• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio Molitor) Di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio Molitor) Di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI USAHA PETERNAKAN ULAT TEPUNG

(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN

CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR

ADI GUNA WIRATA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulEvaluasi Usaha Peternakan Ulat tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Adi Guna Wirata

(4)

ABSTRAK

ADI GUNA WIRATA. Evaluasi Usaha Peternakan Ulat tepung (Tenebrio

molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Dibimbing

oleh YUNI CAHYA ENDRAWATI dan HOTNIDA C.H SIREGAR.

Budidayaulat hongkong atau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat prospektif, namun keberhasilannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi peternakan ulat tepung yang gagal di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.Penelitian dilakukan dari September sampai November 2014.Data mencakup faktor internal dan eksternal yang digunakan untuk analisisIFE-EFE.Posisi peternakan diidentifikasi dengan analisis IE.Strategi yang tepat untuk usaha diformulasi melalui analisis SWOT.

Hasil evaluasimenunjukkan bahwa faktor kegagalan usaha disebabkan oleh faktor kelemahan, terutama modal dan manajemen budidaya.Usaha sebelum gagal berada pada posisi tumbuh dan membangun (kuadran II).Strategi yang disarankan adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual, memperluas jangkauan pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan kemampuan negosiasi, mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis usaha dan mengembangkan produk ikutan ulat tepung

Kata kunci: analisis IE, analisis IFE-EFE, analisis SWOT, ulat tepung ABSTRACT

ADI GUNA WIRATA. Evaluation of Mealworm Farm Business InCisalada Village, Cigombong Sub-district, Bogor. Supervised by YUNI CAHYA ENDRAWATI and HOTNIDA C.H SIREGAR.

Mealworm (Tenebrio molitor) breeding is a promising business, butthe success of this business still affected by internal and external factors. The purpose of this research was to evaluate a failure mealworm business in Cisalada village, Cigombong sub-district, Bogor. The research was conducted from Septemberto November 2014. Data include were internal and external factors for IFE-EFE analysis. IE analysiswas used to identify business position while SWOT analysisformulated alternative strategies for this business.

The failure caused by business weakness, especially in lack of capital and rearing management. Before the failure, this business was in growth and build position(quadrant II). Suggested strategies were to maintain mealworm quality and marketability, market improve, strengthen the group, negotiation skills improve, build partnership, technical efficiency improve, and develop mealworm byproduct.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

EVALUASI USAHA PETERNAKAN ULAT TEPUNG

(Tenebrio molitor) DI DESA CISALADA, KECAMATAN

CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR

ADI GUNA WIRATA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala

karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Evaluasi Usaha Peternakan Ulat Tepung (Tenebrio molitor) di Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada Ir Hotnida C. H Siregar, MSi selaku dosen pembimbing kedua, Yuni Cahya Endrawati, SPt MSi selaku dosen pembimbing pertamadan Ir Sri Rahayu MSi selaku dosen penguji.Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Bapak Wagiman, Bapak Dadang Rahmat, dan Bapak Mulyadi atas kerjasamanya sebagai responden.Ucapan terima kasih pada kedua orang tua Penulis yaitu Wir Tanius dan Rahfimasari atas doa serta dukungan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada keluarga besar IPTP 47, yang senantiasa berbagi ilmu dan semangat selama kegiatan perkuliahan di Fakultas Peternakan, khususnya kepada Gesta, Alul, Hengki, Alja, dan Sahid. Ucapan terima kasih tak lupaditujukan kepada Catur Dewi, Azel, Budi, dan teman-teman dari kontrakan D 37.

Bogor, April 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan 2

Ruang Lingkup Penelitian 2 

METODE 2 

Waktu dan Tempat Penelitian 2 

Materi 2 

Prosedur 2 

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 

Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong 6  Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor

Evaluation) 7 

Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal) 12 

Analisis Matrik SWOT 13 

SIMPULAN DAN SARAN 17 

DAFTAR PUSTAKA 18 

LAMPIRAN 20 

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Contohmatrik IFE-EFE 3 

2 Contohmatrik IE 5

3 Contohmatrik SWOT 6

4 Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong 12

5 Matrik SWOT 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rak kandang dan kotak ulat tepung 20 

2 Kotak ulat tepung 20

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ulat tepung (Tenebrio molitor) termasuk dalam kategori pakan premium (Haryanto 2013) yang mengandung protein tinggiyaitu sekitar 48% (Aguilar et al. 2002) dan sangat potensial dalam ekstraksi protein (Gibson 2009). Budidayaulat hongkongatau ulat tepung (Tenebrio molitor) sangat prospektif karena hanya membutuhkan modal kecil, tidak membutuhkan lahan yang luas, dapat menghasilkan keuntungan berlipat, dan peluang pasar yang bagus (Haryanto 2013). Serangga ini biasa digunakan sebagai pakan ikan, burung, hewan amfibi, reptil, kura-kura, dan mamalia-mamalia kecil seperti landak (Ghaly 2009). Ulat tepung dapat berkembang biak dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat yaitu 275 telur dalam 22 sampai 137 hari (Oonincx 2010).Produktifitas ulat tepung lebih dipengaruhi oleh kondisi dalam ruang pemeliharaan daripada lingungan luar, sehingga budidaya dapat dilakukan sepanjang tahun.Kelebihan yang telah diuraikan tersebut tidak mutlak menjamin keberhasilan peternakan, karena faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi jalannya sebuah usaha (David 2006).

Faktor yang dapat dikendalikan oleh usaha adalah faktor internal, sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan namun dapat diantisipasi tergolong dalam faktor eksternal (David 2006).Semua bentuk usaha harus tanggapterhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar lingkungan sehingga dapat mengantisipasi dan melakukan penyesuaian.Perkembangan teknologi, kondisi sosial dan ekonomi, kualitas pegawai, kondisi pasar, dan manajemen usahamerupakan sebagian faktor-faktor yang perlu diantisipasi (Damayanti 2013).Menurut David (2006), faktor internal dan eksternal yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kerugian bahkan kegagalan, seperti yang dialami oleh peternakanulat tepung di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.

