TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN
KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)
SKRIPSI
Oleh:
Nur Ari Murni Hasibuan
080306004
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
▸ Baca selengkapnya: tanda-tanda mengenai dampak dari hidup beriman dan berpengharapan adalah
(2)TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN
KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)
SKRIPSI
Oleh:
NUR ARI MURNI HASIBUAN
080306004
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)
Nama : Nur Ari Murni Hasibuan
NIM : 080306004
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc Hamdan, S.Pt, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku
Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI
HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan
Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit,
Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.
Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk
penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati
aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian
ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau.
Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi
kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan
frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU
sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua
aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas
reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,
urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk
dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.
ABSTRAK
NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin
Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan
HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU)
Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei
2012 – Oktober 2012.
Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk
penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus
estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat
digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan
data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta
tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU
sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua
aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas
reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,
urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk
dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Siklus Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau
Murrah (Bubalus bubalis)” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh
gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas
SumateUtara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc sebagai ketua pembimbing dan Hamdan,
S.Pt, M.Si sebagai anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada Bapak Kepala BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong, Tapanuli Utara
yang telah memberikan fasilitas tempat dan hewan penelitian. Ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan
dan memberi dukungan moril serta spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah Pubertas ... ….. 6
DAFTAR TABEL
No
1. Populasi ternak kerbau di 10 Provinsi di Indonesia ... 6
2. Umur pubertas pada beberapa ternak ... 6
3. Variasi umur pubertas kerbau di beberapa negara ... 7
4. Siklus reproduksi pada beberapa ternak ... 11
5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina ... 11
6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak ... 17
7. Tingkah laku estrus kerbau betina ... 20
8. Tingkah laku kawin kerbau jantan ... 20
9. Rataan lama tingkah laku estrus kerbau betina ... 24
DAFTAR GAMBAR
No.
1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina ... 12
2. Grafik rataan frekuensi pemunculan tingkah laku estrus pada kerbau betina ... 22
3. Aktivitas estrus kerbau betina ... 25
4. Rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan... 26
DAFTAR LAMPIRAN
No.
ABSTRAK
NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku
Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI
HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan
Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit,
Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.
Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk
penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati
aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian
ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau.
Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi
kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan
frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU
sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua
aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas
reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,
urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk
dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.
ABSTRAK
NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin
Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan
HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU)
Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei
2012 – Oktober 2012.
Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk
penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus
estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat
digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan
data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta
tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU
sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua
aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas
reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,
urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk
dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Unsur pertanian pangan yang berorientasi pada tanaman padi berkembang
dengan baik, maka peternakan kerbau hampir sama tuanya dengan pertanian itu
sendiri. Kebanyakan peternakan kerbau di negara-negara sedang berkembang
dilakukan pada bagian pertanian kecil. Pada umumnya, tujuan peternakan kerbau
adalah sebagai ternak tenaga kerja, sedang tujuan kedua adalah sebagai penghasil
susu dan daging. Namun pemanfaatan ternak kerbau sebagai pedaging hanya
berlaku terhadap ternak tua atau ternak dengan nilai ekonomi yang rendah.
Kerbau merupakan hewan ternak besar yang populasinya paling sedikit jika
dibandingkan dengan sapi, kambing dan domba. Bahkan, dari tahun ketahun
populasi kerbau pun semakin menurun. Ada beberapa penyebab penurunan jumlah
populasi ternak kerbau ini yaitu diantaranya tingkat reproduksi yang rendah dan
tingkat pemotongan kerbau itu sendiri yang sangat tinggi setiap tahunnya, yaitu 1,3
% per tahun (Susilawati dan Bustami, 2008).
Sedangkan untuk kerbau perah jenis murrah, populasinya masih sangat
sedikit di Indonesia. Mungkin karena sebenarnya asal kerbau ini dari luar, yaitu dari
India. Dengan sedikitnya jumlah kerbau perah, khususnya kerbau Murrah di
Indonesia, menyebabkan manfaat lain dari kerbau belum banyak dimengerti dan
disadari oleh masyarakat. Ternak kerbau bangsa Murrah diharapkan dapat
berkembang dengan baik di Indonesia, terutama didaerah yang beriklim hampir
Reproduksi yang kurang baik dari ternak kerbau adalah faktor utama yang
membatasi kinerja kerbau dan pencapaian perbaikan mutu genetiknya. Kerbau
mempunyai umur beranak pertama kali yang sangat tinggi, yaitu pada umur 2 - 3
tahun. Kegagalan reproduksi pada ternak kerbau disebabkan oleh reproduksi kerbau
itu sendiri yang kurang mendapat perhatian. Peternak seringkali menganggap
enteng masalah ini meskipun siklus kerbau betina dianggap kurang reproduktif
(karena sifat estrusnya yang silent heat).
