• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Belajar matematika Brunner Dienes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teori Belajar matematika Brunner Dienes"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Belajar matematika

(Brunner, Dienes, Ausubel)

A. Pendahuluan

Kegiatan belajar, sering dikaitkan dengan kegiatan mengajar. Begitu eratnya kaitan tersebut, sehingga keduanya sulit dipisahkan. Dalam percapakan sehari-hari sering didengar istilah kegiatan belajar-mengajar” menjadi satu kesatuan. Bahwa kedua kegiatan tersebut berkaitan erat adalah benar. Namun, dalam setiap kegiatan belajar tidak harus selalu ada orang yangmengajar. Kegiatan belajar bisa saja terjadi walaupun tidak ada kegiatan mengajar. Begitu pula sebaliknya, kegiatan mengajar tidak selalu dapat menghasilkan kegiatan belajar.

Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat belajar para siswanya. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan belajar hanya bisa berhasil jika si belajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar.

Seorang guru tidak dapat mewakili belajar untuk siswanya. Seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Ada satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar terjadi kegiatan belajar. Syarat itu adalah adanya interaksi antara pebelajar (learner) dengan sumber belajar. Jadi, belajar hanya terjadi jika dan hanya jika terjadi interaksi antara pebelajar dengan sumber belajar. Tanpa terpenuhi syarat itu, mustahil kegiatan belajar akanterjadi.

(2)

Sebagian besar orang memahami bahwa psikologi pembelajaran membahas tentang bagaimana seseorang belajar, bagaimana orang tersebut melakukan atau melakssiswaan suatu tugas, dan tentang bagaimana ia bisa berkembang. Pengertian tersebut dinyatakan Resnick dan Ford (1984) yaitu: “Most people know psychology is concerned with how people learn, with how they perform tasks, and with how they develop.

Psikologi pembelajaran matematika menurut Resnick dan Ford (1984:4) adalah ilmu yang mengkaji tentang struktur atau susunan bangunan matematika itu sendiri dan mengkaji juga tentang bagaimana seseorang itu berpikir (think), bernalar (reason), dan bagimana ia menggunakan kemampuan intelektualnya tersebut. Pada akhir-akhir ini, banyak ahli pembelajaran matematika yang muncul, di antaranya Resnick dan Ford yang telah menulis buku berjudul “The Psychology of Mathematics for Instruction” dan juga Orton yang menulis buku “Learning Mathematics”. Kedua buku tersebut membahas teori belajar yang langsung dikaitkan dengan materi matematika.

Pada pelajaran matematika, teori belajar yang menekankan pada aspek kognitif akhir-akhir ini sangat banyak dikembangkan seiring dengan munculnya pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran, Seperti model pembelajaran penemuan (discovery learning) yang dikembangkan oleh Brunner dimana Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri.

(3)

tahap-tahap yang benar. Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu satu aplikasi teori pembelajaran yang dikembangkan oleh J. Brunner, Dienes, Teori Ausubel

B. Teori Belajar Matematika Menurut J.Bruner

Bruner sebagai salah satu ahli psikologi dan pemikir mengembangkan sebuah teori belajar yang berlandaskan pandangan konstruktivisme dan sangat berkaitan dengan teori belajar kognitif. Teori kontrukstivis Brunner telah dipengaruhi oleh penelitian-penelitian tentang teori kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Lev Vigotsky sebelum, teori ini mengakui bahwa siswa dapat membangun atau mengkonstruksi konsep-konsep atau ide-ide baru dari pengetahuan yang sudah dia miliki. Proses belajar menjadi sangat aktif dan melibatkan transpormasi informasi, menurunkan makna dari pengalaman, membentuk hipotesis dan mengambil keputusan. Dalam teori ini siswa dianggap sebagai pencipta dan pemikir dengan menggunakan informasi yang ada untuk menemukan konsep dan pengalaman baru dalam belajar matematika.

Dalam pengajaran disekolah, Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencakup:

a) Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. b) Pensturkturasi pengetahuan untuk pemahaman optimal

Dalam penyajian materi ada 3 tahapan penting yang harus diperhatikan dalam mengaplikasikan teori ini yaitu:

a) Tahapan Enaktif: Pengetahuan sebagian besar dalam bentuk respon motorik, siswa dapat lebih baik menunjukkan pekerjaan pisik ketimbang mendeskripsikan secara tepat tugas yang sama, dalam hal ini peserta masih membutuhkan benda konkret dari sesuatu.

