• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN

KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)

SKRIPSI

Oleh:

Nur Ari Murni Hasibuan

080306004

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

▸ Baca selengkapnya: tanda-tanda mengenai dampak dari hidup beriman dan berpengharapan adalah

(2)

TANDA-TANDA ESTRUS DAN TINGKAH LAKU KAWIN

KERBAU MURRAH (Bubalus bubalis)

SKRIPSI

Oleh:

NUR ARI MURNI HASIBUAN

080306004

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis)

Nama : Nur Ari Murni Hasibuan

NIM : 080306004

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc Hamdan, S.Pt, M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan

(4)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku

Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI

HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan

Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit,

Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk

penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati

aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian

ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau.

Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi

kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan

frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU

sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua

aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas

reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,

urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk

dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.

(5)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin

Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan

HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU)

Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei

2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk

penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus

estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat

digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan

data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta

tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU

sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua

aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas

reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,

urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk

dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi dengan judul “Siklus Estrus dan Tingkah Laku Kawin Kerbau

Murrah (Bubalus bubalis)” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh

gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas

SumateUtara, Medan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc sebagai ketua pembimbing dan Hamdan,

S.Pt, M.Si sebagai anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan

kepada Bapak Kepala BPTU Babi dan Kerbau Siborongborong, Tapanuli Utara

yang telah memberikan fasilitas tempat dan hewan penelitian. Ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan

dan memberi dukungan moril serta spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah Pubertas ... ….. 6

(9)

DAFTAR TABEL

No

1. Populasi ternak kerbau di 10 Provinsi di Indonesia ... 6

2. Umur pubertas pada beberapa ternak ... 6

3. Variasi umur pubertas kerbau di beberapa negara ... 7

4. Siklus reproduksi pada beberapa ternak ... 11

5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina ... 11

6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak ... 17

7. Tingkah laku estrus kerbau betina ... 20

8. Tingkah laku kawin kerbau jantan ... 20

9. Rataan lama tingkah laku estrus kerbau betina ... 24

(10)

DAFTAR GAMBAR

No.

1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina ... 12

2. Grafik rataan frekuensi pemunculan tingkah laku estrus pada kerbau betina ... 22

3. Aktivitas estrus kerbau betina ... 25

4. Rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan... 26

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

(12)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Tanda-Tanda Estrus dan Tingkah Laku

Kawin Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI

HESTI WAHYUNI dan HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan

Ternak Unggul (BPTU) Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit,

Tapanuli Utara mulai Mei 2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk

penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati

aktivitas estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian

ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau.

Pencatatan data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi

kemunculannya serta tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan

frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU

sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua

aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas

reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,

urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk

dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.

(13)

ABSTRAK

NUR ARI MURNI HASIBUAN, 2013 : Siklus Eestrus dan Tingkah Laku Kawin

Kerbau Murrah (Bubalus bubalis). Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan

HAMDAN. Penelitian dilaksanakan di Balai pembibitan Ternak Unggul (BPTU)

Babi dan Kerbau Siborongborong Instalasi Silangit, Tapanuli Utara mulai Mei

2012 – Oktober 2012.

Informasi mengenai siklus estrus sangat diperlukan peternak untuk

penerapan teknologi reproduksi pada ternak kerbau. Penelitian ini mengamati siklus

estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus bubalis). Penelitian ini dapat

digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan kerbau. Pencatatan

data meliputi tingkah laku estrus kerbau betina dan frekuensi kemunculannya serta

tingkah laku kawin kerbau jantan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku estrus kerbau di BPTU

sangat sulit diamati. Hampir semua kerbau betina menunjukkan silent heat. Semua

aktivitas reproduksi kerbau hanya terjadi di malam hari. Tidak ada satupun aktivitas

reproduksi yang terjadi pada siang hingga sore hari. Bersedia didekati pejantan,

urinasi dan melenguh merupakan tanda estrus yang paling mudah diamati untuk

dijadikan informasi mengenai estrus atau tidaknya seekor kerbau betina.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Unsur pertanian pangan yang berorientasi pada tanaman padi berkembang

dengan baik, maka peternakan kerbau hampir sama tuanya dengan pertanian itu

sendiri. Kebanyakan peternakan kerbau di negara-negara sedang berkembang

dilakukan pada bagian pertanian kecil. Pada umumnya, tujuan peternakan kerbau

adalah sebagai ternak tenaga kerja, sedang tujuan kedua adalah sebagai penghasil

susu dan daging. Namun pemanfaatan ternak kerbau sebagai pedaging hanya

berlaku terhadap ternak tua atau ternak dengan nilai ekonomi yang rendah.

Kerbau merupakan hewan ternak besar yang populasinya paling sedikit jika

dibandingkan dengan sapi, kambing dan domba. Bahkan, dari tahun ketahun

populasi kerbau pun semakin menurun. Ada beberapa penyebab penurunan jumlah

populasi ternak kerbau ini yaitu diantaranya tingkat reproduksi yang rendah dan

tingkat pemotongan kerbau itu sendiri yang sangat tinggi setiap tahunnya, yaitu 1,3

% per tahun (Susilawati dan Bustami, 2008).

