• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BANDAR LAMPUNG )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BANDAR LAMPUNG )"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( STUDI PADA BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BANDAR LAMPUNG )

Oleh

CHRISTINE DEWI UNTARI

Kebutuhan manusia semakin kompleks seiring dengan berkembangnya zaman serta taraf hidup manusia yang semakin berkiblat pada modernisasi, sehingga kebutuhan akan penampilan yang menarik sudah menjadi hal lazim guna menunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat. Salah satu cara yang dapat dijumpai dikehidupan kita sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan akan penampilan yang menarik tersebut adalah dengan tata rias wajah atau yang lazim dikenal dengan istilah kosmetik. Namun meningkatnya permintaan konsumen akan produk kosmetik dimanfaatkan oleh beberapa oknum pelaku usaha baik produsen, distributor maupun penjual eceran yang mengedarkan kosmetik tanpa izin edar (ilegal) yang tidak terjamin keamanan serta manfaatnya. Untuk itu Pemerintah melalui BPOM sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan izin edar serta melakukan pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik dalam rangka perlindungan konsumen.

(2)

CHRISTINE DEWI UNTARI

Hasil Penelitian menunjukkan pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap konsumen kosmetik tanpa izin edar dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar produk kosmetik, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Kep. Ka BPOM tentang Kosmetik. Selain itu, Pemerintah melalui BPOM sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan izin edar serta melakukan pengawasan terhadap peredaran kosmetik dalam rangka perlindungan konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar kosmetik yang berlaku. BPOM sebagai lembaga yang berwenang tersebut berhak melakukan tindakan hukum berupa Pemeriksaan Setempat (Razia), Pembinaan, dan melanjutkan kasus pelanggaran sampai ke Proses Pengadilan.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi dewasa ini, telah mendorong terjadinya peningkatan interaksi dan

transaksi antara konsumen dan pelaku usaha, ditandai dengan semakin banyaknya

para pelaku usaha yang beroprasi di pasar internasional dan pasar domestik (lokal).

Objek dan bidang usaha yang dijadikan transaksi bisnis antara konsumen dan pelaku

usaha berkenaan dan berkaitan dengan berbagai aspek. Setidaknya ada lima aspek

yang relevan, yaitu aspek-aspek ekonomi, sosial-budaya, politik, hukum, dan

teknologi.1

Dari berbagai aspek tersebut akan timbul beberapa dampak, salah satu contohnya

adalah dampak yang ditimbulkan pada aspek ekonomi, dimana dampak yang paling

terasa adalah membanjirnya produk-produk barang impor di pasar domestik. Arus

masuknya barang-barang ini akan menimbulkan pengaruh terhadap produk kosmetik,

yaitu apakah produk lokal mampu atau tidak bersaing dengan produk asing di tingkat

pasar. Pemerintah pun akan sulit membendung arus masuknya (import)

(4)

produk asing tertentu, baik karena tingkat permintaan (deman) yang tinggi atau penawaran (supply) yang atraktif dari luar negeri. Sementara itu, pelaku usaha atau pebisnis (bussinessman) yang dapat dan mampu memasarkan produk-produknya ke pasar internasional relatif terbatas atau sedikit jumlahnya, hanya perusahaan

multinasional (multinational corporation) yang bermodal kuat yang mampu mengembangkan jaringan bisnisnya melalui teknik-teknik pemasaran (marketing) dengan bentuk dan cara-cara tertentu seperti iklan dan cara-cara pembayaran untuk

menarik perhatian konsumen.

Globalisasi ekonomi relevan dengan perlindungan konsumen. Korelasi keduanya

bersifat kausalitas atau saling mempengaruhi. Sedikitnya, ada empat dampak

globalisasi ekonomi terhadap kepentingan dan hak-hak konsumen, yaitu:2

1. Produk asing membanjiri pasar domestik. Ada kalanya produk asing tersebut di

negaranya sudah tidak digunakan dengan alasan demi kesehatan dan keamanan,

namun ternyata diekspor. Misal, produk obat-obatan dengan kandungan antibiotik

dosisi tinggi, kosmetik dengan bahan merkuri untuk pemutih kulit;

2. Perusahaan multinasional (transnasional) sebagai produsen dalam memasarkan

produknya dikemas dengan advertensi dalam bentuk iklan mendorong munculnya

demonstration effect terhadap konsumen. Advertensi dan iklan tersebut acapkali tidak etis dan juga tidak memberikan informasi yang jelas dan tegas unsur unsur

(extract) dari produk bersangkutan dan penggunaannya;

(5)

3. Cara-cara pemasaran ditempuh dengan cara atraktif dengan mengundang

konsumen untuk peragaan (demonstration) di lingkungan atau kelompok masyarakat tertentu dalam jumlah terbatas (selective) atau dengan mendatangi dari rumah ke rumah (door to door);

4. Cara-cara pembayaran dilakukan atau diterapkan secara luwes dan fleksibel

disesuaikan dengan kemampuan atau daya beli konsumen, seperti kredit, leasing, angsuran atau cicilan yang bertujuan agar konsumen membeli produknya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pelaku usaha berada pada posisi yang kuat

(strong position), sedangkan konsumen berada pada posisi yang lemah (weak position). Bahkan, konsumen akan selalu dipengaruhi dan dijadikan obyek atau sasaran (target) bagi pelaku usaha untuk memasarkan atau menjual produknya.3 Untuk itu, sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah

perlindungan konsumen semakin meningkat.

Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat. Negara-negara di

Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang perlindugan

konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap

masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan

(6)

Bangsa No. 39/248 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang

harus dilindungi meliputi:4

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak

dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

Di Indonesia, advokasi konsumen dirintis oleh Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) yang berdiri pada 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk

cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan

Sosial PBB (Economy and Social Council of The United Nations (ECOSOC)) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.5

Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen terjadi setelah pergantian

tampuk kekuasaan di Indonesia, yaitu tatkala Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

4 Erman Raja Gukguk, makalah “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam era

Perdagangan Bebas”, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, Celina Try Siwi Kristiyanti,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 4.

(7)

tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK disahkan dan

diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun

untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari inisiatif DPR, yang notabene hak itu

tidak pernah digunakan sejak Orde Baru berkuasa pada 1966.6

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia seperti juga yang dialami

konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana

memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks yaitu menyangkut pada penyadaran

semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang

pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha harus menyadari bahwa mereka harus

menghargai hak-hak konsumen7, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas,

aman dikonsumsi/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang

sesuai (reasonable).

Pemerintah harus menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta

peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari

6 Ibid., hal. 17-18.

7 Hak konsumen adalah (Pasal 4 UUPK):

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasayang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atu jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(8)

pengusaha ke konsumen. Sedangkan konsumen sendiri harus menyadari hal-hal yang

menjadi hak mereka dan membentengi diri mereka dengan pengetahuan mengenai

bahan-bahan berbahaya yang tidak boleh dikonsumsi atau digunakan. Sehingga

resiko untuk mengalami kerugian bagi konsumen dalam pemilihan barang-barang

kebutuhan hidupnya dapat diperkecil.

Kebutuhan manusia tersebut semakin kompleks seiring dengan berkembangnya

zaman serta taraf hidup manusia yang semakin berkiblat pada modernisasi. Kini

kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya sebatas kebutuhan pokok/dasar saja,

melainkan kebutuhan penunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat

antaralain kebutuhan akan penampilan yang menarik. Banyak cara yang dapat

ditempuh untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih menarik salah satu cara

yang dapat dijumpai dikehidupan kita sehari-hari adalah penggunaan tata rias wajah

atau yang lazim dikenal dengan istilah kosmetik.8

Dewasa ini kosmetik tidak lagi menjadi hal asing bagi banyak orang baik pria

maupun wanita, walaupun mayoritas pengguna kosmetik terbesar adalah kaum

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Kosmetik, 1 desember 2009; menjelaskan bahwa tata rias wajah atau Kosmetik (en:Make up) adalah kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli sebenarnya dengan bantuan bahan dan alat kosmetik. Istilah make up lebih sering ditujukan kepada pengubahan bentuk wajah, meskipun sebenarnya seluruh tubuh bisa di hias. Dijelaskan pula bahwa tata rias wajah ada berberapa macam, yaitu:

a. Tata rias wajah korektif bertujuan untuk mengubah penampilan fisik yang dinilai kurang sempurna. Tata rias wajah korektif merupakan jenis tata rias wajah yang paling sering dilakukan oleh masyarakat.

b. Tata rias wajah untuk mode/seni (styling make up), yang merupakan kegiatan mengubah penampilan murni untuk tujuan seni. Melukis tubuh (body painting) merupakan salah satu contoh kegiatan styling make up.

(9)

wanita. Hal itu dapat dilihat dengan semakin maraknya kosmetika yang beredar

dipasaran yang diperuntukkan guna mempercantik penampilan dengan khasiat yang

bermacam-macam, mulai dari khasiat mencerahkan kulit wajah, meremajakan kulit

wajah sampai menghilangkan noda pigmentasi/bintik hitam pada kulit wajah.

Mengingat keakrabannya dengan kosmetik, maka tidak aneh apabila kaum wanita lah

yang sering pula mendapat kerugian akibat menggunakan kosmetik yang tidak

memenuhi syarat/substandar (substandard), tanpa izin edar atau tidak sesuai prosedur pemakaian yang dianjurkan, baik kerugian berupa kerugian kesehatan akibat

menggunakan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya (antaralain Merkuri

(Hg), Asam Retinoat, zat warna Rhodamin, dll) ataupun kerugian materi akibat

membeli produk kosmetik dengan harga mahal namun tidak mendapatkan hasil

seperti yang dijanjikan dalam iklan.

Kerugian tersebut bisa terjadi karena konsumen sering kali tidak melakukan hal-hal

yang pada dasarnya merupakan kewajibannya, salah satunya adalah membaca atau

mengikuti petunjuk informasi dan prosedur penggunaan produk, demi keamanan dan

keselamatan.9 Sedangkan dilain sisi pihak produsen, penyalur dan penjual kadang

tidak mengindahkan ketentuan hukum perlindungan konsumen yang berlaku.

Demikian pula pemerintah, dalam banyak hal terlambat mengantisipasi

9 Kewajiban konsumen adalah (Pasal 5 UUPK):

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, deni keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

(10)

pelanggaran hukum berupa penjualan kosmetik yang tidak memenuhi syarat serta

tanpa izin edar tersebut.

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan

kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi

sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.10 Oleh sebab itu,

pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Pemerintah juga

bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut

dengan baik. Untuk itu pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia membentuk Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia yang selanjutnya disebut

BPOM berdasarkan Keputusan Presiden No.166 dan No.173 Tahun 2000 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Struktur Organisasi dan Tata Kerja BPOM,

yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan

hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

Dalam prakteknya, BPOM adalah satu-satunya badan yang memiliki kewenangan

untuk menegakan hukum dibidang pengawasan produk makanan, minuman, obat,

obat tradisional, NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) dan

kosmetik. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM tersebut secara tidak langsung

juga memberikan peran perlindungan konsumen, yang dalam hal ini adalah konsumen

produk kosmetik mengingat semakin maraknya produk kosmetik tanpa izin edar yang

beredar secara illegal di pasaran di seluruh nusantara.

