TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
FRIDA PURWANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Konsep Co-management Taman Nasional Karimunjawa” adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2008
Frida Purwanti
FRIDA PURWANTI. Concept of Co-management for Karimunjawa National Park. Under direction of HADI S. ALIKODRA, DEDI SOEDHARMA, and SAMBAS BASUNI
Increasing utilization of the natural resources at Karimunjawa national park has indicated resources degradation that could threaten its’ status. The aims of this research were to analyze resources’ potency and its’ uses, policy and institutional arrangement; stakeholders’ perception and participation; to identify key factors of co-management and to formulate concept of co-management to the park. The study was conducted from October 2005 to March 2007 at Karimunjawa, Jepara using qualitative method by distributing questionnaires to 89 respondents and conducting workshop with 15 respondents. Data were analyzed qualitatively using analytical hierarchy process and prospective analysis. The result showed that resources potency of the park have degraded gradually by destructive fishing methods and uncontrolled tourism development. Most regulation on management of the park concentrates on government authorities and disharmonization of regulation on authority management between Forestry and Fisheries Department. Stakeholders’ perception is quite same on resources condition, threats to the resource and surveillance to the park, while community participation in conservation is good (>70%). The key factors for co-management of the park are synchronizing perception and vision, participation-commitment, communication-negotiation, and coordination (as driven factor). Prescription for concept of co-management include: commitment, institutional arrangement, rule and regulation, and capacity building.
FRIDA PURWANTI. Konsep Co-management Taman Nasional Karimunjawa Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, DEDI SOEDHARMA, dan SAMBAS BASUNI
Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu kawasan konservasi laut yang mendapat prioritas pengelolaan secara nasional karena luasan dan potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki, namun keutuhannya terancam dengan kegiatan eksploitasi penangkapan yang cenderung merusak dan pengembangan pariwisata yang tidak terkontrol. Permasalahan pengelolaan TNKJ disebabkan oleh keterbatasan kapasitas pengelolaan, kurangnya dukungan dinas teknis terkait dan partisipasi masyarakat dalam usaha konservasi dan lemahnya koordinasi. Sejalan dengan otonomi daerah telah berkembang konsep co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi, akan tetapi penerapannya belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip co-management. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya TNKJ; kebijakan dan kelembagaan pengelolaan TNKJ; persepsi dan partisipasi stakeholders dalam pengelolaan TNKJ; mengidentifikasi faktor kunci co-management TNKJ; dan menyusun konsep co-management bagi kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata di TNKJ.
Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2005 sampai dengan Maret 2007 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Observasi dan survey lapangan dilakukan dengan cara menyebar kuesioner dan wawancara tidak terstruktur secara terbuka kepada 89 responden yang dipilih dengan sengaja berdasarkan pertimbangan keterkaitan, kesediaan dan kemudahan. Selain itu juga diadakan lokakarya dan FGD bersama 15 orang wakil stakeholders. Analisa data dilakukan secara kualitatif terhadap potensi dan pemanfaatan SDAHE TNKJ, kebijakan dan kelembagaan pengelolaan TNKJ serta persepsi dan partisipasi; sementara untuk menyusun konsep co-management digunakan teknik AHP dan prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan sumberdaya TNKJ yang kurang terkontrol sehingga dapat mengancam status TNKJ. Kajian kebijakan dan kembagaan menunjukkan bahwa peraturan pengelolaan kawasan konservasi lebih mengkonsentrasikan pada kewenangan pemerintah, selain itu terdapat disharmonisasi peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara Departemen Kehutanan, Departemen kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah sehingga cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan lintas sektor. Sementara pengaturan kolaborasi dalam Permenhut juga sulit dilaksanakan karena belum ada kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar stakeholders. Untuk itu perlu ada kemauan politik atau komitmen dari BTNK dan Pemda untuk pengaturan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDAHE TNKJ. Pengelolaan TNKJ belum efektif karena keterbatasan sarana dan prasarana, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pelanggaran yang terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Selain itu alokasi penggunaan anggaran juga kurang mendukung kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan.
pemanfaatan SDAHE TNKJ, sehingga meringankan kegiatan pengamanan dan pengawasan kawasan. Partisipasi dalam menjaga kelestarian sumberdaya sudah tinggi, walaupun ada sekitar 15,81% masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam menjaga kelestarian SDAHE TNKJ. Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan maupun kurangnya arus informasi serta ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya perikanan yang tinggi (71,68%).
