DAFTAR PUSTAKA
Agriculture Syllabus. 2009. The Role of Nitrogen in Agriculture Production Systems. Charles Sturt University, Australia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Ragam Inovasi Pendukung Pertanian Daerah. Agroinovasi, Jakarta Selatan.
Cahyono, B., 2003. Teknik dan Strategi Budi Daya Sawi Hijau (Pai-Tsai). Yayasan Pustaka Nustama, Yogyakarta. Hal: 12-16.
Damanik, B. M. M., Bachtiar, E. H., Fauzi, Sarifuddin, Hamidah, H., 2011 Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan.
Ginting, N., 2012. Pembuatan Kompos Tepat Guna Dengan Dasar Mikroorgaanisme dari Yoghurt. Makalah Ilmiah. Dinas Kehutananan Sumatera Utara.
Goenadi, D. H. 1995. Mikroba Pelarut Hara dan Pemantap Agregat dari Beberapa Tanah Tropika Basah. Menara Perkebunan 62: 60-66.
Hananto. 2012. Pengaruh Pengkomposan Limbah Organik Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Terhadap Kandungan C, N, P Dan K Dalam Pupuk Cair Yang Terbentuk. Tesis Master of Science Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UGM, Yogyakarta.
Hanum, C. 2011. Ekologi Tanaman. USU Press, Medan.
Haryanto, W., T. Suhartini dan E. Rahayu. 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta. Hal: 5-26.
Isniani, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Manurung, H. 2011. Aplikasi Bioaktivaktor (Effective Microorganisms4 dan Orgadec) Untuk Mempercepat Pembentukan Komposisi Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman. Bioprospek, Volume 8, Nomor II.
Nazaruddin. 2000. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pracaya. 2002. Bertanam sayuran organik di kebun, pot dan polibag. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rubatzky, V. E. Dan M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia. ITB-Press. Bandung.
Satuhu, S., B. Sc. Dan A. Supriyadi. 1991. Pisang Budidaya, Pengelolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugiyarto. 2012. Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Terhadap Berbagai Sumber Nitrogen Organik. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Susetya, D. 2012. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik. Penerbit Baru Press, Jakarta.
Setyorini, D., R. Saraswati dan E. K. Anwar. 2006. Kompos. Balit Tanah Departemen Pertanian.
Sutarno, H. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. UGM Press, Yogyakarta.
Sunarjono, H. H., 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tim Penulis PS. 2009. Sayur Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Agustus 2013 sampai dengan
Oktober 2013 di Lahan Penelitian Rumah Kasa, Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter diatas permukaan
laut.
3.2 Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sawi varietas
caisim, kulit pisang kepok, dedak, MOL (Mikro Organisme Lokal), polibeg
ukuran terlipat 25 x 30 cm (+ 5 kg tanah), top soil, air dan serta bahan lainnya
yang mendukung penelitian ini.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah baker gelas, cangkul,
gembor, pisau, buku tulis, kalkulator, pena dan penggaris, serta alat lainnya yang
mendukung penelitian ini.
3.3 Metode penelitian
Metode percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu :
Faktor I : Pupuk organik padat (P)
P0 = kontrol (tanpa pemberian pupuk)
P1 = 5 ton/ha (30 gram/tanaman)
P2 = 10 ton/ha (60 gram/tanaman)
Faktor II : Pupuk organik cair (C)
C0 = kontrol (tanpa pemberian pupuk)
C1 = 4.166 L/ha/aplikasi (25 ml/tanaman/aplikasi) C2 = 7.500 L/ha/aplikasi (45 ml/tanaman/aplikasi)
C3 = 10.833 L/ha/aplikasi (65 ml/tanaman/aplikasi) Maka Diperoleh 16 Kombinasi Yaitu:
P0C0 P1C0 P2C0 P3C0
P0C1 P1C1 P2C1 P3C1
P0C2 P1C2 P2C2 P3C2
P0C3 P1C3 P2C3 P3C3
Jumlah Ulangan: (t-1) (r-1) > 15
(16-1) (r-1) > 15
15r-15 > 15
15r > 30
r = 2
Jumlah ulangan (Blok) : 3 ulangan
Jumlah plot percobaan : 48
Jumlah polibeg/plot : 6 polibeg
Ukuran polibeg : 25 x 30 cm (+ 5 kg tanah)
Jarak tanam : 20 x 20 cm
Jarak antar plot : 30 cm
Jarak antar blok : 50 cm
Jumlah polibeg seluruhnya : 384 polibeg
Jumlah sampel tanaman/plot : 6 tanaman (4 sampel destruksi 2 sampel produksi)
Jumlah Tanaman 1 plot : 8 tanaman
Jumlah Tanaman Seluruhnya : 384 tanaman
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier
sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
i = 1,2,3,4 j = 1,2,3,4 k = 1,2,3
Dimana :
Yijk : Hasil pengamatan dari perlakuan pupuk organik pada taraf ke-i, dan
pupuk organik cair pada taraf ke-j pada ulangan ke-k
µ : Nilai tengah
αi : Pengaruh perlakuan pupuk organik padat pada taraf ke-i
βj : Pengaruh perlakuan pupuk organik cair pada taraf ke-j
(αβ)ij : Pengaruh interaksi pupuk organik padat pada taraf ke-I dan
pupuk organik cair pada taraf ke-j
εijk : Respon galat pada ulangan ke-k yang mendapat perlakuan
pupuk organik padat pada taraf ke-i, pupuk organik cair pada taraf ke-j.
Terhadap sidik ragam yang nyata, maka dilanjutkan analisis lanjutan
dengan menggunakan Uji Beda Rata-rata Duncan Berjarak Ganda (DMRT)
BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian
ini adalah pembuatan pupuk organik, penyiapan media tanam, penanaman,
aplikasi perlakuan, pemeliharaan, panen, dan pengamatan parameter.
4.1 Pembuatan Pupuk Organik
Pupuk organik padat kulit pisang kepok pembuatannya mulai pada
tanggal 1 Agustus 2013 di Compost Center, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan. Bahan yang dijadikan terlebih dahulu dicincang dengan
menggunakan mesin cooper agar halus, kemudian ditambahkan dedak dengan
perbandingan 10:1 (pemberian kulit pisang dilakukan setiap hari dengan jumlah
10 kg hingga hari ke 21), kemudian diberi MOL (Mikro Organisme Lokal) yang
dibuat dengan metode Takakura sebagai media kompos sesuai dengan dosis
anjuran yaitu 6:1, lalu ditutup dengan terpal. Dan di monitoring setiap harinya dan
diambil suhunya guna untuk mengetahui apakah dekomposer bekerja atau tidak.
Pengomposan dilakukan selama 28 hari. Kompos yang siap pakai menyerupai
tanah, tidak berbau dan rasio C/N rendah.
Pupuk organik cair kulit pisang kepok pembuatannya mulai pada tanggal
1 Agustus 2013 di Compost Center, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan. Bahan diblender atau ditumbuk hingga berbentuk halus. Kemudian
dicampur dengan larutan MOL (Mikro Organisme Lokal) yang terbuat dari
larutan air sumur, tempe, yogurt, ragi tape dan gula, larutan MOL tersebut
direndam selama 2-3 hari di dalam tong yang tertutup. Kulit pisang yang telah
sumur 15 liter dan kulit pisang 5 kg dan ditambahkan 5 liter Mikroorganisme
Lokal (MOL) yaitu didapat perbandingannya 3 : 1 dengan larutan. Semuanya
dimasukkan ke dalam tong yang ditutup atasnya dengan terpal namun tengah
dari penutup diberi lubang untuk masuknya batang pengaduk. Pupuk cair diaduk
setiap hari selama 28 hari.
