• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEMUNDURAN MUTU UDANG VANAME

(

Litopenaeus vannamei

) SECARA KIMIAWI DAN

MIKROBIOLOGIS

LAELA HIDAYATUL AZIZAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

LAELA HIDAYATUL AZIZAH. Kemunduran mutu udang vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan KUSTIARIYAH TARMAN

Udang merupakan produk hasil perairan yang mudah mengalami kerusakan dan kemunduran mutu serta mempunyai umur simpan yang singkat. Tujuan penelitian untuk menentukan fase kemunduran mutu pada udang dan menentukan karakteristiknya secara organoleptik, kimiawi dan mikrobiologis. Uji organoleptik digunakan untuk menentukan fase kemunduran mutu. Hasil menunjukkan bahwa fase prerigor terjadi pada hari 0 sampai 2, rigor mortis terjadi pada hari ke-3 sampai ke-11, postrigor terjadi pada hari ke-12 sampai ke-17, dan kebusukan terjadi setelah hari ke-17. Analisis kemunduran mutu secara kimiawi dilakukan dengan mengukur pH, total volatile base (TVB), indol, dan aktivitas enzim polyphenoloxidase (PPO). Analisis kemunduran mutu secara mikrobiologis dilakukan dengan menganalisis total plate count (TPC) dan bakteri pembusuk. Nilai pH, TVB dan TPC mengalami peningkatan selama kemunduran mutu terjadi. Aktivitas enzim PPO paling tinggi pada fase rigor mortis. Bakteri yang diduga tumbuh berdasarkan hasil pewarnaan Gram yaitu bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.

Kata kunci: enzim PPO, indol, kemunduran mutu, organoleptik , pH, TPC, TVB.

ABSTRACT

LAELA HIDAYATUL AZIZAH. Chemical and Microbiological Quality of Degradation Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei). Supervised by TATI NURHAYATI dan KUSTIARIYAH TARMAN.

Shrimp is perishable commodity susceptible to damage and quality deterioration. This research aimed to assess the deterioration process by organoleptic, chemical and microbiological characteristics. The organoleptic characteristic was used to determine the degradation phase. Prerigor phase in shrimp was happened for 0-2 days, rigor mortis for 3-11 days, postrigor happened for 12-17 days, and deterioration after 17 days of storage. Chemical characteristics of degradation were determined by pH value, total volatile base (TVB), indole, and activity of polyphenoloxidase enzyme. Microbiological characteristics of degradation were determined by total plate count (TPC) and spoilage bacteria. The value of pH, TVB, and TPC increased in regard with vaname shrimp degradation. Enzymatic activity of PPO occurred intensely during rigor mortis phase. Bacteria found in the shrimp were proposed as Gram negative and Gram positive by Gram staining.

(6)

4

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS KEMUNDURAN MUTU UDANG VANAME

(

Litopenaeus vannamei

) SECARA KIMIAWI DAN

MIKROBIOLOGIS

LAELA HIDAYATUL AZIZAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul : Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis

Nama : Laela Hidayatul Azizah

NIM : C34100022

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi Dr Kustiariyah Tarman, SPi MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) secara Kimiawi dan Mikrobiologis”, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan penidikan Sarjana Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi dan Dr Kustiariyah, SPi MSi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Dr Ir Agoes M. Jacob, Dipl-Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan bimbingan selama penyelesaian tugas akhir

3. Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

5. Bapak (Isnaini), dan Ibu (Aniek Fatimah), kakak (Fitriani) dan adik (Fahmi dan Fathir)

6. Teman-teman satu penelitian polyphenoloxidase (PPO) yang saya banggakan (Made, Medal, Sonya). Terimakasih atas bantuan yang tulus. Laboran yang telah membantu penelitian saya (bapak Saiful, Mbak Lastri, Ibu Ema, Mbak Dini) dan pihak balai besar pengujian dan penerapan hasil perikanan.

7. Risvan, Ayu, Ajeng, Reza, Kak Imelda, Tante Diana, Kak Nabila, Bang Anhar serta keluarga besar Teknologi Hasil Perairan angkatan 47 dan mahasiswa Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan atas dorongan semangat selama penelitian.

8. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu peneyelesaian skripsi ini.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2015

(12)

x

Ekstraksi Enzim Polyphenoloxidase (Benjakul et al. 2005) ... 6

Aktivitas Enzim Polyphenoloxidase (Bono et al. 2010) ... 6

Pengukuran Konsentrasi Protein (Bradford 1986) ... 6

Uji Jumlah Total Mikroba (Fardiaz 1987) ... 7

Uji Bakteri Kontaminasi... 7

Pewarnaan Gram ... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Organoleptik Udang Vaname ... 9

Derajat Keasaman (pH) Udang Vaname ... 11

Total Volatile Base (TVB) Udang Vaname ... 12

Indol pada Udang Vaname ... 14

Blackspot Udang Vaname ... 15

Aktivitas Enzim Polyphenoloxsidase (PPO) Udang Vaname ... 16

Total Mikroba pada Udang Vaname ... 17

Bakteri Kontaminasi pada Udang ... 19

Pewarnaan Gram Bakteri Udang Vaname ... 21

Hubungan Antar Parameter Kesegaran Udang ... 22

(13)

DAFTAR TABEL

1 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 1,5-2,0 mg/mL ... 7

DAFTAR GAMBAR

1 Kemunduran mutu udang vaname (L. vannamei) secara organoleptik ... 10

2 Perubahan pH pada udang vaname (L. vannamei) ... 12

3 Perubahan TVB pada udang vaname (L. vannamei) ... 13

4 Perubahan Indol pada udang vaname (L. vannamei) ... 15

5 Aktivitas enzim polyphenoloxidase udang vaname (L. vannamei) ... 17

6 Perubahan jumlah mikroba pada udang vaname (L. vannamei) ... 18

7 Hasil pengujian bakteri kontaminasi udang Hasil Negatif: (a) Vibrio cholerae, (b) Media TSI pengujian Salmonella spp., (c) Media LIA pengujian Salmonella spp., (d) Media EC broth pada pengujian Escherichia coli, (e) Uji koagulase pada pengujian Staphylococcus aureus.. ... 20

8 Hasil pewarnaan Gram bakteri pada udang vaname (L. vannamei) (a) Bakteri Gram negatif dari udang vaname, (b) Bakteri Gram positif dari udang vaname... 21

9 Koefisien korelasi antara parameter kemunduran mutu udang vaname secara kimiawi dan mikrobiologis Korelasi antara: (a) Nilai pH dengan kadar TVB, (b) Nilai pH dengan kadar indol, (c) Kadar TVB dengan kadar indol, (d) Nilai pH dengan TPC, (e) Nilai TPC dengan kadar TVB, (f) Nilai TPC dengan kadar indol... ... 23

10 Koefisien korelasi antara parameter kemunduran mutu udang vaname secara kimiawi. Korelasi antara: (g) Nilai pH dengan aktivitas enzim PPO, (h) Kadar TVB dengan aktivitas enzim PPO, (i) Nilai TPC dengan aktivitas enzim PPO, (j) Kadar indol dengan aktivitas enzim PPO... ... 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Bahan Baku Udang Segar ... 33

2 Lembar Penilaian Organoleptik Udang Segar ... 33

3 Contoh Perhitungan Kadar Indol dan Protein... 34

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen utama udang dunia, khususnya untuk jenis udang vaname (Litopenaeus vannamei). Udang merupakan komoditas yang dihasilkan melalui kegiatan budidaya. Produksi udang dari hasil budidaya pada tahun 2009 yaitu 338.061 ton. Produksi udang tahun 2010 meningkat menjadi 352.600 ton. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2009 hingga tahun 2010 mengalami peningkatan produksi yaitu 4,30 % (KKP 2010). Perikanan budidaya mampu memberikan kontribusi yang besar pada peluang usaha dan perolehan devisa. Pasar utama komoditas udang yaitu pasar ekspor dengan permintaan yang masih tetap tinggi (Nurjanah et al. 2011). Namun yang menjadi kendala dalam pemenuhan permintaan udang yaitu masalah konsistensi mutu udang. Hal ini disebabkan karena udang mengalami kemunduran mutu secara cepat selama penyimpanan. Kemunduran mutu menyebabkan penurunan penerimaan konsumen karena adanya penurunan nilai-nilai sensori, misalnya warna, tekstur, bau, dan kenampakan.

