• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Pupuk Organik Padat Dan Cair Dari Kulit Pisang Kepok Untuk Pertumbuhan Dan Produksi Sawi (Brassica Juncea L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aplikasi Pupuk Organik Padat Dan Cair Dari Kulit Pisang Kepok Untuk Pertumbuhan Dan Produksi Sawi (Brassica Juncea L.)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agriculture Syllabus. 2009. The Role of Nitrogen in Agriculture Production Systems. Charles Sturt University, Australia.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Ragam Inovasi Pendukung Pertanian Daerah. Agroinovasi, Jakarta Selatan.

Cahyono, B., 2003. Teknik dan Strategi Budi Daya Sawi Hijau (Pai-Tsai). Yayasan Pustaka Nustama, Yogyakarta. Hal: 12-16.

Damanik, B. M. M., Bachtiar, E. H., Fauzi, Sarifuddin, Hamidah, H., 2011 Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan.

Ginting, N., 2012. Pembuatan Kompos Tepat Guna Dengan Dasar Mikroorgaanisme dari Yoghurt. Makalah Ilmiah. Dinas Kehutananan Sumatera Utara.

Goenadi, D. H. 1995. Mikroba Pelarut Hara dan Pemantap Agregat dari Beberapa Tanah Tropika Basah. Menara Perkebunan 62: 60-66.

Hananto. 2012. Pengaruh Pengkomposan Limbah Organik Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Terhadap Kandungan C, N, P Dan K Dalam Pupuk Cair Yang Terbentuk. Tesis Master of Science Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UGM, Yogyakarta.

Hanum, C. 2011. Ekologi Tanaman. USU Press, Medan.

Haryanto, W., T. Suhartini dan E. Rahayu. 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi Penebar Swadaya, Jakarta. Hal: 5-26.

Isniani, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Manurung, H. 2011. Aplikasi Bioaktivaktor (Effective Microorganisms4 dan Orgadec) Untuk Mempercepat Pembentukan Komposisi Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman. Bioprospek, Volume 8, Nomor II.

Nazaruddin. 2000. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pracaya. 2002. Bertanam sayuran organik di kebun, pot dan polibag. Penebar Swadaya, Jakarta.

(2)

Rubatzky, V. E. Dan M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia. ITB-Press. Bandung.

Satuhu, S., B. Sc. Dan A. Supriyadi. 1991. Pisang Budidaya, Pengelolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sugiyarto. 2012. Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Terhadap Berbagai Sumber Nitrogen Organik. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Susetya, D. 2012. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik. Penerbit Baru Press, Jakarta.

Setyorini, D., R. Saraswati dan E. K. Anwar. 2006. Kompos. Balit Tanah Departemen Pertanian.

Sutarno, H. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. UGM Press, Yogyakarta.

Sunarjono, H. H., 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tim Penulis PS. 2009. Sayur Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

(3)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Agustus 2013 sampai dengan

Oktober 2013 di Lahan Penelitian Rumah Kasa, Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter diatas permukaan

laut.

3.2 Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sawi varietas

caisim, kulit pisang kepok, dedak, MOL (Mikro Organisme Lokal), polibeg

ukuran terlipat 25 x 30 cm (+ 5 kg tanah), top soil, air dan serta bahan lainnya

yang mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah baker gelas, cangkul,

gembor, pisau, buku tulis, kalkulator, pena dan penggaris, serta alat lainnya yang

mendukung penelitian ini.

3.3 Metode penelitian

Metode percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu :

Faktor I : Pupuk organik padat (P)

P0 = kontrol (tanpa pemberian pupuk)

P1 = 5 ton/ha (30 gram/tanaman)

P2 = 10 ton/ha (60 gram/tanaman)

(4)

Faktor II : Pupuk organik cair (C)

C0 = kontrol (tanpa pemberian pupuk)

C1 = 4.166 L/ha/aplikasi (25 ml/tanaman/aplikasi) C2 = 7.500 L/ha/aplikasi (45 ml/tanaman/aplikasi)

C3 = 10.833 L/ha/aplikasi (65 ml/tanaman/aplikasi) Maka Diperoleh 16 Kombinasi Yaitu:

P0C0 P1C0 P2C0 P3C0

P0C1 P1C1 P2C1 P3C1

P0C2 P1C2 P2C2 P3C2

P0C3 P1C3 P2C3 P3C3

Jumlah Ulangan: (t-1) (r-1) > 15

(16-1) (r-1) > 15

15r-15 > 15

15r > 30

r = 2

Jumlah ulangan (Blok) : 3 ulangan

Jumlah plot percobaan : 48

Jumlah polibeg/plot : 6 polibeg

Ukuran polibeg : 25 x 30 cm (+ 5 kg tanah)

Jarak tanam : 20 x 20 cm

Jarak antar plot : 30 cm

Jarak antar blok : 50 cm

Jumlah polibeg seluruhnya : 384 polibeg

(5)

Jumlah sampel tanaman/plot : 6 tanaman (4 sampel destruksi 2 sampel produksi)

Jumlah Tanaman 1 plot : 8 tanaman

Jumlah Tanaman Seluruhnya : 384 tanaman

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier

sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

i = 1,2,3,4 j = 1,2,3,4 k = 1,2,3

Dimana :

Yijk : Hasil pengamatan dari perlakuan pupuk organik pada taraf ke-i, dan

pupuk organik cair pada taraf ke-j pada ulangan ke-k

µ : Nilai tengah

αi : Pengaruh perlakuan pupuk organik padat pada taraf ke-i

βj : Pengaruh perlakuan pupuk organik cair pada taraf ke-j

(αβ)ij : Pengaruh interaksi pupuk organik padat pada taraf ke-I dan

pupuk organik cair pada taraf ke-j

εijk : Respon galat pada ulangan ke-k yang mendapat perlakuan

pupuk organik padat pada taraf ke-i, pupuk organik cair pada taraf ke-j.

Terhadap sidik ragam yang nyata, maka dilanjutkan analisis lanjutan

dengan menggunakan Uji Beda Rata-rata Duncan Berjarak Ganda (DMRT)

(6)

BAB IV

PELAKSANAAN PENELITIAN

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian

ini adalah pembuatan pupuk organik, penyiapan media tanam, penanaman,

aplikasi perlakuan, pemeliharaan, panen, dan pengamatan parameter.

4.1 Pembuatan Pupuk Organik

Pupuk organik padat kulit pisang kepok pembuatannya mulai pada

tanggal 1 Agustus 2013 di Compost Center, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan. Bahan yang dijadikan terlebih dahulu dicincang dengan

menggunakan mesin cooper agar halus, kemudian ditambahkan dedak dengan

perbandingan 10:1 (pemberian kulit pisang dilakukan setiap hari dengan jumlah

10 kg hingga hari ke 21), kemudian diberi MOL (Mikro Organisme Lokal) yang

dibuat dengan metode Takakura sebagai media kompos sesuai dengan dosis

anjuran yaitu 6:1, lalu ditutup dengan terpal. Dan di monitoring setiap harinya dan

diambil suhunya guna untuk mengetahui apakah dekomposer bekerja atau tidak.

Pengomposan dilakukan selama 28 hari. Kompos yang siap pakai menyerupai

tanah, tidak berbau dan rasio C/N rendah.

Pupuk organik cair kulit pisang kepok pembuatannya mulai pada tanggal

1 Agustus 2013 di Compost Center, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera

Utara, Medan. Bahan diblender atau ditumbuk hingga berbentuk halus. Kemudian

dicampur dengan larutan MOL (Mikro Organisme Lokal) yang terbuat dari

larutan air sumur, tempe, yogurt, ragi tape dan gula, larutan MOL tersebut

direndam selama 2-3 hari di dalam tong yang tertutup. Kulit pisang yang telah

(7)

sumur 15 liter dan kulit pisang 5 kg dan ditambahkan 5 liter Mikroorganisme

Lokal (MOL) yaitu didapat perbandingannya 3 : 1 dengan larutan. Semuanya

dimasukkan ke dalam tong yang ditutup atasnya dengan terpal namun tengah

dari penutup diberi lubang untuk masuknya batang pengaduk. Pupuk cair diaduk

setiap hari selama 28 hari.

