TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS
SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN
SKRIPSI
OLEH:
NUR AINI HARAHAP
NIM 111501008
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS
SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NUR AINI HARAHAP
NIM 111501008
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
iv
PENGESAHAN SKRIPSI
TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS
SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN
OLEH:
NUR AINI HARAHAP NIM 111501008
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal : 05 Oktober 2015 :
Disetujui oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 197802152008122001 NIP 195110251980021001
Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt Pembimbing II, NIP 197802152008122001
Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 195111021977102001 NIP 197803142005011002
Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 19780603200512004
Medan, Oktober 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan anugerah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Tiga Apotek Kota
Panyabungan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku
Pejabat Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,
kepada Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., dan Dra. Juanita Tanuwijaya,
M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Wiryanto, M.S., Apt., Hari
Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., dan Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.,
selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi
ini, kepada Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing
akademik yang selalu membimbing selama masa pendidikan, serta kepada drg.
Ismail Lubis, Holida Rahmi Lubis, S.Si., Apt., Katharina Budiastuti, S.Si, Apt.,
dan Rusdi Nasution, S.Si., Apt., yang telah mendukung dan memberikan arahan
dalam penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan yang
tulus dan tak terhingga kepada orangtua tersayang Ayahanda Mula Poltak
v
materil, kakakku tersayang Amaliah Harahap, SKM, abangku Juhari Harahap,
Abdul Kholil Harahap, Syahrijal Harahap, Isdardi, dan adekku Rukiah Yanti
Harahap, Rini Antika Harahap, Mhd. Latif Harahap, yang telah memberikan
semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yana, kak tika, kak eka, kak baiq,
kak jesica, nana, dwi lutiati, ima, lisa, qisthi, maal, dwi yunita, wulan, suli, maal,
ningsih, suci, desti, putri, ria, mei, lia, serta teman-teman FKK 2011 yang tak bisa
disebut satu persatu namanya, yang selalu memberikan motivasi dan segala
bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan
skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan khususnya bidang farmasi.
Medan, Agustus 2015 Penulis,
vi
TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN
ABSTRAK
LatarBelakang: Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei cross sectional. Sebanyak 342 responden dari tiga apotek terlibat dalam penelitian ini. Responden berusia 18-60 tahun dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data dianalisis dengan uji Chi- square dan uji Fisher menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 20,5% tergolong baik, 41,8% tergolong sedang, dan 37,7% tergolong buruk (37,7%). Penggunaan obat swamedikasi 59,4% rasional dan 40,6% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan uji Fisher, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%.
vii
LEVEL KNOWLEDGE OF PATIENT AND RATIONALITY OF SELF MEDICATION IN THREE PHARMACIES PANYABUNGAN
ABSTRACT
Background: Self medication is a part of community effort to preserve their own health. In practice, the self medication can be a source of drug related problem because lack of knowledge about drugs and their use.
Purpose: The aim of this study was to determine the level of knowledge and rationality of medicinal use self medication.
Method: This study was using survey cross sectional method. Total respondents (n=342) were involved this study of three pharmacies. Respondent were 18--60 years old and selected by consecutive sampling method. Data was collected by using a validated questionnaire. Data were analyzed by Chi-square test and Fisher test using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.
Results: The research shows that level knowledge of patientwere good classified, 41.8% were medium classified, and 37.7% were bad classified. Drug use self medication were 59.4% rational and 40.6% irrational used. Based the result of Chi-square and Fisher test, educated and jobs can influence the level of knowledge, Mean while rationality of self medication use was not influenced by sociodemography factor.
Conclusion: Based on the research results obtained that majority level knowledge of patient were good classified. Irrational drug use self medication was reached 40.6%.