Sedangkan untuk kerbau perah jenis murrah, populasinya masih sangat

sedikit di Indonesia. Mungkin karena sebenarnya asal kerbau ini dari luar, yaitu dari

India. Dengan sedikitnya jumlah kerbau perah, khususnya kerbau Murrah di

Indonesia, menyebabkan manfaat lain dari kerbau belum banyak dimengerti dan

disadari oleh masyarakat. Ternak kerbau bangsa Murrah diharapkan dapat

berkembang dengan baik di Indonesia, terutama didaerah yang beriklim hampir

(15)

Reproduksi yang kurang baik dari ternak kerbau adalah faktor utama yang

membatasi kinerja kerbau dan pencapaian perbaikan mutu genetiknya. Kerbau

mempunyai umur beranak pertama kali yang sangat tinggi, yaitu pada umur 2 - 3

tahun. Kegagalan reproduksi pada ternak kerbau disebabkan oleh reproduksi kerbau

itu sendiri yang kurang mendapat perhatian. Peternak seringkali menganggap

enteng masalah ini meskipun siklus kerbau betina dianggap kurang reproduktif

(karena sifat estrusnya yang silent heat).

Pengendalian perkawinan dengan menggunakan inseminasi buatan (IB)

ataupun kawin alam sangat ditentukan oleh penentuan berahi . Dengan penentuan

berahi yang tepat akan dapat ditentukan waktu perkawinan yang tepat agar

didapatkan fertilisasi yang baik dan menghasilkan angka kelahiran yang tinggi.

Berahi pada kerbau seperti dikemukakan oleh beberapa ahli sulit dideteksi, akan

tetapi oleh sebagian pakar reproduksi, dikatakan jelas dan mudah dilihat. Dari

pengamatan yang dilaksanakan di daerah Serang, didapatkan bahwa pengetahuan

peternak terhadap tanda-tanda berahi relatif masih kurang.

Pengamatan terhadap siklus estrus kerbau betina sangat diperlukan agar

peternak dapat mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mengawinkan kerbaunya.

Maka, para peternak pun harus mengetahui tanda-tanda estrus pada kerbau. Selain

itu, fase-fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus pun harus dipahami oleh

peternak maupun masyarakat.

Tujuan Penelitian

Menganalisis tanda-tanda estrus pada kerbau Murrah (Bubalus bubalis) dan

(16)

Kegunaan Penelitian

Untuk mempermudah peternak mengatur perkawinan alamiah melalui

pengamatan siklus estrus dan tingkah laku kawin kerbau murrah (Bubalus

bubalis) dan sebagai bahan informasi bagi peternak mengenai pengamatan estrus

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Ciri-Ciri kerbau Murrah

Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal

dari India. Klasifikasi kerbau Murrah berdasarkan tata nama ilmiah menurut

(Wikipedia, 2011) sebagai berikut: kingdom: Animalia, filum: Chordata, class:

Mammalia, ordo: artiodactyla, sub ordo: Ruminansia, family: Bovidae, subfamily:

Bovinae, genus: Bubalus, spesias: B. bubalis, binomial name: Bubalus bubalis.

Klasifikasi kerbau masih belum pasti. Beberapa peneliti mengelompokkan

kerbau sebagai spesies Bubalus bubalis dengan tiga subspesies yaitu kerbau sungai

(B. Bubalus bubalis) yang berasal dari Asia selatan, kerbau rawa (B. Bubalus

carabanesis) yang berasal dari Asia tenggara dan arni atau kerbau liar (B. Bubalus

arnee).

Kerbau yang ada di Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi 2 jenis,

yaitu kerbau lumpur dan kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river

buffalo). Sebagian kerbau lokal adalah kerbau rawa (sekitar 98 %) dan sisanya

dalam jumlah kecil (sekitar 2 %) adalah kerbau sungai (Erdiansyah dan

Anneke, 2007).

Secara umum, kerbau Murrah memiliki warna kulit normal hitam dengan

bercak putih pada dahi, wajah dan ekor. Muka dan badan kerbau Murrah berukuran

lebih panjang dibandingkan dengan kerbau rawa. Ada dua variasi bentuk tanduk

kerbau Murrah, yaitu tipe sirkuler dengan ukuran panjang dan derajat lingkar yang

(18)

Produksi susu kerbau Murrah dapat mencapai 1,5 - 2,5 liter/ekor/hari

dengan lama masa laktasi sekitar 7 bulan. Kadar lemak susu kerbau yaitu

6,6 - 9,0 % dan merupakan yang tertinggi diantara ternak domestikasi. Karakteristik

karkas kerbau Murrah umumnya dengan dressing percentage diatas 55 %. Nilai

gizi susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, yaitu dengan kadar

protein 5,25 % dan kadar lemak 8,79 % sedangkan pada sapi kadar protein susunya

hanya 3,27% dan kadar lemaknya 3,45% (Bamualim, et al, 2008).

Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129

negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur

diIndonesia sebesar 2,2 juta atau sebanyak 6 % dari total populasi kerbau dunia.

Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di

Sumatera Utara dan merupakan jenis kerbau Murrah nilli-ravi. Secara umum

populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8 % antara tahun 2002

dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti di provinsi Sumatera

utara (Ditjennak, 2008). Populasi ternak kerbau di Indonesia dapat dilihat pada

(19)

Tabel 1. Populasi ternak kerbau di 10 provinsi di Indonesia

Provinsi Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

NAD 409,071 338,272 371,143 390,334 390,334 Sumbar 322,629 201,421 211,531 192,148 192,148 Sumut 263,435 259,672 261,794 189,167 155,341 Jabar 149,960 148,003 149,444 149,030 149,030 NTB 156,792 154,919 155,166 153,822 153,822 NTT 136,966 139,592 142,257 144,981 144,981 Banten 139,707 135,040 146,453 144,944 144,944 Sulsel 161,504 124,760 129,565 120,003 120,003 Jateng 122,482 123,815 112,963 109,004 109,004 Sumsel 86,528 90,300 86,777 90,160 90,160

Sumber: Data ditjennak (2008).

