• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi Di Tiga Apotek Kota Panyabungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi Di Tiga Apotek Kota Panyabungan"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

55 LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner yang Telah Valid dan Reliabel

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS

SWAMEDIKASI DI APOTEK KOTA PANYABUNGAN Beri Tanda (√ ) Pada Salah Satu Pilihan

I. PENDAHULUAN

1. Apakah Saudara/I/Bapak/Ibu pernah meminum obat yang dibelitanpa resep dokter ?

a. Ya b.Tidak

(Jika jawaban anda “ Tidak “ maka berhenti sampai disini) 2. Dimanakah Saudara/I/Bapak/Ibu memperoleh obat tersebut ?

a. Apotek d.Supermarket

b. Warung e.Lainnya, sebutkan... c. Toko obat

3. Darimana saudara/I/Bapak/Ibu memperoleh informasi mengenai obat yang dibeli tersebut ?

a. Iklan dari media cetak/elektronik

b. Pengalaman penggunaan obat pribadi/keluarga

c. Petugas kesehatan (dokter,apoteker, perawat,Bidan,Mantri) d. Saran dari orang lain

e. Lainnya, sebutkan... II.PENGETAHUAN SWAMEDIKASI

1. Benarkah arti kata swamedikasi adalah mengobati penyakit/gejala dengan menggunakan obat tanpa resep dokter?

a. Ya b.Tidak c. Tidak tahu

2. Apakah obat-obat yang memiliki tanda lingkaran warna hijau atau biru pada kemasannya adalah obat-obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter ?

a. Ya b.Tidak c. Tidak tahu

3. Apakah dosis obat/ jumlah obat yang diminum anak-anak sama dengan dosis obat/ jumlah obat yang diminum oleh orang dewasa ?

a. Ya b. Tidak c.Tidak tahu

4. Apakah obat-obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter selalu diminum 3 kali sehari ?

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

5. Jika dosis obat adalah 3 kali sehari, apakah berarti obat seharusnya diminum setiap 8 jam ?

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

6. Apakah benar pengertian dari indikasi obat adalah “kegunaan dari suatu obat”

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

(2)

56

7. Apakah benar maksud dari kontra indikasi obat adalah “keadaan yang tidak memperbolehkan suatu obat digunakan oleh seseorang

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

” ?

8. Apakah benar pengertian dari efek samping obat adalah “efek yang tidak diinginkan dan muncul ketika suatu obat digunakan pada takaran normal

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

?

9. Apakah benar pengertian dari interaksi obat adalah “kejadian dimana kerja suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan”

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

? 10. Apakah setiap obat harus disimpan dalam kemasan aslinya ?

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

11. Apakah salah satu tugas apoteker adalah Memberikan informasi penggunaan obat yang lengkap?

a. Ya b.Tidak c.Tidak tahu

III.RASIONALITAS SWAMEDIKASI

1. Obat tanpa resep dokter apa yang Saudara/I/Bapak/Ibu minum ? Nama obat :...

2. Saudara/I/Bapak/Ibu menggunakan obat diatas untuk mengobati :...

3. Bagaimana cara saudara/i Bapak/Ibu meminum obat tersebut ? *Jumlah obat 1x minum :... *Berapa kali sehari diminum :... *Dikunyah sebelum ditelan : a. Ya b. Tidak *Kapan diminum :

sebelum makan sesudah makan menjelang tidur

Lainnya,sebutkan :... Tidak tahu

4. Sampai berapa lama anda menggunaan obat anda diatas ? a. Jika sakit

b. Terus-menerus

c. ...kali/hari/minggu/bulan/tahun d. Lainnya, harap tuliskan...

5. Selama menggunakan obat tersebut, pernahkah merasakan gejala-gejala atau efek samping seperti berikut ?

a. muntah f. diare/sembelit

(3)

57

d. mengantuk i. Tidak ada efek samping

e. Tidak tahu j.Linnya,sebutkan:... 6. Apakah Saudara/I/Bapak/Ibu juga memiliki penyakit lain/kondisi tertentu

(hamil/menyusui bagi perempuan) ketika meminum obat tersebut ? a.Ya,sebutkan(penyakitnya/kondisinya):... b. Tidak

7. Apakah pada pengobatan sendiri anda menggunakan lebih dari satu jenis obat (kombinasi obat)?

a.Ya,sebutkan nama obat dan jarak waktu minumnya... b. Tidak

(jika jawaban “Ya”, lanjut ke no.6) (jika jawaban “Tidak”, berhenti disini)

8. Apakah Saudara/I/Bapak/Ibu meminum obat-obat pada soal no.8 hanya untuk mengobati satu macam penyakit ?

a.Ya,sebutkan keluhan/penyakit yang diobati b.Tidak, sebutkan keluhan /penyakit yang diobati. VI DATA DEMOGRAFI

1. Nama :...

a.Tidak tamat SD d.SMA/SMK/MA

b.SD e.Perguruan-tinggi (medis/non-medis)

c.SMP/MTs 7. Pekerjaan

a.Tidak/belum bekerja b.Karyawan

c.Guru

d.Mahasiswa (medis/non-medis) e.Tenaga kesehatan

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

51

DAFTAR PUSTAKA

Abay, S., dan Amelo, W. (2010). Assessment of Self Medication Practice Among Medical, Pharmacy, and Health Science Student in Gondar University, Ethiopia. Journal of Young Pharmacists. 2(3): 306-310.

Adhikary, M., Poornima, B., Saudan, S., dan Chetan,K. (2014). Study of Self-Medication Practice and Its Determinants Among College Students of Delhi University North Campus, New Delhi, India: International Journal of Medical Science and Public Health 2014. 3(4): 406.

Alkhairi, A. (2014). Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Pasien Swamedikasi di Apotek Kimia Farma 106 Kota Medan. Skripsi. Fakultas Farmasi USU Medan. Halaman: 57.

Anief. (1997). Apa yang perlu diketahui tentang obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Atmoko, W., dan Kurniawati, I. (2009). Swamedikasi: Sebuah respon realistik perilaku konsumen di masa krisis. Bisnis dan Kewirausahaan. 2(3). Halaman: 233.

Badan Pusat Statistik. (2001). Statistik Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics). Jakarta: Halaman: 46-71.

