• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peramalan Tingkat Produksi Dan Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Peramalan Tingkat Produksi Dan Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN

KONSUMSI DAGING SAPI NASIONAL DALAM

RANGKA SWASEMBADA PANGAN

NOVA MELINDA SINAGA

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Nasional dalam Rangka Swasembada Pangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

NOVA MELINDA SINAGA, Analisis Peramalan Tingkat Produksi Dan Konsumsi Daging Sapi Nasional Dalam Rangka Swasembada Pangan, Dibimbing oleh MUHAMMAD SYAMSUN dan NUR HADI WIJAYA

Swasembada daging sapi merupakan salah satu dari lima program utama Kementerian Pertanian. Tingginya konsumsi daging sapi nasional tidak dapat terpenuhi dari jumlah produksi daging sapi lokal. Kebutuhan konsumsi dipenuhi oleh daging sapi lokal dan impor, yang berpengaruh terhadap swasembada daging sapi. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan metode peramalan dengan time series. Metode peramalan yang digunakan untuk jumlah produksi adalah metode ARIMA(1,1,1), sedangkan untuk konsumsi adalah metode Trend Quadratic karena memiliki nilai MSE terkecil. Hasil peramalan menunjukkan jumlah konsumsi dan jumlah produksi mengalami peningkatan pada tahun 2014-2019. Hasil analisis kesenjangan menunjukkan tingginya kesenjangan antara jumlah konsumsi dan jumlah produksi daging sapi yang kemudian akan dipenuhi oleh daging sapi impor, sehingga pada analisis potensi swasembada disimpulkan bahwa Indonesia tidak dapat melakukan swasembada daging sapi pada tahun 2014-2019 dikarenakan tidak terpenuhinya kebutuhan konsumsi daging sapi oleh produksi daging sapi lokal.

Kata Kunci : daging sapi, konsumsi, produksi, swasembada

ABSTRACT

NOVA MELINDA SINAGA, Forecasting Analysis Of The Level Production And Beef Consumption In The Framework Of Nation Food Self-Sufficiency, Supervised by MUHAMMAD SYAMSUN dan NUR HADI WIJAYA

Beef self-sufficiency is one of the five ministries of agriculture programs. Nation high consumption of beef can’t be met from local production. Consumption need are met by local production and imported beef, which be affect the beef self-sufficiency. Data analysis was conducted using descriptive and forecasting with time series method. Forecasting method are use for production is ARIMA (1,1,1) method and for consumption is a Trend quadratic because it has the smallest MSE value. Forecasting result showed the amount of production and consumption have increase in 2014-2019. Result of gap analysis showed the large disparity between consumption and beef production which will then be filled by imports, so that the conclusion analysis of the potential for self-sufficiency is Indonesian can’t be doing beef self-sufficiency in 2014-2019 because of unmet demand for consumption by local beef production.

(6)
(7)

ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN

KONSUMSI DAGING SAPI NASIONAL DALAM

RANGKA SWASEMBADA PANGAN

NOVA MELINDA SINAGA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Program Sarjana Alih Jenis Manajemen Departemen Manajemen

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Nasional dalam Rangka Swasembada Pangan dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih kepada Mama N.Sihaloho dan Bapak O. Sinaga, adikku serta keluarga besar yang mendukung dan memotivasi penulis. Dr Ir Muhammad Syamsun M.Sc dan Nur Hadi Wijaya, STP MM selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan kepada penulis. Drs Edward H Siregar, MM selaku dosen penguji yang memberikan masukan. Hardiana Widyastuti S.Hut, MM selaku dosen Quality Control dan M. Syaefudin Andriayanto STP, M.Si selaku dosen moderator. Segenap dosen program sarjana ahli jenis manajemen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan staff pendukung sekretariat yang telah membantu dalam akademis. Teman-teman PSAJM 10 dan sahabat-sahabat serta seluruh pihak yang terkait yang telah membantu dan memberikan dukungan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL 2

DAFTAR GAMBAR 2

DAFTAR LAMPIRAN 2

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Sapi 4

Daging Sapi 4

Produksi Daging Sapi 4

Konsumsi Daging Sapi 5

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 5

Penelitian Terdahulu yang Relevan 6

METODE 7

Kerangka Pemikiran Penelitian 7

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 9

Pengolahan Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Perkembangan Daging Sapi 1984-2013 11

Analisis Stasioner Data 13

Identifikasi Model ARIMA 14

Analisis Peramalan Time Series 16

Analisis Metode Peramalan Terbaik 17

Analisis Kesenjangan Jumlah Produksi dan Konsumsi 20 Analisis Potensi Pencapaian Swasembada Daging Sapi 21

Implikasi Manajerial 22

SIMPULAN DAN SARAN 23

(14)

LAMPIRAN 27

RIWAYAT HIDUP 34

DAFTAR TABEL

1 Ekspor dan impor daging sapi 2009-2012 2

2 Nilai MSE metode peramalan produksi daging sapi 15

3 Nilai MSE metode peramalan konsumsi daging sapi 16

4 Nilai MSE berbagai metode peramalan 17

5 Hasil peramalan produksi dan konsumsi dalam bentuk logaritma natural 19

6 Jumlah produksi daging sapi lokal dan konsumsi hasil peramalan 19

7 Analisis gap produksi dan konsumsi daging sapi 20

8 Jumlah peluang impor daging sapi 2014-2019 21

DAFTAR GAMBAR 1 Jumlah produksi peternakan tahun 2009-2013 (000 ton) 1 2 Kerangka pemikiran penelitian 8 3 Pola produksi daging sapi 12 4 Pola konsumsi daging sapi 13 5 Grafik plot data pada First Difference data ln produksi 14 6 Grafik plot data pada First Difference data ln konsumsi 14 7 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1) 17 8 Residual plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1) 18 9 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1) 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai ln konsumsi dan produksi daging sapi lokal tahun 1984-2013 29

2 Grafik plot data ln produksi dan ln konsumsi 29

3 Uji ACF dan PACF data ln produksi pada First Difference 30

4 Uji ACF dan PACF data ln konsumsi pada First Difference 30

5 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi daging sapi 31

6 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1) 31

7 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi daging sapi 32

8 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1) 32

9 Hasil peramalan konsumsi terpilih metode Trend Quadratic 33

10 Persamaan umum peramalan jumlah produksi metode Trend 33

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Ketersediaan pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan pemerintah melalui program ketahanan pangan. Meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan kebutuhan pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat. Pergeseran pola konsumsi masyarakat dari protein nabati menjadi protein hewani mendorong tingginya permintaan terhadap pangan hewani. Permintaan pangan hewani yakni daging, susu dan telur cenderung meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran akan gizi serta perbaikan pendidikan masyarakat (PUSDATIN 2014). Pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat salah satunya didukung dengan jumlah produksi pangan hewani tersebut. Jumlah produksi pangan hewani di Indonesia pada tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Jumlah produksi peternakan tahun 2009-2013 (000 ton) (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013)

Tahun 2013, total produksi daging sebanyak 2.827,8 ribu ton yang terdiri dari daging sapi potong, kerbau, kambing, domba, babi, ayam buras, ayam broiler dan ternak lainnya. Produksi daging, khususnya daging sapi, mengalami rata-rata peningkatan sebesar 6,25% pertahun sejak tahun 2009-2013 (DITJENAK 2013). Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Kandungan zat nutrisi terutama protein, sangat tinggi pada daging sapi. Protein dari daging sapi mempunyai struktur asam amino yang mirip dalam tubuh manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), serta susunannya relatif lebih lengkap dan seimbang (PUSDATIN 2014).