4.2 Persemaian

Tempat persemaian benih dibuat dengan ukuran plot 1 x 1 m. media

tanamannya berupa campuran top soil, pasir dan pupuk padat kulit pisang kepok

dengan perbandingan 2:1:1. Naungan terbuat dari bambu sebagai tiang dan

pelepah kelapa sebagai atap dengan ketinggian 1,5 m arah timur dan 1 m arah

barat, panjang naungan 1,5 m dan lebar naungan 1,5 m yang memanjang arah

utara-selatan.

Media semai atau tempat persemaian sebelum ditanam benih disiram air

terlebih dahulu hingga lembab dan dibuat larikan. Jarak antar larikan adalah 5 cm,

setelah itu benih disebar pada larikan secara merata pada permukaan media

sebanyak 100 benih tiap larikan kemudian ditutup tanah.

4.3 Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan diawali dengan membersihkan areal dari gulma dan

sampah. Kemudian dibuat plot-plot percobaan dengan menyusun batu bata

sebagai tempat berdirinya polibeg, jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok

(8)

4.4 Penyiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan adalah top soil. Top soil (+ 5 kg)

dimasukkan ke dalam polibeg sampai sekitar 2 cm dari atas polibeg. Media tanam

diisi 1 minggu sebelum pemindahan tanaman.

4.5 Pengaplikasian Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

Pengaplikasian pupuk dilakukan pada saat pengisian media tanam di

polibeg. Pupuk organik padat kulit pisang kepok dicampur merata dengan media

tanam top soil di dalam polibeg. Dosis perlakuan yang diberikan adalah kontrol

atau tanpa pemberian pupuk, 30 g/tanaman, 60 g/tanaman dan 90 g/tanaman.

4.6 Penanaman

Sebelum bibit ditanam. Masing-masing polibeg disusun terlebih dahulu

diatas susunan batu bata di setiap plot perlakuan dengan jarak setiap polibeg

adalah 10 cm, jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok 50 cm. Setelah itu bibit

dicabut dari persemaian dan ditanam pada lubang tanam yang telah dipersiapkan.

Pindah tanam dilakukan pada 9 HST (hari setelah tabur) benih dengan kriteria

tanaman seragam.

4.7 Pengaplikasian Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok

Pengaplikasian pupuk organik cair kulit pisang kepok dilakukan 5 kali

yaitu pada 7, 14, 21, 28, dan 35 hari setelah pindah tanam (HSPT).

Pengaplikasian pupuk organik cair dilakukan dengan cara disiram pada media

tanam di dalam polibeg dan dilaksanakan pada pukul 16.00-17.00 WIB. Dosis

yang diberikan berdasarkan perlakuan yaitu kontrol atau tanpa pemberian pupuk,

(9)

4.8 Penyisipan

Penyisipan dilakukan guna mengganti tanaman yang rusak akibat hama,

penyakit ataupun kerusakan mekanis lainnya. Penyisipan terakhir dilakukan

12 HSPT.

4.9 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman terdiri dari penyiraman, penyulaman, penyiangan

dan pengendalian hama dan penyakit.

4.10 Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pagi pada pukul 08.00-09.00 WIB

atau sore hari pada pukul 16.00-17.00 WIB secara merata pada seluruh tanaman

dengan menggunakan gembor dan air bersih dan disesuaikan dengan kondisi di

lapangan.

4.11 Penyiangan

Penyiangan dilakukan secara manual yaitu dengan mencabut gulma yang

tumbuh dengan tangan.

4.12 Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman

Usaha untuk mengendalikan serangan hama dilakukan secara manual yaitu

mengambil hama yang terdapat pada tanaman sawi dengan menggunakan tangan,

adapun hama yang terdapat di tanaman sawi yaitu

belalang kayu (Valanga nigricornis Burm. ) dan tidak ditemukan adanya penyakit

(10)

4.13 Panen

Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 40 hari setelah pindah tanam

(HSPT) adapun cara pemanenan yaitu dengan mencabut seluruh bagian tanaman.

4.14 Pengamatan Parameter 4.14.1 Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah (patok standard)

sampai dengan daun yang tertinggi. Pengukuran dilakukan pada 2 sampel mulai

saat tanaman berumur 7 HSPT dan selanjutnya pengukuran dilakukan setiap 4

hari sekali hingga tanaman berumur 31 HSPT (7 kali pengukuran).

4.14.2 Jumlah Daun (helai)

Perhitungan jumlah daun dilakukan pada daun yang sudah berkembang

sempurna minimal 2/3 dari daun normal sudah terbuka seluruhnya. Perhitungan

dilakukan pada 2 sampel tanaman yang sama dengan pengukuran tinggi tanaman

dan dimulai pada 7 HSPT dan selanjutnya dilakukan setiap 4 hari sekali hingga

tanaman berumur 31 HSPT (7 kali pengukuran).

4.14.3 Total Luas Daun (cm)

Pengukuran total luas daun dilakukan pada setiap daun dari 2 tanaman

sampel destruksi dengan menggunakan metode timbang dan dilakukan saat

tanaman berumur 30 dan 40 HSPT.

4.14.4 Bobot Segar Tanaman (g)

Penimbangan bobot segar tanaman dilakukan pada 2 tanaman destruksi

dari tiap plot dengan mengunakan timbangan analitik dan ditimbang seluruh

(11)

dikeringanginkan. Pekerjaan ini dilakukan setelah tanaman berumur 30 dan

40 HSPT.

4.14.5 Bobot Kering Tanaman (g)

Bobot kering ditimbang seluruh tanaman. Bahan dimasukkan ke dalam

amplop dan diberi label sesuai perlakuan, lalu dikeringovenkan pada suhu 700 C selama 24 jam, setelah itu sampel dikeluarkan dari lemari pengering dan

dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang, pengeringan

diulang hingga bobot tetap. Penimbangan dilakukan saat tanaman berumur 30 dan

40 HSPT.

4.14.6 Laju Asimilasi Bersih (g.cm2.hari-1)

Nilai laju asimilasi bersih merupakan pertambahan material tanaman dari

asimilasi persatuan waktu (Sitompul dan Guritno, 1995). Dihitung pada umur 30

dan 40 hari setelah tanam dengan persamaan sebagai berikut:

(W2-w1) (ln A2-ln A1) LAB = x

(T2-T1) (A2-A1)

Dimana: W1 dan W2 = Berat kering tanaman pengamatan ke-1 dan ke-2

A1 dan A2 = Luas daun tanaman pengamatan ke-1 dan ke-2

T1 dan T2 = Waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

4.14.7 Laju Pertumbuhan Relatif (g.g-1.hari-1)

Laju pertumbuhan relatif merupakan penambahan berat kering dalam

interval waktu terhadap berat permukaan (Sitompul dan Guritno, 1995). Dihitung

pada umur 30 dan 40 hari setelah tanam, dengan persamaan sebagai berikut:

(ln W2-ln W1)

(12)

Dimana: W1 = Berat kering tanaman pengamatan ke-1

W2 = Berat kering tanaman pengamatan ke-2

T1 = Waktu pengamatan 1

T2 = Waktu pengamatan 2

4.14.8 Produksi

Produksi dihitung dengan menggunakan 2 cara, yaitu:

1. Produksi tanaman sampel: dihitung dari tanaman umur 40 hari, ditimbang

dengan menggunakan timbangan analitik.

2. Produksi per plot: diperoleh dengan mentotalkankan seluruh bobot segar

(13)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tinggi Tanaman (cm)

Data pengamatan tinggi tanaman caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT dan

sidik ragamnya dapat dilihat pa da lampiran 7 s/d 20 yang menunjukkan perlakuan

pupuk organik padat berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 15 HSPT dan

pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 11, 19 dan 23

HSPT serta interaksi pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair

berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 7 HSPT.