viii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 5
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Swamedikasi (Pengobatan Sendiri) ... 7
2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi ... 7
2.3 Obat dan Penggolongannya dalam Swamedikasi ... 9
ix
2.3.2 Obat Bebas Terbatas ... 10
2.3.3 Obat Wajib Apotek ... 10
2.4 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi ... 12
2.4.1 Demam ... 12
2.4.2 Nyeri ... 13
2.4.3 Batuk ... 14
2.4.4 Flu ... 15
2.4.5 Maag ... 17
2.4.6 Diare ... 18
2.5 Masalah-masalah pada Swamedikasi ... 19
2.6 Penggunaan Obat yang Rasional ... 20
2.7 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi ... 23
2.8 Apotek ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 27
3.1 JenisPenelitian ... 27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 27
3.2.2 Waktu Penelitian ... 27
3.3 Populasi dan Sampel ... 27
3.3.1 Populasi ... 27
3.3.2 Sampel ... 27
3.4 Definisi Operasional ... 30
3.5 Instrumen Penelitian ... 31
x
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 31
3.5.3 Kuesioner Swamedikasi ... 31
3.5.3.1 Kuesioner Bagian Pendahuluan ... 32
3.5.3.2 Kuesioner Bagian Pengetahuan Swamedikasi ... 32
3.5.3.3 Kuesioner Bagian Rasionalitas Swamedikasi ... 32
3.5.3.4 Kuesioner Bagian Data Demografi ... 33
3.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 33
3.5.4.1 Uji Validitas ... 33
3.5.4.2 Uji Reliabilitas ... 33
3.5.4.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 34
3.6 Analisis Data ... 34
3.7 Prosedur Penelitian ... 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
4.1 Karakteristik Responden ... 37
4.2 Sumber Informasi dan Tempat Mendapatkan Swamedikasi 38
4.3 Keluhan Penyakit dan Pilihan Subkelas Farmakologi Obat 40
4.3.1 Keluhan Penyakit ... 40
4.3.2 Pilihan Subkelas Farmakologi Obat ... 40
4.4 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Swamedikasi ... 41
4.5 Rasionalitas Penggunaan Obat Dalam Swamedikasi ... 43
4.6 Pengaruh Faktor-Faktor Sosiodemografi Terhadap Tingkat Pengetahuan TentangSwamedikasi ... 46
xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50
5.1 Kesimpulan ... 50
5.2 Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Definisi Operasional Kuisioner Penelitian ... 30
4.1 Karakteristik Responden ... 37
4.2 Keluhan Penyakit yang dialami Responden ... 40
4.3 Jenis Obat yang digunakan Responden ... 41
4.4 Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden ... 42
4.5 Distribusi Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi ... 42
4.6 Frekuensi Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi ... 43
4.7 Distribusi Status Penilaian untuk Setiap Kategori Rasionalitas ... 44
4.8 Hubungan Tingkat Pengetahuan Sosiodemografi Responden ... 47
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 6
4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi ... 39
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kuisioner yang Telah Valid dan Reliabel ... 55
2. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Farmasi USU ... 58
3. Surat Persetujuan Komisi Etik Universitas Sumatera Utara .. 59
4. Surat Balasan Izin dari Kepala Dinkes Kabupaten
vi
TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN
ABSTRAK
LatarBelakang: Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei cross sectional. Sebanyak 342 responden dari tiga apotek terlibat dalam penelitian ini. Responden berusia 18-60 tahun dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data dianalisis dengan uji Chi- square dan uji Fisher menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 20,5% tergolong baik, 41,8% tergolong sedang, dan 37,7% tergolong buruk (37,7%). Penggunaan obat swamedikasi 59,4% rasional dan 40,6% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan uji Fisher, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%.
vii
LEVEL KNOWLEDGE OF PATIENT AND RATIONALITY OF SELF MEDICATION IN THREE PHARMACIES PANYABUNGAN
ABSTRACT
Background: Self medication is a part of community effort to preserve their own health. In practice, the self medication can be a source of drug related problem because lack of knowledge about drugs and their use.
Purpose: The aim of this study was to determine the level of knowledge and rationality of medicinal use self medication.
Method: This study was using survey cross sectional method. Total respondents (n=342) were involved this study of three pharmacies. Respondent were 18--60 years old and selected by consecutive sampling method. Data was collected by using a validated questionnaire. Data were analyzed by Chi-square test and Fisher test using Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) version 17.
Results: The research shows that level knowledge of patientwere good classified, 41.8% were medium classified, and 37.7% were bad classified. Drug use self medication were 59.4% rational and 40.6% irrational used. Based the result of Chi-square and Fisher test, educated and jobs can influence the level of knowledge, Mean while rationality of self medication use was not influenced by sociodemography factor.
Conclusion: Based on the research results obtained that majority level knowledge of patient were good classified. Irrational drug use self medication was reached 40.6%.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang
yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya
kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan dari suatu penyakit, antara
lain adalah dengan berobat ke dokter atau mengobati diri sendiri (Atmoko dan
Kurniawati, 2009).
Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah penggunaan obat-obatan
dengan maksud terapi tetapi tanpa saran dari profesional atau tanpa resep
(Osemene dan Laminkara, 2012). Pengobatan sendiri termasuk memperoleh
obat-obatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan resep lama yang pernah
diterima, berbagi obat-obatan dengan kerabat atau anggota lingkaran sosial
seseorang atau menggunakan sisa obat-obatan yang disimpan dirumah
(Adhikary, 2014). Upaya masyarakat untuk mengobati diri sendiri dikenal
dengan istilah swamedikasi (Depkes RI., 2008).
Berdasarkan data dari laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2012, terdapat 44,14% masyarakat Indonesia yang berusaha untuk
melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga
mencatat sejumlah 103.860 (35.2%) rumah tangga dari 294.959 rumah tangga di
Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi (Kemenkes RI., 2014).
Pengobatan sendiri biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan dan
penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, batuk,
2
Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri
cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa melibatkan tenaga
kesehatan (Fleckentein, dkk., 2011). Alasan lain adalah karena semakin
mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki
untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan (Atmoko dan
Kurniawati, 2009; Gupta, dkk., 2011).
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara
lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, ada tidaknya efek samping,
tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya
polifarmasi (Depkes RI., 2008). Dalam praktiknya, kesalahan penggunaan obat
dalam swamedikasi ternyata masih terjadi, terutama karena ketidaktepatan obat
dan dosis obat. Apabila kesalahan terjadi terus-menerus dalam waktu yang lama,
dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Depkes RI., 2006).