4.2 Persemaian
Tempat persemaian benih dibuat dengan ukuran plot 1 x 1 m. media
tanamannya berupa campuran top soil, pasir dan pupuk padat kulit pisang kepok
dengan perbandingan 2:1:1. Naungan terbuat dari bambu sebagai tiang dan
pelepah kelapa sebagai atap dengan ketinggian 1,5 m arah timur dan 1 m arah
barat, panjang naungan 1,5 m dan lebar naungan 1,5 m yang memanjang arah
utara-selatan.
Media semai atau tempat persemaian sebelum ditanam benih disiram air
terlebih dahulu hingga lembab dan dibuat larikan. Jarak antar larikan adalah 5 cm,
setelah itu benih disebar pada larikan secara merata pada permukaan media
sebanyak 100 benih tiap larikan kemudian ditutup tanah.
4.3 Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan diawali dengan membersihkan areal dari gulma dan
sampah. Kemudian dibuat plot-plot percobaan dengan menyusun batu bata
sebagai tempat berdirinya polibeg, jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok
4.4 Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah top soil. Top soil (+ 5 kg)
dimasukkan ke dalam polibeg sampai sekitar 2 cm dari atas polibeg. Media tanam
diisi 1 minggu sebelum pemindahan tanaman.
4.5 Pengaplikasian Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
Pengaplikasian pupuk dilakukan pada saat pengisian media tanam di
polibeg. Pupuk organik padat kulit pisang kepok dicampur merata dengan media
tanam top soil di dalam polibeg. Dosis perlakuan yang diberikan adalah kontrol
atau tanpa pemberian pupuk, 30 g/tanaman, 60 g/tanaman dan 90 g/tanaman.
4.6 Penanaman
Sebelum bibit ditanam. Masing-masing polibeg disusun terlebih dahulu
diatas susunan batu bata di setiap plot perlakuan dengan jarak setiap polibeg
adalah 10 cm, jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok 50 cm. Setelah itu bibit
dicabut dari persemaian dan ditanam pada lubang tanam yang telah dipersiapkan.
Pindah tanam dilakukan pada 9 HST (hari setelah tabur) benih dengan kriteria
tanaman seragam.
4.7 Pengaplikasian Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok
Pengaplikasian pupuk organik cair kulit pisang kepok dilakukan 5 kali
yaitu pada 7, 14, 21, 28, dan 35 hari setelah pindah tanam (HSPT).
Pengaplikasian pupuk organik cair dilakukan dengan cara disiram pada media
tanam di dalam polibeg dan dilaksanakan pada pukul 16.00-17.00 WIB. Dosis
yang diberikan berdasarkan perlakuan yaitu kontrol atau tanpa pemberian pupuk,
4.8 Penyisipan
Penyisipan dilakukan guna mengganti tanaman yang rusak akibat hama,
penyakit ataupun kerusakan mekanis lainnya. Penyisipan terakhir dilakukan
12 HSPT.
4.9 Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman terdiri dari penyiraman, penyulaman, penyiangan
dan pengendalian hama dan penyakit.
4.10 Penyiraman
Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pagi pada pukul 08.00-09.00 WIB
atau sore hari pada pukul 16.00-17.00 WIB secara merata pada seluruh tanaman
dengan menggunakan gembor dan air bersih dan disesuaikan dengan kondisi di
lapangan.
4.11 Penyiangan
Penyiangan dilakukan secara manual yaitu dengan mencabut gulma yang
tumbuh dengan tangan.
4.12 Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Usaha untuk mengendalikan serangan hama dilakukan secara manual yaitu
mengambil hama yang terdapat pada tanaman sawi dengan menggunakan tangan,
adapun hama yang terdapat di tanaman sawi yaitu
belalang kayu (Valanga nigricornis Burm. ) dan tidak ditemukan adanya penyakit
4.13 Panen
Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 40 hari setelah pindah tanam
(HSPT) adapun cara pemanenan yaitu dengan mencabut seluruh bagian tanaman.
4.14 Pengamatan Parameter 4.14.1 Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah (patok standard)
sampai dengan daun yang tertinggi. Pengukuran dilakukan pada 2 sampel mulai
saat tanaman berumur 7 HSPT dan selanjutnya pengukuran dilakukan setiap 4
hari sekali hingga tanaman berumur 31 HSPT (7 kali pengukuran).
4.14.2 Jumlah Daun (helai)
Perhitungan jumlah daun dilakukan pada daun yang sudah berkembang
sempurna minimal 2/3 dari daun normal sudah terbuka seluruhnya. Perhitungan
dilakukan pada 2 sampel tanaman yang sama dengan pengukuran tinggi tanaman
dan dimulai pada 7 HSPT dan selanjutnya dilakukan setiap 4 hari sekali hingga
tanaman berumur 31 HSPT (7 kali pengukuran).
4.14.3 Total Luas Daun (cm)
Pengukuran total luas daun dilakukan pada setiap daun dari 2 tanaman
sampel destruksi dengan menggunakan metode timbang dan dilakukan saat
tanaman berumur 30 dan 40 HSPT.
4.14.4 Bobot Segar Tanaman (g)
Penimbangan bobot segar tanaman dilakukan pada 2 tanaman destruksi
dari tiap plot dengan mengunakan timbangan analitik dan ditimbang seluruh
dikeringanginkan. Pekerjaan ini dilakukan setelah tanaman berumur 30 dan
40 HSPT.
4.14.5 Bobot Kering Tanaman (g)
Bobot kering ditimbang seluruh tanaman. Bahan dimasukkan ke dalam
amplop dan diberi label sesuai perlakuan, lalu dikeringovenkan pada suhu 700 C selama 24 jam, setelah itu sampel dikeluarkan dari lemari pengering dan
dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang, pengeringan
diulang hingga bobot tetap. Penimbangan dilakukan saat tanaman berumur 30 dan
40 HSPT.
4.14.6 Laju Asimilasi Bersih (g.cm2.hari-1)
Nilai laju asimilasi bersih merupakan pertambahan material tanaman dari
asimilasi persatuan waktu (Sitompul dan Guritno, 1995). Dihitung pada umur 30
dan 40 hari setelah tanam dengan persamaan sebagai berikut:
(W2-w1) (ln A2-ln A1) LAB = x
(T2-T1) (A2-A1)
Dimana: W1 dan W2 = Berat kering tanaman pengamatan ke-1 dan ke-2
A1 dan A2 = Luas daun tanaman pengamatan ke-1 dan ke-2
T1 dan T2 = Waktu pengamatan ke-1 dan ke-2
4.14.7 Laju Pertumbuhan Relatif (g.g-1.hari-1)
Laju pertumbuhan relatif merupakan penambahan berat kering dalam
interval waktu terhadap berat permukaan (Sitompul dan Guritno, 1995). Dihitung
pada umur 30 dan 40 hari setelah tanam, dengan persamaan sebagai berikut:
(ln W2-ln W1)
Dimana: W1 = Berat kering tanaman pengamatan ke-1
W2 = Berat kering tanaman pengamatan ke-2
T1 = Waktu pengamatan 1
T2 = Waktu pengamatan 2
4.14.8 Produksi
Produksi dihitung dengan menggunakan 2 cara, yaitu:
1. Produksi tanaman sampel: dihitung dari tanaman umur 40 hari, ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik.
2. Produksi per plot: diperoleh dengan mentotalkankan seluruh bobot segar
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tinggi Tanaman (cm)
Data pengamatan tinggi tanaman caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT dan
sidik ragamnya dapat dilihat pa da lampiran 7 s/d 20 yang menunjukkan perlakuan
pupuk organik padat berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 15 HSPT dan
pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 11, 19 dan 23
HSPT serta interaksi pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 7 HSPT.