Data perkembangan tinggi tanaman caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT

pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 7 HSPT dengan

tanaman tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P1C0 yang berbeda tidak

nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P1C3.

Tabel 2 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok pada umur 11, 19, dan 23 HSPT tanaman tertinggi diperoleh

pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0) yang berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya. Pada tanaman umur 15, 27 dan 31 HSPT pemberian

pupuk organik cair kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata, namun tanaman

yang tertinggi cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk

(14)

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

nyata pada umur 15 HSPT dengan tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan

tanpa pemberian pupuk (P0) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan P2 dan berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3. Sedangkan pada umur tanaman 7, 11,

19, 23, 27, dan 31 HSPT berpengaruh tidak nyata, dengan tanaman tertinggi

cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).

Tabel 2. Tinggi Tanaman caisim (cm) umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(15)

C2(45) 12.25 9.67 11.67 9.33 10.73 b

C3 (65) 9.38 10.50 11.33 11.33 10.64 b

Rataan 12.24 11.33 11.10 9.81 11.12

27 HSPT

C0 (0) 18.25 17.75 13.67 13.25 15.73

C1 (25) 14.88 13.50 13.17 10.08 12.91

C2(45) 15.58 12.20 14.83 11.42 13.51

C3 (65) 11.42 12.92 14.50 14.58 13.35

Rataan 15.03 14.09 14.04 12.33 13.88

31 HSPT

C0 (0) 19.25 19.58 14.33 14.25 16.85

C1(25) 15.33 14.50 14.42 10.75 13.75

C2(45) 17.25 12.75 16.42 12.25 14.67

C3 (65) 10.67 14.25 15.42 15.42 13.94

Rataan 15.63 15.27 15.15 13.17 14.80

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT 5%

Hubungan tinggi tanaman caisim 7 HSPT dengan pupuk organik padat

pada berbagai dosis pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat

dilihat pada Gambar 1.

(16)

Gambar 1 menunjukan dengan pemberian pupuk organik cair 65 ml (C3)

tinggi tanaman meningkat secara linear dengan peningkatan dosis pemberian

pupuk organik padat kulit pisang kepok, sedangkan pada pemberian pupuk

organik cair 25 ml, 45 ml dan tanpa pemberian pupuk organik cair tinggi tanaman

cenderung menurun secara linear dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik padat kulit pisang kepok.

Hubungan tinggi tanaman caisim 11 HSPT dengan pemberian pupuk

organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan tinggi tanaman caisim 11 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 2 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi

tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang

(17)

Hubungan tinggi tanaman caisim 15 HSPT dengan pemberian pupuk

organik padat dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan tinggi tanaman caisim 15 HSPT dengan pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok

Gambar 3 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik padat 30, 60 dan 90 gr tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi

tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat kulit

(18)

Hubungan tinggi tanaman caisim 19 HSPT dengan pemberian pupuk

organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan tinggi tanaman caisim 19 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 4 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi

tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang

(19)

Hubungan tinggi tanaman caisim 23 HSPT dengan pemberian pupuk

organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan tinggi tanaman caisim 23 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 5 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik cair 25, 45 dan 65 ml tinggi tanaman menurun secara linear dan tinggi

tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang

kepok (C0).

Dari pengamatan data tinggi tanaman 7-23 HSPT yang dapat dilihat pada

Tabel 2 dan Gambar 1-5 perlakuan yang paling banyak memberikan pengaruh

nyata adalah tanpa pemberian pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang

kepok hal ini dikarenakan pH masam yang dimiliki oleh pupuk organik padat dan

cair dari kulit pisang kepok dan tanah sebagai media tanam menyebabkan tidak

terabsorbsinya unsur hara yang terkandung didalam pupuk oleh tanaman,

(20)

Universitas Sumatera Utara (2013) dapat diketahui bahwa pH pupuk organik

padat 4,8 dan pH pupuk organik cair 4,5 serta pH yang dimiliki tanah sebagai

media tanam adalah 5,0. pH yang terkandung didalam pupuk dan media tanam

menyebabkan keadaan tanah menjadi masam, pada keadaan lingkungan tanah

yang masam sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara didalam tanah,

tanah yang masam dapat menghambat aktifitas mikroorganisme yang membuat

tersedia unsur hara makro dan mikro terutama unsur hara N dan P didalam tanah

sehingga unsur hara menjadi tidak dapat diserap oleh tanaman yang

mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan pertumbuhan

tanaman menjadi kecil. Hal ini sesuai penjelasan oleh Damanik dkk (2011) yakni

kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara di dalam tanah,

aktifitas kehidupan jasad renik tanah dan reaksi pupuk yang diberikan kedalam

tanah. Pengaruh pH terhadap ketersediaan N tanah melalui tiga cara yaitu:

1. Perubahan ammonium (NH4+) menjadi nitrat (NO3-), 2. Penggunaan (NH4+)

dan (NO3-) oleh tanaman, 3. Pengikatan N oleh liat. Perubahan ammonium

menjadi nitrat berlangsung dengan proses oksidasi enzimatik yang dibantu oleh

bakteri Nitrobakter dan Nitrosomonas, sedangkan kehidupan kedua bakteri

tersebut sangat tergantung oleh pH tanah. Kemasaman tanah yang optimum untuk

proses tersebut (nitrifikasi) berkisar pada pH 6,5-8,0. pH lebih kecil 5,0 dan lebih

besar dari 8,0 proses akan terhambat dan unsur hara fosfat kurang tersedia pada

tanah masam (pH lebih kecil dari 5,0). Hal ini didukung juga oleh pernyatan

bahwa sawi menginginkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik. Selain itu

(21)

5.2 Jumlah Daun (helai)

Data pengamatan jumlah daun caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT dan

sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 21 s/d 34 yang menunjukkan

perlakuan pupuk organik padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan jumlah daun caisim umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada

berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada semua umur

pengamatan tanaman, dengan jumlah daun tertinggi diperoleh pada kombinasi

perlakuan P0C0.

Tabel 3 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada semua

umur pengamatan tanaman, dengan jumlah daun tertinggi cenderung diperoleh

pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0).

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata pada semua umur pengamatan tanaman dengan jumlah daun tertinggi

(22)

Tabel 3. Jumlah daun caisim (helai) umur 7 HSPT s/d 31 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(23)

31 HSPT

Data pengamatan total luas daun caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT dan

sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 35 s/d 38 yang menunjukkan

perlakuan pupuk organik padat berpengaruh nyata terhadap total luas daun pada

tanaman umur 30 HSPT dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan total luas daun caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT

pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun pada semua umur

pengamatan tanaman, dengan total luas daun tertinggi pada umur 30 HSPT

diperoleh pada kombinasi perlakuan P1C0 sedangkan pada umur 40 HSPT total

luas daun tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0 .

Tabel 4 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap total luas daun pada semua

umur pengamatan tanaman, dengan total luas daun tertinggi cenderung diperoleh

pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0).

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

(24)

pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0) yang berbeda nyata

dengan semua perlakuan dan berpengaruh tidak nyata pada umur tanaman

40 HSPT yang memiliki total luas daun tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik padat (P0).

Tabel 4. Total luas daun caisim (cm) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

Rataan 156.35 116.64 125.26 104.15 125.60

(25)

Hubungan total luas daun caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk

organik padat dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan total luas daun caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok

Gambar 6 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik padat 30, 60 dan 90 gram/tanaman total luas daun tanaman menurun

secara linear dan total luas daun tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk

organik padat kulit pisang kepok (P0).