Pengendalian perkawinan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB)
ataupun kawin alam sangat ditentukan oleh penentuan berahi . Dengan penentuan
berahi yang tepat akan dapat ditentukan waktu perkawinan yang tepat agar
didapatkan fertilisasi yang baik dan menghasilkan angka kelahiran yang tinggi.
Berahi pada kerbau seperti dikemukakan oleh beberapa ahli sulit dideteksi, akan
tetapi oleh sebagian pakar reproduksi, dikatakan jelas dan mudah dilihat. Dari
pengamatan yang dilaksanakan di daerah Serang, didapatkan bahwa pengetahuan
peternak terhadap tanda-tanda berahi relatif masih kurang.
Pengamatan terhadap siklus estrus kerbau betina sangat diperlukan agar
peternak dapat mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengawinkan kerbaunya.
Maka, para peternak pun harus mengetahui tanda-tanda estrus pada kerbau. Selain
itu, fase-fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus pun harus dipahami oleh
peternak maupun masyarakat.
Tujuan Penelitian
Menganalisis tanda-tanda estrus pada kerbau Murrah (Bubalus bubalis) dan
Kegunaan Penelitian
Untuk mempermudah peternak mengatur perkawinan alamiah melalui
pengamatan siklus estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus
bubalis) dan sebagai bahan informasi bagi peternak mengenai pengamatan estrus
TINJAUAN PUSTAKA
Ciri-Ciri kerbau Murrah
Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal
dari India. Klasifikasi kerbau Murrah berdasarkan tata nama ilmiah menurut
(Wikipedia, 2011) sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum: Chordata, class:
Mammalia, ordo: artiodactyla, sub ordo: Ruminansia, family: Bovidae, subfamily:
Bovinae, genus: Bubalus, spesias: B. bubalis, binomial name: Bubalus bubalis.
Klasifikasi kerbau masih belum pasti. Beberapa peneliti mengelompokkan
kerbau sebagai spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu kerbau sungai
(B. Bubalus bubalis) yang berasal dari Asia selatan, kerbau rawa (B. Bubalus
carabanesis) yang berasal dari Asia tenggara dan arni atau kerbau liar (B. Bubalus
arnee).
Kerbau yang ada di Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi 2 jenis,
yaitu kerbau lumpur dan kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river
buffalo). Sebagian kerbau lokal adalah kerbau rawa (sekitar 98 %) dan sisanya
dalam jumlah kecil (sekitar 2 %) adalah kerbau sungai (Erdiansyah dan
Anneke, 2007).
Secara umum, kerbau Murrah memiliki warna kulit normal hitam dengan
bercak putih pada dahi, wajah dan ekor. Muka dan badan kerbau Murrah berukuran
lebih panjang dibandingkan dengan kerbau rawa. Ada dua variasi bentuk tanduk
kerbau Murrah, yaitu tipe sirkuler dengan ukuran panjang dan derajat lingkar yang
Produksi susu kerbau Murrah dapat mencapai 1,5 - 2,5 liter/ekor/hari
dengan lama masa laktasi sekitar 7 bulan. Kadar lemak susu kerbau yaitu
6,6 - 9,0 % dan merupakan yang tertinggi diantara ternak domestikasi. Karakteristik
karkas kerbau Murrah umumnya dengan dressing percentage diatas 55 %. Nilai
gizi susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, yaitu dengan kadar
protein 5,25 % dan kadar lemak 8,79 % sedangkan pada sapi kadar protein susunya
hanya 3,27% dan kadar lemaknya 3,45% (Bamualim, et al, 2008).
Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129
negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur
diIndonesia sebesar 2,2 juta atau sebanyak 6 % dari total populasi kerbau dunia.
Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di
Sumatera Utara dan merupakan jenis kerbau Murrah nilli-ravi. Secara umum
populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8 % antara tahun 2002
dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti di provinsi Sumatera
utara (Ditjennak, 2008). Populasi ternak kerbau di Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 1. Populasi ternak kerbau di 10 provinsi di Indonesia
Provinsi Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
NAD 409,071 338,272 371,143 390,334 390,334 Sumbar 322,629 201,421 211,531 192,148 192,148 Sumut 263,435 259,672 261,794 189,167 155,341 Jabar 149,960 148,003 149,444 149,030 149,030 NTB 156,792 154,919 155,166 153,822 153,822 NTT 136,966 139,592 142,257 144,981 144,981 Banten 139,707 135,040 146,453 144,944 144,944 Sulsel 161,504 124,760 129,565 120,003 120,003 Jateng 122,482 123,815 112,963 109,004 109,004 Sumsel 86,528 90,300 86,777 90,160 90,160
Sumber: Data ditjennak (2008).
Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah
Pubertas
Pubertas adalah umur dimana sistem reproduksi ternak mulai berfungsi dan
organ reproduksinya telah siap untuk menerima embrio. Umur dan bobot badan
hewan sewaktu timbulnya pubertas berbeda-beda menurut spesiesnya. Pubertas
ternak betina (estrus pertama kali) dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Perbandingan umur pubertas pada beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Umur pubertas pada beberapa jenis ternak
Jenis ternak Umur pubertas
Dibeberapa negara, umur pubertas kerbau berkisar antara 16-40 bulan. Pada
beberapa kondidi, estrus pertama terjadi pada umur 24-36 bulan. Namun pada
kerbau dengan kualitas pakan yang baik dapat mencapai pubertas pertama pada
umur 20 bulan (Lita, 2009).
Kerbau rawa mencapai umur pubertas lebih lama dibandingkan dengan
kerbau sungai, yaitu pada umur 15-18 bulan untuk kerbu sungai dan 21-24 bulan
Tabel 3. Variasi umur pubertas kerbau dari beberapa negara
Asal negara Umur pubertas (bulan)
Kerbau memiliki efisiensi reproduksi yang rendah disebabkan karena
beberapa hal yaitu: pubertas yang lambat, umur calving pertama yang tinggi,
periode past-partum anestrus panjang, periode calving interval panjang,
tanda-tanda estrus yang kurang jelas dan angka kebuntingan yang rendah. Fertilitas
kerbau hanya sekitar 35 - 40 %, ini disebabkan karena lambatnya dewasa kelamin
baik pada betina maupun pada pejantan (Tappa, 2007).
Siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis
pada ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas
perkawinan dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah fase sebelum estrus,
dimana folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan
estradiol. Estradiol meningkatkan suplai darah kesaluran kelamin dan
meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan ovarium. Pada fase ini, ternak
betina belum siap menerina perkawinan meskipun sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda estrus (Najamudin, 2010).
Estrus yaitu masa ternak ingin dikawinkan dengan pejntan. Periode ini
berlangsung selama 6-30 jam, dengan rata-rata selama 20 jam. Biasanya ternak
akan tidak tenang, vulva semakin membengkak dan vestibulum berwarna merah
tua. Terlihat dengan jelas pengeluaran lendir yang mudah melekat, jernih dan
kental.CL (Corpus Luteum) akan memproduksi hormon estrogen, sehingga
produksi progesteron pun menurun. LH mencapai produksi yang cukup tinggi pada
masa estrus, ini merupakan awal atau permulaan ovulasi (Larson and
Randle, 2001).
Metestrus ditandai dengan berhentinya estrus secara tiba-tiba. Pada fase ini,
ternak masih menunjukkan gejala estrus namun tidak bersedia untuk aktivitas
perkawinan. Ovulasi terjadi dengan pecahnya folikel secara berangsur mengecil,
dan pengeluaran lendir pun berhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan
sebagian besar sel-sel barunya yang terbentuk (Wikipedia, 2009).
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus birahi, CL menjadi
fase ini, CL berkembang dengan sempurna dan pengaruh hormon yang dihasilkan,
progesteron, tampak pada dinding uterus. Bila ovum tidak dibuahi, CL akan tetap
berfungsi selama kurang lebih 19 hari, tetapi mulai berdegenerasi kira-kira pada
waktu yang bersamaan, jadi mempersiapkan kembali siklus estrus yang akan
datang.
estrus yang sulit pada kerbau menyebabkan layanan perkawinan pada kerbau
menjadi tidak mudah. Deteksi estrus umumnya dapat dilakukan dengan cara: 1)
melihat pembengkakan pada vulva berwarna merah; 2) pengeluaran
lendir dari vulva yang jelas; 3) penurunan nafsu makan; 4) keinginan untuk
berinteraksi dengan ternak lain; 5) berdiri diam bila dinaiki oleh pejantan atau
betina lain; 6) frekuensi urinasi semakin meningkat (Toelihere, 1993).
Menurut penelitian Siregar (2002), gejala estrus kerbau yang mudah diamati
adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang
estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat
mengeluarkan urine. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada
saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan. Begitupun
kondisi servik yang terbuka adalah konsisten menunjukkan gejala estrus.
Konsistensi, warna dan pengeluaran sangat bervariasi selama waktu yang berbeda.
Pengeluaran cairan juga kelihatan pada phase proestrus.
Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Pada
hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus
sampai ke permulaan periode selanjutnya. Gejala kebuntingan ternak setelah
pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam prakteknya,
bukan berarti kerbau yang tidak menunjukkan gejala estrus dapat dinyatakan
bunting. Hal yang harus dicatat adalah ternak betina yang sudah dikawinkan
mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut
terlihat. Ternak betina menjadi lebih tenang, pada ternak betina yang baru pertama
kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya pergerakan pada
perut sebelah bawah, sisi kanan dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif
(Akoso, 1996).
Perkawinan tepat waktu adalah upaya mengawinkan kerbau betina dengan
pejantan pada waktu masa berahi sebelum terjadinya ovulasi sehingga terjadi
kebuntingan. Menurut Hafez (1993), bahwa ovulasi pada ternak kerbau terjadi 15
- 18 jam sesudah akhir berahi atau 35 - 45 jam sesudah munculnya gejala berahi.
Pembuahan terjadi antara 5 – 6 jam sejak ovulasi Tambing et al.
(2000). Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, penentuan waktu terbaik untuk
perkawinan pada kerbau adalah mulai 12 - 16 jam sesudah munculnya gejala berahi
sampai 8 - 9 jam sebelum akhir berahi (Ranjhan dan Pathak, 1998) dalam
Tambing et al. (2000) dan ini telah dibuktikan oleh Avanell (1981) dalam Tambing
et al. (2000) dimana angka konsepsi yang diperoleh 57 - 83% bila diinseminasi 12
inseminasinya adalah sama pada sapi, yaitu peletakan semen pada posisi 4 (pada
pangkal corpus uteri) (Toelihere, 1993). Siklus reproduksi pada beberapa jenis
ternak dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Reproduksi pada beberapa ternak
Jenis ternak Lama estrus Ovulasi
Karakteristik reproduksi pada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina
Karakteristik Lama
Umur Pubertas 15-36 bulan, rata-rata 21 bulan Siklus Estrus
Panjang 18-22 hari
Estrus 17-24 jam, rata-rata 21 jam
Ovulasi 18-45 jam, rata-rata 32 jam
Jumlah sel telur yang diovulasikan Usia corpus luteum
1. Hormon-hormon yang berperan dalam siklus estrus
Siklus estrus diatur oleh kelenjar hypotalamus, kelenjar pituitari dan
ovarium, yang menghasilkan hormon-hormon pengatur sistem reproduksi.
hormone (GnRH) untuk menstimulasi estrogen dan menghambat (menghentikan)
produksi progesteron. Kelenjar pituitary berfungsi menghasilkan Folicle
Stimulating Hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). FSH dan LH bekerja
secara berlawanan dengan progesteron.
Ovarium terletak didalam rongga perut bagian panggul induk. Pada
permukaan ovarium terdapat folike-folikel yang menghasilkan hormon estrogen.
Folikel-folikel ini mencapai ukuran dan kematangan pada waktu yang berbeda-beda
pada tiap siklusnya, tetapi pada umumnya hanya satu yang terovulasi. CL
bertanggung jawab untuk memproduksi progesteron. Estrogen dan progesteron
diproduksi mengikuti stimulasi FSH dan LH pada ovarium. Uterus juga terletak
pada rongga perut induk, yang berperan untuk memproduksi hormon prostaglandin
F 2 α (PGF2 α) (Rasby and Rosemary, 2011).
Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina dapat dilihat pada
Gambar 1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina (Sumber: Rasby and Rosemary, 2011).
Diawali dengan pelepasan GnRH dari kelenjar hypotalamus. Polypeptida
hormon ini akan diangkat menuju kelenjar pituitary melalui suatu jaringan kapiler
yang disebut hypotalamo-hypophysel. GnRH berfungsi untuk menstimulasi atau
merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilkan serta melepaskan FSH dan LH.
Kemudian FSH dan LH akan diangkat melalui perdaran darah menuju ovarium,
dimana akan terjadi satu rangkaian berupa proses ovulasi dan kebuntingan jika
terjadi fertilisasi (Rasby and Rosemary, 2011).
Hormon yang dihasilkan diovarium adalah estrogen dan progesteron.
Hormon-hormon ini diedarkan melalui aliran darah. Estrogen dihasilkan oleh
folikel yang terletak pada permukaan ovarium. Ketika folikel tumbuh, mka akan
dihasilkan lebih banyak estrogen. Ketika produksi estrogen meningkat, sebagaian
hormon ini akan dilepaskan kedalam aliran darah untuk menuju kelenjar pituitary
sehingga merangsang pelepasan LH. Inilah yang mempengaruhi sistem nerveus
ternak sehingga menyebabkan muncul kegelisahan pada ternak yang estrus,
penunggangan dan yang paling penting yaitu keinginan ternak untukbersedia
melakukan perkawinan. Efek lain dari peningkatan estrogen dalam darah yaitu
aliran darah keorgan genital pun akan semakin meningkat, sehingga menghasilkan
mucus (cairan) pada serviks dan vagina.
- GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormon), diproduksi di hypotalamus,
berfungsi menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi dan melepaskan
hormon-hormon gonadotropin (FSH/LH).
- FSH (Follicle stimulating hormone), diproduksi disel-sel basal pituitary
anterior, sebagai respon terhadap GnRH. Berfungsi memicu pertumbuhan dan
pematangan folikel dan sel-sel granulosa di ovarium betina, (pada pejantan
berfungsi untuk memicu pamatangan sperma ditestis).
- LH (Luteinizing Hormone), diproduksi di sel-sel kromofob pituitary anterior.
Besama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan folikel dan juga
mencetuskan terjadinya ovulasi dipertengahan siklus. Selama fase luteal siklus
LH meningkatkan dan mempertahankan fungsi korpus luteum pasca-ovulasi
dalam menghasilkan progesteron.
- Estrogen, diproduksi terutama oleh folikel diovarium secara primer, dan dalam
jumlah yang lebih sedikit juga diproduksi dikelenjar adrenal melalui konversi
hormon androgen. Pada pejantan, diproduksi juga sebagian ditestis. Selama
kebuntingan, diproduksi juga oleh plasenta. Berfungsi sebagai stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan pada berbagai organ reproduksi betina, juga
menstimulasi PGF2α.
- Progesteron, diproduksi terutama di Corpus Luteum diovarium, sebagian
diproduksi dikelenjar adrenal, dan pada kehamilan juga diproduksi diplasenta.
Progesteron menyebabkan terjadinya proses perubahan sekretorik (fase
sekresi) pada endometrium uterus, yang mempersiapkan endometrium uterus
berada pada keadaan yang optimal jika terjadi implantasi (Mottershead,
Tingkah Laku Kawin Ternak
1. Pre-copulatory
Pada umumnya, kerbau India mempunyai musim kawin antara bulan
September- Februari. Pada musim ini kerbau jantan mempunyai aktivitas birahi
yang sangat baik. Disamping itu, kualitas dan kuantitas semen selama musim kawin
(September-Februari) sangat tinggi. Frekuensi estrus selama masa-masa
perkawinan bisa mencapai Desember (Suthar and Dhani, 2010).
Tingkah laku seksual kerbau jantan sama dengan sapi tetapi kurang intense
dibandingkan sapi. Libido tertahan selama siang hari yang panas, terutama pada
kerbau lumpur. Kemampuan seksual kerbau jantan menurun selama musim panas
dan membaik dengan musim yang lebih dingi. Berkaitan dengan hal tersebut maka
penampungan semen bagi pejantan untuk inseminasi buatan perlu memperhatikan
faktor-faktor tersebut.
menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai
dengan penerimaan jantan secara seksual (Becker et.al, 1992).
Ketika kerbau jantan didekatkan dengan kerbau betina yang estrus, kerbau
jantan biasanya akan membuka mulutnya, mengangkat bibir bagian atas (flehmen)
dan mengangkat (menegakkan) lehernya. Lalu kerbau betinaestrus pun akan segera
genital betina, terlihat juga penis pejantan keluar preputium, kemudian pejantan
akan melakukan mounting atau penunggangan (Johri, 1960).
2. Copulatory
Pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan
aktivitas pre-kopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada periode ini
biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain bahkan
mengusir pejantan-pejantan sub-ordinat (secara hirarki lebih rendah tingkat
sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual ditunjukkan dengan cara
menciumi daerah perineal betina vocalisation. Flehmen (nyengir atau lip curl) juga
merupakan komponen percumbuan yang khas pada jantan. Stimulus flehmen juga
dapat berupa urine atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina
estrus, pejantan akan flehmen (Toelihere, 1993).
Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali
pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan).
Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan
diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina
dan betina membrikan respon dengan cara memberikan tekanan dengan
menggunakan punggungnya kearah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan
meletakkan kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis kearah depan.
Selama proses penunggangan, organ kopulatori, itu merupakan ereksi dari kelenjar
cowper, bukan semen (Toelihere, 1993).
Intromisi terjadi karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis.
Setelah semua organ kopulatori keluar dari pereputium, intromisi baru terjadi.
setelah intromisi sempurna sehingga semen dapat didesposisikan pada tempat yang
sesuai dengan anatomi organ reproduksi betina. Pada kerbau, desposisi semen
terjadi didekat mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak
intromisi organ kopulatori pejantan (Frandson, 1996).
Frekuensi kopulasi berbeda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio,
luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual. Karakteristik
kopulasi beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak
Jenis ternak Lama kopulasi
Refraktori adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi.
Kebanyakan pejantan tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi.
