REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH TEATER
KARYA: YUSRIANTO NASUTION
SKRIPSI
OLEH:
ZAINUL MA’RIF
NIM 080701006
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
MEDAN
REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH TEATER
KARYA: YUSRIANTO NASUTION
Oleh
Zainul Ma’rif
NIM 080701006
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar
sarjana sastra dan disetujui oleh:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. Dra. Sugihana br. Sembiring, M.Hum.
NIP 19610721 198803 1 001 NIP 19600307 198601 2 001
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Lembar Pernyataan
REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH TEATER
KARYA: YUSRIANTO NASUTION
Oleh
Zainul Ma’rif
NIM 080701006
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu peguruan
tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak pernah ditulis atau diterbitkan
oleh pihak lain, kecuali yang saya kutip dalam naskah ini dan dituliskan di dalam
daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi.
Medan, 1 Maret 2014
Peneliti,
Zainul Ma’rif
Abstrak
REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH TEATER
KARYA: YUSRIANTO NASUTION
Oleh
Zainul Ma’rif
Sastra Indonesia FIB USU
Penduduk kota Medan adalah heterogen, karena di kota Medan dijumpai
beraneka ragam penduduk antara lain Aceh, Melayu, Batak Toba, Batak Karo,
Batak Simalungun, Batak Angkola Mandailing, Batak Pakpak Dairi, Jawa,
Minangkabau, Nias, bahkan Cina, dan India banyak dijumpai. Sudah tentu
tiap-tiap suku tersebut mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Karena
perbedaan tersebut, terciptalah dialek Medan. Dalam penggunaannya, dialek
Medan sering digunakan di berbagai bidang dan kesempatan, seperti di
koran-koran lokal kota Medan, buku-buku bacaan, drama, acara TV lokal dan di
berbagai media lainnya. Termasuk naskah-naskah teater karya Yusrianto
Nasution, dalam antologi naskah Raja Tebalek, sangat banyak ditemukan dialek
Medan. Dalam kesempatan ini, peneliti akan me-register kata-kata yang dianggap
dialek Medan. Setelah itu peneliti akan menerangkan makna yang sebenarnya dari
kata tersebut, karena dalam penggunaannya terdapat perbedaan dan pergeseran
Prakata
Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Register Dialek Medan dalam
Naskah Teater Karya: Yusrianto Nasution. Proses penulisan skripsi ini tentu
sangat banyak penulis temukan kesulitan-kesulitan, tetapi berkat saran dan
dukungan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.
Terimakasih atas semua kesempatan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan
kepada penulis selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan.
2. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan.
Terimakasih atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya USU, Medan.
3. Ketua Departemen Sastra Indonesia bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin
Nasution, M. Si. dan Sekretaris Departemen bapak Drs. Haris Sutan Lubis,
M. Sp. Terimakasih atas petunjuk-petunjuk yang telah diberikan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan semua urusan administrasi di Departemen
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan.
4. Pembimbing I bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. dan pembimbing
membimbing penulis dengan penuh kesabaran, sehingga penulis dapat
dengan mudah memahami setiap proses dalam penulisan skripsi ini.
5. Ayahanda Tukirin dan ibunda Samiyem. Terimaksih yang teramat dalam
karena berkat kerja kerasnya dalam mendidik penulis sehingga dapat
meraih gelar sarjana di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya USU, Medan.
6. Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, sahabat, adik-adik dan abang-abang
yang selalu menemani. Terimakasih atas segala bantuan yang telah
diberikan, penulis tidak bisa membalas budi baik kalian, semoga Tuhan
dapat membalasnya dengan berlipat ganda.
Segala usaha dalam pengumpulan, pengolahan data dan penulisan skripsi ini,
penulis sangat antusias dan besungguh-sungguh. Tetapi, jika ada kekurangan dan
kesalahan, penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun demi
keilmiahan dan perbaikan bagi penulis pada masa yang akan datang.
Medan, 20 Januari 2014
Zainul Ma’rif
DAFTAR ISI
1.3Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 6
1.3.1 Tujuan Penelitian... 7
1.3.2 Manfaat Penelitian... 7
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA.... 8
2.1 Konsep... 8
2.2 landasan Teori... 10
2.3 Tinjauan Pustaka... 13
BAB III METODE PENELITIAN... 16
3.1 Sumber Data... 16
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 17
3.3 Metode dan Teknik Analisis Data... 18
3.4 Sinopsis Naskah Teater Karya Yusrianto Nasution... 19
BAB IV PEMBAHASAN... 22
4.1 Register Dialek Medan... 22
Abstrak
REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH TEATER
KARYA: YUSRIANTO NASUTION
Oleh
Zainul Ma’rif
Sastra Indonesia FIB USU
Penduduk kota Medan adalah heterogen, karena di kota Medan dijumpai
beraneka ragam penduduk antara lain Aceh, Melayu, Batak Toba, Batak Karo,
Batak Simalungun, Batak Angkola Mandailing, Batak Pakpak Dairi, Jawa,
Minangkabau, Nias, bahkan Cina, dan India banyak dijumpai. Sudah tentu
tiap-tiap suku tersebut mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Karena
perbedaan tersebut, terciptalah dialek Medan. Dalam penggunaannya, dialek
Medan sering digunakan di berbagai bidang dan kesempatan, seperti di
koran-koran lokal kota Medan, buku-buku bacaan, drama, acara TV lokal dan di
berbagai media lainnya. Termasuk naskah-naskah teater karya Yusrianto
Nasution, dalam antologi naskah Raja Tebalek, sangat banyak ditemukan dialek
Medan. Dalam kesempatan ini, peneliti akan me-register kata-kata yang dianggap
dialek Medan. Setelah itu peneliti akan menerangkan makna yang sebenarnya dari
kata tersebut, karena dalam penggunaannya terdapat perbedaan dan pergeseran
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 42 5.1 KESIMPULAN... 42 5.2 SARAN... 43 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah habis
untuk dibicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia dalam menyampaikan ide, gagasan,
ataupun pesan kepada orang lain. Melalui bahasa terungkap sesuatu yang ingin
disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa
kepada pesapa. Seorang penutur yang menyampaikan perasaan dan pikiran lewat
tuturannya terlebih dahulu telah menyeleksi bentuk-bentuk kata yang akan
disampaikannya kepada lawan tuturnya. Hal ini berlangsung secara sadar atau
tidak sadar. Sadar artinya seorang penutur dengan sengaja memilih bentuk kata
tertentu karena mempunyai maksud-maksud tertentu.
