i
HUBUNGAN KESESAKAN DENGAN TINGKAT STRES
PADA PENGHUNI RUMAH SUSUN PEKUNDEN
SEMARANG
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh
Astriana Erlinda
1511411098
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
iv
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto :
Give your stress wings and let it fly away. (Terry Guillemets)
Peruntukan :
Skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak Kusno,
S.T dan Ibu Sri Retnowati tercinta, Mbak Weka
Anindita dan teman – teman yang selalu menyemangati
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yang berjudul “Kesesakan Dengan Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah
Susun Pekunden Semarang” ini dengan lancar.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi jenjang Strata
1 guna meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang. Atas selesainya skripsi ini penyusun bermaksud mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Fakhruddin, M.Pd., Dekan Fakultas Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah
memberikan kemudahan administrasi dan perijinan penelitian.
2. Drs. Edy Purwanto, M.Si., Ketua jurusan Psikologi yang telah menyediakan
sarana pembelajaran, memberikan kemudahan administrasi dan perijinan
penelitian.
3. Dr. Sri Maryati Deliana M.Si., Dosen Wali, atas motivasi, dorongan dalam
menyusun skripsi.
4. Drs. Sugeng Hariyadi S. Psi. M.S., Dosen Pembimbing atas arahan, saran,
koreksi dalam skripsi dan memperlancar bimbingan dalam penyusunan skirpsi.
5. Luthfi Fathan Dahriyanto S.Psi, M.A., Dosen Penguji I atas arahan, saran dan
koreksi dalam skripsi ini.
6. Ibu Rahmawati Prihastuty S.Psi., M.Si., Dosen Penguji II atas arahan, saran
vi
7. Bapak dan Ibu dosen jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang yang
telah memberi bekal ilmu yang bermanfaat dan saran – saran yang berarti.
8. Kedua orang tua penulis Bapak Kusno dan Ibu Sri Retnowati, yang telah
membimbing, memberi semangat dan membesarkanku dengan sabar.
9. Kakak penulis tercinta Mbak Weka Anindita dan Mas Dwi Ady Sukarya, yang
telah memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini,
10.Teman-teman tercinta Dwi Ningtyas Tutik, Andinia Rizky Halim, Asnawati
dan Lalu Muhrizin yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
11.Teman tersayang, Wakhidati Maimunah yang telah menjadi teman bimbingan
selama proses skripsi ini dikerjakan.
12.Adik-adik angkatan dan teman-teman jurusan psikologi angkatan 2011, atas
bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
13.Seluruh penghuni rumah susun Pekunden Semarang yang telah bersedia
menjadi subjek penelitian.
14.Semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan dan
kerjasamanya dalam penelitian ini
Semoga bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas tersebut mendapat
imbalan dari Allah SWT. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini jauh
dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
peneliti harapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca
pada umumnya.
vii
ABSTRAK
Erlinda, Astriana. 2015. Hubungan Kesesakan Dengan Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang. Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Drs. Sugeng Hariyadi S. Psi. M.S.
Kata Kunci: Tingkat Stres, Kesesakan.
Rumah adalah tempat berkumpulnya anggota keluarga dan tempat bersosialisasi yang nyaman dan aman. Namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi rumah susun. Rumah susun merupakan tempat tinggal dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit. Kondisi lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang. Penurunan kualitas secara terus menerus membuat para penghuni rusun merasa tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut mempengaruhi keadaan psikis seperti memicu timbulnya stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang. Stres dan segala bentuk macam gangguan psikis lainnya dapat disebabkan oleh kesesakan sehingga kondisi psikologi yang negati mudah muncul. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Populasi penelitian ini adalah penghuni rumah susun Pekunden Semarang yang berjumlah 159 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampling jenuh dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. Data penelitian diambil dengan menggunakan dua skala yaitu skala tingkat stres yang terdiri dari 28 item dan skala kesesakan yang terdiri dari 20 item. Skala tingkat stres memiliki koefisien validitas sebesar 0,271 sampai dengan 0,597 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,865. Skala kesesakan memiliki koefisien validitas sebesar 0,275 sampai dengan 0,670 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,862. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah analisis korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden Semarang (nilai r = 0,688 dengan p < 0,000).
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK... ... vii
DAFTAR ISI... ... viii
DAFTAR TABEL... ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... ... 15
1.3 Tujuan Penelitian ... 15
1.4 Manfaat Penelitian ... 16
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 16
1.4.2 Manfaat Praktis ... 16
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Stres ... 17
2.1.1 Pengertian Tingkat Stres... ... 17
ix
2.1.3 Faktor Penyebab Stres ... 23
2.1.4 Sumber – Sumber Stres ... 25
2.2 Kesesakan ... 28
2.2.1 Pengertian Kesesakan... 28
2.2.2 Aspek – Aspek Kesesakan... ... 30
2.2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan ... 32
2.2.4 Dampak – Dampak Kesesakan ... 35
2.3 Rumah Susun ... 36
2.3.1 Pengertian Rumah Susun ... 36
2.3.2 Tujuan Pembangunan Rumah Susun ... 37
2.4 Hubungan Kesesakan Dengan Tingkat Stres ... 39
2.5 Kerangka Berpikir ... 41
2.6 Hipotesis Penelitian ... 43
3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ... 44
3.1.1 Jenis Penelitian ... 44
3.1.2 Desain Penelitian ... 44
3.2 Variabel Penelitian ... 44
3.2.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 44
3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 45
3.2.3 Hubungan Antar Variabel ... 46
3.3 Populasi dan Sampel ... 46
x
3.3.2 Sampel ... 47
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 48
3.4.1 Metode Pengumpulan Data Tingkat Stres... 50
3.4.2 Metode Pengumpulan Data Kesesakan ... 52
3.5 Uji Coba Instrumen ... 53
3.5.1 Validitas ... 54
3.5.2 Reliabilitas ... 58
3.6 Metode Analisis Data ... 59
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Penelitian ... 61
4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 61
4.1.2 Proses Perijinan ... 63
4.1.3 Penentuan Subjek Penelitian ... 63
4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 64
4.2.1 Pengumpulan Data ... 64
4.2.2 Pelaksanaan Skoring ... 65
4.3 Hasil Penelitian ... 66
4.3.1 Analisis Deskriptif ... 66
4.3.2 Gambaran Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 66
4.3.3 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 77
4.4 Hasil Uji Asumsi ... 86
4.4.1 Uji Normalitas ... 86
xi
4.4.3 Uji Hipotesis ... 88
4.5 Pembahasan ... 89
4.5.1 Pembahasan Analisis Deskriptif Kesesakan Dengan Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... ....90
4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Kesesakan Dengan Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 101
4.6 Keterbatasan Penelitian ... 105
5. PENUTUP
5.1 Simpulan ... 107
5.2 Saran ... 108
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Populasi Penelitian ... 47
3.2 Blue print skala Tingkat Stres ... 50
3.3 Blue print skala Kesesakan ... 52
3.4 Hasil Uji Coba Skala Tingkat Stres ... 55
3.5 Hasil Uji Coba Skala Kesesakan ... 57
3.6 Hasil Perhitungan Reliabilitas Skala ... 59
3.7 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Hipotetik ... 60
4.1 Kriteria Tingkat Stres ... 68
4.2 Gambaran Umum Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 68
4.3 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Emosional ... 70
4.4 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Kognitif ... 72
4.5 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Fisik Atau Badan ... 74
4.6 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Sosial ... 75
4.7 Ringkasan Deskriptif Tingkat Stres Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 76
4.8 Kriteria Kesesakan ... 78
4.9 Gambaran Umum Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 79
xiii
4.11 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang
Berdasarkan Aspek Behavioral ... 83
4.12 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Emosinal ... 84
4.13 Ringkasan Deskriptif Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang ... 85
4.14 Uji Normalitas ... 86
4.15 Uji Linearitas ... 87
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Berpikir ... 42
3.1 Hubungan Antar Variabel ... 46
4.1 Gambaran Umum Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang... ...69
4.2 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Emosional ... 71
4.3 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Kognitif ... 72
4.4 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Fisik atau Badan ... 74
4.5 Gambaran Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Gejala Sosial ... 76
4.6 Ringkasan Deskriptif Tingkat Stres ... 77
4.7 Gambaran Umum Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semaran. ... 79
4.8 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Situasional ... 81
4.9 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Behavioral ... 83
4.10 Gambaran Kesesakan Penghuni Rumah Susun Pekunden Semarang Berdasarkan Aspek Emosional ... 84
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skala Penelitian ... 112
2. Tabulasi Data Skor Penelitian ... 121
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 134
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk yang
padat. Padatnya penduduk Indonesia disebabkan oleh semakin pesatnya
pertumbuhan dan perkembangan penduduk dari tahun ke tahun, yang nampak
pada kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung bahkan Semarang.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah tahun 2013, kota
Semarang menduduki peringkat ketiga dengan jumlah penduduk terbanyak setelah
Brebes dan Cilacap, yaitu sebanyak 1.644.800 jiwa dengan kepadatan penduduk
mencapai 4.402 per km2.