Peternakan ulat tepungCigombong dimulai pada tahun 2011 yang dijalankan oleh sebuah kelompok peternak yang menurut survey pasar merupakan produsen utama di wilayah Bogor.Pada tahun 2014 peternakan ulat tepung Cigombong harusterhenti karena berbagai faktor yang terjadi pada usaha peternakan tersebut.Kelompok peternak yang sebelumnya beranggotakan 20 orang sekarang hanya menyisakan 1 orang yang masih menjalankan usaha tersebut.Evaluasi untuk mengetahui penyebab kegagalan usaha tersebut, sehingga dapat disusun strategi yang dapat dijadikan acuan untuk melanjutkan dan memperbaiki usaha kembali.

(12)

2

Ketiga analisis tersebut dapat diterapkan pada kelompok ternak ulat tepung Cigombong.Usaha ini telah berhenti, namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat bangkit dan memulai kembali (Damayanti 2013).Hasil analisis IFE-EFE, IE, dan SWOT diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kelompok sebagai acuan untuk memulai usaha kembali.Selain itu, hasil studi ini juga dapat dimanfaatkan oleh peternak ulat tepung lainnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal usaha, mengetahui posisi usaha ternak ulat tepung Cigombong sebelum kegagalan, dan menyusun strategi yang dapat digunakan serta mengevaluasi faktor penyebab kegagalan usaha tersebut.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalahmengevaluasi peternakan ulat tepung di Kecamatan Cigombong dengan analisis IFE-EFE, IE, dan SWOT serta memberikan solusi untuk mengatasi masalah dalam peternakan tersebut.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Cisalada Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor Jawa Barat.Penelitian berlangsung dari September sampai November 2014.

Materi

Responden dalam penelitian ini adalah ketua kelompok usaha peternakan Cigombong dan 2orang anggota kelompoknya.Materi yang digunakan meliputi kuisoner, kamera untuk dokumentasi, dan alat tulis.

Prosedur

Pemilihan Responden

(13)

3

Jenis dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dengan cara observasi, wawancara dengan menggunakan kuisoner, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Afrillita 2013). Data sekunder diperoleh dari penelusuran studi pustaka, data dari BMG, dan sumber lain yang valid, yang berhubungan dengan penulisan proposal ini.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis IFE-EFE, IE, SWOT, dan deskriptif, kemudian data tersebutdisajikan dalam bentuk uraian dan tabulasi angka berdasarkan hasil wawancara maupun data sekunder.

Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (Eksternal Factor Evaluation)

Matrik diisi berdasarkan informasi yang diperoleh dari 3responden.Berdasarkan informasi tersebut, diperoleh nilai rating, bobot, dan skor.Nilai ratingdiperoleh dari seberapa besar pengaruh suatu faktor terhadap keberhasilan usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong. Nilai bobot diperolehdari tingkat kepentingan relatif dari faktor-faktor yang dimiliki usaha kelompok ternak tersebut.

Nilai skor merupakan hasil perkalian dari nilai rating dengan bobot.Nilai skor yang ada di faktor internal dan eksternal masing-masing akan dijumlahkan sehingga diperoleh total skor IFE dan total skor EFE (David 2006).Contoh matrik IFE-EFE dapat dilihat di Gambar 1.

(14)

4

Analisis faktor internal berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan usaha kelompok ternak ulat hongkong Cigombong.David (2006) menyatakan bahwa alat perumusan strategi ini mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam berbagai bidang fungsional suatu usaha.Analisis faktor eksternal berkaitan dengan peluang dan ancaman dari usaha kelompok ternak tersebut.Analisis faktor eksternal meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, demografi, lingkungan, teknologi dan persaingan.

Nilai rating faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamanberasal dari rata-rata hasil wawancara yang diperoleh dari ketiga responden.Faktor kekuatan berskala antara 3.00-4.00, sedangkan faktor kelemahan berskala antara 1.00-2.00.Nilai rating faktor peluang dan ancaman berskala antara 1.00-4.00.Nilai rating digunakan untuk mendapatkan nilai skor (David 2006).

Nilai bobot faktor kekuatan,kelemahan, ancaman, dan peluang berasal dari jumlah nilai bobot masing-masingfaktordari ketiga responden dibagi dengan jumlah keseluruhan nilai bobot faktor yang diperoleh.Penjumlahan nilai bobot dari faktor internal dengan faktor eksternal dipisah.Hasil penjumlahan bobot baik dari faktor internal maupun faktor eksternal dapat dipastikan adalah 1.00.

Kolom skor diisi dengan mengalikan nilai rating dengan nilai bobot dari setiap faktor yang ada.Nilai skor yang diperoleh baik pada faktor internal dan faktor eksternal masing-masing akandijumlahkan, sehingga diperoleh nilai total skor IFE dan nilai total skor EFE. Nilai total skor IFEdan IFE berkisar antara 1.00 sebagai titik terendah dan 4.00 sebagai titik tertinggi. Skor total IFE di bawah 2.50 berarti usaha lemah secara internal sedangkan skor di atas 2.50 berarti posisi internal kuat.Skor total EFE di bawah 2.50 mengindikasikan bahwa suatu usaha kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada atau menghindari ancaman yang muncul.Skor total EFE di atas 2.50 menandakan bahwa usaha mampu menarik keuntungan dari peluang yang ada dan meminimalkan ancaman (David 2006). Analisis Matrik IE (Internal External Matrix)

Matrik IE merupakan hasil penggabungan antara matrik EFE dan matrik IFE.Matrik IE didasarkan pada total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu-x dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu-y.Berdasarkan total nilai yang dibobot dari setiap divisi, dapat disusun Matrik IE.Sumbu-x Matrik IE, yaitu total nilai IFE dibobot dari 1.00 sampai 1.99 menunjukkan posisi internal yang lemah, nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai 4.00 dianggap kuat, sedangkan pada sumbu-y total nilai EFE yang diberi bobot dari 1.00 sampai 1.99 dianggap rendah, nilai 2.00 sampai 2.99 dianggap sedang, dan nilai 3.00 sampai 4.00 dianggap tinggi.

(15)

5

Gambar 2 Contoh tabel matrik IE Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan suatu usaha atau perusahaan.Menurut Rangkuty (2006), hal-hal yang ditentukan dalam analisis SWOT adalah kekuatan (strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness), dan ancaman (threats). Setelah keempat faktor tersebut ditentukan, maka hasilnya dicantumkan ke dalam sel yang ada di diagram matrik SWOT.Sel kekuatan (strength) diisi dengan kekuatan usaha kelompok ternak ulat tepung.Sel peluang (opportunity) diisi dengan hal-hal yang dapat menjadi peluang bagi usaha ternak ulat tepung.Sel kelemahan (weakness) diisi dengan hal-hal yang menjadi kelemahan usaha ulat tepung.Sel ancaman (threat) diisi dengan hal-hal yang dapat menjadi ancaman bagi usaha ternak ulat tepung.

