• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi Di Tiga Apotek Kota Panyabungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi Di Tiga Apotek Kota Panyabungan"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS

SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

SKRIPSI

OLEH:

NUR AINI HARAHAP

NIM 111501008

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS

SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NUR AINI HARAHAP

NIM 111501008

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

iv

PENGESAHAN SKRIPSI

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS

SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

OLEH:

NUR AINI HARAHAP NIM 111501008

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 05 Oktober 2015 :

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 197802152008122001 NIP 195110251980021001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt Pembimbing II, NIP 197802152008122001

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 195111021977102001 NIP 197803142005011002

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 19780603200512004

Medan, Oktober 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Tiga Apotek Kota

Panyabungan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku

Pejabat Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,

kepada Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., dan Dra. Juanita Tanuwijaya,

M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,

arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga

menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Wiryanto, M.S., Apt., Hari

Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., dan Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.,

selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi

ini, kepada Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing

akademik yang selalu membimbing selama masa pendidikan, serta kepada drg.

Ismail Lubis, Holida Rahmi Lubis, S.Si., Apt., Katharina Budiastuti, S.Si, Apt.,

dan Rusdi Nasution, S.Si., Apt., yang telah mendukung dan memberikan arahan

dalam penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan yang

tulus dan tak terhingga kepada orangtua tersayang Ayahanda Mula Poltak

(5)

v

materil, kakakku tersayang Amaliah Harahap, SKM, abangku Juhari Harahap,

Abdul Kholil Harahap, Syahrijal Harahap, Isdardi, dan adekku Rukiah Yanti

Harahap, Rini Antika Harahap, Mhd. Latif Harahap, yang telah memberikan

semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yana, kak tika, kak eka, kak baiq,

kak jesica, nana, dwi lutiati, ima, lisa, qisthi, maal, dwi yunita, wulan, suli, maal,

ningsih, suci, desti, putri, ria, mei, lia, serta teman-teman FKK 2011 yang tak bisa

disebut satu persatu namanya, yang selalu memberikan motivasi dan segala

bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada

semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan

skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

(6)

vi

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

ABSTRAK

LatarBelakang: Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei cross sectional. Sebanyak 342 responden dari tiga apotek terlibat dalam penelitian ini. Responden berusia 18-60 tahun dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data dianalisis dengan uji Chi- square dan uji Fisher menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 20,5% tergolong baik, 41,8% tergolong sedang, dan 37,7% tergolong buruk (37,7%). Penggunaan obat swamedikasi 59,4% rasional dan 40,6% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan uji Fisher, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%.

(7)

vii

LEVEL KNOWLEDGE OF PATIENT AND RATIONALITY OF SELF MEDICATION IN THREE PHARMACIES PANYABUNGAN

ABSTRACT

Background: Self medication is a part of community effort to preserve their own health. In practice, the self medication can be a source of drug related problem because lack of knowledge about drugs and their use.

Purpose: The aim of this study was to determine the level of knowledge and rationality of medicinal use self medication.

Method: This study was using survey cross sectional method. Total respondents (n=342) were involved this study of three pharmacies. Respondent were 18--60 years old and selected by consecutive sampling method. Data was collected by using a validated questionnaire. Data were analyzed by Chi-square test and Fisher test using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.

Results: The research shows that level knowledge of patientwere good classified, 41.8% were medium classified, and 37.7% were bad classified. Drug use self medication were 59.4% rational and 40.6% irrational used. Based the result of Chi-square and Fisher test, educated and jobs can influence the level of knowledge, Mean while rationality of self medication use was not influenced by sociodemography factor.

Conclusion: Based on the research results obtained that majority level knowledge of patient were good classified. Irrational drug use self medication was reached 40.6%.

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Swamedikasi (Pengobatan Sendiri) ... 7

2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi ... 7

2.3 Obat dan Penggolongannya dalam Swamedikasi ... 9

(9)

ix

2.3.2 Obat Bebas Terbatas ... 10

2.3.3 Obat Wajib Apotek ... 10

2.4 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi ... 12

2.4.1 Demam ... 12

2.4.2 Nyeri ... 13

2.4.3 Batuk ... 14

2.4.4 Flu ... 15

2.4.5 Maag ... 17

2.4.6 Diare ... 18

2.5 Masalah-masalah pada Swamedikasi ... 19

2.6 Penggunaan Obat yang Rasional ... 20

2.7 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi ... 23

2.8 Apotek ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 JenisPenelitian ... 27

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 27

3.2.2 Waktu Penelitian ... 27

3.3 Populasi dan Sampel ... 27

3.3.1 Populasi ... 27

3.3.2 Sampel ... 27

3.4 Definisi Operasional ... 30

3.5 Instrumen Penelitian ... 31

(10)

x

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.5.3 Kuesioner Swamedikasi ... 31