Secara administratif, kota Semarang terdiri dari wilayah dataran rendah
(kota bawah) dan dataran tinggi (kota atas) yang terbagi atas 16 kecamatan dan
177 kelurahan. Semarang tumbuh menjadi kota besar di kawasan provinsi Jawa
Tengah sebagai tempat tujuan urbanisasi masyarakat desa, mengingat semakin
berkembangnya industri besar maupun kecil di kota Semarang. Inilah yang
menyebabkan kepadatan penduduk kawasan pusat kota Semarang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kawasan pinggiran kota. Individu sebagai pekerja akan lebih
memiih untuk tinggal di pusat kota dimana letaknya dekat dengan lokasi kerja
mereka.
Kawasan pusat kota semakin ramai dengan munculnya berbagai
berpusat pada kawasan simpang lima saja seperti Carefour, Mall Banyumanik,
Ada Swalayan, Perumahan Banyumanik, Perumahan Pucang Gading, dan fasilitas
pendidikan baik negeri maupun swasta, seperti Undip, Polines, Unika, dan lain –
lain. Pusat pertumbuhan di kawasan tengah kota Semarang sebagai pusat aktivitas
dan aglomerasi penduduk muncul menjadi kota kecil baru, seperti tumbuhnya
daerah Banyumanik sebagai pusat aktivitas dan aglomerasi penduduk Kota
Semarang bagian atas yang menjadikan daerah ini semakin padat. Cepatnya
pertumbuhan di daerah ini dikarenakan kondisi lahan di Semarang bawah sering
terkena bencana banjir. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir yang
disebabkan oleh luapan air laut (rob). Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan
kawasan kota pinggiran Semarang tidaklah terlalu signifikan jika dibandingkan
dengan wilayah lain di kota Semarang.
Pertumbuhan penduduk yang cepat dalam wilayah kota Semarang dengan
sendirinya akan memunculkan berbagai macam permasalahan. Pesatnya
pertumbuhan penduduk mengakibatkan jumlah penduduk semakin padat dan tidak
sebanding dengan luas wilayah yang akan digunakan sebagai lahan tempat
tinggal. Hal ini akan memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah
masalah tempat tinggal.
Perumahan atau pemukiman merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia. Sumardi (dalam Prabowo, 1999: 8) menyatakan bahwa kebutuhan
perumahan merupakan kebutuhan pokok manusia disamping makanan, pakaian,
kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi dan partisipasi masyarakat.
masalah yang cukup kompleks. Batubara (dalam Prabowo, 1998: 9) menyatakan
bahwa perumahan merupakan bagian integral dari masalah sosial, ekonomi, dan
kebudayaan bangsa, serta pemukiman nasional dalam arti yang luas.
Kualitas hunian yang memadai sebagai tempat tinggal layak huni untuk
pembinaan keluarga sesuai dengan multiaspek rumah, menjadi sangat sulit
dimiliki bagi individu di perkotaan saat ini. Akibatnya bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan membutuhkan biaya yang cukup
besar untuk memperoleh rumah yang terjangkau dan layak huni (Jo Santoso
dalam Prabowo, 1998: 11). Namun dengan kenaikan jumlah penduduk yang lebih
cepat dibandingkan dengan penyediaan fasilitas umum mengakibatkan
kecenderungan memburuknya kualitas pemukiman. Dalam rangka pengadaan
pemukiman yang sehat, maka pemerintah mencoba mengurangi dampak
permasalahan yang mungkin saja dapat muncul dengan mengembangkan proyek
rumah tunggal, rumah susun dan program perbaikan kampung. Salah satu upaya
yang dilakukan oleh pemerintah kota Semarang adalah dengan mengadakan
proyek rumah susun yang diprioritaskan bagi masyarakat golongan
berpenghasilan rendah, sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor
16/1985 tentang rumah susun (Latifah dan Suryanto, dalam Dewi 2008: 13).
Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah
yang layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan
kepastian hukum dalam pemanfaatannya serta untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam
Sehingga rumah dapat dijadikan sarana pembinaan keluarga dalam pembentukan
kepribadian, watak, serta pendidikan yang baik sesuai dengan harkat dan martabat
manusia (Undang – Undang No.16 tahun 1985).
Pembangunan rumah susun sederhana sudah banyak diselenggarakan di
kota – kota besar di Indonesia, salah satunya di kota Semarang. Kota Semarang
memiliki beberapa rumah susun sederhana, diantaranya rumah susun Bandarharjo,
Pekunden, Karangroto, Plamongan , Genuk dan Kaligawe. Rumah susun atau
dikenal dengan sebutan flat adalah rumah dimana lingkungan tetangga tidak saja
di kanan-kiri, tetapi juga berada di atas dan di bawah dengan jumlah penghuni
relatif banyak dan ukuran yang relatif sempit (Sarwono, 1995: 118).
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bangunan – bangunan yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan –
satuan yang masing – masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat –
tempat hunian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan tanah bersama
(Undang – Undang Republik Indonesia tahun 1993). Rustandi (dalam Prabowo,
1999: 11) menyatakan bahwa rumah susun terdiri atas beberapa tingkat dan setiap
tingkatnya terdiri dari beberapa unit rumah. Rumah merupakan suatu bangunan
untuk tempat tinggal, yang berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup.
Rumah merupakan sarana untuk berlindung dari hujan dan panas, memberi rasa
aman dan nyaman, tempat berkumpulnya anggota keluarga, tempat bersosialisasi
dan berinteraksi dengan tetangga, memenuhi kebutuhan harga diri dan juga
Namun hal ini tidak sejalan dengan kondisi rumah susun yang merupakan
pemukiman kepadatan tinggi dan setiap bangunan dihuni oleh beberapa keluarga
(Freedman dalam Prabowo, 1999: 11). Rumah susun merupakan tempat tinggal
dengan jumlah penghuni relatif banyak dan ukuran ruang yang relatif sempit.
Kondisi lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana juga relatif kurang.
Penurunan kualitas secara terus menerus membuat para penghuni rusun merasa
tidak nyaman. Bukan saja mengganggu secara fisik, tetapi juga ikut
mempengaruhi keadaan psikis para penghuni rumah susun.
Kondisi lingkungan yang demikian, membuat para penghuni mendapatkan
stimulus yang berlebihan sehingga harus melakukan adaptasi dengan cara
memilih stimulus – stimulus yang dianggap tidak relevan dan tidak penting. Rini
(2006: 1) menyatakan bahwa dalam usahanya menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan yang demikian artinya dengan situasi kelebihan informasi,
memunculkan berbagai masalah diantara individu menjadi acuh tak acuh satu
sama lain dan kurang responsif. Dan dilakukan dengan menarik diri atau
mengurangi kontak sosial dengan orang lain.