Keterbatasan pengetahuan tentang obat dapat menyebabkan rentannya
masyarakat terhadap informasi komersial obat, sehingga memungkinkan
terjadinya pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan
pemberian informasi yang benar (Purwanti, dkk., 2004).
Laporan Pan American Health Organiation (PAHO) mengenai “ Drug
Classification: Prescription and OTC (Over The Counter ) Drug”, terdapat hasil
survei yang dilakukan oleh The World Self Medication industri (WSMI) di 14
negara. Survei tersebut menunjukkan bahwa pengobatan sendiri meningkat
3
adanya pengetahuan tentang obat dan pengobatan sehingga kelompok tersebut
tidak terlalu terpengaruh pada iklan dan promosi obat (PAHO, 2004).
Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah kabupaten paling selatan
dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pembagian wilayah secara administratif,
wilayah Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011 terbagi atas 23 kecamatan yang
terdiri dari 408 desa/kelurahan yang masing-masing merupakan 378 desa dan 30
kelurahan. Pada Tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal
meningkat dari tahun 2010 menjadi 408.731 jiwa dengan 96.365 KK (Kepala
Keluarga) (Dinkes Kab. Madina, 2012).
Berdasarkan data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian (Kemenkes
RI, 2015), pada tahun 2013 terdapat 15 Apotek dan 50 Toko obat di Kabupaten
Mandailing Natal. Menurut Profil Kesehatan tahun 2011, sarana kesehatan yang
tersedia di Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 4 Rumah Sakit Umum, 26
Puskesmas yang berada di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Mandailing
Natal dengan 58 Puskesmas pembantu, 11 Balai pengobatan/Klinik, dan 60
Praktek dokter perorangan. Jumlah tenaga kesehatan secara umum masih kurang
termasuk dokter, tenaga farmasi, tenaga analis kesehatan, tenaga gizi dan
kesehatan lingkungan dan tenaga kesehatan lainnya (Dinkes Kab. Madina, 2013).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan
masyarakat tentang swamedikasi tergolong baik dan rasionalitas penggunaan obat
swamedikasi tergolong rasional (Hermawati, 2012; Alkhairi, 2014). Penelitian
lain menunjukkan bahwa faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, tingkat
4
rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman
(Kristina, dkk., 2007).
Sarana kesehatan, perhubungan dan komunikasi yang ada di Kabupaten
Mandailing Natal sudah cukup memadai, Peningkatan ekonomi masyarakat serta
institusi pendidikan kesehatan yang sudah mulai bangkit sangat mendukung
masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pengobatan yang baik (Dinkes
Kab. Madina, 2013; BPS Kab. Madina, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat
swamedikasi di Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
pasien dan rasionalitas swamedikasi di Apotek kota Panyabungan Kabupaten
Mandailing Natal.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. apakah tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota
Panyabungan tergolong baik ?
b. apakah penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota
Panyabungan tergolong rasional ?
c. apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat
mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga
5 1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah :
a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota
Panyabungan tergolong baik.
b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota
Panyabungan, mayoritas tergolong rasional.
c. faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat
mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga
apotek kota Panyabungan.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota
Panyabungan.
b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tigaapotek kota
Panyabungan.
c. apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan
pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi Pemerintah Daerah,
6 kesehatan masyarakat.
b. data dan informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat
digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat
dan variabel bebas. Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi dan
rasionalitas penggunaan obat swamedikasi merupakan variabel terikat. Sedangkan
variabel bebasnya adalah data demografi pasien seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Secara skematis kerangka pikir penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi
Karakteristik Pasien -Umur
- Jenis kelamin - Pendidikan
- Pekerjaan Rasionalitas penggunaan obat
7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Swamedikasi (Pengobatan Sendiri).
Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa
resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Dasar hukum
swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993.
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa swamedikasi merupakan salah satu
upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit atau
penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi
kepada dokter. Namun penting untuk dipahami bahwa swamedikasi yang tepat,
aman,dan rasional tidak dengan cara mengobati tanpa terlebih dahulu mencari
informasi umum yang bisa diperoleh tanpa harus melakukan konsultasi dengan
pihak dokter. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau
brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker
pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam
daftar obat wajib apotek (Depkes RI., 2006; Zeenot, 2013).
Apabila dilakukan dengan benar, maka swamedikasi merupakan
sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan
kesehatan secara nasional (Depkes RI., 2008).
2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi
Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi yang keberadaannya hingga
saat ini semakin mengalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab tersebut
8 a. Faktor sosial ekonomi
Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang berdampak
pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus semakin mudahnya
akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula tingkat ketertarikan
masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga hal itu kemudian mengakibatkan
terjadinya peningkatan dalam upaya untuk berpartisipasi langsung terhadap
pengambilan keputusan kesehatan oleh masing-masing individu tersebut.
b. Gaya hidup
Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa
berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki
kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus
mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih
kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan dengan
harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar
sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada semakin
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan
mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan pengobatan sendiri
9
semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal tersebut langsung
membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia
(Zeenot, 2013).
2.3 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi
Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun. Sebagaimana terurai dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk
diagnosa, pencegahan penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan, yang
hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tepat, namun dapat bersifat sebagai
racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobatan dengan dosis yang
berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk
penyembuhan penyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997; Ditjen POM, 1997).
Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya
dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan
jika mengikuti aturan memakainya (Anief, 1997).
Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes
NO. 2380/1983).
2.3.1 Obat Bebas
Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa
diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini
ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar berwarna hijau. Contohnya
10 2.3.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter,
namun dalam penggunaannya harus memperhatikan peringatan-peringatan
tertentu. Obat ini juga dapat diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang
eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar
berwarna biru, juga disertai peringatan dengan latar belakang warna hitam.
Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu. Adapun peringatan yang
dicantumkan ada 6 macam sesuai dengan aturan pemakaian masing-masing
obatnya, yaitu :
a. Peringatan no.1: Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pakainya !
b. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan
c. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan
d. Peringatan no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar
e. Peringatan no.5: Awas! Obat Keras. Tidak Boleh Ditelan
f. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan (Widodo,
2004).
2.3.3 Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990
Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker
kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Berikut beberapa ketentuan yang
harus dipatuhi apoteker dalam memberikan obat wajib apotek kepada pasien.
a. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar mengenai data
11
b. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus jumlah yang
bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang
diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan tentang daftar obat wajib apotek
(OWA).
c. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat yang
diserahkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian, cara
penyimpanan, dan efek samping yang tidak diinginkan yang paling
dimungkinkan akan timbul sekaligus tindakan yang disarankan apabila hal itu
memang benar-benar terjadi.
Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang
dapat diserahkan tanpa resep adalah:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak memberikan risiko
pada kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus melibatkan
tenaga kesehatan, semisal dokter atau perawat.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
12
2.4 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi
Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati secara swamedikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan
gastritis (Supardi dan Raharni, 2006; Abay dan Amelo, 2010).
2.4.1 Demam
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan
gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370 C, apabila suhu tubuh
lebih dari 37,20 C pada pagi hari dan lebih dari 37,70 C pada sore hari berarti
demam. Demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Penyebab
infeksi antara lain kuman, virus, parasit, atau mikroorganisme lain. Contoh :
radang tenggorokan, cacar air, campak, dan lain-lain. Penyebab non infeksi antara
lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi, stres, trauma, dan lain-lain (Depkes
RI., 2007).
Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan
dapat diatasi dengan istirahat yang cukup, usahakan makan seperti biasa meskipun
nafsu makan berkurang, minum banyak air, periksa suhu tubuh setiap 4 jam,
kompres dengan air hangat, dan hubungi dokter bila suhu sangat tinggi (diatas
380C), terutama pada anak-anak. Terapi obat yaitu dengan menggunakan obat
penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara
terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas (antipiretik) yang
dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal.
Dosis pemakaian obat penurun panas untuk dewasa umumnya tiga hingga
4 kali sehari. Batas waktu pemakaian obat penurun panas pada pengobatan sendiri
13
dapat menimbulkan overdosis. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya diminum
setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko
mengiritasi lambung (Depkes RI., 2007).
2.4.2 Nyeri
Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya
gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot. Contoh : nyeri
karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-lain.
Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf karena kerusakan
jaringan tubuh yang disebabkan antara lain :
a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan
lain-lain.
b. Proses infeksi atau peradangan
Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:
a. Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda
b. Kompres hangat pada nyeri otot
c. Gunakan obat penghilang nyeri
d. Bila nyeri berlanjut hubungi dokter
Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri, antara
lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan
untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi
dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek penurun
14
Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.
Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih
dari lima hari (Depkes RI., 2006).
2.4.3 Batuk
Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau
saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau
merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau
menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya merupakan gejala infeksi saluran
pernapasan atas (misalnya batuk-pilek, flu) dimana sekresi hidung dan dahak
merangsang saluran pernapasan. Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan
pernapasan tetap bersih. Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk
kering. Batuk berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari
batang tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya
dahak.
Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain; infeksi (flu,
bronkitis, pneumonia, TBC, dan kanker paru-paru), alergi dan penyempitan
saluran pernafasan.
Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:
a. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong membersihkan
tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.
b. Hentikan kebiasaan merokok
c. Hindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin atau
15
d. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong meringankan iritasi
tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk kalau tenggorokan anda
kering atau pedih.
e. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan sekresi
hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga ditambahkan
sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka sumbatan saluran
pernapasan
f. Minum obat batuk yang sesuai
g. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter
h. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak harus segera
dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan.
Obat batuk dibagi menjadi 2 yaitu ekspektoran (pengencer dahak) dan
antitusif (penekan batuk)
a. Obat Batuk Berdahak (Ekspektoran) seperti Gliseril Guaiakolat, Bromheksin,
Kombinasi Bromheksin dengan Gliseril Guaiakolat dan Obat Batuk Hitam
(OBH).
b. Obat Penekan Batuk (Antitusif) seperti Dekstrometorfan HBr (DMP HBr),
Difenhidramin HCl (Depkes RI., 2007).
