• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP ROKOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP ROKOK"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP

ROKOK

NUR AYU VIRGINIA IRAWATI ABSTRAK

Latar Belakang : Vitamin E merupakan salah satu antioksidan alami yang berperan dalam melindungi membran sel dari radikal bebas. Asap rokok mengandung berbagai zat berbahaya yang merupakan radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan (Mus musculus L) yang dipaparkan asap rokok.

Metode : Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Terkontrol. Sampel menggunakan 25 ekor mencit jantan yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu Kontrol Normal (pakan standar dan aquadest), K- (paparan asap rokok 2 batang/hari), P1 (vitamin E 0,4 mg/hari dan asap rokok 2 batang/hari), P2 (vitamin E 0,8 mg/hari dan asap rokok 2 batang/hari), P3 (vitamin E 1,2 mg/hari dan asap rokok 2 batang/hari), selama 35 hari. Uji yang digunakan One-Way Anova dengan nilai p<0,05.

Hasil : Hasil penelitian rerata jumlah sel spermatogenik antara lain Kontrol Normal 380,8 ± 62,02, K- 135 ± 21,87, P1 213,4 ± 33,09, P2 309 ± 42,94 dan P3 369,4 ± 50,42; menunjukkan bahwa P1, P2 dan P3 mengalami peningkatan jumlah sel spermatogenik jika dibandingkan dengan Kontrol Negatif namun jumlahnya dibawah Kontrol Normal. Hasil penelitian diameter tubulus seminiferus antara lain Kontrol Normal 232,3 ± 23,12, Kontrol Negatif 176 ± 34,18, P1 208 ± 28,45, P2 210,2 ± 37,75 dan P3 227,8± 13,29; menunjukkan bahwa P1, P2 dan P3 mengalami peningkatan ukuran diameter tubulus seminiferus jika dibandingkan dengan Kontrol Negatif namun jumlahnya dibawah Kontrol Normal.

Simpulan : Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Vitamin E dengan dosis 0,4 mg/hari, 0,8 mg/hari dan 1,2 mg/hari dapat meningkatkan jumlah sel-sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan akibat paparan asap rokok, dengan dosis 1,2 mg/hari sebagai dosis yang paling efektif untuk keduanya.

(2)

EFFECTS OF VITAMIN E ON SPERM CELLS COUNT AND SEMINIFEROUS TUBULE DIAMETER IN CIGARETTE EXPOSED

MICE (Mus musculus L)

NUR AYU VIRGINIA IRAWATI ABSTRACT

Background : Vitamin E is a natural antioxidant which helps to protect cell membrane from free radicals. Cigarette smoke contains free radical substances that harmful for our body. The aim of this study is to analyze the effects of vitamin E on sperm cells count and seminiferous tubule diameter in cigarette exposed mice (Mus musculus L).

Methods : This study used Randomized Control Trial research. Samples of 25 male mice were divided into 5 groups which are Normal Control (standard diet and aquadest), K- (cigarette smoke exposure 2 bars/daily), P1 (vitamin E 0,4 mg/daily dan cigarette smoke 2 bars/daily), P2 (vitamin E 0,8 mg/daily dan cigarette smoke 2 bars/daily), P3 (vitamin E 1,2 mg/daily dan cigarette smoke 2 bars/daily) for 35 days. The statistic test used was One Way Anova test (p<0,05). Result : Results of the total average of spermatogenic cells in Normal Control 380,8 ± 62,02, K- 135 ± 21,87, P1 213,4 ± 33,09, P2 309 ± 42,94 and P3 369,4 ± 50,42; shown that there is an increasing sperm cells count in P1, P2 and P3 compared to K- but still below Normal Control count. Results of the seminiferous tubule diameter in Normal Control 232,3 ± 23,12, K- 176 ± 34,18, P1 208 ± 28,45, P2 210,2 ± 37,75 and P3 227,8± 13,29; shown that there is an increasing of diameter in seminiferous tubule in P1, P2 and P3 compared to K- but still below Normal Control count.

Conclusion : The conclusion of this research is that vitamin E at 0,4 mg/daily, 0,8 mg/daily and 1,2 mg/daily can increase spermatogenic cells count and seminiferous tubule diameter in cigarette exposed mice, with dose at 1,2 mg/daily as the most effective dose for both.

(3)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIPAPARKAN ASAP

ROKOK

Oleh

NUR AYU VIRGINIA IRAWATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 September 1993, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bambang Irawan, S.H dan Riawati, S.Si,. Apt.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 4 Bandar Lampung pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Bandar Lampung pada tahun 2011.

(8)
(9)

i

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Jumlah Sel

Spermatogenik dan Diameter Tubulus Seminiferus Mencit (Mus musculus L) yang Dipaparkan Asap Rokok” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sekaligus Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan;

(10)

ii 4. dr. Susianti, M.Sc., selaku Pembimbing Kedua atas kesediannya untuk

memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK dan dr. Hanna Fitria, selaku Pembimbing Akademik atas waktu dan bimbingannya;

6. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

7. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila serta pegawai; 8. Bapak Bambang Irawan, S.H., ayah yang selalu mendoakan, memberikan

semangat dan harapan dan selalu mendukung saya;

9. Ibu Riawati, S.Si., Apt., bunda yang selalu memberikan perhatian, menyebutkan saya di setiap doanya, membimbing serta mendukung setiap langkah saya;

10. Adik-adik saya, Nur Bebi Ulfah Irawati dan Muhammad Naufal Ariawan, yang selalu mendoakan, menghibur, memberikan semangat, perhatian, serta keceriaan;

11. Keluarga terdekat saya (Nenek, Mami, Papi, Om Ijal, Om Mailan, Tante Dewi, Tante Yeni, Bungsu Ita, Om Ilham, Bungsu Ati, Ica, Fia, Lanti) dan seluruh keluarga besar dari ayah maupun bunda yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perhatian, dukungan dan doa yang telah diberikan;

(11)

iii 13. Pradila Desty dan Intan Ratna atas persahabatan mulai dari awal

perkuliahan hingga saat ini, serta menjadi partner penelitian yang setia di kala susah maupun senang;

14. Raissa Ulfah, Sarah Carolin, Kartika Yuana, Hein Intan, Andina Selia, Dea Lita, Intan Ratna dan Pradila Desty atas perjalanan dan persahabatan selama ini, yang selalu ada dalam suka maupun duka;

15. Satria Arief, Anisa Rizki, Nindriya Kurniandari atas persahabatan, perhatian, kritik dan saran selama ini;

16. Kak Rizni Fitriana, Kak Giska, Kak Ibnu Sina dan Kak Rino Yoga yang telah memberikan informasi mengenai penelitian untuk skripsi ini;

17. Mas Bayu, Mbak Nuria dan Mbak Romi yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan pengamatan;

18. Caca, Raissa, Roseane, Fadia, Tiara, Rizky Bayu, Tryvanie, Diano yang telah membantu dalam proses perawatan, pembedahan dan pengamatan; 19. Teman-teman kelompok tutorial 3 (Sarah, Intan, Yolanda, Dina, Rizky

Bayu, Seulanga, Vidianka, Kevin, Magista) ;

20. Teman-teman sejawat angkatan 2011 (Filla, Agatha, Fabella, Gede, Ferina, Sakinah, Wayan, Lita, Adit, Tegar, Jaya, Agung, Robby, Aryati, Restyana, Sabrine, dll) yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

(12)

iv Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Aamiiin.