(16)

Tabel 1 Impor daging sapi 2009-2012

Tahun Impor

Volume (kg) Nilai (USD)

2009 67.390.133 188.187.318

2010 90.505.738 289.506.475

2011 65.022.487 234.265.843

2012 39.419.157 164.887.147

Total 262.337.515 876.846.783

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013, diolah Berdasarkan Tabel 1, impor daging sapi Indonesia meningkat pada tahun 2010 tetapi kemudian mengalami penurunan ditahun selanjutnya. Hal ini dikarenakan pembatasan kuota impor daging sapi dan sapi siap potong pada tahun 2010. Penurunan impor daging sapi berbanding lurus dengan peningkatan produksi daging sapi lokal.

Peningkatan jumlah produksi daging sapi lokal secara nyata ternyata tidak selalu berdampak positif. Peningkatan jumlah produksi lokal akibat penurunan jumlah daging impor berakibat terhadap menurunnya jumlah dan populasi ternak sapi di Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah kelahiran hidup sapi tidak sebanding dengan jumlah pemotongan ternak sapi. Saat ini, didaerah sentra sapi potong seperti NTB dan NTT semakin sulit mendapatkan ternak sapi potong jantan dengan bobot 300 kg atau lebih per ekornya. Ternak sapi yang banyak ditemui adalah sapi berukuran kecil dengan bobot 250 kg/ekor, sehingga untuk mendapatkan 1 ton daging sapi diperlukan jumlah sapi lebih banyak. Tingginya permintaan daging sapi juga menyebabkan meningkatnya pemotongan ternak sapi potong betina produktif. Pemotongan sapi betina produktif berarti mengurangi jumlah ternak sapi yang lahir (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013).

Permasalahan yang timbul akibat pembatasan kuota impor tahun 2010 serta semakin meningkatnya permintaan akan daging sapi mendorong pemerintah melakukan perubahan peraturan. Tanggal 18 Juli 2013, menteri perdagangan 2009-2014, Gita Wirjawan menandatangani surat pembebasan kuota impor sapi siap potong. Perubahan peraturan tersebut berpengaruh terhadap penurunan produksi daging sapi lokal serta berakibat pada pencapaian swasembada daging sapi.

(17)

Perumusan Masalah

Ketersediaan pangan hewani nasional, dalam hal ini daging sapi, menjadi perhatian penting. Hal ini dikarenakan sumbangan protein terbesar terhadap konsumsi protein hewani berasal dari daging. Tingginya permintaan masyarakat akan daging sapi mendorong peningkatan jumlah produksi daging sapi, baik produksi daging sapi lokal maupun impor. Kesenjangan antara jumlah konsumsi daging sapi dengan jumlah produksi menjadi perhatian pemerintah terlebih dalam pencapaian program swasembada daging sapi, di mana kementerian pertanian memiliki sasaran untuk meningkatkan produksi daging dalam negeri sebesar 10,4% setiap tahunnya dan penurunan impor sapi hingga mencapai 10% kebutuhan konsumsi Indonesia. Peramalan jumlah konsumsi daging sapi dimasa yang akan datang menjadi penting dalam melakukan berbagai strategi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini difokuskan pada proyeksi kebutuhan konsumsi dan produksi daging sapi serta kesenjangan antara produksi dan konsumsi dan melihat dampaknya terhadap pencapaian swasembada daging sapi.

1. Bagaimana proyeksi produksi daging sapi nasional tahun 2015-2019? 2. Bagaimana proyeksi konsumsi daging sapi nasional tahun 2015-2019? 3. Bagaimana kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis proyeksi produksi daging sapi nasional tahun 2015-2019 2. Menganalisis proyeksi konsumsi daging sapi nasional tahun 2015-2019 3. Menganalisis kesenjangan antara produksi dan konsumsi

Ruang Lingkup Penelitian

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi

Sapi merupakan hewan ternak famili Bovidae dan subfamili Bovinae. Sapi pada umumnya dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya. Disejumlah tempat, sapi juga digunakan sebagai alat transportasi dan digunakan dalam pengolahan lahan pertanian.

Berdasarkan umur, jenis kelamin dan kondisi seksual, daging sapi (beef) berasal dari:

1. Steer (sapi betina yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kehamilan) 2. Heifer (sapi betina yang belum pernah melahirkan)

3. Cow (sapi betina dewasa/pernah melahirkan) 4. Bull (sapi jantan dewasa)

5. Stag (sapi jantan yang dikastrasi setelah dewasa)

Penggemukan sapi dilakukan pada sapi yang sudah mencapai umur 2-3 tahun pada umumnya. Akan tetapi, sekarang penggemukan sapi dimulai dari umur 12-18 bulan atau paling tua pada umur 2,5 tahun. Hal ini dikarenakan, pada umur tersebut sapi telah memasuki fase pertumbuhan baik pembentukan kerangka maupun jaringan daging.

Daging Sapi

PUSDATIN (2014) mengatakan setiap 100 gram daging sapi mengandung 18,8 gram protein. Protein pada daging sapi memiliki struktur yang mirip manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), susunan asam aminonya relatif lebih lengkap dan seimbang. Protein merupakan penyusun sebagian besar organ tubuh. Fungsi protein bagi tubuh antara lain: 1) sebagai pertumbuhan; 2) memperbaiki sel-sel yang rusak; 3) sebagai bahan pembentuk plasma kelenjar, hormon dan enzim; 4) sebagai cadangan energi, jika karbohidrat sebagai sumber energi utama tidak mencukupi; dan 5) menjaga keseimbangan asam basa darah.

Produksi Daging Sapi

Menurut Kusriatmi (2014), produksi daging sapi di Indonesia berasal dari produksi daging lokal dan impor. Produksi daging sapi lokal sendiri berasal dari peternak-peternak rakyat dan bibit sapi unggul impor yang kemudian di gemukkan dan dikembangbiakkan di Indonesia. Pemotongan sapi lokal hanya dilakukan di rumah pemotongan hewan (RPH), sehingga peternak menjual produk dalam berupa sapi hidup.

(19)

impor sapi bakalan hanya dilakukan dengan Australia. Hal ini dikarenakan wilayah Australia termasuk wilayah aman dari penyakit anthrax dan penyakit mulut dan kuku (PMK).