2.4.4 Flu
Flu adalah suatu infeksi saluran pernapasan atas. Orang dengan daya tahan
tubuh yang tinggi biasanya sembuh sendiri tanpa obat. Pada anak-anak, lanjut usia
dan orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah lebih cenderung menderita
komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder. Flu ditularkan melalui percikan udara
16
hidung/mulut.Infeksi saluran pernafasan bagian atas disebabkan oleh virus
influenza.
Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:
a. Istirahat yang cukup
b. Meningkatkan gizi makanan dengan protein dan kalori yang tinggi
c. Minum air yang banyak dan makan buah segar yang banyak mengandung
vitamin
d. Minum obat flu untuk mengurangi gejala/keluhan
e. Periksa ke dokter bila gejala menetap sampai lebih dari 3 hari (Depkes RI.,
2007).
Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak
dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya
merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:
a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam.
b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi
lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat
menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.
c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin,
fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.
d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai
flu.
Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi
yang sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu
17
sehari. Batas waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak
lebih dari tiga hari (Depkes RI., 2006).
2.4.5 Maag
Sakit maag adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi
iritasi lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas berupa rasa nyeri
atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai makan. Namun kalau rasa
pedih hanya terjadi sebelum makan atau di waktu lapar dan hilang setelah makan,
biasanya karena produksi asam lambung berlebihan dan belum menderita sakit
maag.
Penyakit maag akut umumnya lebih mudah ditangani daripada maag
kronis. Pada maag akut biasanya belum ada gejala kerusakan yang jelas pada
dinding lambung; mungkin hanya disebabkan oleh berlebihnya produksi asam
lambung sesaat atau akibat makanan yang merangsang terlalu banyak. Sedangkan
pada maag kronis penderita bisa mengalami pembengkakan atau radang pada
dinding lambung, luka sampai perdarahan. Peningkatan produksi asam lambung
dapat terjadi karena :
1. Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan yang
pedas atau asam, kopi, alcohol, Faktor stres baik stres fisik (setelah
pembedahan, penyakit berat, luka bakar) maupun stres mental.
2. Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat
rematik, anti inflamasi)
18
Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan
antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam
lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang
beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam
magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain
antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas
yang berlebih di dalam saluran cerna.
Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali
sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2
minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pasien pada penggunaan antasida, antara lain:
a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan
b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah
saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam.
c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.
Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.
d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang (Depkes
RI., 2006).
2.4.6 Diare
Diare adalah buang air besar dalam bentuk cair lebih dari tiga kali dalam
sehari, biasanya disertai sakit dan kejang perut.
Jenis-jenis diare antara lain :
1. Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-obat tertentu
19
lemas kadang demam dan muntah, berlangsung beberapa jam sampai beberapa
hari.
2. Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu
lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.
3. Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir.
Diare yang hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh
sendiri. Tetapi diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa
membahayakan jiwa. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan
cairan tubuh yang dapat berakibat kematian, terutama pada anak/bayi jika tidak
segera diatasi. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka
hal ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi dan anak-anak di bawah
umur lima tahun. Pada kasus yang jarang, diare yang terus-menerus mungkin
merupakan gejala penyakit berat seperti tipus, cholera atau kanker usus.
Obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare adalah oralit untuk mencegah
kekurangan cairan tubuh, Adsorben dan Obat Pembentuk Massa (yang termasuk
dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben), kombinasi
Kaolin-Pektin dan attapulgit). Kegunaannya adalah untuk mengurangi frekuensi
buang air besar, memadatkan tinja, menyerap racun pada penderita diare (Depkes
RI., 2007).
2.5 Masalah-masalah Pada Swamedikasi
a. Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen
20
b. Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan
media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih
obat tanpa resep.
c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat
dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak
rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah apotek dan toko obat
di Indonesia yang meningkat.
d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini
apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka
24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan semacam ini
juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya, 2011).
2.6 Penggunaan Obat yang Rasional
Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat
dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997).
Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat
yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan harga yang
terjangkau.
Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008) adalah :
a. Tepat diagnosis
Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak
ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.
b. Tepat indikasi penyakit
Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.
21
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
d. Tepat dosis
Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila
salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi
tidak tercapai.
1. Tepat Jumlah
Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.
2. Tepat cara pemberian
Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya
dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur
dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat
diabsorpsi sehingga menurunkan efektifitasnya.
3. Tepat interval waktu pemberian
Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin dan praktis
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per
hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat.
Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut
harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
4. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing.
Untuk Tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan,
sedangkan untuk kusta paling singkat 6 bulan. Lama pemberian
22 e. Tepat penilaian kondisi pasien
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus
memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut
usia atau bayi.
f. Waspada terhadap efek samping
Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual,
muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.
g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau
Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.
h. Tepat tindak lanjut (follow up)
Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut
konsultasikan ke dokter.
i. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri
sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat
di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan
informasi yang tepat.
j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan
Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :
a. Jenis sediaan obat beragam
b. Jumlah obat terlalu banyak
c. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
23
e. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara
menggunakan obat
f. Timbulnya efek samping
Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa
aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya
kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan
makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk
indikasi penyakit yang sama (Hermawati, 2012).
2.7 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi
Menurut Anief (1997), keuntungan melakukan swamedikasi yaitu lebih
mudah, cepat, hemat, tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat
dilakukan oleh diri sendiri.