Badan Pusat Statistik. (2010). Mandailing Natal dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal.Chetley. (2007). How to Improve the Use of Medicines by Consumers. University of Amsterdam: Royal Tropical Institute.

Bogadenta, A. (2012). Manajemen pengelolaan Apotek. Jogjakarta: D-Medika. Halaman: 18-19.

Depkes RI. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 919/Menkes/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: 103-113.

Depkes RI. (2007). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman: 23-42 dan 48-51.

Depkes RI. (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: 5-8.

(12)

52

Dinkes Kab. Madina. (2013). Rencana Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal 2014. Panyabungan, Sumatera Utara: Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal. Halaman: 20.

Ditjen POM. (1997). Kompendia Obat Bebas. Edisi kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik indonesia.

Ditjen POM. (2008). Penggolongan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

FIP. (1999). Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and The World Self-Medication Industry: Responsible Medication. FIP and WSMI. Halaman 1-2.

Fleckentein, A, E., Hanson, G.R., dan Venturelli, P.J. (2011). Drugs and society (11th ed.). USA: Jones and Bartlett Publishers.

Garofalo, L., Gabriella D, G., dan Italo, F, A. (2014). Self Medication Practice among Parents in Italy. Biomed Research International 2015. Hindawi Publishing Corporation. Halaman: 2.

Gupta, P., Bobhate, P., dan Shrivastava, S. (2011). Determinants of self medication practices in an urban slum community. Asian Journal Pharmaceutical and Clinical Research. 4(3).

Hermawati, D. (2012). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan Simanggis, Depok. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi UI. Halaman: 79-81.

Holt, G, A., dan Edwin, L.H. (1986). The Pros and Cons of Self Medication. Journal of Pharmacy and Technology. Halaman 213-218.

Kartajaya, H. (2011). Self Medication, Who Benefits and Who is At Loss. Indonesia: MarkPlus Insight. Halaman 3-11.

Kemenkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 Tentang Kebijakan Obat Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Kemenkes RI. (2015). Aplikasi Pemetaan Sarana Kefarmasian.

Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Halaman: 72-73.

(13)

53

Kristina, S., Prabandari, Y., dan Sudjaswadi, R. (2007). Perilaku Pengobatan Sendiri Yang Rasional Pada Masyarakat. Majalah Farmasi Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Farmasi. Universitas Gajah Mada. 23(14).

Lwanga, S, K.., dan Lameshow, S. (1991). Sampel size determination in health studies. Geneva: World Health Organization. Halaman: 25.

Menkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatana Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Halaman : 3,4,7,8,13 dan 14.

Notoatmodjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Halaman 22.

Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta: Rineka Cipta. Osemene, K, P., dan A, Lamikanra. (2012). A Study of the Prevalence of

Self-Medication Practice among University Students in Southwestern Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. August 2012; 11(4): 684.

PAHO. (2004). Drug Classification: Prescription and Over The Counter Drugs. Washington DC. PAHO. Halaman 1-2.

Purwanti, A., Harianto., dan Supardi, S. (2004). Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di apotek DKI Jakarta tahun 2003. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(2): 102,105.

Saryono. (2008). Metodologi Penelitian kesehatan. Cetakan Pertama. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Halaman: 47,49,73.

Sastroasmoro, s., dan ismael, s. (2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi kedua. Jakarta: CV Sagung Seto. Halaman: 75.

Schlaadt., Richard, G., Shannon., dan Peter T. (1990). Drugs, 3rd ed. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Supardi, S., dan Notosiswoyo, M. (2005). Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek Pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3).

Supardi, S., dan Raharni. (2006). Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dalam pengobatan sendiri keluhan demam, sakit kepala, batuk, dan flu (hasil analisis lanjut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001). Jurnal Kedokteran Yarsi. 14(1): 61-69.

(14)

54

Trihendradi, C. (2011). Langkah Mudah Melakukan Analisis Statistik Mengguna- kan SPSS 19. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Vijaya, K, S., Sirumalla, S., Bindu, P, H,. (2014). A Cross-sectional Study on Assessment of self-medication Practice among Professional and Non Professional Subjects (CASPANs-WGL-1). Research Article. 7(3).

Widodo, R. (2004). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. Halaman 18-20.

Worku, S., dan Abebe, G. (2003). Practice of Self Medication in Jimma Town. Ethiopia: Ethiopian Journal of Health Development. 17(2): 111-116. World Health Organization. (2010). Rational Use of Medication.

pada 23 Mei 2015.

(15)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei menggunakan desain pendekatan cross sectional (Saryono, 2008). Penelitian survei deskriptif dimaksudkan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga apotek di Panyabungan. Berdasarkan data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian, pada tahun 2013 terdapat 15 Apotek di Kabupaten Mandailing Natal. Apotek dipilih berdasarkan lokasi yang strategis seperti mudah dijangkau penduduk dari berbagai daerah di Kabupaten Mandailing Natal dan jumlah pengunjung yang paling ramai.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari jam 08.00 s/d 18.00 pada bulan Maret - April 2015 di tiga Apotek di Panyabungan.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah semua pasien swamedikasi berusia 18 – 60 tahun dari tiga apotek di Panyabungan.

3.3.2 Sampel

(16)

28

tahun dari tiga apotek di Panyabungan yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro dan ismael, 2002).

Kriteria inklusi :

a. pasien yang datang ke apotek untuk melakukan swamedikasi. b. pasienberumur18 – 60 tahun

Kriteria eksklusi

a. pasien yang tidak bersedia bekerja sama dalam penelitian ini

Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga apotek yang menjadi tempat penelitian, jumlah pasien swamedikasi perbulan di apotek A (1495 pasien), di apotek B (1180 pasien) dan di apotek C (450 pasien), sehingga diperoleh jumlah pasien swamedikasi di tiga apotek adalah 3125 pasien. Jumlah sampel minimum yang diambil dihitung menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga (1991) berikut ini :

n =

N Zα

2

2. P. (1P)

N. D2 + Zα

2

2. P. (1P)

n = 3125 . (1,96)

2 . 0,5. (10,5)

3125 . (0,05)2+. (1,96)2 . 0,5. (10,5)

n = 3001,25

7,8125 + 0,9604

n =3001,25

8,7729

n = 342,1046

(17)