Pengaruh pemberian pupuk organik padat yang nyata dan tertinggi

terhadap total luas daun tanaman caisim diperoleh pada perlakuan tanpa

pemberian pupuk (P0). Total luas daun adalah salah satu parameter yang penting

untuk mengidentifikasi produktifitas tanaman pertanian. Unsur hara yang paling

dibutuhkan untuk pembentukan daun dan produksi tanaman adalah N yang

diserap melalui akar dalam bentuk ion nitrat atau ammonium, hal ini sesuai

dengan pernyataan yang terdapat didalam Agriculture Syllabus (2009) Nitrogen

merupakan salah satu unsur kimia utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

(26)

untuk fotosintesis. Tanaman menggunakan nitrogen dengan menyerap baik ion

nitrat atau amonium melalui akar. Sebagian besar nitrogen digunakan oleh

tanaman untuk menghasilkan protein (dalam bentuk enzim) dan asam nukleat.

Namun dari data yang di diperoleh hasil total luas daun yang tertinggi adalah pada

perlakuan tanpa pemberian pupuk bukan pada perlakuan pemberian pupuk hal ini

dikarenakan pada tanah yang diberikan pupuk terjadi hambatan penyerapan unsur

hara sehingga unsur hara N tidak tersedia untuk tanaman yang didasari oleh

rendahnya perbandingan C-organik dengan nitrogen (N) pupuk (C/N pupuk

organik padat kulit pisang kepok yaitu 4,26 %) yang mengakibatkan nitrogen (N)

yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang

melalui volatisasi (hilang di udara bebas) sebagai ammonia hal ini sejalan dengan

pernyataan yang ada dalam BPPP (2011) rasio C/N merupakan faktor paling

penting dalam proses pengomposan. Hal ini disebabkan proses pengomposan

tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai

sumber energi dan pembentuk sel dan nitrogen untuk membentuk sel. Jika rasio

C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu

diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan dengan

degradasi bahan kompos, sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan

kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu rendah. Jika C/N-rasio terlalu

rendah, kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak

dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai ammonia.

5.4 Bobot Segar Tanaman (g)

Data pengamatan bobot segar tanaman caisim umur 30 HSPT s/d 40 HSPT

(27)

perlakuan pupuk organik padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan bobot segar tanaman daun caisim umur 30 HSPT s/d

40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik

cair dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada semua

umur pengamatan tanaman, dengan bobot segar tanaman tertinggi diperoleh pada

kombinasi perlakuan P0C0.

Tabel 5 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada

semua umur pengamatan tanaman, dengan bobot segar tanaman tertinggi

cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0). Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot segar tanaman pada semua umur pengamatan tanaman

dengan bobot segar tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian

(28)

Tabel 5. Bobot segar caisim (g) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

Rataan 3.87 15.30 15.05 11.69 14.54

5.5 Bobot Kering Tanaman (g)

Data pengamatan bobot kering tanaman caisim umur 30 HSPT s/d 40

HSPT dan sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 43 s/d 46 yang

menunjukkan perlakuan pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap bobot

kering tanaman pada umur tanaman 30 HSPT dan pupuk organik padat serta

interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan bobot kering tanaman daun caisim umur 30 HSPT s/d

40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik

cair dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman pada semua

umur pengamatan tanaman, dengan bobot kering tanaman tertinggi diperoleh pada

(29)

Tabel 6 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman pada umur

tanaman 30 HSPT dengan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa

pemberian pupuk organik cair (C0) yang berbeda nyata dengan semua perlakuan

dan berpengaruh tidak nyata pada umur tanaman 40 HSPT yang memiliki bobot

kering tanaman tertinggi cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik cair (C0).

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap bobot kering tanaman pada semua umur pengamatan

tanaman dengan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik padat (P0).

Tabel 6. Bobot kering caisim (g) umur 30 HSPT s/d 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kuli pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

(30)

Hubungan bobot kering caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik

cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan bobot kering caisim 30 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 7 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik cair 25, 45 dan 65 ml/tanaman/aplikasi bobot kering tanaman menurun

secara linear dan bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).

Bobot kering tanaman merupakan berat bahan setelah mengalami

pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap konstan, berat kering

merupakan parameter yang termasuk dalam produksi tanaman. Dari data yang

diperoleh dapat diketahui bahwa pada perlakuan tanpa pemberian pupuk cair

organik (C0) berpengaruh nyata dengan semua perlakuan hal ini dikarenakan

kandungan unsur hara yang terdapat di dalam tanah dapat diserap dengan baik

oleh tanaman tanpa adanya bahan pembatas dibandingkan dengan pemberian

pupuk organik yang terhambat penyerapan unsur haranya oleh tanaman karena

(31)

dengan pernyataan yang terdapat di dalam Damanik dkk (2011) yang menyatakan

bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor

genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diartikan sebagai gabungan

semua keadaan dan pengaruh luar yang memepengaruhi kehidupan dan

perkembangan suatu organisme. Diantara sekian banyak faktor lingkugan yang

mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tanaman antara lain: 1) temperatur,

2) kelembaban, 3) energi radiasi (cahaya matahari), 4) susunan atmosfer, 5)

struktur tanah dan susunan udara tanah, 6) reaksi tanah (pH), 7) faktor biotis, 8)

penyediaan unsur hara dan 9) ketiadaan bahan pembatas pertumbuhan tanaman.

Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Cahyono (2003) yakni sifat biologis

tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah tanah yang banyak

mengandung bahan organik (humus) dan bermacam-macam unsur hara yang

berguna untuk pertumbuhan tanaman, serta pada tanah terdapat jasad renik tanah

atau organisme tanah pengurai bahan organik sehingga dengan demikian sifat

biologis tanah yang baik akan meningkatkan pertumbuhan tanaman.

5.6 Laju Asimilasi Bersih (g.cm2.hari-1)

Data pengamatan laju asimilasi bersih caisim dan sidik ragamnya dapat

dilihat pada lampiran 47 s/d 48 yang menunjukkan perlakuan pupuk organik padat

dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan laju asimilasi bersih caisim pada berbagai dosis

pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

(32)

umur pengamatan tanaman, dengan laju asimilasi bersih tertinggi diperoleh pada

kombinasi perlakuan P0C0.

Tabel 7 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju asimilasi bersih pada

semua umur pengamatan tanaman, dengan laju asimilasi bersih tertinggi

cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair

(C0).

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap laju asimilasi bersih pada semua umur pengamatan tanaman

dengan laju asimilasi bersih tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik padat (P0).

Tabel 7. Laju asimilasi bersih caisim (g.cm2.hari-1) pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(33)

5.7 Laju Pertumbuhan Relatif (g.g-1.hari-1)

Data pengamatan laju pertumbuhan relatif caisim dan sidik ragamnya

dapat dilihat pada lampiran 49 s/d 50 yang menunjukkan perlakuan pupuk organik

padat dan pupuk organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.

Data perkembangan laju pertumbuhan relatif caisim pada berbagai dosis

pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada

Tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada

semua umur pengamatan tanaman, dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi

diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0.

Tabel 8 juga menujukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada

semua umur pengamatan tanaman, dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi

cenderung diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair

(C0).

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap laju pertumbuhan relatif pada semua umur pengamatan

tanaman dengan laju pertumbuhan relatif tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa

(34)

Tabel 8. Laju pertumbuhan relatif caisim (g.g-1.hari-1) pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

5.8 Produksi Tanaman Sampel (g)

Data pengamatan produksi tanaman sampel caisim umur dan sidik

ragamnya dapat dilihat pada lampiran 51 s/d 52 yang menunjukkan perlakuan

pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman sampel pada

umur tanaman 40 HSPT dan pupuk organik padat serta interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata.

Data produksi tanaman sampel caisim umur 40 HSPT pada berbagai dosis

pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada

Tabel 9.

Tabel 9 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tanaman sampel, dengan

produksi tanaman sampel tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan P0C0. Tabel 9 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik cair

kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman sampel dengan

bobot produksi tanaman sampel tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk

(35)

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap produksi tanaman sampel dengan produksi tanaman sampel

tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).