Bandar Lampung, Januari 2015 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN...

1.1. Latar Belakang... 1.2. Perumusan Masalah... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.4. Manfaat Penelitian... 1.5. Kerangka Penelitian... 1.5.1. Kerangka Teori... 1.5.2. Kerangka Konsep... 1.6. Hipotesis...

II. TINJAUAN PUSTAKA...

2.1. Rokok... 2.1.1. Definisi... 2.1.2. Epidemiologi... 2.1.3. Kandungan Rokok... 2.1.4. Efek Rokok Terhadap Sistem Reproduksi... 2.2. Vitamin E...

(14)

vii 2.2.1. Sejarah Vitamin E...

2.2.2. Struktur Kimia Vitamin E... 2.2.3. Sifat dan Fungsi Vitamin E... 2.2.4. Vitamin E Sebagai Antioksidan... 2.2.5. Efek Vitamin E Terhadap Reproduksi... 2.3. Sistem Reproduksi Mencit Jantan... 2.3.1. Testis... 2.3.2. Penis... 2.3.3. Sel Leydig... 2.3.4. Sistem Duktus... 2.4. Spermatogenesis... 2.5. Histologi Testis Mencit Jantan... 2.5.1. Jaringan Epitel Seminiferus... 2.5.2. Jaringan Pengikat Dinding Tubulus Seminiferus... 2.5.3. Jaringan Pengikat Padat Pembungkus Testis...

III. METODOLOGI PENELITIAN...

3.1. Desain Penelitian... 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 3.3. Variabel Penelitian... 3.3.1. Variabel Independent... 3.3.2. Variabel Dependent... 3.4. Definisi Operasional... 3.5. Alat dan Bahan Penelitian...

3.5.1. Alat Penelitian... 3.5.2. Bahan Penelitian... 3.6. Populasi dan Sampel... 3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 3.7.1. Kriteria Inklusi... 3.7.2.Kriteria Eksklusi... 3.8. Prosedur Penelitian...

(15)

viii 3.8.1. Pemeliharaan Hewan Uji...

3.8.2. Penyediaan Vitamin E dan Asap Rokok... 3.8.3. Pemberian Perlakuan... 3.8.4. Pembuatan Preparat Tubulus Seminiferus... 3.8.5. Perhitungan Jumlah Sel Spermatogenik... 3.8.6. Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus... 3.9. Analisa Data dan Pengujian Hipotesis... 3.10. Etika Penelitian...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...

4.1. Jumlah Sel Spermatogenik... 4.2. Gambaran Tubulus Seminiferus Mencit... 4.3. Diameter Tubulus Seminferus... 4.4. Pembahasan... 4.4.1. Jumlah Sel Spermatogenik... 4.4.2. Diameter Tubulus Seminiferus...

V. SIMPULAN DAN SARAN...

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi operasional... 2. Perhitungan jumlah sel spermatogenik tiap kelompok... 3. Hasil uji normalitas data Saphiro-Wilk jumlah sel spermatogenik... 4. Hasil uji Post Hoc LSD jumlah sel spermatogenik... 5. Pengukuran diameter tubulus seminiferus tiap kelompok... 6. Hasil uji normalitas data Saphiro-Wilk diameter tubulus seminiferus.... 7. Hasil uji Post Hoc LSD diameter tubulus seminiferus...

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori... 2. Kerangka konsep... 3. Rantai kimia α-tokoferol... 4. Penampang histologi testis mencit... 5. Pemberian paparan asap rokok... 6. Diagram alur penelitian... 7. Grafik rerata jumlah sel spermatogenik mencit jantan... 8. Tubulus seminiferus kelompok normal... 9. Tubulus seminiferus kelompok negatif... 10. Tubulus seminiferus P1... 11. Tubulus seminiferus P2... 12. Tubulus seminiferus P3... 13. Grafik rerata diameter tubulus seminiferus mencit jantan...

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik... 2. Uji Statistik...

a. Jumlah Sel Spermatogenik... b. Diameter Tubulus Seminiferus... 3. Gambaran Mikroskopis Testis Tiap Sampel... 4. Alat, Bahan dan Proses Penelitian...

(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight, 2005). Infertilitas mempengaruhi populasi seksual aktif hingga sebanyak 15%, dimana 30% dari keseluruhan kasus disebabkan oleh faktor pria (Brugo-Olmedo et al., 2001). Beberapa tahun terakhir terdapat indikasi adanya penurunan konsentrasi dan kualitas sperma, hal ini berkaitan dengan faktor lingkungan dan gaya hidup. Berdasarkan data biologi, eksperimental dan epidemiologi yang ada, diketahui bahwa faktor merokok berkontribusi sebanyak 13% dalam kejadian infertilitas (Sankako et al., 2013).

(20)

2

Merokok telah terbukti mempengaruhi abnormalitas fungsi reproduksi pria seperti penurunan jumlah dan motilitas sperma, peningkatan persentase abnormalitas morfologi sperma dan kerusakan kromatin sperma. Dalam studi eksperimental, mencit yang dipaparkan asap rokok dilaporkan mengalami degenerasi dan penurunan jumlah sel leydig, sel germinal dan diameter tubulus seminiferus pada testis. Rokok menyebabkan cairan semen mengalami stres oksidatif, dimana konsentrasi reactive oxygen species (ROS) meningkat sedangkan konsentrasi asam askorbat dan aktifitas antioksidan lainnya menurun secara signifikan (Mostafa et al., 2006).

(21)

3

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai pengaruh Vitamin E terhadap sistem reproduksi mencit jantan (Mus musculus L) yang terpapar asap rokok ditinjau dari jumlah sel spermatogenik dan histologi diameter tubulus seminiferus.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan apakah ada pengaruh pemberian Vitamin E terhadap jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan (Mus musculus L) yang terpapar asap rokok

1.3.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya pengaruh pemberian Vitamin E terhadap jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan yang terpapar asap rokok

2. Mengetahui dosis yang paling efektif untuk meningkatkan jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan yang terpapar asap rokok

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

(22)

4

2. Bagi institusi, sebagai bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

3. Bagi peneliti selanjutnya, memberikan gambaran untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai fokus yang serupa.

4. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan mengenai dampak rokok dan Vitamin E bagi kesehatan reproduksi

1.5. Kerangka Penelitian

1.5.1.Kerangka Teori

(23)

5

Dalam sebuah penelitian oleh Kurnia dkk (2013), diketahui bahwa paparan asap rokok kronik menyebabkan apoptosis pada sel spermatogenik tikus, penurunan kadar testosteron, berat testis, jumlah sel - sel spermatogenik, dan adanya perubahan stadium epitel seminiferus setelah dipapar asap rokok dalam beberapa stadium sel spermatogenik

(24)

6

Gambar 1. Kerangka Teori Pengaruh Vitamin E Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus yang Dipaparkan Asap Rokok

Rokok Radikal bebas

Penurunan jumlah sel spermatogenik dan kerusakan jaringan tubulus seminiferus

Vitamin E sebagai

antioksidan Peroksidase Lipid

Peningkatan jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus

Peroksidase Lipid

Gangguan pengaturan GnRH Hipotalamus

FSH dan LH

(25)

7

1.5.2.Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Pengaruh Vitamin E Terhadap Jumlah Sel Spermatogenik dan Diameter Tubulus Seminiferus yang Dipaparkan Asap Rokok

1.6.Hipotesis

Pemberian vitamin E mampu meningkatkan jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculus L) yang dipaparkan asap rokok.

Variabel Bebas Variabel Terikat

1. Vitamin E 0,4 mg/grBB 0,8 mg/grBB 1,2 mg/grBB

2. Asap Rokok

Jumlah Sel Spermatogenik dan

Diameter Tubulus Seminiferus yang Dipaparkan Asap

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Rokok

2.1.1.Definisi

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2003).

2.1.2.Epidemiologi

(27)

9

Indonesia merupakan negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, yaitu pada urutan ke empat setelah China, USA dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Atlas 2012). Prevalensi konsumsi rokok perempuan meningkat hampir tiga kali lipat di tahun 2011. Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia yaitu sebesar 67,4% (Tobacco Control Support Center, 2012).

2.1.3.Kandungan Rokok

Rokok mengandung lebih dari 4000 komponen kimia. Sekitar kurang lebih 100 komponen bersifat toksik seperti bahan karsinogen, tar, nikotin, nitrosamin, karbonmonoksida, senyawa PAH (Polynuclear Aromatic Hydrogen), fenol, karbonil, klorin dioksin, dan furan (Fowles dan Bates, 2000).

(28)

10

Nikotin merupakan alkaloid yang sangat toksik yaitu stimulan depresan ganglionik. Nikotin juga meningkatkan serum glukosa, kortisol, asam lemak bebas, vasopresin dan beta endorphin. Bahan ini merupakan suatu bahan adiktif. Karbon monoksida merupakan salah satu komponen gas hasil pembakaran rokok yang paling berbahaya. Daya ikatnya dengan hemoglobin 230 kali lebih kuat dibandingkan daya ikat zat asam sehingga dengan sejumlah besar ikatan COHb yang beredar, maka sel-sel jaringan dan organ tubuh menjadi kekurangan zat asam (Fajriwan, 1999).

Senyawa lain yang berbahaya pada asap rokok antara lain adalah hidrokarbon aromatik polinuklear, benzopiren, beta naftilamin, trace metal, nitrosamin, hidrazin dan vinil klorida yang bersifat karsinogenik. Fenol dan kresol bersifat kokarsinogenik dan iritan. Indol, karbacol, katecol merupakan akselerator tumor. Asam hidrosianida, akrolein, amonia, formaldehid dan nitrogen oksida yang merupakan senyawa-senyawa siliotoksin dan iritan (Sitepoe, 1997).

2.1.4.Efek Rokok Terhadap Sistem Reproduksi

(29)

11

Kandungan zat-zat berbahaya di dalam rokok diketahui dapat menyebabkan stress oksidatif pada cairan semen, dimana konsentrasi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat sedangkan komponen pertahanan oleh antioksidan ditemukan menurun secara signifikan (Mostafa et al., 2006). Asap rokok mengandung reactive oxygen species (ROS) dalam kadar yang tinggi seperti anion superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH). ROS menginduksi reaksi inflamasi pada traktus genitalia pria dengan dilepaskannya mediator-mediator inflamasi yang mengaktivasi leukosit. Leukosit yang teraktivasi ini menghasilkan ROS dalam kadar yang tinggi pada semen, yang menimbulkan terjadinya stres oksidatif. ROS yang diproduksi sel fagosit atau oleh spermatozoa abnormal menyebabkan kerusakan pada DNA, protein, dan lipid. Kerusakan DNA mempercepat proses apoptosis sel germinal yang berakhir pada penurunan jumlah sperma dan infertilitas pria (Colagar et al., 2007).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh asap rokok terhadap sistem reproduksi pria. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa asap rokok dapat menurunkan motilitas sperma (Sofikitis et al., 1995), meningkatkan abnormalitas morfologi sperma (Sofikitis et al., 1995; Künzle et al., 2003), dan menurunkan konsentrasi sperma (Künzle et al., 2003).

(30)

12

spermatogenik tikus, penurunan kadar testosteron, berat testis, jumlah sel - sel spermatogenik, dan adanya perubahan stadium epitel seminiferus setelah dipapar asap rokok dalam beberapa stadium sel spermatogenik.

2.2.Vitamin E

2.2.1.Sejarah Vitamin E

Pada tahun 1922 ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Pada tahun 1936 diisolasi dari minyak kecambah gandum dan dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yang berarti kelainan dan pherein berarti menyebabkan. Sekarang dikenal beberapa bentuk tokoferol dan istilah vitamin E biasa digunakan untuk menyatakan setiap campuran tokoferol yang aktif secara biologis (Almatsier, 2009).

2.2.2.Struktur Kimia Vitamin E

(31)

13

[image:31.595.173.469.184.252.2]

α -tokoferol merupakan bentuk tokoferol yang paling aktif dan paling penting untuk aktivitas biologi tubuh, sehingga aktivitas vitamin E diukur sebagai α–tokoferol (Milczarek, 2005).

Gambar 3. Struktur Kimia α-Tokoferol (Goodman dan Gilman, 2007)

2.2.3.Sifat dan Fungsi Vitamin E

Secara fisik vitamin E larut dalam lemak. Vitamin ini tidak dapat disintesa oleh tubuh sehingga harus dikonsumsi makanan dan suplemen (Lamid, 1995). Vitamin E murni tidak berbau dan tidak berwarna, sedangkan vitamin E sintetik yang dijual secara komersial biasanya berwarna kuning muda hingga kecoklatan. Vitamin E larut dalam lemak dan dalam sebagian besar pelarut organik, tetapi tidak larut dalam air (Almatsier, 2009).

(32)

14

lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Hariyatmi, 2004). Radikal peroksil bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E daripada asam lemak tidak jenuh, dan membentuk radikal tokoferoksil. Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan lain antioksidan seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Gunawan, 2007).

