• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Vigor Biokimiawi dan Vigor Fisiologi untuk Fenomena Pemulihan Vigor pada Tingkat Awal Deteriorasi dan Devigorasi Benih Kedelai (Glycine max (.L) Merr.) melalui Proses Invigorasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Vigor Biokimiawi dan Vigor Fisiologi untuk Fenomena Pemulihan Vigor pada Tingkat Awal Deteriorasi dan Devigorasi Benih Kedelai (Glycine max (.L) Merr.) melalui Proses Invigorasi"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

DETEKSI VIGOR BlOKlMlAWl DAN VIGOR FlSlOLOGl

UNTUK FENOMENA PEMULIHAN VIGOR PADA TINGKAT AWAL

DETERIORASI DAN DEVIGORASI

BENlH KEDELAI

(Glycine

max (L.) Merr.) MELALCll PROSES INVIGORASI'

Oleh

ENY

WlDAJATl

AGR. 93510

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

DAFTAR SINGKATAN ATP D Dl3 DMRT DNA GDH KCT KST MDH MPC PK-r PKs UKDdp VDS v g VKT

v g b i o k

~ g f i r i o l

VP v s s

= Adenosine triphosphate

= Nilai Delta

= Daya Berkecambah

= Duncan Multiple Range Test

= Deoxyribonucleic acid

= Glutamat dehidrogenase

= Kecepatan Turnbuh

= ~ e s e r e m ~ a k a n Tumbuh

= Malat dehidrogenase

= Mesin Pengusang Cepat

= Periode Konservasi sebelurn tanam

= Periode Konservasi sebelum simpan

= Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik

= Vigor Daya Simpan

= Vigor

= Vigor Kekuatan Tumbuh

= Vigor Biokimiawi

= Vigor Fisiologi

= Viabilitas Potensial

(6)

RINGKASAN

ENY WIDAJATI. Deteksi Vigor Biokimiawi dan Vigor Fisiologi untuk Fenomena Pemulihan Vigor Pada Tingkat Awal Deteriorasi dan Devigorasi Benih Kedelai

(Glycine max (L.) Merr.) Melalui Proses Invigorasi. (Di bawah bimbingan

SJAMSOE'OED SADJAD sebagai ketua, M.S. SAENI, MAGGY T.

SUHARTONO, SATRlYAS ILYAS dan BAMBANG S. PURWOKO masing- masing sebagai anggota)

Tujuan penelitian adalah mempelajari proses deteriorasi dan devigorasi

yang ditengarai oleh asam fitat, P teresterifikasi oleh mitokondria, aktivitas enzim

fitase, aktivitas enzim peroksidase di dalarn benih kedelai yang memungkinkan

untuk dijadikan indikator vigor biokimiawi maupun DB dan KST sebagai indikator

mutu fisiologi. Tujuan lainnya adalah mempelajari tingkat pulih vigor sebagai

kriteria analisis benih dalam variasi benih yang mengalami deteriorasi dan

devigorasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari mekanisme invigorasi

pada lot benih yang pulih vigor dengan indikasi fisiologi dan indikasi biokimiawi.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari aplikasi fenomena invigorasi pada

lot-lot benih yang diduga sudah mundur namun masih dalam batasan pulih vigor,

sehingga dapat ditentukan apakah lot benih tersebut dapat digunakan untuk tujuan

blending.

Benih yang digunakan adalah benih kedelai varietas Wilis. Penelitian terdiri

dari dua seri yaitu ; 1) Studi kriteria analisis vigor benih dengan mekanisme pulih

vigor d m 2) Pemanfaatan invigorasi untuk deteksi tingkat pulih vigor. Penelitian

pertarna mempelajari mekanisme pulih vigor, hubungan antara parameter vigor

fisiologi dan biokimiawi sebagai indikasi pulih vigor dan konsumsi energi selarna

perkecambahan. Penelitian kedua mempelajari aplikasi pulih vigor untuk kriteria

analisis vigor b e ~ h dan aplikasi pulih vigor dalam seed blending. Proses invigorasi

(7)

dengan meningkatnya tolok ukur DB, KST, aktivitas enzim peroksidase, aktivitas

enzim fitase, jurnlah P teresterifikasi dan menurunnya asam fitat benih. Berdasarkan

tolok ukur tersebut lot benih yang memiliki DB lebih tinggi dari 92 % dan lebih

rendah dari 77 % mengalami proses invigorasi sangat kecil. Proses invigorasi yang

besar terjadi pada lot benih dengan kisaran DB 77-92%, pada kisaran tersebut

perlakuan osmotic priming PEG 6000 dapat meningkatkan DB sampai 14%. Proses

invigorasi juga ditunjukkan oleh meningkatnya ketebalan pita protein pada

elektroforesis benih yang diberi perlakuan osmotic priming PEG 6000 maupun

KH2P04.

Tolok ukur DB, KST, aktivitas enzim peroksidase, asam fitat dan P

teresterifikasi dapat digunakan untuk deteksi ragam viabilitas benih deteriorasi

maupun devigorasi. Aktivitas enzim peroksidase, P teresterifikasi, DB dan KST

menurun sejalan dengan meningkatnya proses deteriorasi dan devigorasi. Pada benih

yang mengalami deteriorasi dan devigorasi lanjut menunjukkan kandungan asam

fitat tetap tinggi.

Diternukan adanya korelasi yang tinggi antara

v , ~ ~ ' ~ '

dengan

v,b'ok,

kecuali

pada tolok ukur P teresterifikasi pada beberapa taraf deteriorasi. Aktivitas enzim

peroksidase dan P teresterifikasi memiliki korelasi positif dengan tolok ukur DB dan

KST, sedangkan asam fitat memiliki korelasi negatif dengan kedua tolok ukur

tersebut.

Tingkat pulih vigor dapat digunakan untuk kriteria analisis benih vigor tinggi

dan sedang. Berdasarkan tolok ukur DB, KST, aktivitas enzim peroksidase dan asam

fitat, lot benih vigor tinggi memiliki DB lebih tinggi dari 93 % dan lot benih vigor

(8)

berdasarkan tolok ukur KST lot benih yang digunakan pada penelitian ini termasuk

kriteria vigor sedang.

Tingkat pulih vigor dapat digunakan untuk deteksi viabilitas blended seed lot dengan tolok ukur asam fitat dan KST. Blending antara benih vigor tinggi dan vigor sedang dapat &lakukan. Untuk benih v i g o ~ tinggi (DB sekitar 95 %) clan benih vigor

(9)

SUMMARY

ENY WIDAJATI. Biochemical and Physiological Vigor Detection for Vigor

Recovery in Early Deterioration and Devigoration of Soybean Seed (Glycine m a x

(L.) Merr) through the Invigoration Mechanism. (Under supervision of

SJAMSOE'OED SADJAD as chairman, M.S. SAENI, MAGGY T.

SUHARTONO, SATRIYAS ILYAS and BAMBANG S. PUWOKO as members

of advisory committe).

The objectives of the experiment were to study the mechanism of

deterioration and devigoration indicated by phosphorous metabolism; to obtain the

analysis criteria of seed viability; and to obtain the optimum ratio of blended seed.

The experiments were conducted at Seed Science and Technology Laboratory, Plant

Molecular and Cellular Biology Laboratory of IUC for Biotechnology, Bogor

Agricultural University from January 1997 to October 1998.

Wilis was the cultivar used throughout the experiment. The experiments

consisted of 1) study of seed vigor criteria based on vigor recovery mechanism and

2) application of invigoration to detect level of vigor recovery. The first step of this

experiment was conducted to study vigor recovery mechanism; and relationship

between the physiological and biochemical parameters as vigor recovery indicators

and the energy consumption during seed germination. The second step of this experiment was conducted to study vigor recovery application for seed vigor criteria

and to detect vigor recovery in relation to seed blending.

The germination capacity, uniformity of seedling growth, activity of

peroxidase and phytic acid content were found as parameters capable of detecting

seed viability of deteriorated or devigorated seed lots. Invigoration was indicated by

increase in germination capacity, uniformity of seedling growth and activity of

peroxidase, and decrease in phytic acid content. Vigor recovery level could be used

to analyze seed viability. Seed lots with germination capacity higher than 92 %

(10)

level of 14% germination capacity was obtained by the medium seed lot (77-92 %

germination capacity). Mechanism of seed invigoration was detected by increase in thickness of protein band in SDS-PAGE analysis of protein extracted from cotyledon of 4 day old seedling.

There was high correlation between physiological and biochemical vigor parameters. The activity of peroxidase and esterified P showed positive correlation with gemination capacity and uniformity of seedling growth, while phytic acid content showed negative correlation.