29 Dengan :

N =Jumlah Populasi

n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan Z1-α /2 = Derajat kepercayaan 95% dengan nilai 1,96 P = Proporsi populasi = 0,5

d = Limit dari error / presisi absolut dengan % kepercayaan yang diinginkan 95%., d = 0,05

Dalam penelitian ini, N = 3125 orang

Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk penelitian ini adalah sebanyak 342 pasien. Penentuan jumlah pasien dari masing-masing apotek dilakukan secara proporsional menggunakan rumus berikut:

N

Total x Jumlah responden yang diperlukan

Dengan : N = Jumlah pasien swamedikasi selama sebulan di apotek X

a. Apotek A 1495

3125 x 342 = 163,6128 (Dibulatkan menjadi 164 )

b. Apotek B 1180

3125 x 342 = 129,1392 (Dibulatkan menjadi 129)

c. Apotek C 450

(18)

30 3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian

Variabel Definisi Skala Kategori

1. Tingkat pengetahuan tentang swamedikasi

Pengetahuan responden ber- dasarkan kemampuan untuk menjawab 11 pertanyaan mengenai- pengertian swa- medikasi, tanda golongan obat, dosis obat pada anak-anak dan dewasa, dosis obat-obatan tanpa resep dokter, aturan minum obat, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat, efek samping obat, dan interaksi obat, cara penyim-panan obat dan fungsi apo- teker dalam pelayanan obat (Depkes RI., 2008).

Ordinal 1.Buruk :

2. Rasionalitas penggunaan obat

swamedikasi

Penggunaan obat swamedi-kasi yang memenuhi 6 kri- teria penggunaan obat rasio- nal, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, efek samping obat, tidak adanya kontra- indikasi, tidak adanya interakasi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI., 2008; Hermawati, 2012).

Ordinal 1. Tidak rasional, bila nilai < 6, yang berarti tidak semua kriteria kerasi-onalan penggu-naan obat terpenuhi

2. Rasional,bila nilai 6 berarti (Depkes RI., 2008). 3. Nama Nama responden sesuai

dengan identitas asli

Nominal -

4. Umur Lama hidup responden sejak lahir hingga ulang tahun terakhir.

(19)

31 Tabel 3.1 (Lanjutan).

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin respon-den

Nominal a.Laki-laki b.Perempuan 6. Pendidikan Jenjang sekolah formal

sesuai sistem pendidi-kan nasional yang terakhir diikuti dan di-tamatkan.

Ordinal a.Tidak tamat SD b.SD

c.SMP d.SMA

e.Perguruan Tinggi

7. Pekerjaan Pekerjaan yang dilaku- kan responden

Nominal a.Tidak/belum bekerja b.Karyawan

c.Guru d.Mahasiswa e.Tenaga Kesehatan f.Lainnya

3.5 Instrumen Penelitian

3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari pasien melalui pengisian kuesioner.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan terlebih dahulu menanya pasien apakah pasien membeli obat dengan resep dokter atau tanpa resep dokter. Jika membeli obat tanpa resep dokter maka peneliti menjelaskan maksud dan tujuannya serta menanya pasien apakah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner, jika pasiennya setuju maka kuesioner dibagikan.

3.5.3 Kuesioner Swamedikasi

(20)

32

Kuesioner yang diisi pasien terdiri dari 4 bagian yaitu : bagian pendahuluan, pengetahuan swamedikasi, rasionalitas swamedikasi dan data demografi.

3.5.3.1 Kuesioner Bagian Pendahuluan

Kuisioner pada bagian ini bertujuan untuk mengetahui : apakah pasien pernah membeli obat tanpa resep dokter, (jika pernah) dimanakah pasien memperoleh obat tersebut, dan darimana pasien memperoleh informasi mengenai obat tersebut.

3.5.3.2 Kuesioner Bagian Pengetahuan Swamedikasi

Pertanyaan yang digunakan pada bagian pengetahuan swamedikasi bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi. Terdapat sebelas pertanyaan yaitu: mengenai pengertian swamedikasi, tanda golongan obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter, penggunaan dosis obat antara anak-anak dan dewasa, dosis obat yang dibeli tanpa resep dokter, aturan minum obat dengan dosis 3 kali sehari, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat, efek samping obat, interaksi obat, cara penyimpanan obat dan fungsi apoteker dalam pelayanan obat.

3.5.3.3 Kuesioner Bagian Rasionalitas Swamedikasi

(21)

33 3.5.3.4 Kuesioner Bagian Data demografi

Jenis pertanyaan yang digunakan pada bagian data demografi terdiri nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan terakhir dan pekerjaan responden. pertanyaan-pertanyaan diatas bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden yang diperoleh selama penelitian.

3.5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Sebelum kuesioner digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya didalam penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji ini dilakukan pada minimal 20 orang yang tidak termasuk responden dan dilakukan diluar lokasi penelitian, tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan responden di lokasi penelitian (Notoatmodjo, 2010).

3.5.4.1Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2002).

Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi pearson, yaitu dengan cara mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika seluruh butir pertanyaan mempunyai nilai p < 0,05 (nilai yang terdapat pada baris Sig, (2-tailed) < α, maka kuesioner tersebut dapat dinyatakan valid (Trihendradi, 2011).

3.5.4.2Uji Reliabilitas

(22)

34

Alpha lebih besar dari 0,600 dan mendekati 1, maka nilai kuesioner dapat

dinyatakan reliabel (Trihendradi, 2011).

3.5.4.3Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Pada penelitian ini, Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada bagian kedua dan ketiga dari kuesioner, karena pada kedua bagian tersebut digunakan dalam pengukuran tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi.Uji ini dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil uji validitas dan reliabilitas yang diperoleh yaitu; uji yang pertama dan kedua ( hasilnya

menunjukkan beberapa soal memiliki nilai p > α (0,05) dan dinyatakan tidak

valid. Nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada uji yang pertama < 0,0600 (Tidak reliable). Sedangkan pada uji yang kedua, kuesioner bagian kedua yaitu > 0,600 dan dinyatakan reliable dan nilai Cronbach’s alpha yang diperoleh pada bagian ketiga kuesioner yaitu < 0,600 dan dinyatakan tidak reliable .Oleh karena itu masih perlu dilakukan revisi pada beberapa pertanyaan kuesioner, agar validitas dan reliabilitas yang diharapkan tercapai. Revisi kuesioner pada penelitian ini paling banyak dilakukan pada struktur kalimat, kata / kalimat yang sulit dimengerti serta ada beberapa pertanyaan yang kurang sesuai dengan topik yang diteliti. Hasil uji validitas yang ketiga menunjukkan nilai p seluruh butir

pertanyaan < α (0,05) dan kuesioner dinyatakan valid. Nilai Cronbach’s alpha

yang diperoleh pada uji reliabilitas yang ketiga ini juga menunjukkan nilai > 0,600 dan dinyatakan reliable.