Udang merupakan produk hasil perairan yang mudah mengalami kerusakan dan kemunduran mutu serta mempunyai umur simpan yang singkat. Kemunduran mutu pada udang sangat erat kaitannya dengan melanosis atau blackspot dan mikroba pembusuk (Gokoglu dan Yerlikaya 2008). Pembentukan melanosis atau blackspot merupakan perubahan warna yang terjadi karena adanya reaksi enzimatis oleh enzim polyphenoloxidase. Pembentukan melanosis atau blackspot dapat mempengaruhi parameter warna dan mempengaruhi penerimaan konsumen (Kim et al. 2000).

Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh adanya reaksi autolisis yaitu dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim, aktivitas bakteri, dan reaksi kimiawi pada saat penyimpanan (Suwetja 2011). Proses kemunduran mutu udang secara kimiawi dapat dilihat melalui nilai derajat keasaman (pH), nilai total volatile base (TVB), dan kandungan indol. Proses kemunduran mutu secara mikrobiologis berkaitan dengan jumlah total mikroba dan bakteri pembusuk atau bakteri kontaminan penyebab kerusakan pada udang.

Pengamatan proses kemunduran mutu dilakukan dengan mengetahui kondisi fisiologis pada setiap fase kemunduran mutu. Fase yang diamati antara lain fase prerigor, rigor mortis, dan postrigor. Fase kemunduran mutu dapat ditentukan dengan pengamatan secara organoleptik. Kondisi fisiologis ikan yang diamati yaitu nilai pH, TVB, kandungan indol, bakteri penyebab kemunduran mutu dan enzimatik penyebab timbulnya blackspot pada udang.

(16)

2

Perumusan Masalah

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan hasil produksi perikanan budidaya yang cepat mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu udang yang berjalan cepat karena penanganan setelah udang mati. Kemunduran mutu udang akan mempengaruhi tingkat penerimaan dari konsumen. Melanosis atau blackspot yang terjadi pada udang dan kemunduran mutu udang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap udang. Melanosis yang terjadi pada udang diakibatkan oleh aktivitas enzim polyphenoloxidase (PPO). Kemunduran mutu udang dapat disimpulkan dengan mengetahui nilai organoleptik, nilai pH, TVB, Indol, jumlah mikroba, bakteri pembusuk, dan aktivitas enzim PPO selama penyimpanan suhu chilling. Penelitian mengenai analisis kemunduran mutu udang pada suhu chilling diperlukan untuk memudahkan saat proses penanganan udang. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data untuk penelitian lebih lanjut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian analisis kemunduran mutu udang yaitu untuk menentukan fase kemunduran mutu udang secara organoleptik, menganalisis kemunduran mutu udang secara kimiawi dan mikrobiologis, serta menentukan korelasi antara aktivitas enzim PPO dengan laju kemunduran mutu.

Manfaat Penelitian

Penelitian analisis kemunduran mutu udang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemunduran mutu udang secara organoleptik, kimiawi, mikrobiologis, dan enzimatik untuk memudahkan dalam penanganan udang setelah mati.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan udang vaname (Litopenaeus vannamei), preparasi udang vaname (L. vannamei), pengamatan organoleptik terhadap udang vaname, pengujian pH udang vaname, pengujian total volatile base (TVB) udang vaname, pengujian kandungan indol udang vaname, pengujian aktivitas enzim polyphenoloxidase (PPO) udang vaname, pengukuran konsentrasi protein enzim PPO pada udang vaname, pengujian jumlah total mikroba atau total plate count (TPC) udang vaname, isolasi bakteri kontaminasi pada udang vaname dan pewarnaan Gram terhadap bakteri pada udang vaname.

METODE PENELITIAN

(17)

polyphenoloxidase dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pengujian total volatile base (TVB) dan pengujian jumlah total mikroba di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pengujian indol dan bakteri penyebab kontaminasi udang vaname (Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae, dan Salmonella spp.) dilakukan di Laboratorium Balai Besar Pengujian dan Penerapan Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) size 60 (12-13 gram/ekor) yang diperoleh dari Everfresh di Jakarta (Lampiran 1). Udang vaname disimpan pada suhu chilling (4 ºC). Bahan yang digunakan untuk penentuan nilai pH yaitu akuades. Bahan yang digunakan untuk uji TVB yaitu Tricloroacetic Acid (TCA) 7 % (Merck), H3BO3, K2CO3, HCl 0,021 N. Bahan

yang digunakan untuk penentuan jumlah total mikroba yaitu larutan NaCl 85% steril dan potato count agar (PCA). Pengujian E. coli menggunakan bahan butterfield phosphate (BFP), lauryn tryptose broth (LTB), dan EC broth. Pengujian Staphylococcus aureus menggunakan bahan yaitu BFP, BPA+ egg yolk, BHI broth, coagulase plasma dan EDTA. Pengujian Vibrio cholerae menggunakan bahan alkaline peptone water (APW), thiosulfate citrate bile salt sucrose (TCBS), tryptone soya agar (TSA) + 1,5% NaCl. Bahan untuk pengujian Salmonella yaitu lactose broth (LB), tetrathionate broth (TTB), rappaport vassiliadis medium (RV), hectoen enteric agar (HE), xylose lysine desoxycholate (XLD), Bismuth sulfite agar (BSA), triple sugar iron agar (TSI), dan lysine iron agar (LIA). Ekstraksi enzim PPO menggunakan buffer sodium fosfat (pH 7.2), nitrogen cair, NaCl (Merck), Brij 35 (Merck). Pengujian aktivitas enzim polyphenoloxidase menggunakan L-DOPA, buffer fosfat pH 7.00, akuades. Pengukuran konsentrasi protein enzim menggunakan (Bovine serum albumin), coomassie brilliant blue G-20, etanol 95 %, asam ortofosfat 85 %. Pengujian indol menggunakan TCA 6 %, petroleum benzena (Merck), etanol (Merck), standar indol (Merck). Pembuatan larutan Ehrlich menggunakan 4-Dimethylamino benzaldehyd (Merck), HCl pekat, dan etanol (Merck).

Alat

(18)

4

dan Salmonella spp. yaitu cawan petri, pipet mikro, waterbath, dan inkubator (Yamato). Alat pengujian pewarnaan Gram menggunakan mikroskop (Olympus CH20BIMF200) dan kamera handphone (Samsung GT-I9082).

Prosedur Penelitian

Udang vaname (L. vannamei) disimpan pada suhu chilling (4 ºC). Udang diamati setiap fase kemunduran mutu yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Pengamatan selanjutnya yaitu analisis kemunduran mutu secara kimiawi meliputi penentuan nilai pH, total volatile base (TVB), aktivitas enzim polyphenoloxidase (PPO), konsentrasi protein enzim PPO, dan analisis indol pada setiap fase kemunduran mutu. Analisis kemunduran mutu secara mikrobiologis meliputi pengujian jumlah total mikroba, penentuan bakteri pembusuk pada udang vaname, dan pewarnaan Gram hasil isolasi bakteri.

Preparasi Udang Vaname

Udang vaname (L. vannamei) diperoleh dari supplier di Muara Karang dan Everfresh, Jakarta, dalam keadaan hidup. Udang ditransportasikan dengan sistem basah. Udang dimatikan dengan menggunakan suhu chilling (4 ºC). Udang yang telah mati ditempatkan pada wadah dan ditutup dengan plastik, lalu disimpan dengan suhu chilling (4 ºC).

Prosedur Analisis

Metode analisis yang digunakan yaitu sampel udang pada setiap tahapan kemunduran mutu dianalisis yang meliputi tingkat kesegaran udang yaitu penilaian organoleptik, penentuan nilai pH, perhitungan jumlah bakteri dengan metode TPC, metode analisis mikroba pembusuk dan pewarnaan Gram bakteri, perhitungan TVB, uji indol, dan uji aktivitas enzim PPO.

Uji Organoleptik (SNI 01-2346-2006)

Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subyektif dengan menggunakan panca indera. Pengujian organoleptik ditunjukkan pada mata, daging, bau, dan tekstur. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui fase-fase kemunduran mutu udang, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Tahap pengujian organoleptik dilakukan dengan interval pengamatan yaitu setiap 24 jam dengan penyimpanan udang suhu chilling (4 ºC). Pengujian organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006) (Lampiran 2).

Uji Nilai pH (Apriyantono et al. 1989)

(19)

Uji TVB (Apriyantono et al. 1989)

Pengujian nilai total volatile base (TVB) pada penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatile yang terbentuk pada tahap kemunduran mutu udang. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut selanjutnya diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl.