Gambaran banyaknya permasalahan tinggal di rumah susun dikemukakan
oleh Dewi (2008: 10) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa
penghuni rumah susun Bandarharjo yang ditemuinya mengaku terkadang sering
marah – marah, mudah tersinggung sehingga kurang bersahabat dengan tetangga.
Hal – hal tersebut merupakan sebagian dari gejala – gejala stres yang dapat
dialami oleh individu, baik secara fisik, emosional, intelektual dan interpersonal.
lingkungan rumah susun, kondisi di dalam rumah dan hal ini dapat membuat
seseorang mengalami stres. Lebih lanjut Iskandar (2012: 135) menerangkan hasil
penelitiannya di rumah susun dengan ukuran 36 m2 yang banyak dihuni lebih dari
4 orang. Kondisi padat tersebut dijumpai setiap hari, sehingga seorang kepala
rumah tangga sering pulang lebih lambat untuk tiba di rumahnya. Sedangkan anak
– anaknya yang sudah besar, mereka lebih sering bermain di luar rumahnya. Hal
ini dikarenakan ruangan yang sempit tersebut tidak menyenangkan penghuninya.
Perilaku penghuni rumah susun tersebut adalah upaya untuk menghindari stres.
Tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi, juga dialami oleh
sebagian besar warga Hongkong. Hongkong mempunyai kepadatan penduduk
lebih dari 400.000 ribu orang per km2. Sedangkan peruntukan tanah untuk
pemukiman hanyalah sebanyak 6,8% dari keseluruhan tanah yang ada. Hal ini
tentunya mengakibatkan pemukiman di wilayah Hongkong padat dan sesak.
Contohnya adalah sebuah flat dengan ukuran kamar 10’x10’ yang sebagian besar
dihuni oleh minimal 5 (lima) anggota keluarga. Ukuran kamar 10’x10’ dibagi
menjadi beberapa ruang seperti ruang tidur, dapur, ruang kelurga bahkan kamar
dan hanya dibatasi oleh sekat – sekat beruba tirai. (dikutip dari berbagai sumber).
Dengan kondisi demikian, tentunya membuat para penghuni merasa tidak
nyaman. Sebagian besar penghuni menjadi mudah marah bahkan suasana hati
mudah berubah - ubah saat berada di rumah. Bukan hanya anak – anak tetapi
orang dewasa juga sulit berkonsentrasi untuk belajar dan melakukan pekerjaan.
Akibatnya kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan terutama pekerjaan
menyatakan bahwa dalam suasana yang padat dan sesak kondisi psikologis yang
negatif mudah timbul. Hal ini merupakan faktor penunjang kuat munculnya stres
dan beragam bentuk aktivitas sosial yang negatif.
Gambaran tentang suasana yang padat dan sesak di rumah susun juga
tampak dalam kehidupan Pak Untung sebagai salah satu penghuni Rumah Susun
Urip Sumoharjo, ia mengaku bahwa sering merasa bingung untuk memberi ruang
bagi semua anggota keluarganya. Ruangan dalam rumah terbatas tetapi jumlah
anggota yang banyak tidak mampu menampung seluruh anggota keluarga
sehingga Pak Untung dan anggota keluarga lainnya menjadi sering marah – marah
(www.jawapos.com).
Salah satu rumah susun yang terdapat di daerah Semarang dengan kondisi
yang padat adalah Rumah Susun Pekunden. Penelitian ini berbeda dengan
beberapa penelitian sebelumnya, meskipun variabel yang diteliti sama yaitu
kesesakan dengan tingkat stres. Namun tempat penelitian dalam penelitian ini
adalah rumah susun dimana karakteristik subjek penelitian yang sudah ditetapkan
sebelumnya oleh peneliti yaitu laki – laki dan perempuan usia minimal 17 tahun
dengan minimal jumlah anggota keluarga minimal 4 orang. Karakteristik subjek
yang diteliti berbeda dengan subjek dalam penelitian – penelitian sebelumnya.
Diketahui bahwa penelitian – penelitian sebelumnya hanya meneliti pada wilayah
pemukiman dengan kepadatan tinggi tanpa ada batasan- batasan tertentu tiap
rumahnya.
Peneliti memilih rumah susun Pekunden untuk dijadikan lokasi penelitian
Pekunden, tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan yang ada disana membuat
seseorang merasa kurang nyaman jika tinggal di rumah susun. Tidak hanya dari
fasilitas tempat tinggal yang kurang baik tetapi daerah lingkungan tempat tinggal
yang tidak lepas dari berbagai permasalahan lain. Seperti konflik antar anggota
keluarga, atau bahkan konflik dengan tetangga. Alasan lain adalah karakteristik
penghuni rumah susun Pekunden juga sudah memenuhi syarat untuk menjadi
subjek penelitian. Selain itu berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan
wawancara, diperoleh temuan bahwa penghuni rumah susun Pekunden merasakan
adanya kesesakan dan muncul gejala – gejala stres selama tinggal di rumah susun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang penghuni rumah susun
pada tanggal 17 Maret 2015 dan tanggal 16 April 2015 bertempat di rumah susun
Pekunden, hampir keseluruhan menyatakan bahwa terkadang mereka mudah
marah, mudah tersinggung dan terkadang membatasi hubungan dengan tetangga.
Tinggal dalam ruang sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dapat membuat
perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga stres mudah muncul. Segala
macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian
seseorang akan keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan
keterbatasan inilah yang menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, rasa bersalah
(Anoraga, 2006: 107).
Gambaran keterbatasan tinggal di rumah susun nampak di kehidupan DA
(21 tahun) yang merupakan warga penghuni rumah susun Pekunden dimana
dalam satu rumah dengan tipe 27 m2 terdapat 3 kepala keluarga yang didalamnya
dari 4 m2. Dengan kondisi kesesakan yang cukup tinggi dapat membuatnya
merasa tidak nyaman.
“ Wah, karena yang tinggal di rumah saya ada 7 orang, ya jelas saya
merasa tidak nyaman. Mau nonton televisi harus gantian, mau mandi harus nunggu giliran, apa – apa harus antri. Malah jadinya rebutan dan akhirnya saya dan kakak jadi sering berantem. Duhh repot pokoknya. Karena rumah saya tidak ada kamar, jadi mau tidur juga repot. Kayaknya gak ada ruang yang cukup nyaman buat saya bersantai dan beristirahat. Ya kecuali kalau saya sendirian di rumah”.
(Wawancara: 17 Maret 2015) Hal serupa diungkapkan oleh ES (41 tahun) yang merupakan penghuni
rusun tipe 27 m2 dengan enam anggota keluarga. ES menyatakan bahwa kondisi
rumahnya jauh dari standard untuk dapat dikatakan sebagai rumah yang nyaman.
Hal ini berakibat pada kondisi psikologisnya yang mudah tersinggung, cepat
marah bahkan terkadang membuatnya sakit kepala.
“Walah mbak, rumah kaya gini kok nyaman. Menurut saya nyaman
bukan dari faktor fisik saja. Memang kalau mbak lihat dari luar memang rumah saya sudah bagus, lantai sudah keramik, ada kipas angin, tv dan ada ruang karaoke juga. Hehehe, tapi liat dalamnya ruwet mbak. Dimana – mana ada barang saya, barang anak saya juga berserakan dimana – mana. Kalau sudah gitu mau istirahat dimana, apalagi saya punya dua anak yang masih kecil – kecil. Lah kalau sudah ngumpul di rumah, gak kebayang berisiknya. Gimana saya mau istirahat. Kadang – kadang saya juga marah kalau mereka berantem, bikin berisik, tapi ya mau gimana lagi cuma punya rumah ini terus
mau kemana. Pusing saya mbak kalau udah kaya gitu”.