3.6 Analisis Data

(23)

35

jawaban sudah terisi. Kemudian dilakukan pengkodean pada setiap jawaban dengan memberi skor atau nilai tertentu. Pada kuesioner bagian pengetahuan swamedikasi, setiap jawaban yang “benar” diberi nilai 2, jawaban yang “salah” diberi nilai 1, dan jawaban “tidak tahu” diberi nilai 0. Sedangkan pada bagian rasionalitas swamedikasi, pada setiap jawaban yang “benar, tidak ada efek samping obat” diberi nilai 0 dan jawaban yang “salah, terdapat efek samping obat “ diberi nilai 1. Kemudian data dikelompokkan sesuai dengan karakteristik masing-masing dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, untuk mengetahui hubungan faktor-faktor sosiodemografi pasien dengan pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat, maka dilakukan analisis dengan uji Chi-Square atau Fisher Test ketika syarat Chi-Square tidak terpenuhi.

3.7 Prosedur Penelitian

Langkah-Langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah: a. menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden

b. mengurus surat pengantar dari Dekan Fakultas Farmasi USU kepada dinas kesehatan Kabupaten Mandailing Natal untuk melakukan penelitian dengan responden pada tiga Apotek di kota Panyabungan

c. mengurus surat pengantar dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal kepada PSA (pemilik sarana apotek ) yang terpilih.

d. menghubungi PSA/APA yang memiliki Apotek tersebut untuk mendapatkan izin melakukan penelitian

(24)

36

f. setelah izin dari pihak apotek serta validitas dan reliabilitas kuesioner diperoleh, dilanjutkan dengan pengambilan data.

g. membagikan kuesioner penelitian kepada responden h. mengumpulkan data penelitian

(25)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Responden

Dari tabel 4.1 dapat diketahui karakteristik responden yang diperoleh selama penelitian.

Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.

Variabel Jumlah (N)

(342)

d Perguruan Tinggi

32

a Tidak/belum bekerja b Guru

c Tenaga kesehatan d Lainnya

(26)

38

kategori pekerjaan yang paling banyak adalah petani, karyawan dan wiraswasta (di dalam tabel disebut sebagai lainnya (47,4%). Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Italia, yang menyebutkan bahwa frekuensi pengobatan sendiri cukup tinggi terutama pada wanita, usia yang lebih muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Garofalo, L, dkk., 2014). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa menurut faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, dan pendapatan, yang paling banyak melakukan pengobatan sendiri adalah kelompok usia di bawah 30 tahun (59,5%), jenis kelamin wanita (61,9%) dan kelompok berpenghasilan tinggi (40,5%) (Worku dan Abebe, 2003). Hal ini juga sesuai dengan survei yang dilakukan oleh The World Self Medication Industry (WSMI) sebelumnya yang mengungkapkan bahwa swamedikasi meningkat jumlahnya pada populasi penduduk yang tingkat pendidikannya lebih tinggi (PAHO, 2004).

4.2 Sumber Informasi dan Tempat Mendapatkan Swamedikasi

(27)

39

Apotek (29,8%) Supermarket (4,4%)

untuk memberikan informasi, membimbing dan memilih obat yang tepat untuk pasien (Anief, 1997).

Gambar 4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi

Dari gambar 4.2 dapat diketahui tempat responden dalam melakukan swamedikasi.

Gambar 4.2 Tempat Mendapatkan Obat Swamedikasi.

Tempat responden dalam melakukan swamedikasi antara lain (55,8%) di warung, 29,8 % di apotek, 8,5 %) di toko obat, 4,4% disupermarket dan 1,5 % lainnya seperti dari tetangga atau saudara/i responden. Data lengkap dapat dilihat

Warung (55,8%) Toko obat (8,5%)

Lainnya (1,5%)

Iklan (17,3%)

Petugas kesehatan (21,1%)

Saran dari orang lain Lainnya(0,9%)

(28)

40

pada Gambar 4.2. Alasan masyarakat cenderung membeli obat di warung adalah karena lebih terjangkau, lebih murah dan dapat juga menyembuhkan rasa sakit.

4.3 Keluhan Penyakit dan Pilihan Subkelas Farmakologi Obat 4.3.1 Keluhan Penyakit

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2011 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia banyak melakukan pengobatan sendiri untuk keluhan demam, sakit kepala, batuk dan flu (Badan Pusat Statistik, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ini, keluhan yang paling banyak dialami responden adalah nyeri (51,2%). Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Keluhan Penyakit yang dialami Responden

Keluhan Penyakit Frekuensi Persentase (%)

Nyeri 175 51,2

Lainnya (gatal-gatal, sesak nafas, keputihan, dll).

51 14,9

Gastritis 36 10,5

Demam 28 8,2

Batuk 13 3,8

Flu 12 3,5

Diare 11 3,2

Demam + Nyeri 6 1,8

Demam + Flu 4 1,2

Flu + Batuk 3 0,9

Flu + Nyeri 3 0,9

Total 342 100,0

(29)

41 4.3.2 Pilihan Subkelas Farmakologi Obat

Dari tabel 4.3 dapat diketahui jenis obat-obatan yang digunakan oleh responden.

Tabel 4.3 Jenis Obat yang digunakan Responden

Jenis Obat Frekuensi Persentase (%)

Analgesik-antipiretik 181 50,6

AINS 13 3,6

Obat batuk-pilek 26 7,3

Antidiare 11 3,1

Antasida 30 8,4

Antimalaria 11 3,1

Antibiotik 10 2,8

Lainnya 76 21,2

Sejalan dengan mayoritas keluhan yang dialami, jenis obat yang paling banyak digunakan responden untuk pengobatan samedikasi adalah golongan analgetik-antipiretik. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa kelas obat yang paling umum digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan antipiretik dan analgesik terutama parasetamol yang dilaporkan oleh 59,6 % dari seluruh responden (Vijaya, 2013; Adhikary, 2014)). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Italia, yang menyatakan bahwa obat yang paling sering digunakan tanpa resep adalah obat antiinflamasi non-steroid (Garofalo, L, dkk., 2014).