Preparasi sampel dilakukan dengan menimbang 15 gram sampel yang telah dicacah dihomogenisasi dengan 45 mL TCA 7 % selama 1 menit. Sampel disaring sehingga didapatkan supernatan yang akan digunakan untuk analisis. Uji TVB dilakukan dengan memasukkan 1 mL H3BO3 ke dalam inner chamber cawan

conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi setengah menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri sebanyak 1 mL. Larutan K2CO3 jenuh sebanyak 1 mL ditambahkan ke dalam outer chamber

sebelah kanan. Cawan ditutup dengan diolesi vaselin pada pinggir cawan agar proses penutupan sempurna. Cawan conway digerakkan agar filtrat dan K2CO3

tercampur. Blanko dikerjakan dengan prosedur sama tetapi filtrat yang digunakan diganti menjadi TCA 7 %. Kedua cawan conway diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37ºC, selanjutnya larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi HCl 0,021 N sehingga berubah menjadi warna merah muda. Cawan Conway yang berisi larutan atau filtrat dititrasi dengan larutan yang sama yaitu HCl 0,021 N sehingga menjadi warna merah muda sama seperti pada blanko.

N (mg N/100 g) = (A-B) x N HCl x 100

� � x 1 x 14 mg N/100 g

Keterangan : A = mL HCl contoh fp = faktor pengenceran

B = mL HCl blanko N = Normalitas HCl (0,0211 N)

Uji Indol (Cheuk dan Finne 1981)

(20)

6

ekstraksi 1 ditambah dengan 40 mL petrolium benzena kocok selama 1 menit, didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (bawah) dibuang dan lapisan atas merupakan hasil ekstraksi 3. Hasil ekstraksi 1 + 2 + 3 disatukan, ekstrak indol kemudian ditambahkan dengan 5 mL larutan erlich. Larutan dikocok kuat-kuat selama 1 menit dan didiamkan agar terbentuk 2 lapisan. Lapisan indol (bawah) berwarna merah dipindahkan kedalam labu takar 50 mL (jangan ada pertrolium benzena yang terbawa). Larutan indol diencerkan dengan etanol hingga 50 mL. Larutan siap untuk diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV/VIS pada panjang gelombang 570 nm. Pembuatan larutan erlich yaitu 3,6 gram 4-Dimethylamino benzaldehyd ditambah dengan 18 mL HCl pekat, lalu ditepatkan menjadi 100 ml dengan etanol 96 %.

Pembuatan kurva standar yaitu dengan pipet larutan indol (100 ppm) masing masing 1 mL, 2 mL, 3 mL, 4 mL, dan 5 mL. Masing-masing ditambahkan dengan TCA 6% sebanyak 80 ml, kemudian diekstraksi seperti perlakuan pada contoh. Konsentrasi indol dalam contoh dihitung dengan mengekstapolasikan absorbansi contoh ke dalam contoh standar indol. Cara penentuan standar indol disajikan pada Lampiran 3a. Cara perhitungan indol adalah sebagai berikut.

Konsentrasi indol (µg/100 g) contoh = A x fp x 100

berat contoh (g)

Keterangan : A = Konsentrasi (X) yang didapat dalam perhitungan µg/mL fp = Faktor pengenceran

Ekstraksi Enzim Polyphenoloxidase (Benjakul et al. 2005)

Isolasi dilakukan dengan modifikasi metode Simpson et al. (1987) diacu dalam Benjakul et al. (2005). Sampel dibuat dalam bentuk bubuk menggunakan nitrogen cair dalam waring blender. Sampel (50 g) dicampur dengan 150 mL buffer (0,05 M buffer natrium fosfat pH 7,2; yang mengandung 1,0 M NaCl dan 0,2 % Brij). Campuran diaduk secara kontinu pada suhu 4 ºC selama 30 menit, dilanjutkan sentrifuse dengan kecepatan 8.000 xg suhu 4 ºC selama 30 menit dengan menggunakan sentrifuse dingin.

Aktivitas Enzim Polyphenoloxidase (Bono et al. 2010)

Aktivitas enzim polyphenoloxidase ditentukan dengan mereaksikan 0,2 mL enzim, 2,8 mL L-DOPA 0,01 M yang dilarutkan dalam buffer fosfat 0,05 M pH 6,5. Campuran reaksi kemudian dan diukur pada panjang gelombang 475 nm. Aktivitas enzim ditunjukkan dalam satuan U. Satu U menunjukkan peningkatan absorban 0,001/ menit.

Pengukuran Konsentrasi Protein (Bradford 1986)

Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 5 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 2,5 mL etanol 95 %. Lalu ditambahkan dengan 5 mL asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 250 mL dan disaring dengan kertas saring Whatman 1 sesaat sebelum digunakan.

(21)

pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Larutan standar dilakukan seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 1,5-2,0 mg/mL dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/mL. Pembuatan larutan standar BSA dapat dilihat pada Tabel 1. Penentuan konsentrasi dan contoh perhitungan disajikan pada Lampiran 3b. Tabel 1 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 1,5-2,0 mg/mL

Konsentrasi BSA (mg/mL)

Volume BSA (mL) Volume akuades (mL)

1,5 1,5 0,5

Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva standar Bradford untuk menentukan konsentrasi protein yang terkandung didalam sampel enzim.

Uji Jumlah Total Mikroba (Fardiaz 1987)

Prinsip kerja analisis jumlah total mikroba dengan metode total plate count (TPC) adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada pada sampel yaitu daging udang dengan pengenceran secara duplo. Pembuatan larutan dilakukan dengan pencampuran antara 10 gram sampel yang telah dihancurkan dengan 90 mL larutan NaCl 0,85 % steril, dimasukkan pada botol, selanjutnya dihomogenkan. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 mL larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, selanjutnya dihomogenkan. Pengenceran dilakukan sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 mL dan dipindahkan ke dalam cawan petri secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 mL dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), didiamkan cawan petri hingga media dingin dan mengeras. Cawan yang berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 30 ºC selama 48 jam dengan posisi cawan perti dibalik. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri. Jumlah koloni yang dapat dihitung yaitu yang mempunyai jumlah koloni antara 20 sampai 200 koloni.

Uji Bakteri Kontaminasi

a. Vibrio cholerae (SNI 01-2332.4-2006)

(22)

8

digoreskan ke TCBS agar, dengan cara 1 ose diambil dan digores pada media TCBS lalu diinkubasi selama 16-24 jam. V. cholerae diamati pada TCBS agar. Koloni yang diduga V. cholerae adalah besar, permukaan halus, agak datar, bagian tengah buram dan bagian pinggir terang, berwarna kuning (sukrosa positif). Pemurnian dilakukan dengan mengambil 3 koloni tunggal terduga dari setiap TCBS agar, koloni bakteri digores ke dalam T1N1 agar atau TSA + 1,5 %

NaCl, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 36 ºC. Pengujian lanjutan yaitu biokimia pendahuluan (uji oksidase, uji sensitifitas, TSI dan KIA, uji ONPG, uji oksidatif-fermentatif, dan pewarnaan gram) dan uji biokimia lanjutan (uji hidrolisis urea, uji arginin dihidrolase, uji toleransi terhadap garam, uji voges-prokauer, uji fermentasi karbohidrat, uji serologi) bakteri V. cholerae.

b. Salmonella spp. (SNI 01-2332.2-2006)

Pengujian Salmonella spp. dilakukan untuk mengetahui keberadaan bakteri Salmonella spp. pada udang. Pengujian Salmonella spp. dengan preparasi contoh 25 g dan ditambahkan 225 mL Lactose Broth, kemudian dihomogenisasi selama 2-3 menit dan diinkubasi selama 24 jam. Pengkayaan dilakukan dengan memindahkan 0,1 mL larutan contoh ke dalam 10 mL Rappaport-vassiliadis (RV) dan 1 ml larutan contoh ke dalam 10 mL Tetrathionat Broth (TTB). Media RV diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42 ºC pada waterbath. Media TTB diinkubasi selama 24 jam pada suhu 43 ºC kedalam waterbath. Isolasi salmonella spp. dilakukan dengan media BSA, XLD, dan HE, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 ºC. Pengamatan morfologi koloni Salmonella spp. yaitu dengan media TSI dan LIA. Hasil positif dari pengamatan TSI dan LIA selanjutnya dilakukan uji biokimia (uji urease, indol, MR, VP, simmon sitrat, KCN, laktosa, dulcitol, sukrosa, dan malonat)

c. Staphylococcus aureus (SNI 2332.9: 2011)

Pengujian Staphylococcus aureus dilakukan dengan menimbang 25 g dan ditambahkan dengan 225 mL larutan BFP. Contoh dihomogenasi selama 2 menit dan dilakukan pengenceran hingga 103. Tahap determinasi S. aureus dilakukan dengan memindahkan 1 mL larutan ke dalam BPA + egg yolk dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 36 ºC. Koloni yang terbentuk dari media BPA + egg yolk memiliki ciri-ciri bundar, licin, cembung, warna abu-abu hingga kehitaman, dan sekeliling tepi koloni bening. Koloni-koloni mempunyai konsistensi berlemak, dan lengket bila diambil dengan jarum inokulasi. Identifikasi dan konfirmasi S. aureus dilakukan uji koagulae dan uji katalase. Uji biokimia (fermentasi glukosa secara anaerob dan fermentasi manitol anaerob, S. aureus dilakukan jika uji katalase dan koagulase.

d. Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006)

(23)

hitam atau gelap pada bagian pusat koloni dengan atau tanpa metalik kehijauan. Koloni tersangka kemudian dilakukan inokulasi ke dalam media PCA miring dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 35 ºC. Penegasan E. coli dilakukan dengan uji biokimia (indol, MR, VP, sitrat) dan pewarnaan gram.