Vigor recovery could be used as criteria for vigor analysis. Based on analysis of germination capacity, uniformity of seedling growth, phytic acid content, activity of peroxidase and esterifed P, high vigor seed lot was determined for those showing germination capacity higher than 93 %, while such level for medium vigor seed lot ranged from 78-92%.

(11)

DETEKSI VIGOR BlOKlMlAWl DAN VIGOR FtSlOLOGl UNTUK FENOMENA PEMULIHAN VIGOR PADA TINGKAT AWAL

DETERlORASl DAN DEVlGORASl BENlH KEDELAI (Glycine max (L.)Merr.) MELALUI PROSES INVlGORASl

Oleh : ENY WIDAJATI

AGR 9351 0

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu-ilmu Pertanian

pada

Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1999

6

(12)

Judul Disertasi : DETEKSI VIGOR BlOKlMlAWl DAN VIGOR FlSlOLOGl UNTUK FENOMENA PEMULIHAN

VIGOR PADA TINGKAT AWAL DETERlORASl DAN DEVlGORASl BENlH KEDELAI (Glycine max

(L.) Merr.) MELALUI PROSES INVIGORASI Nama Mahasiswa : ENY WlDAJATl

Nomor Pokok : 93570

Menyetujui :

1 Komisi Pemb~rnblng

-/

-&7\p

-- Prof. Dr Ir Sjamsoe'oed Sadjad, MA

(Ketua) ,

- & e %-> ,

</ Z N

/

,fly/*

Prof. Dr Ir M. Sri Saeni, MS

,

Dr Ir ~ a g g $ ~ h e n a w i d a Suhartono

(Anggota) (Andota)

Dr Ir Hj. Satriyas Ilyas, MS

d

Dr Ir Barnbang Sapta Purwoko, MSc

(Anggota) (Anggota)

2. Ketua Program-Studi Agronomi

Dr Ir Sudirman Yahya, MSc

ram Pascasarjana

(13)

RIWAYAT HIDUP

PenuIis dilahirkan pada tanggal 6 Januari 1961 di Jakarta dari orang tua

Bapak Sukito dan Ibu Singgang Haryani.

Pada tahun 1979 penulis lulus dari SMA Negeri 28 Jakarta. Penulis

memperoleh gelar Sarjana Pertanian tahun 1983 dan Magister Sain tahun 1992 dari

Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai staf pangajar di Jurusan Budi Daya Pertanian

(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas

perkenan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besamya

kepada :

1 . Rektor Institut Pertanian Bogor dan Direktur Pascasarjana yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di

Institut Pertanian Bogor serta Team Managemen Program Doktor atas

beasiswa yang diberikan.

2. Prof. Dr Ir Sjamsoe'oed Sadjad, MA sebagai ketua komisi pembimbing atas

pengarahan dan bimbingannya mulai dari sejak awal kuliah sampai dengan

selesainya penulisan disertasi ini.

3. Prof. Dr Ir M.Sri Saeni, MS, Dr Ir Bambang S. Purwoko,MSc, Dr Ir Maggy

T. Suhartono dan Dr Ir Hj. Satriyas Ilyas, MS atas bimbingan dan

pengarahannya mulai dari menyusun rencana penelitian sarnpai dengan

penulisan disertasi ini.

4. Kepala laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Jurusan Budi Daya Pertanian,

Kepala laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Kepala

laboratorium Mikrobilogi dan Biokimia PAU Bioteknologi, IPB beserta staf

yang telah memberikan ban- dan fasilitas selama penulis melaksanakan

penelitian.

5. Dr Ir M. Yusuf dan Dr Ir Sony Suharsono atas saran dan bantuannya selama

pelaksanaan penelitian.

6. Rekan Dr fr Tati Budiarti, MS, Dr Ir Setia Hadi, MS, Rahmat, Bambang K.

serta rekan-rekan di Iaboratorium Ilmu dan Teknologi Benih yang tidak dapat

disebutkan

S3.

(15)

7. Dr Ir Udin S. Nugraha, MS dan Dr Ir Yuliana Maria Diah Ratnadewi yang

telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan saran-saran

yang telah diberikan untuk penyempurnaan disertasi.

8. Suami dan anak-anak tersayang (Pardomuan, Brarn, Ririn dan Johan) atas

segala doa, bantuan dan kesabarannya selarna penulis menempuh program S3.

9. Kedua orang tua (Bapak Sukito d m Ibu S. Haryani) atas kasih sayang, doa dan

bantuan yang diberikan kepada penulis dengan tulus ikhlas.

10. Keluarga Bapak D.Silaban atas doa dan bantuannya.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk

pengembangan Ilmu Benih khususnya bidang Analisis Benih dan bermanfaat bagi

yang memerlukannya.

(16)

DAFTAR IS1

Halarnan

DAFTARISI

. . .

DAFTARTABEL

. . .

DAFTARGAMBAR

. . .

I

.

PENDAHULUAN

LatarBelakang

. . .

Tujuan Penelitian

. . .

Hipotesis

. . .

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA

. . .

Viabilitas Benih

...

Komposisi Cadangan Energi Benih

. . .

Metabolisme Senyawa P selama Perkecambhan

. . .

Invigorasi Benih

Konsurnsi Energi Benih

. . .

Blending

. . .

111

.

BAHAN DAN METODE

Penelitian I

.

Studi Kriteria Analisis Vigor Benih dengan

. . .

Mekanisme Pulih Vigor

Penelitian I1

.

Pemanfaatan Invigorasi untuk Deteksi

. . .

Tingkat Pulih Vigor

IV

.

HASIL DAN PEWAHASAN

Penelitian I

.

Studi Kriteria Analisis Vigor Benih dengan Mekanisme Pulih Vigor

. . .

l a

.

Studi Mekanisme Pulih Vigor

...

. . .

.

1 b Hubungan

vgfiso'

dan

v,biok

1 c

.

Pemantapan Mekanisme Pulih Vigor

. . .

Id

.

Konsurnsi Energi selama Perkecambahan

...

Penelitian I1

.

Pemanfaatan Invigorasi untuk Deteksi T i g k a t

. . .

Pulih Vigor

2a

.

Aplikasi Pulih Vigor untuk Kriteria Analisis

. . .

Viabilitas Benih

2b

.

Aplikasi Pulih Vigor dalam Seed Blending

. . . .

V

.

KESIMPULAN

. . .

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

. . .

1 Variasi rasio blending lot benih vigor tinggi dan sedang

2 Rekapitulasi nilai F dari hasil analisis ragam faktor tingkat

viabilitas yang diperoleh dengan deteriorasi maupun

devigorasi dan perlakuan osmotic priming dengan PEG

. . .

6000 terhadap beberapa tolok ukur viabilitas

3 Pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan proses

deteriorasi dengan tolok ukur DB dan KST

. . .

Pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan proses devigorasi dengan tolok ukur DB clan KST

. . .

Pengaruh osmotic priming dengan PEG 6000 pada benih yang

mengalami deteriorasi dan devigorasi dengan tolok ukur

D B d a n K s ~

. . .

Pengaruh interaksi tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

aktivitas enzim peroksidase

. . .

Pengaruh interaksi tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

. . .

kandunganasamfitat

Pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan proses

...

devigorasi dengan tolok ukur kandungan asam fitat

Pengamh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan proses

. . .

deteriorasi dan devigorasi terhadap P teresterifikasi

Rekapitulasi nilai F pengaruh osmotic priming dengan PEG 6000

danKH2P01

. . .

Pengaruh osmotic priming dengan tolok ukur DB, &T, asam f3at

dan aktivitas enzim fitase

. . .

12 Rata-rata panjang akar, panjang hipokotil, bobot kering kecambah

dan kandungan asarn fitat kecambah kedelai yang

. . .

ditumbuhkan dalam kondisi gravitasi < 1 dan kontrol.

13 Rekapitulasi nilai F analisis ragarn pengaruh variasi rasio

blending ( A ) dan osmotic priming dengan KH2P04 (B)

....

14 Pengaruh osmotic priming dengan tolok ukur DB, &T dan P

. . .

(18)

Pengaruh interaksi variasi rasio blending dengan osmoric priming

dengan KH2P04 terhadap tolok ukur kandungan asam fitat

Lampiran

Darnpak perlakuan osmotic priming PEG 6000 terhadap lot benih

dengan variasi tingkat deteriorasi.

. . .

Darnpak perlakuan osmotic priming PEG 6000 terhadap lot benih

dengan variasi tingkat devigorasi.

. . .

. . .

Komposisi larutan untuk ekstraksi rnitokondria

Komposisi larutan untuk elektroforesis.

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

DB

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

KST

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

. . .

alctivitas enzim peroksidase.

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

asamfitat

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses deteriorasi clan osmoticpriming dengan tolok ukur

P

. . .

teresterifikasi.