Hasil AHP menunjukkan bahwa prioritas level hierarki co-management
adalah tipe kooperatif (25,47%) dan konsultatif (25,03%) dengan upaya co-management melalui koordinasi pemberian ijin antara BTNK dan Pemkab Jepara (20,14%), penyusunan program kerja dan pendanaan bersama (19,35%) dan pembuatan aturan representasi (17%). Hasil analisa prospektif didapatkan empat faktor kunci pengembangan co-management TNKJ, yaitu: kesamaan persepsi dan visi; mekanisme komunikasi dan negosiasi; partisipasi aktif dan komitmen para pihak; dan koordinasi lintas sektor, dimana koordinasi dipilih sebagai driven factor untuk mengatur keterkaitan dan saling ketergantungan antar berbagai kegiatan pemanfaatan SDAHE TNKJ.
Langkah yang harus dilakukan untuk menuju co-management perikanan dan pariwisata di TNKJ, antara lain adalah : a) koordinasi perijinan usaha perikanan dan pariwisata antara Pemkab Jepara dan BTNK; b) penyusunan program kerja dan pendanaan bersama antara Pemda Provinsi Jawa Tengah, Pemda Kabupaten Jepara dan BTNK; c) pembuatan aturan representasi bagi
stakeholders; d) monitoring bersama untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata SDAHE TNKJ; e) membentuk forum stakeholders untuk mengorganisir dan mensinergikan kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata; dan f) mengadakan pelatihan ketrampilan bagi masyarakat Karimunjawa di bidang usaha perikanan dan pariwisata. Konsep untuk co-management TNKJ antara lain adalah : membangun komitmen, membentuk kelembagaan, menyiapkan perangkat hukum, dan meningkatkan kapasitas SDM. Saran dari hasil penelitian ini antara lain adalah perlu ada koordinasi perijinan usaha pariwisata antara BTNK dan Pemerintah Kabupaten Jepara yang lebih intens; penelitian lebih lanjut tentang kebijakan dan kelembagaan dalam kaitannya dengan sistem hukum yang berlaku untuk pengelolaan kawasan konservasi di pulau-pulau kecil; penelitian lebih lanjut tentang mekanisme dan bentuk partisipasi stakeholders dalam pengelolaan kolaboratif taman nasional; BTNK dan Pemerintah Kabupaten Jepara agar segera menindak-lanjuti upaya
co-management dengan membuat kesepakatan kerjasama tentang pengaturan kegiatan perikanan dan pariwisata.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
FRIDA PURWANTI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Neviati Zumarni, MSc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Supriharyono, MS.
Puji syukur kehadirat Tuhan YME berkat karunia dan rahmat-Nya penulisan
disertasi dengan judul “Konsep Co-management dalam Taman Nasional
Karimunjawa” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada program Pascasarjana IPB ini dapat diselesaikan setelah melalui proses panjang penelitian dan penulisan.
Penghargaan dan ucapan rasa terima kasih penulis sampaikan dengan tulus kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan komitmennya dalam membimbing dengan memberi arahan, pemikiran dan motivasi;
2. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan beserta staf yang telah memberikan dukungan, motivasi dan nasehat selama masa studi;
3. Ir. G.M. Nababan selaku Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Ir. Haryanto, MSc selaku mantan Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa beserta staf yang telah memberikan ijin masuk kawasan, masukan dan membantu di lapangan;
4. Direktur Proyek DUE-like Universitas Diponegoro batch III yang memberikan bantuan beasiswa selama 3 (tiga) tahun;
5. Para narasumber dari Dinas Perikanan dan Dinas Pariwisata di Semarang dan Jepara, dan masyarakat Karimunjawa serta key informan (pak Ahmad, pak Suyadi, pak Achid, Joko, Irfan, Tasrif) yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam pelaksanaan lokakarya dan diskusi kelompok; 6. Rekan-rekan mahasiswa PSL-IPB (Saharia, Marini, Windra) yang ikut
memberikan saran dan masukan dalam penyusunan disertasi ini;
7. Orang tuaku, suami dan anak-anakku yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, memberi dukungan dan semangat sampai hari ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian semoga masih ada manfaat bagi semua pihak yang memerlukan, terlebih bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Oktober 2008
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 25 Februari 1964 sebagai anak pertama dari pasangan Soegiarto dan Sri Mulyani. Pada tanggal 22 Mei 1989 menikah dengan Ir. Agustinus Widodo dan telah dikaruniai dua orang putra, Tito Prianggana (lahir di Semarang pada tanggal 9 Mei 1990) dan Bismo Aulia Prianggara (lahir di Australia pada tanggal 29 Januari 1996).
Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1988 dari Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Diponegoro. Pendidikan S2 ditempuh di Centre for Coastal Management, Southern Cross University, Australia dengan beasiswa AusAID, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2003 penulis diterima di program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa DUE-like Universitas Diponegoro batch III.
Sejak tahun 1989 penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil pada Jurusan Perikanan, Universitas Diponegoro dalam program studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama bekerja pernah menjabat sebagai sekretaris laboratorium Manajemen Sumberdaya Pesisir, bendahara Sentra Pendidikan dan Manajemen HaKI UNDIP, asisten direktur II Proyek DUE-like UNDIP.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan dan Manfaat penelitian ... 7
1.4. Kerangka Pemikiran ... 8
1.5. Novelty ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional ... 10
2.1.1. Pengertian ... 10
2.1.2. Dasar dan Tujuan Penetapan ... 11
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 13
2.2.1. Sistem dan Tujuan Pengelolaan ... 13
2.2.2. Permasalahan Pengelolaan ... 15
2.2.3. Perubahan Paradigma Pengelolaan ... 16
2.3. Kebijakan dan Kelembagaan ... 19
2.3.1. Pengertian Kebijakan ... 19
2.3.2. Pengertian Kelembagaan ... 19
2.3.2.1. Ciri Kelembagaan ... 20
2.4. Partisipasi Masyarakat ... 22
2.4.1. Pengertian dan Tujuan ... 22
2.4.1. Mekanisme dan Model Partisipasi ... 23
2.5. Co-management ... 26
2.5.1. Pengertian dan Latar Belakang ... 26
2.5.2. Tujuan dan Manfaat ... 28
2.5.3. Prinsip dan Pendekatan ... 29
2.5.3. Pendekatan Co-management dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 31
2.5.4. Indikator dan Proses Co-management ... 34
2.5.5. Contoh Pengalaman Co-management ... 37
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
3.2. Pendekatan Penelitian ... 41
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 41
3.4. Teknik Pengumpulan Data... 44
3.5. Pemilihan Responden ... 45
3.6. Metode Analisis Data ... 46
3.6.1. Analisis Kualitatif ... 47
3.6.2. Analisis Hierarki Proses (AHP) ... 51
3.6.3. Analisis Prospektif ... 53
4.1. Keadaan Biogeofisik ... 58
4.1.1. Letak Administratif dan Geografis ... 58
4.1.2. Topografi ... 59
4.1.3. Aksesibilitas dan Sistem Transportasi... 60
4.1.4. Hidrologi ... 62
4.1.5. Oceanografi ... 63
4.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 64
4.2.1. Kependudukan ... 64
4.2.2. Tingkat Pendidikan ... 65
4.2.3. Mata Pencaharian ... 66
4.2.4. Tingkat Pendapatan ... 67
4.2.5. Penggunaan Lahan ... 68
4.2.6. Fasilitas Umum ... 69
4.3. Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) ... 71
4.3.1. Status dan Sejarah ... 71
4.3.2. Visi dan Misi Pengelolaan ... 72
4.3.3. Sistem Pengelolaan ... 73
4.3.4. Pengamanan Kawasan ... 77
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi dan Pemanfaatan SDAHE TNKJ ... 78
5.1.1. Potensi SDAHE Perairan ... 78
5.1.2. Pemanfaatan SDAHE TNKJ ... 84
5.1.2.1. Pemanfaatan Perikanan ... 84
5.1.2.2. Pemanfaatan Pariwisata ... 88
5.1.3. Ancaman Kelestarian SDAHE TNKJ ... 92
5.2. Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan TNKJ ... 94
5.2.1. Landasan Hukum Pengelolaan TNKJ ... 94
5.2.2. Kelembagaan Pengelolaan TNKJ ... 99
5.2.3. Kapasitas Pengelolaan TNKJ ... 100
5.2.4. Penegakan Hukum ... 105
5.2.5. Konflik Institusional dalam Pengelolaan TNKJ ... 106
5.3. Persepsi dan Partisipasi ... 108
5.3.1. Persepsi Stakeholders terhadap Keadaan Sumberdaya Alam dan Pengelolaan TNKJ ... 108
5.3.2. Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan TNKJ ... 113
5.4. Konsep Co-management TNKJ ... 115
5.4.1. Upaya Co-management TNKJ ... 115
5.4.2. Penyusunan Konsep Co-management TNKJ... 116
5.4.3. Preskripsi Co-management TNKJ ... 129