Pewarnaan Gram

Pewarnaan Gram pada bakteri digunakan untuk mengetahui bentuk dan jenis bakteri yang terdapat pada udang. Pengujian pewarnaan gram dilakukan menggunakan bakteri yang diisolasi dari udang dengan media nutrient agar. Pewarna yang digunakan untuk pewarnaan gram yaitu 4 jenis larutan, antara lain zat warna basa (kristal violet), larutan iodium (lugol), alkohol, dan safranin. Prosedur pewarnaan gram dilakukan dengan kaca objek dioleskan bakteri yang sebelumnya ditambahkan 1 tetes larutan garam fisiologis. Fiksasi panas kaca objek yang telah diberikan bakteri. Pewarnaan diawali dengan pewarnaan menggunakan kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian dibilas dengan air. Pewarnaan selanjutnya dengan ditetesi lugol dan didiamkan selama 1 menit, dibilas dengan air dan alkohol 96 % selama 10-20 detik hingga warna ungu tidak luntur. Pewarnaan selanjutnya yaitu penambahan pewarna safranin dan dibiarkan selama 10-20 detik dan dibilas dengan akuades, kemudian dikeringkan. Pengamatan selanjutnya yaitu dengan menggunakan mikroskop (Olympus CH20BIMF200) dengan perbesaran 1000x yang sebelumnya ditetesin minyak imersi, kemudian diamati bentuk sel serta jenis Gram bakteri .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Organoleptik Udang Vaname

Suwetja (2011) menjelaskan bahwa setelah hasil perikanan mati akan terjadi perubahan biokimia dan mulai terjadi proses penurunan mutu atau deteriorasi yang disebabkan oleh autolisis, kimiawi, dan bakterial. Penentuan fase kemunduran mutu udang dilakukan untuk mengetahui kondisi dan tingkat kesegaran udang. Kemunduran mutu udang meliputi empat tahap yaitu prerigor, rigor mortis, postrigor, dan kebusukan (deterioration). Penentuan fase kemunduran mutu udang dilakukan menggunakan uji organoleptik. Penetapan kemunduran mutu udang secara organoleptik dilakukan menggunakan score sheet yang sesuai dengan SNI 01-2346-2006 meliputi parameter kenampakan udang, bau, dan tekstur. Hasil pengamatan organoleptik pada udang dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

10

Fase prerigor hasil pengamatan organoleptik udang yaitu menunjukkan nilai 9-8 dan terjadi pada hari ke-0 sampai hari ke-2. Hasil organoleptik menunjukkan bahwa udang vaname dalam keadaan sangat segar. Hasil organoleptik menunjukkan kenampakan utuh, warna seperti udang asli, bening dan bercahaya asli menurut jenis, serta antar ruas kokoh. Bau udang sangat segar spesifik jenis. Tekstur udang yaitu sangat elastis, kompak, dan padat. Warna udang masih dalam keadaan yang bening dan putih, hal ini karena belum terjadi pembentukan blackspot. Fase prerigor terjadi pada saat udang mengalami kematian, udang menjadi lemas dan mudah untuk dibengkokkan. Suwetja (2013) menjelaskan bahwa tahap pre rigor terjadi perombakan ATP dan keratin fosfat sehingga menghasilkan energi. Glikogen dan glukosa bebas didalam daging akan mengalami penguraian menjadi asam laktat dan menghasilkan ATP, sehingga terjadi penurunan pH.

(25)

Suwetja (2013) menjelaskan bahwa selama fase post mortem kadar ATP mula-mula menurun tajam, dan kemudian hilang pada saat ikan memasuki tahap akhir rigor mortis. Penurunan pH terjadi pada fase ini karena adanya akumulasi asam laktat yang terjadi karena adanya proses glikolisis yang berlangsung secara anaerob sehingga asam laktat akan menyebabkan pH menjadi turun.

Fase postrigor hasil pengamatan organoleptik udang yaitu menunjukkan nilai 5-3. Fase postrigor udang terjadi setelah hari ke-11 sampai hari ke-17. Fase postrigor pada udang menunjukkan bahwa udang sudah tidak layak untuk konsumsi. Hal ini dikarenakan spesifikasi udang pada fase postrigor memiliki spesifikasi kenampakan yaitu utuh, warna udang berubah menjadi merah muda, kebeningan hilang, antar ruas menjadi kurang kokoh, dan penyebaran blackspot semakin banyak. Bau udang pada fase postrigor menjadi netral hingga timbul bau amoniak. Spesifikasi tekstur udang mengalami perubahan yaitu menjadi tidak elastis, kompak, dan padat. Fase postrigor terjadi setelah rigor mortis berakhir, dan terjadi penguraian protein otot daging ikan menjadi senyawa sederhana, yaitu dipeptida dan asam amino. Fase postrigor ditandain dengan daging akan menjadi lunak karena adanya kerja enzim pada tubuh udang (Suwetja 2013). Nilai pH pada fase postrigor mengalami peningkatan akibat dari penguraian protein sehingga mengakibatkan terbentuknya senyawa basa volatil. Nilai pH yang meningkat menjadi basa digunakan sebagai tempat untuk pertumbuhan bakteri.

Fase kebusukan (deterioration) yaitu merupakan fase kebusukan pada udang vaname dan udang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Fase kebusukan (deterioration) hasil pengamatan organoleptik udang yaitu menunjukkan nilai 3-1. Fase kebusukan (deterioration) terjadi setelah hari ke-17. Hasil pengamatan organoleptik pada fase kebusukan (deterioration) memiliki spesifikasi kenampakan yaitu warna udang merah kusam, kulit mudah terkelupas dari daging, dan pembentukan blackspot menjadi banyak. Bau udang pada fase kebusukan (deterioration) yaitu bau amoniak hingga busuk, dan tekstur daging udang menjadi lunak. Ridwansyah (2002) menyatakan bahwa bau udang pada fase kebusukan (deterioration) disebabkan karena kandungan asam lemak yang terdapat pada daging udang yang mengalami proses oksidasi. Fase kebusukan (deterioration) terjadi proses autolisis karena adanya enzim yang memecah protein dan lemak, sehingga menyebabkan daging menjadi lunak. Setelah udang mati seluruh sistem enzimatik berjalan tidak teratur sehingga berakibat pada jaringan dan organ udang berubah menjadi busuk (Suwetja 2011).

Derajat Keasaman (pH) Udang Vaname

(26)

12

selama proses kemunduran mutu yang berlangsung yaitu pada fase prerigor , fase rigor mortis, dan fase postrigor. Nilai pH daging udang selama proses kemunduran mutu disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Perubahan pH pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari penyimpanan.

Leitao dan Rios (2000) menjelaskan bahwa nilai pH udang selama penyimpanan suhu ±5 ºC pada hari 0 atau fase prerigor yaitu 7,73. Penyimpanan hari ke 5 atau fase rigor mortis nilai pH meningkat menjadi 8,33. Penyimpanan pada hari ke-10 peningkatan menjadi 8,40. Peningkatan nilai pH dikarenakan semakin banyak senyawa-senyawa basa yang terbentuk sehingga akan mempercepat kenaikan nilai pH. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap udang vaname sesuai dengan penjelasan Leitao dan Rios (2000) semakin lama waktu penyimpanan nilai pH yang dihasilkan semakin meningkatan seiring dengan fase kemunduran mutu udang. Hal ini diduga karena kerja enzim metabolisme yang cepat pada udang dan kandungan glikogen dalam daging udang karena proses kematian pada udang. Peningkatan nilai pH selama penyimpanan suhu dingin diduga karena adanya pembentukan amina oleh asam amino dekarboksilasi (Leitao dan Rios 2000).