Kemungkinan alternatif strategi usaha ternak ulat tepungdirumuskan berdasarkan pertimbangan kombinasi empat peluang faktor strategi yang terdiri dari strategi SO, ST, WO, dan WT.Strategi SO (Strength-Opportunity) dibuat berdasarkan satu jalan pikiran, dimana seluruh kekuatan ternak ulat tepung digunakan agar peluang usaha dapat ditingkatkan (Santosa 2013).Strategi ST (Strength-Threat) dimana ancaman usaha dihindari dengan cara kekuatan usaha digunakan. Strategi WO (Weakness-Opportunity) dibuat dengan cara peluang yang ada dimanfaatkan agar kelemahan usaha dapat diatasi. Strategi WT (Weakness-Threat) didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan agar kelemahan yang ada dapat diminimalisir serta ancaman dapat dihindari.

(16)

6

Gambar 3 Contoh matrik SWOT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kelompok Peternak Ulat Tepung Cigombong

Peternakan ulat tepung yang diamati berada di Desa Cisalada Kecamatan Cigombong.Kecamatan Cigombong berada 600m dari permukaan laut,terletak di bagian selatan Bogor, dan termasuk daerah beriklim sangat basah.Data dari BMG tahun 2013 menyebutkan bahwa daerah ini bercurah hujan sekitar 3000 sampai 5000 mm tahun-1 dengan rata-rata 3 500 mm tahun-1.Bulan basah terjadi dari Oktober sampai Juni.Jumlah hari hujan rata-rata tahunan adalah 245 hari.Suhu udara daerah ini berkisar antara 21.8 sampai 30.04oC dengan rata-rata suhu tahun-1 25.7oC.Kelembaban daerah ini berkisar 65% sampai 96%.

Peternakan ulat tepung Cigombong dimulai sekitar Oktober 2011.Peternak mempelajari budidaya ulat tepung secara otodidak dan memulai usahanya dari 0.25 kg bibit yang dibeli dari sebuah toko pakan burung di Ciawi.Pembibitan terus dilakukan dan pada masa panen satu kilogram bibit mampu menghasilkan 15 kg ulat tepung siap jual.Produktivitas ini belum optimal, karena menurut Haryanto (2013) satu kilogram ulat hongkong dapat menghasilkan 33.1 kg ulat siap jual.

(17)

7 Permintaan pasar ternyata melebihi kapasitas produksi peternak, sehingga peternak membentuk kelompok untuk dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.Pada Desember 2011 dibentuk kelompok peternak ulat tepung Cigombong yang beranggota 20 orang dari masyarakat sekitar Cigombong.Peternak awal bertindak sebagai ketua kelompok.Anggota kelompok bergabung ke dalam kelompok atas inisiatif sendiri.

Anggota kelompok hanya mengurus tentang budidaya, sedangkan pembibitan dilakukan oleh ketua kelompok.Anggota hanya boleh menjual hasil produksi berupa larva berukuran sekitar 2.5 cm kepada ketua kelompok. Anggota kelompok memproduksi ulat tepung yang kemudian dijual seharga Rp30 000 kg-1 pada ketua kelompok.Anggota hanya boleh membeli bibit dan media dari ketua kelompok saja.Harga bibit (larva berumur 15 hari) Rp30000 kg-1 dan media Rp4 000 kg-1.Ketua berperan sebagai penyedia bibit dan pengumpul, sedangkan anggota berperan sebagai produsen larva siap jualdalam pola kerjasama.

Kelompok ini mampu memproduksi 600 kgulat tepung minggu-1.Hasil produksi dipasarkan ke daerah Bogor dan sekitarnya.Kelompok ini bahkan pernah memasarkan ke Jakarta ketika panen mencapai 1 ton.Prospek usaha budidaya ulat tepung sangat baik, terbukti dari permintaan pasar yang belum dapat dipenuhi oleh kelompok.

Ketua kelompok sendiri hingga Oktober 2013 telah mencapai kapasitas budidaya 5 rak kandang yang mampu menampung 1 000 kotak pemeliharaan yang menghasilkan 250 kg ulat tepung siap jual minggu-1. Ulat tepung yang dihasilkan dipasarkan ke toko pakan burung di daerah Ciawi, Cicurug, dan Ciampea. Ulat tepung dijual dengan harga Rp40 000 kg-1 sehingga peternak memperoleh pendapatan mingguan sekitar 10 juta rupiah atau 40 juta rupiah bulan-1. Peternak dibantu oleh 3 orang pegawai yang masing – masing diberi upah 1.5 juta rupiah bulan-1 dalam proses produksi.

Prospek usaha ulat tepung yang tinggi, ternyata tidak menjamin kelangsungan kelompok ini. BulanNovember 2013, tingkat kematian larva di kelompok ternak Cigombong sangat tinggi.Menurut ketua kelompok peternak, itu adalah awal dari kemunduran usaha mereka.Suhu yang rendah karena hujan terus-menerus membuat ulat tepung tidak mampu bertahan, sehingga banyak yang mati.Akhirnya, pada Februari 2014 kelompok peternak ulat tepung Cigombong mengalami kegagalan dan usaha kelompok tidak dilanjutkan lagi.

Analisis Matrik IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation)

(18)

8

Kualitas ulat tepung yang dihasilkan kelompok terjamin (kekuatan 1) dapat dilihat dari penampilan ulat tepung yang berwarna lebih terang, berukuran lebih besar (dibanding hasil peternak lain pada umur yang sama), dan lebih lincah (Haryanto 2013). Penjualan ke pasar mudah (kekuatan 2) karena kelompok ini tidak memiliki saingan di daerah Bogor.Sebelum kelompok ini dibentuk, toko pakan burung memperoleh ulat tepung dari Bandung.Kemudahan penjualan ke pasar juga disebabkan lokasi usaha yang tidak jauh dari lokasi pemasaran (kekuatan 5).Kontinuitas produksi (kekuatan 3) menjadi kekuatan utama karena kelompok mampu memenuhipermintaan secara konsisten (Asba 2006).Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban daerah Cigombong naik dan suhunya rendah (Setiawan 2011)sehingga dapat menurunkan produktivitas ulat tepung, namun karena usaha ini berbentuk kelompok (kekuatan 8), permintaan pasar tetap dapat dipenuhi.Komunikasi yang intensif dalam anggota kelompok (kekuatan 4) menimbulkan pertukaran informasi baik mengenai tehnik budidaya yang baik dan solusi terhadap suatu masalah budidaya. Pertukaran informasi ini selain menambah pengetahuan anggota kelompok juga menjadikan kelompok lebih kuat(Gusliza 2013).