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 133
6.2. Saran ... 134
DAFTAR PUSTAKA ... 135
LAMPIRAN ... . 143
Halaman
1 Jumlah dan luas kawasan konservasi laut di indonesia tahun 2006 ... 11
2 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi ... 18
3 Bentuk kerjasama strategik ... 24
4 Tingkat partisipasi menuju terwujudnya pengelolaan kolaboratif ... 25
5 Pengertian co-management ... 27
6 Perbedaan karakteristik pengelolaan sumber daya alam ... 30
7 Contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan laut berbasis masyarakat ... 31
8 Jenis interaksi dalam kegiatan pemanfaatan di taman nasional ... 34
9 Kerangka penerapan co-management ... 35
10 Faktor pendukung co-management ... 36
11 Pertemuan yang diikuti peneliti ... 42
12 Jenis dan sumber data menurut tujuan penelitian ... 43
13 Jumlah responden dan peserta FGD ... 46
14 Penilaian skala berpasangan ... 52
15 Pedoman penilaian pengaruh antar faktor ... 55
16 Matrik pengaruh antar faktor ... 56
17 Luas dan status pulau di Kecamatan Karimunjawa ... 59
18 Jadwal keberangkatan kapal feri tiap minggu ... 60
19 Data kependudukan Kecamatan Karimunjawa ... 64
20 Distribusi murid dan guru menurut tingkat pendidikan di TNKJ, 2006 ... 65
21 Tingkat pendapatan penduduk Karimunjawa, 2006 ... 66
22 Jenis mata pencaharian penduduk kecamatan Karimunjawa, 2007 ... 66
23 Persentase tingkat pendapatan masyarakat Karimunjawa, 2005 ... 68
24 Perbandingan jenis pengunaan lahan di Karimunjawa ... 68
25 Fasilitas umum di Karimunjawa ... 70
26 Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tahun 1990 ... 74
27 Hasil revisi zonasi TNKJ 2004 ... 76
28 Jenis biota langka dan dilindungi di TNKJ ... 78
29 Keadaan potensi sumberdaya perairan TNKJ... 79
30 Data pencurian kayu mangrove TNKJ, 2005 ... 83
31 Kelimpahan jenis Kima berdasarkan zona, 2005 ... 84
32 Jumlah pengunjung TNKJ berdasarkan tujuan, 1996 – 2007 ... 89
34 Kondisi kegiatan pemanfaatan dalam kawasan TNKJ ... 92
35 Aturan kelembagaan pengelolaan Taman Nasional ... 96
36 Kelompok stakeholders dalam pengelolaan TNKJ menurut kepentingan, fungsi dan peran serta masalah yang dihadapi ... 99
37 Tugas dan fungsi BTNK, Dinas Perikanan dan Dinas Pariwisata ... 102
38 Anggaran pengelolaan TNKJ, 2000-2007 (ribuan) ... 104
39 Penggunaan anggaran pengelolaan TNKJ tahun 2006 dan 2007 ... 104
40 Kerjasama yang dilakukan BTNK ... 105
41 Jenis pelanggaran hukum dalam kawasan TNKJ ... 106
42 Frekuensi pelanggaran di TNKJ menurut jenis dan waktu ... 107
43 Persentase persepsi responden terhadap kondisi SDAHE TNKJ ... 109
44 Persentase persepsi responden terhadap jenis ancaman kelestarian SDAHE TNKJ ... 110
45 Persepsi masyarakat terhadap dampak zonasi bagi sumberdaya alam dan sumber mata pencaharian ... 111
46 Persentase persepsi responden terhadap bentuk pengawasan ... 112
47 Persentase partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk program kegiatan pembangunan TNKJ ... 114
48 Partisipasi masyarakat dalam turut menjaga ketersediaan SDAHE TNKJ 114 49 Upaya co-management TNKJ ... 115
50 Kondisikelayakan co-management bagi TNKJ ... 116
51 Struktur hierarki co-management TNKJ ... 120
52 Identifikasi faktor kunci co-management TNKJ ... 123
53 Karakteristik responden ... 125
54 Matrik gabungan hasil penilaian pengaruh langsung antar faktor ... 127
55 Aturan koordinasi dalam kelembagaan co-management TNKJ ... 128
Halaman
1 Kerangka pemikiran ... 9
2 Arah kerja co-management ... 32
3 Level hierarki co-management ... 33
4 Lokasi kepulauan Karimunjawa ... 40
5 Tahapan penelitian ... 47
6 Bagan alir analisispotensi dan pemanfaatan ... 48
7 Bagan alir analisis kebijakan dan kelembagaan ... 49
8 Bagan alir analisis persepsi dan partisipasi ... 51
9 Level hierarki co-management TNKJ ... 54
10 Diagram untuk menemukan elemen kunci ... 56