3.5.3.1 Kuesioner Bagian Pendahuluan ... 32

3.5.3.2 Kuesioner Bagian Pengetahuan Swamedikasi ... 32

3.5.3.3 Kuesioner Bagian Rasionalitas Swamedikasi ... 32

3.5.3.4 Kuesioner Bagian Data Demografi ... 33

3.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 33

3.5.4.1 Uji Validitas ... 33

3.5.4.2 Uji Reliabilitas ... 33

3.5.4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 34

3.6 Analisis Data ... 34

3.7 Prosedur Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Karakteristik Responden ... 37

4.2 Sumber Informasi dan Tempat Mendapatkan Swamedikasi 38

4.3 Keluhan Penyakit dan Pilihan Subkelas Farmakologi Obat 40

4.3.1 Keluhan Penyakit ... 40

4.3.2 Pilihan Subkelas Farmakologi Obat ... 40

4.4 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Swamedikasi ... 41

4.5 Rasionalitas Penggunaan Obat Dalam Swamedikasi ... 43

4.6 Pengaruh Faktor-Faktor Sosiodemografi Terhadap Tingkat Pengetahuan TentangSwamedikasi ... 46

(11)

xi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Definisi Operasional Kuisioner Penelitian ... 30

4.1 Karakteristik Responden ... 37

4.2 Keluhan Penyakit yang dialami Responden ... 40

4.3 Jenis Obat yang digunakan Responden ... 41

4.4 Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden ... 42

4.5 Distribusi Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi ... 42

4.6 Frekuensi Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi ... 43

4.7 Distribusi Status Penilaian untuk Setiap Kategori Rasionalitas ... 44

4.8 Hubungan Tingkat Pengetahuan Sosiodemografi Responden ... 47

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi ... 39

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner yang Telah Valid dan Reliabel ... 55

2. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Farmasi USU ... 58

3. Surat Persetujuan Komisi Etik Universitas Sumatera Utara .. 59

4. Surat Balasan Izin dari Kepala Dinkes Kabupaten

(15)

vi

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

ABSTRAK

LatarBelakang: Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei cross sectional. Sebanyak 342 responden dari tiga apotek terlibat dalam penelitian ini. Responden berusia 18-60 tahun dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data dianalisis dengan uji Chi- square dan uji Fisher menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 20,5% tergolong baik, 41,8% tergolong sedang, dan 37,7% tergolong buruk (37,7%). Penggunaan obat swamedikasi 59,4% rasional dan 40,6% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan uji Fisher, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%.

(16)

vii

LEVEL KNOWLEDGE OF PATIENT AND RATIONALITY OF SELF MEDICATION IN THREE PHARMACIES PANYABUNGAN

ABSTRACT

Background: Self medication is a part of community effort to preserve their own health. In practice, the self medication can be a source of drug related problem because lack of knowledge about drugs and their use.

Purpose: The aim of this study was to determine the level of knowledge and rationality of medicinal use self medication.

Method: This study was using survey cross sectional method. Total respondents (n=342) were involved this study of three pharmacies. Respondent were 18--60 years old and selected by consecutive sampling method. Data was collected by using a validated questionnaire. Data were analyzed by Chi-square test and Fisher test using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.

Results: The research shows that level knowledge of patientwere good classified, 41.8% were medium classified, and 37.7% were bad classified. Drug use self medication were 59.4% rational and 40.6% irrational used. Based the result of Chi-square and Fisher test, educated and jobs can influence the level of knowledge, Mean while rationality of self medication use was not influenced by sociodemography factor.

Conclusion: Based on the research results obtained that majority level knowledge of patient were good classified. Irrational drug use self medication was reached 40.6%.

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang

yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya

kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan dari suatu penyakit, antara

lain adalah dengan berobat ke dokter atau mengobati diri sendiri (Atmoko dan

Kurniawati, 2009).

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah penggunaan obat-obatan

dengan maksud terapi tetapi tanpa saran dari profesional atau tanpa resep

(Osemene dan Laminkara, 2012). Pengobatan sendiri termasuk memperoleh

obat-obatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan resep lama yang pernah

diterima, berbagi obat-obatan dengan kerabat atau anggota lingkaran sosial

seseorang atau menggunakan sisa obat-obatan yang disimpan dirumah

(Adhikary, 2014). Upaya masyarakat untuk mengobati diri sendiri dikenal

dengan istilah swamedikasi (Depkes RI., 2008).

Berdasarkan data dari laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

tahun 2012, terdapat 44,14% masyarakat Indonesia yang berusaha untuk

melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga

mencatat sejumlah 103.860 (35.2%) rumah tangga dari 294.959 rumah tangga di

Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi (Kemenkes RI., 2014).

Pengobatan sendiri biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan dan

penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, batuk,

(18)

2

Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri

cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa melibatkan tenaga

kesehatan (Fleckentein, dkk., 2011). Alasan lain adalah karena semakin

mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki

untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan (Atmoko dan

Kurniawati, 2009; Gupta, dkk., 2011).

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.

Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara

lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, ada tidaknya efek samping,

tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya

polifarmasi (Depkes RI., 2008). Dalam praktiknya, kesalahan penggunaan obat

dalam swamedikasi ternyata masih terjadi, terutama karena ketidaktepatan obat

dan dosis obat. Apabila kesalahan terjadi terus-menerus dalam waktu yang lama,

dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Depkes RI., 2006).

Keterbatasan pengetahuan tentang obat dapat menyebabkan rentannya

masyarakat terhadap informasi komersial obat, sehingga memungkinkan

terjadinya pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan

pemberian informasi yang benar (Purwanti, dkk., 2004).

Laporan Pan American Health Organiation (PAHO) mengenai “ Drug

Classification: Prescription and OTC (Over The Counter ) Drug”, terdapat hasil

survei yang dilakukan oleh The World Self Medication industri (WSMI) di 14

negara. Survei tersebut menunjukkan bahwa pengobatan sendiri meningkat

(19)

3

adanya pengetahuan tentang obat dan pengobatan sehingga kelompok tersebut

tidak terlalu terpengaruh pada iklan dan promosi obat (PAHO, 2004).

Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah kabupaten paling selatan

dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pembagian wilayah secara administratif,

wilayah Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011 terbagi atas 23 kecamatan yang

terdiri dari 408 desa/kelurahan yang masing-masing merupakan 378 desa dan 30

kelurahan. Pada Tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal

meningkat dari tahun 2010 menjadi 408.731 jiwa dengan 96.365 KK (Kepala

Keluarga) (Dinkes Kab. Madina, 2012).

Berdasarkan data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian (Kemenkes

RI, 2015), pada tahun 2013 terdapat 15 Apotek dan 50 Toko obat di Kabupaten

Mandailing Natal. Menurut Profil Kesehatan tahun 2011, sarana kesehatan yang

tersedia di Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 4 Rumah Sakit Umum, 26

Puskesmas yang berada di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Mandailing

Natal dengan 58 Puskesmas pembantu, 11 Balai pengobatan/Klinik, dan 60

Praktek dokter perorangan. Jumlah tenaga kesehatan secara umum masih kurang

termasuk dokter, tenaga farmasi, tenaga analis kesehatan, tenaga gizi dan

kesehatan lingkungan dan tenaga kesehatan lainnya (Dinkes Kab. Madina, 2013).

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan

masyarakat tentang swamedikasi tergolong baik dan rasionalitas penggunaan obat

swamedikasi tergolong rasional (Hermawati, 2012; Alkhairi, 2014). Penelitian

lain menunjukkan bahwa faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, tingkat

(20)

4

rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman

(Kristina, dkk., 2007).

Sarana kesehatan, perhubungan dan komunikasi yang ada di Kabupaten

Mandailing Natal sudah cukup memadai, Peningkatan ekonomi masyarakat serta

institusi pendidikan kesehatan yang sudah mulai bangkit sangat mendukung

masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pengobatan yang baik (Dinkes

Kab. Madina, 2013; BPS Kab. Madina, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat

swamedikasi di Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan

pasien dan rasionalitas swamedikasi di Apotek kota Panyabungan Kabupaten

Mandailing Natal.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. apakah tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota

Panyabungan tergolong baik ?

b. apakah penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota

Panyabungan tergolong rasional ?

c. apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat

mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga

(21)

5 1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian

ini adalah :

a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota

Panyabungan tergolong baik.

b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota

Panyabungan, mayoritas tergolong rasional.

c. faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat

mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga

apotek kota Panyabungan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota

Panyabungan.

b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tigaapotek kota

Panyabungan.

c. apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan jenis

kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan

pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi Pemerintah Daerah,

(22)

6 kesehatan masyarakat.

b. data dan informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat

digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat

dan variabel bebas. Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi dan

rasionalitas penggunaan obat swamedikasi merupakan variabel terikat. Sedangkan

variabel bebasnya adalah data demografi pasien seperti umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Secara skematis kerangka pikir penelitian

ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi

Karakteristik Pasien -Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan

- Pekerjaan Rasionalitas penggunaan obat

(23)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi (Pengobatan Sendiri).

Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa

resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Dasar hukum

swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993.

Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa swamedikasi merupakan salah satu

upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit atau

penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi

kepada dokter. Namun penting untuk dipahami bahwa swamedikasi yang tepat,

aman,dan rasional tidak dengan cara mengobati tanpa terlebih dahulu mencari

informasi umum yang bisa diperoleh tanpa harus melakukan konsultasi dengan

pihak dokter. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau

brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker

pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam

daftar obat wajib apotek (Depkes RI., 2006; Zeenot, 2013).

Apabila dilakukan dengan benar, maka swamedikasi merupakan

sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan

kesehatan secara nasional (Depkes RI., 2008).

2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi

Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi yang keberadaannya hingga

saat ini semakin mengalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab tersebut

(24)

8 a. Faktor sosial ekonomi

Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang berdampak

pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus semakin mudahnya

akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula tingkat ketertarikan

masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga hal itu kemudian mengakibatkan

terjadinya peningkatan dalam upaya untuk berpartisipasi langsung terhadap

pengambilan keputusan kesehatan oleh masing-masing individu tersebut.

b. Gaya hidup

Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa

berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki

kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus

mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.

c. Kemudahan memperoleh produk obat

Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih

kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan dengan

harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.

d. Faktor kesehatan lingkungan

Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar

sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada semakin

meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan

mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.

e. Ketersediaan produk baru

Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan pengobatan sendiri

(25)

9

semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal tersebut langsung

membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia

(Zeenot, 2013).

2.3 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi

Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun. Sebagaimana terurai dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk

diagnosa, pencegahan penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan, yang

hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tepat, namun dapat bersifat sebagai

racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobatan dengan dosis yang

berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapat

menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk

penyembuhan penyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997; Ditjen POM, 1997).

Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya

dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan

jika mengikuti aturan memakainya (Anief, 1997).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah

golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes

NO. 2380/1983).

2.3.1 Obat Bebas

Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa

diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini

ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar berwarna hijau. Contohnya

(26)

10 2.3.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter,

namun dalam penggunaannya harus memperhatikan peringatan-peringatan

tertentu. Obat ini juga dapat diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang

eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar

berwarna biru, juga disertai peringatan dengan latar belakang warna hitam.

Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu. Adapun peringatan yang

dicantumkan ada 6 macam sesuai dengan aturan pemakaian masing-masing

obatnya, yaitu :

a. Peringatan no.1: Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pakainya !

b. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan

c. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan

d. Peringatan no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar

e. Peringatan no.5: Awas! Obat Keras. Tidak Boleh Ditelan

f. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan (Widodo,

2004).

2.3.3 Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990

Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker

kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Berikut beberapa ketentuan yang

harus dipatuhi apoteker dalam memberikan obat wajib apotek kepada pasien.

a. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar mengenai data

(27)

11

b. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus jumlah yang

bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang

diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan tentang daftar obat wajib apotek

(OWA).

c. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat yang

diserahkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian, cara

penyimpanan, dan efek samping yang tidak diinginkan yang paling

dimungkinkan akan timbul sekaligus tindakan yang disarankan apabila hal itu

memang benar-benar terjadi.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang

dapat diserahkan tanpa resep adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak memberikan risiko

pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus melibatkan

tenaga kesehatan, semisal dokter atau perawat.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

(28)

12

2.4 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi

Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati secara swamedikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan

gastritis (Supardi dan Raharni, 2006; Abay dan Amelo, 2010).

2.4.1 Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan

gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370 C, apabila suhu tubuh

lebih dari 37,20 C pada pagi hari dan lebih dari 37,70 C pada sore hari berarti

demam. Demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Penyebab

infeksi antara lain kuman, virus, parasit, atau mikroorganisme lain. Contoh :

radang tenggorokan, cacar air, campak, dan lain-lain. Penyebab non infeksi antara

lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi, stres, trauma, dan lain-lain (Depkes

RI., 2007).

Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan

dapat diatasi dengan istirahat yang cukup, usahakan makan seperti biasa meskipun

nafsu makan berkurang, minum banyak air, periksa suhu tubuh setiap 4 jam,

kompres dengan air hangat, dan hubungi dokter bila suhu sangat tinggi (diatas

380C), terutama pada anak-anak. Terapi obat yaitu dengan menggunakan obat

penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara

terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas (antipiretik) yang

dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal.

Dosis pemakaian obat penurun panas untuk dewasa umumnya tiga hingga

4 kali sehari. Batas waktu pemakaian obat penurun panas pada pengobatan sendiri

(29)

13

dapat menimbulkan overdosis. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya diminum

setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko

mengiritasi lambung (Depkes RI., 2007).

2.4.2 Nyeri

Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya

gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot. Contoh : nyeri

karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-lain.

Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf karena kerusakan

jaringan tubuh yang disebabkan antara lain :

a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan

lain-lain.

b. Proses infeksi atau peradangan

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:

a. Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda

b. Kompres hangat pada nyeri otot

c. Gunakan obat penghilang nyeri

d. Bila nyeri berlanjut hubungi dokter

Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri, antara

lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan

untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi

dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek penurun

(30)

14

Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.

Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih

dari lima hari (Depkes RI., 2006).

2.4.3 Batuk

Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau

saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau

merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau

menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya merupakan gejala infeksi saluran

pernapasan atas (misalnya batuk-pilek, flu) dimana sekresi hidung dan dahak

merangsang saluran pernapasan. Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan

pernapasan tetap bersih. Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk

kering. Batuk berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari

batang tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya

dahak.

Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain; infeksi (flu,

bronkitis, pneumonia, TBC, dan kanker paru-paru), alergi dan penyempitan

saluran pernafasan.

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:

a. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong membersihkan

tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.

b. Hentikan kebiasaan merokok

c. Hindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin atau

(31)

15

d. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong meringankan iritasi

tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk kalau tenggorokan anda

kering atau pedih.

e. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan sekresi

hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga ditambahkan

sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka sumbatan saluran

pernapasan

f. Minum obat batuk yang sesuai

g. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter

h. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak harus segera

dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan.

Obat batuk dibagi menjadi 2 yaitu ekspektoran (pengencer dahak) dan

antitusif (penekan batuk)

a. Obat Batuk Berdahak (Ekspektoran) seperti Gliseril Guaiakolat, Bromheksin,

Kombinasi Bromheksin dengan Gliseril Guaiakolat dan Obat Batuk Hitam

(OBH).

b. Obat Penekan Batuk (Antitusif) seperti Dekstrometorfan HBr (DMP HBr),

Difenhidramin HCl (Depkes RI., 2007).

2.4.4 Flu

Flu adalah suatu infeksi saluran pernapasan atas. Orang dengan daya tahan

tubuh yang tinggi biasanya sembuh sendiri tanpa obat. Pada anak-anak, lanjut usia

dan orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah lebih cenderung menderita

komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder. Flu ditularkan melalui percikan udara

(32)

16

hidung/mulut.Infeksi saluran pernafasan bagian atas disebabkan oleh virus

influenza.

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:

a. Istirahat yang cukup

b. Meningkatkan gizi makanan dengan protein dan kalori yang tinggi

c. Minum air yang banyak dan makan buah segar yang banyak mengandung

vitamin

d. Minum obat flu untuk mengurangi gejala/keluhan

e. Periksa ke dokter bila gejala menetap sampai lebih dari 3 hari (Depkes RI.,

2007).