Kekuatan usaha adalah hal-hal yang menjadikan suatu usaha unggul daripada pesaing atau usaha lainnya.Kelemahan usaha adalah sesuatu yang dapat menurunkan nilai suatu usaha sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti kerugian (Rangkuty 2006).

Kelemahan utama kelompok ini di antaranya adalah terkendala di pengiriman jarak jauh (skor 0.035),harga tergantung pasar (skor 0.045),dan inbreeding (skor 0.045).Semakin rendah nilai skor suatu faktor kelemahan, maka semakin penting dan besar pengaruh faktor tersebut terhadap kegagalan (David 2006).

Pengiriman jarak jauh(kelemahan 1) menjadi kelemahan utama karena peternak berencana melakukan ekspansi pemasaran keluar provinsi setelah memenuhi permintaan pasar Bogor.Pengiriman jarak jauh memerlukan penanganan khusus karena ulat tepung mudah stress dan mati karena sensitif terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Favero 2013). Peternak belum menemukan bentuk pengemasan yang aman agar tingkat kematian saat pengiriman rendah.Harga ditentukan oleh pasar (kelemahan 2) biasanya mengindikasikan bahwa toko pakan memiliki pemasok ulat tepung lainnya (Daljono 2005).Pernyataan ini bertentangan dengan faktor kekuatan nomor 2, yaitu penjualan ke pasar mudah yang mengindikasikan suplai lebih rendah dari permintaan.Kedua faktor yang bertentangan ini menunjukkan bahwa posisi peternak yang lemah dalam penentuan harga.Posisi penentuan harga dapat ditentukan oleh kemampuan bernegosiasi (Evelina 2013).

(19)

9 ternak ulat hongkong kelompok ini (kelemahan 7). SOP sangat dibutuhkan dalam manajemen usaha yang baik (Handoko 2013), terutama apabila SDM belum berpengalaman (kelemahan 12). Produktivitas yang rendah (kelemahan 5) terjadikarena cuaca daerah Cigombong yang tidak mendukung.Cuaca daerah Cigombong yang dingin dan lembab mengakibatkan siklus hidup ulat tepung bertambah panjang bahkan mortalitas tinggi (Borror et al. 1982).

Total skor bobot yang diperoleh dari matrik IFE sebesar 2.407menunjukkan bahwa kondisi kelompok lemah secara internal (David 2006).Hal ini mengindikasikan bahwa kelemahan yang dimiliki belum dapat diatasi oleh kekuatan.Hasil analisis matrik IFE dan EFE dipaparkan di dalam Tabel 1.

Tabel 1 Analisis matrik IFE-EFE

No. Faktor Rating Bobot Skor 3 Kontinuitas produksi 4.00 0.050 0.199 4 Komunikasi yang intensif di

antara anggota kelompok

4.00 0.050 0.199

5 Lokasi tempat dilakukannya usaha strategis untuk penjualan

3.30 0.060 0.197

6 Modal untuk memulai usaha ini cukup murah

3.63 0.050 0.181

7 Harga produk bersaing 3.63 0.050 0.181 8 Memiliki kelompok peternak 4.00 0.040 0.159 9 Adanya pembukuan atau

pencatatan laporan keuangan

3.00 0.035 0.104

A.2 Kelemahan

1 Terkendala dalam pengiriman jarak jauh

1.00 0.035 0.035

2 Harga tergantung pasar 1.00 0.045 0.045

3 Inbreeding 1.00 0.045 0.045

4 Modal peternak terbatas 1.00 0.050 0.050 5 Produktivitas rendah 1.00 0.050 0.050 6 Tidak menjual produk ulat

tepung lainnya, hanya ulat tepung saja

1.58 0.035 0.055

7 Tidak ada SOP 1.58 0.035 0.055

8 Lahan bukan milik sendiri 1.00 0.060 0.060 9 Lokasi kurang strategis untuk

budidaya

1.25 0.055 0.068

(20)

10

dari satu agen saja

11 Pegawai belum berpengalaman 2.00 0.045 0.090 12 Promosi masih minim 2.00 0.050 0.100 2 Banyaknya permintaan dari

pasar

3.63 0.083 0.303 3 Skala usaha masih dapat

dikembangkan

2.88 0.076 0.218 4 Paradigma ulat tepung sebagai

pakan berprotein tinggi

2.28 0.061 0.138 5 Pengembangan variasi produk

(media, frass)

1.81 0.076 0.137 6 Pelaku usaha masihsedikit 2.28 0.053 0.121 7 Perkembangan dalam bidang

teknologi informasi

1.58 0.045 0.072

B.2 Ancaman

1 Curah hujan tinggi di daerah Cigombong yang berdampak buruk pada ulat tepung

4.00 0.091 0.364

5 Saingan peternak ulat tepung dari luar daerah

2.88 0.068 0.196 6 Persaingan untuk memperoleh

pakan dengan petani

2.88 0.061 0.174 7 Semakin banyaknya pakan

komersil burung

2.28 0.061 0.138

Jumlah 1 3.048

Faktor eksternal di usaha kelompok ini terdiri atas 7 faktor peluang dan 7 faktor ancaman. Menurut Wibowo (2009), analisis eksternal mencakup peluang dan ancaman dari suatu usaha.Peluang usaha bisa diperoleh dengan cara mengandalkan suatu potensi usaha seperti waktu dan kondisi yang ada. Ancaman usaha merupakan pengganggu utama bagi posisi perusahaan atau hal - hal yang ingin dihindari oleh perusahaan.

(21)

11 usaha tidak akan berjalan dengan baik apabila ditentang oleh masyarakat. Masyarakat kecamatan Cigombong menunjukkan respon positif terhadap usaha ternak ulat tepung dengan bergabung dalamkelompok ternak ulat tepung.Menurut ketua kelompok ternak, permintaan ulat tepung yang tinggi dari pasar (peluang 2) dan pelaku usaha yang masih sedikit (peluang 6) menjadi daya tarikterhadap masyarakat untuk berkecimpung dalam usaha ternak ini.Bertambahnya jumlah peternak berpeluang untuk meningkatkan popularitas ulat tepung di masyarakat, yang mana hal ini dapat menjadi promosi (peluang 7) dan membuka peluang untukmemperbesar skala usaha (peluang 3).