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

DB

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

. . .

aktivitas enzim peroksidase

(19)

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur

asamfitat

. . .

Analisis ragam pengaruh tingkat viabilitas yang diperoleh dengan

proses devigorasi dan osmotic priming dengan tolok ukur P

. . .

teresterifikasi.

Analisis ragam pengaruh osmoticpriming dengan tolok ukur DB

Analisis ragam pengaruh osmotic priming dengan tolok ukur

KST

. . .

Analisis ragam pengaruh osmotic priming dengan tolok ukur

asamfitat

. . .

Analisis ragam pengaruh osmotic dengan tolok ukur

. . .

aktivitas enzim fitase

Rata-rata DB, KST, kandungan asam fitat dan P teresterifikasi

. . .

oleh mitokondria pada berbagai rasio blending

Analisis ragam pengaruh variasi rasio lot benih dan osmotic

. . .

priming dengan tolok ukur DB.

Analisis ragam pengaruh variasi rasio lot benih dan osmotic

priming dengan tolok ukur K S ~

. . .

Analisis ragam pengaruh variasi rasio lot benih dan osmotic

. . .

priming dengan tolok ukur asam fitat

Analisis ragam pengaruh variasi rasio lot benih dan osmotic

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor -' Halaman

Teks

Garis-garis viabilitas benih dalam konsepsi Steinbauer -

. . .

Sadj ad (Sadj ad, 1994) 7

Diagram sintesis fitin dan mekanisme penimbunan fitin

. . .

(Bewley dan Black, 1994) 13

Skema mekanisme sintesis ATP (Anderson dan Gupta,

1986)

. . .

17 Diagram pergerakan benih dalam alat blender conveyor

spiral vertikal (Greg el al., 1970)

. . .

25

Teoritis tentang aplikasi osmotic priming untuk

. . .

indikator blending. 25

Skema pelaksanaan penelitian.

. . .

27

. . .

Metode osmotic priming. 28

. . .

Alat untuk membuat kondisi gravitasi < 1. 3 1

Teoritis kriteria vigor benih berdasarkan tingkat pulih

vlgor

...

32

Rata-rata DB (a) dan KST (b) benih pada beberapa taraf

. . .

deteriorasi 45

Rata-rata DB (a) dan &T @) benih pada beberapa taraf

. . .

devigorasi 47

Rata-rata aktivitas enzim peroksidase pada beberapa

taraf deteriorasi (a) dan devigorasi (b)

...

50

Rata-rata kandungan asam fitat pada beberapa taraf

deteriorasi (a) dan devigorasi (b)

...

53

Rata-rata P teresterifikasi pada beberapa taraf

deteriorasi (a) clan devigorasi (b)

. . .

5 5

Hubungan antara aktivitas enzim peroksidase dengan

DB pada beberapa taraf deteriorasi (a) clan

. . .

devigorasi (b) 5 8

Hubungan antara aktivitas enzim peroksidase dengan

KST pada beberapa taraf deteriorasi (a) dan

(21)

Hubungan antara asam fitat dengan DB pada beberapa

. . .

taraf deteriorasi (a) dan devigorasi (b).

Hubungan antara asam fitat dengan I& pada beberapa

. . .

taraf deteriorasi (a) dan devigorasi (b)

Hubungan antara P teresterifikasi dengan DB pa&

beberapa taraf deteriorasi (a) dan devigorasi (b)

. .

Hubungan antara P teresterifikasi dengan %T pada

beberapa taraf deteriorasi (a) dan devigorasi (b)

. .

Pemindahan gugus fosfat dari fosfoenolpiruvat ke ADP

(Lehninger, 1990)

. . .

Analisis SDS-PAGE pola pita protein yang diekstrak

dari kotiledon kecambah kedelai b e m u r 4 hari

. .

~enampakan kecambah pada kondisi kontrol (a) dan

. . .

gravitasi < 1 (b)

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

deteriorasi dengan tolok ukur DB.

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf devigorasi

. . .

dengan tolok ukur DB.

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf deteriorasi dengan tolok ukur I(ST.

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

devigorasi dengan tolok

ukur

I(ST.

. . .

Kuwa tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

deteriorasi dengan tolok ukur aktivitas enzim

peroksidase.

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

devigorasi dengan tolok ukur aktivitas enzim

peroksidase.

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

deteriorasi dengan tolok ukur asam fitat.

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf devigorasi dengan tolok ukur asarn fitat

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa taraf

. . . .

deteriorasi dengan tolok ukur P teresterifikasi Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa tarafdevigorasi

. . .

(22)

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa variasi rasio blending dengan tolok ukur DB

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa variasi rasio blending dengan tolok ukur I(ST

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa variasi rasio

blending dengan tolok ukur asam fitat

. . .

Kurva tingkat pulih vigor pada beberapa variasi rasio blending dengan tolok ukur P teresterifikasi

. . .

(23)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama periode penyimpanan benih mengalami kemunduran yang dise-

babkan oleh faktor-faktor alami. Proses ini disebut deteriorasi. Kemunduran

benih dapat juga tejadi oleh tindakan non alami, misalnya oleh deraan Mesin

Pengusang Cepat (MPC) dengan menggunakan uap etanol. Untuk membedakan

dari istilah deteriorasi, proses kemunduran non alami oleh Sadjad (1994) disebut

devigorasi. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai deteriorasi terkontrol.

Perubahan yang terjadi akibat deraan uap etanol menurut hasil penelitian Pian

(1981) adalah menurunnya potensi tumbuh rnaksimum, daya berkecambah dan vigor

benih yang merupakan perwujudan fisiologi. Perwujudan biokimiawi akibat deraan

uap etanol adalah menurunnya aktivitas enzim, respirasi benih, laju sintesis dan

meningkatnya kebocoran hasil metabolisme. P e m j u d a n sitologik terlihat pada

kerusakan tudung akar embrio benih yaitu terlepasnya plasma sel dari dinding sel

dan hubungan antar sel menjadi renggang.

Perubahan metabolik, sitologik dan genetik terjadi selama proses kemun-

duran viabilitas benih. Pada benih-benih yang mengalami kemunduran te jadi

akumulasi krornosom yang rusak, denaturasi lipoprotein membran sel dan asam

nukleat (Roberts, 1972). Hasil penelitian Pian (198 1) menunjukkan adanya

kesarnaan antara deteriorasi dan devigorasi dilihat secara fisiologi, biokimiawi,

maupun sitologi.

Studi ultrasbuktur pada tudung akar dari beberapa tingkat kemunduran

benih, menunjukkan bahwa semua organel sel terpengaruh oleh proses penuaan.

Namun pada lot benih yang mengalami kemunduran tipe I dengan protoplas masih

(24)

tersebut menghilang setelah imbibisi 48 jam. Hal ini menunjukkan adanya

mekanisme perbaikan. Kemunduran tipe I1 dengan protoplas sudah tidak

beraturan dan organel-organel sudah mengalami degenerasi, tidak dapat pulih

kembali. Demikian pula pada tingkat kemunduran yang lebih lanjut pada tipe I11

(Roberts, 1972).

Faktor internal benih dan kondisi lingkungan kadang-kadang menyebabkan

pertumbuhan bibit lambat atau abnormal. Benih-benih yang sudah mengalami

p e n m a n viabilitas biasanya sangat peka terhadap kondisi sub optimum. Salah satu

upaya untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan suatu perlakuan sebelum tanam

sehingga benih dapat mengatasi kondisi sub optimum, rnetabolisrne perkecambahan

yang terjadi lebih awal dan pengaruh pen- benih dapat dikurangi.

Perlakuan tertentu pada benih yang telah mengalami kemunduran dapat

meningkatkan vigor. Proses bertambahnya vigor benih disebut invigorasi (Sadjad,

1994). Murray d m Wilson (1987) mengemukakan bahwa salah satu usaha untuk

menambah vigor benih adalah dengan perlakuan priming. Priming adalah suatu

metode untuk mengatur jurnlah air yang diimbibisi oleh benih, serta mengatur

kecepatan masuknya air ke dalam benih. Ada beberapa metode priming yaitu

hydropriming, osmotic priming dan matriconditioning. Hydropriming yaitu priming

dengan cara merendam benih dalam air beberapa jam lalu diikuti dengan perlakuan

inkubasi pada kondisi kelembaban nisbi 100% (Koch, Hoffinan dan Steiner , 1992 ;

Fujikura e t al., 1993). Osmotic priming yaitu priming dengan cara menempatkan

benih dalam larutan osmotik, metode ini sering juga disebut osmopriming atau

(25)

Fenomena invigorasi ditunjukkan oleh indikasi fisiologi maupun biokimiawi.