(4)

didasarkan atas pikiran internal, pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu.

c) Tahapan simbolik: Pada tahap ini pengetahuan sudah di bangun dengan menggunakan simbol-simbol matematika dan bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/ pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep an kemungkinan alternative dalam suatu cara kombinatorial

Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.

Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret. Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram . Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan operasi matematika dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari objek-objek tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan operasi matematika dengan menggunakan lambang-lambang matematis (Suwarsono,2002) .

(5)

Teorema ini menyatakan bahwa bagi siswa cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri.

Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila siswa disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, siswa lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena siswa memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh siswa bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit.

Contoh, untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 3 kotak dan empat kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang sama untuk dua bilangan yang lainnya siswa-siswa akan memahami konsep penjumlahan dengan pengertian yang mendalam.

2. Teorema Notasi

Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh siswa, tidak rumit dan mudah dimengerti.

(6)

dituliskan y = 2x + 3, setelah siswa memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.

Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.

3. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman

Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada siswa mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian siswa dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut.

Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada siswa diberikan padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.

4. Teorema pengaitan (Konektivitas)

Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras

atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.

(7)

Dengan melihat kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa keempat teorema tersebut tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.

Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning) (Dahar R.,1988). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (yaitu kegiatan belajar dengan pemahaman). Belajar bermakna merupakan satu-satunya jenis belajar yang mendapat perhatian Bruner.

Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-pninsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.

Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukan beberapa kebaikan, diantaranya:

a) pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.

(8)

situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.

c) Bahwa belajar penemuan membangkitkan keinginan-tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Lagi pula pendekatan ini dapat mengajarkan keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.

Bruner menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu, karena itu dalam bukunya ‘The Relevance of Education”, Ia menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.

Dalam menerapkan belajar penemuan pada siswa, perlu diperhatikan juga pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru dalam pembelajaran matematika, (Dahar R.,1988).

a. Pendekatan Spiral dalam Pembelajaran Matematika

Berdasarkan peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner (Suwarsono,2002) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiral approach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat pembelajaran yang satu ke saat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari, termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan.

(9)

kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang digunakan.

Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa.

b. Metoda dan Tujuan

Dalam belajar penemuan, metoda dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual para siswa, dan merangsang keinginan tahu mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.

Jadi, kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat siswa berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.

Tujuan pembelajaran hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan càra-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu. Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam proses belajar mengajar?

Peranan guru lain sekali bila dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metoda ceramah. Dalam belajar penemuan ini, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar.

(10)

Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut : (i) merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa. (ii) menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. (iii) Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas terdahulu, yaitu cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik.

Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.

Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.

Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.

(11)

Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.

C. Teori Belajar Matematika Menurut Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget dan Bruner, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Seperti halnya Piaget dan Bruner, Dienes dianggap sebagai salah satu tokoh konstruktivisme dan teori belajar yang diajukannya dimasukkan ke dalam rumpun teori belajar kognitif. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.

Menurut Dienes, belajar matematika itu melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah dibentuk sebelumnya. Jadi bila suatu materi yang menjadi prasyarat dari materi yang lebih lanjut belum dipelajari atau pun belum dipahami dengan baik, maka tidak mungkin dapat dipahami dengan baik atau dengan kata lain, materi prasyarat harus diajarkan mendahului materi yang lebih tinggi.(Orton, 1992).

(12)

tersebut lebih baik, diingat lebih lama, dan mampu menerapkan konsep tersebut pada konteks lain yang berkaitan. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan pengalaman belajar atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa itu sendiri dan ini berlangsung secara mental. Dengan kata lain, pembelajaran matematika adalah proses membangun pengetahuan matematika.

Suatu pembelajaran harus dilakukan secara konstruktif, yaitu dengan cara membangun pemahaman anak terhadap suatu konsep yang diajarkan berdasarkan dari sejumlah kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian anak membangun pemahamannya sendiri terhadap suatu konsep dimana guru hanya mengarahkan agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.