Karakteristik Reproduksi Kerbau Murrah

Pubertas

Pubertas adalah umur dimana sistem reproduksi ternak mulai berfungsi dan

organ reproduksinya telah siap untuk menerima embrio. Umur dan bobot badan

hewan sewaktu timbulnya pubertas berbeda-beda menurut spesiesnya. Pubertas

ternak betina (estrus pertama kali) dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan.

Perbandingan umur pubertas pada beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Umur pubertas pada beberapa jenis ternak

Jenis ternak Umur pubertas

(20)

Dibeberapa negara, umur pubertas kerbau berkisar antara 16-40 bulan. Pada

beberapa kondidi, estrus pertama terjadi pada umur 24-36 bulan. Namun pada

kerbau dengan kualitas pakan yang baik dapat mencapai pubertas pertama pada

umur 20 bulan (Lita, 2009).

Kerbau rawa mencapai umur pubertas lebih lama dibandingkan dengan

kerbau sungai, yaitu pada umur 15-18 bulan untuk kerbu sungai dan 21-24 bulan

Tabel 3. Variasi umur pubertas kerbau dari beberapa negara

Asal negara Umur pubertas (bulan)

Kerbau memiliki efisiensi reproduksi yang rendah disebabkan karena

beberapa hal yaitu: pubertas yang lambat, umur calving pertama yang tinggi,

periode past-partum anestrus panjang, periode calving interval panjang,

tanda-tanda estrus yang kurang jelas dan angka kebuntingan yang rendah. Fertilitas

kerbau hanya sekitar 35 - 40 %, ini disebabkan karena lambatnya dewasa kelamin

baik pada betina maupun pada pejantan (Tappa, 2007).

(21)

Siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis

pada ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas

perkawinan dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu

proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah fase sebelum estrus,

dimana folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh hormon FSH dan menghasilkan

estradiol. Estradiol meningkatkan suplai darah kesaluran kelamin dan

meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan ovarium. Pada fase ini, ternak

betina belum siap menerina perkawinan meskipun sudah mulai menunjukkan

tanda-tanda estrus (Najamudin, 2010).

Estrus yaitu masa ternak ingin dikawinkan dengan pejntan. Periode ini

berlangsung selama 6-30 jam, dengan rata-rata selama 20 jam. Biasanya ternak

akan tidak tenang, vulva semakin membengkak dan vestibulum berwarna merah

tua. Terlihat dengan jelas pengeluaran lendir yang mudah melekat, jernih dan

kental.CL (Corpus Luteum) akan memproduksi hormon estrogen, sehingga

produksi progesteron pun menurun. LH mencapai produksi yang cukup tinggi pada

masa estrus, ini merupakan awal atau permulaan ovulasi (Larson and

Randle, 2001).

Metestrus ditandai dengan berhentinya estrus secara tiba-tiba. Pada fase ini,

ternak masih menunjukkan gejala estrus namun tidak bersedia untuk aktivitas

perkawinan. Ovulasi terjadi dengan pecahnya folikel secara berangsur mengecil,

dan pengeluaran lendir pun berhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan

sebagian besar sel-sel barunya yang terbentuk (Wikipedia, 2009).

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus birahi, CL menjadi

(22)

fase ini, CL berkembang dengan sempurna dan pengaruh hormon yang dihasilkan,

progesteron, tampak pada dinding uterus. Bila ovum tidak dibuahi, CL akan tetap

berfungsi selama kurang lebih 19 hari, tetapi mulai berdegenerasi kira-kira pada

waktu yang bersamaan, jadi mempersiapkan kembali siklus estrus yang akan

datang.

estrus yang sulit pada kerbau menyebabkan layanan perkawinan pada kerbau

menjadi tidak mudah. Deteksi estrus umumnya dapat dilakukan dengan cara: 1)

melihat pembengkakan pada vulva berwarna merah; 2) pengeluaran

lendir dari vulva yang jelas; 3) penurunan nafsu makan; 4) keinginan untuk

berinteraksi dengan ternak lain; 5) berdiri diam bila dinaiki oleh pejantan atau

betina lain; 6) frekuensi urinasi semakin meningkat (Toelihere, 1993).

Menurut penelitian Siregar (2002), gejala estrus kerbau yang mudah diamati

adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang

estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat

mengeluarkan urine. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang ekstrim pada

saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan. Begitupun

kondisi servik yang terbuka adalah konsisten menunjukkan gejala estrus.

(23)

Konsistensi, warna dan pengeluaran sangat bervariasi selama waktu yang berbeda.

Pengeluaran cairan juga kelihatan pada phase proestrus.

Hewan yang tidak dalam masa estrus akan menolak untuk kawin. Pada

hewan yang tidak bunting, periode estrus dimulai sejak dari permulaan estrus

sampai ke permulaan periode selanjutnya. Gejala kebuntingan ternak setelah

pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam prakteknya,

bukan berarti kerbau yang tidak menunjukkan gejala estrus dapat dinyatakan

bunting. Hal yang harus dicatat adalah ternak betina yang sudah dikawinkan

mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut

terlihat. Ternak betina menjadi lebih tenang, pada ternak betina yang baru pertama

kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya pergerakan pada

perut sebelah bawah, sisi kanan dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif

(Akoso, 1996).