Perlakuan osmotic priming dengan PEG 6000 pada benih kedelai yang telah

mengalami devigorasi dapat meningkatkan Daya Berkecambah (DB), Kecepatan

Tumbuh (I(CT), Keserempakan Tumbuh (I(ST) dan persentase pemunculan bibit

(Nursandi, 1990; Sagala, 1990 ; Shatters et al., 1994). Hasil penelitian Shatters et

al. (1994) menunjukkan adanya peningkatan intensitas pewarnaan pada analisis

izoenzim glutamat dehidrogenase (GDH) pada benih yang diberi perlakuan osmotic

priming dibanding kontrolnya. Kandungan protein terlarut lebih tinggi pada benih

yang diberi perlakuan osmotic priming dib&ding kontrol (Smith dan Cobb, 1992).

Hasil penelitian Armstrong dan McDonald (1992) menunjukkan bahwa pada

perlakuan osmotic priming terjadi pemantapan integritas membran.

Viabilitas benih merupakan fokus pengembangan ilmu benih (Sadjad, 1992).

Dalam pengembangan ilmu benih tersebut diharapkan dapat ditemukan indikasi-

indikasi viabilitas benih yang dapat diukur dengan tolok ukur yang spesifik. Pada

penelitian ini diharapkan dapat diperoleh indikasi viabilitas yang spesifik dalam

kaitannya dengan invigorasi benih.

Proses invigorasi ditunjukkan oleh tingkat pulih vigor yaitu selisih nilai

viabilitas benih, baik yang dinyatakan dengan tolok ukur fisiologi maupun

biokimiawi antara lot yang diinvigorasi dan kontrolnya (tanpa invigorasi). Hasil

penelitian Widajati, Suwarno dan Murniati (1990) pada benih kacang tanah

menunjukkan bahwa benih vigor tinggi dan vigor rendah tidak menunjukkan

peningkatan vigor dengan perlakuan invigorasi, sedangkan pada benih vigor sedang

terjadi peningkatan vigor secara nyata. Fenomena yang sarna juga terjadi pada

benih kedelai (Sagala, 1990) dan benih jagung (Setiarini, 1995). Hasil tersebut

(26)

dengan garis Nilai Delta pada Periode I11 konsepsi Steinbauer-Sadjad. Analog

dengan garis Nilai Delta, maka fenomena pulih vigor tersebut diduga dapat

digunakan untuk paiameter viabilitas suatu lot benih. Proses invigorasi pada

penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk kriteria viabilitas suatu lot benih.

Lot benih pada hakekatnya m e ~ p a k a n campuran individu-individu benih baik,

sedang dan jelek, oleh karena itu informasi viabilitas benih mengikuti kurva

distribusi normal. Dalam prakteknya dua atau lebih lot benih dapat diblending.

sehingga didapatkan komposisi lot benih yang lebih baik. Greg et al. (1970)

mendefinisikan blending adalah mencampur dua atau lebih lot benih, sehingga

dihasilkan lot benih yang lebih homogen.

Pemanfaatan benih yang sudah menurun viabilitasnya dalam budi daya tanarnan

diduga akan dapat menghasilkan pertanaman yang lebih seragam di lapang jika

benih yang sudah menurun viabilitasnya diblending dengan benih berviabilitas

tinggi. Penentuan dapat tidaknya benih tersebut diblending diduga dapat dilakukan

dengan uji invigorasi. Lot benih yang sudah menurun viabilitasnya dan setelah uji

invigorasi dapat pulih vigor termasuk kelompok benih vigor sedang dan dapat

digunakan untuk blending. Blended seed mempakan campuran benih vigor tinggi

dan sedang dengan berbagai variasi rasio. Batas rasio yang dapat diterima adalah

rasio-rasio yang memiliki delta relatif konstan apabila campuran lot tersebut

diinvigoraqi. Jika ha1 ini dapat dilakukan maka penambahan waktu dan tenaga untuk

penyularnan dapat ditiadakan dan benih yang sudah mengalami kemunduran dapat

dimanfaatkan dan pertanaman yang dihasilkan lebih baik.

Senyawa P di dalam benih sangat penting peranannya dalam metabolisme

perkecambahan benih. Fitin adalah kompleks garam kalsium, magnesium dan

(27)

kecil namun merupakan surnber fosfat dan unsur mineral penting bagi benih.

Selain itu fitin merupakan cadangan Fe, Mn dan Cu (Bewley dan Black, 1985).

Benih-benih yang pulih vigor dan diberi perlakuan invigorasi diduga mengalami

peningkatan aktivitas enzim-enzim hidrolisis, terrnasuk enzim fitase sebagai

penghidrolisis fitin. Pemanfaatan cadangan P dalam benih yang mengalami

deteriorasi dan devigorasi akan menurun. Perlakuan invigorasi diduga dapat

meningkatkan pemanfaatan cadangan P selama perkecambahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mempelajari proses deteriorasi dan devigorasi yang

ditengarai oleh asam fitat, P teresterifikasi oleh mitokondria, aktivitas enzim fitase,

aktivitas enzim peroksidase di dalam benih kedelai yang memungkinkan untuk

&ja&ikan indikator vigor biokimiawi maupun DB dan ST sebagai indikator mutu

fisiologi. Tujuan lainnya adalah mempelajari tingkat pulih vigor sebagai kriteria

analisis benih dalam variasi benih yang mengalarni deteriorasi dan devigorasi.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari mekanisme invigorasi pada lot

benih yang pulih vigor dengan indikasi fisiologi dan indikasi biokimiawi. Penelitian

ini juga bertujuan untuk mempelajari aplikasi fenomena invigorasi pada lot-lot benih

yang diduga sudah mundur narnun masih dalam batasan pulih vigor, sehingga dapat

ditentukan apakah lot benih tersebut dapat digunakan untuk tujuan blending.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Tingkat viabilitas clan kepulihan vigor benih dari lot benih yang mengalami

deteriorasi maupun devigorasi dapat diindikasikan dengan indikasi fisiologi dan

(28)

2. Kandungan asarn fitat, aktivitas enzirn fitase, aktivitas enzim peroksidase,

jumlah P teresterifikasi oleh mitokondria, serta pola pita protein dapat

rnenjelaskan mekanisme invigorasi.

3. Indikasi kecambah kuat pada pengujian vigor benih berkorelasi positif dengan

lot benih yang masih mengalami pulih vigor

4. Tingkat invigorasi dapat rnengindikasikan vigor benih.

5 . Pada lot benih yang pulih vigor dapat dilakukan blending, narnun lot benih hasil

(29)

11. TINJAUAN PUSTAKA

Viabilitas Benih

Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang ditunjukkan oleh

fenomena pertumbuhan benih atau gejala metabolismenya. Periode viabilitas benih

merupakan suatu perjalanan waktu dari seluruh hidup benih. Pada Konsepsi

Steinbauer-Sadjad (Garnbar 1) viabilitas dimulai dari antesis sampai benih mati.

Periode viabilitas dibagi atas Periode I sebagai Periode Pembangunan Benih,

Periode I1 yaitu Periode Simpan dan Periode 111 yaitu Periode Kritikal (~adjad,

1994).

Keterangan:

Vp = Viabilitas potensial; Vg = Vigor; PKs = Periode Konservasi sebelum simpan; PK.r = Periode Konservasi sebelum tanam; Vss = Viabilitas sesungguhnya; D = Nilai Delta.

Gambar I . Garis-garis viabilitas benih dalam Konsepsi Steinbauer- Sadjad (Sadjad, 1994)

Periodisasi viabilitas benih tidak sekadar menjabarkan proses viabilitas be-

[image:29.526.39.459.27.592.2]
(30)

(Sadjad, 1994). Dengan demikian viabilitas benih dalarn bentuk garis dapat

menjabarkan status viabilitas benih secara absolut d m simulatif. Lot benih pada

Periode I1 mengindikasikan bahwa lot benih masih memiliki vigor yang tinggi,

sebaliknya lot benih yang sudah berada pa& Pcriode I11 mengindikasikan lot benih

yang tidak memiliki vigor untuk disimpan lagi.

Parameter lot benih mencakup Viabilitas Potensial (Vp) dan Vigor (V, )

(Sadjad, 1994). Apabila lot benih memiliki pertumbuhan normal pada kondisi

optimum, lot benih itu memiliki kemampuan potensial. Masalah yang dihadapi

adalah bahwa kondisi di lapang produksi tidak selalu dalam kondisi optimum,

sehingga apabila lot benih tersebut menghadapi kondisi sub optimum, kemampuan

potensial itu belurn tentu dapat mengatasinya. Lot benih mempunyai kemampuan

lebih dari potensial, apabila mampu menghasilkan pertanaman normal dalam kondi-

si sub optimum. Lot benih demikian mempunyai parameter viabilitas yang disebut

vigor yang tinggi

.