Dienes percaya bahwa anak-anak secara alami secara mendasar memiliki sifat konstruktivis daripada analitis. Mereka membangun sebuah pemahaman dari pengalaman dengan menggunakan benda-benda nyata. Namun proses ini sangat bergantung pada seberapa aktif anak dalam mengekplorasi hal-hal yang dilakukannya dalam pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran matematika, Dienes (Orton, 1992) merekomendasikan beberapa perangkat belajar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran konsep-konsep matematika, yaitu:

1. Multibase Arithmatics Block (MAB)

Gambar 1. Contoh MAB 2. Algebraic Experience Material (AEM)

(13)

Gambar 2. Contoh Dienes’ Balance 4. Logical Block

Gambar 3. Contoh Logical Block

Dalam penggunaan alat-alat di atas, Dienes mengarahkan kepada pembentukan suatu struktur dengan cara menyusunnya ke dalam bentuk-bentuk tertentu sesuai konsep yang diajarkan. Kemudian dari bentuk-bentuk-bentuk-bentuk yang telah dibuat dicari kesamaan-kesamaan ataupun pola-pola yang sama di antara bentuk-bentuk tadi. Dari sanalah maka akan diperoleh suatu konsep matematika yang diajarkan kepada anak didik. (Mark dan Cindy, 1984).

Supaya berpikir matematik bisa efektif maka abstraksi dan generalisasi harus menjadi perhatian utama. Abstraksi dan generalisasi merupakan bagian berpikir matematik yang bermanfaat karena dari keduanyalah matematika dapat diaplikasikan ke situasi nyata, baik yang belum diketahui maupun yang sudah terduga.

Agar suatu pembelajaran matematika dapat tercapai dengan optimal maka diperlukan suatu acuan teori tentang bagaimana seharusnya suatu konsep matematika tersebut harus diajarkan. Menurut Dienes (Orton, 1992) pembelajaran matematika itu harus memperhatikan 4 prinsip, yaitu:

1. Prinsip dinamik, proses pemahaman konsep berjalan dari pengalaman ke penetapan klasifikasi (Hudojo, 2001). Jadi, anak-anak mempelajari sesuatu melalui proses penjelasan dan eksperimen untuk membentuk atau menemukan satu konsep matematika.

(14)

3. Prinsip variabilitas matematik, setiap konsep matematika menyertakan variabel-variabel esensial yang perlu dibuat bermacam-macam bila generalisasi dari konsep matematika itu telah tercapai (Hudojo, 2001). Jadi suatu konsep matematika itu mengandung berbagai variabel yang bervariasi sehingga pembelajaran terhadap suatu konsep haruslah memperhatikan variabel-variabel tersebut.

4. Prinsip variabilitas perseptual, bahwa untuk mencapai suatu abstraksi yang efektif dari struktur matematika, haruslah diakomodasikan sebanyak mungkin situasi-situasi yang berbeda untuk struktur atau konsep yang sama (Hudojo, 2001). Hal ini mengandung arti bahwa apabila dalam pembelajaran suatu konsep matematika, agar konsep tersebut bisa dipahami dengan baik maka haruslah diberikan berbagai contoh atau perspektif-perspektif yang berbeda mengenai konsep tersebut. Dari berbagai perspektif-perspektif tersebut maka seseorang akan dapat mengambil suatu inti darinya yang merupakan konsep matematika yang diajarkan.

Suatu konsep matematika biasanya berisi variabel yang bervariasi dan merupakan ketetapan dari suatu hubungan yang membentuk suatu konsep matematika. Seperti pada pembelajaran tentang persegi, tentang panjang dan orientasi sudut haruslah berbeda-beda. Terkadang guru hanya memberikan berbagai bentuk yang tidak bervariasi. Pembelajaran haruslah diberikan dalam sebuah pendekatan yang sesuai sehingga tidak membingungkan anak. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip variabilitas matematik tidak boleh diabaikan.

(15)

Dari gambar di atas dapat diambil suatu persamaan berikut: 32=22+2×2+1

42=32+2×3+1 52=42+2×4+1 62

=52

+2×5+1

Sehingga dapat disimpulkan bahwa:

(x+1)2=x2+2x+1

Rumus yang telah diperoleh tidak dibuktikan. Bilangan-bilangan yang terbentuk bervariasi tetapi mempunyai struktur sama maka prinsip variabilitas matematika telah diterapkan.