11 Sebagian pulau di Karimunjawa ... 58
12 Sarana transportasi ke Karimunjawa ... 61
13 Kondisi jalan dan pelabuhan di Karimunjawa ... 62
14 Kelimpahan genera karang TNKJ menurut zona dan waktu ... 80
15 Kerusakan terumbu karang Karimunjawa ... 81
16 Luas kerusakan karang di TNKJ berdasarkan jenis kerusakan dan kedalaman ... 81
17 Kondisi mangrove Karimunjawa ... 82
18 Penebangan pohon mangrove di TNKJ ... 83
19 Teknik pengoperasian Muro-ami ... 85
20 Armada penangkapan ikan dengan Muro-ami ... 86
21 Potensi wisata bahari Karimunjawa ... 88
22 Pembangunan sarana wisata yang merubah bentang alam... 91
23 Peta Lokasi Kerawanan TNKJ ... 93
24 Keadaan pegawai menurut latar belakang pendidikan ... 103
25 Jumlah trip kapal yang masuk zona di TNKJ ... 112
26 Hasil penilaian hierarki co-management TNKJ ... 119
27 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan co-management TNKJ dari hasil penilaian kelompok stakeholder berbeda ... 124
28 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam Pengembangan co-management TNKJ ... 128
29 Posisi pembagian kewenangan ... 130
30 Langkah menuju co-management TNKJ ... 131
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Daftar pertanyaan untuk kelayakan co-management ... 143
2. Diagram alir proses penyusunan re-zonasi TNKJ ... 144
3. Peta zonasi TNKJ (2004) ... 145
4. Posisi geografis lokasi zona TNKJ ... 146
5. Peta potensi sumberdaya alam TNKJ ... 147
6. Surat Bupati tentang usaha penangkapan ikan di Karimunjawa ... 148
7. Program kegiatan pengelolaan oleh BTNK ... 151
8. Kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diikuti staf BTNK ... 153
9. Evaluasi pelaksanaan program kerja BTNK tahun 2006 ... 154
10. Kegiatan dinas/lembaga terkait di TNKJ tahun 2001-2006 ... 156
11. Matrik hasil penilaian pengaruh antar faktor dalam analisis prospektif ... 162
AHP : Analytical Hierarchy Process
BTNK : Balai Taman Nasional Karimunjawa
COREMAP : Coral Reef Rehabilitation and Management Program
DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan
FGD : Focus Group Discussion
FKMK : Forum Komunikasi Masyarakat Karimunjawa
ICDP : Integrated Conservation and Development Program IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
IUCN : International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources
KSDAHE : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
KSDI : Konservasi Sumber Daya Ikan
KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat
KPA : Kawasan Pelestarian Alam
KSA : Kawasan Suaka Alam
ODTW : Obyek dan Daya Tarik Wisata
PP : Peraturan Pemerintah
PSMB : Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat
RPTN : Rencana Pengelolaan Taman Nasional
SDA : Sumber Daya Alam
SDAHE : Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
TN : Taman Nasional
TNKJ : Taman Nasional Karimunjawa
UNDIP : Universitas Diponegoro
UU : Undang-undang
WCS : Wildlife Conservation Society
WWF : World Wildlife Fund
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah
tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga
Indonesia dikenal sebagai mega biodiversity country. Salah satu keanekaragaman hayati yang menjadi perhatian dunia selain hutan hujan tropis
adalah terumbu karang. Terumbu karang Indonesia dengan luas 51.000 km2,
(sekitar 51% terumbu karang di Asia atau 18% terumbu karang di dunia),
menduduki peringkat terluas ke 2 di dunia setelah Australia. Terumbu karang
Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia yang dikenal
sebagai “Coral Triangle Center” (meliputi wilayah Indonesia bagian timur,
sebagian Malaysia, Phillipina, Papua New Guinea dan Solomon seluas 5,7 juta
km2) yang merupakan rumah bagi lebih dari 600 spesies karang dan 3000
spesies ikan karang, sehingga mendapat prioritas utama dunia untuk konservasi
laut(TNC, 2006).