(11)

Dalam menjalankan tugas11 dan fungsinya BPOM memiliki unit pelaksanaan teknis

di daerah-daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Salah satunya adalah

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung yang

selanjutnya di sebut BBPOM Bandar Lampung. BBPOM Bandar Lampung

menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor

HK.00.05.21.4232 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan

POM RI Nomor: 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM..12

Upaya Pencegahan dalam rangka perlindungan konsumen yang telah dilakukan oleh

BPOM selama ini adalah dengan mengadakan program registrasi produk kosmetik

baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut bertujuan untuk

memberantas produk kosmetik substandar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan

berbahaya yang telah banyak beredar bebas di pasaran, sehingga konsumen dapat

menyeleksi produk kosmetik tersebut dengan cara melihat tanda registrasi yang

tertera pada kemasan produk kosmetik tersebut.

Tanda registrasi yang dimaksud dapat dilihat pada kemasan produk kosmetik

tersebut, apabila telah tercantum label POM CD untuk produk kosmetik dalam

negeri, POM CL/ POM CA/ POM CC/ POM CE untuk produk kosmetik asing

11 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung, Buku Laporan Tahun 2008 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung, hal. 1. Dijelaskan pula bahwa BBPOM Bandar Lampung mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan produk terapetik, narkotik, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, keamanan pangan, dan bahan berbahaya.

(12)

dengan disertai nomor registrasinya berarti produk kosmetik tersebut telah diuji

substansinya dilaboratorium BPOM sehingga terjamin aman untuk digunakan.

Sedangkan upaya penanggulangan yang dilakukan guna menindak peredaran

kosmetik tanpa izin edar di pasaran adalah dengan melakukan pemeriksaan setempat.

Kosmetik tanpa izin edar telah dijual bebas di pasaran hampir diseluruh wilayah

Indonesia. Di Bandar Lampung sendiri selama periode tahun 2008 BBPOM Bandar

Lampung menemukan 12 kasus kosmetik tanpa izin edar.13 Sebagai perbandingan di

beberapa daerah di tanah air juga banyak ditemukan pelanggaran serupa, contohnya

BBPOM Sumatera Utara, Selasa (28/4/2009), memusnahkan kosmetik ilegal senilai

sekitar Rp. 2 miliar. Selain tak memiliki izin edar, kosmetik yang dimusnahkan juga

mengandung merkuri (Hg).14

Di Banda Aceh, Senin (7/8/2009) siang, BBPOM Banda Aceh kembali menggelar

razia penertiban merek kosmetik tanpa izin edar di sejumlah toko dan swalayan di

Kota Banda Aceh dimana pihaknya berhasil menyita sebanyak 252 buah kosmetik

tanpa izin edar atau dengan kisaran harga sebesar Rp 10 juta lebih.15 Selain itu, di

Pekanbaru BBPOM Pekanbaru berhasil mengamankan ratusan produk tanpa izin edar

yang jumlahnya mencapai dua truk colt diesel.16

13 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung, ibid., hal. 15. 14 http://cetak.kompas.com, 18 Oktober 2009.

(13)

Maraknya peredaran kosmetik tanpa izin edar tersebut yang menjadi urgensi dari

perlindungan konsumen kosmetik dewasa ini. Dan perlu diperhatikan juga mengenai

kepastian dan jaminan bahwa setelah dilakukan registrasi oleh BPOM tersebut tidak

akan terjadi hal-hal yang akan merugikan konsumen yang bisa saja dilakukan oleh

produsen tanpa sepengetahuan oleh BPOM sendiri. Dalam hal ini tentunya konsumen

haruslah mendapat suatu perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang merugikan

konsumen yang sering dilakukan oleh produsen.

Kedudukan antara konsumen dan produsen adalah setara sehingga konsumen produk

kosmetik juga mempunyai hak-hak yang perlu diketahui oleh produsen, Kepentingan

konsumen tersebut selain dilindungi dan diatur Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

perlindungan hukum terhadap konsumen produk kosmetik di tengah maraknya

peredaran kosmetik tanpa izin edar dipasaran berdasarkan peraturan

perundang-undangannya mengingat kasus pelanggran mengenai kosmetik tanpa izin edar yang

ditangani oleh BPOM/ BBPOM Bandar Lampung belum ada yang bersumber dari

(14)

melainkan dari jalur razia yang digelar oleh BPOM/ BBPOM Bandar Lampung.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Perlindungan Konsumen Akibat Menggunakan Kosmetik Tanpa Izin Edar”.

B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi pokok

permasalahan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen akibat

menggunakan kosmetik tanpa izin edar ?.

Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah :

a. Ketentuan-ketentuan hukum tentang izin edar kosmetik.

b. Tindakan hukum oleh BBPOM Bandar Lampung terhadap produk kosmetik tanpa

izin edar.

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk bidang ilmu hukum perdata ekonomi, dengan lingkup kajian

materi mengenai perlindungan konsumen akibat mengkonsumsi produk kosmetik

tanpa izin edar. Khususnya tentang ketentuan-ketentuan hukum dan tindakan hukum

(15)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang akan menjadi tujuan penelitian ini

adalah menganalisis :

1. Ketentuan-ketentuan hukum tentang izin edar kosmetik.

2. Tindakan hukum oleh BPOM terhadap produk kosmetik tanpa izin edar.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

wawasan pengetahuan dan memberi gambaran ataupun sumbangan pemikiran

terhadap ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan terhadap

konsumen akibat mengkonsumsi produk kosmetik tanpa izin edar.

b. Kegunaan praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

pembaca mengenai ilmu hukum ekonomi sehingga dapat menjadi sarana untuk

memperluas wawasan dan pengetahuan, selain itu penulisan ini sebagai salah

satu syarat akademis bagi peneliti untuk menyelesaikan studi pada Fakultas

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-jenis Kosmetik

1. Pengertian Kosmetik

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian

luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar)

atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah

penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh

pada kondisi baik.17

2. Jenis-jenis Kosmetik

Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik

dibagi 2 (dua) golongan :18

1. Kosmetik golongan I adalah :

a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

(17)

b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya;

c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan;

d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum

diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I.