4.4 Tingkat Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi

Berdasarkan hasil penilaian mengenai tingkat pengetahuan, dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang yaitu

(30)

42

Tabel 4.4 Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden

Kriteria Frekuensi Persentase (%)

Buruk 129 37,7

Sedang 143 41,8

Baik 70 20,5

Total 342 100

Hasil penelitian ini sejalan dengan Penelitian di Cimanggis (Depok) yang menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien swamedikasi tergolong sedang dan hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian di Medan yang menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien swamedikasi tergolong baik (Hermawati, 2012; Alkhairi, 2014).

Dari tabel 4.5 dapat dilihat distribusi pengetahuan responden tentang swamedikasi

Tabel 4.5 Distribusi Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi

No Soal 3 Perbedaan dosis obat

antara orang dewasa dan anak-anak

268 (78,4) 41 (12,0) 33 (9,6)

4 Aturan pakai obat 212 (62,0) 85 (24,9) 45 (13,2) 5

Defenisi aturan pakai 3x sehari

175 (51,2) 55 (16,1) 112 (32,7) 6 Pengertian indikasi obat 174 (50,9) 50 (14,6) 119 (34,5) 7 Pengertian kontraindikasi

obat

153 (44,7) 57 (16,7) 132 (38,6) 8 Pengertian efek samping

obat

182 (53,2) 73 (21,3) 87 (25,4) 9 Pengertian interaksi obat 163 (47,7) 73 (21,3) 106 (31,0) 10 Aturan penyimpanan obat 225 (65,8) 87 (25,4) 30 (8,8) 11 Pengetahuan pasien

mengenai tugas apoteker

(31)

43

Berdasarkan jawaban dari seluruh responden dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan tidak dapat dijawab dengan benar oleh responden. Mayoritas responden menjawab dengan baik mengenai perbedaan dosis obat antara orang dewasa dan anak-anak (78,4%), lalu diikuti pengetahuan pasien mengenai tugas apoteker (73,7%) dan mengenai aturan penyimpanan obat (65,8%). Tetapi responden paling sedikit menjawab dengan baik pertanyaan tentang Logo obat (26,0). Dalam peraturan dan ketentuan yang berlaku, pengobatan sendiri yang dilakukan dengan obat hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas serta yang bukan termasuk golongan yang hanya dapat diberikan dengan resep dokter (SK Menkes No.2380/1983) (Schlaadt, dkk., 1990). Hal ini karena kurangnya pengetahuan responden mengenai resiko dari pengobatan yang tidak tepat sehingga menganggap informasi tentang obat tidak begitu penting. Oleh karena itu, upaya untuk membekali masyarakat agar mempunyai keterampilan untuk mencari informasi obat secara tepat dan benar perlu dilakukan (Holt, 1986).

4.5 Rasionalitas Penggunaan Obat dalam Swamedikasi

Berdasarkan hasil penilaian mengenai rasionalitas penggunaan obat, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden di tiga apotek menggunakan obat secara rasional (59,4%). Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Frekuensi Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Tidak rasional 139 40,6

Rasional 203 59,4

(32)

44

Menurut WHO (2010), penggunaan obat yang rasional merujuk pada penggunaan obat yang benar, sesuai dan tepat. Penggunaan obat disarana pelayanan kesehatan umumnya belum rasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu promosi penggunaan obat yang rasional dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus-menerus yang diberikan kepada tenaga kesehatandan masyarakat melalui berbagai media (Kepmenkes RI Nomor 189/Menkes/SK/III/2006).

Berdasarkan hasil penilaian pada setiap kriteria rasionalitas penggunaan obat swamedikasi, penggunaan obat yang tidak rasional paling banyak disebabkan oleh ketidaktepatan penggunaan dosis obat (34,5%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Distribusi Status Penilaian untuk Setiap Kriteria Rasionalitas.

Kriteria Status Jumlah Persentase

(%)

Ketepatan pemilihan obat

Tidak tepat

- Indikasi dengan penyakit - Golongan obat dalam

swamedikasi

- Indikasi dengan penyakit serta golongan obat

64

Ketepatan dosis obat

Tidak tepat

- Dosis pakai obat - Cara penggunaan - Lama penggunaan obat

118

Efek samping obat Tidak rasional Rasional

33 309

9,6 90,4 Kontraindikasi Ada

Tidak ada

2 340

0,6 99,4 Interaksi obat Ada

(33)

45

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa tindakan pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan terutama terjadi pada ketidaktepatan dosis obat (Supardi dan Notosiswono, 2006). Alasan terjadinya ketidaktepatan dosis pada penggunaan obat-obat Over The Counter(OTC) adalah karena responden hanya fokus pada pengalaman

pribadi/keluarga dalam penggunaan obat seperti dosis yang digunakan untuk mendapatkan efek terapi yang cepat, aturan pakai obat dan lama pemakaian obat. Hal itu didukung karena minimnya pengetahuan responden tentang pengobatan sendiri sehingga mengesampingkan informasi-informasi penting untuk mendapatkan pengobatan terbaik dengan efek samping minimal. Dosis dari beberapa obat yang dapat digunakan secara bebas terkadang tidak sekuat obat dengan resep dokter. Olehkarenanya, sering seseorang menggunakan obat bebas lebih dari dosis yang direkomendasikan jika merasa obat tersebut tidak menimbulkan efek yang diinginkan berdasarkan perasaannya, dan tentunya hal tersebut juga dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya efek samping, reaksi merugikan lainnya,dan keracunan (Schlaadt, dkk., 1990).

(34)

46

seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi (Depkes RI., 2007).

Selain efek pengobatan yang ditimbulkan, obat juga mempunyai efek samping yang tidak diinginkan meskipun pada dosis normal. Efek samping yang paling umum dialami responden adalah jantung berdebar dan nyeri lambung. Efek samping seperti itu banyak dirasakan pasien yang menggunakan obat-obat pereda nyeri yang mengandung kafein.