Konsumsi Daging Sapi

Konsumsi daging sapi nasional mencakup dalam konsumsi daging sapi segar, daging sapi awetan dan daging sapi dari makanan jadi. Daging sapi segar terdiri dari daging sapi tanpa tulang, tetelan dan tulang. Daging sapi awetan terdiri dari dendeng, abon, daging dalam kaleng dan lainnya. Sedangkan daging sapi dari makanan jadi yaitu sate, rawon, sop dan lainnya (PUSDATIN 2014).

Negara dengan tingkat konsumsi protein hewani yang tinggi, umumnya memiliki human development index yang tinggi. Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Menurut laporan FAO rata-rata konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2009 masih cukup rendah yaitu sebesar 4,5 kg/kap/tahun, sedangkan konsumsi daging rakyat Malaysia sudah mencapai 46,87 kg/kap/tahun dan konsumsi rakyat Filipina mencapai 24,96 kg/kap/tahun (Zahra 2012). Menurut PUSDATIN (2011), faktor utama penyebab rendahnya tingkat konsumsi daging adalah rendahnya daya beli masyarakat, sedangkan daging merupakan komoditas pangan yang harganya mahal. Faktor lain adalah rendahnya produksi daging terutama daging yang berasal dari ternak dalam negeri.

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)

Menurut Soedjana (2011), Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) merupakan salah dari lima program utama Kementerian Pertanian yaitu swasembada beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan daging kerbau dalam mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. PSDS menjadi pendorong agar Indonesia kembali sebagai negara eksportir seperti tahun 1970an. PSDS 2014 merupakan lanjutan dari Program Swasembada Daging tahun 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2010 yang sampai saat ini belum tercapai (Kusriatmi 2014).

(20)

Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi daging sapi berkaitan dengan swasembada daging sapi belum banyak dilakukan. Penelitian yang menjadi referensi dan panduan dalam penelitian yang dilakuan antara lain penelitian Putra (2011) mengenai Strategi Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk 1) Mengetahui kondisi objektif pembangunan peternakan sapi di Provinsi Sumatera Barat; 2) Mengetahui perkiraan pencapaian target Provinsi Sumatera Barat dalam rangka swasembada daging sapi tahun 2014; 3) Merumuskan strategi yang tepat untuk mewujudkan PSDS 2014 di Provinsi Sumatera Barat.

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu analisa deskriptif untuk menjawab tujuan kondisi pembangunan peternakan Sumatera Barat. Menentukan strategi digunakan analisis SWOT. Menghitung proyeksi populasi digunakan model pertumbuhan linier. Hasil penelitian menunjukkan produksi daging sapi Sumatera Barat lebih besar dibandingkan konsumsi masyarakat Sumatera Barat. Kelebihan produksi daging tersebut kemudian dipasarkan keluar provinsi seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan Jambi. Perkiraan pencapaian target Sumatera Barat dalam swasembada daging sapi dilakukan dalam tiga skenario. Skenario Ia dan skenario Ib diperkirakan mampu memenuhi permintaan daging sapi sumatera barat sedangkan skenari II diperkirakan tidak mampu memenuhi permintaan daging sapi Sumatera Barat.

Priyanti et al (2010), meneliti mengenai Dinamika Produksi Daging Sapi di Wilayan Sentra Usaha Sapi Potong di Indonesia. Penelitian yang dilakukan bertujuan melakukan proyeksi populasi dan produksi daging sapi di wilayah sentra usaha sapi yaitu NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung. Perhitungan proyeksi populai dan produksi dilakukan dengan pendekatan Trend dan Ekonometrik dengan menggunakan data sebanyak 12 tahun. Pendekatan Trend didasari atas pemikiran bahwa pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi berhubungan erat dengan waktu.

Maretha (2008), melakukan penelitian dengan judul Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional. Peramalan jumlah konsumsi dan jumlah produksi kedelai dilakukan dengan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa Indonesia belum dapat mencapai swasembada kedelai pada tahun 2015. Peneliti juga melakukan skenario dengan peningkatan produktivitas dan luas panen kedelai, sehingga berdasarkan hasil skenario yang dilakukan, Indonesia dapat melakukan swasembada kedelai pada tahun 2015. Analisis strategi yang dilakukan digunakan dengan menggunakan metode SWOT dan QSPM.

(21)

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu tersebut yaitu, penelitian ini melakukan peramalan jumlah produksi dan jumlah konsumsi daging sapi dengan menggunakan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan juga metode peramalan time series dengan menggunakan data sebanyak 30 data yaitu sejak tahun 1984-2013. Peramalan dilakukan pada jumlah konsumsi dan jumlah produksi serta melakukan analisis gap antara jumlah produksi dan jumlah konsumsi. Selain itu, hasil analisis akan dibandingkan dengan target yang diinginkan oleh KEMETAN dalam mencapai program swasembada daging sapi.

METODE

Kerangka Pemikiran Penelitian

(22)

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan melakukan proyeksi terhadap tingkat produksi dan konsumsi daging sapi. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode peramalan Time Series yang kemudian hasil peramalan akan dilakukan analisis kesenjangan serta mengetahui dampaknya terhadap swasembada daging sapi.

Ket:

--- : tidak dibahas dalam penelitian Pemenuhan Konsumsi

Daging Sapi Pencapaian Swasembada

Daging Sapi

Peningkatan jumlah konsumsi Daging Sapi

Produksi daging sapi lokal Impor daging sapi

dan sapi bakalan

Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Daging sapi

Identifikasi Metode Terbaik Metode Time Series:

ARIMA Trend

Exponential Smoothing

Analisis Kesenjangan Tingkat Produksi dan

Berasal dari sapi peternakan rakyat dan

bibit sapi unggul impor

yang digemukkan di

(23)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli-Oktober 2014. Penelitian dilakukan di Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan (DITJENAK), Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Pertanian (KEMETAN) dan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (PUSDATIN).

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian yaitu data sekunder yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data sekunder yang digunakan adalah data produksi dan konsumsi daging sapi nasional yang dipublikasikan dan diunduh melalui website Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Pertanian dan Pangan, kementerian pertanian. Data penunjang lainnya dalam penelitian ini yaitu studi literatur dari jurnal, tesis, skripsi, buku maupun internet yang berhubungan dengan penelitian.

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software komputer Microsoft Office Excel, Minitab versi 14 dan Statistical Package for Social Science (SPSS) 17. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dan metode peramalan. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan informasi-informasi mengenai konsumsi dan produksi daging sapi, serta informasi mengenai kesenjangan antara konsumsi dan produksi.

Peramalan merupakan dasar untuk menyusun rencana yang digunakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dan bertujuan mengurangi ketidakpastian (Santoso 2009). Peramalan pada jumlah konsumsi dan jumlah produksi yang dilakukan dengan menggunakan data time series dan dengan asumsi cateris paribus. Metode time series merupakan metode yang mengasumsikan nilai dari suatu peubah pada masa yang akan datang mengikuti pola data peubah tersebut pada waktu sebelumnya. Metode peramalan time series yang digunakan dalam peramalan yaitu proyeksi Trend, metode pemulusan eksponensial (Exponential Smoothing), metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA).