Kemudian dengan menerapkan berbagai cara yang beragam yang menunjukan kondisi penerapan prinsip variabilitas perseptual seperti dengan dua baris bintang dan seterusnya seperti gambar berikut:

Dan seterusnya sehingga diperoleh:

(x+2)2=x2+4x+4

(x+3)2=x2

+6x+9

(x+4)2=x2+8x+16 Dan seterusnya

Dari percobaan-percobaan dan representasi-representasi di atas maka diperoleh rumus umumnya:

(x+a)2=x2

+2ax+a2

Dan juga

(ax+1)2=a2x2+2x+1

(16)

Teori pembelajaran Dienes sangat memuaskan dalam berbagai hal. Hal ini dengan dimasukkannya teori pembelajaran Dienes ke dalam bagian teori belajar kognitif yang dibangun oleh Piaget dan Bruner yang mendapat banyak perhatian dari para pendidik. Beberapa isu penting yang diajukan adalah percepatan cara belajar dan cara mengatasi perbedaan individu dalam suatu grup. Pada saat ini belajar memberikan penekanan pada kepercayaan bahwa pengetahuan dibangun oleh masing-masing individu, bukan hanya cukup ditransfer dari guru kepada peserta didik. Prinsip konstruktivistik Dienes dapat dipandang sebagai dasar dalam melihat konstruktivisme.

Namun tidak dapat disangkal bahwa teori belajar ini juga memiliki keterbatasan karena prinsip konstruktivistik yang berkaitan dengan konsep pembelajaran individu dan hubungan antara belajar dari konsep-konsep baru dan struktur pengetahuan yang ada di pikiran tidak dipertimbangkan. Padahal seperti telah disebutkan di atas bahwa matematika bersifat hirarkis sehingga prasyarat haruslah dikuasai terlebih dahulu sebelum konsep lanjutannya diajarkan.

Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Sebuah pembelajaran terhadap suatu konsep akan mudah dipelajari jika konsep tersebut diajarkan mulai dari hal-hal yang sederhana hingga kepada hal-hal-hal-hal kompleks yang disusun secara sistematis akan dapat membentuk suatu pemahaman yang utuh pada tingkatan akhir dari proses pembelajaran tersebut.

Menurut Dienes, pembentukan konsep matematika dapat dicapai melalui serangkaian pola yang saling berhubungan dalam sebuah urutan kegiatan pembelajaran dari konkret ke simbolis (abstrak). Sebuah pembelajaran merupakan interaksi yang terencana antara bagian dari struktur pengetahuan dengan sebuah pebelajar aktif, menggunakan media khusus yang dirancang untuk materi matematika.

(17)

enaktif, ikonik, dan simbolik. Di mana ketiga tahapan tersebut terurut dari hal-hal yang bersifat konkrit kepada hal-hal yang bersifat abstrak.

Dari tahapan belajar Bruner tersebut Dienes membagi tahap-tahap belajar yang pada awalnya hanya terdiri dari 3 tahap menjadi 6 tahapan belajar. Namun tahapan belajar yang dilewati oleh setiap anak-anak tidaklah selalu sama untuk tiap tingkatan usia. Adapun tahapan belajar Dienes secara umum adalah :

1. Permainan Bebas (Free Play)

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengutak-atik (memanipulasi) berbagai benda konkrit dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajari. Selama permainan pengetahuan anak muncul.

Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap dalam mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep. (Tim MKPBM, 2001)

Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.

2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)

(18)

dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu.

Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).

3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)

Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.

Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).

4. Permainan Representasi (Representation)

(19)

5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal (Tim MKPBM, 2001). Dari berbagai hal yang dilakukan anak membuat suatu penyimbolan atau menyatakannya dengan suatu ungkapan yang bersesuaian dengan segala sifat-sifat yang sama yang ditemukan dari percobaan-percobaan terhadap benda-benda konkrit tadi. Pada tahap ini anak sudah memperoleh suatu konsep yang besifat abstrak.

Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)

(20)

secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodiment) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.

Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perceptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain.

Dalam siklus pembelajaran, siswa diarahkan pada peningkatan kemampuan manipulasi terkontrol atau permainan dengan beberapa sajian dari konsep-konsep yang diajarkan. Hal ini dilakukan untuk membantu mereka menemukan cara untuk menyampaikan tentang temuan mereka. Menurut Dienes, langkah berikutnya adalah mendorong siswa untuk belajar lebih jauh kepada hal-hal yang abstrak dari bahan-bahan konkret seperti menggambar grafik atau peta hingga akhirnya pada penyimbolan matematis dari suatu konsep.