Selain tentang produksi dan distribusi kosmetik dalam kebenaran informasi yang

akan diterima, maka perlu diperhatikan pula mengenai etiket. Etiket adalah

keterangan berupa tulisan dengan atau tanpa gambar yang dilekatkan, dicetak, diukir,

dicantumkan dengan cara apapun pada wadah atau dan pembungkus. Pada etiket

wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan mengenai :19

a. Nama produk;

b.Nama dan alamat produsen atau importir / penyalur;

c. Ukuran, isi atau berat bersih;

d.Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik indonesia atau

nomenklatur lainnya yang berlaku;

e. Nomor izin edar;

f. Nomor batch / kode produksi;

g.Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas

penggunaannya ;

h.Bulan dan tahun kadaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan;

i. Penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.

(18)

B. Pihak-Pihak Dalam Peredaran Kosmetik

Peredaran kosmetik merupakan kegiatan yang meliputi pihak-pihak yang terkait

dalam produksi dan distribusi produk-produk kosmetik, yaitu produsen, distributor,

konsumen dan pemerintah. Sampainya suatu produk kosmetik dari produsen ke

konsumen dapat melalui penyalur atau distributor.

1. Pelaku Usaha

Menurut UUPK menggunakan istilah pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.20 Dalam

penjelasan UUPK yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi,

BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.21

Dalam mata rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh

proses dari pihak-pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh ke tangan

konsumen. Dalam praktiknya ada beragam jenis dan nama dalam mata rantai bisnis,

20 Lihat, Pasal 1 Ayat (3) UUPK.

(19)

yang secara yuridis sulit untuk mencari padanan istilah yang tepat ke dalam bahasa

Indonesia. Pelaku usaha akan terdiri dari banyak pihak, antara lain yaitu:22

1. Produsen (produser); 2. Importir;

3. Agen (agent);

4. Kantor cabang (branch office);

5. Kantor Perwakilan (representatives office); 6. Perantara (broker);

7. Pedagang (trader); 8. Dealer;

9. Penyalur (distributor); 10.Grosir (wholeseller).

Istilah pelaku usaha dalam praktiknya memiliki banyak bentuk perwujudan

sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Namun dalam hal ini (peredaran kosmetik)

pelaku usaha yang terlibat secara langsung antara lain adalah produsen kosmetik,

importir kosmetik, dan pedagang kosmetik.

(20)

a. Produsen Kosmetik

Secara harfiah produsen mempunyai pengertian penghasil atau yang menghasilkan

barang-barang.23 Sehingga dapat dipahami produsen kosmetik adalah setiap orang

atau badan usaha yang menghasilkan produk kosmetik. Sebagai pelaku usaha

produsen kosmetik dirasa terlibat secara langsung dengan peredaran kosmetik karena

dalam hal ini produsen adalah pihak yang membuat produk kosmetik, seharusnya

sangat memahami khasiat maupun efek samping bahan baku produk kosmetik

tersebut serta tidak menggunakan bahan baku yang dapat membahayakan kesehatan

pengguna kosmetik atau memberikan informasi yang tidak sesuai dan atau tidak

benar mengenai khasiat produk kosmetik tersebut.

b. Importir Kosmetik

Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukan

barang-barang dari luar negeri.24 Atau dapat dipahami pula importir adalah orang atau

perusahaan yang melakukan impor. Impor adalah proses transportasi barang atau

komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses

perdagangan.25 Maka importir kosmetik dapat kita pahami sebagai orang atau

perusahaan yang memasukan produk-produk kosmetik dari luar negeri secara legal.

Keterlibatan importir secara langsung sebagai pelaku usaha dalam peredaran

23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 897.

24Ibid ., hal 427.

(21)

kosmetik disebabkan peran importir yang menjembatani masuknya produk kosmetik

asing kedalam negeri secara legal sehingga produk kosmetik asing tersebut dapat

diedarkan di dalam negeri.

c. Pedagang Kosmetik

Pedagang adalah orang yang melakukan perdagangan, memperjualbelikan barang yang tidak diproduksi sendiri, untuk memperoleh suatu keuntungan. Pedagang dapat dikategorikan menjadi:26

1. Pedagang grosir, beroperasi dalam rantai distribusi antara produsen dan pedagang eceran.

2. Pedagang eceran, disebut juga pengecer, menjual produk komoditas langsung ke konsumen. Pemilik toko atau warung adalah pengecer.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pedagang kosmetik adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik bukan dari hasil produksi sendiri guna memperoleh suatu keuntungan. Selain itu dapat dipahami pula bahwa pedagang grosir kosmetik adalah orang yang memperjualbelikan kosmetik dalam jumlah besar kepada pedagang eceran kosmetik. Pedagang eceran kosmetik yaitu yang memerjualbelikan kosmetik dalam jumlah kecil kepada konsumen kosmetik langsung.

Dalam keterlibatannya dengan peredaran kosmetik, pedagang merupakan pelaku usaha yang berhubungan secara langsung dengan konsumen kosmetik tersebut. Oleh

(22)

sebab itu, seharusnya pedagang produk kosmetik tidak menjual produk kosmetik yang telah di informasikan oleh pemerintah dilarang peredarannya karena tidak memiliki izin edar dan atau mengandung bahan berbahaya.

2. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.27 Selain itu pengertian konsumen adalah

setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau rumah

tangga dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain untuk memperdagangkan

kembali.28

Sedangkan istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda) yang secara harfiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.29 Konsumen dalam bahasa Indonesia berarti pemakai barang hasil produksi (bahan

pakaian, makanan, dsb.) dan pemakai jasa (pelanggan, dsb.).30

27 Lihat, Pasal 1 Ayat (2) UUPK.

28 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 69.

29 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 22.

(23)

UUPK menggunakan istilah (kata-kata) yang hampir bersamaan artinya pemakai,

pengguna dan pemanfaat sering diartikan bersamaan dalam kaitan apapun. Sayangnya

undang-undang tidak menjelaskan arti masing-masing istilah tersebut. Dalam

pembahasan penggunaan istilah-istilah ini, tindakan hukum perlindungan konsumen

yang dibentuk oleh menteri kehakiman sebelum UUPK disyahkan DPR (1999),

menyepakati penggunaan istilah-istilah itu untuk kegiatan konsumen secara tertentu,

sebagai berikut:31

a. Istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang tidak

mengandung listrik atau elekronik (misalnya pemakaian bahan pangan, bahan

sandang, peumahan, dst.);

b. Istilah penggunaan ditunjukan untuk penggunaan produk konsumen yang

menggunakan arus listrik atau elektronik (seperti penggunaan listrik penerangan,

radio-tape, televisi, komputer dst.);

c. Istilah pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa

(misalnya, pemanfaatan jasa asuransi, jasa penerbangan, jasa transportasi, jasa

advokat, jasa kesehatan, dst.).

Dalam berhadapan dengan produsen, konsumen dianggap sebagai pihak yang lemah,

adapun faktor-faktor yang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah

yaitu :32

31 A.Z. Nasuion, Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU no. 8/ 1999-LN 1999 No.42, Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 2 Tahun XXXII April-Juni 2002, hal. 120.

(24)

1) Kurangnya pengetahuan teknik (barang yang dibelinya, konstruksi mana yang

baik mana yang cacat, pemakaian yang tepat);

2) Kurangnya pengetahuan yang nyata (isinya, susunannya);

3) Kurangnya pengetahuan dari segi hukum (hak dan kewajiban); jalan mana

terbuka baginya sebagai pembeli dalam keadaan darurat juga dimana para

konsumen setiap kali dihadapkan dengan syarat kontrak baku, yang sering tidak

diketahui tentang adanya juga tidak dapat dimengerti atau dicoba mengerti.

Meskipun konsumen dalam berhadapan dengan produsen dipandang sebagai pihak

yang lemah, tetapi pada dasarnya konsumen mempunyai hak-hak yang dapat

dipergunakan untuk melindungi diri sendiri atas suatu produk yang dapat

membahayakan kesehatan atau yang dapat menimbulkan kerugian. Karena kurangnya

informasi dan kesadaran hukum tentang konsumen sehingga penerapan tersebut

sering terabaiakan dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli

hukum dari Jerman, membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Menurutnya secara

garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu:33

a. Konsumen yang terinformasikan (well-informed); b. Konsumen yang tidak terinformasi.

Ciri-ciri konsmen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah:34

a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

(25)

b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam

ekonomi pasar, dan

c. Lancar berkomunikasi.

Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan

relatif tidak memerlukan perlindungan.

Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-ciri

antara lain:35

a. Kurang berpendidikan;

b. Termasuk kategori kelas menengah kebawah;

c. Tidak lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara

untuk memberikan perlindungan.

3. Pemerintah / BPOM RI

Sudah menjadi ketentuan UUPK bahwa pemerintah bertanggung jawab atas

pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya

hak-hak bagi konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya kewajiban terhadap

keduanya.36 Pelaksanaan pembinaan oleh pemerintah melalui menteri teknis terkait

dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini, menteri teknis yang menangani

35 Ibid., hal. 35.

(26)

perlindungan konsumen akan melakukan koordinasi tentang penyelenggaraan

perlindungan konsumen dengan menteri-menteri lainnya.37

Sesuai dengan ketentuan diatas, maka dalam hal perlindungan konsumen kosmetik

dari peredaran kosmetik tanpa izin edar, Menteri Kesehatan RI berkoordinasi dengan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000 sebagai pelaksana dalam implementasi perlindungan hukum dan upaya hukumnya. BPOM RI atau yang lebih akrab disebut dengan Badan POM atau BPOM saja merupakan pelaksana dari Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Adapun kerangka konsep SISPOM sebagai berikut :

a. Sub-sistem pengawasan produsen.

Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun diproses sampai ke pengadilan.

(27)

b. Sub-sistem pengawasan konsumen.

Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.

c. Sub-sistem pengawasan pemerintah/BPOM.

Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.

(28)

tersebar di seluruh wilayah Indonesia, contoh BBPOM Bandar Lampung, BBPOM Semarang, BBPOM Pekan Baru, dll.

BPOM memiliki fungsi sebagai berikut : a. Pengaturan, regulasi, dan standarisasi;

b. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi yang baik;

c. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar;

d. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum. e. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk;

f. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan; g. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Dengan susunan Struktur organisasi sebagai berikut :

a. Skretariat Utama.