Proyeksi Trend

Menurut Hanke et al (2003), metode Trend menggambarkan pergerakan pola data yang meningkat atau menurun dalam jangka waktu yang panjang. Metode ini juga menggambarkan hubungan antara periode dan variabel yang diramal dengan menggunakan analisis regresi. Menurut Aritonang (2009), proyeksi Trend terbagi menjadi empat yaitu Trend Linier, Trend Quadratic, Trend Exponential Growth, dan Trend S-Curve.

Metode Pemulusan Eksponensial (Exponential Smoothing)

(24)

peramalan dalam jangka pendek, lebih mudah dalam penyiapan peramalan, tidak membutuhkan data historis yang besar dan peramalan untuk periode berikutnya mudah untuk dihitung. Metode peramalan ini terdiri dari dua yaitu Metode Pemulusan Eksponensial Tunggal dan Metode Pemulusan Eksponensial Ganda. Metode pemulusan eksponensial ganda terdiri dari Double Exponential Smoothing Holt dan Double Exponential Smoothing Winter. Bentuk persamaan umum metode pemulusan eksponensial tunggal yaitu:

Ŷt +1 = Ŷt + α (Yt - Ŷt) ... ( 1 )

Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

ARIMA dikembangkan oleh Box dan Jenkins, sehingga disebut juga ARIMA Box-Jenkins. Metode ARIMA merupakan penggabungan metode penghalusan, regresi dan dekomposisi (Aritonang 2009). Metode ARIMA merupakan gabungan dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA) yang membentuk model ARIMA. Menurut Sugiarto dan Harijono (2002), model ini mengasumsikan bahwa data dihasilkan oleh proses acak atau random dengan bentuk yang dapat dijelaskan dan tidak mengasumsikan pola tertentu pada data historis yang diramalkan.

1. Model Autoregressive (AR)

Peramalan model AR didasarkan pada fungsi dari nilai pengamatan masa lalu dalam jumlah terbatas. Secara umum, Autoregressive dirumuskan sebagai berikut:

Yt = b0 + b1Yt-1 + b2Yt-2 + ... + bpYt-p + et ...( 2 ) Keterangan :

Yt : series yang stasioner

Yt-1, Yt-2, Yt-p : nilai lampau series yang bersangkutan b0, b1, bp : konstanta dan koefisien model

et : kesalahan peramalan/ komponen galat 2. Model Moving Average (MA)

Peramalan model MA berdasarkan kombinasi linier galat masa lalu dalam jumlah terbatas. Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai berikut:

Yt = a0 + et - a1et-1 - a2et-2 - ... - aqet-q...( 3 ) Keterangan:

Yt : series yang stasioner

et-1, et-2, et-p : kesalahan peramalan masa lalu a0, a1, ap : konstanta dan koefisien model

et : kesalahan peramalan/ komponen galat 3. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

(25)

Metode ARIMA atau Box_Jenkins memiliki kelebihan, data yang dihasilkan lebih akurat, model ARIMA lebih lengkap dibandingkan metode peramalan time series lainnya. Salah satu kelemahan metode ARIMA adalah diperlukannya data dalam jumlah yang besar yaitu lebih dari 30 data.

Ketepatan Metode Peramalan

Menurut Herjanto (2010), kesalahan peramalan yang dilakukan dihitung menggunakan Mean Absolute Deviation (MAD), Mean Squared Error (MSE) dan Mean Absolute Percent Error (MAPE). Metode peramalan yang terbaik yang dipilih adalah yang memiliki nilai MSE terkecil. Penggunaan MSE sebagai ukuran ketepatan karena MSE lebih menekankan kesalahan-kesalahan besar dalam peramalan daripada kesalahan-kesalahan kecil. Kesalahan besar dapat menunjukkan adanya pencilan data.

��� = ∑� –Ӯ │

� ... ( 4 )

��� = ∑( � –Ӯ )2 ... ( 5 )

���� = 100∑

� –Ӯ│

� ... ( 6 )

Keterangan:

Y : Nilai aktual data periode ke-t

Ӯ : Ramalan pada periode ke-t n : Jumlah data peramalan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Daging Sapi 1984-2013

Data pertumbuhan jumlah produksi dan konsumsi daging sapi diperoleh dari berbagai sumber yang kemudian diolah. Data yang diperoleh sebanyak 30 data dalam rentang waktu tahun 1984 sampai dengan tahun 2013. Data tersebut yang kemudian digunakan dalam melakukan proyeksi dan mengetahui potensi pencapaian swasembada daging sapi.

Produksi Daging Sapi Lokal

(26)

Gambar 3 Pola produksi daging sapi

Berdasarkan Gambar 3, jumlah produksi daging sapi lokal mengalami kenaikan setiap tahun sejak tahun 2007. Tahun 2013 jumlah produksi daging sapi merupakan yang tertinggi selama rentang waktu tiga puluh tahun yaitu sebesar 545.620 ton. Pertumbuhan paling siginifikan terlihat pada tahun 2007-2013. Pertumbuhan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 21,06% dari tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan jumlah produksi daging sapi lokal selama tigapuluh tahun yaitu sebesar 3,20%.

Peningkatan jumlah produksi yang signifikan pada tahun 2007-2013 didorong oleh beberapa program kerja yang tengah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian (2013), dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kementerian Pertanian 2014, melakukan program kerja mulai dari perluasan kawasan usaha lokasi peternakan sapi sampai kepada peningkatan teknologi dalam upaya pembibitan sapi unggul, penggemukan serta pengembangbiakan sapi. Selain itu, dalam upaya peningkatan produksi daging sapi dalam negeri dilakukan berbagai upaya seperti produksi semen beku dan embrio beku, peningkatan kelahiran melalui inseminasi buatan, pengembangan integrasi sapi-sawit dan adanya fasilitas teknik akses asuransi ternak.

Konsumsi Daging Sapi

Pertumbuhan konsumsi daging sapi setiap tahunnya mengalami fluktuatif yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah penduduk, jumlah pendapatan rill masyarakat, daya beli masyarakat, harga daging sapi, harga pakan dan sebagainya. Pertumbuhan jumlah konsumsi daging sapi masyarakat mengalami trend kenaikan. Pola data konsumsi daging sapi dapat dilihat pada Gambar 4.

(27)

Gambar 4 Pola konsumsi daging sapi

Berdasarkan Gambar 4, total konsumsi paling tinggi yaitu pada tahun 2013 yaitu sebesar 2,5 kg/kapita/tahun atau setara dengan 629.645,62 ton. Persentase penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 18,69% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data, jumlah konsumsi (ton) mengalami Trend kenaikan dari tahun 1984-2013 dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 4,25%.

Kenaikan jumlah konsumsi masyarakat disebabkan karena meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah atas. Menurut Wakil Menteri Pertanian 2009-2014, Rusman Heriawan, pertumbuhan kelas menengah yang cukup cepat dalam lima tahun terakhir berpotensi menaikkan konsumsi daging. Selain pertumbuhan masyarakat kelas menengah atas yang mencapai 50 juta jiwa, pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 251,86 juta jiwa pada tahun 2013 juga berpotensi meningkatkan jumlah konsumsi masyarakat, termasuk konsumsi daging sapi.