Selain sebagai antioksidan, vitamin E juga dapat menstimulasi respon imunologi. Kemampuan peningkatan imunologi terlihat dalam peningkatan kekebalan tubuh. Dari beberapa penelitian mengemukakan bahwa kejadian infeksi akan berkurang bilamana kadar vitamin E dalam tubuh meningkat (Lamid, 1995).

(33)

15

2.2.4.Vitamin E Sebagai Antioksidan

Seperti yang telah diketahui, fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan. Antioksidan adalah faktor pertahanan utama terhadap stres oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas (Agarwal et al., 2005). Fungsi utama vitamin E di dalam tubuh adalah sebagai antioksidan alami yang membuang radikal bebas dan senyawa oksigen. Secara spesifik, vitamin E juga penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh (Lyn, 2006).

(34)

16

Vitamin E memiliki kemampuan untuk menghentikan lipid peroksida dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogennya dari gugus OH kepada lipid peroksida yang bersifat radikal sehingga menjadi vitamin E yang kurang reaktif dan tidak merusak. Vitamin E dan C berhubungan dengan efektifitas antioksidan masing-masing. Alfa-tokoferol yang aktif dapat diregenerasi oleh interaksi dengan vitamin C yang menghambat oksidasi radikal bebas peroksi (Hariyatmi 2004).

Dengan adanya sifat antioksidan dari vitamin E, sel dan komponen tubuh yang lain akan terlindungi dari serangan radikal bebas dan menghentikan reaksi berantai atau oksidasi merusak. Selain itu vitamin E akan mencegah kerusakan DNA yang mnyebabkan mutasi, mempertahankan LDL, dan usur tubuh yang kaya lemak melawan oksidasi (Lamid, 1995).

2.2.5.Efek Vitamin E Terhadap Reproduksi

(35)

17

Sebuah penelitian in vitro menyatakan bahwa vitamin E dapat melindungi spermatozoa dari kerusakan oksidatif dan penurunan motilitas, selain itu juga dapat meningkatkan fungsi sperma dalam suatu uji penetrasi telur hamster (de Lamirande dan Gagnon, 1992). Dalam suatu uji acak terkontrol, dilaporkan bahwa vitamin E efektif digunakan dalam penanganan pria infertil dengan kadar ROS yang tinggi (Kessopoulou et al., 1995; Suleiman et al., 1996; Ross et al., 2010).

Penelitian Acharya et al. (2006), terhadap testis tikus yang diberi cadmium (Cd) dengan memberikan suplemen vitamin E dengan dosis 100 mg/kg berat badan menurunkan kadar peroksidasi lipid, meningkatkan jumlah sperma, menurunkan persentase sperma abnormal, meningkatkan aktifitas enzim antioksidan.

2.3. Sistem Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kandung skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar asesoris, uretra dan penis. elain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Rugh, 1968).

2.3.1.Testis

(36)

18

sifat-sifat jantan dan berperan dalam spermatogenesis. Setiap testis ditutupi dengan jaringan ikat fibrosa, tunika albuginea, bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah menjadi lobus yang mengandung beberapa tubulus disebut tubulus semineferus. Bagian tunika memasuki testis dan bagian arteri testikular yang masuk disebut sebagai hilus (Rugh, 1968).

Fungsi testis ini untuk menghasilkan hormon seks jantan yang disebut andogen dan juga menghasilkan gamet jantan yang disebut sperma. Di dalam testis terdapat dua komponen penting yaitu komponen spermatogenesis dan komponen interlobular. Komponen spermatogenesis terdiri dari sel germinal dan sel sertoli pada tubulus semineferus. Komponen interlobular terdiri dari sel interstesial Leydig dan jaringan peritubular serta sistem vascular dan limfatik (Russel et al., 1990)

(37)

19

akhirnya akan menjadi sperma yang terdiri dari kepala, tubuh dan ekor (Nalbandov, 1990)

2.3.2.Penis

Penis sebagai organ kopulasi berfungsi untuk menyalurkan spermatozoa ke dalam saluran reproduksi betina. Penis terdiri dari bagian-bagian: korpus kavernosum penis, korpus kavernosum uretra, preputialis.

2.3.3.Sel Leydig

Sel –sel leydig letaknya berkelompok memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus. Sel leydig memiliki morfologi yang besar, dengan sitoplasma sering bervakuola jika dilihat dengan mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik lipid, dan pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang (Leeson et al., 1996)

2.3.4.Sistem Duktus

(38)

20

2.4.Spermatogenesis

Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan dirpoduksi dan masih berada di daerah ekstra gonad. Pada hari ke-9 dan ke-10 kehamilan, sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke-11 dan ke-12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan proses identifikasi testis dapat dilakukan.

Proses proliferasi dan diferensiasi berlangsung di daerah medulla testis. Menuju akhir masa fetus, aktivitas mitosis sel germinal primordial dalam bagian genitalia berkurang dan beberapa sel mulai degenerasi menjelang hari ke-19 kehamilan. Tidak berapa lama setelah kelahiran, sel tampak lebih besar, yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada spermatogonia dalam testis mencit sepanjang hidupnya (Rugh, 1968).

(39)

21

Tidak ada pembentukan DNA terjadi pada tahap akhir spermatogenesis. Pada mencit, siklus epitel seminiferus terdiri dari 12 stadia. Waktu yang diperlukan untuk satu siklus epitel seminiferus pada mencit antara 201–203 jam (8-9 hari). Dengan demikian waktu seluruhnya yang diperlukan untuk proses spermatogenesis yang terdiri dari empat siklus epitel seminiferus, adalah berkisar antara 34,5-35,5 hari (Rugh, 1968)

Testis dan khususnya spermatozoa matur, merupakan sumber hyaluronidase terkaya dan enzim ini efektif membubarkan sel cumulus sekitar ovum matur pada saat fertilisasi. Setiap spermatozoa membawa enzim yang cukup untuk membersihkan jalan melalui sel cumulus menuju matriks sel ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung bergabung ke sel granulosa cumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan enzim melimpah (Rugh, 1968).

2.5.Histologi Testis Mencit Jantan

(40)
[image:40.595.144.478.86.349.2]

22

Gambar 4. Gambaran histologi tubulus seminiferus testis mamalia (potongan transversa) (Bloom dan Fawchet, 2002)

2.5.1.Jaringan Epitel Seminiferus

Epitel seminiferus terdiri atas dua macam sel, yaitu sel penunjang atau sel Sertoli dan sel-sel kelamin dari berbagai tingkat perkembangan. Sel sertoli terdapat sepanjang membran basalis yang mudah dibedakan dari sel kelamin kareana bentuk selnya thorak, inti oval, nukleoplasmanya homogen dan anak intinya jelas. Jumlah sel sertoli pada mamalia dewasa umumnya tetap dan sangat resisten terhadap zat-zat yang dapat membunuh atau merusak sel-sel kelamin (Oakberg, 1959; Rowley dan Heller, 1971)

(41)

23

dihubungkan dengan tingkat perkembangannya. Makin dewasa tingkat perkembangan sel kelamin, makin dekat letaknya ke arah lumen. Sebaliknya, sel-sel kelamin yang tingkat perkembangannya belum maju, misalnya spermatogonia, letaknya pada membran basalis (Rugh, 1968).