(29)

POM melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen yang menerima dan menindaklanjuti berbagai pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan. Disamping itu dilakukan pembinaan administratif beberapa Pusat yang ada di lingkungan Badan POM dan unit-unit pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia.

b. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA.

melaksanakan penilaian dan evaluasi khasiat, keamanan dan mutu obat, produk biologi dan alat kesehatan sebelum beredar di Indonesia dan juga produk uji klinik. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk terapetik, inspeksi penerapan cara pembuatan obat yang baik dan inspeksi penerapan cara pembuatan obat yang baik, inspeksi sarana produksi dan distribusi, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Didukung oleh antara lain Komite Nasional Penilai Obat Jadi, Komite Nasional Penilai Alat Kesehatan dan Tim Penilai Periklanan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional dan Suplemen Makanan.

(30)

justicia. Didukung oleh antara lain Tim Penilai Obat Tradisional dan Tim Penilai Kosmetik.

d. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya, termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina untuk menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik (CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Disamping itu diselenggarakan surveilan, penyuluhan dan informasi keamanan pangan dan bahan berbahaya. Didukung antara lain Tim Penilai Keamanan Pangan.

e. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional.

(31)

bioteknologi, laboratorium baku pembanding, laboratorium kalibrasi serta laboratorium hewan percobaan, juga didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih untuk analisis fisikokimia seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Gas, Sektrofotometer Absorpsi Atom, Spektrofotometer Infra Merah; analisis fisik seperti Alat Uji Disolusi Otomatis dan Smoking Machine; analisis mikrobiologi dan biologi.

f. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan.

Melaksanakan kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen dan makanan serta produk sejenis lainnya.

g. Pusat Riset Obat dan Makanan.

Melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan pangan dan produk terapetik.

h. Pusat Informasi Obat dan Makanan.

(32)

C. Peredaran Kosmetik.

1. Pengaturan Peredaran Kosmetik

Dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran kosmetik di Indonesia telah mengalami banyak revisi dalam rangka menyesuaikan dengan teknologi informasi yang telah berkembang. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang izin edar adalah Permenkes No.326/MENKES/PER/XII/1976 tentang Wajib Daftar Kosmetika dan Alat Kesehatan, yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Permenkes No. 140/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan.

Pada tahun 2004 dikeluarkan Permenkes No. 1184/menkes/per/x/2004 tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Alat Kesehatan, dengan dikeluarkannya permenkes ini mencabut 4 (empat) permenkes sekaligus, yaitu Permenkes No. 220/MEN.KES/PER/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan, Permenkes No. 236/MEN.KES/PER/X/1977 tentang Perijinan Produksi Kosmetika dan Alat Kesehatan, Permenkes No. 140/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, dan Permenkes No.142/MEN.KES/PER/III/1991 tentang Penyalur Alat Kesehatan.

(33)

tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

2.Instansi yang Mengeluarkan Izin Edar Kosmetik

Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi bagi produk obat, obat tradisional,

kosmetik, suplemen makanan, dan makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) agar produk tersebut secara sah dapat diedarkan di

wilayah Indonesia.38

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu maksud diberlakukannya izin edar atau

persetujuan pendaftaran produk di Indonesia adalah untuk melindungi masyarakat

dari peredaran produk yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan

kemanfaatannya. Untuk mengeluarkan nomor izin edar atau nomor persetujuan

pendaftaran, pemerintah dalam hal ini BPOM melakukan evaluasi dan penilaian

terhadap produk tersebut sebelum diedarkan. Tak terkecuali dengan kosmetik.

Sebagaimana diamanatkan pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 41

yang berbunyi “sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapat izin edar” dengan penjelasannya bahwa “sediaan farmasi dan alat

(34)

kesehatan yang dapat diberi izin edar dalam bentuk persetujuan pendaftaran harus

memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan”. Menurut Pasal 1 nomor 9

pada uu tersebut dikatakan bahwa yang termasuk “sediaan farmasi adalah obat, bahan

obat, obat tradisional dan kosmetik”.

Kosmetik sebelum diedarkan harus didaftarkan untuk mendapatkan izin edar dari

Kepala BPOM. Yang berhak untuk mendaftarkan adalah :39

a. Produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri;

b. Perusahaan yang bertanggungjawab atas pemasaran;

c. Badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara asal.

Produk kosmetik yang telah mencantumkan kode registrasi telah melalui pengujian

dari BPOM terlebih dahulu mengenai kelayakan bagi kesehatan. Kode nomor produk

berbeda antara makanan, obat, dan produk kosmetik. Untuk kode kosmetik terdiri

dari 12 (dua belas) digit, yaitu 2 digit huruf dan 10 digit berupa angka. Contohnya:

CD.0103602622.

Dua digit pertama yang berupa huruf tersebut ada dua macam, yaitu CD untuk produk

kosmetik dalam negeri dan CL/CA/CC/CE untuk produl kosmetik luar negeri

(import). Sedangkan 10 digit angka yang mengikuti huruf tersebut memiliki arti sebagai berikut:

 Digit 1,2: CD/CL/CA/CC/CE

 Digit 3,4: Kategori

(35)

 Digit 5,6: Sub Kategori

 Digit 7,8: Tahun Terbit

 Digit 9,10,11,12: Nomor Urut

D. Perlindungan Konsumen

Kedudukan antara pelaku usaha/pelaku usaha dan konsumen adalah setara, tetapi

pada kenyataannya konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Pelaku usaha

lebih cenderung memanfaatkan kelemahan dan ketidaktahuan konsumen akan

hak-haknya. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta

penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Secara harfiah kata “Perlindungan” didefinisikan dalam beberapa arti antara lain:

tempat berlindung, perbuatan menyelamatkan, memberi pertolongan, membuat

sesuatu menjadi aman.40 Sedangkan Konsumen adalah setiap orang yang

menggunakan barang atau jasa.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UUPK, Perlindungan konsumen adalah segala usaha

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen. Ada tiga unsur utama dalam pasal ini, adalah: 41

1. Adanya jaminan

40Departemen Pendidikan Nasional, op., cit, hal. 526.