Kekurangan swamedikasi yaitu : obat dapat membahayakan kesehatan
apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu
apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat
yang tidak diinginkan, efek samping atau resistensi, penggunaan obat yang salah
akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman
menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi, dkk., 2005).
Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali keseriusan
gangguan. Keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin tidak dikenali,
sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan bersangkutan
dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan obat-obat yang
lebih keras. Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat
24
Guna mengatasi resiko tersebut, maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut
(Tjay dan Raharja, 1993).
2.8 Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker (Permenkes RI No. 35 Tahun 2014). Sedangkan menurut Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu
yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran
perbekalan farmasi kepada masyarakat (Bogadenta, 2012).
Tugas dan fungsi apotek ialah : (PP No.25 Tahun 1980)
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran
dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalura perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata (Anief, 2007).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian
telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat
sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care)
dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang
25
penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk
mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan
mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related
problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(socio-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus
menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu
berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk
mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut,
Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat,
melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk
melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
B. Pelayanan farmasi klinik, meliputi :
a. pengkajian Resep
b. dispensing
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
26
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat
bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
d. konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
Obat yang digunakan.
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ((Permenkes RI No. 35 Tahun
27 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei menggunakan desain
pendekatan cross sectional (Saryono, 2008). Penelitian survei deskriptif
dimaksudkan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang
terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di tiga apotek di Panyabungan. Berdasarkan
data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian, pada tahun 2013 terdapat 15
Apotek di Kabupaten Mandailing Natal. Apotek dipilih berdasarkan lokasi yang
strategis seperti mudah dijangkau penduduk dari berbagai daerah di Kabupaten
Mandailing Natal dan jumlah pengunjung yang paling ramai.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari jam 08.00 s/d 18.00 pada bulan
Maret - April 2015 di tiga Apotek di Panyabungan.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah semua pasien
swamedikasi berusia 18 – 60 tahun dari tiga apotek di Panyabungan.
3.3.2 Sampel
28
tahun dari tiga apotek di Panyabungan yang memenuhi kriteria inklusi.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling hingga
jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro dan ismael, 2002).
Kriteria inklusi :
a. pasien yang datang ke apotek untuk melakukan swamedikasi.
b. pasienberumur18 – 60 tahun
Kriteria eksklusi
a. pasien yang tidak bersedia bekerja sama dalam penelitian ini
Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga apotek yang menjadi tempat
penelitian, jumlah pasien swamedikasi perbulan di apotek A (1495 pasien), di
apotek B (1180 pasien) dan di apotek C (450 pasien), sehingga diperoleh jumlah
pasien swamedikasi di tiga apotek adalah 3125 pasien. Jumlah sampel minimum
yang diambil dihitung menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga (1991)
berikut ini :
n =
N Zα 2
2. P. (1−P)
N. D2 + Zα 2
2. P. (1−P)
n = 3125 . (1,96)
2 . 0,5. (1−0,5)
3125 . (0,05)2+. (1,96)2 . 0,5. (1−0,5)
n = 3001,25 7,8125 + 0,9604
n =3001,25 8,7729
n = 342,1046
29 Dengan :
N =Jumlah Populasi
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z1-α /2 = Derajat kepercayaan 95% dengan nilai 1,96
P = Proporsi populasi = 0,5
d = Limit dari error / presisi absolut dengan % kepercayaan yang
diinginkan 95%., d = 0,05
Dalam penelitian ini, N = 3125 orang
Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk
penelitian ini adalah sebanyak 342 pasien. Penentuan jumlah pasien dari
masing-masing apotek dilakukan secara proporsional menggunakan rumus berikut:
N
Total x Jumlah responden yang diperlukan
Dengan : N = Jumlah pasien swamedikasi selama sebulan di apotek X
a. Apotek A
1495
3125 x 342 = 163,6128 (Dibulatkan menjadi 164 )
b. Apotek B
1180
3125 x 342 = 129,1392 (Dibulatkan menjadi 129)
c. Apotek C
450
30 3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian
Variabel Definisi Skala Kategori
1. Tingkat pengetahuan tentang swamedikasi
Pengetahuan responden ber- dasarkan kemampuan untuk menjawab 11 pertanyaan mengenai- pengertian swa- medikasi, tanda golongan obat, dosis obat pada anak-anak dan dewasa, dosis obat-obatan tanpa resep dokter, aturan minum obat, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat, efek samping obat, dan interaksi obat, cara penyim-panan obat dan fungsi apo- teker dalam pelayanan obat (Depkes RI., 2008).
Ordinal 1.Buruk : kasi yang memenuhi 6 kri- teria penggunaan obat rasio- nal, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, efek samping obat, tidak adanya kontra- indikasi, tidak adanya interakasi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI., 2008; Hermawati, 2012).
Ordinal 1. Tidak rasional, bila nilai < 6, yang berarti tidak semua kriteria (Depkes RI., 2008).