Data perkembangan tinggi tanaman caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT
pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 7 HSPT dengan
tanaman tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P1C0 yang berbeda tidak
nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P1C3.
Tabel 2 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok pada umur 11, 19, dan 23 HSPT tanaman tertinggi diperoleh
pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0) yang berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman umur 15, 27 dan 31 HSPT pemberian
pupuk organik cair kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata, namun tanaman
yang tertinggi cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
nyata pada umur 15 HSPT dengan tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan
tanpa pemberian pupuk (P0) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 dan berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3. Sedangkan pada umur tanaman 7, 11,
19, 23, 27, dan 31 HSPT berpengaruh tidak nyata, dengan tanaman tertinggi
cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).
Tabel 2. Tinggi Tanaman caisim (cm) umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
C2(45) 12.25 9.67 11.67 9.33 10.73 b
C3 (65) 9.38 10.50 11.33 11.33 10.64 b
Rataan 12.24 11.33 11.10 9.81 11.12
27 HSPT
C0 (0) 18.25 17.75 13.67 13.25 15.73
C1 (25) 14.88 13.50 13.17 10.08 12.91
C2(45) 15.58 12.20 14.83 11.42 13.51
C3 (65) 11.42 12.92 14.50 14.58 13.35
Rataan 15.03 14.09 14.04 12.33 13.88
31 HSPT
C0 (0) 19.25 19.58 14.33 14.25 16.85
C1(25) 15.33 14.50 14.42 10.75 13.75
C2(45) 17.25 12.75 16.42 12.25 14.67
C3 (65) 10.67 14.25 15.42 15.42 13.94
Rataan 15.63 15.27 15.15 13.17 14.80
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT 5%
Hubungan tinggi tanaman caisim 7 HSPT dengan pupuk organik padat
pada berbagai dosis pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukan dengan pemberian pupuk organik cair 65 ml (C3)
tinggi tanaman meningkat secara linear dengan peningkatan dosis pemberian
pupuk organik padat kulit pisang kepok, sedangkan pada pemberian pupuk
organik cair 25 ml, 45 ml dan tanpa pemberian pupuk organik cair tinggi tanaman
cenderung menurun secara linear dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik padat kulit pisang kepok.
Hubungan tinggi tanaman caisim 11 HSPT dengan pemberian pupuk
organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan tinggi tanaman caisim 11 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 2 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi
tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang
Hubungan tinggi tanaman caisim 15 HSPT dengan pemberian pupuk
organik padat dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan tinggi tanaman caisim 15 HSPT dengan pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok
Gambar 3 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik padat 30, 60 dan 90 gr tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi
tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat kulit
Hubungan tinggi tanaman caisim 19 HSPT dengan pemberian pupuk
organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan tinggi tanaman caisim 19 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 4 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi
tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang
Hubungan tinggi tanaman caisim 23 HSPT dengan pemberian pupuk
organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan tinggi tanaman caisim 23 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 5 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi
tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang
kepok (C0).
Dari pengamatan data tinggi tanaman 7-23 HSPT yang dapat dilihat pada
Tabel 2 dan Gambar 1-5 perlakuan yang paling banyak memberikan pengaruh
nyata adalah tanpa pemberian pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang
kepok hal ini dikarenakan pH masam yang dimiliki oleh pupuk organik padat dan
cair dari kulit pisang kepok dan tanah sebagai media tanam menyebabkan tidak
terabsorbsinya unsur hara yang terkandung didalam pupuk oleh tanaman,
Universitas Sumatera Utara (2013) dapat diketahui bahwa pH pupuk organik
padat 4,8 dan pH pupuk organik cair 4,5 serta pH yang dimiliki tanah sebagai
media tanam adalah 5,0. pH yang terkandung didalam pupuk dan media tanam
menyebabkan keadaan tanah menjadi masam, pada keadaan lingkungan tanah
yang masam sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara didalam tanah,
tanah yang masam dapat menghambat aktifitas mikroorganisme yang membuat
tersedia unsur hara makro dan mikro terutama unsur hara N dan P didalam tanah
sehingga unsur hara menjadi tidak dapat diserap oleh tanaman yang
mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan pertumbuhan
tanaman menjadi kecil. Hal ini sesuai penjelasan oleh Damanik dkk (2011) yakni
kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara di dalam tanah,
aktifitas kehidupan jasad renik tanah dan reaksi pupuk yang diberikan kedalam
tanah. Pengaruh pH terhadap ketersediaan N tanah melalui tiga cara yaitu:
1. Perubahan ammonium (NH4+) menjadi nitrat (NO3-), 2. Penggunaan (NH4+)
dan (NO3-) oleh tanaman, 3. Pengikatan N oleh liat. Perubahan ammonium
menjadi nitrat berlangsung dengan proses oksidasi enzimatik yang dibantu oleh
bakteri Nitrobakter dan Nitrosomonas, sedangkan kehidupan kedua bakteri
tersebut sangat tergantung oleh pH tanah. Kemasaman tanah yang optimum untuk
proses tersebut (nitrifikasi) berkisar pada pH 6,5-8,0. pH lebih kecil 5,0 dan lebih
besar dari 8,0 proses akan terhambat dan unsur hara fosfat kurang tersedia pada
tanah masam (pH lebih kecil dari 5,0). Hal ini didukung juga oleh pernyatan
bahwa sawi menginginkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik. Selain itu
5.2 Jumlah Daun (helai)
Data pengamatan jumlah daun caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT dan
sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 21 s/d 34 yang menunjukkan
perlakuan pupuk organik padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan jumlah daun caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada
berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada semua umur
pengamatan tanaman, dengan jumlah daun tertinggi diperoleh pada kombinasi
perlakuan P0C0.
Tabel 3 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada semua
umur pengamatan tanaman, dengan jumlah daun tertinggi cenderung diperoleh
pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0).
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata pada semua umur pengamatan tanaman dengan jumlah daun tertinggi
Tabel 3. Jumlah daun caisim (helai) umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
31 HSPT
Data pengamatan total luas daun caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT dan
sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 35 s/d 38 yang menunjukkan
perlakuan pupuk organik padat berpengaruh nyata terhadap total luas daun pada
tanaman umur 30 HSPT dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan total luas daun caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT
pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun pada semua umur
pengamatan tanaman, dengan total luas daun tertinggi pada umur 30 HSPT
diperoleh pada kombinasi perlakuan P1C0 sedangkan pada umur 40 HSPT total
luas daun tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0 .
Tabel 4 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun pada semua
umur pengamatan tanaman, dengan total luas daun tertinggi cenderung diperoleh
pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0).