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak

dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya

merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:

a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam.

b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat

menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.

c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin,

fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.

d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai

flu.

Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi

yang sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu

(33)

17

sehari. Batas waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak

lebih dari tiga hari (Depkes RI., 2006).

2.4.5 Maag

Sakit maag adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi

iritasi lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas berupa rasa nyeri

atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai makan. Namun kalau rasa

pedih hanya terjadi sebelum makan atau di waktu lapar dan hilang setelah makan,

biasanya karena produksi asam lambung berlebihan dan belum menderita sakit

maag.

Penyakit maag akut umumnya lebih mudah ditangani daripada maag

kronis. Pada maag akut biasanya belum ada gejala kerusakan yang jelas pada

dinding lambung; mungkin hanya disebabkan oleh berlebihnya produksi asam

lambung sesaat atau akibat makanan yang merangsang terlalu banyak. Sedangkan

pada maag kronis penderita bisa mengalami pembengkakan atau radang pada

dinding lambung, luka sampai perdarahan. Peningkatan produksi asam lambung

dapat terjadi karena :

1. Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan yang

pedas atau asam, kopi, alcohol, Faktor stres baik stres fisik (setelah

pembedahan, penyakit berat, luka bakar) maupun stres mental.

2. Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat

rematik, anti inflamasi)

(34)

18

Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan

antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam

lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang

beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam

magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain

antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas

yang berlebih di dalam saluran cerna.

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali

sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2

minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh

pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan

b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah

saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam.

c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.

Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.

d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang (Depkes

RI., 2006).

2.4.6 Diare

Diare adalah buang air besar dalam bentuk cair lebih dari tiga kali dalam

sehari, biasanya disertai sakit dan kejang perut.

Jenis-jenis diare antara lain :

1. Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-obat tertentu

(35)

19

lemas kadang demam dan muntah, berlangsung beberapa jam sampai beberapa

hari.

2. Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu

lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.

3. Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir.

Diare yang hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh

sendiri. Tetapi diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa

membahayakan jiwa. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan

cairan tubuh yang dapat berakibat kematian, terutama pada anak/bayi jika tidak

segera diatasi. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka

hal ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi dan anak-anak di bawah

umur lima tahun. Pada kasus yang jarang, diare yang terus-menerus mungkin

merupakan gejala penyakit berat seperti tipus, cholera atau kanker usus.

Obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare adalah oralit untuk mencegah

kekurangan cairan tubuh, Adsorben dan Obat Pembentuk Massa (yang termasuk

dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben), kombinasi

Kaolin-Pektin dan attapulgit). Kegunaannya adalah untuk mengurangi frekuensi

buang air besar, memadatkan tinja, menyerap racun pada penderita diare (Depkes

RI., 2007).

2.5 Masalah-masalah Pada Swamedikasi

a. Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen

(36)

20

b. Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan

media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih

obat tanpa resep.

c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat

dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak

rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah apotek dan toko obat

di Indonesia yang meningkat.

d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini

apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka

24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan semacam ini

juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya, 2011).

2.6 Penggunaan Obat yang Rasional

Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat

dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997).

Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat

yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan harga yang

terjangkau.

Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008) adalah :

a. Tepat diagnosis

Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak

ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

b. Tepat indikasi penyakit

Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.

(37)

21

Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.

d. Tepat dosis

Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila

salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi

tidak tercapai.

1. Tepat Jumlah

Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.

2. Tepat cara pemberian

Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya

dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur

dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat

diabsorpsi sehingga menurunkan efektifitasnya.

3. Tepat interval waktu pemberian

Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin dan praktis

agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per

hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.

Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut

harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

4. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing.

Untuk Tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan,

sedangkan untuk kusta paling singkat 6 bulan. Lama pemberian

(38)

22 e. Tepat penilaian kondisi pasien

Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus

memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut

usia atau bayi.

f. Waspada terhadap efek samping

Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang

timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual,

muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.

g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau

Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.

h. Tepat tindak lanjut (follow up)

Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut

konsultasikan ke dokter.

i. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri

sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat

di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan

informasi yang tepat.

j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :

a. Jenis sediaan obat beragam

b. Jumlah obat terlalu banyak

c. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

(39)

23

e. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara

menggunakan obat

f. Timbulnya efek samping

Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa

aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya

kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan

makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk

indikasi penyakit yang sama (Hermawati, 2012).

2.7 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi

Menurut Anief (1997), keuntungan melakukan swamedikasi yaitu lebih

mudah, cepat, hemat, tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat

dilakukan oleh diri sendiri.

Kekurangan swamedikasi yaitu : obat dapat membahayakan kesehatan

apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu

apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat

yang tidak diinginkan, efek samping atau resistensi, penggunaan obat yang salah

akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman

menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi, dkk., 2005).

Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali keseriusan

gangguan. Keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin tidak dikenali,

sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan bersangkutan

dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan obat-obat yang

lebih keras. Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat

(40)

24

Guna mengatasi resiko tersebut, maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut

(Tjay dan Raharja, 1993).

2.8 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik

kefarmasian oleh Apoteker (Permenkes RI No. 35 Tahun 2014). Sedangkan menurut Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu

yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran

perbekalan farmasi kepada masyarakat (Bogadenta, 2012).

Tugas dan fungsi apotek ialah : (PP No.25 Tahun 1980)

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan.

b. Sarana farmasi yang melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran

dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalura perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang

diperlukan masyarakat secara meluas dan merata (Anief, 2007).