Tabel 9. Produksi tanaman sampel caisim (g) umur 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap kolom dan baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji DMRT 5%.

Hubungan produksi tanaman sampel caisim 40 HSPT dengan pemberian

pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan produksi tanaman sampel caisim 40 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 8 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

(36)

menurun secara linear dan produksi tanaman sampel tertinggi pada perlakuan

tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).

Produksi tanaman sampel yang tertinggi dan berpengaruh nyata adalah

pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik. Ketersedian unsur hara yang

mencukupi untuk pertumbuhan dan produksi tanaman di dalam media tanam

digunakan sebagai penyusun bagian-bagian tanaman sehingga diperoleh produksi

tanaman, berdasarkan hasil analisis Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara (2013). Damanik dkk (2011) menjelaskan

bahwa unsur hara yang diserap tanaman digunakan antara lain untuk menyusun

bagian-bagian tanaman. Jumlah unsur hara yang dibutuhkan untuk menyususn

bagian-bagian tanaman tersebut berbeda untuk setiap jenis tanaman, maupun

untuk jenis tanaman yang sama tetapi tingkat proudksi yang berbeda.

5.9 Produksi Tanaman Per Plot (g)

Data pengamatan produksi tanaman per plot caisim umur dan sidik

ragamnya dapat dilihat pada lampiran 53 s/d 54 yang menunjukkan perlakuan

pupuk organik cair berpengaruh nyata produksi tanaman per plot tanaman pada

umur tanaman 40 HSPT dan pupuk organik padat serta interaksi keduanya

berpengaruh tidak nyata.

Data produksi tanaman per plot caisim umur 40 HSPT pada berbagai dosis

pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dapat dilihat pada

Tabel 10.

Tabel 10 menunjukkan interaksi pupuk organik cair dengan padat kulit

pisang kepok berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tanaman per plot, dengan

(37)

Tabel 10 juga menunjukkan pada perlakuan pemberian pupuk organik

cair kulit pisang kepok berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman per plot

dengan bobot produksi tanaman per plot tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian

pupuk organik cair (C0) yang berbeda tidak nyata dengan semua perlakuan.

Perlakuan pemberian pupuk organik padat kulit pisang kepok berpengaruh

tidak nyata terhadap produksi tanaman per plot dengan produksi tanaman per plot

tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik padat (P0).

Tabel 10. Produksi tanaman per plot caisim (g) umur 40 HSPT pada berbagai dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Pupuk Organik Cair Kulit Pisang Kepok (ml/tanaman/aplikasi)

Pupuk Organik Padat Kulit Pisang Kepok

(g/tanaman) Rataan

P0 (0) P1 (30) P2 (60) P3 (90) 40 HSPT

C0 (0) 67.69 76.17 39.61 39.92 55.85 a

C1 (25) 36.57 27.08 31.74 12.86 27.06 b

C2(45) 48.49 24.08 42.34 23.24 34.54 b

C3 (65) 23.75 29.55 29.82 29.85 28.24 b

Rataan 41.47 39.22 35.88 26.47 36.42

(38)

Hubungan produksi tanaman per plot caisim 40 HSPT dengan pemberian

pupuk organik cair dari kulit pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan produksi tanaman per plot caisim 40 HSPT dengan pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok

Gambar 9 menunjukan dengan peningkatan dosis pemberian pupuk

organik cair 25, 45 dan 65 ml/tanaman/aplikasi produksi tanaman per plot

menurun secara linear dan produksi tanaman per plot tertinggi pada perlakuan

tanpa pemberian pupuk organik cair kulit pisang kepok (C0).

Produksi tanaman per plot merupakan parameter terakhir yang di amati,

dari data Tabel 10 dan Gambar 10 dapat dilihat bahwa perlakuan yang

berpengaruh nyata dan tertinggi untuk produksi tanaman per plot adalah perlakuan

tanpa pemberian pupuk. Unsur hara yang terdapat di tanah sebagai media tanam

dapat mencukupi kebutuhan unsur hara untuk pembentukan tubuh tumbuhan yang

akan dipanen sebagai produksi. Bagian tanaman caisim yang dipanen sebagai

produksi adalah bagian vegetatif tanamannya yaitu daun. Hal ini seperti yang

(39)

pupuk ditentukan oleh macam bagian-bagian tanaman atau produksi yang

diharapkan. Produksi tanaman yang diharapkan dalam bentuk panenan

berbeda-beda. Misalnya tanaman yang diusahakan untuk diambil daunnya, seperti tanaman

sayur-sayuran, atau tanaman yang diambil bagian vegetatifnya memerlukan pupuk

yang banyak mengandung Nitrogen. Maka pada perlakuan pemberian pupuk

organik, produksi tanaman per plot menjadi tidak nyata hal ini dikarenakan tidak

tersedianya unsur hara makro dan mikro terutama N bagi tanaman yang

disebabkan oleh kemasaman tanah, rendahnya pH pupuk organik padat (pH 4,8)

dan cair (pH 4,5) dari kulit pisang kepok dan di media tanam (pH 5,0) karena

pada tanah yang masam pengaruh pemberian pupuk N menjadi jelek terhadap

pertumbuhan tanaman, hal ini sesuai dengan pernyatan dari Damanik, dkk (2011)

pada tanah yang bereaksi masam penggunaan pupuk ammonium memberi

pengaruh yang jelek terhadap pertumbuhan tanaman. penjelasan ini juga semakin

diperkuat oleh keterangan bahwa C/N dari pupuk organik padat (C/N 4,62%) dan

cair (C/N 3,06%) kulit pisang kepok yang terlalu rendah yakni dibawah 10 %

dimana C/N suatu pupuk organik atau kompos yang baik untuk digunakan sebagai

penambah unsur hara berada pada kisaran C/N 15-20% pernyataan ini sesuai

dengan BPPP (2011) Rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses

pengomposan. Hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan

mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan

pembentuk sel dan nitrogen untuk membentuk sel. Proses pengomposan yang baik

akan menghasilkan C/N yang ideal sebesar 15-20%. Jika rasio C/N tinggi,

aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu diperlukan beberapa

(40)

sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan

memiliki mutu rendah. Jika C/N-rasio terlalu rendah, kelebihan nitrogen (N) yang

tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui

(41)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pemberian pupuk organik padat dari kulit pisang kepok nyata menurunkan

tinggi tanaman pada umur 15 HSPT, dan total luas daun pada umur 30

HSPT.

2. Pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok nyata menurunkan

tinggi tanaman pada umur 11, 19 dan 23 HSPT, bobot kering tanaman

pada umur 30 HSPT, produksi tanaman sampel dan produksi per plot.

3. Interaksi pemberian pupuk organik padat dan cair dari kulit pisang kepok

memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman 7 HSPT yakni

pada kombinasi perlakuan pemberian pupuk organik padat 30 g/tanaman

dengan tanpa pemberian pupuk organik cair dengan tinggi tanaman 6,4 cm

dan berpengaruh tidak nyata pada semua parameter tanaman lainnya.

6.2 Saran

Disarankan penelitian lanjut mengenai penggunaan pupuk organik padat

dan cair dari kulit pisang kepok dengan teknologi proses pengomposan yang lebih

baik agar mendapatkan pH dan C/N yang optimal karena penelitian ini masih

(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman

Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995) sistematika tanaman sawi

adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae,

Kelas : Dicothyledonae, Ordo : Papaforales, Famili : Cruciveraceae,

Genus : Brassica, Spesies : Brassica juncea L.

Tanaman sawi hijau berakar serabut yang tumbuh dan berkembang secara

menyebar ke semua arah di sekitar permukaan tanah, perakarannya sangat

dangkal pada kedalaman sekitar + 5 cm. Perakaran tanaman sawi hijau dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah gembur, subur, tanah mudah

menyerap air, dan kedalaman tanah cukup dalam (Cahyono, 2003).