Penilaian polifarmasi pada penelitian ini berdasarkan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Berdasarkan hasil penilaian pada bagian ini, kejadian polifarmasi ditemukan pada 9 pasien (2,6%) dan paling sering terjadi pada pasien dengan keluhan nyeri dan flu, dengan penggunaan dua jenis obat flu atau obat pereda nyeri dalam waktu barsamaan. Kejadian polifarmasi terjadi karna kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat masih kecil dan pengetahuan masyarakat mengenai obat-obatan pun masih kurang. Penggunaan obat bebas yang tidak sesuai aturan adalah salah satu bentuk penyimpangan dari pemanfaatan obat, sebagaimana hasil penelitian WHO yang mengidentifikasi beberapa bentuk penyimpangan penggunaan obat yang seringterjadi yang tidak sesuai dan menimbulkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat, yang diantaranya adalah penggunaan yang berlebihan dari obat-obat bebas (Chetley, 2007).

4.6 Pengaruh Faktor-Faktor Sosiodemografi terhadap Tingkat Pengetahuan tentang Swamedikasi

(35)

47

(2012) yang menunjukkan bahwa semua faktor sosiodemografi tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pengobatan swamedikasi.

Tabel 4.8 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sosiodemografi Responden.

(36)

48

4.7 Pengaruh Faktor- faktor Sosiodemografi terhadap Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi

Berdasarkan tabel 4.9 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan dengan rasionalitas penggunaan obat. Kesimpulan tersebut didasari oleh nilai p keempat variabel

faktor sosiodemografi lebih besar dari nilai α (0,050).

(37)

49 Tabel 4.9 (Lanjutan).

Pendidikan

(38)

50 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek Kota Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, mayoritasnya adalah tingkat pengetahuan tergolong sedang (41,8 %).

b. Rasionalitas penggunaan obat swamedikasi dari pasien ditiga apotek Kota Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal yaitu rasional (59,4%) dan tidak rasional (40,6 %).

c. Tingkat pengetahan dipengaruhi oleh Pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.

5.2 Saran

a. Dinas Kesehatan Kabupaten mandailing Natal perlu memberikan promosi mengenai cara memilih dan menggunakan obat dengan benar dan tepat. b. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor –faktor yang dapat

mempengaruhi rasionalitas penggunaan obat swamedikasi seperti sikap dan penghasilan masyarakat.

(39)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi (Pengobatan Sendiri).

Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Dasar hukum swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993. Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter. Namun penting untuk dipahami bahwa swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional tidak dengan cara mengobati tanpa terlebih dahulu mencari informasi umum yang bisa diperoleh tanpa harus melakukan konsultasi dengan pihak dokter. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek (Depkes RI., 2006; Zeenot, 2013).

Apabila dilakukan dengan benar, maka swamedikasi merupakan sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan kesehatan secara nasional (Depkes RI., 2008).

2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi

(40)

8 a. Faktor sosial ekonomi

Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang berdampak pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus semakin mudahnya akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga hal itu kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam upaya untuk berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan kesehatan oleh masing-masing individu tersebut.

b. Gaya hidup

Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.

c. Kemudahan memperoleh produk obat

Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan dengan harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.

d. Faktor kesehatan lingkungan

Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada semakin meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.

e. Ketersediaan produk baru

(41)

9

semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal tersebut langsung membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia (Zeenot, 2013).

2.3 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi

Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun. Sebagaimana terurai dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk diagnosa, pencegahan penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan, yang hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tepat, namun dapat bersifat sebagai racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobatan dengan dosis yang berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk penyembuhan penyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997; Ditjen POM, 1997).

Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan jika mengikuti aturan memakainya (Anief, 1997).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983).

2.3.1 Obat Bebas

(42)

10 2.3.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun dalam penggunaannya harus memperhatikan peringatan-peringatan tertentu. Obat ini juga dapat diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar berwarna biru, juga disertai peringatan dengan latar belakang warna hitam. Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu. Adapun peringatan yang dicantumkan ada 6 macam sesuai dengan aturan pemakaian masing-masing obatnya, yaitu :

a. Peringatan no.1: Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pakainya !

b. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan c. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan d. Peringatan no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar

e. Peringatan no.5: Awas! Obat Keras. Tidak Boleh Ditelan

f. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan (Widodo, 2004).

2.3.3 Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Berikut beberapa ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam memberikan obat wajib apotek kepada pasien. a. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar mengenai data

(43)

11

b. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus jumlah yang bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan tentang daftar obat wajib apotek (OWA).

c. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat yang diserahkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan, dan efek samping yang tidak diinginkan yang paling dimungkinkan akan timbul sekaligus tindakan yang disarankan apabila hal itu memang benar-benar terjadi.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus melibatkan tenaga kesehatan, semisal dokter atau perawat.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

(44)

12

2.4 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi

Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati secara swamedikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan gastritis (Supardi dan Raharni, 2006; Abay dan Amelo, 2010).

2.4.1 Demam

Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah merupakan gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 370 C, apabila suhu tubuh lebih dari 37,20 C pada pagi hari dan lebih dari 37,70 C pada sore hari berarti demam. Demam umumnya disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Penyebab infeksi antara lain kuman, virus, parasit, atau mikroorganisme lain. Contoh : radang tenggorokan, cacar air, campak, dan lain-lain. Penyebab non infeksi antara lain dehidrasi pada anak dan lansia, alergi, stres, trauma, dan lain-lain (Depkes RI., 2007).

Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan dapat diatasi dengan istirahat yang cukup, usahakan makan seperti biasa meskipun nafsu makan berkurang, minum banyak air, periksa suhu tubuh setiap 4 jam, kompres dengan air hangat, dan hubungi dokter bila suhu sangat tinggi (diatas 380C), terutama pada anak-anak. Terapi obat yaitu dengan menggunakan obat penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas (antipiretik) yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal.

(45)

13

dapat menimbulkan overdosis. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya diminum setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko mengiritasi lambung (Depkes RI., 2007).

2.4.2 Nyeri

Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot. Contoh : nyeri karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena sakit gigi, dan lain-lain. Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung syaraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain :

a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan lain-lain.

b. Proses infeksi atau peradangan

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah: a. Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda b. Kompres hangat pada nyeri otot

c. Gunakan obat penghilang nyeri d. Bila nyeri berlanjut hubungi dokter

(46)

14

Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari lima hari (Depkes RI., 2006).