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian

telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat

sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care)

dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang

(41)

25

penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk

mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya

kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan

mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related

problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial

(socio-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus

menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu

berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk

mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut,

Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat,

melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk

melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:

A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

B. Pelayanan farmasi klinik, meliputi :

a. pengkajian Resep

b. dispensing

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan

Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai

(42)

26

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan

metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,

keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,

stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan

swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang

memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat

bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

d. konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan

kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan

menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,

Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien

dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker

harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami

Obat yang digunakan.

e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);

f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ((Permenkes RI No. 35 Tahun

(43)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei menggunakan desain

pendekatan cross sectional (Saryono, 2008). Penelitian survei deskriptif

dimaksudkan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang

terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga apotek di Panyabungan. Berdasarkan

data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian, pada tahun 2013 terdapat 15

Apotek di Kabupaten Mandailing Natal. Apotek dipilih berdasarkan lokasi yang

strategis seperti mudah dijangkau penduduk dari berbagai daerah di Kabupaten

Mandailing Natal dan jumlah pengunjung yang paling ramai.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari jam 08.00 s/d 18.00 pada bulan

Maret - April 2015 di tiga Apotek di Panyabungan.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah semua pasien

swamedikasi berusia 18 – 60 tahun dari tiga apotek di Panyabungan.

3.3.2 Sampel

(44)

28

tahun dari tiga apotek di Panyabungan yang memenuhi kriteria inklusi.

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling hingga

jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro dan ismael, 2002).

Kriteria inklusi :

a. pasien yang datang ke apotek untuk melakukan swamedikasi.

b. pasienberumur18 – 60 tahun

Kriteria eksklusi

a. pasien yang tidak bersedia bekerja sama dalam penelitian ini

Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga apotek yang menjadi tempat

penelitian, jumlah pasien swamedikasi perbulan di apotek A (1495 pasien), di

apotek B (1180 pasien) dan di apotek C (450 pasien), sehingga diperoleh jumlah

pasien swamedikasi di tiga apotek adalah 3125 pasien. Jumlah sampel minimum

yang diambil dihitung menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga (1991)

berikut ini :

n =

N Zα 2

2. P. (1P)

N. D2 + Zα 2

2. P. (1P)

n = 3125 . (1,96)

2 . 0,5. (10,5)

3125 . (0,05)2+. (1,96)2 . 0,5. (10,5)

n = 3001,25 7,8125 + 0,9604

n =3001,25 8,7729

n = 342,1046

(45)

29 Dengan :

N =Jumlah Populasi

n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan

Z1-α /2 = Derajat kepercayaan 95% dengan nilai 1,96

P = Proporsi populasi = 0,5

d = Limit dari error / presisi absolut dengan % kepercayaan yang

diinginkan 95%., d = 0,05

Dalam penelitian ini, N = 3125 orang

Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk

penelitian ini adalah sebanyak 342 pasien. Penentuan jumlah pasien dari

masing-masing apotek dilakukan secara proporsional menggunakan rumus berikut:

N

Total x Jumlah responden yang diperlukan

Dengan : N = Jumlah pasien swamedikasi selama sebulan di apotek X

a. Apotek A

1495

3125 x 342 = 163,6128 (Dibulatkan menjadi 164 )

b. Apotek B

1180

3125 x 342 = 129,1392 (Dibulatkan menjadi 129)

c. Apotek C

450

(46)

30 3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian

Variabel Definisi Skala Kategori

1. Tingkat pengetahuan tentang swamedikasi

Pengetahuan responden ber- dasarkan kemampuan untuk menjawab 11 pertanyaan mengenai- pengertian swa- medikasi, tanda golongan obat, dosis obat pada anak-anak dan dewasa, dosis obat-obatan tanpa resep dokter, aturan minum obat, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat, efek samping obat, dan interaksi obat, cara penyim-panan obat dan fungsi apo- teker dalam pelayanan obat (Depkes RI., 2008).

Ordinal 1.Buruk : kasi yang memenuhi 6 kri- teria penggunaan obat rasio- nal, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, efek samping obat, tidak adanya kontra- indikasi, tidak adanya interakasi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI., 2008; Hermawati, 2012).

Ordinal 1. Tidak rasional, bila nilai < 6, yang berarti tidak semua kriteria (Depkes RI., 2008).

3. Nama Nama responden sesuai dengan identitas asli

Nominal -

4. Umur Lama hidup responden sejak lahir hingga ulang tahun terakhir.

(47)

31 Tabel 3.1 (Lanjutan).

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin respon-den

Nominal a.Laki-laki b.Perempuan

6. Pendidikan Jenjang sekolah formal sesuai sistem pendidi-kan nasional yang terakhir diikuti dan di-tamatkan.

Ordinal a.Tidak tamat SD b.SD

c.SMP d.SMA

e.Perguruan Tinggi

7. Pekerjaan Pekerjaan yang dilaku- kan responden

Nominal a.Tidak/belum bekerja b.Karyawan

c.Guru d.Mahasiswa e.Tenaga Kesehatan f.Lainnya

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer yang diperoleh secara

langsung dari pasien melalui pengisian kuesioner.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan terlebih dahulu menanya pasien

apakah pasien membeli obat dengan resep dokter atau tanpa resep dokter. Jika

membeli obat tanpa resep dokter maka peneliti menjelaskan maksud dan

tujuannya serta menanya pasien apakah bersedia meluangkan waktunya untuk

mengisi kuesioner, jika pasiennya setuju maka kuesioner dibagikan.