(Wawancara: 16 April 2015) Tidak jauh berbeda dengan DA dan ES, salah seorang penghuni rusun SS
(64 tahun) juga menyatakan bahwa kondisi rumahnnya sangatlah tidak nyaman.
SS mendiami rusun dengan ukuran 27 m2 dengan dua kepala keluarga sehingga
jumlah keseluruhan terdapat enam orang yang tinggal didalamnya. SS merupakan
warga asli Pekunden yang mendapat ganti rugi atas pembangunan rusun
ketika pertama kali ditempati. Rumah susun Pekunden merupakan proyek rumah
susun pertama di kota Semarang. Namun, seiring dengan bergantinya tahun,
kondisi bangunan terlihat sangat memprihatikan. Apalagi dari tahun ke tahun
banyak penghuni baru tentunya ini mengakibatkan ketidaknyamanan tersendiri
bagi SS.
“ Dulu sekitar tahun 80an bangunan sini bagus lho mbak. Dulu kan
saya punya rumah disini tapi kena gusur dan akhirnya dapat ganti rugi jadinya punya rusun ini. Ya dulu sih nyaman sekali. Lah tapi sekarang banyak tetangga punya anggota keluarga baru, yang tadinya hanya dua orang sekarang jadi empat sampai lima orang satu rumahnya. Jadi tambah semrawut. Dirumah saya saja ada enam orang, gara – gara ketambahan tiga cucu jadinya makin rame. Tapi ya itu jadi makin semrawut rumahnya. Anak – anak tetangga juga makin banyak. Kurang tahu gara – gara itu atau tidak, yang jelas saya sering sulit tidur dan mudah sekali kesal dengan tetangga yang seliweran diluar. Lihat saja mbak, kamar saja tidak ada, jadi kalau mau tidur harus pake kasur lipat. Kadang – kadang saya juga tidur di sofa. Kalau sudah
seperti itu mana bisa beristirahat dengan tenang”.
(Wawancara: 16 April 2015)
Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan
bahwa kondisi rumah susun Pekunden Semarang yang padat dan sesak membuat
para penghuninya tidak nyaman. Terbukti dari hasil wawancara yang
menyebutkan bahwa narasumber tidak dapat beristirahat dengan tenang karena
banyaknya orang disekitar, terganggu dalam melakukan aktivitas dan berakibat
pada kondisi psikologisnya yang menjadi mudah tersinggung dan cepat marah,
bahkan berakibat pada kondisi fisik seperti sakit kepala. Kondisi yang demikian
menjadi faktor pemicu timbulnya stres, seperti yang diungkapkan oleh Haryanto
san sesak kondisi psikologis yang negatif mudah muncul dan hal ini menjadi
faktor penunjang kuat munculnya stres.
Selain faktor diatas, faktor lain yang berkaitan langsung dengan stres
adalah perubahan dalam lingkungan. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa
dulu kondisi lingkungan rumah susun Pekunden Semarang nyaman untuk
ditinggali, namun dari tahun ke tahun kondisi lingkunganya cenderung memburuk
yang terlihat dari penurunan kualitas ketersediaan sarana dan prasarana yang ada.
Selain itu seiring berjalannya waktu banyak penghuni – penghuni baru, dan
berakibat pada bertambahnya jumlah penghuni secara keseluruhan, sehingga
terjadi perubahan dalam lingkungan di rumah susun Pekunden Semarang.
Anoraga (2006: 109) menyebutkan bahwa perubahan dalam lingkungan dapat
menjadi faktor penyebab munculnya stres. Apabila perubahan lingkungannya
sudah menjadi semakin cepat dan ganas, maka seseorang sudah merasa kewalahan
untuk menghadapi atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut,
sehingga ambang ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui, akibatnya dalam
kondisi seperti ini stres akan mudah muncul.
Penelitian mengenai stres di rumah susun diantaranya dilakukan oleh
Dewi (2008: 57) yang dilakukan di rumah susun Bandarharjo, Semarang
menyatakan bahwa tekanan yang terjadi dalam lingkungan rumah susun
Bandarharjo dan lingkungan perumahan lain yang berbeda, dengan situasi –
situasi negatif yang ada dalam lingkungan rusun tersebut dapat membuat
penghuninya menjadi stres. Menurut Wrightman dan Deaux dalam Dewi (2008:
disebabkan oleh suasana yang padat sesak, sehingga kondisi psikologis yang
negatif mudah timbul. Baum (dalam Dewi, 2008: 11 ) mengatakan bahwa
peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan
individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan lingkungannya maka individu akan merasa tertekan dan
terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kebebasan individu akan
terancam sehingga individu mudah mengalami stres. Tinggal dalam lingkungan
sempit dengan tata ruang yang tidak teratur dan berpenghuni padat dapat membuat
perasaan seseorang menjadi tidak nyaman sehingga dapat membuat seseorang
mengalami stres.
Kesesakan dipandang sebagai stres psikologis yang terkadang disebabkan
oleh kepadatan. Stres yang dialami tergantung pada situasi situasional dan
variabel psikologi lain (Baum, 1979: 137). Hasil penelitian Baum dan Valins
(1979: 171) membuktikan bahwa kepadatan dan kesesakan erat kaitannya dengan
patologi sosial dan stres. Seseorang tidak akan mengalami stres selama ia
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stressor lingkungan. Ketika
adaptasinya terhadap kesesakan maka stres tersebut dapat berkurang atau bahkan
hilang.
Anoraga (2006: 107) menyatakan bahwa segala macam bentuk stres pada
dasarnya disebabkan oleh kekurang mengertian seseorang akan keterbatasannya
sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan
menimbulkan frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe –
faktor kepadatan tinggi dan mengakibatkan masyarakat yang bertempat tinggal di
daerah tersebut mengalami kesesakan lingkungan. Jumlah penghuni yang padat,
tata ruang yang tidak teratur dan ruangan yang sempit dapat membuat seseorang
merasa sesak sehingga merasa tidak nyaman.
Akibat negatif dari kesesakan menyebabkan seseorang tidak bisa
mengendalikan situasi tersebut. Ketika seseorang mampu untuk mengendalikan
situasi yang tertekan, maka niscaya seseorang tersebut mampu untuk
mengendalikan emosinya. Sebaliknya apabila seseorang tidak bisa mengendalikan
situasi tersebut, maka ia akan merasa lebih tertekan. Menurut Sarwono (1995: 77)
kesesakan adalah salah satu bentuk persepsi seseorang terhadap lingkungannya,
oleh karena itu lebih bersifat subjektif dan bergantung pada keadaan lingkungan
tersebut. Kesesakan (crowding) berbeda denngan kepadatan (density). Altman
(1975: 49) berpendapat bahwa kesesakan sebagai perasaan subjektif seseorang
(aspek psikologis) sedangkan kepadatan adalah banyaknya orang yang menempati
setiap unit tempat tinggal (aspek fisik). Dijelaskan pula bahwa kepadatan
merupakan salah satu penyebab munculnya kesesakan tetapi dalam hal ini tidak
selalu menjadi penyebab utama.
Sears (2007: 228) mengungkapkan bahwa kesesakan atau rasa sesak
adalah perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif.
Tingkat kesesakan yang kita rasakan tergantung pada jumlah kepadatan yang
dirasakan. Tingginya tingkat kepadatan cukup untuk mempersepsikan kesesakan.
Tetapi kepadatan tidaklah sama dengan kesesakan. Menurut Stokols dalam
(spatial contraint), sedangkan kesesakan (crowding) adalah respon subjektif
terhadap ruang yang sesak (tight space). Jadi kesesakan merupakan suatu
pengalaman subjektif seseorang terhadap ruang yang sempit dan biasanya dalam
kondisi sesak sebagai hal yang bersifat negatif.