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0) yang berbeda nyata
dengan semua perlakuan dan berpengaruh tidak nyata pada umur tanaman
40 HSPT yang memiliki total luas daun tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik padat (P0).
Tabel 4. Total luas daun caisim (cm) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
Rataan 156.35 116.64 125.26 104.15 125.60
Hubungan total luas daun caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk
organik padat dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan total luas daun caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok
Gambar 6 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik padat 30, 60 dan 90 gram/tanaman total luas daun tanaman menurun
secara linear dan total luas daun tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk
organik padat kulit pisang kepok (P0).
Pengaruh pemberian pupuk organik padat yang nyata dan tertinggi
terhadap total luas daun tanaman caisim diperoleh pada perlakuan tanpa
pemberian pupuk (P0). Total luas daun adalah salah satu parameter yang penting
untuk mengidentifikasi produktifitas tanaman pertanian. Unsur hara yang paling
dibutuhkan untuk pembentukan daun dan produksi tanaman adalah N yang
diserap melalui akar dalam bentuk ion nitrat atau ammonium, hal ini sesuai
dengan pernyataan yang terdapat didalam Agriculture Syllabus (2009) Nitrogen
merupakan salah satu unsur kimia utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
untuk fotosintesis. Tanaman menggunakan nitrogen dengan menyerap baik ion
nitrat atau amonium melalui akar. Sebagian besar nitrogen digunakan oleh
tanaman untuk menghasilkan protein (dalam bentuk enzim) dan asam nukleat.
Namun dari data yang di diperoleh hasil total luas daun yang tertinggi adalah pada
perlakuan tanpa pemberian pupuk bukan pada perlakuan pemberian pupuk hal ini
dikarenakan pada tanah yang diberikan pupuk terjadi hambatan penyerapan unsur
hara sehingga unsur hara N tidak tersedia untuk tanaman yang didasari oleh
rendahnya perbandingan C-organik dengan nitrogen (N) pupuk (C/N pupuk
organik padat kulit pisang kepok yaitu 4,26 %) yang mengakibatkan nitrogen (N)
yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang
melalui volatisasi (hilang di udara bebas) sebagai ammonia hal ini sejalan dengan
pernyataan yang ada dalam BPPP (2011) rasio C/N merupakan faktor paling
penting dalam proses pengomposan. Hal ini disebabkan proses pengomposan
tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai
sumber energi dan pembentuk sel dan nitrogen untuk membentuk sel. Jika rasio
C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu
diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan dengan
degradasi bahan kompos, sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan
kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu rendah. Jika C/N-rasio terlalu
rendah, kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak
dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai ammonia.
5.4 Bobot Segar Tanaman (g)
Data pengamatan bobot segar tanaman caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT
perlakuan pupuk organik padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan bobot segar tanaman daun caisim umur 30 HSPT s/d
40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik
cair dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada semua
umur pengamatan tanaman, dengan bobot segar tanaman tertinggi diperoleh pada
kombinasi perlakuan P0C0.
Tabel 5 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada
semua umur pengamatan tanaman, dengan bobot segar tanaman tertinggi
cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0). Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada semua umur pengamatan tanaman
dengan bobot segar tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian
Tabel 5. Bobot segar caisim (g) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
Rataan 3.87 15.30 15.05 11.69 14.54
5.5 Bobot Kering Tanaman (g)
Data pengamatan bobot kering tanaman caisim umur 30 HSPT s/d 40
HSPT dan sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 43 s/d 46 yang
menunjukkan perlakuan pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap bobot
kering tanaman pada umur tanaman 30 HSPT dan pupuk organik padat serta
interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan bobot kering tanaman daun caisim umur 30 HSPT s/d
40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik
cair dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman pada semua
umur pengamatan tanaman, dengan bobot kering tanaman tertinggi diperoleh pada
Tabel 6 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman pada umur
tanaman 30 HSPT dengan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa
pemberian pupuk organik cair (C0) yang berbeda nyata dengan semua perlakuan
dan berpengaruh tidak nyata pada umur tanaman 40 HSPT yang memiliki bobot
kering tanaman tertinggi cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik cair (C0).
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap bobot kering tanaman pada semua umur pengamatan
tanaman dengan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik padat (P0).
Tabel 6. Bobot kering caisim (g) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kuli pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
Hubungan bobot kering caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik
cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Hubungan bobot kering caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 7 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik cair 25, 45 dan 65 ml/tanaman/aplikasi bobot kering tanaman menurun
secara linear dan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).
Bobot kering tanaman merupakan berat bahan setelah mengalami
pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap konstan, berat kering
merupakan parameter yang termasuk dalam produksi tanaman. Dari data yang
diperoleh dapat diketahui bahwa pada perlakuan tanpa pemberian pupuk cair
organik (C0) berpengaruh nyata dengan semua perlakuan hal ini dikarenakan
kandungan unsur hara yang terdapat di dalam tanah dapat diserap dengan baik
oleh tanaman tanpa adanya bahan pembatas dibandingkan dengan pemberian
pupuk organik yang terhambat penyerapan unsur haranya oleh tanaman karena
dengan pernyataan yang terdapat di dalam Damanik dkk (2011) yang menyatakan
bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor
genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diartikan sebagai gabungan
semua keadaan dan pengaruh luar yang memepengaruhi kehidupan dan
perkembangan suatu organisme. Diantara sekian banyak faktor lingkugan yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tanaman antara lain: 1) temperatur,
2) kelembaban, 3) energi radiasi (cahaya matahari), 4) susunan atmosfer, 5)
struktur tanah dan susunan udara tanah, 6) reaksi tanah (pH), 7) faktor biotis, 8)
penyediaan unsur hara dan 9) ketiadaan bahan pembatas pertumbuhan tanaman.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Cahyono (2003) yakni sifat biologis
tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah tanah yang banyak
mengandung bahan organik (humus) dan bermacam-macam unsur hara yang
berguna untuk pertumbuhan tanaman, serta pada tanah terdapat jasad renik tanah
atau organisme tanah pengurai bahan organik sehingga dengan demikian sifat
biologis tanah yang baik akan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
5.6 Laju Asimilasi Bersih (g.cm2.hari-1)
Data pengamatan laju asimilasi bersih caisim dan sidik ragamnya dapat
dilihat pada lampiran 47 s/d 48 yang menunjukkan perlakuan pupuk organik padat
dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan laju asimilasi bersih caisim pada berbagai dosis
pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
umur pengamatan tanaman, dengan laju asimilasi bersih tertinggi diperoleh pada
kombinasi perlakuan P0C0.
Tabel 7 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju asimilasi bersih pada
semua umur pengamatan tanaman, dengan laju asimilasi bersih tertinggi
cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair
(C0).
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap laju asimilasi bersih pada semua umur pengamatan tanaman
dengan laju asimilasi bersih tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik padat (P0).
Tabel 7. Laju asimilasi bersih caisim (g.cm2.hari-1) pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
5.7 Laju Pertumbuhan Relatif (g.g-1.hari-1)
Data pengamatan laju pertumbuhan relatif caisim dan sidik ragamnya
dapat dilihat pada lampiran 49 s/d 50 yang menunjukkan perlakuan pupuk organik
padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.
Data perkembangan laju pertumbuhan relatif caisim pada berbagai dosis
pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada
semua umur pengamatan tanaman, dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi
diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0.