Perkawinan tepat waktu adalah upaya mengawinkan kerbau betina dengan

pejantan pada waktu masa berahi sebelum terjadinya ovulasi sehingga terjadi

kebuntingan. Menurut Hafez (1993), bahwa ovulasi pada ternak kerbau terjadi 15

- 18 jam sesudah akhir berahi atau 35 - 45 jam sesudah munculnya gejala berahi.

Pembuahan terjadi antara 5 – 6 jam sejak ovulasi Tambing et al.

(2000). Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, penentuan waktu terbaik untuk

perkawinan pada kerbau adalah mulai 12 - 16 jam sesudah munculnya gejala berahi

sampai 8 - 9 jam sebelum akhir berahi (Ranjhan dan Pathak, 1998) dalam

Tambing et al. (2000) dan ini telah dibuktikan oleh Avanell (1981) dalam Tambing

et al. (2000) dimana angka konsepsi yang diperoleh 57 - 83% bila diinseminasi 12

(24)

inseminasinya adalah sama pada sapi, yaitu peletakan semen pada posisi 4 (pada

pangkal corpus uteri) (Toelihere, 1993). Siklus reproduksi pada beberapa jenis

ternak dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Reproduksi pada beberapa ternak

Jenis ternak Lama estrus Ovulasi

Karakteristik reproduksi pada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik reproduksi pada kerbau betina

Karakteristik Lama

Umur Pubertas 15-36 bulan, rata-rata 21 bulan Siklus Estrus

Panjang 18-22 hari

Estrus 17-24 jam, rata-rata 21 jam

Ovulasi 18-45 jam, rata-rata 32 jam

Jumlah sel telur yang diovulasikan Usia corpus luteum

1. Hormon-hormon yang berperan dalam siklus estrus

Siklus estrus diatur oleh kelenjar hypotalamus, kelenjar pituitari dan

ovarium, yang menghasilkan hormon-hormon pengatur sistem reproduksi.

(25)

hormone (GnRH) untuk menstimulasi estrogen dan menghambat (menghentikan)

produksi progesteron. Kelenjar pituitary berfungsi menghasilkan Folicle

Stimulating Hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). FSH dan LH bekerja

secara berlawanan dengan progesteron.

Ovarium terletak didalam rongga perut bagian panggul induk. Pada

permukaan ovarium terdapat folike-folikel yang menghasilkan hormon estrogen.

Folikel-folikel ini mencapai ukuran dan kematangan pada waktu yang berbeda-beda

pada tiap siklusnya, tetapi pada umumnya hanya satu yang terovulasi. CL

bertanggung jawab untuk memproduksi progesteron. Estrogen dan progesteron

diproduksi mengikuti stimulasi FSH dan LH pada ovarium. Uterus juga terletak

pada rongga perut induk, yang berperan untuk memproduksi hormon prostaglandin

F 2 α (PGF2 α) (Rasby and Rosemary, 2011).

Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina dapat dilihat pada

(26)

Gambar 1. Sistematis hormonal terjadinya estrus pada ternak betina (Sumber: Rasby and Rosemary, 2011).

Diawali dengan pelepasan GnRH dari kelenjar hypotalamus. Polypeptida

hormon ini akan diangkat menuju kelenjar pituitary melalui suatu jaringan kapiler

yang disebut hypotalamo-hypophysel. GnRH berfungsi untuk menstimulasi atau

merangsang kelenjar pituitary untuk menghasilkan serta melepaskan FSH dan LH.

Kemudian FSH dan LH akan diangkat melalui perdaran darah menuju ovarium,

dimana akan terjadi satu rangkaian berupa proses ovulasi dan kebuntingan jika

terjadi fertilisasi (Rasby and Rosemary, 2011).

Hormon yang dihasilkan diovarium adalah estrogen dan progesteron.

Hormon-hormon ini diedarkan melalui aliran darah. Estrogen dihasilkan oleh

folikel yang terletak pada permukaan ovarium. Ketika folikel tumbuh, mka akan

dihasilkan lebih banyak estrogen. Ketika produksi estrogen meningkat, sebagaian

hormon ini akan dilepaskan kedalam aliran darah untuk menuju kelenjar pituitary

sehingga merangsang pelepasan LH. Inilah yang mempengaruhi sistem nerveus

ternak sehingga menyebabkan muncul kegelisahan pada ternak yang estrus,

penunggangan dan yang paling penting yaitu keinginan ternak untukbersedia

melakukan perkawinan. Efek lain dari peningkatan estrogen dalam darah yaitu

aliran darah keorgan genital pun akan semakin meningkat, sehingga menghasilkan

mucus (cairan) pada serviks dan vagina.

(27)

- GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormon), diproduksi di hypotalamus,

berfungsi menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi dan melepaskan

hormon-hormon gonadotropin (FSH/LH).

- FSH (Follicle stimulating hormone), diproduksi disel-sel basal pituitary

anterior, sebagai respon terhadap GnRH. Berfungsi memicu pertumbuhan dan

pematangan folikel dan sel-sel granulosa di ovarium betina, (pada pejantan

berfungsi untuk memicu pamatangan sperma ditestis).

- LH (Luteinizing Hormone), diproduksi di sel-sel kromofob pituitary anterior.

Besama FSH, LH berfungsi memicu perkembangan folikel dan juga

mencetuskan terjadinya ovulasi dipertengahan siklus. Selama fase luteal siklus

LH meningkatkan dan mempertahankan fungsi korpus luteum pasca-ovulasi

dalam menghasilkan progesteron.