Bahasa dapat diartikan sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh
sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem
sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu
memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan
bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang
berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan
orang sebagai makanan pokok’.
Bahasa memiliki beberapa karakteristik bahasa yaitu bersifat abitrer, produktif,
dinamis, beragam, dan manusiawi.
Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang
dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan
mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan
“kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’
adalah tidak bisa dijelaskan. Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional.
Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang
dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’
hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan
tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia
telah melanggar konvensi itu.
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang
terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.
Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS.
kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang
tidak terbatas.
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai
kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi
pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon.
Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga
ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun
karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar
belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam,
baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon.
Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di
Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan
yang digunakan di Arab Saudi.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan
tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang
berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia
dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan
cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena
Konsep bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Bahasa adalah
alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.
Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat atau berfungsi untuk
menyampaikan pikiran yang dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi
persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what language to whom, when and to
what end”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur,
pendengar, topic, kode dan amanat pembicaraan.
Kridalaksana (dalam Chaer, 1994:33) mengemukakan bahwa bahasa
adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok
sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa
merupakan hasil lain dari aktivitas manusia. Melalui bahasa akan terungkap suatu
hal yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar dan penulis kepada
pembaca. Suatu hal tersebut tentu saja berupa informasi yang kita terima baik
lisan maupun tulisan.
Menurut Gorys Keraf (1997:1), bahasa adalah alat komunikasi anatara
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Menurut KBBI, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri
Bahasa menjadi ciri identitas satu bangsa. Melalui bahasa, orang dapat
masyarakat sastra, pecinta seni, dan teater. Bahkan dapat mengenali perilaku dan
kepribadian masyarakat penuturnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah
terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru,
globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi informasi yang
sangat cepat saat ini.
Dalam dunia teater, bahasa Indonesia kerapkali menjadi alat yang sangat
komunikatif kepada orang-orang yang menyaksikan pertunjukannya. Tetapi,
dalam penyampaiannya terdapat pengaruh bahasa-bahasa daerah setempat untuk
menarik perhatian masyarakat. Contohnya di kota Medan, banyak pertunjukan
teater yang menggunakan dialek Medan, dengan tujuan masyarakat dapat
mengerti dan memahami, serta mengambil intisari dari pertunjukan teater yang
mereka saksikan.
Kita ketahui bersama, dialek Medan itu timbul dari beberapa bahasa
daerah, seperti bahasa Melayu, Batak, dan bahasa lainnya. Sehingga dalam
penyampaiannya sebagai alat komunikasi lebih ringan dan dipahami masyarakat
setempat. Sebagai contoh bahwa dialek Medan itu identik dengan bahasa Batak
dan Melayu kita dapat memperhatikan tekanan kata “awak” dan “aku”, seperti
contoh berikut.
1. “Parah kalilah dia, sudah tidak bisa lagi awak minta tolong.”
2. “Sudah lapar kali perutku bah!”
Dalam buku antologi naskah “Raja Tebalek” sangat banyak dijumpai
Yusrianto Nasution itu sendiri yang dipentaskan pada tanggal 25 Oktober 2009
pukul 19.00 WIB di Taman Budaya Sumatera Utara. Naskah itu menceritakan
tentang keluarga yang ditipu seorang agen yang mengiming-imingi kerja di luar
negeri dengan gaji yang besar. Kemudian keluarga yang ditipu melepas anaknya
untuk diperjualbelikan. Dalam dialognya, sangat banyak dijumpai dialek Medan
yang kental, sehingga hal ini sangat menarik perhatian peneliti untuk
mengkajinya.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka masalah yang
dibicarakan dalam penelitianini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk dialek Medan dalam naskah teater karya Yusrianto
Nasution?
2. Bagaimana makna dialek Medan dalam naskah teater karya Yusriato
Nasution?
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian
1. Meregister bentuk dialek Medan dalam naskah teater karya Yusrianto
Nasution.
2. Mendeskripsikan makna dialek Medan dalam naskah teater karya
Yusrianto Nasution.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian bermanfaat dalam rangka:
1. Membantu masyarakat untuk mengetahui bentuk dialek Medan di dalam
naskah-naskah teater.
2. Membantu pembaca mengetahui makna dialek Medan yang terdapat dalam
naskah-naskah teater.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Secara praktis dapat dimanfaatkan sebagai acuan dan bahan perbandingan
dalam mempelajari bahasa Indonesia. Menambah wawasan, cakrawala dan
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Dalam penyusunan karya ilmiah akan lebih mudah apabila ada konsep
yang dijadikan dasar pengembangan penulisan selanjutnya. Pradopo ( 2001 : 38 )
berkomentar “ karena ada konsep, anggapan dasar dapat dilihat “. Dengan adanya
konsep, pengembangan ide dan gagasan akan semakin mudah untuk memperjelas
hasil penelitian.
2.1.1 Dialek
Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), istilah
dialek berasal dari kata Yunani dialektos. Pada mulanya dipergunakan dalam
hubungannya dengan keadaan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan
kecil di dalam bahasa yang dipergunakan pendukungnya masing-masing, tetapi
berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan
merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, ciri utama dialek adalah
perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967 : 69 -
70).
Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi berikut
1. Dialek regional, yaitu varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu.
Misalnya,
2. Dialek sosial, yaitu dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau
yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dial
3. Dialek temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu.
Misalnya, dialek Melayu zam
Abdullah.
4.
lafal, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
2.1.2 Masyarakat Tutur
Menurut Chaer dan Agustina mendefinisikan masyarakat tutur sebagai
suatu kelompok orang atau masyarakat yang memiliki verbal repetoir yang relatif
sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma
bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur.