Refraktori merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam
tahap kopulasi pada bagian akhir setelah ejakulasi (Toelihere, 1993).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi
dan Kerbau Instalasi Silangit Kec. Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara.
Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan dimulai pada bulan Mei sampai Oktober
Bahan dan Alat
Bahan
Hewan penelitian yang digunakan ialah: 7 ekor kerbau betina dewasa dan 1
ekor kerbau jantan dewasa. Bahan lain yang digunakan yaitu: pakan yang terdiri
atas konsentrat, hijauan dan air minum.
Alat
Alat yang digunakan ialah: 2 unit kandang kelompok, setiap kandang
dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pengambilan data dengan
menggunakan digital camera dan timer (stopwatch).
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Setiap siklus
estrus dan pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina diamati. Pencatatan
data meliputi tingkah laku yang muncul dan frekuensinya. Data ditabulasi dan
rataan dibahas secara deskriptif.
Parameter Penelitian
1. Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina
Data pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau betina tertera pada Tabel.
3 Pembengkakan vulva (mengeluarkan lendir) 4 Bersedia didekati pejantan
8 Gelisah Sumber: Ranjhan and Pathak (1998).
2. Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan
Data tingkah laku kawin kerbau jantan tertera pada Tabel 8.
Kerbau diberikan pakan hijauan berupa king grass selama ada di dalam
kandang, frekuensi pemberian dilakukan 1 kali sehari yaitu pada sore hari (setelah
kerbau digembalakan). Konsentrat diberikan pada pagi hari yaitu pada pukul 07.00
WIB (sebelum kerbau digembalakan). Pemberian air minum dilakukan secara
adlibitum.
3. Penggembalaan kerbau
Kerbau digembalakan di padang penggembalaan yang terletak disekitar
kandang. Hijauan yang terdapat pada padang penggembalaan yaitu berupa rumput
lapangan.
4. Setiap hari dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi jantan dan setiap
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina
Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau
betina yang terdapat dalam satu populasi, yaitu terdiri dari 7 ekor kerbau betina dan
1 ekor pejantan. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh 7 ekor kerbau betina
yang mengalami estrus pada waktu yang berbeda-beda. Frekuensi pemunculan
(kali/hari) tingkah laku estrus kerbau betina selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Grafik rataan frekuensi tingkah laku estrus kerbau betina
Dari data yang diperoleh (Gambar 2), terlihat bahwa tingkah laku estrus
yang paling dominan adalah pada aktivitas bersedia didekati pejantan, urinasi dan
didekati pejantan yaitu 6,50 – 38,00 kali/hari dengan rata-rata 19,93 kali/hari.
Setiap betina yang estrus akan siap menerima pejantan untuk aktivitas
reproduksinya (kecuali bila betina berada pada fase proestrus, matestrus dan
diestrus). Inilah yang menyebabkan betina tersebut bersedia didekati oleh pejantan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Najamuddin (2010), yang menyatakan bahwa
siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada
ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas perkawinan
dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus,
metestrus dan diestrus.
Urinasi merupakan tanda-tanda estrus kerbau yang paling mudah diamati
ketika gejala lain tidak atau sulit diamati serta dapat dijadikan patokan terbaik untuk
mengetahui apakah kerbau betina sedang estrus atau tidak. Terlihat bahwa semua
betina yang estrus menunjukkan aktivitas urinasi. Frekuensi pemunculan urinasi
tersebut yaitu antara 7,00 – 23,00 kali/hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Siregar (2002), yang menyatakan bahwa gejala estrus kerbau yang mudah diamati
adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang
estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat
mengeluarkan urine sedikit-sedikit. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang
ekstrim pada saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan.
Untuk tingkah laku estrus pada pengamatan penurunan nafsu makan sulit
diperoleh data karena kerbau-kerbau yang digunakan pada pengamatan ini
diletakkan pada kandang kelompok sehinggaa tidak memungkinkan untuk
melakukan penghitungan konsumsi pakan per individunya. Sedangkan pada
frekuensi dan lama waktunya. Karena pada saat kerbau betina estrus,
pembengkakan vulva yang disertai pengeluaran lendir terjadi dari awal estrus
sampai akhir estrus. Bagi para peternak rakyat, tanda inilah yang menjadi landasan
utama dalam mengamati apakah kerbau tersebut sedang estrus atau tidak. Karena
menurut peternak, kerbau merupakan hewan ternak yang sangat sulit diamati
tanda-tanda estrusnya (silent heat) sehingga melihat pengeluaran lendir pada vulva lebih
Lama (durasi) Pemunculan Tingkah Laku Estrus (detik)
Melenguh
Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian
Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa durasi yang paling lama terjadi pada
tingkah laku estrus kerbau adalah aktivitas bersedia didekati pejantan yaitu dengan
rataan 24,03 detik/ekor. Biasanya aktivitas ini terjadi ketika betina berada pada fase
proestrus, yaitu dimana betina tersebut sudah mulai menunjukkan gejala estrus
namun belum siap menerima aktivitas perkawinan. Sehingga pejantan hanya bisa
mendekati betina tersebut dengan cara mengikuti kemanapun betina pergi. Hal ini
estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Proestrus adalah fase sebelum estrus, dimana folikel de graaf tumbuh dibawah
pengaruh hormon FSH dan menghasilkan estradiol. Estradiol meningkatkan suplai
darah kesaluran kelamin dan meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan
ovarium. Pada fase ini, ternak betina belum siap menerina perkawinan meskipun
sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus.