Tinggi dan rendah nilai pH tergantung dari jumlah glikogen yang terdapat pada daging udang dan kekuatan penyangga (buffering power). Kekuatan penyangga (buffering power) pada daging disebabkan karena protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa volatil. Nilai pH pada awal kemunduran mutu tergantung kandungan glikogen yang terdapat dalam daging udang. Kondisi udang saat mati menetukan akumulasi asam laktat dalam daging udang, semakin banyak kandungan asam laktat dalam daging menyebabkan adanya penurunan pH daging dan mempercepat kerja enzim metabolisme.

Total Volatile Base (TVB) Udang Vaname

(27)

4,43

penguraian protein dan senyawa kompleks pada daging udang yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan bakteri pembusuk sehingga menghasilkan senyawa-senyawa volatil misalnya amin dan amoniak. Salah satu metode untuk menentukan tingkat kesegaran udang yaitu dengan menentukan senyawa basa yang menguap atau TVB. Prinsip pengujian TVB yaitu untuk menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena adanya penguraian protein dan asam-asam amino yang terdapat pada daging udang. Hasil pengujian TVB yang dilakukan tiap fase kemunduran mutu disajikan pada Gambar 3.

Kadar TVB udang vaname yang disimpan pada suhu ±4 ºC mengalami peningkatan seiring dengan lama waktu penyimpanan dan selama proses kemunduran mutu udang yaitu pada fase prerigor, fase rigor mortis, fase postrigor. Batasan kadar TVB untuk produk hasil perikanan menurut Goncalves et al. (2009) yaitu kriteria sangat segar apabila nilai kadar TVB kurang dari 10 mg N/100 g, segar berkisar antara 10-20 mg N/100 g, tidak segar antara

20-30 mg N/100 g, dan tidak layak untuk dikonsumsi lebih besar dari 30 mg N/100 g. Ozogul dan Ozogul (2000) menjelaskan bahwa batas kadar TVB

untuk udang yang layak konsumsi yaitu berkisar antara <5 mg N/100 g sampai 30 mg N/100 g. Suwetja (2013) menentukan batas kadar TVB pada jenis udang Penaeus japonicus yang layak untuk dikonsumsi lebih kecil yaitu maksimal 20 mg N/100 g.

Gambar 3 Perubahan TVB pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari penyimpanan

(28)

14

fase prerigor dan rigor mortis, sedangkan udang fase postrigor sudah tidak layak

untuk konsumsi hal ini dikarenakan nilai TVB yang terbentuk lebih dari 20 mg N/100 g. Hal ini sesuai dengan Suwetja (2013) yang menyatakan bahwa

batas kadar TVB maksimal udang layak untuk konsumsi yaitu 20 mg N/100 g. Peningkatan kadar TVB selama penyimpanan terjadi akibat adanya perombakan protein atau asam-asam amino sehingga menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak (NH3), dimetilamin (DMA),

monometilamin (MMA), hidrogen sulfida (H2S) dan trimetilamin (TMA) karena

adanya perombakan trimetilamin oksida (TMAO) (Suwetja 2013). Menurut Jiang (2000) peningkatan nilai TVB juga disebabkan oleh adanya nukleotida yang mentransfer ATP sehingga berperan dalam penambahan jumlah ammonia pada volatil amin. Akumulasi nilai TVB merupakan akibat dari aktivitas mikroba yang ada pada daging sehingga dapat menghasilkan enzim. Senyawa yang dihasilkan akibat aktivitas dan dekomposisi bakterial yang digunakan dalam penentuan kriteria kesegaran produk perikanan yaitu indol, hipoksantin, volatile reducing substance (VRS), TVB (Junianto 2003).

Indol pada Udang Vaname

Indol merupakan indeks biokimia yang menunjukkan tingkat kebusukan udang. Indol merupakan salah satu produk dekomposisi protein yang disebabkan karena aktivitas bakteri. Indol yang terkandung dalam daging udang akan semakin bertambah jumlahnya sebanding dengan tingkat penguraian (dekomposisi). Indol yang terkandung dalam daging udang juga terbentuk karena penguraian protein oleh bakteri yaitu jenis Proteus morganii, Enterobacteriaceae, dan Escherichia coli. Penyimpanan udang pada suhu dan kondisi tertentu akan mengakibatkan asam amino triptofan teroksidasi menjadi senyawa indol dan senyawa-senyawa lain. Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang terdapat pada protein, sehingga asam amino triptofan mudah digunakan oleh mikroorganisme akibat penguraian protein. Indol dihasilkan dari metabolisme triptofan pada struktur protein bebas oleh enzim triptofanase dan mikroorganisme (Mendes et al. 2005). Enzim triptofanase dihasilkan dari mikroba yaitu Escherichia coli. Enzim tersebut mengkatalisis penguraian gugus indol dari triotofan. Pengukuran kadar indol dalam daging udang digunakan apabila evaluasi secara organoleptik dan pH sulit untuk dilakukan (Cheuk dan Finne 1981). Hasil pengujian kandungan indol dalam udang vaname disajikan pada Gambar 4.

Kandungan indol pada udang vaname yang disimpan pada suhu ±4 ºC mengalami peningkatan seiring dengan lama waktu penyimpanan dan selama proses kemunduran mutu yaitu pada fase prerigor, fase rigor mortis, dan fase postrigor. Indol dalam daging udang yang telah ditetapkan oleh FDA pada

analisis kemunduran mutu udang dibagi menjadi 3 kelas. Kadar indol

<25 µg/100 g adalah kadar indol kelas 1. Kadar indol ≥25 µg/100 g untuk kadar

(29)

9,92

Indikator bahwa indol termasuk golongan 1 yaitu karena karakteristik dari daging udang yang masih segar dan tidak menimbulkan bau.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kandungan indol dalam daging udang mengalami peningkatan seiring dengan perubahan fase kemunduran mutu. Fase postrigor kandungan indol pada daging udang vaname relatif rendah. Kadar indol yang diperoleh dari udang dengan penyimpanan pada suhu dingin menghasilkan kadar indol yang tidak tinggi. Hal ini diduga pada penyimpanan udang suhu rendah (4 ºC) akan berpengaruh terhadap indol yang diproduksi yaitu menghasilkan kandungan indol yang rendah karena bakteri psicrofilik dapat tumbuh secara optimum pada suhu 10 ºC. Hal ini sesuai dengan Afrianto dan Liviawaty (2003) yang menyatakan bahwa bakteri psicrofilik akan tumbuh secara optimum pada suhu 10 ºC.

Suhu penyimpanan berpengaruh pada kadar indol yang terkandung dalam daging udang. Mendes et al. (2002) menjelaskan bahwa pada suhu >10 ºC produksi indol dalam daging udang yang disebabkan oleh bakteri golongan psikrofilik dan bakteri proteolitik. Indol yang terkandung dalam udang pada penyimpanan suhu rendah relatif kecil karena pada daging udang hanya memiliki kandungan triptofan bebas yang rendah. Kandungan indol pada udang akan meningkat seiring dengan pembusukan oleh bakteri proteolitik. Bakteri proteolitik akan memecah jaringan pada daging udang sehingga menyediakan triptofan yang kemudian akan diubah menjadi indol. Sesuai dengan Mendes et al. (2002) udang busuk tidak selalu mengandung kadar indol yang tinggi, hal ini karena pada penyimpanan suhu dingin aktivitas bakteri proteolitik tidak memproduksi triptofan bebas sehingga produksi indol menjadi sangat kecil.

Gambar 4 Perubahan Indol pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari penyimpanan

Blackspot Udang Vaname

(30)

16

pembentukan warna hitam yaitu disebut blackspot (Kim et al. 2000). Blackspot atau melanosis yang terjadi selama kemunduran mutu udang berkaitan dengan reaksi biokimia enzim polyphenoloxidase yang menyebabkan adanya oksidasi fenol menjadi quinon (Montero et al. 2001). Utari (2014) menjelaskan bahwa pengamatan blackspot yang terjadi selama kemunduran mutu diamati pada bagian mata, cephalothorax, abdomen, dan pereiopod. Awal munculnya blackspot pada udang vaname terjadi pada pengamatan jam ke-48, hal ini terkait dengan hasil pengamatan organoleptik, bahwa munculnya blackspot terjadi pada peralihan antara fase pre rigor ke fase rigor mortis. Blackspot pertama kali muncul yaitu pada bagian chepalothorax. Penyebaran blackspot pada bagian chepalothorax berjalan lebih cepat dibandingkan pada bagian tubuh yang lain, hal ini karena adanya organ pencernaan pada chepalothorax yang menyebabkan pembusukan udang vaname sehingga laju penyebaran blackspot lebih cepat. Penyebaran blackspot pada bagian pereiopod memiliki laju penyebaran yang cepat seperti pada chepalothorax, hal ini disebabkan pereiopod terletak dibawah chepalothorax. Hasil pengamatan penyebaran blackspot sesuai dengan Nirman dan Benjakul (2011) yang menyatakan bahwa selama penyimpanan pada suhu 4 ºC terjadi peningkatam nilai melanosis. Ilyas (1993) menyatakan bahwa proses melanosis atau blackspot akan cepat terjadi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang kering, adanya oksigen, suhu, waktu penyimpanan, enzim tirosinase, dan substrat tirosin yang terdapat pada karapas udang.