Batang (caulis) sawi pendek sekali dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak

kelihatan. Batang ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun

(Rukmana, 2007).

Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada

umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk

krop (Sunarjono, 2004).

Tanaman sawi umumnya mudah berbunga secara alami, didataran tinggi

maupun didataran rendah. Struktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga

(inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap

(43)

bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari, dan satu buah putik yang

berongga dua (Rukmana, 2007).

Buah sawi termasuk tipe buah polong, yakni bentuknya memanjang dan

berongga. Tiap buah (polong) berisi 2-8 butir biji (Rukmana, 2007). Biji sawi

hijau berbentuk bulat, berukuran kecil, permukaannya licin dan mengkilap agak

keras dan berwarna coklat kehitaman (Cahyono, 2003).

2.2 Syarat Tumbuh 2.2.1 Iklim

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor

genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diartikan sebagai gabungan

semua keadaan dan pengaruh luar yang memepengaruhi kehidupan dan

perkembangan suatu organisme. Diantara sekian banyak faktor lingkugan yang

mempengaruhi kehidupan dan perkembangan tanaman antara lain: 1) temperatur,

2) kelembaban, 3) energi radiasi (cahaya matahari), 4) susunan atmosfr, 5)

struktur tanah dan susunan udara tanah, 6) reaksi tanah (pH), 7) faktor biotis, 8)

penyediaan unsur hara dan 9) ketiadaan bahan pembatas pertumbuhan tanaman

(Damanik dkk, 2011).

Sawi dapat ditanam di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Akan

tetapi, umumnya sawi diusahakan orang di dataran rendah, yaitu di pekarangan, di

ladang, atau di sawah, jarang di usahakan di daerah pegunungan

(Tim Penulis PS, 2009).

Daerah penanaman yang cocok untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah

mulai dari ketinggian 5 meter sampai 1200 meter diatas permukaan laut. Namun,

(44)

diatas permukaan laut. Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia memenuhi

syarat ketinggian tersebut (Haryanto dkk, 2003).

Sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan. Sehingga ia

dapat ditanam disepanjang tahun, asalkan pada saat musim kemarau disediakan

air yang cukup untuk penyiraman (Tim Penulis PS, 2009).

Tanaman dapat melakukan fotosintesis dengan baik memerlukan energi

yang cukup. Cahaya matahari merupakan sumber energi yang diperlukan tanaman

untuk proses fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal yang diperlukan

tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara 350-400 cal/cm2 setiap hari. Sawi hijau memerlukan cahaya matahari tinggi (Cahyono, 2003).

2.2.2 Tanah

Sawi menginginkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik. Selain itu

tanah harus memiliki drainase yang baik dengan nilai pH 6-7 (Nazaruddin, 2000).

Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling baik adalah

tanah lempung berpasir seperti Andosol. Pada tanah-tanah yang mengandung liat

perlu pengolahan tanah secara sempurna, antara lain pengolahan tanah yang

cukup dalam, penambahan pasir dan pupuk organik dalam jumlah (dosis) tinggi

(Rukmana, 2007).

Sifat biologis tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah

tanah yang banyak mengandung bahan organik (humus) dan bermacam-macam

unsur hara yang berguna untuk pertumbuhan tanaman, serta pada tanah terdapat

jasad renik tanah atau organisme tanah pengurai bahan organik sehingga dengan

demikian sifat biologis tanah yang baik akan meningkatkan pertumbuhan tanaman

(45)

2.2.3 Pertanian Organik

Pertanian adalah suatu sistem ekologi, sistem lingkungan yang rumit dan

kompleks yang berkaitan langsung dengan tumbuhan, hewan, alam, serta

manusia. Pertanian moderen dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda yaitu

produktivitas sekaligus harus menjaga kelestarian alam. Dalam meningkatkan

produktivitas petani berhadapan langsung dengan penyakit, hama, dan gulma

yang menyerang tanaman pertanian yang berpotensi menurunkan hasil. Yang

menjadi tantangan terberat adalah bagaimana usaha untuk dapat memenangkan

persaingan dengan hama dan penyakit serta gulma itu, tetapi tanpa harus

mencederai dan merusak ekosistem alam. Seakan menjadi dua pilihan sulit ibarat

buah simalakama, tidak panen dan hancur tanpa pestisida atau panen berlimpah

tetapi penuh racun mematikan (Isniani, 2006).

Pertanian organik mulai muncul di Indonesia pada tahun 1984. Yayasan

Bina Sarana Bakti mulai mengembangkan pertanian organik di Cisarua, Bogor

pada lahan seluas 4 hektar. Dari Cisarua ini banyak orang belajar mengenai

pertanian organik dan kemudian mengembangkannya di daerahnya. Sekarang ini,

pertanian organik telah banyak diterapkan, seperti di Lembang (Bandung),

Kaliwiro (Wonosobo), dan Salatiga (Pracaya, 2002).

Pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan disebut

pertanian organik karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara

alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian (dalam

bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan

bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon

(46)

Prinsip-prinsip berikut mengilhami gerakan organik dengan segala

keberagamannya. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pengembangan posisi,

program dan standar-standar IFOAM (International Federation for Organic

Agriculture Movement). Selanjutnya, prinsip-prinsip ini diwujudkan dalam visi

yang digunakan di seluruh dunia. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip ekologi,

prinsip kesehatan, prinsip perlindungan, dan prinsip keadilan (Wijayanti, 2009).

Menurut Pracaya (2002), prinsip pertanian organik yaitu berteman akrab

dengan lingkungan, tidak mencemarkan dan merusaklingkungan hidup. Cara yang

ditempuh agar hal tersebut dapat tercapai, antaralain :1) memupuk dengan

kompos, pupuk kandang dan guano; 2) memupuk dengan pupuk hijau;

3) memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak, rumah pemotongan

hewan (RPH), septic tank dan 4) mempertahankan dan melestarikan habitat

tanaman dengan pola tanam polikultur.

Banyak kendala di lapangan yang saat ini dihadapi oleh pertanian organik.

Menurut Musnamar dan Ismawati (2003), pertama, hasil produksi pertanian

organik lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang

menggunakan bahan kimia terutama pada awal menerapkan pertanian organik

karena hal ini pula maka hasil pertanian organik masih dianggap mahal. Sekarang

mulai ada hasil-hasil penelitian yang memberi harapan hasil pertanian organik

lebih baik. Dalam jangka panjang pupuk organik sangat baik untuk tanaman,

karena sifat pupuk organik yang memberi pengaruh lama. Setelah penggunaan

pupuk organik secara terus menerus dalam waktu lama maka diharapkan hasil

pertanian secara standar juga akan didapatkan. Misalnya dibeberapa tempat di

(47)

dua puluh tahun.Kedua, pengendalian jasad pengganggu secara hayati dengan

cara mekanik, penggunaan,musuh alami, atau pestisida alami (bioinsektisida)

dianggap masih kurang efektif jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida

kimia. Ketiga, terbatasnya informasi tentang pertanian organik. Informasi tentang

pertanian organik baru sebatas pemupukan organik dan pengendalian organisme

pengganggu secara hayati (Isniani, 2006).

Disamping ada kelemahannya, pertanian organik juga mempunyai banyak

kelebihan. Pertama, meningkatkan aktivitas organisme yang menguntungkan bagi

tanaman. Misalnya organisme yang menekan pertumbuhan hama dan penyakit

tanaman. Misalnya pertumbuhan cendawan akar (Ganoderma sp, Phytopthora sp)

dapat ditekan dan dihalangi oleh mikroorganisme Trichoderma sp. Kedua,

meningkatkan cita rasa dan kandungan gizi. Ketiga, meningkatkan ketahan dari

serangan organisme pengganggu. Karena dengan penggunaan pupuk organik yang

cukup maka unsur-unsur hara makro dan mikro terpenuhi semua sehingga

tanaman menjadi lebih kuat dan sehat untuk dapat menahan serangan beberapa

organisme pengganggu dan lebih tahan dari serangan penyakit. Keempat,

memperpanjang umur simpan dan memperbaiki struktur. Kelima, membantu

mengurangi erosi. Pertanian organik dengan pemakaian pupuk organik

menjadikan tanah lebih gembur dan tidak mudah terkikis aliran air (Isniani, 2006).