(36)

2. Kepastian hukum

3. Perlindungan konsumen

Berdasarkan tiga unsur diatas, dapat dipahami bahwa perlindungan konsumen sangat

erat kaitannya dengan Jaminan hukum dan kepastian hukum. Dimana jaminan hukum

dalam prakteknya berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan

kepastian hukum dapat terwujud apabila ada lembaga penegak hukum yang

melakukan pengawasan ataupun upaya hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap

peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam hal perlindungan konsumen produk kosmetik maka peraturan perundang

undangan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), didukung pula dengan Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tahun 2008 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Peraturan Kepala BPOM RI NO. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol serta Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik Sedangkan lembaga penegak hukum yang dimaksud dalam hal perlindungan konsumen produk

(37)

Berdasarkan uraian diatas, maka perlindungan konsumen pada penelitian ini adalah

usaha atau perbuatan untuk melindungi konsumen, yang berupa upaya memberikan

kepastian hukum dalam bentuk ketentuan-ketentuan tertulis yang memuat hak-hak

konsumen dan jaminan hukum melalui lembaga-lembaga yang ditentukan oleh

hukum, untuk dapat menyelesaikan setiap kegiatan atau perbuatan pelaku usaha yang

mengganggu dan merugian konsumen khususnya kerugian dari perbuatan pelaku

(38)

Proses ke Pengadilan Negeri Ketentuan tentang Izin Edar Kosmetik, antara lain:

- UUPK

- Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, - Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat

(39)

Perlindungan Konsumen meliputi jaminan hukum dan kepastian hukum. Jaminan

hukum merupakan langkah guna mewujudkan perlindungan konsumen dari segi

normatif. Tolok ukur adanya jaminan hukum adalah adanya peraturan

perundang-undangan yang memberikan hak-hak konsumen untuk digunakan terhadap perbuatan

yang tidak atau kurang baik dari pelaku usaha. Dimana dalam hal jaminan hukum

terhadap konsumen produk kosmetik dari peredaran kosmetik tanpa izin edar yang

belum terjamin keamanannya adalah dengan adanya regulasi mengenai izin edar

kosmetik.

Sementara itu, kepastian hukum merupakan wujud perlindungan konsumen dari segi

normatif dan empiris, yaitu suatu peraturan perundang-undangan berlaku bagi

pihak-pihak yang bersengketa dan pelaksanaan penegakan atas peraturan

perundang-undangan tersebut merupakan perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang, yang

diselenggarakan oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang yaitu BPOM RI.

Ada korelasi positif antara kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap

konsumen. Kepastian hukum merupakan variabel yang akan mempengaruhi

perlindungan konsumen. Jika kepastian hukum dapat tercapai, maka perlindungan

hukum terhadap konsumen juga dapat diberikan.

Perlindungan konsumen tersebut diselenggarakan oleh pemerintah melalui menteri

teknis yang terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini menteri teknis

yang menangani perlindungan konsumen adalah menteri kesehatan yang melakukan

(40)

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang memiliki unit pelaksana teknis di

daerah-daerah dalam bentuk Balai Besar POM (BBPOM) di tiap-tiap daerah di

seluruh Indonesia.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar yang berlaku (UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol dan Kep. Ka. BPOM tentang Kosmetik) setiap produk kosmetik harus didaftarkan izin edarnya kepada pihak yang berwenang yaitu BPOM melalui BBPOM di tiap daerah di nusantara.

Setelah mengajukan pendaftaran izin edar produk kosmetik dan mengalami

serangkaian proses evaluasi termasuk uji laboratorium, maka akan didapatkan dua

hasil, yaitu:

1. Produk kosmetik yang memenuhi syarat, aman digunakan maka akan dikeluarkan

izin edarnya oleh BPOM. Setelah memiliki izin edar, produk kosmetik ini dapat

langsung disalurkan ke konsumen.

2. Produk kosmetik tidak memenuhi syarat, mengandung bahan berbahaya maka

tidak akan dikeluarkan izin edarnya dan harus mengikuti standar kesehatan dan

mutu serta mendaftarkan izin edarnya kembali jika si produsen ingin produknya

tetap dapat dipasarkan. Namun dalam praktiknya masih banyak produsen produk

(41)

Keduanya, baik yang memiliki izin edar maupun tidak sama-sama dapat kita jumpai

beredar dipasaran. Namun lain halnya dengan produk kosmetik ber-izin edar, produk

kosmetik tanpa izin edar dipasarkan secara illegal. Peredaran produk kosmetik tanpa

izin edar dipasaran tersebut diantisipasi oleh BPOM dengan mengadakan

pemeriksaan setempat, dimana pemeriksaan setempat ini dilakukan oleh BPOM

untuk wilayah pusat dan oleh BBPOM untuk di setiap daerah di Indonesia. Produk

kosmetik tanpa izin edar yang terjaring pemeriksaan setempat tersebut akan dijadikan

barang bukti untuk selanjutnya diambil tindakan. Tindakan tersebut dapat berupa

pembinaan atau tindakan proses ke pengadilan negeri setempat.

Apabila tindakan yang diambil adalah pembinaan kepada pelaku usaha maka produk

kosmetik yang menjadi barang bukti tersebut akan di musnahkan serta dilakukannya

pengawasan berkala secara khusus. Namun apabila tindakan yang diambil adalah

membawa perkara pelanggaran tersebut ke pengadilan, maka BBPOM akan bertindak

sebagai penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan melakukan penyidikan sampai

pada akhirnya berkas kasus tersebut di limpahkan kepada jaksa penuntut umum untuk

diproses dimuka siding pengadilan.