- Estrogen, diproduksi terutama oleh folikel diovarium secara primer, dan dalam

jumlah yang lebih sedikit juga diproduksi dikelenjar adrenal melalui konversi

hormon androgen. Pada pejantan, diproduksi juga sebagian ditestis. Selama

kebuntingan, diproduksi juga oleh plasenta. Berfungsi sebagai stimulasi

pertumbuhan dan perkembangan pada berbagai organ reproduksi betina, juga

menstimulasi PGF2α.

- Progesteron, diproduksi terutama di Corpus Luteum diovarium, sebagian

diproduksi dikelenjar adrenal, dan pada kehamilan juga diproduksi diplasenta.

Progesteron menyebabkan terjadinya proses perubahan sekretorik (fase

sekresi) pada endometrium uterus, yang mempersiapkan endometrium uterus

berada pada keadaan yang optimal jika terjadi implantasi (Mottershead,

(28)

Tingkah Laku Kawin Ternak

1. Pre-copulatory

Pada umumnya, kerbau India mempunyai musim kawin antara bulan

September- Februari. Pada musim ini kerbau jantan mempunyai aktivitas birahi

yang sangat baik. Disamping itu, kualitas dan kuantitas semen selama musim kawin

(September-Februari) sangat tinggi. Frekuensi estrus selama masa-masa

perkawinan bisa mencapai Desember (Suthar and Dhani, 2010).

Tingkah laku seksual kerbau jantan sama dengan sapi tetapi kurang intense

dibandingkan sapi. Libido tertahan selama siang hari yang panas, terutama pada

kerbau lumpur. Kemampuan seksual kerbau jantan menurun selama musim panas

dan membaik dengan musim yang lebih dingi. Berkaitan dengan hal tersebut maka

penampungan semen bagi pejantan untuk inseminasi buatan perlu memperhatikan

faktor-faktor tersebut.

menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Tingkah laku kopulasi ditandai

dengan penerimaan jantan secara seksual (Becker et.al, 1992).

Ketika kerbau jantan didekatkan dengan kerbau betina yang estrus, kerbau

jantan biasanya akan membuka mulutnya, mengangkat bibir bagian atas (flehmen)

dan mengangkat (menegakkan) lehernya. Lalu kerbau betinaestrus pun akan segera

(29)

genital betina, terlihat juga penis pejantan keluar preputium, kemudian pejantan

akan melakukan mounting atau penunggangan (Johri, 1960).

2. Copulatory

Pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan

aktivitas pre-kopulatori. Dimulai dengan percumbuan (courtship), pada periode ini

biasanya pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain bahkan

mengusir pejantan-pejantan sub-ordinat (secara hirarki lebih rendah tingkat

sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual ditunjukkan dengan cara

menciumi daerah perineal betina vocalisation. Flehmen (nyengir atau lip curl) juga

merupakan komponen percumbuan yang khas pada jantan. Stimulus flehmen juga

dapat berupa urine atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina

estrus, pejantan akan flehmen (Toelihere, 1993).

Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali

pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan).

Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan

diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina

dan betina membrikan respon dengan cara memberikan tekanan dengan

menggunakan punggungnya kearah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan

meletakkan kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis kearah depan.

Selama proses penunggangan, organ kopulatori, itu merupakan ereksi dari kelenjar

cowper, bukan semen (Toelihere, 1993).

Intromisi terjadi karena adanya kontraksi musculus rectus abdominalis.

Setelah semua organ kopulatori keluar dari pereputium, intromisi baru terjadi.

(30)

setelah intromisi sempurna sehingga semen dapat didesposisikan pada tempat yang

sesuai dengan anatomi organ reproduksi betina. Pada kerbau, desposisi semen

terjadi didekat mulut serviks. Ejakulasi aborsif dapat terjadi apabila betina menolak

intromisi organ kopulatori pejantan (Frandson, 1996).

Frekuensi kopulasi berbeda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio,

luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual. Karakteristik

kopulasi beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak

Jenis ternak Lama kopulasi

Refraktori adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi.

Kebanyakan pejantan tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi.

Refraktori merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam

tahap kopulasi pada bagian akhir setelah ejakulasi (Toelihere, 1993).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi

dan Kerbau Instalasi Silangit Kec. Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara.

Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan dimulai pada bulan Mei sampai Oktober

(31)

Bahan dan Alat

Bahan

Hewan penelitian yang digunakan ialah: 7 ekor kerbau betina dewasa dan 1

ekor kerbau jantan dewasa. Bahan lain yang digunakan yaitu: pakan yang terdiri

atas konsentrat, hijauan dan air minum.

Alat

Alat yang digunakan ialah: 2 unit kandang kelompok, setiap kandang

dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pengambilan data dengan

menggunakan digital camera dan timer (stopwatch).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Setiap siklus

estrus dan pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina diamati. Pencatatan

data meliputi tingkah laku yang muncul dan frekuensinya. Data ditabulasi dan

rataan dibahas secara deskriptif.

Parameter Penelitian

1. Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina

Data pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau betina tertera pada Tabel.

3 Pembengkakan vulva (mengeluarkan lendir) 4 Bersedia didekati pejantan

(32)

8 Gelisah Sumber: Ranjhan and Pathak (1998).

2. Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Data tingkah laku kawin kerbau jantan tertera pada Tabel 8.