Menurut Burgos dkk. (1970), stadium pakiten mengalami waktu perkembangan yang panjang dibandingkan dengan perkembangan stadium spermatosit primer lainnya, dan disebut sebagai stadium stabil. Oleh karena itu, pakiten akan selalu terdapat pada setiap potongan tubulus seminiferus.

Spermatosit sekunder mulai dibentuk setelah stadium profase meiosis I berakhir. Pada umumnya spermatosit sekunder jarang dijumpai karena akan segeran mengalami serangkaian proses transformasi yang kompleks dan panjang sebelum menjadi spermatozoa. Oleh karena itu, spermatid selalu dijumpai pada setiap potongan tubulus seminiferus. Proses perkembangan spermatid menjadi spermatozoa disebut spermiogenesis (Clermont dan Leblond, 1995)

2.5.2.Jaringan Pengikat Dinding Tubulus Seminiferus

(42)

24

lapisan, yaitu lapisan non selular interna, lapisan selular interna, lapisan non selular eksterna dan lapisan selular eksterna.

1. Lapisan non selular interna terbentuk segera setelah diferensiasi seks pada stadium embrio, disebut lapisan basalis. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan retikular, tanpa adanya serabut elastik. Tebal lapisan ini antara 0,2-0,3µm (Lacy dan Rotblat, 1960).

2. Lapisan selular interna, berasal dari sel-sel mesenkim intertubular yang dimulai dengan pembentukan fibroblas. Tujuh sampai sepuluh hari setelah lahir, sel-sel fibroblas berdiferensiasi menjadi sel-sel yang bentuknya panjang, inti lonjong dan memperlihatkan sifat analogi dengan sel-sel otot polos (Clermont, 1958; Lacy dan Rotblat, 1960; Leeson dan Leeson, 1963). Keadaan ini memungkinkan tubulus melakukan kontraksi secara ritmis, sehingga merupakan mekanisme transportasi sperma (Ross, 1967). Tebal lapisan ini berkisar antara 0,2-0,5µm (Lacy dan Rotblat, 1960)

(43)

25

4. Lapisan selular eksterna, berasal dari sel-sel mesenkim intertubular, tebalnya sekitar 0,06-0,08µm. Lapisan ini terdiri atas sel-sel berinti lonjong dan tidak mengandung filamen (Lacy dan Rotblat, 1960).

2.5.3. Jaringan Pengikat Padat Pembungkus Testis

Secara histologis massa testis dibungkus oleh suatu lapisan yang tebal, yaitu tunika albuginea. Lapisan ini berwarna putih yang terdiri atas serabut otot polos, serabut kolagen dan fibroblas. Pada kebanyakan Mamalia mulai dari tepi proksimal testis, terbentuk penebalan tunika albuginea yang kemudian masuk ke dalam parenkima testis yang terdapat di dalam lobuli tertis terdiri dari tubuli seminiferi (Toelihere, 1981)

(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Dalam penelitian ini akan diberikan perlakuan terhadap 5 (lima) kelompok hewan percobaan mencit putih jantan (Mus musculus L) dewasa.

3.2.Waktu dan Tempat Penelitian

(45)

27

3.3.Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel Independent 1. Vitamin E 2. Asap Rokok

3.3.2.Variabel Dependent

1. Jumlah sel spermatogenik mencit yang dipaparkan asap rokok

2. Histologi diameter tubulus seminiferus mencit yang dipaparkan asap rokok

[image:45.595.116.508.422.715.2]

3.4.Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Vitamin E Vitamin E yang diberikan pada perlakuan adalah vitamin E sintetik. Dosis yang diberikan pada mencit adalah 0,4 mg/hari, 0,8 mg/hari dan 1,2 mg/hari.

Numerik

Asap Rokok Asap rokok yang diberikan pada perlakuan adalah hasil pembakaran 2 batang rokok/hari Numerik Diameter Tubulus Seminiferus yang dipaparkan asap rokok

Diameter tubulus seminiferus yang diukur dengan mikrometer dalam software dengan pembesaran 100x. Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak terpendek dan terpanjang tubulus seminiferus lalu dirata-ratakan. Perlakuan akan dibandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan

(46)

28

Jumlah Sel Spermatogenik yang

dipaparkan asap rokok.

Sel spermatogenik adalah sel yang terdapat pada tubulus seminiferus dan membentuk sebagian terbesar dari lapisan epitel dan melalui proliferasi yang kompleks akan menghasilkan spermatozoa. Sel ini akan dipaparkan asap rokok, sehingga akan terjadi penurunan jumlah sel. Jumlah sel spermatogenik adalah jumlah dari sel spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid. Sel akan dilihat dengan pembesaran 400 kali tiap mencit dalam kelompok, kemudian dirata-ratakan.

Numerik

3.5.Alat dan Bahan

3.5.1.Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan yaitu : kandang mencit dari kawat sebanyak 5 kandang, sonde lambung, spuit 10 cc, tempat pakan dan minum mencit, korek api, alat bedah, mikroskop, erlenmeyer, pipet tetes, mikrotom

3.5.2.Bahan Penelitian

Bahan Biologis : Mencit jantan (Mus musculus L) galur DDY dewasa berumur 2,5-3 bulan dengan berat 25-30 gram dan sehat

(47)

29

3.6.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L) galur DDY umur 2,5-3 bulan dengan berat 25-30 gram dan sehat. Besar sampel ditentukan berdasarkan buku panduan penelitian WHO yaitu minimal 5 ekor mencit. Untuk menghitung besar sampel digunakan rumus Federer (Federer, 1991) sebagai berikut :

Nilai t pada rumus tersebut adalah jumlah perlakuan yang diberikan selama percobaan. Sedangkan nilai n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel dalam setiap kelompok perlakuan.

Dari rumus di atas dapat dilakukan perhitungan besaran sampel sebagai berikut: t = 5, maka didapatkan :

(n-1)(t-1) ≥ 15 (n-1)(5-1) ≥ 15

(n-1)4 ≥ 15 (4n-4) ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 19/4

n ≥ 4.75

(48)

30

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 ekor per kelompok. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk percobaan ini adalah sebanyak 25 ekor mencit.

3.7.Kriteria Inklusi dan Ekslusi

3.7.1.Kriteria Inklusi: 1. Sehat

2. Mencit jantan (Mus musculus L) 3. Usia 2,5 – 3 bulan

4. Berat badan mencit 25 - 30 gram

3.7.2. Kriteria Ekslusi :

1. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10 % setelah 1 minggu masa adaptasi di laboratorium.