Sependapat dengan Stokols, Altman (1987: 49) menyatakan bahwa pada
kondisi kepadatan tinggi yang berhubungan dengan lingkungan dengan sarat
kemiskinan cenderung menjadi mudah tersinggung, merasa tidak nyaman secara
fisik, cenderung berkompetisi, gerak selalu dibatasi dsb. Semakin seseorang
merasa tidak nyaman dengan keadaan lingkungannya maka semakin seseorang
merasa frustasi karena ada tekanan dari luar yang tidak dikehendaki oleh individu
yang bersangkutan.
Kesesakan akan menyebabkan keadaan psikologis yang menekan,
akibatnya seorang individu akan merasa terkungkung oleh keadaan disekitar
lingkungannya, sementara individu itu sendiri masih membutuhkan ruang untuk
bergerak. Apabila ruang yang diperlukan untuk bergerak terbatas, atau sangat
terbatas, besar kemungkinan munculnya perasaan kesesakan. Kesesakan
diruangan yang sempit dan kecil sering membuat mereka gugup, merasa tidak
nyaman dan mudah tersinggung (Altman, 1987: 49). Selanjutnya Freedman dan
Evans (dikutip dari Davidoff, 1991: 52) menyatakan pada kondisi kepadatan
tinggi yang berhubungan dengan lingkungan yang kecil cenderung menjadi
mudah tersinggung, merasa tidak nyaman , cenderung berkompetisi, gerak yang
Kepadatan akan membuat rasa sesak meskipun kesesakan tidak selalu
disebabkan oleh kepadatan. Kesesakan merupakan suatu perasaan subjektif yang
dialami seseorang sehingga dalam situasi ini ada yang tidak merasakan kesesakan
tetapi ada pula yang merasakan kesesakan. Maka apa yang dialami oleh individu
yang satu belum tentu dirasakan individu lain. Berdasarkan penjelasan diatas,
maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Kesesakan Terhadap Tingkat Stres Pada Penghuni Rumah Susun Pekunden
Semarang.
1.2
Rumusan Masalah
Melalui uraian pada latar belakang diatas, masalah yang diungkap dalam
penelitian ini adalah
a. Bagaimana gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden
Semarang?
b. Bagaimana gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun
Pekunden Semarang?
c. Apakah ada hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni
rumah susun Pekunden Semarang?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah
a. Mengetahui gambaran deskriptif kesesakan penghuni rumah susun Pekunden
b. Mengetahui gambaran deskriptif tingkat stres penghuni rumah susun
Pekunden Semarang.
c. Mengetahui hubungan antara kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni
rumah susun Pekunden Semarang.
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat,
baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat dilakukannya penelitian ini
adalah :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi dunia psikologi sosial dan psikologi lingkungan di
Indonesia tentang tingkat stres pada penghuni rumah susun Pekunden
Semarang dalam kaitannya dengan kesesakan dimana kesesakan
merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada
penghuni rumah susun Pekunden Semarang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan secara
khusus kepada para penghuni rumah susun Pekunden Semarang tentang
pentingnya pengembangan dan pengelolaan stres dalam kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari dalam berkomunikasi, menjalin hubungan antar
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Stres
2.1.1 Pengertian Stres
Manusia tidak pernah lepas dari stres, setiap orang pasti pernah mengalami
stres baik stres dalam bentuk ringan, sedang, maupun berat. Stres merupakan
salah satu bentuk gangguan psikologis yang kerap dialami manusia, terutama di
era modern ini sebagai akibat dari semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi manusia. Sepanjang hidupnya manusia tidak akan pernah lepas dari
masalah. Jika hal tersebut dirasakan menekan, mengganggu dan mengancam
maka keadaan ini dapat disebut stres.
Sarwono (1995: 86) menyatakan bahwa stres adalah beban mental yang
oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi
atau menghilangkan stres, individu melakukan tingkah laku penyesuaian (coping
behavior). Sedangkan menurut Markam dan Slamet (2008: 35) stres adalah suatu
keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan
kemampuan untuk mengatasi beban itu. Sama halnya dengan Hardjana (1994: 14)
yang mengartikan stres sebagai keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi
seseorang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres
membuat seseorang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan, entah nyata
atau tidak nyata antara keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya biologis,
diartikan bahwa stres dianggap sebagai respon yang merupakan kondisi atau
keadaan sebagai akibat dari tekanan emosional dimana beban yang dirasakan
tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban tersebut.
Berbeda dengan definisi stres menurut Taylor (dalam Kusuma dan
Gusniarti, 2008: 34) yang mengartikan stres sebagai hasil dari proses penilaian
individu berkaitan dengan sumber – sumber pribadi yang dimilikinya untuk
menghadapi tuntutan dari lingkungan. Atkinson, dkk (2010: 338) mendefinisikan
stres sebagai hal yang terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang
mereka rasakan sebagai mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa
tersebut biasanya dinamakan stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut
dinamakan respon stres.
Anoraga (2006: 108) mengungkapkan bahwa stres sebenarnya merupakan
suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap
suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan
dirinya terancam. Manusia akan cenderung mengalami stres apabila ia kurang
mampu mengadaptasikan keinginan – keinginan dengan kenyataan – kenyataan
yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Anoraga
(2006: 10) merumuskan stres sebagai reaksi dari tekanan emosional, juga
rangsangan – rangsangan yang merusak keadaan fisiologis individu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres
adalah akibat reaksi individu dari tekanan emosional dan kekurangmampuan
ketakutan dan kecemasan sehingga dapat merusak keadaan fisiologis serta
menganggu keseimbangan hidup bagi individu.
2.1.2 Gejala – Gejala Stres
Gejala – gejala stres menyangkut kesehatan fisik dan kesehatan mental.
Individu yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran
kronis. Individu tersebut sering menjadi mudah marah dan agresi, tidak dapat
rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Lebih lanjut individu
tersebut melarikan diri dengan minum alkohol atu merokok secara berlebihan.
Selain itu, bisa menderita penyakit fisik seperti, masalah pencernaan, tekanan
darah tinggi dan sulit tidur (Handoko, 2001: 200). Selye dalam Bell (dalam
Iskandar, 2012: 49) menjelaskan proses stres dari kajian fisiologis. Seseorang
berinteraksi dengan stimulus lingkungan yang dapat menimbulkan stres bagi
seseorang, maka di dalam dirinya akan muncul gejala – gejala aktivitas saraf
otonom. Aktivitas saraf otonom secara otomatis bekerja karena dirinya merasakan
stres. Adapun ciri – ciri dari peningkatan saraf otonom adalah meningkatnya detak
jantung, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya pengeluaran keringat di
telapak tangan, sering buang air kecil dsb.
Lazarus dalam Bell (dalam Iskandar 2012: 50) memperbaiki pendapat
Selye. Seseorang akan mengalami stres apabila ia telah melakukan penilaian
kognitif yang terdapat dalam dirinya. Apabila hasil penilaian kognitif menyatakan
bahwa stimulus lingkungan yang dihadapinya tidak mengancam dirinya , maka
perasaan tegang dalam dirinya, sehingga kondisi psikologisnya menjadi seimbang
kembali.