Dalam penelitian ini penulis melaksanakan petanian organik mengenai

budidaya sawi organik dengan menggunakan polibeg. Adapun keuntungan dengan

menggunakan polibeg menurut Pracaya (2002), menanam sayuran organik dalam

pot atau polibeg mempunyai beberapa keuntungan antara lain:1) dapat diusahakan

(48)

tanaman di tanam dalam wadah tersendiri; 3) kemungkinan penularan penyakit

lewat akar kecil sekali, tanaman yang sakit mudah sekali ditangani; 4) menghemat

pemakaian pupuk karena pupuk tidak terbuang percuma (tercuci); 5) lebih muda

menanam beberapa jenis tanaman; 6) lahan yang digunakan lebih sempit karena

pot atau polibeg dapat diletakkan dalam rak yang bersusun.

Walaupun banyak keuntungan yang di peroleh dengan penanaman dalam

pot atau polibeg, cara ini pun mempunyai beberapa kekurangan juga. Kekurangan

dengan cara ini antara lain: 1) memerlukan biaya untuk penyediaan pot atau

polibeg; 2) pengangkutan lebih sulit; 3) memerlukan tempat penjualan yang lebih

luas bila akan menjual sayuran beserta wadahnya (Pracaya, 2002).

2.2.4 Pupuk Organik

Pengertian pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi

makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan dan manusia. Pupuk

organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat

fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik banyak mengandung banyak bahan

organik daripada kadar haranya. Sumber pupuk organik dapat berupa kompos,

pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (brangkasan, jerami, tongkol jagung,

bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan

bahan pertanian, dan limbah kota (sampah) atau bisa disimpulkan secara singkat

adalah pupuk yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang

berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa,

berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai hara tanaman,

(49)

Bahan organik mempunyai sifat mengurangi kepadatan tanah yang berat

dan meningkatkan daya tahan air bagi tanah-tanah yang ringan. Tanah yang

sedikit berpasir sekurang-kurangnya mengandung 4% bahan organik sesuai

dengan 2% C untuk tanah liat berat diperkirakan 2% kadar bahan organik (1%C).

Pada tingkat ini kehilangan bahan organik kira-kira 5 t/ha. Kehilangan ini dapat

diganti dengan menambahkan kira-kira 10 t/ha pupuk kandang, tetapi dosis yang

lebih tinggi sampai 80 t/ha sering dilakukan di daerah yang intensif. Pada

kenyataanya banyak sisa-sisa bahan organik dan jenis pupuk kandang yang

digunakan untuk sayuran. Apabila perbandingan C/N dari bahan organik > 15

seperti halnya jerami dan dedak padi, maka penambahan pupuk N (kira-kira 7 kg

N/t jerami) sangat disarankan untuk mencegah defisiensi N. Walaupun suhu tanah

yang tinggi di dataran rendah dapat menjamin berlangsungnya pembusukan bahan

organik yang cepat. Seperti tanaman bayam dapat tumbuh baik pada

sampah-sampah kota yang belum terurai penuh. Resiko penggunaan sampah-sampah kota (limbah)

yaitu adanya pencemaran tanah oleh plastik atau logam berat (Sutarno, 1995).

Kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara di dalam

tanah, aktifitas kehidupan jasad renik tanah dan reaksi pupuk yang diberikan

kedalam tanah. Pengaruh pH terhadap ketersediaan N tanah melalui tiga cara

yaitu: 1) perubahan ammonium (NH4+) menjadi nitrat (NO3-), 2) penggunaan

(NH4+) dan (NO3-) oleh tanaman, 3) Pengikatan N oleh liat. Perubahan

ammonium menjadi nitrat berlangsung dengan proses oksidasi enzimatik yang

dibantu oleh bakteri Nitrobakter dan Nitrosomonas, sedangkan kehidupan kedua

bakteri tersebut sangat tergantung oleh pH tanah. Keasaman tanah yang optimum

(50)

lebih besar dari 8,0 proses akan terhambat dan unsur hara fosfat kurang tersedia

pada tanah masam (pH lebih kecil dari 5,0) (Damanik dkk, 2011).

Pupuk organik bukan hanya berbentuk padat akan tetapi dapat berbentuk

cair ini sepertinya lebih mudah dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur-unsur

yang terkandung didalamnya mudah terurai dan tidak dalam jumlah yang terlalu

banyak sehingga manfaatnya lebih cepat terasa. Bahan baku pembuatan pupuk

cair dapat berasal dari pupuk padat dengan perlakuan perendaman. Setelah

beberapa minggu dan melalui beberapa perlakuan, air rendaman yang sudah siap

dapat digunakan sebagai pupuk cair. Penggunaan pupuk cair dapat memudahkan

dan menghemat tenaga. Adapun keuntungan pupuk cair antara lain: pengerjaan

pemupukan akan lebih cepat dan penggunaannya sekaligus melakukan

penyiraman sehingga dapat menjaga kelembaban tanah (Hanum, 2011).

Pupuk organik mempunyai keunggulan dan kelemahan. Beberapa

keunggulan pupuk organik adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan kandungan

bahan organik di dalam tanah; 2) memperbaiki struktur tanah; 3) meningkatkan

kemampuan tanah menyimpan air (Water holding capacity); 4) meningkatkan

aktivitas kehidupan biologi tanah; 5) meningkatkan kapasitas tukar kation tanah;

6) mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe pada tanah masam dan 7)

meningkatkan ketersedian hara di dalam tanah. Sedangkan kelemahan dari pupuk

organik adalah sebagai berikut: 1) kandungan haranya rendah; 2) relatif sulit

memperolehnya dalam jumlah yang banyak; 3) tidak dapat diaplikasikan secara

langsung ke dalam tanah, tetapi harus melaui suatu proses dekomposisi dan 4)

pengangkutan dan aplikasiya mahal karena dibutuhkan dalam jumlah banyak

(51)

Pupuk kompos merupakan bahan-bahan organik yang telah mengalami

pelapukan, seperti jerami, alang-alang, sekam padi dan lain-lain termasuk kotoran

hewan. Sebenarnya pupuk hijau dan serasah dapat dikatakan sebagai pupuk

kompos. Tetapi sekarang sudah banyak spesifikasi mengenai kompos. Kompos

kota pada umumnya memiliki kandungan hara kurang lebih: 1, 69% N; 0,34%

P2O5 dan 2,81% K dengan kata lain 100 kg kompos setara dengan 1,69 kg Urea,

0,34 kg SP 36 dan 2,81 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan

haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37,5 kg KCl, maka membutuhkan

sebanyak 22 ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan

tenaga kerja dan berimplikasi pada naiknya biaya produksi (Hanum, 2011).

Ciri-ciri kompos yang baik, adalah sebagai berikut: 1) senyawa-senyawa

karbon harus terombak sempurna. Untuk itu perlu adanya cukup udara yang

masuk kedalam tumpukan kompos, sehingga proses perombakan berlangsung

dengan cepat. Campuran kapur dan fosfat dapat mempercepat proses tersebut; 2)

senyawa-senyawa nitrogen sebagian besar harus sudah menjadi amonium.

Diperlukan nisbah C/N yang kecil, jika nisbah C/N itu besar misalnya jerami

dengan persenyawaan N organik yang rendah. Pada penguraian bahan tersebut

tidak terjadi pembebasan amoniak, yang artinya pembebasan N terhambat.

Sebaliknya bila nisbah C/N bahan itu kecil, maka akan banyak dibebaskan

amoniak; 3) kehilangan N harus sekecil mungkin dan 4) sisa-sisa sebagai humus

harus sebanyak mungkin (Damanik dkk, 2011).