2.4.3 Batuk

Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru atau saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang masuk atau merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk mengeluarkan atau menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya merupakan gejala infeksi saluran pernapasan atas (misalnya batuk-pilek, flu) dimana sekresi hidung dan dahak merangsang saluran pernapasan. Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan pernapasan tetap bersih. Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk kering. Batuk berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari batang tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya dahak.

Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain; infeksi (flu, bronkitis, pneumonia, TBC, dan kanker paru-paru), alergi dan penyempitan saluran pernafasan.

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah:

a. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong membersihkan tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.

b. Hentikan kebiasaan merokok

(47)

15

d. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong meringankan iritasi tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk kalau tenggorokan anda kering atau pedih.

e. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan sekresi hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga ditambahkan sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka sumbatan saluran pernapasan

f. Minum obat batuk yang sesuai

g. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter

h. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak harus segera dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan.

Obat batuk dibagi menjadi 2 yaitu ekspektoran (pengencer dahak) dan antitusif (penekan batuk)

a. Obat Batuk Berdahak (Ekspektoran) seperti Gliseril Guaiakolat, Bromheksin, Kombinasi Bromheksin dengan Gliseril Guaiakolat dan Obat Batuk Hitam (OBH).

b. Obat Penekan Batuk (Antitusif) seperti Dekstrometorfan HBr (DMP HBr), Difenhidramin HCl (Depkes RI., 2007).

2.4.4 Flu

(48)

16

hidung/mulut.Infeksi saluran pernafasan bagian atas disebabkan oleh virus influenza.

Penanggulangan dengan terapi non obat adalah: a. Istirahat yang cukup

b. Meningkatkan gizi makanan dengan protein dan kalori yang tinggi

c. Minum air yang banyak dan makan buah segar yang banyak mengandung vitamin

d. Minum obat flu untuk mengurangi gejala/keluhan

e. Periksa ke dokter bila gejala menetap sampai lebih dari 3 hari (Depkes RI., 2007).

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:

a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam. b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.

c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.

d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai flu.

(49)

17

sehari. Batas waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI., 2006).

2.4.5 Maag

Sakit maag adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga terjadi iritasi lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas berupa rasa nyeri atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai makan. Namun kalau rasa pedih hanya terjadi sebelum makan atau di waktu lapar dan hilang setelah makan, biasanya karena produksi asam lambung berlebihan dan belum menderita sakit maag.

Penyakit maag akut umumnya lebih mudah ditangani daripada maag kronis. Pada maag akut biasanya belum ada gejala kerusakan yang jelas pada dinding lambung; mungkin hanya disebabkan oleh berlebihnya produksi asam lambung sesaat atau akibat makanan yang merangsang terlalu banyak. Sedangkan pada maag kronis penderita bisa mengalami pembengkakan atau radang pada dinding lambung, luka sampai perdarahan. Peningkatan produksi asam lambung dapat terjadi karena :

1. Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan yang pedas atau asam, kopi, alcohol, Faktor stres baik stres fisik (setelah pembedahan, penyakit berat, luka bakar) maupun stres mental.

2. Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal obat rematik, anti inflamasi)

(50)

18

Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas yang berlebih di dalam saluran cerna.

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2 minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah

saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam. c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.

Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.

d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang (Depkes RI., 2006).

2.4.6 Diare

Diare adalah buang air besar dalam bentuk cair lebih dari tiga kali dalam sehari, biasanya disertai sakit dan kejang perut.

Jenis-jenis diare antara lain :

(51)

19

lemas kadang demam dan muntah, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.

2. Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.

3. Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir.

Diare yang hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri. Tetapi diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa membahayakan jiwa. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan tubuh yang dapat berakibat kematian, terutama pada anak/bayi jika tidak segera diatasi. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi dan anak-anak di bawah umur lima tahun. Pada kasus yang jarang, diare yang terus-menerus mungkin merupakan gejala penyakit berat seperti tipus, cholera atau kanker usus.

Obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare adalah oralit untuk mencegah kekurangan cairan tubuh, Adsorben dan Obat Pembentuk Massa (yang termasuk dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben), kombinasi

Kaolin-Pektin dan attapulgit). Kegunaannya adalah untuk mengurangi frekuensi buang air besar, memadatkan tinja, menyerap racun pada penderita diare (Depkes RI., 2007).

2.5 Masalah-masalah Pada Swamedikasi

(52)

20

b. Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep.

c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat.

d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan semacam ini juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya, 2011).

2.6 Penggunaan Obat yang Rasional

Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997). Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan harga yang terjangkau.

Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008) adalah : a. Tepat diagnosis

Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.

b. Tepat indikasi penyakit

(53)

21

Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit. d. Tepat dosis

Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

1. Tepat Jumlah

Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup. 2. Tepat cara pemberian

Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan efektifitasnya.

3. Tepat interval waktu pemberian

Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

4. Tepat lama pemberian

(54)

22 e. Tepat penilaian kondisi pasien

Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi.

f. Waspada terhadap efek samping

Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.

g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.

h. Tepat tindak lanjut (follow up)

Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut konsultasikan ke dokter.

i. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.

j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut : a. Jenis sediaan obat beragam

b. Jumlah obat terlalu banyak

(55)

23

e. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat

f. Timbulnya efek samping

Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk indikasi penyakit yang sama (Hermawati, 2012).

2.7 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi

Menurut Anief (1997), keuntungan melakukan swamedikasi yaitu lebih mudah, cepat, hemat, tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri.

Kekurangan swamedikasi yaitu : obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, efek samping atau resistensi, penggunaan obat yang salah akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi, dkk., 2005).

(56)

24

Guna mengatasi resiko tersebut, maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut (Tjay dan Raharja, 1993).

2.8 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik

kefarmasian oleh Apoteker (Permenkes RI No. 35 Tahun 2014). Sedangkan menurut

Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat (Bogadenta, 2012).

Tugas dan fungsi apotek ialah : (PP No.25 Tahun 1980)

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. Sarana farmasi yang melakukan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalura perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata (Anief, 2007).