Vigor benih merupakan unsur kualitas benih yang dinyatakan sebagai suatu

potensial untuk berkecambah cepat dan pertumbuhan bibit yang cepat pada kondisi

lapang yang beragam (Heydecker, 1972). Vigor benih berbeda dengan viabilitas

benih atau kemampuan berkecambah. Dalam suatu lot benih persentase viabilitas

atau perkecambahan memberikan informasi tentang perkiraan jurnlah maksimurn

bibit yang kemungkinan dihasilkan dalam kondisi laboratorium yang optimum.

Indeks vigor suatu lot benih mengindikasikan kemungkinan penampakan di lapang,

sehingga lebih mendekati perkiraan pertanaman di lapang, kecepatan tumbuh ta-

naman dan produksi. Ching (1982) mengemukakan bahwa ekspresi vigor benih

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor genetik, kondisi perkembangan,

(31)

Abdul Baki (1980) dalam Ching (1982) mengemukakan beberapa me-

kanisme biokimia yang dapat dikaitkan dengan vigor benih yaitu : (1) Kecepatan

dan kemampuan reorganisasi dan pulihnya kembali kondisi sitoplasma dan kondisi

membran pada awal imbibisi benih ; (2) efisiensi dalam penggunaan substrat se-

derhana misalnya glukosa untuk komponen selular ; (3) kecepatan sintesis ECNA

dan protein ; (4) sintesis dan kompetensi mitokondria khususnya enzim-enzim siklus

Krebs, senyawa untuk transport elektron (sitokrom) dan efisiensi fosforilasi ; (5)

stabilitas protein dan enzim ; (6) integritas plastida

Ching (1982) menyatakan bahwa vigor benih ditinjau dari beberapa aspek : (1)

efisiensi kepulihan dan reaktivasi keseluruhan sistern yang ada pada benih, semakin

kompeten awal pembentukan sistem-sistem dari membran, enzim, protein, asam

nukleat dan organel-organel sel maka semakin tinggi vigor benih tersebut ; (2)

sintesis yang cepat dan cukup bagi enzim-enzim dan organel untuk degradasi

cadangan makanan dalam mensuplai substrat untuk perturnbuhan bibit; (3) kecepatan

penyarnpaian informasi genetik dalam transkripsi dan translasi mRNA untuk enzim-

enzim anabolik dan protein struktural, tRNA untuk sintesis protein dari jaringan dan

organ yang berbeda-beda, rRNA untuk ribosom dan replikasi DNA untuk sel-sel

baru ; (4) adanya lingkungan mikro biosintesis yang optimum khususnya substrat,

energi, koenzim, kofaktor, efektor, aktivator, kekuatan ionik, pH, air, suhu, oksigen

dan sebagainya.

Untuk mendeteksi parameter viabilitas lot benih tertentu digunakan tolok

ukur yang spesifik, misalnya tolok ukur DB untuk parameter Vp dan Keserempakan

Tumbuh (KsT) merupakan tolok ukur Vg (Sadjad, 1994)

.

Vigor Kekuatan Turnbuh

(VKT) dapat dicerminkan oleh keserempakan pertumbuhan benih. Pertanaman yang

(32)

tinggi. Hasil penelitian Saenong (1986) menunjukkan bahwa benih dengan

keserempakan tumbuh tinggi mernpunyai vigor daya simpan (VDS) yang tinggi.

Oleh karena itu K S ~ dapat dijadikan tolok ukur V D ~ .

Viabilitas benih diindikasikan oleh berbagai tolok ukur, baik tolok ukur yang

secara langsung menilai pertumbuhan benih, maupun secara tidak langsung dengan

menilai gejala metabolismenya atau mengamati kondisi beberapa organel sel

(Sadjad, 1994). Kandungan ATP pada benih yang telah mengalami proses imbibisi

merupakan indikasi viabilitas benih (Ching, 1973). Pada Brassica napus L.

ditunjukkan bahwa kandungan ATP benih yang sudah dilembabkan selarna 4 hari

berkorelasi positif dengan panjang kecarnbah, bobot basah maupun bobot kering

kecarnbah. Perbedaaan viabilitas benih yang disebabkan oleh proses kemunduran

alami maupun buatan dengan suhu tinggi, menunjukkan kandungan ATP lebih

rendah secara nyata dibandingkan benih baik.

Ching er al. (1977) meneliti beberapa indikasi vigor benih pada Hordeum

vulgare L. yaitu bobot benih, kandungan ATP bibit urnur 3 hari, kandungan total

adenosin fosfat bibit umur 3 hari, aktivitas enzim a amilase endosperma bibit umur

5 hari, bobot kering bibit umur 7 hari dan panjang bibit urnur 3 hari dikorelasikan

dengan kecepatan tumbuh di lapang. Semua indikasi yang diteliti menunjukkan

korelasi positif, namun bobot benih, kandungan ATP, kandungan total adenosin

fosfat dan bobot kering bibit urnur 7 hari merupakan indikasi vigor benih yang baik

untuk memprakirakan kecepatan tumbuh di lapang.

Komposisi Cadangan Energi Benih

Cadangan energi di dalam benih sebagian besar tersusun oleh karbohidrat,

(33)

kalah penting, walaupun dalam jumlah yang sedikit misalnya, fitin, alkaloid, zat

pengatur tumbuh dan vitamin. Pati merupakan karbohidrat yang paling umum

ditemukan sebagai cadangan makanan benih. Pati tersimpan dalam bentuk

amilosa dan amilopektin (Bewley dan Black, 1985).

Lemak sebagai cadangan makanan benih dalam bentuk trigliserida yaitu ester

dari gliserol dan asam lemak (Copeland, 1976). Asam lemak dibedakan atas asam

lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih

ikatan rangkap misalnya oleat, linoleat dan linolenat. Sebaliknya asarn lemak yang

tidak ada ikatan rangkapnya disebut asam lemak jenuh, misalnya palmitat, stearat

dan laurat. Komposisi asam lemak pada benih kedelai berdasarkan persentase bobot

lemak sebagai berikut : palmitat 11 %, stearat 2 O h , oleat 20 %, linoleat 64 %,

linolenat 3 %.

Osborne (1924) dalam Bewley dan Black (1994) mengklasifikasikan protein di

dalam benih menjadi empat kelas berkaitan dengan kelarutannya, albumin yaitu

protein yang larut di dalam air dan buffer pH netral ; glutelin yaitu protein yang larut

di dalam asam atau basa, prolamin yaitu protein yang larut di dalam alkohol 70-90 %

; dan globulin yaitu protein yang larut dl dalam larutan garam. Protein simpan yang

terdapat pada benih kedelai yang rnasak sebagian besar adalah globulin yaitu

glycinin dan P-conglycinin.

Fitin adalah kompleks garam kalsium, magnesium dan kalium dari asam

(34)

12

dan kadang-kadang Na (Bewley dan Black, 1994). Strvktur molekul asam fitat

sebagai berikut

Kandungan unsur anorganik dalam fitin bervariasi antar spesies. Pada kedelai

kandungan Mg (0.22%), Ca (0.13 %) dan K (2.18 %) berdasarkan persentase bobot

kering. Pada sel benih fitin berada dalam bentuk globoid di dalamprotein body.

Dari hasil penelitian pada perkembangan endosperma benih jarak dengan

menggunakan mikroskop elektron, hipotesis tentang sintesis fitin dapat dilihat pada

Gambar 2. Ada kemungkinan bahwa aparatus golgi juga berperan dalam

pengemasan dan pembentukan vesikel transpor

.

Jalur biosintesis asam fitat adalah

: myo-inositol-1-P disintesis dari Glc-6-P selanjutnya ditambahkan Lima fosfat

sehingga terbentuk asam myoinositol heksafosfat. ATP berperan sebagai donor P

(35)

Keterangan :

CER = retikulum endoplasmik sisternal

CW = dinding sel, G = globoid, L = oil body

M

= mitokondria , PB =protein body, pl = plastid

Tahapan sintesis fitin sebagai berikut : (I) sintesis fitin berasosiasi dengan retikulum

endoplasmik sisternal sebelum dikemas dalam vesikel transpor ; (11) terjadi migrasi

ke membran vakuola ; (111) d m IV) te rjadi fusi-fitin dengan membran vacuola ; (IV)

dan (V) partikel fitin dilepas ke dalam lumen vakuola ; (VI) kondensasi dalam

vakuola dan mernbentuk globoid

Garnbar 2. Diagram sintesis fitin dan mekanisme penimbunan fitin (Bewley d m Black, 1994).