Berdasarkan penelitian Koji Takakura, seorang ahli kompos yang

diperbantukan pemerintah Jepang untuk Indonesia sebaiknya dalam pembuatan

(52)

mikroorganisme lokal akan menghemat biaya, karena masyarakat dapat

membiakkan sendiri mikroorganisme tersebut dengan cara sederhana. Selain itu

dengan dipakainya mikroorganisme lokal, diharapkan tidak terjadi gangguan

terhadap kelangsungan kehidupan mikroorganisme lokal. Hal ini mengacu dengan

telah dianjurkannya pengurangan penggunaan biakan komersil EM4 dikarenakan

ditengarai terjadinya dominasi di alam oleh mikroorganisme yang terkandung

dalam EM4 tersebut. Terdapat 3 tahapan dalam proses pembuatan kompos ini,

yaitu: 1) tahap pembuatan inokulan cair; 2) tahap pembuatan inokulan padat;

3) tahap pemakaian inokulan padat untuk pengomposan (Ginting, 2012).

Tahap pembuatan inokulan cair, Tujuan tahapan ini adalah untuk

membiakkan mikroorganisme yang berdasarkan hasil penelitian Koji Takakura

seorang ahli kompos yang diperbantukan pemerintah Jepang untuk bangsa

Indonesia akan mampu mendegradasi sampah organik yang berasal dari dapur

rumah tangga Indonesia. Mikroorganisme dasar adalah Saccharomyces yang

berasal dari ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt.

Mikroorganismeini mempunyai sifat-sifat yaitu: 1) sifat amilolitik,

mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan enzim amilase yang

berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids dan keto acids

yang kemudian akan menjadi asam amino; 2) sifat proteolitik, mikroorganisme

yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim protease yang dapat merombak protein

menjadi polipeptida-polipeptida, lalu menjadi peptida sederhana,dan akhirnya

menjadi asam amino bebas, CO2 dan air dan 3) sifat lipolitik, mikroorganisme

yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam

(53)

Tabel 1. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen dan rasio C/N

Limbah minyak biji-bijian 3-9 3-15

Night soil 5,5-6,5 6-10

Keterangan: - tidak ditentukan, *tidak tertentu Sumber FAO, 1987 dalam Setyorini (2006). Rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Hal

ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme

yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel dan

nitrogen untuk membentuk sel. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi

mikroorganisme akan berkurang. Selain itu diperlukan beberapa siklus

mikroorganisme untuk menyelesaikan dengan degradasi bahan kompos, sehingga

waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan memiliki

(54)

dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui

volatisasi sebagai ammonia (BPPP, 2011).

Nitrogen merupakan salah satu unsur kimia utama yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan dan produksi tanaman . Nitrogen merupakan komponen klorofil dan

karenanya penting untuk fotosintesis. Tanaman menggunakan nitrogen dengan

menyerap baik ion nitrat atau amonium melalui akar. Sebagian besar nitrogen

digunakan oleh tanaman untuk menghasilkan protein (dalam bentuk enzim) dan

asam nukleat (Agriculture Syllabus, 2009).

2.2.5 Kulit Pisang

Pisang merupakan jenis buah-buahan yang banyak dihasilkan di daerah

tropis seperti Indonesia, dan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Buah pisang

banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Pisang juga

mempunyai kandungan khromium (Cr) yang berfungsi dalam metabolisme

karbohidrat dan lipid. Kromium bersama dengan insulin memudahkan masuknya

glukosa ke dalam sel-sel. Kekurangan khrom dalam tubuh dapat menyebabkan

gangguan toleransi glukosa (Hananto, 2012).

Dalam penelitian ini kulit pisang yang digunakan adalah kulit buah pisang

kepok. Menurut Satuhu (1991) Pisang kepok di Filipina dikenal dengan nama

pisang saba, sedang di Malaysia dengan nama pisang nipah. Buahnya enak

dimakan setelah diolah terlebih dahulu. Bentuk buahnya agak pipih sehingga

kadang disebut pisang gepeng. Beratnya pertanaman dapat mencapai 14-22 kg

dengan jumlah sisir 10-16. Setiap sisir terdiri dari 12-20 buah. Bila matang warna

(55)

Dalam mengkonsumsi pisang, kulit pisang selalu dibuang sebagai sampah

atau digunakan sebagai pakan ternak. Kulit pisang ternyata memiliki kandungan

vitamin C dan B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup besar. Hasil

analisis kimia menunjukkan bahwa kulit pisang mengandung air yang cukup

tinggi yaitu 68,90% dan karbohidrat sebesar 18,50% (Saroso, 1998). Mengingat

kandungan karbohidrat yang besar, maka pemanfaatan limbah kulit pisang sebagai

sumber C perlu dilakukan (Hananto, 2012).

Selain sebagai penghasil enzim xylanase, kulit pisang juga merupakan

bahan organik yang mengandung unsur kimia seperti magnesium, sodium, fosfor

dan sulfur yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. pembuatan pupuk

organik dengan bahan kulit pisang dapat dalam bentuk padat atau cair

(Susetya, 2012).

Berdasarkan hasil analisis pada pupuk organik padat dan cair dari kulit

pisang kepok yang dilakukan oleh penulis di Laboratorium Riset dan Teknologi

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, maka dapat diketahui bahwa

kandungan unsur hara yang terdapat di pupuk padat kulit pisang kepok yaitu,

C-organik 6,19%; N-total 1,34%; P2O5 0,05%; K2O 1,478%; C/N 4,62% dan

pH 4,8 sedangkan pupuk cair kulit pisang kepok yaitu, C-organik 0,55%,

N-total 0,18%; P2O5 0,043%; K2O 1,137%; C/N 3,06% dan pH 4,5. Kandungan

unsur hara yang terdapat pada pupuk organik padat kulit pisang kepok tersebut

memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kandungan unsur hara dari

vermikompos yaitu berdasarkan sumber Laboratorium Balai Pengkajian

(56)

memiliki kandungan unsur hara sebesar, C-organik 10,25%; N-total 1,37%;

Gambar

Tabel 2. Tinggi  Tanaman  caisim (cm) umur  7 HSPT s/d 31 HSPT pada berbagai  dosis pemberian pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 1. Hubungan tinggi tanaman caisim 7 HSPT dengan pupuk organik padat  pada berbagai dosis pemberian pupuk organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 2. Hubungan  tinggi  tanaman caisim 11 HSPT dengan pemberian pupuk  organik cair dari kulit pisang kepok
Gambar 3. Hubungan  tinggi  tanaman caisim 15 HSPT dengan pemberian pupuk  organik padat dari kulit pisang kepok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan aplikasi pupuk organik cair kotoran sapi dengan dosis yang berbeda- beda memberikan pengaruh terhadap para- meter pertumbuhan dan produksi tanaman sawi

Hasil penelitian dari pemberian pupuk organik cair dan pupuk padat pada sawi dengan berbagai dosis memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan dan

Cepatnya pemanenan pada kombinasi perlakuan pemberian pupuk pelengkap cair 6 cc/l air dengan pupuk kandang ayam 1,5 kg/plot disebabkan oleh kemampuan pupuk dalam

Tanaman yang diberi pupuk organik cair kulit pisang kepok memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tinggi batang tanaman selada (Lactuca sativa) pada

Pemberian Pupuk cair dengan frekuensi aplikasi pupuk cair organik yang lebih. sering akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi

Dosis pupuk organik padat berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, luas daun, jumlah klorofil, bobot biomassa per sampel, bobot segar jual per sampel, produksi per plot dan

Hasil dari penelitian Pemberian pupuk organik cair limbah kulit pisang berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah per sampel, bobot basah per plot dan

1.5 Luaran Luaran dari penelitian ini adalah dihasilkannya pupuk organik cair yang bersumber dari limbah kulit buah Pisang Kepok yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk kegiatan