(33)

Kerbau diberikan pakan hijauan berupa king grass selama ada di dalam

kandang, frekuensi pemberian dilakukan 1 kali sehari yaitu pada sore hari (setelah

kerbau digembalakan). Konsentrat diberikan pada pagi hari yaitu pada pukul 07.00

WIB (sebelum kerbau digembalakan). Pemberian air minum dilakukan secara

adlibitum.

3. Penggembalaan kerbau

Kerbau digembalakan di padang penggembalaan yang terletak disekitar

kandang. Hijauan yang terdapat pada padang penggembalaan yaitu berupa rumput

lapangan.

4. Setiap hari dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi jantan dan setiap

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah Laku Estrus Kerbau Betina

Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan tingkah laku estrus pada kerbau

betina yang terdapat dalam satu populasi, yaitu terdiri dari 7 ekor kerbau betina dan

1 ekor pejantan. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh 7 ekor kerbau betina

yang mengalami estrus pada waktu yang berbeda-beda. Frekuensi pemunculan

(kali/hari) tingkah laku estrus kerbau betina selama penelitian dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Grafik rataan frekuensi tingkah laku estrus kerbau betina

Dari data yang diperoleh (Gambar 2), terlihat bahwa tingkah laku estrus

yang paling dominan adalah pada aktivitas bersedia didekati pejantan, urinasi dan

(35)

didekati pejantan yaitu 6,50 – 38,00 kali/hari dengan rata-rata 19,93 kali/hari.

Setiap betina yang estrus akan siap menerima pejantan untuk aktivitas

reproduksinya (kecuali bila betina berada pada fase proestrus, matestrus dan

diestrus). Inilah yang menyebabkan betina tersebut bersedia didekati oleh pejantan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Najamuddin (2010), yang menyatakan bahwa

siklus estrus merupakan suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada

ternak betina dimana ternak tersebut sudah bersedia menerima aktivitas perkawinan

dengan pejantan. Siklus estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus,

metestrus dan diestrus.

Urinasi merupakan tanda-tanda estrus kerbau yang paling mudah diamati

ketika gejala lain tidak atau sulit diamati serta dapat dijadikan patokan terbaik untuk

mengetahui apakah kerbau betina sedang estrus atau tidak. Terlihat bahwa semua

betina yang estrus menunjukkan aktivitas urinasi. Frekuensi pemunculan urinasi

tersebut yaitu antara 7,00 – 23,00 kali/hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Siregar (2002), yang menyatakan bahwa gejala estrus kerbau yang mudah diamati

adalah relatif seringnya frekuensi pengeluaran urine. Dari sekelompok kerbau yang

estrus dikeluarkan dari satu kandang dan diamati selama 20 - 30 menit dan terlihat

mengeluarkan urine sedikit-sedikit. Sifat ini khas bahkan pada musim panas yang

ekstrim pada saat tanda-tanda lain tidak kelihatan, tanda ini masih dapat digunakan.

Untuk tingkah laku estrus pada pengamatan penurunan nafsu makan sulit

diperoleh data karena kerbau-kerbau yang digunakan pada pengamatan ini

diletakkan pada kandang kelompok sehinggaa tidak memungkinkan untuk

melakukan penghitungan konsumsi pakan per individunya. Sedangkan pada

(36)

frekuensi dan lama waktunya. Karena pada saat kerbau betina estrus,

pembengkakan vulva yang disertai pengeluaran lendir terjadi dari awal estrus

sampai akhir estrus. Bagi para peternak rakyat, tanda inilah yang menjadi landasan

utama dalam mengamati apakah kerbau tersebut sedang estrus atau tidak. Karena

menurut peternak, kerbau merupakan hewan ternak yang sangat sulit diamati

tanda-tanda estrusnya (silent heat) sehingga melihat pengeluaran lendir pada vulva lebih

Lama (durasi) Pemunculan Tingkah Laku Estrus (detik)

Melenguh

Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian

Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa durasi yang paling lama terjadi pada

tingkah laku estrus kerbau adalah aktivitas bersedia didekati pejantan yaitu dengan

rataan 24,03 detik/ekor. Biasanya aktivitas ini terjadi ketika betina berada pada fase

proestrus, yaitu dimana betina tersebut sudah mulai menunjukkan gejala estrus

namun belum siap menerima aktivitas perkawinan. Sehingga pejantan hanya bisa

mendekati betina tersebut dengan cara mengikuti kemanapun betina pergi. Hal ini

(37)

estrus dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.

Proestrus adalah fase sebelum estrus, dimana folikel de graaf tumbuh dibawah

pengaruh hormon FSH dan menghasilkan estradiol. Estradiol meningkatkan suplai

darah kesaluran kelamin dan meningkatkan perkembangan vagina, tuba fallopi dan

ovarium. Pada fase ini, ternak betina belum siap menerina perkawinan meskipun

sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus.

Selain itu, terdapat pula tanda estrus lainnya yang tidak termasuk didalam

parameter pengamatan, yaitu adanya penurunan produksi susu pada betina indukan

yang sedang dalam masa laktasi. Namun tanda ini jarang menjadi acuan bagi

peternak karena tidak semua peternak kerbau Murrah melakukan pencatatan

(recording) terhadap produksi susu. Gambaran dari aktivitas estrus kerbau betina

dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)

(38)

Gambar 2. Tingkah laku estrus kerbau betina: (a) Diam didekati pejantan, (b) Gelisah, (c) Menaiki pejantan atau betina lain dan (d) Urinasi

Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diamati melalui interaksi seksual

dan kesiapan betina untuk menerima perkawinan oleh pejantan. Tingkah laku kawin

(39)

Gambar 3. Grafik rataan frekuensi tingkah laku kawin kerbau jantan

Percumbuan (courtship) merupakan awal dari proses perkawinan ternak.