Ancaman utama padakelompokini adalah curah hujan yang tinggi (skor 0.364) dan mengakibatkan usaha ini terhenti pada Februari 2014.Data BMG menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan daerah Cigombong dari November 2013 sampai Januari 2014 tinggi, yaitu 400 mm. Curah hujan rata-rata tahun 2013 sendiri sangat tinggi yaitu 3481 mm, dibandingkan tahun 2011 dan 2012 yang lebih rendah yaitu 2327 mm dan 2702 mm atau 195 mm bulan -1 dan 225 mm bulan-1. Curah hujan yang tinggi dari November2013 sampai Januari 2014 membuat suhu udara di daerah Cigombong menjadi rendah (< 25 oC), sehingga memperlambat pertumbuhan ulat tepung, bahkan mematikannya (Lang 2009). Menurut Borror et al. (1982), ulat tepung mampu bertahan hidup pada rentang suhu 25 sampai 27 oC dengan suhu optimal untuk pertumbuhan 26 oC. Kelompok peternak berusaha mengatasi hal ini dengan menutup rak kandang ulat tepung menggunakan plastik, denganharapan dapat meningkatkan suhu kandang, namuncara tersebut tidak berhasil. Bahkan, populasi ulat tepung di beberapa anggota lebih dulu habis daripada populasi milik ketua kelompok.Keadaan suhu ruang yang rendah dapat diatasi dengan memasang lampu-lampu penghangat agar kondisi kandang tetap ideal bagi ulat tepung (Haryanto 2013).

Faktor ancaman selanjutnya adalah serangan hama (skor 0.364). Hama yang menyerang peternakan ulat tepung adalah semut, tikus, dan cicak.Namun, dalam penelitian ini hama yang paling sulit diatasi adalah ulat kandang. Ulat kandang dapat menjadi lebih dominan karena kondisi suhu dan kelembaban lebih mendukung pertumbuhan ulat kandang dibandingkan ulat tepung.Ulat kandang mampu bertahan hidup pada rentang suhu 20 sampai 38oC (Rueda dan Axtell 1996) dan pada kelembaban 0-100% (Salin 1998),sementara menurut Borror (1982) ulat tepung hanya mampu berkembangbiak secara optimal antara suhu 25 sampai 27oC dan pada kelembaban 20-90%. Suhu melebihi atau kurang dari rentang tersebut akan mengakibatkan aktivitas biologis ulat tepung melambat, sehingga ulat kandangpada kondisi ini memenangkan persaingan perolehan makanan dengan ulat tepung.Hal ini membuat produktivitas ulat tepung menurun. Ulat kandang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah keuntungan, karena biasa digunakan untuk pakan ikan dan burung samaseperti halnya ulat tepung (Salin 1998).

(22)

12

Ancaman utama ketigapada usaha ternak ini adalah kenaikan harga media (skor 0.303).Harga media dedak gandum yang digunakan para peternak ulat tepung Cigombong naik dua kali lipat dari Rp2 000 menjadi Rp4 000kg-1.Menurut ketua kelompok, hal ini sangat memberatkan mereka dan membuat biaya produksi menjadi semakin mahal, sementara perubahan harga ulat tepung ditentukan oleh ketersediannya di pasar (ancaman 4).

Total skor bobot yang diperoleh dari matrik EFE sebesar 3.048menunjukkan bahwa kondisi usaha kelompok ternak ulat tepung Cigombong kuat secara eksternal (David 2006) atau mampu merespon secara baik terhadap peluang dan ancaman dalam usaha.Usaha ini dapat dikatakan mampu menarik keuntungan dari peluang dan menghindari ancaman.Jika dihubungkan dengan total skor bobot IFE yang bernilai 2.407, hal ini menunjukkan bahwa usaha kelompok ternak Cigombong rentan atau tidak memiliki kekuatan internal yang mampu mengatasi atau memanfaatkan perubahan eksternal.

Analisis Matrik I-E (Internal – Eksternal)

Total skor IFE2.407berarti usaha berada di posisi sedang, sedangkan total skor EFE 3.048 berarti usaha berada di posisi kuatdalam matrik I-E.Dilihat dari matrik I-E kombinasi tersebut berada di kuadran ke II, yaitu tumbuh dan membangun (Growth & Build), seperti yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Matrik I-E peternakan ulat tepung Cigombong

(23)

13 pengatur suhu, namun peternak Cigombong belum bisa mengadakan hal tersebut karena keterbatasan biaya.Harga yang tergantung pasar dapat diatasi dengan meningkatkan kemampuan negosiasi harga dari peternak (Evelina 2013).Kelompok ini sebenarnya bisa mengatur harga karena mereka adalah satu-satunya produsen ulat tepung di kawasan Bogor. Ketua kelompok ternak melakukan pencampuran bibit dengan bibit dari luar daerah untuk mengatasi

inbreeding, namun cara ini tetap tidak efektif. Inbreeding dapat dicegah dengan memisahkan pupa dari tiap wadah ke wadah yang baru, sehingga ketika pupa berkembang menjadi kumbang dia akanmengawini kumbang lain dari wadah yang berbeda.

Strategi yang dapat digunakan adalah strategi integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan dan integrasi horizontal) atau strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk).Menurut David (2006), integrasi ke depan adalah meningkatkan kendali usaha terhadap pasar. Integrasi ke depan yang dapat dilakukan adalah menentukan harga ulat tepung, namun kelompok ternak ini belum melakukannya karena kemampuan negosiasi yang rendah.Integrasi ke belakang adalah meningkatkan kendali atas pemasok (David 2006).Menurut ketua kelompok ternak, ketika terjadi kekurangan produksi, ulat tepung dipasok dari Bandung.Kualitas ulat tepung yang dihasilkan pemasok harus diperhatikan.Peternak harus menyeleksi pemasok agar ulat tepung yang dijual bermutu baik.Integrasi horizontal adalah meningkatkan efisiensi usaha agar dapat mengalahkan pesaing (David 2006).Efisiensi terbagi atas efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis (Darwanto 2010).Secara ekonomis, usaha ini tidak memiliki kendala.Peternak ulat tepung tidak memiliki saingan di Bogorsehingga mampu menghasilkan 40 juta rupiahbulan-1.Namun, untuk teknis masih belum maksimal karena produktivitas yang rendah dan terjadinya inbreeding.Untuk mencapai efisiensi teknis, produktivitas rendah dan inbreeding harus dapat diatasi.