(57)

25

penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial

(socio-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus

menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:

A. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai B. Pelayanan farmasi klinik, meliputi :

a. pengkajian Resep b. dispensing

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

(58)

26

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

d. konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.

e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care); f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

(59)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan dari suatu penyakit, antara lain adalah dengan berobat ke dokter atau mengobati diri sendiri (Atmoko dan Kurniawati, 2009).

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah penggunaan obat-obatan dengan maksud terapi tetapi tanpa saran dari profesional atau tanpa resep (Osemene dan Laminkara, 2012). Pengobatan sendiri termasuk memperoleh obat-obatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan resep lama yang pernah diterima, berbagi obat-obatan dengan kerabat atau anggota lingkaran sosial seseorang atau menggunakan sisa obat-obatan yang disimpan dirumah (Adhikary, 2014). Upaya masyarakat untuk mengobati diri sendiri dikenal dengan istilah swamedikasi (Depkes RI., 2008).

Berdasarkan data dari laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012, terdapat 44,14% masyarakat Indonesia yang berusaha untuk melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga mencatat sejumlah 103.860 (35.2%) rumah tangga dari 294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi (Kemenkes RI., 2014).

(60)

2

Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa melibatkan tenaga kesehatan (Fleckentein, dkk., 2011). Alasan lain adalah karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan (Atmoko dan Kurniawati, 2009; Gupta, dkk., 2011).

Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami. Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, ada tidaknya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI., 2008). Dalam praktiknya, kesalahan penggunaan obat dalam swamedikasi ternyata masih terjadi, terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat. Apabila kesalahan terjadi terus-menerus dalam waktu yang lama, dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Depkes RI., 2006). Keterbatasan pengetahuan tentang obat dapat menyebabkan rentannya masyarakat terhadap informasi komersial obat, sehingga memungkinkan terjadinya pengobatan yang tidak rasional jika tidak diimbangi dengan pemberian informasi yang benar (Purwanti, dkk., 2004).

Laporan Pan American Health Organiation (PAHO) mengenai “ Drug

Classification: Prescription and OTC (Over The Counter ) Drug”, terdapat hasil

(61)

3

adanya pengetahuan tentang obat dan pengobatan sehingga kelompok tersebut tidak terlalu terpengaruh pada iklan dan promosi obat (PAHO, 2004).

Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah kabupaten paling selatan dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pembagian wilayah secara administratif, wilayah Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2011 terbagi atas 23 kecamatan yang terdiri dari 408 desa/kelurahan yang masing-masing merupakan 378 desa dan 30 kelurahan. Pada Tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal meningkat dari tahun 2010 menjadi 408.731 jiwa dengan 96.365 KK (Kepala Keluarga) (Dinkes Kab. Madina, 2012).

Berdasarkan data dari aplikasi pemetaan sarana kefarmasian (Kemenkes RI, 2015), pada tahun 2013 terdapat 15 Apotek dan 50 Toko obat di Kabupaten Mandailing Natal. Menurut Profil Kesehatan tahun 2011, sarana kesehatan yang tersedia di Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari 4 Rumah Sakit Umum, 26 Puskesmas yang berada di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Mandailing Natal dengan 58 Puskesmas pembantu, 11 Balai pengobatan/Klinik, dan 60 Praktek dokter perorangan. Jumlah tenaga kesehatan secara umum masih kurang termasuk dokter, tenaga farmasi, tenaga analis kesehatan, tenaga gizi dan kesehatan lingkungan dan tenaga kesehatan lainnya (Dinkes Kab. Madina, 2013).

(62)

4

rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman (Kristina, dkk., 2007).

Sarana kesehatan, perhubungan dan komunikasi yang ada di Kabupaten Mandailing Natal sudah cukup memadai, Peningkatan ekonomi masyarakat serta institusi pendidikan kesehatan yang sudah mulai bangkit sangat mendukung masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pengobatan yang baik (Dinkes Kab. Madina, 2013; BPS Kab. Madina, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat swamedikasi di Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di Apotek kota Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. apakah tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan tergolong baik ?

b. apakah penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan tergolong rasional ?

(63)

5 1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan tergolong baik.

b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan, mayoritas tergolong rasional.

c. faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

a. tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan.

b. rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di tigaapotek kota Panyabungan.

c. apakah faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di tiga apotek kota Panyabungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(64)

6 kesehatan masyarakat.

b. data dan informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat dan variabel bebas. Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi merupakan variabel terikat. Sedangkan variabel bebasnya adalah data demografi pasien seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Secara skematis kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

Tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi

Karakteristik Pasien - Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan

- Pekerjaan Rasionalitas penggunaan obat

(65)

vi

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI TIGA APOTEK KOTA PANYABUNGAN

ABSTRAK

LatarBelakang: Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaannya, pengobatan sendiri dapat menjadi sumber masalah terkait obat (Drug related problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat swamedikasi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode survei cross sectional. Sebanyak 342 responden dari tiga apotek terlibat dalam penelitian ini. Responden berusia 18-60 tahun dan dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data dianalisis dengan uji Chi- square dan uji Fisher menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 20,5% tergolong baik, 41,8% tergolong sedang, dan 37,7% tergolong buruk (37,7%). Penggunaan obat swamedikasi 59,4% rasional dan 40,6% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan uji Fisher, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 40,6%.

Gambar

Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian
Tabel 3.1 (Lanjutan). 5. Jenis Jenis  kelamin respon-
Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.
Gambar 4.1 Sumber Informasi Obat Swamedikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan, maka peneliti

Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 21,1% tergolong baik, 31,9% tergolong sedang, dan 39,7% tergolong buruk.. Penggunaan obat swamedikasi

Berdasarkan uraian diatas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan, maka peneliti

Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan Cimanggis Depok.Jurnal.. Depok: Departemen Farmasi

Setelah mendapat penjelasan secukupnya dari penelitian yang berjudul“Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi di Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan”, dan

Hasil dari uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner pengetahuan dinyatakan valid dan reliabel dengan pengujian 39 sampel, sedangkan kuesioner

1 Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Apotek Kecamatan Colomadu Sulfiatus Sholiha1, Amal Fadholah2, Lija Oktya Artanti3 1 Mahasiswa Program Studi Farmasi

Tabel 4.7 Distribusi Status Penilaian Untuk Setiap Kriteria Rasionalitas Kriteria Status Jumlah Persentase % Ketepatan pemilihan obat Tidak tepat Tepat 5 345 1,4 98,6 Ketepatan