelitian pada perlakuan yang dipapar asap rokok keseluruhannya sejalan. Jumlah BDM, kadar Hb dan nilai PCV pada perlakuan yang dipapar asap rokok lebih tinggi dibandingkan yang diberi asap rokok kombinasi kopi.

(43)

21 oksida nitrogen serta dalam bentuk zat kimia yang volatil seperti nitrosamin, dan formaldehid (Fitria et al. 2013). CO dalam asap rokok menimbulkan desaturasi hemoglobin menyebabkan persediaan oksigen berkurang. Kekurangan oksigen mengakibatkan produksi sel darah merah meningkat. Kondisi ini menyebabkan hematokrit juga meningkat sehingga kekentalan lebih besar, mempermudah penggumpalan darah dan aliran darah menjadi kurang lancar (Irawati et al. 2011).

Hasil uji statistik parameter BDP (Tabel 8) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan (P>0,05) dan tidak menunjukkan adanya interaksi antara lama hari dengan pemaparan dan pemberian kopi. Secara deskriptif rataan nilai BDP hari ke 21 memiliki nilai BDP lebih tinggi dibandingkan hari tujuh, 14 dan 28 yaitu (10.77 x 103/mm3). Pada BDP hasil uji statitik menunjukkan kelompok yang dipapar asap rokok pada hari ke-21 memiliki jumlah BDP tertinggi yaitu (11,46 x 103/mm3 ). Perlakuan asap rokok kombinasi kopi dosis satu (0,91 mg/g BB) pada hari ke-7 menstabilkan jumlah BDP dibandingkan perlakuan asap rokok yaitu (3,03 x 103/mm3), pada hari ke-21 perlakuan asap rokok kombinasi kopi dosis dua (1,82 mg/g BB) juga menstabilkan jumlah BDP yaitu (3,70 x 103/mm3).

Hasil uji statistik differensial leukosit (Tabel 9) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan dan tidak menunjukkan adanya interaksi antara lama waktu dengan pemaparan dan pemberian kopi. Differensial leukosit (neutrofil) kombinasi asap rokok dan kopi dosis satu (0,91 mg/g BB) hari ke-7 lebih rendah dibandingkan hari ke 14, 21 dan 28 yaitu (0,46 butir x 103), differensial leukosit (limfosit) terendah kombinasi asap rokok dan kopi dosis satu (0,91 mg/g BB) hari ke-7 yaitu (2,45 butir x 103), differensial leukosit (monosit) terendah kombinasi asap rokok dan kopi dosis satu (0,91 mg/g BB) hari ke-7 yaitu (0,10 butir x 103), dan pada differensial leukosit (eosinofil) terendah kombinasi asap rokok dan kopi dosis tiga (3,64 mg/g BB) hari ke-14, 21 dan 28 yaitu (0,00 butir x 103).

(44)

22

Differensial leukosit perlakuan asap rokok tertinggi yaitu pada limfosit (8,30 butir x 103), neutrofil (2,62 butir x 103), monosit (0,63 butir x 103) dan yang paling rendah eosinofil (0,07 butir x 103). Jumlah BDP dan differensial leukosit tidak dipengaruhi oleh lama hari pemaparan dan pemberian kopi. Hal ini dikarenakan lamanya waktu pemaparan asap rokok sebagai radikal bebas masih dapat di imbangi dengan pemberian kopi dosis bertingkat sebagai antioksidan. Nilai hematologi BDP dan differensiasi mencit juga masih dalam batas normal. Nilai basofil pada semua perlakuan tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan jumlah basofil dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Jumlah basofil dalam leukosit darah yaitu kurang dari 1%.

Sel darah putih mencit berkisar 6,0-12,6 x 103/mm3, kadar neutrofil 12-30%, limfosit 55-85%, monosit 1-12% dan eosinofil 0,2-4,0% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sel darah putih berperan sebagai sistem pertahanan tubuh. Sel darah putih meliputi limfosit, monosit, granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) (Ward et al. 2009). Sebagai respon pertahanan tubuh, sel darah putih akan meningkat saat tubuh terpajan bahan asing. Arnsonet al. (2010) melaporkan asap rokok terbukti meningkatkan produksi berbagai sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 GM-CSF.

(45)

23 melaporkan bahwa indeks stres (rasio N/L) berperan sebagai indikator terhadap kondisi stres. Nilai rasio N/L pada hewan yang mengalami stress yaitu diatas 1,5. Perlakuan kontrol memiliki indeks stres terkecil pada hari ke-14 yaitu (0,21). Perlakuan yang hanya diberi kopi saja memiliki indeks stres terkecil pada hari ke tujuh yaitu (0,21). Pada perlakuan yang terpapar asap rokok indeks stres terkecil pada hari ke-21 yaitu (0,31). Nilai indeks stres hari ke-7 dan 21 perlakuan kombinasi asap rokok dan kopi dosis 0,91 mg/g memiliki nilai indeks stres terkecil yaitu (0,18) dibandingkan perlakuan asap rokok kombinasi dosis 1,82 mg/g dan 3,64 mg/g. Indeks stres terkecil perlakuan kombinasi asap rokok dan kopi dosis 1,82 mg/g pada hari ke-21 yaitu (0,27), sedangkan kombinasi asap rokok dan kopi dosis 3,64 mg/g indeks stres terkecil pada hari ke-14 yaitu (0,29).