Penetrasi pasar adalah peningkatan daya jual ke pasar (David 2006).Ketua kelompok ternak ulat tepung Cigombong memiliki tiga orang pegawai.Menurut ketua kelompok ternak, ketiga pegawai ini bekerja dengan baik, namun jumlah pegawai dapat ditambah untuk meningkatkan tenaga penjualan.Pengembangan pasar adalah mengenalkan produk ke wilayah baru (David 2006).Menurut kelompok ini permintaan ulat tepung sudah tinggi, oleh karena itu tiduk diperlukan adanya promosi.Namun, sebaiknya promosi tetap dilakukan untuk memperluas jangkauan pemasaran.Pengembangan produk adalah upaya peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk (David 2006).Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjual frass (kulit ulat tepung) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.Ketua kelompok ternak ulat tepung sudah merencanakan hal ini, namun terkendala dalam hal modal.

Analisis Matrik SWOT

(24)

14

SWOT pada usaha peternakan ulat tepung Cigombong ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Matrik SWOT

(25)

15 dijaga dengan cara mencegah inbreedingyang merupakan masalah penyebab penurunan produktivitas ulat tepung pada waktu yang lalu dan memasang alat pengatur suhu agar tetap pada suhu yang optimal untuk perkembangbiakan ulat tepung. Menurut Haryanto (2013), ciri ulat tepung yang bermutu baik adalah kulitnya mengkilap, bergerak lincah, dan panjangnya lebih dari 2.5cm. Strategi ini didukung oleh penjualan ke pasar yang mudah (S2) karena pelaku usaha masih sedikit (O6).Banyaknya permintaan dari pasar (O2) dan dukungan dari masyarakat sekitar (O1) membuka potensi usaha kelompok ternak ini untuk memulai usaha baru dengan skala yang lebih besar.Pengembangan skala usaha (O3) yang dapat dilakukan adalah pembesaran bangunan tempat budidaya dan menambah jumlah rak kandang yang dimiliki agar mampu memproduksi ulat tepung dalam skala yang lebih besar.Dilihat dari masa panen yang cepat dan keuntungan yang berlipat, hal ini bukan tidak mungkin untuk dapat dilakukan (Haryanto 2013).Dilihat dari sudut pandang penetrasi pasar, strategi ini didukung oleh lokasi usaha yang strategis untuk penjualan (S5) karena terletak di antara daerah Bogor dan Sukabumi sehingga memudahkan pemasaran.Promosi ke toko-toko pakan burung yang belum menjadi pelanggan di daerah pemasaran juga harus ditingkatkan untuk menambah daya jual (O7).

Strategi SO yang kedua termasuk dalam pengembangan pasar, yaitu memperluas jangkauan pemasaran. Dilihat dari kekuatan usaha ternak ulattepung yang berkualitas (S1) dan kontinuitas produksi (S3) baik, modal yang cukup murah (S6) untuk melakukan usaha, penjualan yang mudah (S2) serta harga ulat tepung yang bersaing (S7), sangat memungkinkan kelompok ternak ini untuk melakukan ekspansi ke daerah baru. Skala usaha harus ditingkatkan dari waktu sebelum gagal untuk dapat memenuhi pasar di daerah baru.Menurut ketua kelompok ternak, permintaan ulat tepung dari luar daerah Bogor cukup tinggi (O2) dan pelaku usaha masih sedikit (O6) sehingga mendukung untuk dilakukannya perluasan jangkauan pemasaran.Promosi untuk mengenalkan usaha ulat tepung ke masyarakat yang lebih luas dapat dilakukan dengan caramemasang iklan di media cetak, suara, dan internet (O7).

Strategi ST yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan yaitu mempertahankan kualitas dan menambah daya jual yang lebih tinggi dari sebelum gagal. Tingginya curah hujan daerah Cigombong (T1) dan serangan hama (T2) dapat diatasi dengan membuat kandang yang nyaman dan optimal sebagai tempat hidup ulat tepung, namun tidak nyaman bagi hama. Harga ulat tepung yang bersaing (S7), modal yang cukup murah(S6),dan kontinuitas produksi (S3) dapat dimanfaatkan untuk pengadaan fasilitas pengatur suhu dan pencegah hama. Kenaikan harga ulat tepung pada musim panas dapat dimanfaatkan usaha kelompok ternak Cigombong jika ancaman suhu rendah pada musim hujan dapat diatasi.Persaingan dengan peternak lain dapat diatasi dengan cara menjaga kualitas (S1) dan kontinuitas produksi ulat tepung.

(26)

16

kelompok diharapkan dapat menjadi pondasi untuk menyokong kekuatan usaha (S1,S2,S3,S4,S5,S6),sehingga dapat memenangkan persaingan dengan peternak ulat tepung yang lain (T5).

Strategi ST yang ketiga termasuk dalam strategi pengembangan pasar yaitu memperluas jangkauan pemasaran.Kontinuitas produksi (S3) ulat tepung bermutu tinggi (S1) yang dihasilkan kelompok ternak (S8) ini dapat mengatasi masalah pesaing (T5) ketika melakukan ekspansi ke daerah baru.Modal yang murah (S6) untuk memulai usaha juga mendukung strategi ini untuk dilakukan.

Strategi WO yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu meningkatkan kemampuan bernegosiasi, khususnya dalam penentuan harga ulat tepung di pasar (W2). Sebagai produsen utama ulat tepung di kawasan Bogor, kelompok ini seharusnya dapat mengatur harga di daerah tersebut karena pelaku usaha masih sedikit (O6) dan permintaan pasar tinggi (O2).Sebelum gagal, penghasilan kelompok ini cukup besar.Seharusnya, dengan penghasilan yang besar tersebut peternak tidak lagi berpikir secara tradisional karena adanya perkembangan dalam bidang teknologi informasi (O7). Kemampuan negosiasi dapat ditingkatkan dengan mengikuti pelatihan negosiasi, membaca bukutentang cara bernegosiasi yang baik dan belajar dari orang yang ahli dalam bidang negosiasi (Evelina 2013).