2. Mencit tidak mau makan 3. Mencit mati

3.8.Prosedur Penelitian

3.8.1.Pemeliharaan Hewan Uji

(49)

31

infeksi yang terjadi akibat kotoran. Dalam 1 kelompok, 5 ekor mencit ditempatkan dalam 1 kandang. Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar matahari tidak langsung. Makanan dan minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap hari. Makanan diberikan pada mencit berupa pelet ayam sedangkan air minum yang diberikan berupa air putih yang diletakkan dalam botol plastik. Setiap mencit diberi perlakuan sekali sehari selama 35 hari. Mencit di adaptasikan selama satu minggu sebelum diberi perlakuan.

3.8.2.Penyediaan Vitamin E dan Asap Rokok

Vitamin E didapatkan dari vitamin E sintetik yang ada di pasaran. Dan rokok didapatkan dari pasaran serta jenis rokok yang digunakan untuk pemaparan asap rokok adalah rokok kretek.

1. Pemaparan Asap Rokok

(50)

32

[image:50.595.170.419.336.474.2]

selama 15 hari sudah membuat motilitas dan morfologi spermatozoa berkurang, oleh karena itu peneliti memutuskan pemaparan asap rokok dilakukan menggunakan 2 batang rokok kretek per hari. Pemaparan dilakukan dengan cara membakar 1 batang rokok setiap 15 menit kepada kelompok negatif, P1, P2 dan P3 (Fitriana dkk 2014). Pemaparan dilanjutkan hingga 2 batang rokok habis. Penelitian dilakukan selama 35 hari sesuai dengan waktu satu siklus spermatogenesis pada mencit yaitu 35 hari (Rugh, 1968).

Gambar 5. Pemberian Paparan Asap Rokok

2. Pengaturan dosis Vitamin E

Pada penelitian ini vitamin E yang diberikan berupa vitamin E sintetik. Dosis vitamin E didapatkan dari perhitungan konversi dosis manusia (70 kg) ke mencit 20 gr adalah 0,0026. Dosis vitamin E sintetik yang digunakan adalah 100 mg, sehingga:

(51)

33

Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk menggunakan dosis bertingkat vitamin E yaitu dengan cara menambahkan 2x dan 3x dari dosis awal yaitu:

- Perlakuan 1 : 0,26 mg/20grBB - Perlakuan 2 : 0,52 mg/20grBB - Perlakuan 3 : 0,78 mg/20grBB

Untuk dosis yang digunakan pada mencit dengan berat badan 30 g: Dosis vitamin E untuk perlakuan 1 :

P1 = dosis x berat badan

= 0,26 mg/grBB x 30 gr/20gr = 0,4 mg/hari

Dosis vitamin E untuk perlakuan 2 : P2 = dosis x berat badan

= 0,52 mg/grBB x 30/20gr = 0,8 mg/hari

Dosis vitamin E untuk perlakuan 3 : P2 = dosis x berat badan

(52)

34

Dosis vitamin E yang diberikan kepada masing-masing kelompok adalah 0,4 mg, 0,8 mg dan 1,2 mg yang dilarutkan dalam minyak jagung (Nooh et al., 2009) dan diberikan secara oral menggunakan sonde lambung.

3.8.3. Pemberian Perlakuan

Perlakuan diberikan selama 35 hari berdasarkan siklus spermatogenesis mencit yang memakan waktu 35 hari. Setiap kelompok mempunyai perlakuan yang berbeda yaitu :

1. Kontrol Normal: Hanya diberi makanan pelet dan aquadest

2. Kontrol (-): Diberikan paparan asap rokok setiap hari selama 35 hari. 3. P1 : Diberikan paparan asap rokok setiap hari selama 35 hari + diberi

vitamin E 0,4 mg/hari secara oral setiap hari selama 35 hari.

4. P2 : Diberikan paparan asap rokok setiap hari selama 35 hari + diberi vitamin E 0,8 mg/hari secara oral setiap hari selama 35 hari.

5. P3 : Diberikan paparan asap rokok setiap hari selama 35 hari + diberi vitamin E 1,2 mg/hari secara oral setiap hari selama 35 hari.

3.8.4.Pembuatan Preparat Tubulus Seminiferus

(53)

35

1. Fixation

a. Memfiksasi spesimen berupa potongan organ testis yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%.

b. Mencuci dengan air mengalir 3-5 kali.

2. Trimming

a. Mengecilkan organ ± 3 mm.

b. Memasukkan potongan organ testis tersebut ke dalam embedding cassette.

3. Dehidration

a. Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tisu.

b. Berturut-turut melakukan perendaman organ testis dalam alkohol bertingkat 70%, 96%, 96%, dan 96% masing-masing selama 0,5 jam. Selanjutnya dilakukan perendaman alkohol absolut I, II, III selama 1 jam.

4. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I dan II masing-masing selama 1 jam.

5. Impregnation

(54)

36

6. Embedding

a. Membersihkan sisa parafin yang ada pada pan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan usap dengan kapas. b. Menyiapkan parafin cair dengan memasukkan parafin ke

dalam cangkir logam dan memasukkan dalam oven dengan suhu di atas 580C.

c. Menuangkan parafin cair dalam pan.

d. Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak satu dengan yang lainnya.

e. Memasukkan pan dalam air.

f. Melepaskan parafin yang berisi potongan testis dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 4-60 C beberapa saat. g. Memotong parafin sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.

h. Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

i. Memblok parafin siap dipotong dengan mikrotom.

7. Cutting

a. Melakukan pemotongan pada ruangan dingin.

b. Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu. c. Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan

halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

(55)

37

salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.

e. Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath dengan suhu 60 0C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna (pemekaran pita parafin).

f. Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.

g. Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam untuk merekatkan jaringan dan mencairkan sisa parafin sebelum pewarnaan.

8. Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut :

(56)

masing-38

masing selama 2 menit. Keempat, lakukan penjernihan dengan menggunakan larutan xilol I dan II masing-masing selama 2 menit.

9. Mounting

Setelah pewarnaan selesai menempatkan slide di atas kertas tisu pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara

3.8.5 Perhitungan Jumlah Sel Spermatogenik

(57)

39

Perhitungan sel dan keliling tubulus seminiferus dilakukan menggunakan program GSA Image Analyser. Sel yang bertumpuk diambil salah satunya yang terwarna lebih gelap..

3.8.6.Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus

Preparat diamati dengan mikroskop cahaya perbesaran 100x, dipilih tubulus seminiferus yang bulat atau dianggap bulat untuk diukur diameternya. Pengamatan pada setiap sampel dilakukan pada 10 diameter tubulus lalu dihitung rata-ratanya.