Menurut Atkinson, dkk (2010: 349) situasi stres menghasilkan reaksi
emosional mulai dari kegembiraan sampai emosi umum kecemasan, kemarahan,
kekecewaan dan depresi stres yang ditunjukkan dengan gejala – gejala sebagai
berikut:
1. Gejala emosional atau reaksi psikologis yaitu marah – marah, cemas,
kecewa, suasana hati mudah berubah – ubah, depresi, agresif terhadap
orang lain, mudah tersinggung dan gugup.
a. Kecemasan
Respon yang paling umum adalah kecemasan yang diartikan sebagai
emosi tidak menyenangkan yang ditandai oleh istilah seperti khawatir,
prihatin, tegang dan takut.
b. Kemarahan dan Agresi
Reaksi umum lain terhadap situasi stres adalah kemarahan, yang
mungkin dapat menyebabkan agresi. Anak – anak seringkali menjadi
marah dan menunjukkan perilaku agresif jika mereka mengalami
frustasi. Agresi langsung terhadap sumber frustasi tidak selalu
dimungkinkan. Riset telah membuktikan bahwa agresi bukan
merupakan respon yang pasti terjadi setelah frustasi, tetapi jelas
c. Apati dan Depresi
Walaupun respon umum terhadap frustasi adalah agresi aktif, respon
kebalikannya adalah menarik diri dan apati juga sering terjadi. Jika
kondisi stres terus berjalan dan individu tidak berhasil mengatasinya,
apati dapat memberat menjadi depresi (Atkinson, dkk 2010: 352).
2. Gejala Kognitif
Selain reaksi emosional terhadap stres, individu seringkali
menunjukkan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan
stresor yang serius. Individu merasa sulit berkonsentrasi dan
mengorganisasikan pikiran mereka secara logis, sebagai akibatnya
kemampuan mereka melakukan pekerjaan terutama pekerjaan yang
kompleks cenderung memburuk (Atkinson, dkk 2010: 354) yaitu merasa
sulit berkonsentrasi, kacau pikirannya, mudah lupa, daya ingat menurun,
suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.
3. Gejala Fisik
Sulit tidur, sulit buang air besar, sakit kepala, adanya gangguan
pencernaan, selera makan berubah, tekanan darah menjadi tinggi, jantung
berdebar – debar, dan kehilangan energi. Stres kronis dapat menyebabkan
gangguan fisik tertentu seperti ulkus, tekanan darah tinggi dan penyakit
jantung. Stres kronis juga menganggu sistem imun, dengan demikian
menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan bakteri dan virus yang
Sedangkan Anoraga (2006: 109) menyatakan bahwa stres yang tidak teratasi
menimbulkan gejala badaniah, jiwa dan gejala sosial. Dapat ringan, sedang dan
berat. Gejala ringan dan sedang dapat ditandai dengan keluarnya keringat dingin
(dan keringat pada telapak tangan), rasa panas dingin badan, asam lambung yang
meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, dan gangguan
seksual. Sedangkan gejala berat akibat stres sudah tentu kematian, gila (psikosis)
dan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Anoraga (2006: 109)
menjelaskan gejala – gejala dari stres meliputi :
1. Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah kaget, banyak keluar keringat
dingin, gangguan pola tidur, lesu letih, kaku leher belakang sampai
punggung, dada merasa panas atau nyeri, rasa tersumbat pada kerongkongan,
gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual, muntah, gejala kulit,
bermacam – macam gangguan menstruasi, keputihan, kejang – kejang,
pingsan dan jumlah gejala lain.
2. Gejala emosional: pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan,
cemas, was –was, kawatir, mimpi – mimpi buruk, murung, mudah marah atau
jengkel, mudah menangis, pikiran bunuh diri, gelisah dan pandangan putus
asa.
3. Gejala sosial : makin banyak makan, menarik diri dari pergaulan sosial,
mudah bertengkar dan membunuh.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, pada dasarnya stres dapat dilihat
dari 4 gejala yaitu gejala emosional, gejala kognitif, gejala fisik atau badan dan
instrumen penelitian. Dalam pembuatan instrumen, peneliti menggabungkan
gejala – gejala stres dari Atkinson dan Anoraga dengan alasan peneliti
menganggap bahwa gejala – gejala stres menurut Atkinson dan Anoraga saling
melengkapi, sehingga dapat mengungkap keseluruhan gejala – gejala stres yang
ada.
2.1.3 Faktor Penyebab Stres
Segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh
kekurangmengertian manusia akan keterbatasan – keterbatasannya sendiri.
Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan
frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe – tipe dasar stres.
Menurut Anoraga (2006: 109) ada dua faktor utama yang berkaitan langsung
dengan stres, yaitu
1. Perubahan dalam Lingkungan
Apabila perubahan dalam lingkungannya sudah menjadi sedemikian cepat
dan ganas, sehingga seseorang sudah merasa kewalahan untuk menghadapi
atau menyesuaikan dirinya terhadap perubahan tersebut, maka ambang
ketahanannya terhadap stres mulai terlampaui. Kondisi inilah yang harus
dihindarkan atau ditanggulangi.
2. Diri Manusia Sendiri
Dalam hubungan dengan gangguan badan, dikatakan bahwa stres emosional
mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem neurohumoral
menyebabkan gejala – gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon
menimbulkan kadar asam dan lemak bebas selanjutnya terjadi kenaikan
tekanan darah, denyut jantung yang bertambah dan keduanya mengakibatkan
gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian
mendadak (serangan jantung).
Menurut Smet (1994: 130) reaksi terhadap stres bervariasi antara satu orang
dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini
sering disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat
merubah dampak stresor bagi individu yaitu sebagai berikut :
1. Variabel dalam kondisi individu : umur, tahap kehidupan, jenis kelamin,
temperamen, faktor – faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, budaya,
status ekonomi dan kondisi fisik.
2. Karakteristik kepribadian : introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum,
tipe kepribadian A, ketabahan, locus of control, kekebalan dan ketahanan.
3. Variabel sosial – kognitif : dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial
dan kontrol pribadi yang dirasakan.
4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi
dalam jaringan sosial.
5. Strategi coping : menentukan bagaimana keputusan yang diambil berdasarkan
emosi atau pemikiran yang matang.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor penyebab stres yaitu variabel
dalam kondisi individu, karakteristik kepribadian, variabel sosial – kognitif,
strategi coping, hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang
2.1.4 Sumber – Sumber Stres
Sumber stres dapat berubah – ubah sejalan dengan perkembangan
manusia. Sarafino (dalam Smet, 1994: 115) membedakan sumber – sumber stres
sebagai berikut :
a. Sumber – sumber stres di dalam diri seseorang.
Tingkat stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur
individu, stres juga akan muncul dalam seseorang melalui penilaian dari kekuatan
motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik , konflik
merupakan sumber stres yang utama.
b. Sumber – sumber stres di dalam keluarga.
Stres bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga seperti
perselisihan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan – tujuan yang saling berbeda,
atau bahkan kematian orang tua. Misal: perbedaan keinginan tentang acara televisi
yang akan ditonton, perselisihan antara orang tua dengan anak – anak yang
menyetel tapenya keras – keras, timbul di lingkungan yang terlalu sesak bahkan
kehadiran anggota keluarga baru.
c. Sumber – sumber stres di dalam pekerjaan.
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stres
sehubungan dengan pekerjaan mereka. Pekerjaan dapat menyebabkan stres
apabila hasilnya tidak sesuai dengan perintah dan dapat menyebabkan stres.
Tuntutan kerja dapat menimbulkan stres dalam 2 cara. Pertama, pekerjaan itu
mungkin terlalu banyak. Orang bekerja terlalu keras dan lembur, karena
pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressfull daripada jenis pekerjaan lainnya (Smet,
1994: 117).
d. Sumber – sumber stres yang berasal dari komunitas dan lingkungan.
Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber – sumber
stres. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, seperti kebisingan,
suhu yang terlalu panas dan kesesakan yang mengganggu kenyamanan, dan dapat
menyebabkan kemarahan, bahkan pertengkaran (Smet, 1994: 116).