Tabel 8 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada
semua umur pengamatan tanaman, dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi
cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair
(C0).
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada semua umur pengamatan
tanaman dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa
Tabel 8. Laju pertumbuhan relatif caisim (g.g-1.hari-1) pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
5.8 Produksi Tanaman Sampel (g)
Data pengamatan produksi tanaman sampel caisim umur dan sidik
ragamnya dapat dilihat pada lampiran 51 s/d 52 yang menunjukkan perlakuan
pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman sampel pada
umur tanaman 40 HSPT dan pupuk organik padat serta interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata.
Data produksi tanaman sampel caisim umur 40 HSPT pada berbagai dosis
pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tanaman sampel, dengan
produksi tanaman sampel tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0. Tabel 9 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair
kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman sampel dengan
bobot produksi tanaman sampel tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap produksi tanaman sampel dengan produksi tanaman sampel
tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).
Tabel 9. Produksi tanaman sampel caisim (g) umur 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT 5%.
Hubungan produksi tanaman sampel caisim 40 HSPT dengan pemberian
pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan produksi tanaman sampel caisim 40 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 8 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
menurun secara linear dan produksi tanaman sampel tertinggi pada perlakuan
tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).
Produksi tanaman sampel yang tertinggi dan berpengaruh nyata adalah
pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik. Ketersedian unsur hara yang
mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman di dalam media tanam
digunakan sebagai penyusun bagian-bagian tanaman sehingga diperoleh produksi
tanaman, berdasarkan hasil analisis Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara (2013). Damanik dkk (2011) menjelaskan
bahwa unsur hara yang diserap tanaman digunakan antara lain untuk menyusun
bagian-bagian tanaman. Jumlah unsur hara yang dibutuhkan untuk menyususn
bagian-bagian tanaman tersebut berbeda untuk setiap jenis tanaman, maupun
untuk jenis tanaman yang sama tetapi tingkat proudksi yang berbeda.
5.9 Produksi Tanaman Per Plot (g)
Data pengamatan produksi tanaman per plot caisim umur dan sidik
ragamnya dapat dilihat pada lampiran 53 s/d 54 yang menunjukkan perlakuan
pupuk organik cair berpengaruh nyata produksi tanaman per plot tanaman pada
umur tanaman 40 HSPT dan pupuk organik padat serta interaksi keduanya
berpengaruh tidak nyata.
Data produksi tanaman per plot caisim umur 40 HSPT pada berbagai dosis
pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit
pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tanaman per plot, dengan
Tabel 10 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik
cair kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman per plot
dengan bobot produksi tanaman per plot tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian
pupuk organik cair (C0) yang berbeda tidak nyata dengan semua perlakuan.
Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh
tidak nyata terhadap produksi tanaman per plot dengan produksi tanaman per plot
tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).
Tabel 10. Produksi tanaman per plot caisim (g) umur 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)
Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok
(g/tanaman) Rataan
P0 (0) P1 (30) P2 (60) P3 (90) 40 HSPT
C0 (0) 67.69 76.17 39.61 39.92 55.85 a
C1 (25) 36.57 27.08 31.74 12.86 27.06 b
C2(45) 48.49 24.08 42.34 23.24 34.54 b
C3 (65) 23.75 29.55 29.82 29.85 28.24 b
Rataan 41.47 39.22 35.88 26.47 36.42
Hubungan produksi tanaman per plot caisim 40 HSPT dengan pemberian
pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hubungan produksi tanaman per plot caisim 40 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 9 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk
organik cair 25, 45 dan 65 ml/tanaman/aplikasi produksi tanaman per plot
menurun secara linear dan produksi tanaman per plot tertinggi pada perlakuan
tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).
Produksi tanaman per plot merupakan parameter terakhir yang di amati,
dari data Tabel 10 dan Gambar 10 dapat dilihat bahwa perlakuan yang
berpengaruh nyata dan tertinggi untuk produksi tanaman per plot adalah perlakuan
tanpa pemberian pupuk. Unsur hara yang terdapat di tanah sebagai media tanam
dapat mencukupi kebutuhan unsur hara untuk pembentukan tubuh tumbuhan yang
akan dipanen sebagai produksi. Bagian tanaman caisim yang dipanen sebagai
produksi adalah bagian vegetatif tanamannya yaitu daun. Hal ini seperti yang
pupuk ditentukan oleh macam bagian-bagian tanaman atau produksi yang
diharapkan. Produksi tanaman yang diharapkan dalam bentuk panenan
berbeda-beda. Misalnya tanaman yang diusahakan untuk diambil daunnya, seperti tanaman
sayur-sayuran, atau tanaman yang diambil bagian vegetatifnya memerlukan pupuk
yang banyak mengandung Nitrogen. Maka pada perlakuan pemberian pupuk
organik, produksi tanaman per plot menjadi tidak nyata hal ini dikarenakan tidak
tersedianya unsur hara makro dan mikro terutama N bagi tanaman yang
disebabkan oleh kemasaman tanah, rendahnya pH pupuk organik padat (pH 4,8)
dan cair (pH 4,5) dari kulit pisang kepok dan di media tanam (pH 5,0) karena
pada tanah yang masam pengaruh pemberian pupuk N menjadi jelek terhadap
pertumbuhan tanaman, hal ini sesuai dengan pernyatan dari Damanik, dkk (2011)
pada tanah yang bereaksi masam penggunaan pupuk ammonium memberi
pengaruh yang jelek terhadap pertumbuhan tanaman. penjelasan ini juga semakin
diperkuat oleh keterangan bahwa C/N dari pupuk organik padat (C/N 4,62%) dan
cair (C/N 3,06%) kulit pisang kepok yang terlalu rendah yakni dibawah 10 %
dimana C/N suatu pupuk organik atau kompos yang baik untuk digunakan sebagai
penambah unsur hara berada pada kisaran C/N 15-20% pernyataan ini sesuai
dengan BPPP (2011) Rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses
pengomposan. Hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan
mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan
pembentuk sel dan nitrogen untuk membentuk sel. Proses pengomposan yang baik
akan menghasilkan C/N yang ideal sebesar 15-20%. Jika rasio C/N tinggi,
aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu diperlukan beberapa
sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan
memiliki mutu rendah. Jika C/N-rasio terlalu rendah, kelebihan nitrogen (N) yang
tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok nyata menurunkan
tinggi tanaman pada umur 15 HSPT, dan total luas daun pada umur 30
HSPT.
2. Pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok nyata menurunkan
tinggi tanaman pada umur 11, 19 dan 23 HSPT, bobot kering tanaman
pada umur 30 HSPT, produksi tanaman sampel dan produksi per plot.
3. Interaksi pemberian pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang kepok
memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman 7 HSPT yakni
pada kombinasi perlakuan pemberian pupuk organik padat 30 g/tanaman
dengan tanpa pemberian pupuk organik cair dengan tinggi tanaman 6,4 cm
dan berpengaruh tidak nyata pada semua parameter tanaman lainnya.
6.2 Saran
Disarankan penelitian lanjut mengenai penggunaan pupuk organik padat
dan cair dari kulit pisang kepok dengan teknologi proses pengomposan yang lebih
baik agar mendapatkan pH dan C/N yang optimal karena penelitian ini masih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995) sistematika tanaman sawi
adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae,
Kelas : Dicothyledonae, Ordo : Papaforales, Famili : Cruciveraceae,
Genus : Brassica, Spesies : Brassica juncea L.