Hasil penelitian Earley dan DeTurk (1944) menunjukkan bahwa selama

perkembangan benih jagung te rjadi akumulasi P dalam bentuk fitin dalarn jumlah

besar. Peran fisiologi asam fitat adalah sebagai cadangan simpan P, terlihat dari

sebagian besar P pada benih gandum yang masak dalam bentuk asam fitat

(Williams, 1970). Senyawa ini &an dihidrolisis menjadi fosfat anorganik, pada

awal-awal perkecarnbahan. Asam fitat juga terlibat dalam sintesis protein (Morton

(36)

Akumulasi asam fitat selama perkembangan benih sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan tumbuh tanaman induk. Pada kondisi cekaman kecepatan

akumulasi maksimum asam fitat pada aleuron benih gandum terjadi pada hari ke-23,

sedangkan pada kondisi normal terjadi pada hari ke-28 (Williarns,l970).

Kandungan asam fitat dalam benih bervariasi antar kultivar maupun spesies.

Hasil analisis kandungan asam fitat pada benih jagung Arjuna dan Genjah Kuning

sarna, sedangkan pada Hawai SS. kandungannya lebih rendah (Suwarno, 1995).

Metabolisme Senyawa P selama Perkecambahan

Senyawa P di dalam benih sebagian besar berada dalam bentuk organik,

sedangkan dalam bentuk anorganik jumlahnya sangat kecil. Di antara senyawa

organik yang mengandung P di dalam benih adalah asam nukleat, fosfolipid,

nukleotida dan fitin (Mayer dan Mayber, 1982). Fitin merupakan mayoritas

cadangan P di dalam benih, kurang lebih 80 % dari total P dalam benih. Sebagian

besar P ada dalam bentuk terikat, sehingga ortofosfat menjadi faktor pembatas

dalam beberapa reaksi yang berkait dengan P, misalnya sintesis fosfolipid, protein,

asam nukleat dan proses pembentukan energi.

Pada benih kapas yang sedang berkecambah kandungan fitin merosot tajam

dan hampir habis pada hari ke-6 (Ergle d m Guin (1959) dalarn Mayer dan Mayber,

1982), sedangkan jumlah fosfat anorganik meningkat sampai 16 kali. Menurunnya

kandungan fitin secara tajam selama perkecambahan benih juga terlihat pada benih

gandum, oat, lettuce dan benih-benih lain. Berdasarkan fenomena tersebut

diperkirakan bahwa fitin merupakan cadangan P dl dalam benih yang sangat

(37)

Pada benih kedelai kandungan asam fitat sebagai produk hidrolisis fitin oleh

fitase menunjukkan peningkatan mulai hari ke-1 sampai hari ke-3 secara tajam, lalu

terjadi penurunan secara tajam pada hari k e 4 (Widajati, 1992). Pada benih yang

ditumbuhkan pada kondisi cekaman tekanan osmotik terlihat jumlah sisa asarn yang

lebih banyak dibanding benih yang ditumbuhkan dalarn kondisi optimum. Hal ini

menunjukkan bahwa benih yang ditanam dalam kondisi sub optimum kurang dapat

memanfaatkan asam fitat di dalam benih, sehingga energi untuk perkecambahan

lebih sedikit. Kurangnya energi untuk perkecambahan terlihat pada bobot kering

kecambah yang lebih rendah.

Enzim fitase merupakan enzim yang mendegradasi fitin pada awal

perkecambahan benih. Enzim tersebut memiliki semua sifat enzim fos-

fomonoesterase non spesifik (Williams, 1970). Jika enzim tersebut mengkatalisis

reaksi pembentukan ATP, maka tipe reaksinya sebagai berikut :

Asam fitat

+

inositol pentafosfat inositol tetrafosfat

n

ADP ATP ADP ATP

Fitase menghidrolisis fitin melepaskan P, kation-kation dan myoinositol.

Fosfat yang dilepaskan dimanfaatkan dalam proses respirasi atau pembentukan makromolekul di bagian poros embrio. Myoinositol diduga digunakan untuk pem-

bentukan dinding sel, karena senyawa tersebut adalah prekursor pentosil dan uranosil

yang biasanya berasosiasi dengan pektin dan polisakarida-polisakarida dinding sel

lainnya (Bewley dan Black, 1985).

Perubahan senyawa P dalarn benih yang sedang berkecambah diantaranya

adalah perubahan nukleosida dan nukleotida (Brown (1965) dalam Mayer dan

(38)

sedangkan ATP meningkat hampir 10 kali pada jam-jam pertama imbibisi sampai 16

jam, kemudian setelah itu terjadi penurunan.

ATP m e ~ p a k a n senyawa berenergi yang diperlukan untuk setiap jalur bi-

osintesis maupun kerja biologi misalnya pergerakan, transpoe, perbaikan dan

sebagainya. Selama perkecambahan, poros embrio tidak hanya memiliki enzim,

substrat dan kofaktor untuk sintesis ATP, tetapi juga enzim-enzim yang meng-

konversi adenin dan adenosin menjadi ATP (Ching, 1982). ATP selular dibentuk

dari ADP melalui sistem transport elektron Woroplas, mitokondria, membran

retikulum endoplasmik, membran nukleus, melalui jalur glikolisis dan siklus Krebs.

Pada benih yang sedang berimbibisi tampaknya ada beberapa kemungkinan

mekanisme sintesis ATP (Anderson dan Gupta, 1986). Skema mekanisme sintesis

ATP dapat dilihat pada Gambar 3 . Dari beberapa substrat tersebut, adenin dan ade-

nosin nyata meningkatkan sintesis ATP, masing-masing sebesar 206 % dan 175 %.

Substrat tersebut juga terdapat dl dalam benih. Hasil penelitian Anderson (1977)

menunjukkan adenin dan adenosin menurun selama perkecambahan dan dikonversi

menjadi AMP oleh fosforibosilpirofosfat transferase d m adenosin kinase lalu

menjadi ATP.

Sintesis ATP pada poros embrio kedelai dipengaruhi oleh jenis substrat se-

bagai prekursor ATP (Anderson, 1977). Beberapa jenis substrat yang digunakan

untuk larutan imbibisi adalah adenin, adenosin, inosin, hiposantin, guanin,

guanosin, A m , CAMP, D-ribosa, buffer fosfat pH 6 dan glukosa. Dengan meng-

gunakan larutan substrat untuk imbibisi, sintesis ATP menjadi Iebih besar 93 %

dibanding kontrol aquades.

Pada benih kering jumlah ATP sangat kecil, setelah imbibisi jumlah ATP

(39)

Tingkat ADP tetap rendah dan tidak banyak berubah selama proses imbibisi

(Anderson dan Gupta, 1 986).

ADENINE ADENOSINE

DE NOVO

\ /

0- AMP-ADP-ATP

Gambar 3. Skema mekanisme sintesis ATP (Anderson dan Gupta, 1986)

Hasil penelitian Abu-Shakra dan Ching (1967) menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan aktivitas mitokondria pada benih kedelai yang baru dipanen

beberapa bulan dibandingkan benih yang sudah berumur 3 tahun. Walaupun benih

yang sudah disimpan 3 tahun memiliki DB 80 %, namun kecepatan tumbuhnya

lebih Iambat. Mitokondria dari kedua lot benih tersebut memperlihatkan absorbsi

oksigen yang sarna, namun jurnlah fosfat anorganik yang diesterifikasi oleh

mitokondria dari benih yang baru dipanen dua kali lebih banyak dari benih tua.

Invigorasi Benih

..

Invigorasi adalah suatu proses bertambahnya vigor benih (Sadjad, 1994).

Pada benih-benih yang telah mundur sarnpai tingkat tertentu, pemulihan pada

organel-organel selnya dapat terjadi (Berjak (1968) dalam Roberts, 1972). Pada

kemunduran tipe I, struktur mitokondria yang abnormal dapat pulih kembali

(40)

lanjut, ketidak normalan dari struktur organel sel tidak dapat pulih. Invigorasi

dapat dilakukan dengan metode priming (Murray dan Wilson, 1987).

Priming pada prinsipnya adalah mengatur jurnlah air yang diimbibisi oleh

benih, serta mengatur kecepatan masuknya air ke dalam benih (Murray dan Wilson,

1987). Perlakuanpriming sering pula disebut dengan istilah lain yaitu conditioning.