Percumbuan merupakan upaya pendekatan kerbau jantan dengan kerbau betina

sebagai respon estrus yang ditunjukkan oleh betina. Tingkah laku pre-copulatory

penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya ditandai dengan belum siapnya

betina menerima pejantan secara seksual. Pre-copulatory terdiri atas 3 yaitu

memisahkan betina estrus, mencium genital betina dan flehmen. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Becker et.al. (1992), yang menyatakan bahwa tingksh laku

pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah

laku courtship dengan tidak menerima pejantan secara seksual namun betina

(40)

Mounting merupakan awal dari tingkah laku copulatory yang biasanya

diikuti oleh aktivitas intromisi dan ejakulasi. Dari data diatas, dapat kita amati

bahwa mounting adalah aktivitas perkawinan yang paling tinggi frekuensi

pemunculannya, yaitu berkisar antara 11,00 – 27,00 kali/hari dengan rata-rata 16,57

kali/hari sedangkan yang terendah adalah ejakulasi yaitu berkisar 2,00 – 4,00

kali/hari. Ini menunjukkan bahwa mounting merupakan aktivitas perkawinan yang

paling sering dilakukan oleh pejantan. Namun, tidak semua aktivitas mounting

selalu dilanjutkan dengan intromisi dan ejakulasi. hal ini sesuai dengan pernyataan

Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa mounting (penunggangan) biasanya

belum berhasil sampai beberapa kali pada saat betina masih pada fase proestrus

(belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif

menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan

meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina membrikan respon

dengan cara memberikan tekanan dengan menggunakan punggungnya kearah atas.

Bila sudah demikian, maka pejantan akan meletakkan kaki depan pada pinggul

betina dan mendorong pelvis kearah depan.

Rataan lama (durasi) tingkah laku kawin kerbau jantan dapat diihat pada

Tabel 10.

Tabel 10. Rataan lama (detik/ekor) tingkah laku kawin kerbau jantan

Ternak

Rataan Lama (detik) Tingkah Laku Kawin Kerbau Jantan

Memisahkan

Flehmen Mounting Ereksi Intromisi Ejakulasi Refraktori

Kerbau I 95.50 28.05 5.02 4.69 47.60 4.05 2.12 5.21

Kerbau II 94.19 17.74 5.04 8.90 53.64 4.99 2.00 7.66

Kerbau III 72.35 25.01 5.67 4.50 32.69 4.19 2.07 8.38

Kerbau IV 77.60 21.39 4.89 10.87 24.24 6.53 3.98 8.63

(41)

Kerbau VI 63.98 18.84 4.32 9.31 16.99 5.36 5.60 6.40

KerbauVII 65.50 25.12 3.25 4.31 26.93 3.00 2.21 5.51

Rataan 73.77 24.24 4.53 6.53 36.83 4.52 2.91 7.13

Keterangan: data diambil selama 5 bulan penelitian

Tingah laku reproduksi kerbau jantan hampir sama dengan sapi, hanya saja

kurang intens dibandingkan dengan sapi. Aktivitas ejakulasi ditandai dengan cara

melihat dorongan tulang panggul pejantan kearah depan. Dari hasil pengamatan

terlihat bahwa durasi ejakulasi kerbau jantan berkisar antara 2,00 – 3,98 detik

dengan rata-rata 2,91 detik. Hal ini didukung dengan pernyataan Siregar (1999),

yang menyatakan bahwa karakteristik kopulasi beberapa jenis ternak yaitu pada

domba 1 – 2 detik, kuda 20 – 60 detik, babi 5 – 20 menit dan sapi 1 – 3 detik.

Frekuensi kopulasi berbeda-beda menurut iklim, jenis, bangsa, individu, sex ratio,

luas kandang, periode istirahat kelamin dan rangsangan seksual.

Refraktori adalah masa istirahat ternak jantan setelah melakukan aktivitas

kopulasi. Durasi yang dibutukan pejantan untuk refraktori (pelemasan otot) yaitu

berkisar 5,21 – 8,63 detik dengan rata-rata 7,31 detik. Setelah ejakulasi, pejantan

akan diam dan tanpa melakukan aktivitas apapun selama sekitar 7,31 detik. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Toelihere (1993), yang menyatakan bahwa Refraktori

adalah masa istirahat sementara dari aktivitas reproduksi. Kebanyakan pejantan

tidak menunjukkan aktivitas seksual segera sesudah kopulasi. Refraktori

merupakan tingkah laku reproduksi ternak jantan yang termasuk dalam tahap

kopulasi bagian akhir setelah ejakulasi. Gambaran dari aktivitas kawin kerbau

(42)

(a) (b)

(c) (d)

(43)

(g)

Gambar 3. Tingkah laku kawinkerbau jantan: (a) Memisahkan batina estrus dari kelompok betina lain, (b) Mencium geinital betina, (c) Flehmen, (d) Mounting, (e) Ereksi, (f) Intromisi dan Ejakulasi serta (g) Refraktori.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada tingkah laku estrus, bersedia didekati pejantan, urinasi dan melenguh

merupakan tanda yang paling mudah diamati untuk menentukan estrus atau

tidaknya kerbau betina.