Satu hal lagi yang perlu dicatat, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah
adanya perasaan di antara penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur
yang sama.
2.1.3 Alih Kode
Apple (1976:79 melalui Chaer dan Agustina,2010: 107-108)
mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubah situasi. Berbeda dengan Apple yang menyatakan alih kode itu
antarbahasa, maka Hymes (1875) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi
antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang
terdapat dalam suatu bahasa.. Dengan demikian, alih kode merupakan gejala
peralihan pemakaian bahasa, ragam dan gaya karena perubahan peran dan situasi
dalam tuturan.
2.1.4 Campur Kode
Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah
pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu
masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang
digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Sosiolinguistik
Setiap bidang keilmuan tentu mempunyai kegunaan praktis. Begitu juga
dengan sosiolinguistik yang merupakan ilmu pengetahuan yang empiris karena
berdasarkan pada kenyataan-kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari. Sosiolinguistik juga dikatakan sebagai ilmu teoritis karena kita
mengumpulkan dan mengatur gejala-gejala sosial berdasarkan teori, membuat
penafsiran yang sistematis, dan memformulasi gejala-gejala itu.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam
masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai
individu, akan tetap sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu
yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi di sekitarnya. Sosiolinguistik berupaya menjelaskan kemampuan manusia
menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi
bervariasi.
Istilah sosiolinguistik ini muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C.
Currie yang merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi
adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat dan
mengenai lembaga – lembaga serta proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang menjadikan bahasa
sebagai objek kajian. Salah satu teori sosiolinguistik yang bisa dipakai sebagai
kemasyarakatan… disebut Sosiolinguistik (oleh Nababan 1984:2 dalam
Sosiolinguistik Perkenalan Awal)
Sosiolinguistik merupakan gabungan antara sosiologi dan disiplin
linguistik. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat namun berbeda
kajiannya. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di
dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga sosial dan segala masalah
sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan
diri denagan lingkungannya, masing-masing dalam masyarakat. Sedangkan
linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya.
Istilah sosiologi bahasa sangat berkaitan dengan sosiolinguistik. Bahkan
banyak orang menganggap bahwa keduanya sama. Namun jika diteliti, keduanya
mempunyai perbedaan. Perbedaan tersbut diungkapkan oleh Fishman, pakar
sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik. (Siti
Nuranisah, Sosiologi Bahasa,
imajiideku.blogspot.com/.../hakikat-sosiolinguistik-dan-sosiologi.htm )
Formal dalam Kamus Ilmiah Popular adalah : formil ; resmi; sah; secara
teratur; dengan sungguh-sungguh; sesuai dengan adat kebiasaan. ( Partanto, Pius
A. dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya. 1994 )
Sedangkan material adalah : kebendaan; sifat materi; bahan..
Namun ketika masuk pada objek suatu ilmu, maka makna formal dan
material berubah sesuai dengan keilmuan tersebut. Objek formal bermakna
dan aksiologi seperti sosiologi, linguistik, psikologi dan sebagainya. Sedangkan
objek material adalah realita yang ada pada ilmu yang kita pelajari, contoh seperti
sosiolinguistik membahas realita kebahasaan dalam ranah sosiologi.
Objek formal dalam kajian sosiolinguistik adalah sosiologi. Sementara
objek materialnya adalah bahasa. Maksudnya adalah bahasa yang diteliti menurut
pendekatan sosiologi.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati
sebagai bahasa melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana interaksi atau
komunikasi di dalam masyarakat manusia (Chaer, 2004: 3).
Pengertian Sosiolinguistik menurut beberapa ahli yaitu:
1. Sosiolinguistik adalah ilmu tata bahasa yang digunakan di dalam interaksi sosial;
cabang linguistik tentang hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa
dan perilaku sosial (KBBI, 2008 : 1332).
2. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 2004:2).
3. Menurut sejumlah ahli (Wardaugh, 1986, Holmes, 1995) sosiolinguistik adalah
cabang ilmu bahasa yang berusaha menerangkan korelasi anatar perwujudan
struktur atau elemen bahasa dengan faktor – faktor sosiokultural
pertuturannya…(Dalam Wijana, 2010: 11).
4. Kridalaksana mengatakan :”Sosiolinguistik yaitu cabang linguistik yang berusaha
untuk menjelaskan ciri – ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri – ciri
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan bersumber dari paparan atau konsep-konsep yang mendukung
pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat
para ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar peneliti yang
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Lenny Marlina (2002) dalam skripsi yang berjudul Alih Kode pada Proses
Belajar Mengajar SD yang Berbahasa Batak Toba di Wilayah Sibolga Julu,
membahas tentang bagaimana penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa Batak Toba di wilayah tersebut.
Sofia Siregar (2003) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode antara
Bahasa Indonesia dengan Bahasa Arab dalam Rapat Organisasi Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat Universitas Sumatera Utara,
membahas tentang penggunaan dua bahasa atau lebih oleh penutur dalam suatu
percakapan pada rapat organisasi.
Nurmala Sari (2006) dalam skripsi yang berjudul Alih Kode pada Novel
Jakarta-Paris Via French Kiss karya Syahmedi Dean, membahas tentang adanya
peralihan pemakaian bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Asing.
Yuni Nurhayati (2006) dalam Skripsi yang berjudul Campur Kode pada
Novel Muara Kasih Karya Muthmainnah, membahas tentang penggunaan
beberapa bahasa yang menunjukkan adanya beberapa varian di dalam novel
Mayemi (2007) dalam skripsi yang berjudul Campur Kode dalam Majalah
Aneka Yess! Membahas tentang banyaknya variasi bahasa yang dipakai dalam
majalah tersebut.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004) dalam buku yang berjudul
Sosiolinguistik Perkenalan Awal, membahas tentang lahirnya teori-teori dan
konsep dasar ilmu Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu bahasa yang tertuju pada
interaksi sosial.