Penggunaan simbol-simbol digunakan untuk membantu siswa dalam membentuk suatu pola dan hubungan dari suatu kegiatan tentang konsep matematika yang mereka lakukan. Dengan begitu, siswa diharapkan memperoleh suatu kesenangan untuk berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi berdasarkan pengalaman matematis mereka.

(21)

untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbol-simbol dengan konsep tersebut.

Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru.

Dalam pembelajaran matematika, teori belajar Dienes diterapkan dalam tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Tahapan tersebut dimulai dari hal-hal yang bersifat sederhana menuju pada hal-hal yang kompleks dan abstrak. Tahapan tersebut dapat diterapkan pada pembelajaran konsep berbagai bidang matematika seperti aritmatika, geometri, dan aljabar.

Sebagai gambarannya maka akan diberikan sebuah contoh pembelajaran tentang konsep persamaan kuadrat dengan menerapkan teori belajar Dienes.

D. Teori Belajar Matematika Menurut Ausubel

Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel (Hudoyo, 1998) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakana” artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual, emosional siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

(22)

Ausubel juga membedakan antara brelajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.

Ausubel menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurutnya baik metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.

Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :

1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning), belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

(23)

Belajar hafalan

Dari gambar diatas dapat dikatakan bahwa belajar penerimaan yang bermakna dapat dilakukan dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep, sedangkan belajar penemuan yang masih berupa hafalan apabila belajar dilakukan dengan pemecahan masalah secara coba-coba. Belajar penemuan yang bermakna hanyalah terjadi pada penelitian ilmiah

Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi.

Pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Kedua,

menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.

Dalam kaitannya dengan tipe belajar, Ausubel mengemukakan empat tipe belajar, yaitu:

i. Belajar dengan penemuan yang bermakna

Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.

(24)

Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.

iii. Belajar menerima yang bermakna

Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik secara bermakna. iv. Belajar menerima yang tidak bermakna

Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik (Hudoyo, 1990)

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi.

Hal ini dirinci oleh Ausubel dalam beberapa kondisi belajar bermakna: 1) Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan baru dengan

(25)

2) Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.

3) Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.

4) Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.

Sebagaimana disimpulkan oleh Rosser (Dahar, 1988) bahwa belajar bermakna dapat terjadi bila memenuhi tiga komponen yaitu materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memesukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrar dan substantif. Jika salah satu komponen tidak ada,maka materi itu akan dipelajari secara hafalan. Ausubel mengungkapkan beberapa prinsip dalam teori belajarnya, diantaranya:

1) Advance Organizer

Advance Organizer mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Advance Organizer dapat dianggap merupakan suatu pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru (Dahar, 1988)

2) Diferensiasi Progresif

Selama belajar bermakna berlangsung perlu terjadi pengembangan konsep dari umum ke khusus. Dengan strategi ini guru mengajarkan konsep mulai dari konsep yang paling inklusif, kemudian kurang inklusif dan selanjutnya hal-hal yang khusus seperti contoh- contoh setiap konsep. Sehubungan dengan ini dikatakan Sulaiman (1988) bahwa diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar

3) Belajar Superordinat

(26)

besar guru-guru dan buku-buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih inklusif (Dahar:1988).

4) Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif)

Menurut Ausubel, selain urutan menurut diferensiasi progresif yang harus diperhatikan dalam mengajar, juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan dengan konsep-konsep-konsep-konsep yang superordinat (Dahar, 1988). Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi mengambil arti baru.

Untuk menerapkan teori belajar Ausubel, Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase yaitu fase perencanan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan advance organizer. Fase pelaksanakan terdiri dari advance organizer, diferensiasi progresif dan rekonsiliasi integratif:

a. Fase Perencanaan

i. Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi. Sebagaimana dikatakan Sulaiman (1988), bahwa model Ausubel tidak dirancang untuk mengajarkan konsep atau generalisasi, melainkan untuk mengajarkan “Organized bodies of content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi

ii. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini meskipun dirancang untuk mengajarkan hubungan antar konsep-konsep dan generalisasi generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi pengajaran itu sendiri, tetapi cukup fleksibel untuk dipakai mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan siswa, Efektivitas penggunaan model ini akan sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang

(27)

Latar belakang pengetahuan siswa dapat diketahui melalui pretes, diskusi atau pertanyaan

iii. Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel

iv. Memformulasikan Advance Organizer, Eggen(1979), Advance organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) mengkaitkan atau

menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, b) mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.