Analisis Stasioner Data

Data konsumsi dan data produksi daging sapi lokal merupakan data yang non-stasioner, sehingga perlu dilakukan tahap penstasioneran data. Stasioner atau tidaknya suatu data dapat dilihat dari fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi parsial autokorelasi (PACF). Data produksi dan data konsumsi menunjukkan angka yang cukup tinggi, sehingga untuk mempermudah pemodelan, data terlebih dahulu dibuat dalam bentuk logaritma natural (ln) dari satuan ton. Hernanda (2011) menyatakan perubahan data kedalam bentuk logaritma natural dipilih karena nilai logaritma natural mempunyai rentang yang lebih kecil namun tetap dapat memperlihatkan fluktuasi data sehingga tidak mempengaruhi terhadap pemodelan dan hasil analisisnya.

Pola data konsumsi dan produksi daging sapi lokal merupakan data yang non-stasioner. Penstasioneran data dilakukan dengan pembedaan pertama. Tahap pembeda pertama atau first difference pada data tersebut menghasilkan data yang stasioner. Fungsi autokorelasi dan fungsi autokorelasi parsial setelah dilakukan difference dapat dilihat pada Lampiran. Data produksi dan konsumsi yang telah stasioner dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Tahun

(28)

Gambar 5 Grafik plot data pada First Difference data ln produksi

Gambar 6 Grafik plot data pada First Difference data ln konsumsi

Data produksi dan konsumsi dikatakan telah stasioner dalam rata-rata. Hal ini terlihat dari Gambar 5 dan Gambar 6 bahwa data menyebar pada nilai tengahnya dan telah menghilangkan unsur trend didalamnya.

Identifikasi Model ARIMA

ARIMA merupakan model peramalan yang terdiri dari Autoregressive (p), Moving Average (q) dan Difference (d) yang menentukan kombinasi dari model ARIMA tersebut. Identifikasi ordo pada ARIMA dapat dilakukan dengan menganalisis fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi autokorelasi parsial (PACF). Fungsi ACF digunakan untuk mengidentifikasi ordo AR (p) dan fungsi PACF digunakan untuk mengidentifikasi ordo MA (q), sedangkan untuk mengidentifikasi ordo d digunakan banyak difference yang dilakukan untuk mendapatkan data yang stasioner, dalam hal ini ordo d = 1.

Tahun

Time Series Plot of D Produksi

Tahun

(29)

Produksi Daging Sapi Lokal

Pola fungsi ACF pada data ln produksi daging sapi lokal setelah proses difference membentuk model dies down di mana data mendekati 0 setelah lag pertama. Hal ini menunjukkan bahwa data memiliki model Autoregressive (AR). Identifikasi awal, maka model sementara yang digunakan pada ordo p = 1. Pola fungsi PACF pada data ln produksi, menunjukkan adanya pola Moving Average yang berordo 1, sehingga sementara yang digunakan pada ordo q = 1. Nilai MSE masing-masing model ARIMA dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai MSE metode peramalan produksi daging sapi Model ARIMA

Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 2, kombinasi model ARIMA yang digunakan dalam peramalan berasal dari ordo autoregressive (p) = 1, ordo difference (d) = 1 dan ordo moving average (q) = 1 yang menghasilkan model ARIMA (1,1,1). Sebelum melakukan peramalan dilakukan tahap diagnostic checking, yaitu untuk memeriksa atau menguji apakan model telah dispesifikasi dengan benar. Pengujian dilakukan pada model ARIMA yang relevan dengan peramalan yaitu ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1).

Pengukuran residual ACF dan PACF pada model ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1) dapat dikatakan telah dispesifikasi dengan benar. Hal ini terlihat dari grafik tidak ada satu bar yang yang melampaui garis batas. Output pengujian pada Minitab menyatakan “relative change in each estimate less than 0,0010” yang artinya data telah konvergen setelah dilakukan proses iterasi. Data hasil pengujian juga dikatakan telah stasioner, terlihat dari jumlah koefisien MA dan AR di mana masing-masing bernilai kurang dari 1 (satu). Peramalan jumlah produksi yang paling tepat dilakukan dengan menggunakan model ARIMA yang memiliki nilai MSE terkecil. Berdasarkan hasil evaluasi, maka model peramalan yang dipilih adalah model ARIMA (1,1,1) dengan nilai MSE terkecil.

Konsumsi Daging Sapi

Pola fungsi ACF pada data ln konsumsi daging sapi setelah proses difference membentuk model dies down di mana data dari lag pertama secara bertahap menurun nilainya mendekati 0 pada lag kedua. Hal ini menunjukkan bahwa data memiliki model Autoregressive (AR). Bar pada lag pertama menyentuh garis kritis atau sering disebut juga dengan batas eror. Identifikasi awal, maka model sementara yang digunakan pada ordo p = 1. Pola fungsi PACF pada data ln produksi, menunjukkan adanya pola Moving Average, sehingga model sementara yang digunakan pada ordo q = 1.

(30)

relevan dengan peramalan yaitu, ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0), dan ARIMA (0,1,1). Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah model ARIMA telah dispesifikasi dengan benar.

Pengukuran residual ACF dan PACF pada model ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0), dan ARIMA (0,1,1) dapat dikatakan telah dispesifikasi dengan benar. Hal ini terlihat dari grafik tidak ada satu bar yang yang melampaui garis batas. Akan tetapi, pada model ARIMA (1,1,1) tidak konvergen karena pada hasil minitab menunjukkan “Unable to reduce sum of squares any further”. Sedangkan model ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,1) dikatakan telah konvergen dengan output yang menunjukkan “relative change in each estimate less than 0,0010” yang artinya data berhasil diiterasi secara sempurna. Data hasil pengujian juga dikatakan telah stasioner, terlihat dari jumlah koefisien MA dan AR di mana masing-masing bernilai kurang dari 1 (satu). Nilai MSE masing-masing model ARIMA dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai MSE metode peramalan konsumsi daging sapi Model ARIMA

Nilai MSE

p d q

1 1 1 (Not convergen)

1 1 0 0,008848

0 1 1 0,008235

Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 3, model ARIMA (1,1,1) dinyatakan not convergen dikarenakan data tidak dapat diiterasi sempurna dengan menggunakan model ARIMA (1,1,1), sehingga model tersebut tidak dapat digunakan dalam melakukan peramalan. Peramalan jumlah konsumsi yang paling tepat dilakukan dengan menggunakan model ARIMA yang memiliki nilai MSE terkecil. Berdasarkan hasil uji diaknosa, maka dipilih metode ARIMA (0,1,1).

Analisis Peramalan Time Series

Peramalan yang digunakan dalam meramalkan tingkat produksi dan juga tingkat konsumsi daging sapi juga menggunakan peramalan time series yaitu peramalan dengan metode trend dan exponential smoothing. Peramalan dilakukan dengan menggunakan metode yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Data yang digunakan dalam peramalan yaitu data produksi dan konsumsi dalam bentuk logaritma natural.