Strategi WO yang kedua termasuk ke dalam strategi integrasi ke belakang yaitu mengembangkan kemitraan dengan beberapa agen untuk penyedia media.Banyaknya permintaan ulat tepung dari pasar (O2) menuntut produktivitas yang tinggi.Produktivitas sendiri sangat ditentukan oleh ketersediaan media.Kelompok ini hanya memiliki satu mitra dalam hal media, yaitu Bogasari (W10).Perkembangan teknologi informasi (O7) dapat dimanfaatkan kelompok usaha ternak ini untuk memperoleh pemasok media lainnya atau media alternatif (Deanie et al. 1999).Media alternatif yang dapat digunakan adalah onggok (Haryanto 2013), yang harganya lebih murah yaitu Rp2 300 kg-1 dan ketersediannya banyakdidaerah Bogor danSukabumi.

Strategi WO yang ketiga termasuk dalam penetrasi pasar dan pengembangan pasar yaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi penetrasi pasar membutuhkan peningkatan daya jual, sehingga produktivitas harus ditingkatkan dari sebelum gagal (W5) melalui perbaikan efisiensi teknis usaha.Perbaikan ini dapat diupayakan melalui pembuatan SOP (W7) yang sesuai dengan lokasi usaha (W9). Pegawai (W11) sebaiknya dipilih orang yang berpengalaman dalam menangani ulat tepung, sehingga mampu beradaptasi dengan cepat dan mengetahui solusi jika terjadi masalah selama proses budidaya dan ekspansi. Apabila strategi pengembangan pasar dilakukan, maka produktivitas kelompok harus ditingkatkan melalui efisiensi teknis sejalan dengan strategi penetrasi pasar.Strategi ini terkendala di pengiriman jarak jauh (W1), karena ulat tepung rentan terhadap perubahan suhu dan kelembaban (Borror et al.

1982).Kendaraan yang memiliki pengatur suhu dan kelembabanperlu diadakan untuk melindungi ulat tepung selama pengiriman(Lang 2009), sehingga kelompok ternak dapat memperluas jangkauan pemasarannya.Perkembangan teknologi informasi (O7) dapat dimanfaatkan untuk melakukan promosi (W12) sehingga daya jual meningkat.

(27)

17 tepung saja (W6), meskipun peluang untuk menjual hasil ikutan ulat tepung (O5) terbuka lebar.Produk ikutan dari ulat tepung yang dapat dimanfaatkan adalah sisa ganti kulit dan kotoran.Limbah tersebut dapat digunakan untuk pakan ikan, juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik(Budiutami 2012).Hasil survey pasar menunjukkan bahwa harga limbah seribu enam ratus rupiah kilo-1.

Strategi WT yang pertama termasuk dalam strategi integrasi ke depan, yaitu meningkatkan kemampuan negosiasi. Peningkatan kemampuan dalam bernegosiasi diharapkan dapat memperkuat posisi peternak dalam tawar-menawar harga dengan penyedia media (T3, T6, W10) maupun pelanggan (W2, T5), sehingga dapat mencegah fluktuasi harga (T4), mengatasi pesaing (T5), dan meningkatkan keuntunganbagi peternak.Kemampuan negosiasi dapat ditingkatkan dengan belajar ke perguruan tinggi dan membaca artikel tentang negosiasi(Evelina 2013).

Strategi WT yang kedua termasuk dalam strategi horizontal, yaitu mengembangkan kemitraan dalam bidang pendanaan.Peternak ulat tepung Cigombong terkendala dalam hal modal (W4), kenaikan harga media (T3) produktivitas yang rendah (W5),saingan dari luar daerah (T5),dan lahan yang digunakan untuk budidaya masih terikat kontrak (W8). Hal-halini dapat diatasi jika kelompok mengajukan permohonan bantuan dana pada pemerintah atau meminjam dana dari bank atau instansi lain.Kemudahan dalam mendapatkan pendanaan memerlukan bentuk dan struktur organisasi yang lebih solid, misalnya dalam bentuk koperasi dan UMKM (Rahmatika 2011).

Strategi WT yang ketigamencakup integrasi ke belakang, penetrasi pasar, dan pengembangan pasaryaitu meningkatkan efisiensi teknis usaha.Strategi integrasi ke belakang juga disarankan dalam strategi WO ketiga, namun dalam strategi WT lebih ditekankan pada peningkatan efisiensi usaha melalui pengurangan biaya input. Hal ini dilakukan dengan mencari pemasok media baru, untuk mengatasi monopoli pemasok (W10),dan menghindari kenaikan harga media (T3). Penetrasi pasar juga dilaksanakan pada strategi WO ketiga, tetapi strategi WT lebih menekankan pada memperkecil pengaruh lokasi yang bercurah hujan tinggi (W9, T1) dan serangan hama (T2).Strategi ini dapat dijalankan dengan cara membuat tipe kandang dengan mikroklimat yang optimal. Pengembangan pasar dilakukan juga dalam strategi SO kedua, ST ketiga, dan WO ketiga, namun pada strategi ini penekanan lebih dititikberatkanuntuk meningkatkan efisiensi teknis dengan mengatasi kelemahan di bidang modal (W1, W4), tehnik usaha (W5), dan promosi (W12)sehingga dapat menghindari fluktuasi harga (T4), masalah mikroklimat (T1, T2), dan saingan (T5).Semua strategi ini dapat dijalankan apabila peternak memutuskan untuk membangun usahanya kembali.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(28)

18

faktor kelemahan yang dimiliki, terutama modal dan teknis usaha.Strategi yang disarankan adalah mempertahankan kualitas dan menambah daya jual, memperluas jangkauan pemasaran, memperkuat kelompok, meningkatkan kemampuan negosiasi, mengembangkan kemitraan, meningkatkan efisiensi teknis usaha, dan mengembangkan produk ikutan ulat tepung.

Saran

Agar usaha kelompok ini dapat berjalan kembali, disarankan mendahulukan strategi WO (mengatasi kelemahan agar dapat memanfaatkan peluang) dan WT (mengatasi kelemahan dan menghindari ancaman).

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar-Miranda ED, Lopez MG, Escamilla-Santana C, Delarosa BAP. 2002. Characteristic of maize flour tortilla supplemented with ground Tenebrio molitor larvae. Food Chem(1):192-195.

Afrillita N. 2013. Analsisis SWOT dalam menentukan strategi pemasaran sepeda motor pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda.J AdmBis(1):9-17. Asba AR. 2006. Integrasi ekspor kopra Makassar di antara kontinuitas dan

diskontinuitas.Sos Hum(10):58-69.