3. Nama Nama responden sesuai dengan identitas asli
Nominal -
4. Umur Lama hidup responden sejak lahir hingga ulang tahun terakhir.
31 Tabel 3.1 (Lanjutan).
5. Jenis Kelamin
Jenis kelamin respon-den
Nominal a.Laki-laki b.Perempuan
6. Pendidikan Jenjang sekolah formal sesuai sistem pendidi-kan nasional yang terakhir diikuti dan di-tamatkan.
Ordinal a.Tidak tamat SD b.SD
c.SMP d.SMA
e.Perguruan Tinggi
7. Pekerjaan Pekerjaan yang dilaku- kan responden
Nominal a.Tidak/belum bekerja b.Karyawan
c.Guru d.Mahasiswa e.Tenaga Kesehatan f.Lainnya
3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer yang diperoleh secara
langsung dari pasien melalui pengisian kuesioner.
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan terlebih dahulu menanya pasien
apakah pasien membeli obat dengan resep dokter atau tanpa resep dokter. Jika
membeli obat tanpa resep dokter maka peneliti menjelaskan maksud dan
tujuannya serta menanya pasien apakah bersedia meluangkan waktunya untuk
mengisi kuesioner, jika pasiennya setuju maka kuesioner dibagikan.
3.5.3 Kuesioner Swamedikasi
Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan beberapa kuesioner yang digunakan pada penelitian terdahulu
mengenai swamedikasi. Hal ini dikarenakan tidak diperolehnya kuesioner yang
32
Kuesioner yang diisi pasien terdiri dari 4 bagian yaitu : bagian
pendahuluan, pengetahuan swamedikasi, rasionalitas swamedikasi dan data
demografi.
3.5.3.1 Kuesioner Bagian Pendahuluan
Kuisioner pada bagian ini bertujuan untuk mengetahui : apakah pasien
pernah membeli obat tanpa resep dokter, (jika pernah) dimanakah pasien
memperoleh obat tersebut, dan darimana pasien memperoleh informasi mengenai
obat tersebut.
3.5.3.2 Kuesioner Bagian Pengetahuan Swamedikasi
Pertanyaan yang digunakan pada bagian pengetahuan swamedikasi
bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi.
Terdapat sebelas pertanyaan yaitu: mengenai pengertian swamedikasi, tanda
golongan obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter, penggunaan dosis obat antara
anak-anak dan dewasa, dosis obat yang dibeli tanpa resep dokter, aturan minum
obat dengan dosis 3 kali sehari, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat,
efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan fungsi apoteker
dalam pelayanan obat.
3.5.3.3 Kuesioner Bagian Rasionalitas Swamedikasi
Tujuan dari pertanyaan yang digunakan pada bagian rasionalitas
swamedikasi adalah untuk mengetahui rasionalitas obat swamedikasi yang pernah
digunakan oleh responden. Terdapat 8 butir pertanyaan mengenai obat yang
digunakan pasien yaitu : nama obat, indikasi obat, dosis dan cara pakai obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat yang dialami pasien, kondisi khusus pasien
33 3.5.3.4 Kuesioner Bagian Data demografi
Jenis pertanyaan yang digunakan pada bagian data demografi terdiri nama,
umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan terakhir dan pekerjaan responden.
pertanyaan-pertanyaan diatas bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden
yang diperoleh selama penelitian.
3.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Sebelum kuesioner digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya
didalam penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji ini
dilakukan pada minimal 20 orang yang tidak termasuk responden dan dilakukan
diluar lokasi penelitian, tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan responden
di lokasi penelitian (Notoatmodjo, 2010).
3.5.4.1Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2002).
Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi pearson, yaitu dengan cara
mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika
seluruh butir pertanyaan mempunyai nilai p < 0,05 (nilai yang terdapat pada baris
Sig, (2-tailed) < α, maka kuesioner tersebut dapat dinyatakan valid (Trihendradi,
2011).
3.5.4.2Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat apakah suatu instrumen cukup
dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Uji reliabiltas
34
Alpha lebih besar dari 0,600 dan mendekati 1, maka nilai kuesioner dapat
dinyatakan reliabel (Trihendradi, 2011).
3.5.4.3Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Pada penelitian ini, Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada bagian
kedua dan ketiga dari kuesioner, karena pada kedua bagian tersebut digunakan
dalam pengukuran tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat pada
pasien swamedikasi.Uji ini dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil uji validitas dan
reliabilitas yang diperoleh yaitu; uji yang pertama dan kedua ( hasilnya
menunjukkan beberapa soal memiliki nilai p > α (0,05) dan dinyatakan tidak
valid. Nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada uji yang pertama < 0,0600
(Tidak reliable). Sedangkan pada uji yang kedua, kuesioner bagian kedua yaitu >
0,600 dan dinyatakan reliable dan nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada
bagian ketiga kuesioner yaitu < 0,600 dan dinyatakan tidak reliable .Oleh karena
itu masih perlu dilakukan revisi pada beberapa pertanyaan kuesioner, agar
validitas dan reliabilitas yang diharapkan tercapai. Revisi kuesioner pada
penelitian ini paling banyak dilakukan pada struktur kalimat, kata / kalimat yang
sulit dimengerti serta ada beberapa pertanyaan yang kurang sesuai dengan topik
yang diteliti. Hasil uji validitas yang ketiga menunjukkan nilai p seluruh butir
pertanyaan < α (0,05) dan kuesioner dinyatakan valid. Nilai Cronbach’s alpha
yang diperoleh pada uji reliabilitas yang ketiga ini juga menunjukkan nilai >
0,600 dan dinyatakan reliable.