Beberapa metode priming dapat dilakukan yaitu :

1 . Hydropriming yaitu priming dengan cara merendam benih dalam air selarna 5

jam lalu diikuti dengan perlakuan inkubasi pada kondisi kelembaban nisbi

100 % dan suhu kamar selama 3 hari (Fujikura et al., 1993; ~ o c h et al., 1992)

2 . Osmotic priming yaitupriming dengan cara menempatkan benih dalam larutan

osmotik, misalnya larutan PEG, KH2P04, KC1, K3P04, KN03, MgS04, NaC1,

gliserol d m sebagainya (Murray dan Wilson, 1987). Osmolicpriming sering juga

disebut dengan istilah osmopriming (Khan, 1992; Garcia, Jimenez dan Vazquez-

Ramos, 1995) atau osmoconditioning (Khan, 1992 ; Armstrong dan McDonald,

1992).

3 . Matriconditioning yaitu priming dengan cara menempatkan benih pada media

padatan yang ielah dilembabkan, misalnya pada vermikulit (Khan, 1992; Jeng

d m Sung, 1994) dan abu gosok (Yunitasari, 1995)

Menurut Murray dan Wilson (1987) perlakuan osmotic priming pada beberapa

tanaman, misalnya barley, bit, wortel, bawang, kedelai dan jagung dapat mem-

percepat perkecarnbahan pada suhu rendah dan memperbaiki keserempakan tumbuh.

Hasil penelitian Brocklehurst, Dearman dan Drew (1987) menunjukkan bahwa

osmotic priming pada beberapa benih sayuran menunjukkan adanya invigorasi yang

terlihat dari perkecambahan yang cepat dan seragam. Perlakuan osmotic priming

(41)

seledri dan 47 % pada bawang dibanding kontrol. Pengeringan kembali setelah

benih diberi perlakuan osmotic priming menunjukkan bobot tanaman yang lebih

tinggi 34 % pada wortel, 142 % pada seledri d m 32 % pada bawang

Hasil penelitian Munthe (1 992) menunjukkan bahwa perlakuan osmotic

priming pada benih kacang tanah dengan larutan KHzP04 menunjukkan invi-

gorasi, terlihat dari tolok ukur bobot kering kecambah total yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan perlakuan PEG 6000. Namun pada tolok ukur DB dan

Ks7, kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang sama. Perlakuan osmo-

tik -7.5 bar atau setara dengan 41.54 g KH2P04 I 1 air atau 260.6 g PEG '6000/1

air merupakan perlakuan yang menghasilkan peningkatan DB terbesar yaitu dari

78 % menjadi 87 %.

Perlakuan PEG 6000 dapat meningkatkan vigor benih kedeiai. Proses invi-

gorasi tersebut terlihat dari waktu perkecambahan yang lebih awal, peningkatan

kecepatan berkecambah dan pemunculan bibit pada s d u sub optimum yaitu ~ O C

dan 1 5 O ~ . Konsentrasi optimum untuk osmotic priming adalah 30 g PEG

6000/100 ml air dengan periode waktu 4-8 hari. Perlakuan pengeringan ke

bobot kering awal tidak mempengaruhi efek dari osmotic priming (Knypl dan

Khan, 1981)

Perlakuan osmotic priming dengan PEG pada benih tomat menunjukkan

adanya proses invigorasi. Konsentrasi PEG 6000 29 dengan periode imbibisi

12 hari dapat meningkatkan DB d m panjang akar serta bobot kering bibit. Semakin

meningkatnya konsentrasi PEG dan semakin lamanya periode imbibisi

menyebabkan p e n m a n viabilitas (Saxena dan Singh, 1987). Hasil penelitian

Alvrado, Bradford dan Hewitt (1987) pada benih tomat juga menunjukkan bahwa

(42)

menunjukkan adanya proses invigorasi terlihat dari pemunculan bibit yang lebih

awal dan seragam serta merniliki bobot kering tanaman dan indeks luas d a m yang

Iebih tinggi dibanding kontrol.

Perlakuan hydropriming sebelum semai akan menghasilkan pengaruh yang

baik bila perlakuan tersebut dilakukan dalam kondisi aerob (Koch et al., 1992).

Pada benih Triticum aestivum L. perlakuan hidrasi dalam kondisi aerob

menghasilkan

b,

DB, panjang plurnula dan bobot kering akar yang lebih tinggi

dibanding kondisi anaerob. Pada benih yang baik (DB 95 O/o) tidak terlihat

perbedaan pengaruh antara kontrol dengan perlakuan hidrasi. Perbedaan antar per-

lakuan terlihat pada benih dengan DB 79 % yang diperoleh melalui proses pengu-

sangan cepat, dengan cara benih berkadar air 18 % d i s h p a n pada suhu 45 OCselama

4 hari. Pada benih Avena sativa L. hidrasi benih sebelum tanam dalam kondisi aerob

dapat mempercepat tumbuh benih di lapang maupun produksi yang lebih tinggi

(Hoffman, Koch dan Steiner, 1992).

Matriconditioning dengan vermikulit sebelurn tanarn memberikan pengaruh

positif terhadap benih kacang tanah yang dimundurkan secara buatan dengan

perlakuan suhu 45OC dan kelembaban nisbi 75 % selama 6 hari (Jeng dan Sung,

1994). Perlakuan matricondifioning meningkatkan bobot kering dan panjang bibit

serta aktivitas beberapa enzim. Beberapa enzim yang meningkat aktivitasnya ada-

lah katalase, peroksidase, isositrat liase dan malat sintetase.

Proses invigorasi juga dapat terjadi pada benih kedelai yang mengalami

kemunduran buatan. Benih yang telah diusangkan dengan perlakuan suhu 41°c

dan kelembaban nisbi 100 O h selama 48 jam, memiliki DB 52 %. Lot benih

tersebut dapat mengalami proses invigorasi setelah perlakuan osmotic priming, yang

(43)

invigorasi pada lot tersebut juga ditunjukkan oleh tolok ukur &T dan persentase

pemunculan bibit.

Aktivitas malat dehidrogenase hanya sedikit dipengaruhi oleh perlakuan

osmoticpriming pada benih kedelai yang tidak dimundurkan. Pada benih yang di-

mundurkan selama 48 jam terlihat bahwa osmotic priming menurunkan intensitas

pewarnaan pada enzim malat dehidrogenase. Analisis aktivitas isoenzim glutamat

dehidrogenase (GDH) pada benih baik menunjukkan osmotic priming tidak

menyebabkan peningkatan intensitas pewarnaan. Namun osmotic priming dapat

meningkatkan intensitas pewarnaan isoenzim GDH pada benih yang diusangkan

selama 48 jam. Sedangkan isoenzim esterase merupakan isoenzim yang paling

sensitif terhadap perlakuan pengusangan (Shatters et al., 1994).

Hydropriming adalah suatu perlakuan dengan merendam benih dalarn air

selama 5 jam diikuti dengan inkubasi dalam wadah tertutup dengan kelembaban

nisbi 100% pada suhu 2 3 O ~ selama 3 hari. Perlakuan tersebut dapat menginvigorasi

benih yang ditunjukkan oleh tolok ukur kecepatan berkecambah benih caulzj7ower

khususnya pada lingkungan suhu rendah (IoOC). Perlakuan hydropriming hanya

efektif pada benih yang tidak diusangkan. Pada benih yang diusangkan secara fisik

perlakuan osmotic priming dengan PEG 6000 menunjukkan invigorasi dilihat dari

peningkatan persentase bibit normal yang lebih tinggi dibanding perlakuan

hydropriming (Fujikura et al., 1993 )

Pada benih kedelai yang diberi perlakukan hydropriming dengan air

menunjukkan kebocoran membran yang lebih tinggi dibandingkan benih yang diberi

perlakuan dengan PEG 6000. Perlakuan dengan PEG 6000 akan mengatur laju

penyerapan air, sehingga memungkinkan pemantapan integritas membran

(44)

Hasil penelitian Smith dan Cobb (1992) pada benih cabai yang diberi per-

lakuan osmotic priming dengan 300 mM NaCl menunjukkan adanya pengaruh

terhadap metabolisme benih. Kandungan protein terlarut meningkat 64 % pada

benih yang diberi perlakuan osmotic priming dibanding kontrol. Demikian pula

aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase meningkat 50 O h , sedangkan enzim

6-fosfoglukonat dehidrogenase tidak menunjukkan perbedaan antara benih yang

diberi perlakuan osmotic priming dengan kontrol.

Osmofic priming secara urnum dapat memperbaiki kualitas benih, karena

mempercepat perkecambahan dan memperbaiki keseragaman pertumbuhan bibit.

Pengaruh yang menguntungkan pada osmotic priming berkaitan dengan perubahan

fisiologi yang terjadi pada embrio. Perbaikan penampakan bibit sesudah osmotic

priming dapat diterangkan dengan mekanisme perbaikan DNA secara lengkap

selama periode osmoticpriming (Osborne dalam Lanteri et al., 1994 )

Hasil penelitian Lanteri ef al. (1994) menunjukkan adanya korelasi

positif induksi sintesis DNA dengan menurunnya waktu rata-rata untuk

berkecambah. Pada benih cabai yang telah diberi perlakuan osmotic priming

reinduksi sintesis D N A 12 jam lebih awal dari pada benih yang tidak diberi

perlakuan. Perlakuan osmofic priming dengan -1.1 MPa dengan PEG 6000 baik

pada cabai maupun tomat menunjukkan perlakuan yang paling efektif untuk

meningkatkan sintesis DNA.