Secara keseluruhan, nilai indeks stres pada semua perlakuan hari ke 7,14, 21 dan ke-28 masih dalam batas normal, kecuali pada perlakuan yang hanya diberi kopi pada hari ke 21 memiliki rasio N/L sedikit lebih tinggi. Pada hari ke-28 indeks stres (rasio N/L) pada perlakuan kopi menurun drastis. Hal ini diduga tubuh hewan coba sudah mampu beradaptasi terhadap perlakuan yang diberikan. Penelitian Satyaningtijas et al. (2014) melaporkan bahwa rasio N/L pada Luwak mengalami stres yang cukup tinggi ketika pengambilan darah pertama, akan tetapi pengambilan darah yang kedua, ketiga, dan keempat tingkat stres Luwak mengalami penurunan, hal tersebut diduga Luwak sudah beradaptasi dengan kondisi kandang dan lingkungan yang baru.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Secara statistik hasil uji belum menunjukkan signifikan, akan tetapi kopi arabika Aceh memiliki potensi sebagai antioksidan yang terlihat dari kecenderungan penurunan kadar MDA hati pada kelompok yang diberi kopi dosis 0,91 mg/g BB, penurunan kadar MDA ginjal pada kelompok yang diberi kopi dosis 3,64 mg/g BB, peningkatan kadar enzim SOD hati pada kelompok yang diberi kopi dosis 1,82 mg/g BB, peningkatan kadar enzim SOD ginjal pada kelompok yang diberi kopi dosis 3,64 mg/g BB serta nilai hematologi dan nilai indeks stres (N/L) yang stabil. Interaksi antara lama hari pemaparan dan pemberian kopi pada hari ke 21 lebih dominan mempengaruhi nilai dari setiap parameter.

Saran

(46)

24

DAFTAR PUSTAKA

Andersen LF, Jr Jacobs DR, Carlsen MH, and Blomhoff R. 2006.Consumption of coffee is associated with reduced risk of death attributed to inflammatory and cardiovascular diseases in the Iowa Women’s Health Study1–4. Am J Clin Nutr. 83:1039–1046.

Andrade AR, Ana SDC, Mendes JA JR, Moreira M, Pires GC, Santos MP, Fernandes GJ, Nakagaki WR, Garcia JA, Lima CC, Soares EA. 2013. Effects of cigarette smoke inhalation and coffee consumption on bone formation and osseous integration of hydroxyapatite implant. Braz J. Biol

(73)1: 173-177.

Andriany P, Hakim RF, Mahlianur. 2012. Pengaruh konsumsi kopi ulee kareng (Arabika) terhadap pH saliva pada usia dewasa muda. Dental Journal

17(2): 151.

Arnson Y, ShoenfeldY, AmitalH. 2010. Effects of tobacco smoke on immunity, inflammation and autoimmunity. Journal of Autoimmunity. 34 (3): J258– J265.

Bandyopadhyay P, Ghosh AK, Ghosh C. 2012. Recent developments on polyphenol-protein interactions: effects on tea and coffee taste, antioxidant properties and the digestive system. Food Funct. 2012 (3): 592-605.

Benowitz NL, Hukkanen J, Jacob P III. 2009. Nicotine Chemistry, Metabolism, Kinetics and Biomarkers. Handb Exp Pharmacol (192):29–60

Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Chen HM, Muratomo K, Yamauchi F. 1995. Structural analysis of antioxidative peptides from soybean β-Conglicinin. Journal Agraria Food Chem

43:574-578.

Conti M, Moran PC, Levillain P, Lemonnier A. 1991. Improve flurometric determination of malonaldehyde. J Clin Chem 37:1273-1275.

Cooper RG. 2006. Effect of tobacco smoking on renal function. Indian J Med Res

124(3):261-268.

Fitria, Triandhini R, Mangimbulude JC, Karwur FF. 2013. Merokok dan oksidasi DNA. Sains Medika. 5(2): 113-120.

Fitriani, Eriani K, Sari W. 2010. The effect of cigarettes smoke exposured causes fertility of male mice (Mus musculus). Jurnal Natural 10(2):12-17.

Gayatri A, Susanto AD, Setiawati A. 2012. Nicotine Replacement Therapy. CDK 189. 39(1): 25.

Gondodiputro S. 2007. Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau. [Internet]. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. hlm 1-19; [diunduh 2016 Feb 25]. Tersedia pada:https://ml.scribd.com/doc/142366268/EFEK-ROKOK. Guyton AC. 1996. Buku teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku

Kedokteran.

Gambar

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran
Tabel 1. Hasil uji fitokimia biji kopi arabika
Tabel 3. Analisa fenol biji kopi arabika
Gambar 2. Bagan alur penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : Terdapat perbedaan kerusakan histologis paru antara mencit yang terpapar asap rokok konvensional dengan rokok herbal.. Rokok herbal tetap memberikan efek

Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap morfologi spermatozoa mencit jantan yang dipaparkan asap rokok... 1.2

Skripsi dengan judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Akuades Biji Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Struktur Histologis Paru Mencit (Mus musculus) yang Dipapar Asap

Simpulan Penelitian: Pemberian ekstrak etanol Propolis dapat mengurangi derajat kerusakan paru pada mencit ( Mus musculus )yang diinduksi asap rokok.. Kata kunci: ekstrak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian genistein terhadap sistem reproduksi mencit (Mus musculus) jantan, pada sel-sel germinal dalam tubulus seminiferus

a) Kualitas spermatozoa mencit jantan yang tidak di beri paparan asap rokok dan ekstrak daun kelor mendapatkan nilai kualitas yang baik. b) Kualitas spermatozoa

Berdasarkan hasil penelitian dan pem- bahasan mengenai paparan asap rokok kretek yang dilakukan pada mencit jantan maka dapat diambil simpulan bahwa semakin banyak jumlah

Skripsi dengan judul : Pengaruh Pemberian Ekstrak Akuades Biji Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Struktur Histologis Paru Mencit (Mus musculus) yang Dipapar Asap