Iskandar (2012: 48) mengungkapkan bahwa lingkungan yang berada di
sekitar manusia memberikan stimulasi yang dapat dimaknakan sebagai stresor
atau stimulus yang dapat menimbulkan tekanan pada seseorang. Ketika seseorang
menghadapi suara yang bising maka ia merasa bahwa suara tersebut menekan
dirinya atau menjadi stressor karena ia merasa tidak menyenangi suara bising.
Namun demikian, suatu peristiwa dapat dipersepsi sebagai ancaman atau bahkan
sebagai tantangan. Kemungkinan sesuatu menjadi ancaman akan ditentukan oleh
sejumlah faktor. Faktor – faktor yang memungkinkan seseorang merasa terancam
adalah dikarenakan adanya penilaian terhadap objek lingkungan. Penilaiannya
dapat dikategorikan sebagai berikut
1. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kejadian yang mendadak dan tidak
ada atau sedikit sekali memberikan peringatan bahwa akan terjadi suatu
peristiwa atau disebut juga cataclysmic event.
2. Kategori stres personal yang merupakan stres yang dialami oleh seseorang
Contohnya meninggalnya orang yang dicintai atau sakitnya keluarga dan
hilangnya pekerjaan.
3. Stres yang berulang kali terjadi, sehingga seseorang dapat mengalami
peristiwanya setiap hari seperti misalnya kemacetan lalu lintas.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum
sumber – sumber stres terbagi menjadi faktor internal dan eksternal. Stres dapat
bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, bersumber dari keluarga, dari
pekerjaan atau bahkan dari faktor lingkungan. Faktor internal dan eksternal ini
memberikan pengaruh terhadap tingkat stres pada seseorang. Tingkat stres yang
dialami oleh yang satu dengan yang berbeda. Anoraga (2006: 109)
mengungkapkan bahwa sebenarnya ada dua faktor utama yang berkaitan langsung
dengan stres, yaitu perubahan dalam lingkungan dan diri manusianya sendiri.
Akibat terhadap seseorang bermacam – macam dan hal ini tergantung pada
kekuatan “konsep diri”nya yang akhirnya menentukan besar kecilnya toleransi
orang tersebut terhadap stres. Tetapi meskipun demikian, fleksibilitas dan
adaptasibilitas juga diperlukan agar seseorang dapat menghadapi stresnya dengan
baik.
Menurut Smet (1994: 130) reaksi terhadap stres bervariasi antara satu
orang dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Tingkat
stres yang dialami seseorang dapat ringan, sedang dan berat. Hal ini sering
disebabkan oleh perbedaan masing – masing sumber stres pada setiap orang.
Orang – orang yang kaku atau fanatik terhadap ambisi – ambisi dan norma –
Atkinson, dkk (2010: 230) menyatakan kejadian stres yang sama mungkin
dihayati secara berbeda oleh dua orang, tergantung pada situasi apa yang berarti
kepada seseorang. Berat atau tidaknya stres ditentukan oleh faktor – faktor seperti
evaluasi kognitif, perasaan- perasaan mampu, adanya dukungan sosial, kendali
atas lamanya terjadi stres dan daya ramal peristiwa yang membuat stres. Stres
pada seseorang dapat bersumber dari faktor internal individu, faktor eksternal
individu ataupun keduanya. Kedua faktor ini memiliki kontribusi yang berbeda –
beda bagi setiap orangnya, dan bergantung pada seberapa besar seseorang mampu
mengatasi setiap stressor – stressor yang ada.
2.2
Kesesakan
2.2.1 Pengertian Kesesakan
Kesesakan ada hubungannya dengan kepadatan namun kepadatan
bukanlah merupakan syarat yang mutlak untuk menimbulkan perasaan sesak.
Secara teoritis perlu dibedakan antara kepadatan (density) dengan kesesakan
(crowding). Kepadatan mengacu kepada jumlah orang dalam ruang (space)
sehingga sifatnya mutlak, sedangkan kesesakan adalah persepsi seseorang
terhadap kepadatan, sehingga sifatnya subjektif (Halim, 2008: 72).
Gifford (1987: 165) menyatakan bahwa kesesakan adalah perasaan
seseorang atau perasaan subjektif karena banyaknya orang disekitarnya. Sarwono
(1995: 77) menjelaskan bahwa kesesakan berarti
a. Kesesakan adalah persepsi tentang kepadatan, dalam artian jumlah manusia.
Jadi, tidak termasuk didalamnya kepadatan dalam arti hal – hal lain yang non
dalam hutan rimba yang penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota
yang penuh bangunan tetapi tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan
kesesakan seperti yang dialami oleh penumpang kereta api atau bus atau
pengunjung resepsi pernikahan yang disekitarnya terdapat banyak orang.
b. Kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Oorang yang sudah biasa
naik bus yang padat penumpangnya mungkin sudah tidak merasa sesak lagi.
Sebaliknya orang yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa
sesak dalam bus yang setengah kosong.
Sears (2007: 229) mengungkapkan bahwa kesesakan merupakan perasaan
sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif atau rasa sesak
adalah keadaan psikologis yang menekan dan tidak menyenangkan, yang
dikaitkan dengan keinginan untuk memperoleh lebih banyak ruang daripada yang
telah diperoleh. Altman (1975: 49) menyatakan bahwa faktor situasional sebagai
faktor yang dapat mempengaruhi kesesakan. Stresor yang menyertai kesesakan
seperti suara gaduh, panas, polusi dan karakteristik setting (tipe rumah dan tingkat
kepadatan).
Stokols (dalam Altman 1975: 49) menyatakan kesesakan sebagai konsep
psikologis dengan dasar pengalaman dan motivasi. Ada beberapa poin penting
dari pendekatan Stokols. Pertama, kesesakan adalah reaksi pribadi dan subjektif,
bukan variabel fisik. Kedua, kesesakan adalah keadaan motivasi yang sering
berakibat pada maksud tingkah laku, yaitu untuk segera diakhiri atau
menghilangkan rasa ketidaknyamanan. Ketiga, kesesakan muncul pada perasaan
kesesakan non-sosial, dimana faktor-faktor fisik dapat membangkitkan perasaan
sesak pada individu terhadap keterbatasan ruang gerak pada suatu ruangan yang
sempit, dan kesesakan sosial dimana rasa sesak terutama datang dari kehadiran
orang yang terlalu banyak dalam suatu ruangan.
Esser (dalam Altman, 1975: 49) menyatakan kesesakan sebagai suatu
kondisi mental yang dipenuhi stres dan dia juga ada hubungan antara proses
psikologi dan fisiologi. Dia menduga bahwa rasa sesak berasal dari
ketidakharmonisan antara susunan saraf pusat dengan kondisi stimulus.
Kesesakan dapat melibatkan bagian otak yang secara biologis lebih kompleks dan
sistem saraf pada kebutuhan yang mendasar atau biologis terhalangi oleh
kepadatan suatu populasi.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
kesesakan adalah perasaan subjektif yang dialami oleh seseorang dalam merespon
situasi kepadatan karena sempitnya ruang yang tersedia dan perasaan ini dapat
diekspresikan dengan rasa senang maupun tidak senang. Kesesakan ini akan
terjadi apabila terdapat hambatan tertentu dalam usaha interaksi sosial dan usaha
pencapaian tujuan yaitu ketika individu menerima stimulus yang terus menerus
dan tidak mampu untuk mengontrolnya dan mengalami hambatan dalam
pemenuhan kebutuhan personalnya.