Terdapat tiga macam organizer, yaitu definisi konsep, generalisasi dan analogi:

a) Definisi konsep dapat merupakan organizer materi yang bermakna, bila materi tersebut merupakan bahan pengajaran baru atau tidak dikenal oleh siswa. Untuk kemudahan siswa, guru sebaiknya mengusahakan agar definisi dibuat dalam terminalogi yang dikenal siswa.

b) Generalisasi berguna untuk meringkas sejumlah informasi

c) Analogi merupakan advance organizer yang paling efektif karena seringkali sesuai dengan latar belakang siswa. Nilai analogi sebagai advance organizer tergantung pada dua faktor yaitu (1)penguasaan atau pengetahuan siswa terhadap analogi itu, (2) tingkat saling menunjang antara gagasan yang diajarkan dengan analogi yang digunakan. Dengan analogi, motif dan minat siswa lebih baik dibandingkan dengan generalisasi dan definisi konsep

b. Fase Pelaksanaan

Untuk menjaga agar siswa tidak pasif maka guru harus dapat mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan ide yang disampaikan saat itu. Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran.

(28)

langkah berikutnya yaitu:1) menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integratif, atau 2) melanjutkan dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.

Contoh penerapan Teori Belajar Ausubel pada Pembelajaran Pokok Bahasan Pertidaksamaan kuadrat

a) Fase Perencanaan

1) Menetapkan tujuan Pembelajaran, siswa memahami dan terampil menggunakan aturan dan rumus-rumus persamaan kuadrat, fungsi kuadrat dan grafiknya serta pertidaksamaan kuadrat.

2) Indikator: Menentukan himpunan penyelesaian dari pertidaksamaan kuadrat

3) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, latar belakang

pengetahuan siswa dalam memahami pokok bahasan ini adalah sebagai berikut;

i. Pertidaksamaan dan ketidaksamaan ii. Pertidaksamaan linear satu peubah iii. Persamaan kuadrat

4) Membuat struktur materi (Kalimat Matematika  Kelimat Terbuka), (Kalimat Terbuka  persamaan dan Pertidaksamaan)

5) Memformulasikan Advance Organizer, untuk mengajarkan pokok bahasan pertidaksamaan kuadrat, pengetahuan yang telah dimiliki siswa dan dapat digunakan sebagai advance organizer adalah sebagai berikut:

i. Pertidaksamaan adalah kalimat terbuka yang ruas kiri dan kanan dihubungkan oleh salah satu dari tanda ≠ ,>,<, ≤ ,≥

ii. Ketidaksamaan adalah kalimat tertutup yang ruas kiri dan kanan dihubungkan dengan tanda ≠ ,>,<, ≤ ,≥

iii. Pertidaksamaan dalam bentuk seperti

ax+b>0,ax+b<o , ax+b ≥0,ax+b ≤0 dengan a , bϵR dan

a ≠0 disebut pertidaksamaan linear dengan satu variabel. Dikatakan linear karena pangkat dari variabelnya yaitu x adalah satu)

(29)

1) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan ditambah atau dikurangi dengan bilangan yang sama, maka penyelesaiannya tidak berubah

2) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan dikalikan dengan bilangan positif yang sama, maka penyelesaiannya tidak berubah

3) Jika kedua ruas dari pertidaksamaan dikalikan dengan bilangan negatif yang sama, maka penyelesaiannya tidak berubah asalkan arah dari tanda pertidaksamaan dibalik

v. Bentuk umum persamaan kuadrat adalah

ax2+bx+c=0a , b , cR , a ≠0

vi. Untuk mencari akar-akar persamaan kuadrat digunakan beberapa cara yaitu memfaktorkan, membentuk kuadrat sempurna dan “rumus abc

b) Fase Pelaksanaan

Uraian kegiatan Prinsip yang digunakan - Guru mengingatkan siswa tentang

perbedaan antara ketidaksamaan dan pertidaksamaan

- Guru mengingatkan siswa pada persamaan linear satu peubah dan tiga sifat yang diperlukan dalam menyelesaikan pertidaksamaan tsb