Selain itu, terdapat pula tanda estrus lainnya yang tidak termasuk didalam
parameter pengamatan, yaitu adanya penurunan produksi susu pada betina indukan
yang sedang dalam masa laktasi. Namun tanda ini jarang menjadi acuan bagi
peternak karena tidak semua peternak kerbau Murrah melakukan pencatatan
(recording) terhadap produksi susu. Gambaran dari aktivitas estrus kerbau betina
dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b)
Gambar 2. Tingkah laku estrus kerbau betina: (a) Diam didekati pejantan, (b) Gelisah, (c) Menaiki pejantan atau betina lain dan (d) Urinasi
Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan
Tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diamati melalui interaksi seksual
dan kesiapan betina untuk menerima perkawinan oleh pejantan. Tingkah laku kawin
Gambar 3. Grafik rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan
Percumbuan (courtship) merupakan awal dari proses perkawinan ternak.
Percumbuan merupakan upaya pendekatan kerbau jantan dengan kerbau betina
sebagai respon estrus yang ditunjukkan oleh betina. Tingkah laku pre-copulatory
penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya ditandai dengan belum siapnya
betina menerima pejantan secara seksual. Pre-copulatory terdiri atas 3 yaitu
memisahkan betina estrus, mencium genital betina dan flehmen. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Becker et.al. (1992), yang menyatakan bahwa tingksh laku
pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah
laku courtship dengan tidak menerima pejantan secara seksual namun betina
Mounting merupakan awal dari tingkah laku copulatory yang biasanya
diikuti oleh aktivitas intromisi dan ejakulasi. Dari data diatas, dapat kita amati
bahwa mounting adalah aktivitas perkawinan yang paling tinggi frekuensi
pemunculannya, yaitu berkisar antara 11,00 – 27,00 kali/hari dengan rata-rata 16,57
kali/hari sedangkan yang terendah adalah ejakulasi yaitu berkisar 2,00 – 4,00
kali/hari. Ini menunjukkan bahwa mounting merupakan aktivitas perkawinan yang
paling sering dilakukan oleh pejantan. Namun, tidak semua aktivitas mounting
selalu dilanjutkan dengan intromisi dan ejakulasi. hal ini sesuai dengan pernyataan
Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa mounting (penunggangan) biasanya
belum berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus
(belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif
menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan
meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina membrikan respon
dengan cara memberikan tekanan dengan menggunakan punggungnya kearah atas.
Bila sudah demikian, maka pejantan akan meletakkan kaki depan pada pinggul
betina dan mendorong pelvis kearah depan.
Rataan lama (durasi) tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Rataan lama (detik/ekor) tingkah laku kawin kerbau jantan
Ternak
Rataan Lama (detik) Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan
Memisahkan
Flehmen Mounting Ereksi Intromisi Ejakulasi Refraktori
Kerbau I 95.50 28.05 5.02 4.69 47.60 4.05 2.12 5.21
Kerbau II 94.19 17.74 5.04 8.90 53.64 4.99 2.00 7.66
Kerbau III 72.35 25.01 5.67 4.50 32.69 4.19 2.07 8.38
Kerbau IV 77.60 21.39 4.89 10.87 24.24 6.53 3.98 8.63
Kerbau VI 63.98 18.84 4.32 9.31 16.99 5.36 5.60 6.40
KerbauVII 65.50 25.12 3.25 4.31 26.93 3.00 2.21 5.51
Rataan 73.77 24.24 4.53 6.53 36.83 4.52 2.91 7.13
Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian
Tingah laku reproduksi kerbau jantan hampir sama dengan sapi, hanya saja
kurang intens dibandingkan dengan sapi. Aktivitas ejakulasi ditandai dengan cara
melihat dorongan tulang panggul pejantan kearah depan. Dari hasil pengamatan
terlihat bahwa durasi ejakulasi kerbau jantan berkisar antara 2,00 – 3,98 detik
dengan rata-rata 2,91 detik. Hal ini didukung dengan pernyataan Siregar (1999),
yang menyatakan bahwa karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak yaitu pada
domba 1 – 2 detik, kuda 20 – 60 detik, babi 5 – 20 menit dan sapi 1 – 3 detik.