2.2.2 Aspek – Aspek Kesesakan
Kesesakan muncul jika terdapat situasi atau gangguan yang sifatnya
menghalangi aktivitas individu dalam suatu setting. Selain itu kesesakan
stimulus yang berlebihan terhadap tekanan sosial yaitu bila terjadi reaksi yang
lebih besar dari yang diharapkan (Permitasari, 2006: 42). Gifford (1987: 167)
menyatakan bahwa aspek – aspek kesesakan adalah sebagai berikut
a. Aspek Situasional
Meliputi banyaknya orang yang saling berdekatan, hambatan dalam tujuan
atau pekerjaan karena banyaknya orang – orang di sekitar, adanya ruangan
yang sempit di mana ada terlalu banyak orang di dekat kita, tujuan kita
terhalang serombongan orang, ruang jadi berkurang dengan kedatangan tamu
atau teman sehingga merasakan gangguan secara fisik atau perasaan tidak
enak.
b. Aspek Behavioral
Menjaga jarak dari tindakan agresi dengan menggunakan respon yang halus
seperti meninggalkan tempat kejadian meliputi bentuk – bentuk reaksi
individu yang berkisar antara agresi berlebihan (jarang) hingga respon yang
lebih ringan seperti meninggalkan tempat, menghindari tatapan mata ataupun
menarik diri dari interaksi sosial.
c. Aspek Emosional
Kesesakan merupakan suatu pengalaman yang subjektif dan muncul sebagai
akibat reaksi negatif terhadap orang lain dan perasaan positif terhadap situasi
tersebut. Secara tidak langsung mempengaruhi perasaan seseorang dan
biasanya bersifat negatif yang merupakan pengalaman subjektif dan suatu
reaksi yang berhubungan dengan perasaan. Mengacu pada suasana hati
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek
kesesakan yaitu aspek situasional, behavioral dan emosional. Ketiga aspek ini
saling berhubungan dan berkelanjutan. Eroglu dkk dalam Yildirim &
Alkalin-Baskaya (2007: 3411) menjelaskan bahwa kesesakan terdiri atas dua dimensi,
yaitu
a. Persepsi crowding manusia yang didasarkan pada jumlah individu. Persepsi
kesesakan tersebut melibatkan jumlah individu dalam satu ruang, dimana
banyak-sedikit individu menjadi poin terpenting dalam menimbulkan
perasaan sesak.
b. Persepsi crowding spasial yang berdasarkan pada jumlah barang dan
perlengkapan serta konfigurasi individu. Persepsi ini lebih pada kondisi pada
ruang serta posisi individu dalam ruang tersebut.
Ketiga aspek kesesakan menurut Gifford (1987: 167) yang meliputi aspek
situasional, behavioral dan emosional merupakan bagian dari salah satu dimensi
yang dikemukakan oleh Eroglu dkk yaitu persepsi kesesakan manusiawi yang
didasarkan jumlah individu. Ketiga gejala tersebut akan dijadikan dasar dalam
pembuatan instrumen penelitian, sebab peneliti hanya membatasi aspek kesesakan
pada persepsi crowding manusia saja.
2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kesesakan
Tingkah laku yang menunjukkan sebagai reaksi terhadap kesesakan dirasa
berbeda antara satu individu dengan individu lain. Hal ini disebabkan oleh faktor
menimbulkan kesesakan. Sears (2007: 229) mengatakan ada 3 hal yang
mempengaruhi terjadinya kesesakan, yaitu
a. Beban Indera yang Berlebihan
Bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, dia akan
mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi
semua stimulasi itu. Kepadatan sosial merupakan salah satu sumber stimulasi
yang kadang – kadang dapat menimbulkan rangsangan yang berlebihan dan
perasaan sesak. Beban indra yang berlebihan selalu bersifat tidak
menyenangkan dan menganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara
tepat. Orang mengatasi beban indera yang berlebihan dengan menyaring
beberapa stimulasi dan hanya memperhatikan stimulasi yang paling penting.
b. Intensitas – Kepadatan
Kepadatan tinggi dapat menguatkan reaksi yang umum terhadap situasi
sosial. Dalam penelitian Freedman (dalam Sears 2007: 231) disimpulkan
bahwa kehadiran banyak orang kadang – kadang tidak menyenangkan atau
menimbulkan perasaan sesak namun kadang – kadang terasa menyenangkan,
tetapi biasanya kehadiran mereka memperkuat situasi sosial.
c. Hilangnya Kendali
Kepadatan tinggi bisa menyebabkan orang merasa kurang memiliki.
Pemikirannya adalah bahwa dengan adanya begitu banyak orang dalam
sebuah ruang, setiap individu tidak akan dapat mengendalikan situasi dengan
lebih baik, bergerak dengan bebas, menghindari kontak mata yang tidak
Kemungkinan besar beban indera yang berlebihan, intensifikasi kepadatan,
dan hilangnya kendali berperan dalam menimbulkan rasa sesak (Permitasari,
2006: 31). Lebih lanjut Gifford (1987: 167) menekankan bahwa ada 3 faktor yang
mempengaruhi kesesakan yaitu :
a. Faktor personal, yaitu : kepribadian, preferensi dan harapan.
b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berperan dalam pembentukan tingkah
laku dalam merespon kesesakan. Penekanan faktor sosial yang dimaksud
adalah :
Keberadaan seseorang semata – mata dan kepribadian orang lain di sekitar.
1. Persaingan yang cenderung terbentuk di kelompok – kelompok kecil.
2. Kualitas atau tipe – tipe hubungan diantara individu.
3. Macam – macam informasi yang diterima tentang kesesakan.
c. Faktor fisik, dijelaskan sebagai berikut :
Kepadatan yang tinggi itu sendiri merupakan faktor paling umum yang dapat
menimbulkan perasaan sesak, namun seperti yang kita lihat, hal itu tidak
selalu menuntun pada rasa sesak. Faktor – faktor fisik yang berhubungan
dengan kesesakan adalah
1. Ukuran ruang yang akan diteliti (kamar, gedung, komplek pemukiman
dan kota).
2. Variasi arsitektur, meliputi : tinggi plafon, penataan mebel,
penempatanjendela,sekat, dinding pemisah dll.
Terdapat faktor personal dan situasional (setting) yang dapat
kesesakan. Faktor personal misalnya saja adalah locus of control. Gifford (1987:
167) menyatakan bahwa orang dengan internallocus of control dapat dengan
mudah mengontrol stres yang diakibatkan oleh kesesakan. Faktor personal lainnya
adalah kecenderungan berafiliasi atau dapat disebut juga sociability. Faktor yang
kedua adalah faktor situasional atau setting yang meliputi pengaruh sosial dan
pengaruh fisik.
2.2.4 Dampak – Dampak Kesesakan
Sarwono (1995: 81) menyatakan bahwa dampak – dampak kesesakan pada
manusia dibedakan oleh:
a. Dampak kesesakan pada penyakit dan patologi sosial.
1. Reaksi fisiologis misalnya, meningkatnya tekanan darah
2. Penyakit fisik misalnya psikosomatis, pusing dan gatal – gatal.
3. Patologi sosial misalnya meningkatnya kejahatan, kecenderungan bunuh
diri, gangguan jiwa dan kenakalan remaja.
4. Dampak kesesakan pada tingkah laku.
5. Agresif terhadap lingkungan, marah kepada orang – orang di lingkungan
itu dan merusak lingkungan.
6. Menarik diri dari lingkungan, pergi dan menghindar dari lingkungan
tersebut, menutup diri , tidak peduli terhadap lingkungan misalnya dengan
sibuk membaca buku atau melamun.
7. Berkurangnya tingkah laku menolong.
8. Kecenderungan melihat sisi buruk orang lain jika terlalu lama bersama –
9. Dampak kesesakan pada suasana hati dan hasil usaha.
10. Hasil usaha atau prestasi kerja menurun.
11. Suasana hati (mood) cenderung murung.
Berbagai dampak kesesakan tersebut dapat dilihat bahwa suatu perilaku
yang bersifat negatif lebih dominan dalam merespon situasi yang menimbulkan
kesesakan, baik berhubungan langsung terhadap pola tingkah laku, maupun dalam
bentuk kemunduran fisik.
2.3