Putusan pengadilan biasanya ada yang disertai pencabutan izin usaha dan tanpa

disertai pencabutan izin usaha. Apabila dilakukan pencabutan izin usaha maka pelaku

usaha tersebut tidak boleh menjalankan usaha tersebut lagi atau memproduksi produk

kosmetik yang sama. Namun pelaku usaha tersebut masih boleh mengajukan izin

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Tipe penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif

empiris, Penelitian hukum normatif-empiris adalah penelitian hukum mengenai

pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi,

undang-undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.42 Penulis menggunakan Jenis Penelitian normatif-empiris

karena obyek yang diteliti adalah ketentuan normatif di bidang administrasi yang

sebagian besar berupa peraturan perundang-undangan dengan studi penelitian pada

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung mengenai

pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut.

2. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu

penelitiam hukum yang bersifat memaparkan dan bertujuan untuk memperoleh

(43)

gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu

pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum

tertentu yang terjadi dalam masyarakat.43 Dalam hal ini penulis akan menggambarkan

dan memaparkan secara lengkap, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk

laporan penelitian sebagai karya ilmiah mengenai perlindungan hukum terhadap

konsumen produk kosmetika tanpa izin edar.

B. Pendekatan Masalah

Sesuai dengan jenis penelitian yaitu hukum normatif-empiris, maka pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan (applied law approach). Untuk menggunakan pendekatan normatif terapan, terlebih dahulu merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Masalah dan tujuan tersebut perlu dirumuskan secara rinci, jelas, dan akurat. Tipe pendekatan normatif-terapan yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masih berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir.44

C. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini tidak akan terlepas dari data-data pendukung sesuai dengan

tujuan. Data dijadikan pedoman dalam penulisan penelitian, penulis menggunakan

data primer dan data sekunder.

43 Ibid., hal. 50.

(44)

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara dan

pengamatan digunakan untuk memperjelas data yang dibutuhkan. Selain data primer,

penulis juga menggunakan data sekunder yang didapat dari studi kepustakaan.

Adapun data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari berbagai peraturan,

undang-undang, keputusan menteri dan peraturan yang setaraf, yang meliputi :

1. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

2. Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.

3. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 Tahun 2009 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol.

4. Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang bersumber dari literatur-literatur, makalah, dokuman

perizinan terlampir, Putusan Pengadilan Negeri, serta tulisan ilmiah yang berkaitan

(45)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti surat

kabar, kamus hukum dan pedoman penulisan karya ilmiah.

D. Metode pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara:

a. Studi pustaka

Cara ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan

cara mengutip atau meresume bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan obyek

penelitian lain yaitu :

1. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

2. Peraturan Kepala BPOM RI No. Hk.00.05.42.2995 tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik.

3. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.23.3516 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu dan Atau Mengandung Alkohol.

(46)

b. Studi Dokumen

Studi Dokumen adalah dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji Surat Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 641/Pid.B/2006/PN.TK.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan secara bebas dengan Bapak Drs. Hartadi,Apt., Ka. Bidang Unit

Layanan Pengaduan konsumen BBPOM Bandar Lampung dan Bapak Ramadhan,

Apt., Ka. Bidang Unit Penyidikan BBPOM Bandar Lampung.

E. Metode Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seleksi data

Seleksi data adalah memeriksa kembali apakah data yang diperoleh itu relevan

dan sesuai dengan bahasan, selanjutnya apabila data ada yang salah akan

dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan dilengkapi.

2. Klasifikasi data

Klasifikasi data adalah pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan agar

memudahkan pembahasan.

3. Sistematika data

Sistematika data adalah penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah

(47)

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara

menafsirkan, menginterpretasikan, dan mengklasifikasikan data yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara dengan menggunakan kerangka

teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan kedalam bentuk

kalimat yang jelas, teratur, logis dan efektif sehingga diperoleh gambaran yang jelas

tepat, dan dapat ditarik suatu kesimpulan sehingga dari beberapa kesimpulan tersebut

(48)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

(49)

Kosmetik. Sedangkan perlindungan konsumen secara umum juga telah diatur dalam UUPK.

(50)

B. Saran

(51)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR

( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Bandar Lampung )

Oleh

CHRISTINE DEWI UNTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(52)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

AKIBAT MENGGUNAKAN KOSMETIK TANPA IZIN EDAR ( Studi Pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung )

(Skripsi)

Oleh:

CHRISTINE DEWI UNTARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Referensi

Dokumen terkait

Tidak dipungkiri lagi bahwa pada saat ini internet merupakan alat bantu yang sangat berguna bagi manusia dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada. Pada Aplikasi ini penulis

Hipotesis yang dikemukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan abnormal return sebelum dan sesudah reverse stock split dan terdapat perbedaan trading

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan nelayan dan petani di Desa Pekan Tanjung Beringin Kecamatan Tanjung Beringin

Lanjutan Lampiran 5.1... Lanjutan

Layanan informasi berbantuan Audiovisual dapat diartikan sebagai suatu media dalam layanan bimbingan konseling dengan menggunakan video/film untuk menyampaikan informasi

Bapak Setiawan S.Kp., MNS., Ph.D selaku dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan sebagai dosen pembimbing saya yang selama ini telah meluangkan

In the event that all members of the Board of Commissioners are absent or unable to attend, the Meeting shall be chaired by a member of the Board of Directors

Serta berbagai permainan yang menunutut ketangkasan dan ketrampilan fisik bagi pemainnnya seperti ajakan, belewang, betewah, kuntau, bausung, jepen kesemuanya itu