3.6 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan
35
jawaban sudah terisi. Kemudian dilakukan pengkodean pada setiap jawaban
dengan memberi skor atau nilai tertentu. Pada kuesioner bagian pengetahuan
swamedikasi, setiap jawaban yang “benar” diberi nilai 2, jawaban yang “salah”
diberi nilai 1, dan jawaban “tidak tahu” diberi nilai 0. Sedangkan pada bagian
rasionalitas swamedikasi, pada setiap jawaban yang “benar, tidak ada efek
samping obat” diberi nilai 0 dan jawaban yang “salah, terdapat efek samping obat
“ diberi nilai 1. Kemudian data dikelompokkan sesuai dengan karakteristik
masing-masing dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, untuk mengetahui
hubungan faktor-faktor sosiodemografi pasien dengan pengetahuan dan
rasionalitas penggunaan obat, maka dilakukan analisis dengan uji Chi-Square atau
Fisher Test ketika syarat Chi-Square tidak terpenuhi.
3.7 Prosedur Penelitian
Langkah-Langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah:
a. menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden
b. mengurus surat pengantar dari Dekan Fakultas Farmasi USU kepada dinas
kesehatan Kabupaten Mandailing Natal untuk melakukan penelitian dengan
responden pada tiga Apotek di kota Panyabungan
c. mengurus surat pengantar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal
kepada PSA (pemilik sarana apotek ) yang terpilih.
d. menghubungi PSA/APA yang memiliki Apotek tersebut untuk mendapatkan
izin melakukan penelitian
e. selama izin penelitian diproses, uji validitas dan reliabilitas dilakukan
36
f. setelah izin dari pihak apotek serta validitas dan reliabilitas kuesioner
diperoleh, dilanjutkan dengan pengambilan data.
g. membagikan kuesioner penelitian kepada responden
h. mengumpulkan data penelitian
37 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Dari tabel 4.1 dapat diketahui karakteristik responden yang diperoleh
selama penelitian.
Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.
Variabel Jumlah (N)
(342)
d Perguruan Tinggi
32
a Tidak/belum bekerja b Guru
c Tenaga kesehatan d Lainnya
Sebanyak 342 responden yang berasal dari tiga apotek terlibat dalam
penelitian ini, 164 responden berasal dari apotek A, 129 responden berasal dari
apotek B dan 49 responden berasal dari apotek C. Berdasarkan hasil penelitian ini,
responden didominasi oleh perempuan (69,3%) dengan golongan umur antara
38
kategori pekerjaan yang paling banyak adalah petani, karyawan dan wiraswasta
(di dalam tabel disebut sebagai lainnya (47,4%). Data lengkap dapat dilihat pada
Tabel 4.1.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Italia,
yang menyebutkan bahwa frekuensi pengobatan sendiri cukup tinggi terutama
pada wanita, usia yang lebih muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi (Garofalo, L, dkk., 2014). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
menurut faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, dan pendapatan, yang
paling banyak melakukan pengobatan sendiri adalah kelompok usia di bawah 30
tahun (59,5%), jenis kelamin wanita (61,9%) dan kelompok berpenghasilan tinggi
(40,5%) (Worku dan Abebe, 2003). Hal ini juga sesuai dengan survei yang
dilakukan oleh The World Self Medication Industry (WSMI) sebelumnya yang
mengungkapkan bahwa swamedikasi meningkat jumlahnya pada populasi
penduduk yang tingkat pendidikannya lebih tinggi (PAHO, 2004).
4.2 Sumber Informasi dan Tempat Mendapatkan Swamedikasi
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa mayoritas
responden melakukan swamedikasi berdasarkan pengalaman pribadi/keluarga
(31,6). Data lengkap dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa mayoritas responden
melakukan pengobatan sendiri karena pengalaman penggunaan obat sebelumnya
(Abay dan Amelo, 2010). Semua konsumen obat berharap bahwa obat yang
digunakan akan secepatnya dapat dirasakan manfaatnya. Obat-obat yang
dirasakan lambat atau tidak memberikan efek, akan mendorong mereka tidak lagi
39
Apotek (29,8%) Supermarket (4,4%)
untuk memberikan informasi, membimbing dan memilih obat yang tepat untuk
pasien (Anief, 1997).
Gambar 4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi
Dari gambar 4.2 dapat diketahui tempat responden dalam melakukan
swamedikasi.
Gambar 4.2 Tempat Mendapatkan Obat Swamedikasi.
Tempat responden dalam melakukan swamedikasi antara lain (55,8%) di
warung, 29,8 % di apotek, 8,5 %) di toko obat, 4,4% disupermarket dan 1,5 %
lainnya seperti dari tetangga atau saudara/i responden. Data lengkap dapat dilihat Warung (55,8%)
Toko obat (8,5%)
Lainnya (1,5%)
Iklan (17,3%)
Petugas kesehatan (21,1%)
Saran dari orang lain Lainnya(0,9%)