Sumarsono dan Paina Partana (2004) dalam buku yang berjudul
Sosiolinguistik, membahas tentang perkembangan ilmu sosiolinguistik sebagai
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara mnedekati, menganalisis, mengamati, dan
menjelaskan suatu fenomena dari objek yang diteliti.
3.1 Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata atau
kalimat-kalimat dan bukan angka-angka. Dalam peneltian kualitatif, data formal
adalah kata-kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2004: 47). Data yang dimaksud
adalah kata-kata, kalimat, dan wacana yang terdapat pada antologi naskah “Raja
Tebalek”
Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah:
Judul : Raja Tebalek
Ukuran buku : 15x21 cm
Pengarang : Yusrianto Nasution, Yulhasni, Mukhlis Win Aryoga,
Editor : Agus Mulia
Penerbit : Teater O, penerbit madju, garuda plaza hotel Medan
Tebal buku : 224 halaman
Cetakan : pertama
Tahun terbit : 2009
Warna sampul : putih, hitam, merah, kuning.
Sumber data di atas merupakan data primer yang akan dianalisis sebagai
data utama. Selain data primer, terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan
seorang peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku,
artikel, internet dan hal-hal lainnya yang mendukung dalam penelitian ini.
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara
melaksanakan metode. Sebagai cara, kejatian teknik ditentukan adanya oleh alat
yang dipakai (Sudaryanto 1993:9)
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tulisan. Adapun
yang menjadi sumber data penelitian ini yaitu naskah teater karya Yusrianto
Nasution dalam buku antologi naskah “Raja Tebalek.” Dalam tahap pengumpulan
Metode simak adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara menyimak
penggunaan bahasa. Dalam hal ini, pengguna bahasa yang disimak adalah
pengguna bahasa dalam naskah teater karya Yusrianto Nasution dalam buku
antologi naskah “Raja Tebalek.”
Selanjutnya, untuk melengkapi penggunaan metode tersebut, digunakan
teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik catat sebagai teknik lanjutan
(Sudaryanto, 1993:135). Dalam hal ini peneliti membaca, mempelajari dan
memeriksa data-data yang diperlukan, lalu menyadap bagian-bagian isi naskah
dan selanjutnya mencatat data yang diperoleh.
3.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Sesuai dengan namanya “analisis”, tahap ini merupakan upaya si peneliti
menangani langsung masalah yang terkandung pada data. Penanganan itu tampak
dari adanya tindakan mengamati yang segera diikuti dengan “membedah” atau
menguraikan masalah yang bersangkutan dengan cara khas tertentu
(Sudaryanto:6).
Penelitian ini menggunakan teknik ganti. Dalam analisis ini, data yang
diperoleh dicatat, dan dipilih dialek Medan yang terdapat dalam buku antologi
naskah “Raja Tebalek.”
Cara menganalisis data penelitian ini dilakukan dengan:
2. Data tersebut dibaca, dipelajari, dipahami dan diinterpretasikan.
3. Data yang sesuai dengan analisis ditulis kembali dan inilah yang menjadi
bahan penganalisisan.
Sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti akan me-register dan
mendeskripsikan makna dialek Medan dalam naskah teater karya Yusrianto
Nasution yang terdapat di dalam buku antologi naskah “Raja Tebalek.”
3.4Sinopsis Naskah Teater Karya Yusrianto Nasution dalam Buku Antologi Naskah Raja Tebalek.
Naskah teater karya Yusrianto Nasution dalam buku antologi naskah
“Raja Tebalek”, ada lima naskah yaitu:
1. Naskah Raja Tebalek diproduksi tahun 2009
2. Naskah Tukang Sapu dan Tukang Koran diproduksi tahun 2005
3. Naskah Hikayat Pangeran Jongkok diproduksi tahun 2003
4. Naskah Gara-Gara diproduksi tahun 1999, dan
5. Naskah Sayembara Bohong diproduksi tahun 1997
Naskah Raja Tebalek adalah perumpamaan dari presiden republik
Indonesia. Menceritakan tentang fenomena-fenomena kinerja pemerintahan yang
carut marut. Selain itu dalam naskah Raja Tebalek juga menceritakan adanya
penjualan anak atau sering disebut dengan trafficking ke negeri seberang,
bagaimana warga Indonesia yang dilecehkan, dipermainkan, dihina, disiksa dan
berbagai tindak kekerasan lainnya yang sampai sekarang tidak juga menemui
solusi. Naskah Raja Tebalek juga menyentil bagaimana peran pemerintah yang
acuh terhadap semua persoalan yang telah peneliti sebutkan di atas.
Naskah Tukang Sapu dan Tukang Koran menceritakan perdebatan antara
Tukang sapu dengan Tukang Koran, dan orang yang menulis sekenario koran
yang akan dibagi-bagikan. Wartawan yang akan memuat berita juga dibayar untuk
menulis berita bohong yang akan dibagikan ke masyarakat. Naskah ini
mendeskripsikan media-media yang selalu sebelah pihak dalam memberitakan
sesuatu. Sehingga pemikiran masyarakat tidak memandang adanya
kecurangan-kecurangan orang yang ada dibalik pembuat koran tersebut.
Naskah Hikayat Pangeran Jongkok menceritakan tentanng dua kelompok
besar yang saling bermusuhan di Medan. Kelompok pertama adalah kelompok
preman, dan kelompok yang kedua adalah kelompok Mafia. Naskah ini
mendeskripsikan tentang perang yang berkepanjangan antara kelompok tersebut.
Pemimpin kedua kelompok tidak ada yang mau mengalah. Tetapi di lain sisi, anak
mereka saling jatuh cinta yang menciptakan permasalahan semakin rumit.
Kemudian dalam naskah ini sebenarnya menyentil tentang peperangan antara dua
negara yang tidak berkesudahan, yaitu negara Amerika dan negara Irak. Dalam
naskah ini kelompok preman dikalahkan oleh kelompok mafia, dan itulah
Naskah Gara-Gara menceritakan tentang pertengkaran antara suami dan
istri. Suami yang mempunyai banyak aturan sehingga istri dan anak-anaknya
berontak dan terjadilah pertengkaran besar. Selain itu, tetangga kontrakannya juga
menciptakan masalah-masalah baru yang memperkeruh suasana. Sehingga
akhirnya pertengkaran semakin besar dan pemilik kontrakan datang dan mengusir
mereka.