- Guru memberi problema tentang tentukan himpunan penyelesaian dari

4x−7>3,xR

- Guru melanjutkan ke materi

pertidaksamaan kuadrat Pertidaksamaan kuadrat dalam bentuk umum adalah

ax2+bx+c>9,ax2+bx+c<0,ax2+bx+c ≤0,ax2+bx+c ≥0 dengan a , bϵR dan a ≠ 0

- Dengan menggunakan beberapa contoh antara lain soal tentukan himpunan penyelesaian

x2−5x+60, xϵR

- Dengan arahan guru, siswa diminta untuk dapat menyimpulkan cara yang dapat digunakan dalam menentukan tanda positif atau negatif pada garis bilangan

- Untuk menentukan tanda positif atau negatif pada garis bilangan, cukup diambil salah satu titikk saja pada salah satu daerah, kemudian pada setiap pergerantian daerah tandanya berubah

Advance Organizer

(30)

4

x−2>1,x ≠2

E. Penutup

Dapat dipahami bahwa materi matematika itu tidak datang dengan sendirinya melainkan hasil temuan para ahli matematika. Namun demikian dalam proses mengajar belajar matematika, tidak semua materi harus dipahami siswa melalui penemuan. Siswa dapat belajar dengan penerimaan yang bermakna asalkan siswa dapat mengkaitkan pengetahuan yang baru dipelajarinya dengan struktur yang telah dimilikinya.

Dalam Teori Bruner dengan metode Penemuan (discovery learning), kekurangannya tidak bisa digunakan pada semua materi dalam matematika hanya beberapa materi saja yang dapat digunakan dengan metode penemuan. Teori belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget. Menurut teori J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukan oleh siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya

Pengajaran matematika dari Dienes lebih mengutamakan kepada pengertian dan pemahaman sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik. Dengan pembelajaran matematika yang diawali dengan penggunaan benda-benda konkrit untuk mengarah kepada konsep yang abstrak. Dengan menggunakan berbagai benda-benda belajar yang khusus dibuat untuk pembelajaran matematika dan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip.

(31)
(32)

Daftar Pustaka

Dahar, Retnowilis, 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Grabe, Mark dan Cindy Grabe, 1984. Integrating Tecnologi for Meaningful Learning. New Jersey: Boston.

Hudojo, Herman, 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jica.

Hudoyo, Herman, 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: Penerbit IKIP Malang

Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika.Yogyakarta.

Orton, Anthony. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. New York: Norfolk.

Resnick, Lauren B. dan Wendy W. Ford, 1981. The Psychologi of Mathematics for Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Suherman, Erman, dkk.,2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung:JICA:Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Sulaiman , Dadang, 1988. Teknologi/ Metodologi Pengajaran. Jakarta: P2LPTK Suwarsono, 2002. Teori-teori Perkembangan Kognitif dan Proses Pembelajaran

yang Relevan Untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS).

Gambar

Gambar 1. Contoh MAB

Referensi

Dokumen terkait

Memahami pentingnya manfaat belajar matematika karena dengan demikian saya giat dalam belajar matematika, seperti yang kita ketahui bahwa matematika adalah sering digunakan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa setelah menggunakan teori S.Bruner pada mata pelajaran matematika materi pokok penjumlahan dan

Mata kuliah ini mengkaji konsep dan teori belajar matematika, yang meliputi hakikat matematika, proses belajar matematika, pemahaman dalam matematika, perkembangan

Besar Pengaruh Penerapan Teori Van Hiele Pada Materi Segiempat Terhadap Hasil Belajar matematika

Implementasi pembelajaran bahasa Arab yang disesuaikan dengan teori belajar behaviorisme Albert Bandura dapat diwujudkan dengan menyajikan materi lebih banyak dengan

Diskripsi Mata Kuliah Garis-garis besar program pengajaran (GBPP) matematika SD, Teori Belajar Matematika SD, Strategi Pembelajaran Matematika SD, Penilaian Hasil

(3) Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dengan dengan tahapan penyampaian dari teori belajar Bruner untuk mendapatkan rata-rata hasil belajar

Oleh karena begitu pentingnya belajar matematika pada diri siswa sebagai salah satu faktor untuk pengembangan kemampuan siswa menggunakan matematika dalam