(31)

Analisis Metode Peramalan Terbaik

Hasil peramalan dengan menggunakan berbagai metode kemudian dibandingkan nilai MSE terkecil untuk memperoleh metode terbaik. Metode peramalan yang akan dibandingkan yaitu metode ARIMA, metode Trend dan Exponential Smoothing. Nilai MSE masing-masing metode peramalan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai MSE berbagai metode peramalan Metode

ARIMA (1,1,1) 0,006653 Not Convergen

ARIMA (0,1,1) 0,008160 0,008235

ARIMA (1,1,0) 0,008395 0,008848

Trend Linier 0,007443 0,006988

Trend Quadratic 0,007442 0,006980

Trend Exponential growth 0,007442 0,007020

Trend S-Curve 0,008275 0,008470

Single Exponential Smoothing 0,008838 0,010228 Double Exponential Smoothing Holt 0,007755 0,008345 Double Exponential Smoothing Winter 0,010895 0,008850 Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 4, diketahui pada metode peramalan jumlah produksi daging sapi, metode peramalan terbaik yaitu metode ARIMA (1,1,1) karena memberikan nilai MSE terkecil. Peramalan tingkat produksi dengan metode lainnya memiliki nilai MSE yang melebihi nilai MSE metode ARIMA (1,1,1). Plot grafik metode ARIMA (1,1,1) pada peramalan jumlah produksi daging dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7 Grafik plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1) Time

Time Series Plot for Ln Produksi

(32)

Gambar 8 Residual plot peramalan produksi metode ARIMA (1,1,1)

Hasil pengujian model ARIMA menunjukkan model terbaik untuk peramalan jumlah produksi daging sapi lokal yaitu ARIMA (1,1,1), sedangkan model terbaik dalam meramalkan jumlah konsumsi yaitu Trend Quadratic dengan nilai MSE 0,006980. Metode peramalan ARIMA (0,1,1) ternyata bukan metode dengan nilai MSE terkecil, sehingga walaupun dalam pengujian diaknosa, metode ARIMA (0,1,1) merupakan metode terbaik dibandingkan metode ARIMA (1,1,1) dan ARIMA (1,1,0), dalam peramalan jumlah konsumsi digunakan metode trend Quadratic. Persamaan umum metode trend quadratic dalam peramalan jumlah konsumsi yaitu Yt = 12,2525 + 0,0381768*t - 0,0000421599*t**2. Grafik Plot Peramalan tingkat konsumsi dengan metode trend quadratic dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik plot peramalan konsumsi metode Trend Quadratic

Setelah mengetahui model terbaik, selanjutnya dilakukan peramalan untuk mengetahui tingkat produksi daging sapi lokal dan konsumsi daging sapi nasional. Peramalan dilakukan selama enam tahun yaitu tahun 2014-2019. Jumlah produksi lokal dan jumlah konsumsi daging sapi hasil peramalan dalam bentuk logaritma natural (ln) dapat dilihat pada Tabel 5.

Residual

Obser vation Or der

R

Normal Probabilit y Plot of t he Residuals Residuals Versus t he Fit t ed Values

Hist ogram of t he Residuals Residuals Versus t he Order of t he Dat a

Residual Plots for Ln Produksi

Tahun

Accuracy Measures MAPE 0,510439

Trend Analysis Plot for Ln Konsumsi

Quadratic Trend Model

(33)

Tabel 5 Hasil peramalan produksi dan konsumsi dalam bentuk logaritma natural Tahun Produksi Daging sapi Konsumsi Daging Sapi

2014 13,208706 13,395512

2015 13,220974 13,431033

2016 13,2407012 13,466469

2017 13,264528 13,501821

2018 13,290611 13,537089

2019 13,317934 13,572272

Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 5, dari hasil peramalan pada analisis yang dilakukan, diperoleh tingkat produksi daging sapi lokal dan konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2014-2019. Hasil peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma natural (ln), sehingga diperlukan perubahan kedalam bentuk eksponensial untuk mengetahui nilai peramalan yang sesungguhnya. Nilai peramalan jumlah produksi daging sapi lokal dan jumlah konsumsi daging sapi nasional yang sesungguhnya pada tahun 2014-2019 dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Jumlah produksi daging sapi lokal dan konsumsi hasil peramalan Tahun Jumlah Produksi

(ton)

Pertumbuhan (%)

Jumlah Konsumsi (ton)

Pertumbuhan (%)

2014 545.090 - 657.048 -

2015 551.818 1,23 680.806 3,62

2016 562.812 1,99 705.364 3,61

2017 576.383 2,41 730.746 3,60

2018 591.615 2,64 756.978 3,59

2019 608.002 2,77 784.084 3,58

Sumber: Data diolah

(34)

Analisis Kesenjangan Jumlah Produksi dan Konsumsi

Analisa gap atau kesenjangan dilakukan dengan cara menghitung perbedaan antara jumlah produksi daging sapi lokal dengan jumlah konsumsi daging sapi nasional. Analisa tersebut bertujuan untuk mengetahui kensenjangan antara produksi dan konsumsi, serta untuk mengetahui apakah terjadi defisit, surplus atau balance. Analisa ini juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh produksi daging sapi lokal mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Semakin tinggi gap atau kesenjangan serta defisit daging sapi di Indonesia, maka upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada daging sapi akan semakin sulit. Hal ini dikarenakan tingginya kesenjangan menunjukkan bahwa jumlah produksi daging sapi lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi. Hasil perhitungan analisis gap atau kesenjangan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis gap produksi dan konsumsi daging sapi

Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Kesenjangan (ton)

2014 545.090 657.048 -111.958

2015 551.818 680.806 -128.988

2016 562.812 705.364 -142.552

2017 576.383 730.746 -154.363

2018 591.615 756.978 -165.363

2019 608.002 784.084 -176.082

Sumber: Data diolah

Jumlah produksi daging sapi tahun 1984-2019 cenderung mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikan 3,58% setiap tahunnya. Jumlah konsumsi juga mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikan 5,02% setiap tahunnya. Perbedaan antara persentase pertumbuhan jumlah produksi dan jumlah konsumsi daging sapi berdampak pada tingginya kesenjangan ataupun defisit yang dialami Indonesia. Defisit daging sapi pada tahun 2014-2019 mengalami trend kenaikan. Jumlah defisit terbesar terjadi pada tahun 2019 dengan jumlah kesenjangan sebesar 176,082 ton.

(35)

Analisis Potensi Pencapaian Swasembada Daging Sapi

Pencapaian swasembada daging sapi merupakan target menteri pertanian dari beberapa tahun yang lalu. Tingginya jumlah konsumsi masyarakat terhadap daging sapi tidak dapat terpenuhi hanya dari produksi daging sapi lokal. Menteri Pertanian, khususnya Direktorat Jenderal Peternakan telah melakukan berbagai strategi dalam mendorong peningkatan jumlah produksi daging sapi. Proyeksi jumlah produksi dan jumlah konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2014-2019 dilakukan untuk mengetahui potensi tercapainya program swasembada daging sapi (PSDS).