3.9. Analisa Data dan Pengujian Hipotesis

Kelompok penelitian ini terdiri dari 5 kelompok, yaitu: 3 kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol dalam 5 kali pengulangan. Pada tiap kelompok, data jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus yang terkumpul dianalisis menggunakan program SPSS dengan menggunakan uji One Way Anova untuk menguji perbedaan rerata pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

3.10.Etika Penelitian

(58)

40

(59)

41 Persiapan penelitian:

- Hewan percobaan - Bahan percobaan - Alat yang diperlukan

Sampel Kelompok kontrol normal Tidak diberikan paparan asap rokok dan vitamin E Kelompok kontrol (-) Dipaparkan asap rokok selama 35 hari

Kelompok perlakuan I

Dipaparkan asap rokok selama 35 hari +Vit E 0,4 mg/hari per oral 1xsehari selama 35 hari Kelompok perlakuan II Dipaparkan asap rokok selama 35 hari +Vit E 0,8 mg/hari per oral 1xsehari selama 35 hari Kelompok perlakuan III Dipaparkan asap rokok selama 35 hari +Vit E 1,2 mg/hari per oral 1xsehari selama 35 hari

Mencit diterminasi dengan cara dislokasi leher Mencit diadaptasi selama 1 minggu

Pembedahan dan pengambilan organ testis

Pembuatan preparat histologi testis

Pengamatan sel spermatogenik dan tubulus seminiferus

Interpretasi hasil penelitian

[image:59.595.111.516.28.787.2]

Selesai Penyusunan laporan

(60)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Vitamin E dengan dosis 0,4 mg/hari, 0,8 mg/hari dan 1,2 mg/hari dapat meningkatkan jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan akibat paparan asap rokok

2. Dosis 1,2 mg/hari adalah dosis yang paling efektif untuk meningkatkan jumlah sel spermatogenik dan diameter tubulus seminiferus mencit jantan akibat paparan asap rokok

5.2 Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut efek vitamin E terhadap masing-masing sel spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatid pada mencit jantan.

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai efek vitamin E terhadap organ lain seperti hati, ginjal dan lambung.

(61)

62

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Acharya U, Mishra M, Tripathy R, Mishra I. 2006. Testicular dysfunction and antioxidative defense system of swiss mice after chromic acid exposure. Reprod Toxicol. 22:87-91

Ahmadnia H, Ghanbari M, Moradi MR, Khaje-Dalouee M. 2007. Effect of cigarette smoke on spermatogenesis in rats. Uro. J. 4(3):154-163

Akoso B, Satja S, Sri D, Budi T, Margaretha A. 1999. Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Jakarta: Departemen Pertanian

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. pp 173,187

Agarwal A, Prabakaran A, Said TM. 2005. Prevention of oxidative stress injury to sperm. Journal of Andrology. 26:654-600

Bloom W, Fawcett DW. 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi ke-12. Jakarta: EGC. pp 805-812.

Brugo-Omeldo S, Chillik C, Kopelman S. 2001. Definition and causes of infertility. Reprod Biomed Online. 2:41-53

Burgos MH, Vitale-Calpe R, Aoki. 1970. Fine structure of the testis and its functional significance, Dalam: Johnson AD, Gomez WR, Van Demark. Eds. The testis. New York: Academic Press. pp 551-557

(63)

64

Clermont Y. 1958. Contractile elements in the limiting membrane of the seminiferous tubule of rat. Expt. Cells. Res. 15:438-440

Clermont Y, Leblond CP. 1995. Spermiogenesis of men, monkey, rat and other mammals as shown by the PAS technique. Am. J. Anat. 96:229-293

Colagar AH, Jorsaraee GA, Marzony ET. 2007. Cigarette smoking and the risk of male infertility. Pak J Biol Sci. 10(21):3870-3874

de Lamirande E, Gagnon C. 1992. Reactive oxygen species and human spermatozoa. Journal of Andrology. 13:368–378

Ernawati AN. 2012. Efek antioksidan ekstrak etanol bulbus bawang dayak (eleutherine americana merr.) terhadap struktur mikroanatomi tubulus seminiferus testis tikus yang dipapar asap rokok. Sains dan Terapan Kimia. 6(2): 93-100.

Fajriwan JA. 1999. Merokok pasif. Jurnal Respirology Indonesia. 1: 22-6

Federer W. 1991. Statistics and Society: Data Collection and Interpretation. 2nd Edition. New York: Marcel Dekker

Fitriana R, Sutyarso, Susantiningsih T. 2014. The effect of red ginger ethanol extract (zingiber officinale roxb var rubrum) on sperm motility and morphology of cigarette smoke-induced male rats (rattus norvegicus) sprague dawley strains. Majority. 3(2): 154-163

Fowles J, Bates M. 2000. The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke: Priorities For Harm Reduction. Epidemiology and Toxicology Group. ESR ; Kenepuru Science Centre. New Zealand. Tersedia pada: http://www.moh.govt.nz diakses tanggal 14 September 2014

Goodman A, Gilman H. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi ke-10. Jakarta: EGC. pp 1753-1754

(64)

65

Gunawan SG. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp 786-787

Guven MC, Can B, Ergun A, Saran Y, Aydos. 1999. Ultrastructure effect of cigarette smoke on rat testis. European Urology. 36:645-649.

Hargono FR, Lintong PM, Kairupan CF. 2013. Gambaran histopatologik testis mencit swiss (mus musculus) yang diberi kedelai (glycine max) dan paparan dengan asap rokok. Jurnal e-Biomedik. 1(2):824-829.

Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal bebas pada usia lanjut. Jurnal MIPA UMS. 14:52-60.

Hassan A, Abo-Azma SM, Fayed SM, Mostafa. 2008. T.Seminal plasma cotinine and insulin-like growth factor-I in idiopathic oligoasthenoteratozoospermic smokers. BJU Int. 103:108-111

Horton HR, Moran LH, Ochs RS, Rawn JD, Scrimglour KG. 2002. Principles of Biochemistry. 3rd Edition. Upper Saddle River: Prentice Hall. pp 221-222

Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar: Teks & Atlas. Edisi ke-10. Jakarta: EGC. pp 418-432

Kessopoulou E, Powers HJ, Sharma KK, Pearson MJ ,Russell JM, Cooke ID. 1995. A double-blind randomized placebo cross-over controlled trial using the antioxidant vitamin E to treat reactive oxygen species associated male infertility. Fertility and Sterility. 64:825–831

Kurnia H, Permatasari N, Subandi. 2013. Pengaruh ekstrak jintan hitam terhadap MDA dan sel spermatogonium tikus yang dipapar asap rokok kretek subakut. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 26(3) :161-165

Künzle R, Mueller MD, Hänggi W, Birkhäuser MH, Drescher H, Bersinger NA. 2003. Semen quality of male smokers and nonsmokers in infertile couples. Fertil Steril. 79:287-291

(65)

66

Lamid, A. 1995. Vitamin E sebagai Antioksidan. Media Litbangkes. 5(1):14-16

Leeson CR, Leeson TS. 1963. The postnatal development and differentiation of the boundary tissue of the seminiferous tubule of the rat. Anat. Rec. 147: 243-259

Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Sistem reproduksi pria. in: Buku ajar histologi alih bahasa Siswojo K, Tambojang J, Wonodirekso S, et al. Jakarta: EGC. pp 511-536

Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh A. Parakkasi. Jakarta : UI Press

Lyn P. 2006. Lead toxicity part 2 : the role of free radical damage and the use of antioxidants in the pathology and treatment of lead toxicity. Alternative Medicine Review. 11(2):114-127.