Tanaman sawi hijau berakar serabut yang tumbuh dan berkembang secara
menyebar ke semua arah di sekitar permukaan tanah, perakarannya sangat
dangkal pada kedalaman sekitar + 5 cm. Perakaran tanaman sawi hijau dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah gembur, subur, tanah mudah
menyerap air, dan kedalaman tanah cukup dalam (Cahyono, 2003).
Batang (caulis) sawi pendek sekali dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak
kelihatan. Batang ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun
(Rukmana, 2007).
Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada
umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk
krop (Sunarjono, 2004).
Tanaman sawi umumnya mudah berbunga secara alami, didataran tinggi
maupun didataran rendah. Struktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga
(inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap
bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari, dan satu buah putik yang
berongga dua (Rukmana, 2007).
Buah sawi termasuk tipe buah polong, yakni bentuknya memanjang dan
berongga. Tiap buah (polong) berisi 2-8 butir biji (Rukmana, 2007). Biji sawi
hijau berbentuk bulat, berukuran kecil, permukaannya licin dan mengkilap agak
keras dan berwarna coklat kehitaman (Cahyono, 2003).
2.2 Syarat Tumbuh 2.2.1 Iklim
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor
genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diartikan sebagai gabungan
semua keadaan dan pengaruh luar yang memepengaruhi kehidupan dan
perkembangan suatu organisme. Diantara sekian banyak faktor lingkugan yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tanaman antara lain: 1) temperatur,
2) kelembaban, 3) energi radiasi (cahaya matahari), 4) susunan atmosfr, 5)
struktur tanah dan susunan udara tanah, 6) reaksi tanah (pH), 7) faktor biotis, 8)
penyediaan unsur hara dan 9) ketiadaan bahan pembatas pertumbuhan tanaman
(Damanik dkk, 2011).
Sawi dapat ditanam di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Akan
tetapi, umumnya sawi diusahakan orang di dataran rendah, yaitu di pekarangan, di
ladang, atau di sawah, jarang di usahakan di daerah pegunungan
(Tim Penulis PS, 2009).
Daerah penanaman yang cocok untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah
mulai dari ketinggian 5 meter sampai 1200 meter diatas permukaan laut. Namun,
diatas permukaan laut. Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia memenuhi
syarat ketinggian tersebut (Haryanto dkk, 2003).
Sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan. Sehingga ia
dapat ditanam disepanjang tahun, asalkan pada saat musim kemarau disediakan
air yang cukup untuk penyiraman (Tim Penulis PS, 2009).
Tanaman dapat melakukan fotosintesis dengan baik memerlukan energi
yang cukup. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan tanaman
untuk proses fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal yang diperlukan
tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara 350-400 cal/cm2 setiap hari. Sawi hijau memerlukan cahaya matahari tinggi (Cahyono, 2003).
2.2.2 Tanah
Sawi menginginkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik. Selain itu
tanah harus memiliki drainase yang baik dengan nilai pH 6-7 (Nazaruddin, 2000).
Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling baik adalah
tanah lempung berpasir seperti Andosol. Pada tanah-tanah yang mengandung liat
perlu pengolahan tanah secara sempurna, antara lain pengolahan tanah yang
cukup dalam, penambahan pasir dan pupuk organik dalam jumlah (dosis) tinggi
(Rukmana, 2007).
Sifat biologis tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah
tanah yang banyak mengandung bahan organik (humus) dan bermacam-macam
unsur hara yang berguna untuk pertumbuhan tanaman, serta pada tanah terdapat
jasad renik tanah atau organisme tanah pengurai bahan organik sehingga dengan
demikian sifat biologis tanah yang baik akan meningkatkan pertumbuhan tanaman
2.2.3 Pertanian Organik
Pertanian adalah suatu sistem ekologi, sistem lingkungan yang rumit dan
kompleks yang berkaitan langsung dengan tumbuhan, hewan, alam, serta
manusia. Pertanian moderen dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda yaitu
produktivitas sekaligus harus menjaga kelestarian alam. Dalam meningkatkan
produktivitas petani berhadapan langsung dengan penyakit, hama, dan gulma
yang menyerang tanaman pertanian yang berpotensi menurunkan hasil. Yang
menjadi tantangan terberat adalah bagaimana usaha untuk dapat memenangkan
persaingan dengan hama dan penyakit serta gulma itu, tetapi tanpa harus
mencederai dan merusak ekosistem alam. Seakan menjadi dua pilihan sulit ibarat
buah simalakama, tidak panen dan hancur tanpa pestisida atau panen berlimpah
tetapi penuh racun mematikan (Isniani, 2006).
Pertanian organik mulai muncul di Indonesia pada tahun 1984. Yayasan
Bina Sarana Bakti mulai mengembangkan pertanian organik di Cisarua, Bogor
pada lahan seluas 4 hektar. Dari Cisarua ini banyak orang belajar mengenai
pertanian organik dan kemudian mengembangkannya di daerahnya. Sekarang ini,
pertanian organik telah banyak diterapkan, seperti di Lembang (Bandung),
Kaliwiro (Wonosobo), dan Salatiga (Pracaya, 2002).
Pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan disebut
pertanian organik karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara
alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam
bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan
bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon
Prinsip-prinsip berikut mengilhami gerakan organik dengan segala
keberagamannya. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pengembangan posisi,
program dan standar-standar IFOAM (International Federation for Organic
Agriculture Movement). Selanjutnya, prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam visi
yang digunakan di seluruh dunia. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip ekologi,
prinsip kesehatan, prinsip perlindungan, dan prinsip keadilan (Wijayanti, 2009).
Menurut Pracaya (2002), prinsip pertanian organik yaitu berteman akrab
dengan lingkungan, tidak mencemarkan dan merusaklingkungan hidup. Cara yang
ditempuh agar hal tersebut dapat tercapai, antaralain :1) memupuk dengan
kompos, pupuk kandang dan guano; 2) memupuk dengan pupuk hijau;
3) memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak, rumah pemotongan
hewan (RPH), septic tank dan 4) mempertahankan dan melestarikan habitat
tanaman dengan pola tanam polikultur.
Banyak kendala di lapangan yang saat ini dihadapi oleh pertanian organik.
Menurut Musnamar dan Ismawati (2003), pertama, hasil produksi pertanian
organik lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang
menggunakan bahan kimia terutama pada awal menerapkan pertanian organik
karena hal ini pula maka hasil pertanian organik masih dianggap mahal. Sekarang
mulai ada hasil-hasil penelitian yang memberi harapan hasil pertanian organik
lebih baik. Dalam jangka panjang pupuk organik sangat baik untuk tanaman,
karena sifat pupuk organik yang memberi pengaruh lama. Setelah penggunaan
pupuk organik secara terus menerus dalam waktu lama maka diharapkan hasil
pertanian secara standar juga akan didapatkan. Misalnya dibeberapa tempat di
dua puluh tahun.Kedua, pengendalian jasad pengganggu secara hayati dengan
cara mekanik, penggunaan,musuh alami, atau pestisida alami (bioinsektisida)
dianggap masih kurang efektif jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida
kimia. Ketiga, terbatasnya informasi tentang pertanian organik. Informasi tentang
pertanian organik baru sebatas pemupukan organik dan pengendalian organisme
pengganggu secara hayati (Isniani, 2006).