3.5.3 Kuesioner Swamedikasi

Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti

berdasarkan beberapa kuesioner yang digunakan pada penelitian terdahulu

mengenai swamedikasi. Hal ini dikarenakan tidak diperolehnya kuesioner yang

(48)

32

Kuesioner yang diisi pasien terdiri dari 4 bagian yaitu : bagian

pendahuluan, pengetahuan swamedikasi, rasionalitas swamedikasi dan data

demografi.

3.5.3.1 Kuesioner Bagian Pendahuluan

Kuisioner pada bagian ini bertujuan untuk mengetahui : apakah pasien

pernah membeli obat tanpa resep dokter, (jika pernah) dimanakah pasien

memperoleh obat tersebut, dan darimana pasien memperoleh informasi mengenai

obat tersebut.

3.5.3.2 Kuesioner Bagian Pengetahuan Swamedikasi

Pertanyaan yang digunakan pada bagian pengetahuan swamedikasi

bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi.

Terdapat sebelas pertanyaan yaitu: mengenai pengertian swamedikasi, tanda

golongan obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter, penggunaan dosis obat antara

anak-anak dan dewasa, dosis obat yang dibeli tanpa resep dokter, aturan minum

obat dengan dosis 3 kali sehari, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat,

efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan fungsi apoteker

dalam pelayanan obat.

3.5.3.3 Kuesioner Bagian Rasionalitas Swamedikasi

Tujuan dari pertanyaan yang digunakan pada bagian rasionalitas

swamedikasi adalah untuk mengetahui rasionalitas obat swamedikasi yang pernah

digunakan oleh responden. Terdapat 8 butir pertanyaan mengenai obat yang

digunakan pasien yaitu : nama obat, indikasi obat, dosis dan cara pakai obat, lama

penggunaan obat, efek samping obat yang dialami pasien, kondisi khusus pasien

(49)

33 3.5.3.4 Kuesioner Bagian Data demografi

Jenis pertanyaan yang digunakan pada bagian data demografi terdiri nama,

umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan terakhir dan pekerjaan responden.

pertanyaan-pertanyaan diatas bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden

yang diperoleh selama penelitian.

3.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Sebelum kuesioner digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya

didalam penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji ini

dilakukan pada minimal 20 orang yang tidak termasuk responden dan dilakukan

diluar lokasi penelitian, tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan responden

di lokasi penelitian (Notoatmodjo, 2010).

3.5.4.1Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2002).

Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi pearson, yaitu dengan cara

mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika

seluruh butir pertanyaan mempunyai nilai p < 0,05 (nilai yang terdapat pada baris

Sig, (2-tailed) < α, maka kuesioner tersebut dapat dinyatakan valid (Trihendradi,

2011).

3.5.4.2Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat apakah suatu instrumen cukup

dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Uji reliabiltas

(50)

34

Alpha lebih besar dari 0,600 dan mendekati 1, maka nilai kuesioner dapat

dinyatakan reliabel (Trihendradi, 2011).

3.5.4.3Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Pada penelitian ini, Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada bagian

kedua dan ketiga dari kuesioner, karena pada kedua bagian tersebut digunakan

dalam pengukuran tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat pada

pasien swamedikasi.Uji ini dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil uji validitas dan

reliabilitas yang diperoleh yaitu; uji yang pertama dan kedua ( hasilnya

menunjukkan beberapa soal memiliki nilai p > α (0,05) dan dinyatakan tidak

valid. Nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada uji yang pertama < 0,0600

(Tidak reliable). Sedangkan pada uji yang kedua, kuesioner bagian kedua yaitu >

0,600 dan dinyatakan reliable dan nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada

bagian ketiga kuesioner yaitu < 0,600 dan dinyatakan tidak reliable .Oleh karena

itu masih perlu dilakukan revisi pada beberapa pertanyaan kuesioner, agar

validitas dan reliabilitas yang diharapkan tercapai. Revisi kuesioner pada

penelitian ini paling banyak dilakukan pada struktur kalimat, kata / kalimat yang

sulit dimengerti serta ada beberapa pertanyaan yang kurang sesuai dengan topik

yang diteliti. Hasil uji validitas yang ketiga menunjukkan nilai p seluruh butir

pertanyaan < α (0,05) dan kuesioner dinyatakan valid. Nilai Cronbach’s alpha

yang diperoleh pada uji reliabilitas yang ketiga ini juga menunjukkan nilai >

0,600 dan dinyatakan reliable.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan

(51)

35

jawaban sudah terisi. Kemudian dilakukan pengkodean pada setiap jawaban

dengan memberi skor atau nilai tertentu. Pada kuesioner bagian pengetahuan

swamedikasi, setiap jawaban yang “benar” diberi nilai 2, jawaban yang “salah”

diberi nilai 1, dan jawaban “tidak tahu” diberi nilai 0. Sedangkan pada bagian

rasionalitas swamedikasi, pada setiap jawaban yang “benar, tidak ada efek

samping obat” diberi nilai 0 dan jawaban yang “salah, terdapat efek samping obat

“ diberi nilai 1. Kemudian data dikelompokkan sesuai dengan karakteristik

masing-masing dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, untuk mengetahui

hubungan faktor-faktor sosiodemografi pasien dengan pengetahuan dan

rasionalitas penggunaan obat, maka dilakukan analisis dengan uji Chi-Square atau

Fisher Test ketika syarat Chi-Square tidak terpenuhi.