Mackay J, Eriksen M. 2002. The Tobacco Atlas. Switzerland: World Health Organization. Tersedia pada http://www.who.int/tobacco/media/en/title.pdf diakses tanggal 14 September 2014

Milczarek A. 2005. Vitamin E Disease Mechanism IV : Free Radical Damage and Antioxidant Drug.

Momeni HR, Eskandari N. 2012. Effect of vitamin E on sperm parameters and DNA integrity in sodium arsenite-treated rats. Iran J Reprod Med.10(3):249-256

Mostafa T, Trawadous G, Roaia MMF. 2006. Effect of smoking on seminal plasma ascorbic acid in infertile and fertile males. Andrologia. 8:221–224

Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Edisi ke-3. Jakarta: UI Press. pp 41-53

(66)

67

Nooh HZ, El-Seidy AM, Zanaty AW. 2009. Protective effect of vitamin E (a-tocopherol) on nicotine toxicity of the rat testis: histological, molecuar and cytogenic study. Egypt. J. Histol. 32(2):401-409

Oakberg EF. 1956. Duration of spermatogenesis in the mouse and timing of stage of the cycle of the seminiferous epithelium. Am. J. Anat. 99:507-516

Oda SS, El-Maddawy Z. 2012. Protective effect of vitamin E and selenium combination on deltamethrin-induced reproductive toxicity in male rats. Experimental and Toxicologic Pathology. 64:813-819

Pacifici R, Altieri I, Gandini L, Lenzi A, Simena, Zuccaro P. 1993. Nicotine, cotinine and trans -3- hydroxycotinine levels in seminal plasma of smokers. Effect on sperm parameters. Terapeutic Drug Monitoring. 15:358 – 363

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan 2003. Tersedia pada http://binfar.kemkes.go.id Diakses tanggal 14 September 2014

Ranade AV, Tripathi Y, Rajalakshmi R, Vinodini NA, Soubhagya RN, Nayanatara AK, et al. 2011. Effect of vitamin E administration on histopathological changes in rat testes following torsion and detorsion. Singapore Med J. 52(10):742-746

Revianti S. 2005. Peranan antioksidan saliva pada patogenesis kanker orofaring yang disebabkan oleh pengaruh merokok. Majalah Kedokteran Gigi (Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional IV). 3025

Ross C, Morriss A, Khairy M, Khalaf Y, Braude P, Coomarasamy A, et al. 2010. A systematic review of the effect of oral antioxidants on male infertility. Reproductive Biomedicine Online. 20:711–723.

Ross MH. 1967. The fine structure and development of the peritubular contractile cell compartment in the seminiferous tubule of the mouse. Am. J. Anat. 121: 523-577

(67)

68

Rowley HJ, Heller CG. 1971. Quantitation of the cells of the seminiferous epithelium of human testis employing the Sertoli cells as a constant. Zellforch. 115:461-472

Rugh R. 1968. The Mouse: Its Reproduction and Developmental. Minneapolis: Burgess Publishing Company. pp 1-23

Sankako MK, Garcia PC, Piffer RC, Pereira OCM. 2013. Semen and reproductive parameters during some abstinence periods after cigarette smoke exposure in male rats. Brazilian Archives Of Biology And Technology. 56(1):93-100

Sitepoe M. 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Cetakan I. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. pp 34-35

Sofikitis N, Miyagawa I, Dimitriatidis D, Zavos P, Sikka S, Hellstrom W. 1995. Effects of smoking on testicular function, semen quality and sperm fertilizing capacity. J Urol. 154:1030-1034.

Sugeng SU, Tiono H, Anandaputri VN. 2010. Pengaruh pasta tomat (solanum lycopersicum) terhadap diameter tubulus seminiferus mencit (mus musculus) galur DDYyang terpajan asap rokok berfilter. JKM. 10(1): 47-54

Suleiman SA, Ali ME, Zaki ZM, el-Malik EM, Nasr MA. 1996. Lipid peroxidation and human sperm motility: protective role of vitamin E. Journal of Andrology. 17:530–537

Sukmaningsih AA. 2009. Penurunan jumlah spermatosit pakiten dan spermatid tubulus seminiferus testis pada mencit (mus musculus) yang dipaparkan asap rokok. Jurnal Biologi. 12(2):31-5

Straight B. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC. pp 5

(68)

69

Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Angkasa. Pp 146-150

Gambar

Gambar
Gambar 1. Kerangka Teori Pengaruh Vitamin E Terhadap Diameter Tubulus   Seminiferus yang Dipaparkan Asap Rokok
Gambar 2. Kerangka Konsep Pengaruh Vitamin E Terhadap Jumlah Sel   Spermatogenik dan Diameter  Tubulus Seminiferus yang       Dipaparkan Asap Rokok
Gambar 3. Struktur Kimia α-Tokoferol (Goodman dan Gilman, 2007)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada variabel motivasi individu dengan tingkat dukungan sosial yang dalam menjaga kesehatan selama kehamilan tinggi memiliki perasaan kuat bahwa individu subjek penelitian

Program HIV termasuk di dalamnya promosi tes HIV bagi pasangan populasi kunci dan serodiskordan perlu dikerangkakan dalam bingkai kesehatan seksual dan reproduksi agar

Permasalahan yang dihadapi mitra I adalah belum terpenuhinya permintaan pasar disebabkan karena keterbatasan peralatan yang dimiliki oleh mitra, pengetahuan manajemen

menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk komposit memberikan hasil yang berbeda sangat nyata pada tinggi tanaman, hal ini diduga karena unsur hara N dan K pada pupuk

4. Transducer aktif, menghasilkan suatu tegangan atau arus analog bila dirangsang dengan suatu bentuk fisis energi... Tranducer pasif, memberi tambahan dalam sebuah

12 ● ● Mengamati untuk Mengamati untuk mengidentifikasi dan mengidentifikasi dan merumuskan masalah merumuskan masalah tentang cara membuat tentang cara membuat video atau animasi

Bahwa dalam rangka pengembangan industri nasional sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, perlu

Sedangkan tujuan penelitianini adalah (1) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, dan jam kerja secara signifikan terhadap pendapatan