Disamping ada kelemahannya, pertanian organik juga mempunyai banyak
kelebihan. Pertama, meningkatkan aktivitas organisme yang menguntungkan bagi
tanaman. Misalnya organisme yang menekan pertumbuhan hama dan penyakit
tanaman. Misalnya pertumbuhan cendawan akar (Ganoderma sp, Phytopthora sp)
dapat ditekan dan dihalangi oleh mikroorganisme Trichoderma sp. Kedua,
meningkatkan cita rasa dan kandungan gizi. Ketiga, meningkatkan ketahan dari
serangan organisme pengganggu. Karena dengan penggunaan pupuk organik yang
cukup maka unsur-unsur hara makro dan mikro terpenuhi semua sehingga
tanaman menjadi lebih kuat dan sehat untuk dapat menahan serangan beberapa
organisme pengganggu dan lebih tahan dari serangan penyakit. Keempat,
memperpanjang umur simpan dan memperbaiki struktur. Kelima, membantu
mengurangi erosi. Pertanian organik dengan pemakaian pupuk organik
menjadikan tanah lebih gembur dan tidak mudah terkikis aliran air (Isniani, 2006).
Dalam penelitian ini penulis melaksanakan petanian organik mengenai
budidaya sawi organik dengan menggunakan polibeg. Adapun keuntungan dengan
menggunakan polibeg menurut Pracaya (2002), menanam sayuran organik dalam
pot atau polibeg mempunyai beberapa keuntungan antara lain:1) dapat diusahakan
tanaman di tanam dalam wadah tersendiri; 3) kemungkinan penularan penyakit
lewat akar kecil sekali, tanaman yang sakit mudah sekali ditangani; 4) menghemat
pemakaian pupuk karena pupuk tidak terbuang percuma (tercuci); 5) lebih muda
menanam beberapa jenis tanaman; 6) lahan yang digunakan lebih sempit karena
pot atau polibeg dapat diletakkan dalam rak yang bersusun.
Walaupun banyak keuntungan yang di peroleh dengan penanaman dalam
pot atau polibeg, cara ini pun mempunyai beberapa kekurangan juga. Kekurangan
dengan cara ini antara lain: 1) memerlukan biaya untuk penyediaan pot atau
polibeg; 2) pengangkutan lebih sulit; 3) memerlukan tempat penjualan yang lebih
luas bila akan menjual sayuran beserta wadahnya (Pracaya, 2002).
2.2.4 Pupuk Organik
Pengertian pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi
makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan dan manusia. Pupuk
organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik banyak mengandung banyak bahan
organik daripada kadar haranya. Sumber pupuk organik dapat berupa kompos,
pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (brangkasan, jerami, tongkol jagung,
bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan
bahan pertanian, dan limbah kota (sampah) atau bisa disimpulkan secara singkat
adalah pupuk yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa,
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai hara tanaman,
Bahan organik mempunyai sifat mengurangi kepadatan tanah yang berat
dan meningkatkan daya tahan air bagi tanah-tanah yang ringan. Tanah yang
sedikit berpasir sekurang-kurangnya mengandung 4% bahan organik sesuai
dengan 2% C untuk tanah liat berat diperkirakan 2% kadar bahan organik (1%C).
Pada tingkat ini kehilangan bahan organik kira-kira 5 t/ha. Kehilangan ini dapat
diganti dengan menambahkan kira-kira 10 t/ha pupuk kandang, tetapi dosis yang
lebih tinggi sampai 80 t/ha sering dilakukan di daerah yang intensif. Pada
kenyataanya banyak sisa-sisa bahan organik dan jenis pupuk kandang yang
digunakan untuk sayuran. Apabila perbandingan C/N dari bahan organik > 15
seperti halnya jerami dan dedak padi, maka penambahan pupuk N (kira-kira 7 kg
N/t jerami) sangat disarankan untuk mencegah defisiensi N. Walaupun suhu tanah
yang tinggi di dataran rendah dapat menjamin berlangsungnya pembusukan bahan
organik yang cepat. Seperti tanaman bayam dapat tumbuh baik pada
sampah-sampah kota yang belum terurai penuh. Resiko penggunaan sampah-sampah kota (limbah)
yaitu adanya pencemaran tanah oleh plastik atau logam berat (Sutarno, 1995).
Kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara di dalam
tanah, aktifitas kehidupan jasad renik tanah dan reaksi pupuk yang diberikan
kedalam tanah. Pengaruh pH terhadap ketersediaan N tanah melalui tiga cara
yaitu: 1) perubahan ammonium (NH4+) menjadi nitrat (NO3-), 2) penggunaan
(NH4+) dan (NO3-) oleh tanaman, 3) Pengikatan N oleh liat. Perubahan
ammonium menjadi nitrat berlangsung dengan proses oksidasi enzimatik yang
dibantu oleh bakteri Nitrobakter dan Nitrosomonas, sedangkan kehidupan kedua
bakteri tersebut sangat tergantung oleh pH tanah. Keasaman tanah yang optimum
lebih besar dari 8,0 proses akan terhambat dan unsur hara fosfat kurang tersedia
pada tanah masam (pH lebih kecil dari 5,0) (Damanik dkk, 2011).
Pupuk organik bukan hanya berbentuk padat akan tetapi dapat berbentuk
cair ini sepertinya lebih mudah dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur-unsur
yang terkandung didalamnya mudah terurai dan tidak dalam jumlah yang terlalu
banyak sehingga manfaatnya lebih cepat terasa. Bahan baku pembuatan pupuk
cair dapat berasal dari pupuk padat dengan perlakuan perendaman. Setelah
beberapa minggu dan melalui beberapa perlakuan, air rendaman yang sudah siap
dapat digunakan sebagai pupuk cair. Penggunaan pupuk cair dapat memudahkan
dan menghemat tenaga. Adapun keuntungan pupuk cair antara lain: pengerjaan
pemupukan akan lebih cepat dan penggunaannya sekaligus melakukan
penyiraman sehingga dapat menjaga kelembaban tanah (Hanum, 2011).
Pupuk organik mempunyai keunggulan dan kelemahan. Beberapa
keunggulan pupuk organik adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan kandungan
bahan organik di dalam tanah; 2) memperbaiki struktur tanah; 3) meningkatkan
kemampuan tanah menyimpan air (Water holding capacity); 4) meningkatkan
aktivitas kehidupan biologi tanah; 5) meningkatkan kapasitas tukar kation tanah;
6) mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe pada tanah masam dan 7)
meningkatkan ketersedian hara di dalam tanah. Sedangkan kelemahan dari pupuk
organik adalah sebagai berikut: 1) kandungan haranya rendah; 2) relatif sulit
memperolehnya dalam jumlah yang banyak; 3) tidak dapat diaplikasikan secara
langsung ke dalam tanah, tetapi harus melaui suatu proses dekomposisi dan 4)
pengangkutan dan aplikasiya mahal karena dibutuhkan dalam jumlah banyak
Pupuk kompos merupakan bahan-bahan organik yang telah mengalami
pelapukan, seperti jerami, alang-alang, sekam padi dan lain-lain termasuk kotoran
hewan. Sebenarnya pupuk hijau dan serasah dapat dikatakan sebagai pupuk
kompos. Tetapi sekarang sudah banyak spesifikasi mengenai kompos. Kompos
kota pada umumnya memiliki kandungan hara kurang lebih: 1, 69% N; 0,34%
P2O5 dan 2,81% K dengan kata lain 100 kg kompos setara dengan 1,69 kg Urea,
0,34 kg SP 36 dan 2,81 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan
haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37,5 kg KCl, maka membutuhkan
sebanyak 22 ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan
tenaga kerja dan berimplikasi pada naiknya biaya produksi (Hanum, 2011).