Aktivitas Enzim Polyphenoloxsidase (PPO) Udang Vaname

Polyphenoloxidase (PPO) merupakan enzim yang mengkatalis terjadinya dua reaksi dasar atau mengkatalis hidroksilasi ke posisi gugus O yang berdekatan dengan hidroksil lainnya. Enzim PPO menggunakan substrat berupa fenol dan oksigen. Reaksi yang terjadi pada enzim PPO yaitu oksidasi dari diphenol menjasi o-benzoquinon yang teroksidasi menjadi melanin (berwarna coklat). Perubahan menjadi warna coklat terjadi secara non enzimatis (Kim et al. 2000).

Enzim PPO sangat berpengaruh dalam reaksi pencoklatan pada buah dan sayuran. Fungsi fisiologis dari enzim PPO dengan aktivitas diphenolase digunakan dalam reaksi pengerasan kutikula pada karapas udang. Reaksi oksidasi dari diphenol menjadi kuinon disebut dengan oksidasi diphenol atau aktivitas katekol oksidase. Reaksi ini dapat mempercepat reaksi yang terjadi karena oksidase monophenol berhubungan dengan pembentukan kuinon yang

menyebabkan terjadinya melanosis atau pencoklatan pada udang (Kim et al. 2000). Hasil pengujian aktivitas ekstrak enzim dari karapas udang

disajikan pada Gambar 5. Pengujian aktivitas spesifik enzim PPO dilakukan setiap fase kemunduran mutu udang yaitu pada fase prerigor, rigor mortis, dan postrigor. Aktivitas spesifik enzim PPO udang vaname yang disimpan pada suhu ±4 ºC mengalami peningkatan aktivitas pada fase prerigor dan fase rigor mortis, akan tetapi mengalami sedikit penurunan pada fase postrigor.

(31)

5,44

substrat. Suhandana (2014) menyebutkan enzim PPO mencapai aktivitas optimum pada pH 7. Aktivitas enzim pada nilai pH yang lebih rendah dan lebih tinggi akan mengakibatkan aktivitas enzim lebih rendah. Fase postrigor aktivitas enzim PPO mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada fase postrigor pH telah basa yaitu nilai pH yang didapatkan sebesar 7,37 sehingga aktivitas enzim PPO mengalami penurunan. Fase postrigor aktivitas enzim PPO mengalami penurunan. Hal ini diduga karena semakin lama penyimpanan pada udang maka penyebaran blackspot semakin banyak dan sejalan dengan penurunan konsentrasi substrat yaitu tirosin, sehingga aktivitas spesifik dari enzim PPO juga mengalami penurunan.

Gambar 5 Aktivitas enzim polyphenoloxidase udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari penyimpanan.

Total Mikroba pada Udang Vaname

Perubahan yang terjadi setelah udang mati yaitu terjadi perubahan biokimia dan mulai terjadi proses kemunduran mutu atau deterioration yang disebabkan oleh kegiatan autolisis, kimiawi, dan bakterial. Selama udang hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran dan permukaan kulit (karapas) tidak dapat merusak dan menyerang bagian-bagian tubuh dari udang, karena bagian tubuh udang memiliki batas pencegahan. Jumlah mikroba yang terdapat pada udang selama proses kemunduran mutu dapat digunakan sebagai penentu mutu kesegaran udang. Akhir fase autolisis bakteri pembusuk sudah mulai bekerja memanfaatkan senyawa-senyawa yang sudah sederhana untuk tumbuh dan berkembang biak. Jumlah bakteri akan semakin meningkat seiring dengan tingkat kebusukan udang. Awal pembusukan jumlah total bakteri dalam daging udang yaitu sekitar 105 CFU/g (Suwetja 2013). Jumlah total mikroba pada setiap fase kemunduran mutu udang dapat dilakukan dengan perhitungan nilai total plate count (TPC).

(32)

18 prerigor, fase rigor mortis, dan fase postrigor.

Gambar 6 Perubahan jumlah mikroba pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari penyimpanan

Hasil penentuan jumlah total mikroba selama kemunduran mutu udang yaitu pada fase prerigor dan rigor mortis telah sesuai dengan Zeng et al. (2005) yang menyatakan bahwa udang yang segar mempunyai nilai TPC yaitu maksimal 1x106 CFU/g atau 6 log CFU/g. Persyaratan mutu dan keamanan pangan menyebutkan bahwa maksimal cemaran jumlah mikroba maksimal yaitu TPC sebesar 5,0x105 CFU/g atau 5,6 log CFU/g (BSN 2006). Jeyasekaran et al. (2006) menyebutkan bahwa jumlah mikroba hasil perikanan yang segar berkisar antara

0,3 hingga 7,0 log CFU/g tergantung dari tingkat kontaminasi. Mendes et al. (2002) menyebutkan bahwa udang segar mempunyai jumlah bakteri

yang rendah yaitu 3,7 log CFU/g. Jumlah total mikroba akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu dan lama waktu penyimpanan. Jumlah total mikroba setelah penyimpanan 15 hari meningkat menjadi 5,2 log CFU/g. Penentuan jumlah total mikroba pada fase postrigor dilakukan pada akhir fase postrigor sehingga jumlah fase postrigor telah melampaui batas persyaratan dan keamanan pangan yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir fase postrigor udang sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena pada jumlah mikroba 1,4×107 CFU/g.

Peningkatan jumlah mikroba pada udang diduga dapat terjadi karena adanya peningkatan kadar air pada udang selama penyimpanan suhu dingin. Hal ini didukung oleh pernyataan Jannah et al. (2014) bahwa semakin tinggi kadar air dan aw suatu bahan pangan maka jumlah mikroba yang tumbuh akan semakin

(33)

bakteri. Jumlah total mikroba daging udang mengalami kenaikan pada setiap fase post mortem, hal ini dipengaruhi oleh jenis udang, ukuran, dan aktivitas enzim. Jumlah total mikroba juga dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan yang berpengaruh terhadap kandungan protein. Bakteri yang terdapat pada udang dapat merusak karapas dan menimbulkan amoniak, bau asam dan mengakibatkan adanya kerusakan pada daging. Oleh karena itu, timbul senyawa senyawa biogenik amin dan senyawa-senyawa menguap. Seiring dengan meningkatnya jumlah mikroba maka TVB pada daging udang juga semakin meningkat.

Bakteri Kontaminasi pada Udang

Penyimpanan udang berkaitan dengan kemunduran mutu udang yang terjadi. Kemunduran mutu udang diakibatkan adanya kerusakan karena terjadinya proses autolisis yaitu oleh enzim protease, oksidasi asam lemak tidak jenuh, dan pertumbuhan bakteri. Kerusakan selama kemunduran mutu udang yang disebabkan oleh mikroba pembusuk, pada tingkat awal ditandai dengan perubahan rasa dan zat gizi, dan pada tingkat akhir akan menyebabkan udang menjadi busuk dan tidak lagi layak untuk dikonsumsi (Suwetja 2013). Cemaran mikroba yang ditetapkan oleh SNI untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan yaitu jumlah total mikroba (TPC), Salmonella, Escherichia coli, dan Vibrio cholerae (BSN 2006). Jeyasekaran et al. (2006) menyebutkan bahwa bakteri yang terdapat pada udang segar yaitu Aeromonas, Pseudomonas, Flavobacterium, Vibrio, dan Serratia. Lalitha dan Surendran (2005) menjelaskan bahwa bakteri penghasil H2S

pada udang merupakan bakteri Enterobacteriaceae dan Aeromonasaceae, dan setelah penyimpanan 19 hari bakteri yang terdapat pada udang yaitu dari golongan Gram negatif.