Borror DJ, DeLong DM, Triplehorn CH. 1982. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan: Partosoedjono, S. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Budiutami A, Sari NK, Priyanto S. 2012. Optimasi proses ekstraksi kitin menjadi kitosan dari limbah kulit ulat tepung (Tenebrio molitor).Teknol Kim Indust(1):46-53.

Damayanti LP. 2013. Analisis kebangkrutan Eastman Kodak Corporation [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Negeri Jakarta.

Darwanto. 2010. Analisis efisiensi usahatani padi di Jawa Tengah (Penerapan Analisis Frontier).J Org Man(6):46-57.

Daljono.2005. Akuntansi Biaya Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian.Edisi ke-2 cetakan ke-2. Semarang (ID): Badan Penerbit Undip.

David FR. 2006. Manajemen Strategis, Edisi Sepuluh. Jakarta (ID): PT. Salemba Empat.

Deanie F, Sandy R, Steve B. 1999. Internet Based Learning: An Introduction and

Framework for Higher Education and Business. Canada (CA): Kogan

Page Limited.

Despins JL, Turner EC, Pleifer DG, 1991.Evaluation of methods to protect poultry house insulation from infestation by lesser mealworm (Coleoptera: Tenebrionidae). J Stored Prod Res(28):189-194.

(29)

19 Favero K. 2013. Tenebrio molitor (Coleoptera: Tenebrionidae) as an alternative

host for parasitoid Trichospilus diatraeae (Hymnenoptera: Eulophidae). Revista Colombiana de Entomologia(39):47-48.

Ghaly AE. 2009. Theyellow mealworm as a novel source of protein. Agric Biosci(4):319-331.

Gibson R. 2009. The multipurpose mealworm leapingfromthebox.com. http://www.leapingfromthebox.com/art/rlg/mealworms.html

Ginting A. 2006. Perumusan strategi perusahaan PT X menggunakan matrik evaluasi faktor.J Sist Tek Indust (7):21-26.

Gusliza N. 2013. Hubungan komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja pegawai dinas pendidikan pemuda dan olahraga kota Bukittinggi. J Adm Pend(1):163-461.

Handoko LM. 2013. Penyusunan standar operasional prosedur pada operasional toko di supermarket UFO (United Fashion Outlet) Surabaya. JM Kew

(7):48-59.

Haryanto A. 2013. Budidaya Ulat tepung.Surabaya (ID): Dafa Publishing.

Herdiyanti I. 2013.Pengaruh lokasi usaha terhadap perkembangan bisnis [skripsi].Depok (ID): Gunadarma University.

Lang FQ. 2009. Ecological characteristics of Tenebrio molitor L. Beijing (CN): Farming Technology and Application of Yellow Mealworm, Scientific and Technical Documents Publishing House.

Oonincx, Dennis GAB. 2010. An exploration on greenhouse gas and ammonia production by insect species suitable for animal or human consumption. Entamophogy and environtment(5):1-7.

Prijambodo. 2014. Monitoring dan Evaluasi. Bogor (ID): IPB Press.

Rahmatika. 2010. Analisis efektifitas program pinjaman dana bergulir pada unit pengelola kegiatan (UPK) PNPM Mandiri dan kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Kecamatan Situjuh Limo Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008-2010[skripsi].Padang (ID):Universitas Andalas. Rangkuty F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):

Gramedia Pustaka Utama.

Rueda LM, Axtell RC. 1996. Temperature-dependent development and survival of the lesser mealworm, Alphitobius diaperinus. Med Vet Entomol (10):80-86.

Salin C, Vernon P, Vannier G. 1998.Effects of temperature and humidity on transpiration in adults of lesser mealworm, Alphitobius diaperinus (Coleoptera: Tenebrionidae). J Insect Pshyol(45):907-914.

Santosa IS. 2013. Analisis potensi pengembangan usaha peternakan sapi perah dengan menggunakan paradigma agribisnis di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Buletin Petern(37):132-140.

Setiawan A, Rahardjo A, Istiqomah S. 2011. Hubungan suhu dan kelembaban rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah Kelurahan Panembahan Yogyakarta.J Sanitasi(3):22-28.

Suhonen J, Rantala MJ, Honkavaara J. 2010. Activation of the immune system promotes insect dispersal in the wild. Oecol (162):541-547.

Suryanto B. 1993. Analisis ekonomi usahatani ternak sapi perah rakyat di Kabupaten DATI II Boyolali.Media Petern(18):21-26.

(30)

20

Wibowo. 2009. Analisisinternal dan eksternal (IE) matrik dalam strategi pengembangan objek wana wisata grajangan. JEB(2):161-170.

LAMPIRAN

Lampiran 1.Rak kandang dan kotak ulat tepung Lampiran 2. Dedak gandum

(31)

21

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 2 Contoh tabel matrik IE
Gambar 3 Contoh matrik SWOT
Tabel 1 Analisis matrik IFE-EFE
Tabel 1menunjukkan peluang utama dari usaha ini adalah dukungan dari
+2

Referensi

Dokumen terkait

abadi, 112... Adapun sebab-sebab yang mewajibkan azab kubur terbagi menjadi dua, yaitu sebab yang secara ringkas dan sebab yang secara terperinci. Yang ringkas adalah bagi

1. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah dalam mengingkatkan perhatian, memberi dukungan dan membantu organisasi sosial yang membantu pemerintah dalam mencerdaskan

TABEL LOKASI DAN JUMLAH PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA BOGOR TAHUN 2011.

Pemberhentian adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja

The membrane inte-erity of the cells grown at reduced aw was detern.rined with LIVE/DEAD Bacl-ight Bacterial Viability Kits (l\4oiecular Probes. Inc., Eueene,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan akta pengikatan jaminan kredit dengan deposito Notaris berkedudukan dalam menjaga kerahasian akta yang dibuatnya

Rataan Persentase Karkas Kosong, Karkas Siap Masak, Konversi Ransum, Persentase Ether-ekstrak Daging Paha, Lernak Abdomi- nal, Hati, Jantung, Rempela, Limpa, Kepa- la dan Kaki

Penggunaan campuran yang paling kuat untuk membantu menaikan kuat tekan adalah campuran dengan abu ampas tebu 8% + abu cangkang kerang 14% pada umur 28 hari dan