Kesenjangan antara jumlah produksi dan jumlah konsumsi daging sapi di Indonesia akan dipenuhi oleh impor daging sapi. Semakin tingginya nilai impor tentu akan berpengaruh terhadap tercapainya PSDS. Meningkatnya impor daging sapi akan semakin menjauhkan dari target dalam pencapaian swasembada daging sapi. Jumlah peluang impor pada tahun 2014-2019 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah peluang impor daging sapi 2014-2019

Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Peluang impor Volume (ton) % 1

2014 545.090 657.048 111.958 17,04

2015 551.818 680.806 128.988 18,95

2016 562.812 705.364 142.552 20,21

2017 576.383 730.746 154.363 21,12

2018 591.615 756.978 165.363 21,85

2019 608.002 784.084 176.082 22,46

1) persentase terhadap jumlah konsumsi Sumber: Data diolah

Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat jika jumlah impor daging sapi mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jumlah konsumsi tahun 2014-2019 yang mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3,60% pertahun, belum dapat dipenuhi oleh jumlah produksi daging sapi lokal yang mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 2,21%. Jumlah impor tertinggi diperkirakan terjadi pada tahun 2019 dengan jumlah 176.082 ton daging sapi. Persentase jumlah impor tertinggi diperkirakan terjadi pada tahun 2019 dengan jumlah 22,46% dari jumlah konsumsi masyarakat.

(36)

hendak dicapai yaitu sebesar 10,4%. Sedangkan jumlah impor diharapkan mengalami penurunan setiap tahunnya hingga mencapai 10% dari jumlah konsumsi, akan tetapi pada tahun 2014 jumlah impor sebesar 17,04% dari jumlah konsumsi.

Tahun 2014, produksi daging sapi lokal baru mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sebesar 82,96% dan selebihnya yaitu 17,04% merupakan impor. Demikian juga untuk tahun-tahun selanjutnya, di mana jumlah produksi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat sehingga jumlah daging sapi impor masih tinggi. Berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan selama enam tahun yaitu tahun 2014-2019, diperkirakan Indonesia belum mampu untuk melakukan swasembada daging sapi jika tidak ada upaya maksimal dalam meningkatkan jumlah produksi daging sapi lokal.

Implikasi Manajerial

Penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa peramalan yang dilakukan terhadap produksi daging sapi lokal dan konsumsi daging sapi nasional, menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Berdasarkan hasil peramalan diketahui, dalam kurun waktu enam tahun (2014-2019), Indonesia mengalami defisit daging sapi.

Upaya pemerintah dalam pencapaian PSDS dilakukan dengan pemberlakuan kuota impor daging sapi. Pemberlakuan kuota impor berdampak pada peningkatan produksi daging sapi lokal, akan tetapi akan menghambat perkembangan populasi ternak sapi dalam jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin sedikitnya ternak sapi di wilayah sentra dengan ukuran 300 kg perekornya atau lebih. Sehingga impor daging sapi masih dibutuhkan dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akantetapi hal ini berpengaruh pada ketergantungan terhadap sapi impor dalam jangka panjang yang akan berakibat pada sulitnya pencapaian PSDS. Maka sebaiknya dilakukan kebijakan penurunan kuota impor secara bertahap, yang disesuaikan dengan jumlah populasi ternak sapi di Indonesia.

Kebijakan penurunan kuota impor secara bertahap harus juga diikuti dengan pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Pengembangan peternakan sapi dapat dilakukan dengan peningkatan teknologi berupa peningkatan inseminasi buatan ataupun pembibitan sapi unggul. Selain itu, penambahan betina produktif serta peraturan yang melarang pemotongan sapi betina produktif juga harus dilakukan. Salah satu penyebab penurunan populasi sapi di Indonesia diakibatkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Akibatnya, jumlah kelahiran sapi tidak sebanding dengan jumlah pemotongan. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif dapat meningkatkan jumlah populasi ternak sapi.

(37)

dilakukan, hal ini bertujuan agar program kerja yang telah dicanangkan dapat dilakukan dan berjalan dengan baik. Evaluasi juga perlu dilakukan, sehingga dapat dilakukan perbaikan secara terus menerus untuk menghasilkan program kerja yang lebih baik.

Pemotongan sapi hidup di Indonesia hanya dilakukan di RPH, sehingga peternak-peternak sapi menjual sapi dalam kondisi hidup ke RPH. Transportasi sapi dari peternak rakyat ke RPH perlu dilakukan perbaikan. Perbaikan transportasi ternak, dalam hal ini sapi hidup, dapat mengurangi resiko ternak cacat atau mati selama proses transportasi. Perbaikan infrastruktur transportasi ternak juga harus diikuti dengan penyuluhan terhadap peternak sapi. Hal ini bertujuan agar peternak dapat lebih memahami cara atau proses beternak yang baik sehingga dapat meningkatkan produksi daging sapi lokal pada akhirnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode yang digunakan dalam analisis proyeksi pada jumlah produksi adalah model ARIMA (1,1,1). Hasil peramalan menunjukkan jumlah produksi mengalami kenaikan 2,21% pertahun. Kenaikan jumlah produksi mungkin terjadi karena adanya strategi yang tengah dilakukan oleh Deptan dalam upaya meningkatkan jumlah produksi daging sapi lokal.

Metode yang digunakan dalam analisis peramalan pada jumlah konsumsi daging sapi yaitu metode Trend Quadratic. Hasil peramalan yang dilakukan pada tahun 2014-2019 pada jumlah produksi mengalami kenaikan dengan rata-rata 3,60% pertahun. Kenaikan jumlah konsumsi mungkin disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.

Analisis kesenjangan yang terjadi antara jumlah produksi dan jumlah konsumsi menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami defisit daging sapi. Indonesia belum mampu untuk melakukan swasembada daging sapi pada tahun 2014-2019 dikarenakan jumlah produksi daging sapi lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional.

Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan sebagai bahan pertimbangan baik bagi pemerintah ataupun bagi penelitian selanjutnya yaitu:

1. Pemerintah perlu melakukan kontrol rencana strategi dalam upaya pencapaian program swasembada daging sapi, terlebih dalam peningkatan jumlah produksi daging sapi lokal dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi. Kontrol rencana strategis dilakukan dan diikuti dengan evaluasi dengan tujuan dapat dilakukannya perbaikan secara berkelanjutan untuk mencapai program kerja yang lebih efektif.

(38)

proyeksi. Proyeksi dengan penambahan faktor ekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan metode ekonometrika. Selain itu, dapat juga dengan melakukan analisis strategi dalam peningkatan jumlah produksi daging sapi lokal dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi. Analisis strategi dapat dilakukan dengan menggunakan metode SWOT atau dengan menggunakan metode AHP (Analytic Hierarchy Process).