Naskah Sayembara Bohong menceritakan tentang anak raja yang sedang
terjangkit sakit cinta. Pemuda yang membuatnya jatuh cinta berjanji akan datang
kembali untuk menemui sang Putri raja. Tetapi sang pemuda tidak menepatinya
dan sang putri raja menganggap sang pemuda telah membohonginya. Hal itu
membuat Raja dan Permaisuri berpikir keras untuk menghibur putrinya. Tetapi
putrinya tetap saja memikirkan masalah itu dan meminta suatu permintaan yang
sangat sulit untuk dikabulkan, yaitu Sayembara Bohong. Barang siapa yang
bohongnya paling berkualitas, maka akan menjadi pendamping Putri raja. Naskah
Sayembara Bohong juga menyentil pejabat pemerintahan yang korup dan
mementingkan kepentingan individunya. Sehingga yang mengikuti sayembara
tersebut membuka pemikiran Raja untuk menghukum pejabat-pejabat yang
melanggar aturan kerajaan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Register Dialek Medan
Dialek Medan sebenarnya adalah salah satu dialek Melayu yang terbentuk
selama beratus-ratus tahun dan telah bercampurbaur dengan berbagai bahasa
seperti bahasa Batak (Karo, Toba dan Mandailing) serta bahasa yang dibawa oleh
pendatang seperti Minang, Aceh dan Melayu Pesisir. Selain itu juga terdapat
beberapa perbendaharaan kata yang berasal dari bahasa asing seperti Belanda,
Inggris, China, Arab dan India. Dari seluruh bahasa-bahasa yang digunakan oleh
berbagai orang yang melakukan berbagai kegiatan di kota Medan akhirnya
terbentuklah suatu dialek yang disebut sebagai bahasa Medan atau dialek Medan.
Medan adalah ibukota dari provinsi Sumatera Utara yang merupakan kota
yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, keheterogenan inilah yang
menyebabkan orang Medan mempunyai berbagai istilah untuk menyampaikan
sebuah kata tempat, benda dan sebagainya. Orang Medan memiliki bahasa yang
kata-kata dialek Medan. Berikut ini adalah register dialek Medan yang khas
dalam naskah-naskah karya Yusrianto Nasution.
REGISTER DIALEK MEDAN DALAM NASKAH-NASKAH TEATER
KARYA YUSRIANTO NASUTION DALAM BUKU RAJA TEBALEK.
No. Dialek Medan Artinya Halaman
1. segini sebanyak ini 11
2 kek mananya Bagaimana 11
3 cemana bagaimana 11
4 ngapain melakukan apa 11
5 kek gini begini, seperti ini 11
6 pulak Pula 11
7 tokohi ditipu 12
8 tengok lihat 12
9 suka-sukanya seenaknya saja 13
10 cakap berkata 13
11 bosar besar 13
12 kombur berdialog, bercerita 13
13 kali sekali 14
15 sok Sombong 15
16 sikit-sikit sedikit-sedikit 15
17 kek gitu begitu, seperti itu 16
18 maen main 16
19 capek capai, lelah 16
20 payah sulit 17
21 jeti juta 17
22 Kubilang aku katakan 23
23 macam seperti 23
24 Ngatur mengatur 23
25 teken tanda tangan 24
26 engklek permainan rakyat 24
27 ratakan membumihanguskan 30
28 taik Kotoran 31
29 gimana bagaimana 31
30 gitu begitu 31
31 muncung mulut 35
32 pitam marah, emosi 44
33 dibeking dilindungi 45
34 ketebelece memo, surat perintah 49
35 bilang Kata 51
37 cakap-cakap berkata-kata, berbincang 58
38 tinggal hanya, Cuma 59
39 diborong diambil seluruhnya 61
40 cincong banyak bicara 61
41 gimbal hajar 61
42 kayak seperti 61
43 pening sakit kepala 74
44 melunjak tinggi hati, meninggi 74
45 pijak-pijak injak-injak 74
46 aja saja 74
47 tengok-tengok lihat-lihat 86
48 ngancam mengancam 86
49 sikit sedikit 86
50 bilang bagus-bagus berkata dengan baik 86
51 besar-besaran tindakan pamer 86
52 recok ribut 86
53 sor minat, ingin 86
53 melonte main perempuan, melacur 86
54 gontok-gontokan saling mengejek 86
55 hiduplah nyala 101
56 bikin buat, ciptakan 107
Jika diperhatikan tabel di atas, bahasa Indonesia banyak mengalami pengubahan
fonem dalam dialek Medan yang fungsinya adalah untuk penyesuaian lafal di
wilayah tersebut. Seperti adanya penggantian fonem, penambahan fonem,
pengurangan fonem, penanggalan imbuhan adalah hal yang biasa dalam dialek
regional.
Kata-kata yang mengalami penggantian fonem adalah sebagai berikut:
1. Kata segini jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
begini, /be/ diganti dengan /se/.
2. Kata kek mana jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari
kata bagaimana, /bagai/ diganti dengan /kek/.
3. Kata cemana jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari
kata bagaimana, /bagai/ diganti dengan /ce/.
4. Kata kek gini jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari
kata begini, /be/ diganti dengan kata /kek/.
5. Kata bosar jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
besar, vokal /e/ diganti dengan /o/.
6. Kata kek gitu jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari
kata begitu, /be/ diganti dengan /kek/.
7. Kata maen jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
main, vokal /i/ diganti dengan /e/.
8. Kata jeti jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
9. Kata capek jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
capai, /ai/ diganti dengan /ek/.
10.Kata pijak jika ditinjau dari bahasa Indonesia yang baik berasal dari kata
injak, /in/ diganti dengan /pi/.
Kata-kata yang mengalami pengurangan fonem adalah sebagai berikut:
1. Kata gimana jika ditinjau dalam bahasa Indonesia berasal dari kata
bagaimana, mengalami pengurangan fonem /ba/ di awal dan fonem /a/ di
tengah.