Saran

Disarankan pada penelitian selanjutnya agar dilakukan sinkronisasi estrus

pada kerbau betina, sehingga estrus lebih mudah diamati dan waktunya dapat

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T., 1996. Sistem Reproduksi Sapi dalam: Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Arman, C., 2005. Penyisian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Fakultas Peternakan Unversitas Mataram, NTB.

Bamualim, A., M. Zulbardi dan T. Chalid, 2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi dan Pengembangan Kerbau di Indonesia. Makalah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 1 – 10.

Becker, J.B., M. Breadlove, D. Crews, 1992. Behavioral Endocrynology. The Mit Press Cambridge, Masschusetts.

Ditjennak, 2008. Data Populasi Kerbau dari: Statistika Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Erdiansyah, E. dan A. Anneke, 2007. Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Antara Subpopulasi Kerbau Rawa Lokal di Kabupaten Dompu. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Pertanian, Bogor. Hal: 55 – 67.

Fayed, R., 2008. Puberty and Maturity in: Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Ethology, Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University.

Frandson, R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan oleh Srigandono, B. dan Praseno, K. UGM Press, Yogyakarta.

Hafez. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.

Handiwirawan, E. dan A. Anneke, 2008. Tingkah Laku Kerbau Rawa dalam: Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor. Hal: 97 – 103.

Handiwirawan, E., Suryana dan T. Chalid, 2008. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen Produksi yang Optimal. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional, Bogor.

(46)

Nasional Usaha Ternak Kerbau. Dinas Pertanian dan Pangan Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Hal: 68 -71.

Ibrahim, L., 2008. Produksi Susu, Reproduksi dan Manajemen Kerbau Perah di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Vol (5) No. 1. Hal: 1 – 9.

Ismanto, A. H., 2003. Partisipasi Peternak dan Tingkat Keterampilan Inseminator dalam Program Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor. Muara Muntai Kabupaten Kartanegara Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 5 – 9.

Marawali, A., M. T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Reproduksi Ternak. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Jakarta.

Mottershead, J., 2001. Hormones Active During The Estrous Cycle of Mare in: The Mare Estrous Cycle. Seminar Course Note.

Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.

Najamuddin, 2010. Periode Siklus Estrus dalam: Kajian Pola Reproduksi Ternak. Makalah Pascasarjana IPB, Bogor.

Praharani, L., 2008. Karakteristik dan Populasi Ternak kerbau dalam: Tinjauan Performa Persilangan Kerbau Sungai X Kerbau Lumpur. Makalah. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 29 – 37.

Ranjhan, S.K. and N.N., Pathak, 1998. Reproduction and Breeding in: Textbook on Buffalo Production. Vikas Publishing House Pvt, Ltd, New Delhi. pp: 209 – 298.

(47)

Senger, P. L., 1999. Reproduvtive Behaviour in: Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Conceptions, Inc. Washington State University. pp: 189 – 205.

Sitorus, A. J., dan A. Anneke, 2008. Karakteristik Morfologi dan Estimasi Jarak Genetik Kerbau Rawa, Sungai (Murrah) dan Silangannya di Sumatera Utara. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional dan Usaha Ternak kerbau, Bogor. Hal: 38 – 43.

Siregar, A. R., 2002. Penentuan dan Pengendalian Siklus Berahi untuk Meningkatkan Produksi Kerbau. Makalah. Balai Pembibitan Ternak, Bogor.

Tappa, B., 2007. Bioteknologi Reproduksi Untuk Pengembangan Kerbua Belang dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Bogor. Hal: 40 – 48.

Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Widiyono, I., 2008. Komparasi Siklus Estrus pada Beberapa Macam Hewan dalam: Hewan Produksi Ruminansia dan Non Ruminansia. Materi Kuliah. UGM, Yogyakarta.

Wikipedia, 2009. Four Phases of Estrous in: Estrous Cycle.

Gambar

Tabel 2. Umur pubertas pada beberapa jenis ternak
Tabel 3. Variasi umur pubertas kerbau dari  beberapa negara
Tabel 4. Reproduksi pada beberapa ternak
Gambar 1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan terhadap tingkah laku estrus pada saat penelitian menunjukkan bahwa pada seiring dengan waktu terjadinya estrus, maka skor tingkah laku estrus juga semakin

Penelitian sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan pada kerbau lumpur ( Bubalus bubalis ) telah dilakukan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan pembuatan

Deskriptif prospektif dalam penelitian ini sendiri mempunyai pengertian suatu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan tingkah laku makan berdasarkan jumlah

dengan cara mencium atau menjilat pada bagian tubuh ataupun pada bagian kelamin betina yang lain, urinasi merupakan gejala tingkah laku estrus pada rusa betina yang disebabkan

Hasil pengamatan respon estrus pada kerbau setelah disinkronisasi metode konvensional, cosynch , dan ovsynch protocol setelah Injeksi PGF2α dapat dilihat pada Tabel

Simpulan dari penelitian ini adalah selama satu siklus estrus rusa Timor menunjukkan tingkah laku urinasi, following, kissing other female, walking around the fence, shouting,

Pada pengamatan tingkah laku pemijahan ikan kerapu tikus di BBAP Situbondo dan tingkah laku pemijahan ikan kerapu tikus pada beberapa literatur menunjukkan bahwa tidak ada

Penelitian tingkah laku ini secara statistik tidak menunjukan perbedaan pada tingkah laku makan, namun ada kencenderungan jumlah tingkah laku makan ayam broiler