3.7 Prosedur Penelitian

Langkah-Langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah:

a. menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden

b. mengurus surat pengantar dari Dekan Fakultas Farmasi USU kepada dinas

kesehatan Kabupaten Mandailing Natal untuk melakukan penelitian dengan

responden pada tiga Apotek di kota Panyabungan

c. mengurus surat pengantar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal

kepada PSA (pemilik sarana apotek ) yang terpilih.

d. menghubungi PSA/APA yang memiliki Apotek tersebut untuk mendapatkan

izin melakukan penelitian

e. selama izin penelitian diproses, uji validitas dan reliabilitas dilakukan

(52)

36

f. setelah izin dari pihak apotek serta validitas dan reliabilitas kuesioner

diperoleh, dilanjutkan dengan pengambilan data.

g. membagikan kuesioner penelitian kepada responden

h. mengumpulkan data penelitian

(53)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Responden

Dari tabel 4.1 dapat diketahui karakteristik responden yang diperoleh

selama penelitian.

Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.

Variabel Jumlah (N)

(342)

d Perguruan Tinggi

32

a Tidak/belum bekerja b Guru

c Tenaga kesehatan d Lainnya

Sebanyak 342 responden yang berasal dari tiga apotek terlibat dalam

penelitian ini, 164 responden berasal dari apotek A, 129 responden berasal dari

apotek B dan 49 responden berasal dari apotek C. Berdasarkan hasil penelitian ini,

responden didominasi oleh perempuan (69,3%) dengan golongan umur antara

(54)

38

kategori pekerjaan yang paling banyak adalah petani, karyawan dan wiraswasta

(di dalam tabel disebut sebagai lainnya (47,4%). Data lengkap dapat dilihat pada

Tabel 4.1.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Italia,

yang menyebutkan bahwa frekuensi pengobatan sendiri cukup tinggi terutama

pada wanita, usia yang lebih muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi (Garofalo, L, dkk., 2014). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa

menurut faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, dan pendapatan, yang

paling banyak melakukan pengobatan sendiri adalah kelompok usia di bawah 30

tahun (59,5%), jenis kelamin wanita (61,9%) dan kelompok berpenghasilan tinggi

(40,5%) (Worku dan Abebe, 2003). Hal ini juga sesuai dengan survei yang

dilakukan oleh The World Self Medication Industry (WSMI) sebelumnya yang

mengungkapkan bahwa swamedikasi meningkat jumlahnya pada populasi

penduduk yang tingkat pendidikannya lebih tinggi (PAHO, 2004).

4.2 Sumber Informasi dan Tempat Mendapatkan Swamedikasi

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa mayoritas

responden melakukan swamedikasi berdasarkan pengalaman pribadi/keluarga

(31,6). Data lengkap dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa mayoritas responden

melakukan pengobatan sendiri karena pengalaman penggunaan obat sebelumnya

(Abay dan Amelo, 2010). Semua konsumen obat berharap bahwa obat yang

digunakan akan secepatnya dapat dirasakan manfaatnya. Obat-obat yang

dirasakan lambat atau tidak memberikan efek, akan mendorong mereka tidak lagi

(55)

39

Apotek (29,8%) Supermarket (4,4%)

untuk memberikan informasi, membimbing dan memilih obat yang tepat untuk

pasien (Anief, 1997).

Gambar 4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi

Dari gambar 4.2 dapat diketahui tempat responden dalam melakukan

swamedikasi.

Gambar 4.2 Tempat Mendapatkan Obat Swamedikasi.

Tempat responden dalam melakukan swamedikasi antara lain (55,8%) di

warung, 29,8 % di apotek, 8,5 %) di toko obat, 4,4% disupermarket dan 1,5 %

lainnya seperti dari tetangga atau saudara/i responden. Data lengkap dapat dilihat Warung (55,8%)

Toko obat (8,5%)

Lainnya (1,5%)

Iklan (17,3%)

Petugas kesehatan (21,1%)

Saran dari orang lain Lainnya(0,9%)

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian
Tabel 3.1 (Lanjutan). 5. Jenis Jenis  kelamin respon-
Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang di ukur ada 3 yaitu variabel fakor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan (pengertian batuk, jenis batuk, jenis obat batuk, aturan minum obat batuk,

Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 21,1% tergolong baik, 31,9% tergolong sedang, dan 39,7% tergolong buruk.. Penggunaan obat swamedikasi

Termasuk dalam hal memilih obat, perlu penyesuaian dengan kondisi tubuh, karena obat memiliki sifat dan cara kerja masing-masing yang pada suatu kondisi tubuh tertentu menjadi

Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan Cimanggis Depok.Jurnal.. Depok: Departemen Farmasi

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA

apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi

Swamedikasi adalah upaya seseorang untuk mengobati penyakit atau gejala ringan tanpa resep dokter.Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat, penggunaan obat,

Tabel 4.7 Distribusi Status Penilaian Untuk Setiap Kriteria Rasionalitas Kriteria Status Jumlah Persentase % Ketepatan pemilihan obat Tidak tepat Tepat 5 345 1,4 98,6 Ketepatan