2. Kata gitu jika ditinjau dalam bahasa Indonesia berasal dari kata begitu,
mengalami pengurangan fonem /be/ di awal.
3. Kata aja jika ditinjau dalam bahasa Indonesia berasal dari kata saja,
mengalami pengurangan fonem /s/.
Kata kata yang mengalami penanggalan imbuhan adalah sebagai berikut:
1. Kata ngatur berasal dari kata mengatur, mengalami penanggalan imbuhan
/me/.
2. Kata Ngancam berasal dari kata mengancam, mengalami penanggalan
imbuhan /me/.
Sedangkan kata-kata yang mengalami penambahan huruf adalah kata pulak
Peneliti juga menemukan adanya dialek temporal dalam naskah tersebut.
Kata ketebelece, adalah kata yang sangat pupuler pada zaman Soeharto. Di
beberapa naskah teater karya Yusrianto Nasution, peneliti sering mendapati kata
ketebelece, dan kata-kata ini juga sering digunakan di Medan dan menjadi dialek
Medan dalam naskahnya.
Kemudian dalam penggunaannya, tentu terjadi campur kode untuk
memudahkan pembicara dan lawan bicara memahami suatu dialog. Kata- kata
yang termasuk campur kode adalah kombur, malotup, sok, macam, gimbal,
muncung, pitam, sor, recok dan gontok-gontokan. Kata-kata ini muncul akibat
kota Medan di domisili oleh suku Batak dan Melayu. Kata-kata ini sangat sering
digunakan dalam suatu percakapan dan dalam setiap kesempatan.
Kata dibeking, merupakan kata yang diadopsi dari bahasa asing yaitu
bahasa Inggris back-ing. Kata dibeking merupakan alih kode yang sering dipakai
dalam dunia premanisme di Medan. Juga sering digunakan di pasar dan di jalanan.
4.2 Makna Dialek Medan
Sebagian dari bahasa sehari-hari di Medan memiliki makna dan arti yang
sangat berbeda jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia pada umumnya.
Contohnya, di Medan untuk menyebut sepeda motor itu adalah "Kereta" , jika
dibandingkan dengan Pulau Jawa maka akan berbeda jauh, Kereta di Pulau Jawa
berarti Kereta Api. Untuk menyatakan plat sepeda motor/mobil, kebanyakan
Kemudian kata pasar, bagi orang awam yang tidak tahu menahu bahasa Medan
pasti akan menyebutkan bahwa pengertian pasar adalah tempat orang berjual-beli.
Tetapi bagi orang Medan pengertian pasar adalah jalan raya. Begitu juga kata
“kali”, Orang pasti berpikir kali adalah sungai. Tetapi “kali” dalam bahasa Medan
adalah plesetan dari kata “sekali”.
Lain lagi masalahnya dengan kata “galon” untuk menyatakan SPBU,
orang Medan mengatakan SPBU adalah tempat tangki minyak penyimpanan yang
besar, sehingga disebut galon. Padahal galon dan tangki adalah ukuran yang
sangat jauh berbeda. Galon ukurannya kira-kira 20 liter, sedangkan tangki dapat
berukuran 5000 hingga 8000 liter. Sementara itu, orang Medan dapat dikatakan
kurang suka membaca. Mengapa? Karena hampir semua galon sudah diberi nama
dengan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), misalnya SPBU Patimura, SPBU
Amplas, SPBU Simpang Kuala. Akan tetapi, penutur bahasa Medan masih saja
membaca yang tidak ada tulisannya sehingga masih tetap menggunakan galon
menjadi Galon Patimura, Galon Amplas, Galon Simpang Kuala.
Kemudian kata “gerobak” digunakan untuk menyatakan truk. Kata
gerobak dipakai dalam bahasa lisan Medan mengacu pada bentuk benda itu yang
berbentuk tempat mengangkut barang sehingga dikenal motor gerobak, gerobak
sampah. Dengan demikian, masyarakat Medan menggunakan kata gerobak hanya
karena kegunaannya saja, bukan mencari tahu apa namanya. Kata truk merupakan
Dalam naskah-naskah teater karya Yusrianto Nasution sangat banyak
ditemukan kata-kata dialek Medan yang pengertian dan maknanya berbeda dari
yang sebenarnya. Kata-kata dialek Medan itu adalah sebagai berikut.
1. Kata “Segini,” kata ini sering digunakan dalam transaksi, pendapatan
seseorang menyatakan waktu dan keadaan.
Contohnya:
Mona
Ya amplop, jam segini belum datang. Kata “segini” yang dikatakan Mona
menyatakan waktu yang tidak biasa. Sedangkan dalam hal lain, kata
“segini” diartikan secara singkat adalah sebanyak ini. Tergantung
pemakaian dan konteksnya.
2. Kata “kek mananya”, “kek gitu dan “kek gini.” Sering kita dengar di
berbagai kesempatan. Seperti kalau sesuatu itu tidak pantas atau tidak
sesuai dengan apa yang diperkirakan.
Contohnya:
Mona
“Kek mananya ini, cemana aku mau pintar.”
“Ayah aja oon-nya kek gini.”
Emak
“dulu nggak kek gitu, ayah kau berubah gara-gara main teater.”
Kata “Kek mananya” bila diartikan secara singkat adalah bagaimana, kata
“kek gitu” artinya adalah begitu yang menunjukkan sesuatu hal dan kata
“kek gini,” adalah begini atau seperti ini. Tetapi di lain kesempatan pula
kita mendengar kata “Cemana” yang artinya sama seperti bagaimana. Di
lain kesempatan lagi, kita juga mendengar “gimana” dan “gitu.” Yang
artinya juga sama.
3. Kata “ngapain” sering digunakan untuk suatu pertanyaan bagi orang-orang
yang penasaran.
Contohnya:
Ayah
“Ngapain kau bikin emosi? Macam nggak ada pekerjaan lain.
Sebenarnya kata “nagapain” bisa diganti dengan kenapa, karena dalam arti
sebenarnya, kata “ngapain” itu adalah melakukan apa.