Frekuensi kopulasi berbeda-beda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio,
luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual.
Refraktori adalah masa istirahat ternak jantan setelah melakukan aktivitas
kopulasi. Durasi yang dibutukan pejantan untuk refraktori (pelemasan otot) yaitu
berkisar 5,21 – 8,63 detik dengan rata-rata 7,31 detik. Setelah ejakulasi, pejantan
akan diam dan tanpa melakukan aktivitas apapun selama sekitar 7,31 detik. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa Refraktori
adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Kebanyakan pejantan
tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi. Refraktori
merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam tahap
kopulasi bagian akhir setelah ejakulasi. Gambaran dari aktivitas kawin kerbau
(a) (b)
(c) (d)
(g)
Gambar 3. Tingkah laku kawinkerbau jantan: (a) Memisahkan batina estrus dari kelompok betina lain, (b) Mencium geinital betina, (c) Flehmen, (d) Mounting, (e) Ereksi, (f) Intromisi dan Ejakulasi serta (g) Refraktori.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada tingkah laku estrus, bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh
merupakan tanda yang paling mudah diamati untuk menentukan estrus atau
tidaknya kerbau betina.
Saran
Disarankan pada penelitian selanjutnya agar dilakukan sinkronisasi estrus
pada kerbau betina, sehingga estrus lebih mudah diamati dan waktunya dapat
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B.T., 1996. Sistem Reproduksi Sapi dalam: Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Arman, C., 2005. Penyisian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Fakultas Peternakan Unversitas Mataram, NTB.
Bamualim, A., M. Zulbardi dan T. Chalid, 2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi dan Pengembangan Kerbau di Indonesia. Makalah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 1 – 10.
Becker, J.B., M. Breadlove, D. Crews, 1992. Behavioral Endocrynology. The Mit Press Cambridge, Masschusetts.
Ditjennak, 2008. Data Populasi Kerbau dari: Statistika Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Erdiansyah, E. dan A. Anneke, 2007. Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Antara Subpopulasi Kerbau Rawa Lokal di Kabupaten Dompu. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Pertanian, Bogor. Hal: 55 – 67.
Fayed, R., 2008. Puberty and Maturity in: Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Ethology, Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University.
Frandson, R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Praseno, K. UGM Press, Yogyakarta.
Hafez. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.
Handiwirawan, E. dan A. Anneke, 2008. Tingkah Laku Kerbau Rawa dalam: Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor. Hal: 97 – 103.
Handiwirawan, E., Suryana dan T. Chalid, 2008. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor.
Nasional Usaha Ternak Kerbau. Dinas Pertanian dan Pangan Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Hal: 68 -71.
Ibrahim, L., 2008. Produksi Susu, Reproduksi dan Manajemen Kerbau Perah di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Vol (5) No. 1. Hal: 1 – 9.
Ismanto, A. H., 2003. Partisipasi Peternak dan Tingkat Keterampilan Inseminator dalam Program Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor. Muara Muntai Kabupaten Kartanegara Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 5 – 9.
Marawali, A., M. T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Jakarta.
Mottershead, J., 2001. Hormones Active During The Estrous Cycle of Mare in: The Mare Estrous Cycle. Seminar Course Note.
Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.
Najamuddin, 2010. Periode Siklus Estrus dalam: Kajian Pola Reproduksi Ternak. Makalah Pascasarjana IPB, Bogor.
Praharani, L., 2008. Karakteristik dan Populasi Ternak kerbau dalam: Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Makalah. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 29 – 37.
Ranjhan, S.K. and N.N., Pathak, 1998. Reproduction and Breeding in: Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing House Pvt, Ltd, New Delhi. pp: 209 – 298.
Senger, P. L., 1999. Reproduvtive Behaviour in: Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Conceptions, Inc. Washington State University. pp: 189 – 205.
Sitorus, A. J., dan A. Anneke, 2008. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional dan Usaha Ternak kerbau, Bogor. Hal: 38 – 43.
Siregar, A. R., 2002. Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi untuk Meningkatkan Produksi Kerbau. Makalah. Balai Pembibitan Ternak, Bogor.
Tappa, B., 2007. Bioteknologi Reproduksi Untuk Pengembangan Kerbua Belang dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Hal: 40 – 48.
Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Widiyono, I., 2008. Komparasi Siklus Estrus pada Beberapa Macam Hewan dalam: Hewan Produksi Ruminansia dan Non Ruminansia. Materi Kuliah. UGM, Yogyakarta.
Wikipedia, 2009. Four Phases of Estrous in: Estrous Cycle.