Mejlholm et al. (2008) menyatakan bahwa pada udang yang disimpan pada suhu 7 ºC yang tumbuh yaitu bakteri Pseudomonas flourescens, Enterococcus malodoratus, Carnobacterium maltaromaticum, koagulase negatif Staphylococcus spp. dan Lactobacillus sakei. Okonko et al. (2008) menyebutkan bahwa mikroba yang digunakan sebagai indikator kualitas makanan antara lain

E. coli, Salmonella sp., Shigella sp., dan Staphylococcus aureus. Okonko et al. (2008) menyebutkan bahwa mikroba yang dapat diisolasi dari

udang antara lain Bacillus sp., Salmonella sp., Shigella sp., Enterobacter sp., Micrococcus sp., Escherichia coli, Flavobacterium sp., Staphylococcus auerus, Pseudomonas sp., Rhizopus sp., Aspergillus flavus, Aspergillus formigatus, Mucor mucido, and Sacchromyces sp.

Penelitian dilakukan dengan mengisolasi bakteri yang diduga sebagai penyebab kontaminasi atau bakteri patogen pada udang sehingga menyebabkan kerusakan yaitu bakteri (Salmonella spp., E. coli, Staphylococcus aureus, dan Vibrio cholera). Hasil isolasi bakteri dari udang vaname disajikan pada Gambar 7. Hasil bakteri setiap tahap isolasi disajikan pada Lampiran 4.

(34)

20

ada gas dan H2S. Hasil yang terlihat pada Gambar 7c. yaitu media LIA untuk

pengujian Salmonella spp. Hasil yang didapatkan yaitu negatif Salmonella spp., hal ini dapat dilihat dari warna yang dihasilkan adalah warna ungu dan kuning. Hasil yang menunjukkan positif Salmonella spp. yaitu pada agar miring dan agar datar berwarna ungu. Hasil pengujian E. coli yang terdapat pada Gambar 7d. yaitu menunjukkan hasil negatif karena pada media EC broth tidak terdapat gelembung pada tabung durham. Hasil yang menunjukkan positif E. coli yaitu pada media EC broth terdapat gelembung dan keruh. Gambar 7e. menunjukkan hasil negatif pada uji koagulase bakteri Staphylococcus aureus karena tidak terjadi penggumpalan. Hasil yang menunjukkan hasil positif S. aureus yaitu terjadi penggumpalan pada isolat yang ditambahkan dengan koagulase plasma dan EDTA.

Gambar 7 Hasil pengujian bakteri kontaminasi udang. Hasil Negatif: (a) Vibrio cholerae, (b) Media TSI pengujian Salmonella spp., (c) Media LIA pengujian Salmonella spp., (d) Media EC broth pada pengujian Escherichia coli, (e) Uji koagulase pada pengujian Staphylococcus aureus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat bakteri yang diisolasi dari udang vaname tidak terdeteksi adanya bakteri kontaminan atau bakteri patogen. Hal ini diduga pada udang telah diberikan antibiotik yang dapat menghambat kerja dari bakteri pembusuk, dan dapat diduga bahwa kebusukan udang tersebut disebabkan oleh enzim bukan karena bakteri. Antibiotik tersebut bisa berasal dari tambak tempat hidup udang dan dari pakan yang diberikan selama pertumbuhan udang. Bakteri yang tidak tumbuh diduga karena penyimpanan udang vaname pada suhu dingin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Sesuai dengan Mendes et al. (2002) yang menyatakan bahwa penyimpanan suhu dingin (2 ºC)

(a) (b) (c)

(35)

dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab dekomposisi yang dapat menghasilkan indol pada udang. Hasil penelitian terhadap udang vaname sesuai dengan penelitian Okonko et al. (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat Vibrio sp. pada udang vaname.

Pewarnaan Gram Bakteri Udang Vaname

Pewarnaan Gram bakteri merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengetahui klasifikasi dan morfologi bakteri. Metode pewarnaan Gram digunakan untuk mengetahui kelompok bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Sel-sel bakteri yang tidak dapat melepaskan warna akan tetap berwarna seperti kristal violet yaitu biru ungu disebut bakteri Gram positif. Sel-sel bakteri yang dapat melepaskan warna kristal violet dan mengikat safranin sehingga berwarna merah atau merah muda disebut dengan bakteri Gram negatif (Savitri 2006).

Pewarnaan Gram terhadap bakteri yang diisolasi dari udang vaname (L. vannamei) dilakukan untuk mengetahui bentuk dan reaksi Gram bakteri. Pewarnaan Gram terhadap bakteri dari udang dilakukan pada penyimpanan hari ke-19 atau pada fase kebusukan (deterioration). Bakteri diisolasi dari udang vaname dengan media nutrient agar (NA), hasil isolasi terbentuk koloni dengan warna koloni kuning krem, kuning susu, dan putih susu. Koloni bakteri yang terpilih dari media nutrient agar (NA) kemudian dimurnikan menggunakan media nutrient agar (NA) miring. Kultur bakteri pada agar miring diamati dengan pewarnaan Gram. Hasil yang didapatkan dari pewarnaan Gram bakteri dapat dilihat bahwa bentuk sel dari masing-masing koloni bakteri seragam yaitu berbentuk kokus, bergerombol seperti anggur dan termasuk golongan bakteri Gram positif dan Gram negatif, karena dari hasil yang didapat bakteri berwarna ungu dan berwarna merah. Hasil pewarnaan Gram terhadap bakteri pada udang vaname dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil pewarnaan Gram bakteri pada udang vaname (L. vannamei). (a) Bakteri Gram negatif dari udang vaname, (b) Bakteri Gram positif dari udang vaname.

Pewarnaan Gram yang terlihat pada Gambar 8a yaitu bakteri Gram negatif dengan morfologi yaitu bulat atau kokus dan bergerombol seperti anggur. Hasil pewarnaan Gram pada Gambar 8b didapatkan bahwa bakteri yang diisolasi dari udang mempunyai morfologi bakteri yaitu berbentuk coccus dan merupakan bakteri Gram positif. Bakteri Gram negatif hasil penelitian, sesuai dengan

(36)

22

penelitian Lalitha dan Surendran (2005) yang menjelaskan bahwa bakteri pada udang yang telah disimpan selama 19 hari menghasilkan 80 % bakteri golongan Gram negatif. Adanya bakteri Gram postif pada udang vaname, sesuai dengan penelitian Vega et al. (2006) yang menyatakan bahwa pada udang putih terdapat bakteri Gram positif yaitu Micrococcus luteus.

Vega et al. (2006) menjelaskan bahwa pada udang putih terdapat bakteri Gram negatif yaitu jenis Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemotyticus, dan Vibrio cholera. Golongan bakteri Gram postif yang terdapat pada udang putih yaitu Micrococcus luteus. Bakteri Micrococcus luteus yang terdapat pada udang

putih merupakan bakteri pembusuk. Bakteri V. alginolyticus dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri patogen pada udang. Hal ini sesuai hasil

penelitian Shirai et al. (2001) bahwa mikroba atau mikroflora yang menjadi penyebab kebusukan pada udang antara lain Pseudomonas, Moraxella, Acinetobakter, dan Micrococcus. Lalitha dan Surendran (2005) menjelaskan bahwa bakteri Gram negatif yang dominan pada udang air tawar (Macrobrancium rosenbergii) adalah golongan Enterobacteriaceae dan Aeromonadaceae. Bakteri yang menyebabkan kebusukan pada udang yang merupakan bakteri Gram negatif yaitu Pseudomonas, Aeromonas hydrophila, A. veronii boivar sobria, dan Shewanella putrefaciens.

Hubungan Antar Parameter Kesegaran Udang

Korelasi antar parameter kesegaran udang dilakukan dengan uji korelasi linear dan polinomial. Korelasi linear dan polinomial dilakukan terhadap parameter pH, total volatile base (TVB), total plate count (TPC), indol, dan aktivitas spesifik enzim polyphenoloxidase. Analisis korelasi linear antara parameter kesegaran mutu udang dilihat dengan koefisien linear sederhana dengan nilai derajat korelasi antara lain r≥0,7 adalah hubungan sangat erat, 0,5<r<0,7 adalah hubungan erat, dan r≤ 0,5 adalah hubungan tidak erat. Hubungan antara parameter kesegaran udang dapat dilihat pada Gambar 9.

Hasil analisis korelasi linear dapat diketahui bahwa antara nilai pH udang dengan kadar TVB udang memiliki hubungan yang sangat erat (R≥0,7) setiap fase kemunduran mutu yaitu pada fase prerigor hingga fase postrigor. Korelasi yang dihasilkan tersebut seiring dengan lama waktu penyimpanan, kadar pH semakin meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase postrigor. Peningkatan nilai pH diikuti dengan peningkatan nilai TVB pada udang. Mendes et al. (2002) menyatakan bahwa nilai pH fase postrigor menunjukkan sifat basa yang merupakan indikasi penurunan kualitas udang. Penurunan kualitas udang yaitu terjadinya proses autolisis sehingga terjadi perombakan senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, dan adanya aktivitas bakteri yang menghasilkan senyawa sisa yaitu NH3, trimetilamin (TMA) dan senyawa

turunannya (Suwetja 2013). Hal ini yang menyebabkan peningkatan nilai TVB selama penyimpanan.