4. Kata “cakap” dalam bahasa Indonesia adalah sigap dalam bertindak,
tangkas dan tanggap. Tetapi dalam dialek Medan makna dan artinya
Contohnya:
Emak
“kalau cakap, abang nomor satu, tapi nol, baskom.”
di lain kesempatan kita kadang mendengar kata “bilang” yang artinya juga
sama dengan kata cakap. Contohnya:
Istri Raja
“Dari dulu kan udah kubilang, abang jangan banyak kali cakap.
Dalam satu dialog di atas, terdapat kesamaan arti dalam kata “kubilang”
dan “cakap”, artinya sama-sama berkata. Namun dalam pengertian
sebenarnya dapat berbeda.
5. Kata “kali” dalam arti sebenarnya adalah sungai atau tempat orang desa
untuk mandi. Tetapi dalam dialek Medan kata “kali” bukan digunakan
untuk itu. kata “kali” dalam dialek Medan sebenarnya adalah sekali.
Contohnya:
Ayah
Jika bertemu dengan orang yang di luar Medan atau Sumatera Utara, pasti
agak terdengar aneh dan lucu. Karena kata “kali” sebenarnya adalah
sungai atau tempat mandi.
6. Kata “malotup”, dalam bahasa di luar Sumatera atau di luar Medan tidak
diketahui apa makna dan artinya. Tetapi sebenarnya kata “malotup” itu
sering digunakan di Medan.
Contohnya:
Ayah
“tapi tak apalah, asal jangan malotup.”
Malotup artinya adalah meledak, meletus, membahana dan lebih identik
pada sesuatu yang berelebihan.
7. Kata “kombur” sering kita dengar di berbagai kesempatan. Kata kombur
berasal dari bahasa daerah dan sering juga digunakan di Medan.
Contohnya:
Ayah
“baskom, bosar kombur! Paksa kali istilah kau itu.”
Kombur dapat diartikan bercerita-cerita, berdialog, bisa juga diartikan
8. Kata “sikit-sikit” juga sering digunakan di Medan. Sikit-sikit sama artinya
dengan kata “sedikit-sedikit” seperti contoh berikut.
Mona
“jangan sok artis lah, sikit-sikit cerai.”
9. Kata “payah”, berasal dari bahasa Melayu, “payah” adalah kata yang
mengemukakan kesulitan dalam segala hal.
Contohnya:
Ayah
“dari dulu, aku sudah cocok... Emaknya saja payah.”
Kata “payah” lebih sering digunakan di Medan daripada kata sulit.
10.Kata “jeti”, biasa digunakan di Medan untuk menyebutkan uang dengan
jumlah jutaan.
Contohnya:
Tukang tipu
“begini saja kak, biar langsung kita bungkus, besok saya kirim pupuk,
kakak saya... berapa jeti kakak perlu?”
“kau pikir aku menjual anakku ya?”
Kata jeti sama artinya dengan kata juta dalam bahasa Indonesia.
11.Kata “macam” dalam bahasa Indonesia artinya bagian, tetapi dalam dialek
medan sama artinya dengan kata seperti. Karena Medan juga erat dengan
bahasa Melayu Deli.
Contohnya:
Ayah
“yang disiksa, yang dihukumlah... macamlah itu.
Istri raja
“sudah!! Macam anak-anak aja pun.”
Samod
“nggak tahu ketua, macam ada binatang kutengok...”
Samod
“macam di film India itu, anak mudanya pura-pura melanggar nonanya.”
Tukang sapu
“di sini gurunya gila PR, setiap hari bikin PR. Macam gak ada lagi
Kata “macam”, setara dengan “kayak” yang juga menyatakan “seperti.”
12.Kata “muncung”, lebih sering digunakan untuk menggantikan mulut.
Contohnya:
Putri
“sampai berbuih pun muncung ayah dan bunda, ananda akan tetap
bergeming dengan permintaan itu.
13.Kata “pitam”, digunakan untuk menyatakan amarah dan emosi dalam
suatu hal.
Contohnya:
Raja
“kau membuatku naik pitam. Wahai anak muda, apa pesanmu sebelum
digantung.”
Di Medan kata “pitam” lebih sering didengar dan digunakan daripada
marah dan emosi.
14.Kata “dibeking”, beking berasal dari bahasa Inggris “Back-ing” yang telah
diserap menjadi bahasa Indonesia. Kata ini sering digunakan dalam
berbagai kesempatan di Medan.
Raja
“kalau betul ada pejabat yang korupsi, kalau betul ada proyek yang di
mark-up, kalau betul narkoba merajalela dan dibeking oleh aparat, saya
akan mengambil tindakan tegas.”
Kata beking dalam arti sebenarnya adalah orang-orang yang melindungi
aktivitas orang yang dianggap lemah.
15.Kata “ketebelece” juga pernah populer dan menjadi dialek Medan.
Contohnya:
Suami I
“hakim agung, suamimu! Rayuan, ketebelece? Hh... lagi-lagi kau
bermimpi.”
Kata “ketebelece” dalam arti yang dimaksud adalah surat yang wajib
dipatuhi perintahnya walaupun salah prosesnya. Kata ini sering muncul di
tahun 1966-1999 dan menjadi kata yang sering diucapkan.
16.Kata “kutang”, dalam dialek Medan menyatakan baju kaus tidak
berlengan, lebih tepatnya kaus singlet dan sering menyatakan bra.
Contohnya:
Istri II
Dalam bahasa Indonesia yang baik adalah bra yang dipakai wanita.
17.Kata “tinggal” dalam bahasa Indonesia adalah menetap. Tetapi dalam
dialek Medan artinya adalah Cuma dan hanya.
Contohnya:
Istri II
“ada TV dengan parabola, minum air dari kulkas... pakaian tinggal
masukkan ke mesin cuci... dan... srek... sreek... sreeeek... selesai.
18.Kata “cincong” selalu digunakan di Medan untuk menyatakan banyak
bicara, berbelit-berbelit dalam mengemukakan pendapat dan terkesan
bertele-tele.