Ciri-ciri kompos yang baik, adalah sebagai berikut: 1) senyawa-senyawa
karbon harus terombak sempurna. Untuk itu perlu adanya cukup udara yang
masuk kedalam tumpukan kompos, sehingga proses perombakan berlangsung
dengan cepat. Campuran kapur dan fosfat dapat mempercepat proses tersebut; 2)
senyawa-senyawa nitrogen sebagian besar harus sudah menjadi amonium.
Diperlukan nisbah C/N yang kecil, jika nisbah C/N itu besar misalnya jerami
dengan persenyawaan N organik yang rendah. Pada penguraian bahan tersebut
tidak terjadi pembebasan amoniak, yang artinya pembebasan N terhambat.
Sebaliknya bila nisbah C/N bahan itu kecil, maka akan banyak dibebaskan
amoniak; 3) kehilangan N harus sekecil mungkin dan 4) sisa-sisa sebagai humus
harus sebanyak mungkin (Damanik dkk, 2011).
Berdasarkan penelitian Koji Takakura, seorang ahli kompos yang
diperbantukan pemerintah Jepang untuk Indonesia sebaiknya dalam pembuatan
mikroorganisme lokal akan menghemat biaya, karena masyarakat dapat
membiakkan sendiri mikroorganisme tersebut dengan cara sederhana. Selain itu
dengan dipakainya mikroorganisme lokal, diharapkan tidak terjadi gangguan
terhadap kelangsungan kehidupan mikroorganisme lokal. Hal ini mengacu dengan
telah dianjurkannya pengurangan penggunaan biakan komersil EM4 dikarenakan
ditengarai terjadinya dominasi di alam oleh mikroorganisme yang terkandung
dalam EM4 tersebut. Terdapat 3 tahapan dalam proses pembuatan kompos ini,
yaitu: 1) tahap pembuatan inokulan cair; 2) tahap pembuatan inokulan padat;
3) tahap pemakaian inokulan padat untuk pengomposan (Ginting, 2012).
Tahap pembuatan inokulan cair, Tujuan tahapan ini adalah untuk
membiakkan mikroorganisme yang berdasarkan hasil penelitian Koji Takakura
seorang ahli kompos yang diperbantukan pemerintah Jepang untuk bangsa
Indonesia akan mampu mendegradasi sampah organik yang berasal dari dapur
rumah tangga Indonesia. Mikroorganisme dasar adalah Saccharomyces yang
berasal dari ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt.
Mikroorganismeini mempunyai sifat-sifat yaitu: 1) sifat amilolitik,
mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan enzim amilase yang
berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids dan keto acids
yang kemudian akan menjadi asam amino; 2) sifat proteolitik, mikroorganisme
yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim protease yang dapat merombak protein
menjadi polipeptida-polipeptida, lalu menjadi peptida sederhana,dan akhirnya
menjadi asam amino bebas, CO2 dan air dan 3) sifat lipolitik, mikroorganisme
yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam
Tabel 1. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen dan rasio C/N
Limbah minyak biji-bijian 3-9 3-15
Night soil 5,5-6,5 6-10
Keterangan: - tidak ditentukan, *tidak tertentu Sumber FAO, 1987 dalam Setyorini (2006). Rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Hal
ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme
yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel dan
nitrogen untuk membentuk sel. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi
mikroorganisme akan berkurang. Selain itu diperlukan beberapa siklus
mikroorganisme untuk menyelesaikan dengan degradasi bahan kompos, sehingga
waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan memiliki
dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui
volatisasi sebagai ammonia (BPPP, 2011).
Nitrogen merupakan salah satu unsur kimia utama yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman . Nitrogen merupakan komponen klorofil dan
karenanya penting untuk fotosintesis. Tanaman menggunakan nitrogen dengan
menyerap baik ion nitrat atau amonium melalui akar. Sebagian besar nitrogen
digunakan oleh tanaman untuk menghasilkan protein (dalam bentuk enzim) dan
asam nukleat (Agriculture Syllabus, 2009).
2.2.5 Kulit Pisang
Pisang merupakan jenis buah-buahan yang banyak dihasilkan di daerah
tropis seperti Indonesia, dan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Buah pisang
banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Pisang juga
mempunyai kandungan khromium (Cr) yang berfungsi dalam metabolisme
karbohidrat dan lipid. Kromium bersama dengan insulin memudahkan masuknya
glukosa ke dalam sel-sel. Kekurangan khrom dalam tubuh dapat menyebabkan
gangguan toleransi glukosa (Hananto, 2012).
Dalam penelitian ini kulit pisang yang digunakan adalah kulit buah pisang
kepok. Menurut Satuhu (1991) Pisang kepok di Filipina dikenal dengan nama
pisang saba, sedang di Malaysia dengan nama pisang nipah. Buahnya enak
dimakan setelah diolah terlebih dahulu. Bentuk buahnya agak pipih sehingga
kadang disebut pisang gepeng. Beratnya pertanaman dapat mencapai 14-22 kg
dengan jumlah sisir 10-16. Setiap sisir terdiri dari 12-20 buah. Bila matang warna
Dalam mengkonsumsi pisang, kulit pisang selalu dibuang sebagai sampah
atau digunakan sebagai pakan ternak. Kulit pisang ternyata memiliki kandungan
vitamin C dan B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup besar. Hasil
analisis kimia menunjukkan bahwa kulit pisang mengandung air yang cukup
tinggi yaitu 68,90% dan karbohidrat sebesar 18,50% (Saroso, 1998). Mengingat
kandungan karbohidrat yang besar, maka pemanfaatan limbah kulit pisang sebagai
sumber C perlu dilakukan (Hananto, 2012).
Selain sebagai penghasil enzim xylanase, kulit pisang juga merupakan
bahan organik yang mengandung unsur kimia seperti magnesium, sodium, fosfor
dan sulfur yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. pembuatan pupuk
organik dengan bahan kulit pisang dapat dalam bentuk padat atau cair
(Susetya, 2012).
Berdasarkan hasil analisis pada pupuk organik padat dan cair dari kulit
pisang kepok yang dilakukan oleh penulis di Laboratorium Riset dan Teknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, maka dapat diketahui bahwa
kandungan unsur hara yang terdapat di pupuk padat kulit pisang kepok yaitu,
C-organik 6,19%; N-total 1,34%; P2O5 0,05%; K2O 1,478%; C/N 4,62% dan
pH 4,8 sedangkan pupuk cair kulit pisang kepok yaitu, C-organik 0,55%,
N-total 0,18%; P2O5 0,043%; K2O 1,137%; C/N 3,06% dan pH 4,5. Kandungan
unsur hara yang terdapat pada pupuk organik padat kulit pisang kepok tersebut
memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kandungan unsur hara dari
vermikompos yaitu berdasarkan sumber Laboratorium Balai Pengkajian
memiliki kandungan unsur hara sebesar, C-organik 10,25%; N-total 1,37%;