Konsumsi Energi Benih

Status energi benih selama pembentukan, penyimpanan dan perkecambahan

sangat penting dalam kaitannya dengan ekspresi vigor benih (Ching, 1982), makin

(45)

benih seperti endosperma pada monokotil, kotiledon pada dikotil dan gametopit

pada Girnnospermae, status energinya berubah secara bertahap karena imbibisi,

stratifikasi dan aktivitas biosintesis.

Efisiensi fosforilasi pada mitokondria benih kedelai bervigor tinggi lebih

efisien dibandingkan benih bewigor rendah karena proses deteriorasi (Abu-Shakra

dan Ching, 1967). FosforiIasi yang sangat efisien juga te jadi pada mitokondria yang

diisolasi dari jagung dan gandurn hibrida (Ching, 1982). Fosforilasi yang efisien

merupakan gambaran status energi dan berkorelasi positif dengan pertumbuhan.

Tingkat konsurnsi energi selama perkecambahan dapat ditunjukkan oleh pe-

manfaatan cadangan asam fitat di d d a m benih (Widajati, 1992). Benih kedelai yang

bervigor tinggi mampu memanfaatkan asarn fitat lebih baik dibandingkan dengan

benih bervigor rendah. Kemampuan tersebut diduga berkaitan erat dengan ke-

tersediaan energi untuk sintesis senyawa baru pada embrio, yang tercermin dari

bobot kering kecambah yang lebih tinggi pada benih bewigor tinggi.

Ketersediaan glukosa pada benih yang sedang berkecambah meng-

gambarkan status energi benih tersebut. Hal ini ditunjukkan adanya korelasi positif

antara kandungan glukosa dengan bobot kering kecambah dan tingkat viabilitas pada

benih kedelai (Widajati, 1992). Jumlah glukosa yang tinggi berkaitan dengan

aktivitas enzim amilase yang tinggi selama proses perkecambahan.

Blending

Lot benih pada hakekatnya merupakan campuran individu-individu benih

baik, sedang dan jelek, oleh karena itu informasi viabilitas mengikuti kurva distribusi

normal. Dalam aspek praktisnya kita dapat mencampur antar dua atau lebih lot

(46)

(1970) mendefinisikan bahwa blending adalah mencarnpur dua atau lebih lot benih

sehingga dihasilkan lot benih yang lebih homogen.

Lot benih dengan DB yang sudah sedikit menurun di bawah standar

kelulusan dapat diblending dengan lot benih dengan DB tinggi, sehingga dihasilkan

lot yang perkecambahannya berada dalam standar kelulusan. Blending dapat

dilakukan juga pada lot-lot dengan perbedaan campuran varietas lain, konsentrasi biji

gulma rnaupun kotoran fisik, sehingga diperoleh lot campuran yang lebih seragam.

Blending yang benar sulit dilaksanakan dan memerlukan ketelitian pada alatnya

sehingga akan diperoleh lot campuran yang benar-benar seragam. ' Alat blending

dapat dilihat pada Gambar 4.

Fenomena pulih vigor diduga dapat dimanfaatkan untuk indikator dalam penen-

tuan suatu lot benih dapat digunakan untuk tujuan blending. Lot benih yang sudah

menurun viabilitasnya dan setelah uji invigorasi termasuk kelompok benih vigor

sedang dapat digunakan untuk blending. Blended seed mempakan campuran benih

vigor tinggi dan sedang dengan berbagai variasi rasio. Batas rasio yang dapat

diterima adalah rasio-rasio yang merniliki delta relatif konstan apabila campuran lot

(47)
[image:47.522.51.445.65.553.2]

Gambar 4. Diagram pergerakan benih dalam alat blender conveyor spiral vertikal (Greg ef al., 1970)

(48)

111. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Jurusan

Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Laboratorium Biologi Molekuler dan

Seluler Tanaman, Laboratorium Mikrobiologi clan Biokimia, PAU Bioteknologi

IPB. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Januari 1997 sampai Oktober 1998.

Penelitian ini terdiri atas dua seri penelitian (Gambar 6).

Penelitian I. Studi Kriteria Analisis Vigor Benih dengan Mekanisme Pulih Vigor.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mekanisme pemulihan vigor untuk

kriteria analisis vigor benih.

1 a. Mekanisrne Pulih Vigor.

Benih kedelai varietas Wilis yang digunakan merupakan has11 panen tanggal

20 Januari 1997 dari Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Leuwikopo,

Darmaga. Lot-lot benih dengan ragam viabilitas dibuat secara alami dan buatan.

Pembuatan lot secara alami dilakukan dengan menyimpan benih dalam kondisi

terbuka dengan taraf penyimpanan 0, 1, 2

,...,

9 minggu (MO sampai dengan M9).

Pembuatan lot dengan cara buatan dilakukan melalui proses devigorasi dengan pe-

ngusangan cepat dalam deraan uap etanol dengan MPC IPB 77-1 pada taraf TO, TI,

T2, T3, T4, T5, T6, T7, T8, dimana T O benih tanpa penderaan, T1 = (10 + 10) menit,

yang artinya dalam hembusan etanol selama 10 menit dan dibiarkan dalam etanol

jenuh selama 10 menit. T2 = 2 x TI,

...

T8 = 8 x T I . Benih dilembabkan

selama 6 jam sebelum diberi perlakuan etanol dan dikeringkan ke keadaan semula

(49)

Penelitian I

Variasi lot benih oleh deteriorasi

Lot benih dengan pulih vigor Variasi lot benih terlinggi oleh devigorasi

Mekanisrne pulih vigor dengan parameter

biok

Penelitian I 1 Pernanfaatan invigorasi untuk kriteria analisis benih vigor tinggi dan vigor sedang

I

Blended seed lot berbagai variasi rasio

,

lnvigorasi

f

Oeteksi viabilitas blended seed lot

(50)
(51)

U = rataan m u m

Ai = pengaruh faktor tingkat viabilitas

Bj = pengaruh faktor invigorasi

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A ke-i dengan faktor B ke-j

Eij k = pengaruh acak

Vigor benih dengan indikasi fisiologi (VgfiSiO')

Parameter Viabilitas Potensial (Vp) diamati dengan tolok ukur DB.

Parameter vigor (Vg) diamati dengan tolok ukur KST.

Vigor benih dengan indikasi biokimiawi

(vgbiok)

Indikasi biokimiawi diamati dengan tolok ukur kandungan asam fitat, jurnlah P

yang diesterifikasi oleh mitokondria dan aktivitas enzim peroksidase.

l b . Hubungan antara V,"~'O' dan

vgbiok

Berdasarkan data penelitian l a dilakukan analisis regresi linier

Y =

a

Gambar

Gambar I. Garis-garis viabilitas benih dalam Konsepsi Steinbauer- Sadjad (Sadjad,
Gambar 4. Diagram pergerakan benih dalam alat blender conveyor spiral vertikal
Gambar 9. Teoritis kriteria vigor benih berdasarkan tingkat pulih vigor.
Tabel 5. Pengaruh osmotic priming dengan PEG 6000 pada benih yang mengalami
+7

Referensi

Dokumen terkait

ke dalam benih kedelai varietas Anjasmoro yang mengalami deteriorasi

nyata dengan benih vigor sedang tanpa perlakuan (kontrol). Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa

Hasil analisis ragam pengaruh lot benih, periode simpan dan interaksinya terhadap tolok ukur Indeks Vigor (IV), Nilai Delta, Kecepatan Tumbuh (K CT ), Daya Berkecambah

Tombol pengatur waktu pemasukan uap (kiri), waktu penderaan (tengah) dan timer (kanan) ... Tabung pemanas etanol yang berembun ... Laju penurunan vigor tiga lot benih

Perlakuan invigorasi pada benih padi dengan beberapa tingkat viabilitas menunjukkan berpengaruh nyata untuk tolok ukur kecepatan tumbuh, indeks vigor dan berat kering kecambah

Faktor tunggal invigorasi osmoconditioning mem- berikan pengaruh yang sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah, keserem- pakan tumbuh dan bobot kering kecambah

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh varietas kedelai berukuran besar dan sedang terhadap daya hantar listrik dan berbagai peubah vigor benih

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh varietas kedelai berukuran besar dan sedang terhadap daya hantar listrik dan berbagai peubah vigor benih