Contohnya:
Istri II
“sembako kok diborong... Jangan banyak cincong! Hiaaaaaaat!!!!!!
(menyerang).
Kata “cincong” sering digunakan untuk mematahkan perkataan lawan
bicara yang banyak menerangkan hal-hal yang tidak dibutuhkan.
19.Kata “gimbal” sering diidentikkan dengan rambut gimbal atau rambut
penyanyi regge. Tetapi gimbal dalam dialek Medan adalah dihajar dan
dipukuli.
Contohnya:
Suami I
“aku yang paling jago di sini. Biar kau tahu ya, preman Sambu pernah
terbirit-birit kugimbal! Hmm... dan ingat, besok kau bertanding. Jangan
sampai kau kalah. Patahkan batang lehernya.”
Kata gimbal dalam dialek Medan identik dengan perilaku kekerasan dan
kontak fisik antara sesama.
20.Kata “recok”, dalam dialek Medan adalah kata yang menyatakan suatu
keributan, kerusuhan dan kasak-kusuk dalam suatu hal.
Contohnya:
Preman Belawan
“anjing kau, monyet kau, babi kau!! Nggak punya otak. Di istana ketua
bikin recok, pake otak kau...”
Kata “recok” lebih sering digunakan dalam dialek Medan daripada kata
21.Kata “sor” juga sering identik dengan perilaku kekerasan dan kontak fisik.
Kata “sor” juga sering digunakan dalam dialek Medan.
Contohnya:
Preman Amplas
“apa kau bilang, perempuan?! Kau menghina ya?! Ayo, kita ke belakang,
biar aku tengok, besar-besaran pun jadi. Aku nggak suka banyak cakap,
kalau sor, ayo.”
Kata sor dalam dialek Medan artinya adalah keinginan yang kuat dan
minat yang sangat besar dalam menanggapi suatu hal.
22.Kata “pijak-pijak” yang sebenarnya adalah “injak-injak”. Sering
digunakan di Medan untuk meluapkan emosi dan amarah. Seperti contoh
berikut ini:
Todak
“sudah melunjak kau kutengok. Aku sudah pening jangan kau
tambah-tambah lagi. Kupijak-pijak kau nanti!”
23.Kata “gontok-gontokan” bila diartikan dalam bahasa Indonesia adalah
berdebat karena perbedaan persepsi. “Gontok-gontokan” adalah
perdebatan yang mengutamakan emosi yang tinggi dan cenderung
Contohnya:
Preman Pinang Baris
“Ingat, datuk-datuk preman kita cukup lama menguasai keadaan, jangan
hanya gara-gara misundertanding, kita bertengkar dan gontok-gontokan.
Kalau terus begini kita akan hancur.”
Gontok-gontokan dapat juga diartikan saling menuding, saling mengejek,
saling menjelek-jelekkan dan saling memaki.
24.Kata “hidup” dalam bahasa Indonesia adalah setiap raga yang memiliki
nyawa atau ruh. Sedangkan dalam dialek Medan dapat berarti “nyala”.
Contohnya:
Tukang Sapu
“Nggak nyambung bagaimana, kan tiap hari dipakai. Kalau ga nyambung,
ga bisa hiduplah ya.”
25.Kata “berak” dalam bahasa Indonesia adalah buang air besar. Kata “berak”
lebih seing digunakan di Medan dari kata lainnya. Contohnya:
Tukang Sapu
Bukankah orang melarat yang membeli kupon judi, berak, kencing di
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Setelah peneliti menguraikan keseluruhan dialek Medan yang terdapat
pada naskah-naskah teater karya Yusrianto Naustion dalam buku antologi naskah
“Raja Tebalek,” maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dialek Medan yang terdapat di dalam naskah-naskah teater karya
Yusrianto Nasution dalam buku antologi naskah Raja Tebalek, sebanyak
57 kata, yaitu pada halaman: 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 23, 24, 30, 31, 35,
44 dan 45 dalam naskah yang berjudul “Raja Tebalek.” Halaman 49, 51,
56, 58, 59 dan 61 dalam naskah yang berjudul “Gara-Gara.” Halaman 74
dan 86 dalam naskah yang berjudul “Hikayat Pangeran Jongkok.”
Halaman 101, 107, dan 109 dalam naskah yang berjudul “Tukang Sapu
dan Pengantar Koran.”
2. Dialek Medan dominan terbentuk dari bahasa daerah seperti bahasa Batak,
Melayu dan beberapa suku pendatang di Sumatera Utara. Beberapa
pengaruh bahasa Batak seperti: kek mana, bosar, kombur, dan malotup.
muncung. Sedangkan kata-kata yang lainnya berasal dari bahasa suku
pendatang.
3. Dialek Medan dengan dialek lain dalam beberapa kata mengalami
perbedaan makna tersendiri, seperti pada kata: kali, gimbal, tinggal, hidup
dan macam, bila digunakan di daerah lain, maka akan memiliki makna
yang berbeda.
4.2 Saran
Peneliti mengharapkan kepada mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia
yang akan menyusun skripsi dapat melanjutkan dan meneliti kata-kata dialek
Medan lainnya yang ada di berbagai media, karena peneliti menyadari bahwa
masih banyak kekurangan-kekurangan di dalam skripsi ini, dan masih sedikit
yang meneliti perkembangan dialek Medan yang semakin bertambah kosa
kata-kosa kata baru. Saran peneliti, agar penelitian ini dapat ditindaklanjuti dan
dikembangkan untuk buku panduan bagi masyarakat pendatang yang berimigrasi
DAFTAR PUSTAKA Buku
Alwi, Hasan.2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ayatrohaidi.1983, Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: P3B DepDikBud.
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Nasution, Yusrianto, dkk. 2009. Raja Tebalek. Medan: Madju Medan.
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali pers.
Tarigan, Henry Guntur. 1982. Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa
Wijaya dan Muhammad. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis, cet. ke-1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Internet
Hrs “Ini Medan Bung.” 06 Februari 2012 . http://tehsusu.com (diakses 1 Mei 2013 jam 11.10 WIB)