(37)

y = 35.65x - 234.4 miningkatnya aktivitas bakteri sehingga terjadi dekomposisi protein yang menghasilkan senyawa indol.

(38)

24

Gambar 10 Koefisien korelasi antara parameter kemunduran mutu udang vaname secara kimiawi. Korelasi antara: (g) Nilai pH dengan aktivitas enzim PPO, (h) Kadar TVB dengan aktivitas enzim PPO, (i) Nilai TPC dengan aktivitas enzim PPO, (j) Kadar indol dengan aktivitas enzim PPO.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa antara kadar TVB dengan kadar indol terdapat hubungan yang sangat erat (R≥0,7) yaitu pada fase prerigor hingga fase postrigor. Peningkatan kadar TVB terjadi selama penyimpanan yang diikuti oleh peningkatan kadar indol selama kemunduran mutu pada udang. Kadar indol selama kemunduran mutu udang mengalami peningkatan seiring dengan laju dekomposisi yang terjadi. Kadar indol dengan kadar TVB mengalami peningkatan seiring dengan adanya penguraian asam amino. Hal ini sesuai Suwetja (2013) menyatakan NH3 terbentuk dari perombakan asam amino. Mendes et al. (2005)

menyatakan bahwa senyawa indol terbentuk akibat asam amino triptofan teroksidasi yang disebabkan oleh aktivitas mikroba.

Hasil analisis korelasi polinomial menunjukkan bahwa antara nilai pH dengan jumlah total mikroba terdapat hubungan yang sangat erat (R≥0,9) yaitu pada fase prerigor hingga postrigor. Peningkatan nilai pH terjadi selama penyimpanan yang diikuti oleh peningkatan jumlah total mikroba selama

(g) (h)

(39)

kemunduran mutu pada udang. Nilai pH menunjukkan indikasi kesegaran udang. Nilai pH mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Nilai pH yang mendekati netral

dan basa menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba (Afrianto dan Liviawaty 2003)

Hasil analisis korelasi linear menunjukkan bahwa antara jumlah total mikroba dengan kadar TVB terdapat hubungan yang sangat erat (R≥0,7) yaitu pada fase prerigor hingga fase postrigor. Peningkatan jumlah total mikroba terjadi selama penyimpanan yang diikuti oleh peningkatan kadar TVB selama kemunduran mutu pada udang. Peningkatan kadar TVB disebabkan karena adanya peningkatan mikroba yang merombak senyawa hasil autolisis menjadi senyawa sisa antara lain amonia (NH3), trimetilamin (TMA) dan turunannya yang

merupakan golongan basa menguap. Ozogul dan Ozogul (2000) menyebutkan bahwa peningkatan kadar TVB disebabkan oleh aktivitas enzim protease dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan.

Hasil analisis korelasi linear menunjukkan bahwa antara jumlah total mikroba dengan kadar indol terdapat hubungan yang erat (0,5<R<0,7) yaitu pada fase prerigor hingga postrigor. Peningkatan jumlah total mikroba terjadi selama penyimpanan yang diikuti oleh peningkatan kadar indol selama kemunduran mutu pada udang. Kadar indol merupakan produk dekomposisi protein karena adanya aktivitas mikroba (Mendes et al. 2002). Kadar indol akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah total mikroba.

Hasil analisis korelasi polinomial menunjukkan bahwa antara nilai pH dengan aktivitas enzim PPO terdapat hubungan yang sangat erat (R≥0,9) yaitu pada fase prerigor hingga postrigor. Aktivitas enzim PPO dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya pH. Hal ini diduga karena semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH pada media reaksi enzim yang terjadi. Nilai pH netral (7) mengakibatkan aktivitas enzim PPO menjadi optimum. Nilai pH asam atau pH basa akan mengakibatkan aktivitas enzim PPO menurun.

Hasil analisis korelasi polinomial antara kadar TVB dengan aktivitas enzim PPO terdapat hubungan yang sangat erat (R≥0,9) yaitu pada fase prerigor hingga fase postrigor. Kadar TVB akan mempengaruhi nilai aktivitas enzim PPO, hal ini karena TVB dipengaruhi oleh aktivitas mikroba yang menyebabkan adanya pemecahan protein. Mikroba menyebabkan pembentukan melanosis atau blackspot sehingga mendorong adanya substrat yang mempengaruhi aktivitas enzim PPO.

Hasil analisis korelasi polinomial yang dilakukan antara jumlah total mikroba dengan aktivitas enzim PPO terdapat hubungan yang erat (R≤0,9) pada fase prerigor hingga fase postrigor. Jumlah total mikroba mempengaruhi nilai aktivitas enzim PPO. Hal ini karena aktivitas enzim PPO disebabkan oleh adanya aktivitas mikroba yang menghasilkan pembentukan melanin atau blackspot.

(40)

26

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Fase kemunduran mutu udang vaname berdasarkan pengamatan organoleptik yaitu fase prerigor, rigor mortis, postrigor, dan kebusukan. Nilai pH selama kemunduran mutu udang mengalami peningkatan seiring berjalannya proses kemunduran mutu. Kandungan TVB selama kemunduran mutu mengalami peningkatan. Kandungan indol selama kemunduran mutu mengalami peningkatan akan tetapi masih diambang batas penetapan oleh FDA yaitu >25 µg/100g. Aktivitas enzim PPO tertinggi pada fase rigor mortis karena nilai pH optimum untuk aktivitas enzim terjadi pada fase rigor mortis. Jumlah total mikroba selama kemunduran mutu udang yaitu pada fase postrigor mengalami kenaikan mencapai 1,4x107 koloni/g. Bakteri pembusuk yang diisolasi dari udang tidak terdeteksi, hal ini karena pada udang vaname diduga telah diberikan antibiotik baik pada tambak maupun pada pakan udang selama masa pertumbuhan. Hasil pewarnaan Gram dari bakteri hasil isolasi udang menunjukkan bahwa terdapat bakteri Gram positif dan Gram negatif yang berbentuk coccus.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu pengamatan kemunduran mutu secara histologi, perlu dilakukan pengamatan dan analisis bakteri pembusuk penyebab kemunduran mutu pada udang, serta perlu dilakukan penelitian mengenai isolasi dan karakterisasi enzim polyphenoloxidase.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E, Liviawaty E. 2003. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Aktinola SL, Bakare SB. 2012. Effect of ice storage on the biochemical composition of Macrobrachium vollenhovenii (Herklots, 1857). Journal of Fisheries and Aquatic Science 1(1): 1-5.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2345-2006. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Indonesia. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia

Gambar

Tabel 1 Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 1,5-2,0 mg/mL
Gambar 1 Kemunduran mutu udang vaname (L. vannamei) secara
Gambar 2 Perubahan pH pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari
Gambar 3 Perubahan TVB pada udang vaname (L. vannamei) selama 12 hari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan mineral kalsium dalam media selama tahap aklimasi ke salinitas rendah merupakan nilai kebaruan dalam penelitian ini, sementara pemberian potasium dan pakan

Penelitian ini bertujuan menentukan mutu kimiawi yang meliputi analisis proksimat (air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kapasitas antioksidan, dan total

Saran untuk penelitian selanjutnya yakni (1) penggunaan teknik pewarnaan lainnya yang dapat dijadikan pembanding dalam pembuatan preparat, (2) penentuan perubahan jaringan

Selama penyimpanan ronto terjadi proses fermentasi lanjut yang ditandai dengan perubahan warna, penurunan nilai kekentalan, kadar pati, dan pH, serta peningkatan total

Agar udang yang dibudidayakan tetap sehat meskipun hidup dalam kondisi berdesakan, maka lingkungan budidaya harus dikendalikan, minimal ada tiga indikator

Pada penelitian ini dilakukan pengujian yaitu pengujian perubahan warna nilai mean RGB pada label indikator, derajat keasaman (pH) pada filet ikan nila,

Dilain pihak pada kegiatan budidaya vaname teknologi intensif yang menggunakan benur vaname yang sama, pada lokasi dan air sumber yang sama, dan waktu pemeliharaan yang

KESIMPULAN Selama penyimpanan ronto terjadi proses fermentasi lanjut yang ditandai dengan perubahan warna, penurunan nilai kekentalan, kadar pati, dan pH, serta peningkatan total asam,