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang LR. 2009. Peramalan Bisnis Edisi kedua. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta(ID): Direktorat Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional .

[DITJENNAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Livestock and Animal Health Statistics 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.

Hanke JE, Dean WW, Arthur GR. 2003. Manajemen Bisnis Edisi Ketujuh. Jakarta (ID): Prenhallindo.

Herjanto E. 2010. Manajemen Operasi. Jakarta (ID) : Grasindo

Hernanda N. 2011. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 19 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

[KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2013. Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kementerian Pertanian 2014. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

Kusriatmi. 2014. Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi Terhadap Kinerja Ekonomi Subsektor Peternakan di Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Maretha D. 2008. Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Priyanti A, Mahendri I, Kusnadi U. 2012. Dinamika Produksi Daging Sapi di Wilayah Sentra Usaha Sapi Potong di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

[PSEKP] Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2011. Outlook Pertanian 2010-2025. Jakarta (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian.

(39)

Putra RA. 2011. Strategi Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas.

Santoso S. 2009. Business Forecasting: Metode Peramalan Bisnis Masa Kini dengan Minitab dan SPSS. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.

Soedjana TD. 2011. Peningkatan Konsumsi Daging Ruminansia Kecil dalam Rangka Diversifikasi Pangan Daging Mendukung PSDSK 2014. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Peternakan.

Sugiarto dan Harjono. 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta (ID):Gramedia Pustaka Utama.

(40)
(41)
(42)
(43)

Lampiran 1 Nilai ln konsumsi dan produksi daging sapi lokal tahun 1984-2013

Lampiran 2 Grafik plot data ln produksi dan ln konsumsi

Tahun

(44)

Lampiran 3 Uji ACF dan PACF data ln produksi pada First Difference

Lampiran 4 Uji ACF dan PACF data ln konsumsi pada First Difference

Lag

Autocor r elation Function for D Pr oduksi

( w ith 5% significance limits for the autocor r elations)

Lag

Par tial Autocor r elation Function for D Pr oduksi

( w ith 5% significance limits for the par tial autocor r elations)

Lag

Autocor r elation Function for D Konsumsi

( w ith 5% significance limits for the autocor r elations)

Lag

Par tial Autocor r elation Function for D Konsumsi

(45)

Lampiran 5 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi daging sapi ARIMA (1,1,1)

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P AR 1 0,5499 0,1879 2,93 0,007 MA 1 1,0621 0,1650 6,44 0,000 Constant 0,012980 0,002053 6,32 0,000

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 30, after differencing 29 Residuals: SS = 0,172981 (backforecasts excluded)

MS = 0,006653 DF = 26

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48 Chi-Square 5,6 10,3 * * DF 9 21 * * P-Value 0,784 0,974 * *

Lampiran 6 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1)

Lag

ACF of Residuals for Ln Pr oduksi

( w ith 5% significance limits for the autocor r elations)

Lag

PACF of Residuals for Ln Pr oduksi

(46)

Lampiran 7 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi daging sapi ARIMA (0,1,1)

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P AR 1 -0,3828 0,1783 -2,15 0,041 Constant 0,05112 0,01747 2,93 0,007

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 30, after differencing 29 Residuals: SS = 0,238893 (backforecasts excluded)

MS = 0,008848 DF = 27

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48 Chi-Square 7,3 11,0 * * DF 10 22 * * P-Value 0,693 0,974 * *

Lampiran 8 Uji Residual ACF dan Residual PACF pada ARIMA (1,1,1)

Lag

ACF of Residuals for Ln Konsumsi

( w ith 5% significance limits for the autocor r elations)

Lag

PACF of Residuals for Ln Konsumsi

(47)

Lampiran 9 Hasil peramalan konsumsi terpilih metode Trend Quadratic Data Ln Konsumsi

Length 30 NMissing 0

Fitted Trend Equation

Yt = 12,2525 + 0,0381768*t - 0,0000421599*t**2

Accuracy Measures

MAPE 0,510439 MAD 0,065709 MSD 0,006980

Forecasts

Period Forecast 31 13,3955 32 13,4310 33 13,4665 34 13,5018 35 13,5371 36 13,5723

Lampiran 10 Persamaan umum peramalan jumlah produksi metode Trend

Metode Time Series Persamaan Umum Trend Linier Yt = 12,3268 + 0,0253014*t

Trend Quadratic Yt = 12,3295 + 0,0247934*t + 0,0000163873*t**2 Trend Exponential growth Yt = 12,3307 * (1,00199**t)

Trend S-Curve Yt = (10**2) / (6,99316 + 1,13869*(0,982147**t))

Lampiran 11 Persamaan umum peramalan jumlah konsumsi metode Trend

Metode Time Series Persamaan Umum Trend Linier Yt = 12,2595 + 0,0368699*t

Trend Quadratic Yt = 12,2525 + 0,0381768*t -0,0000421599*t**2 Trend Exponential growth Yt = 12,2677 * (1,00288**t)

(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Huta Gugung, Sidikalang, Sumatera Utara pada tanggal 28 September 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Ayah Ojak Sinaga dan Ibu Nurpina Sihaloho. Penulis mengikuti sekolah dasar di SD Negeri 030281 Sidikalang pada tahun 1997-2003. Pendidikan tingkat menengah diselesaikan oleh penulis pada tahun 2006 di SMP Negeri 1 Sidikalang. Pendidikan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2009 di SMA Negeri 1 Sidikalang. Tahun 2009, penulis diterima di Program Diploma Jurusan Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan diselesaikan pada tahun 2012. Tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

Gambar

Gambar 1 Jumlah produksi peternakan tahun 2009-2013 (000 ton)
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3 Pola produksi daging sapi
Gambar 4 Pola konsumsi daging sapi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga kita senantiasa berada dalam bimbingan dan lindungan Allah SWT, sekali lagi saya ucapkan selamat dan terima

Nah, selain pemilihan dan takaran bumbu yang tepat ternyata ada rahasia lain kenapa nasi goreng di warung lebih enak dibanding nasi goreng yang kita buat.. Royco akan

Adapun variabel yang lebih dominan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro di kota Jambi tahun 1993 sampai 2010 adalah upah ril dibandingkan

Puji Lestari, S.Pd, selaku guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SMK Negeri 1 Bawang yang telah membantu peneliti dalam melakukan penelitian..

1) Perubahan terjadi secara sadar, ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang- kurangnya ia merasakan telah

Metode pitfall traps lebih banyak menangkap ordo Hyme- noptera, Ordo Hymenoptera yang dominan adalah jenis semut (Formicidae) baik semut hitam ( Myrmica sp.)

Hasil penelitian yang dilakukan pada AKSESPlus adalah, (a) model pengukuran kinerja AKSESPlus dengan Balanced Scorecard, dengan detail sebagai berikut: strategy map,

Berdasarkan banyaknya kasus bolos pada jam pelajaran maka penyusun ingin mengajukan sebuah sistem baru yang mudah diterapkan yaitu si santos (sistem sepatu anti