Akan tetapi dampak berbagai kegiatan manusia dalam memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan telah mengancam keberadaan
keanekaragaman hayati. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang
Indonesia semakin meningkat dari 10% menjadi 50%. Hasil pemantauan
COREMAP tahun 2000, kondisi terumbu karang di Indonesia 41% dalam
keadaan buruk, 30% sedang, 23% bagus dan kira-kira hanya 6% yang
kondisinya sangat bagus. Hal ini disebabkan selain oleh dampak perubahan iklim
juga oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggung jawab,
seperti penangkapan ikan berlebih, penggunaan alat tangkap yang merusak,
penggunaan bom dan racun sianida, pencemaran, sedimentasi, penambangan
dan pembangunan kontruksi pantai. Selain terumbu karang, hutan mangrove
Indonesia juga mengalami penyusutan, dari 5,2 juta ha pada tahun 1982 menjadi
3,2 juta ha pada tahun 1987, dan 2,4 juta ha pada tahun 1993 akibat konversi
lahan dan penggunaan sebagai bahan baku industri (Dahuri et al, 2001).
Demi menjaga keberadaan keanekaragaman hayati tersebut dilakukan
konservasi, suatu upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
menjamin keberlangsungan pemanfaatannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati. Untuk itu pemerintah Indonesia
antara pemanfaatan dan perlindungan untuk menjamin pembangunan
berkelanjutan. Dalam Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009 (DKP, 2005)
disebutkan bahwa sasaran pembangunan kelautan antara lain adalah :
1). Meningkatnya luas kawasan konservasi laut;
2). Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil
yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis masyarakat;
3). Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut;
4). Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber
daya pesisir dan laut yang efisien dan berkelanjutan; dan
5). Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil
secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional, suatu
kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai
alam dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi rekreasi besar, mudah
dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (McKinnon et al, 1993). Dalam UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) disebutkan bahwa taman nasional
merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Bentuk
dan sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan secara explicit tidak dibedakan dengan kawasan konservasi darat.
Kawasan konservasi laut pertama di Indonesia, yaitu Cagar Alam Laut
Banda, ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 1973. Sampai saat ini,
telah ditetapkan kawasan konservasi laut seluas lebih dari 5,5 juta ha (meliputi
kawasan cagar alam laut, taman nasional laut, suaka margasatwa laut dan
taman wisata alam laut) yang tersebar di 42 lokasi, delapan diantaranya
merupakan taman nasional laut yaitu Kepulauan Seribu, Kepulauan
Karimunjawa, Teluk Cendrawasih, Bunaken, Taka Bone Rate, Kepulauan
Wakatobi, Kepulauan Togean dan Rawa Opa (Soemarsono, 1995; Supriharyono,
2000; Wiratno et al, 2004; dan Widada dan Kobayashi, 2006).
Mengingat luasan dan keragaman ekosistem yang ada, Taman Nasional
nasional maupun regional Asia Timur oleh IUCN/CNPPA untuk dapat
ditingkatkan sistem pengelolaannya (Bleakley dan Wells, 1995).
Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi seperti diamanatkan
dalam pasal 34 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE dilaksanakan oleh
pemerintah, dalam hal ini yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan
kawasan konservasi laut adalah Departemen Kehutanan. Namun dalam
penjelasan pasal 13 (1) UU no 31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan
bahwa penetapan kawasan konservasi, termasuk taman nasional perairan
ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP). DKP sampai saat ini telah menetapkan 14 kawasan konservasi laut
daerah dengan total luas 1,495,967,53 ha, selain itu masih ada 10 calon lokasi
lagi seluas 12,131,493,53ha dan diharapkan pada akhir tahun 2010 kawasan
konservasi laut daerah dapat mencapai 10 juta ha (DKP, 2005). Hal ini
menunjukkan adanya kewenangan ganda antara Departemen Kehutanan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam penetapan dan pengelolaan
kawasan konservasi laut.
Salah satu kawasan konservasi laut yang ditetapkan Departemen
Kehutanan pada tahun 1988 adalah Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ), yaitu
suatu gugusan 22 pulau seluas 111.625 ha di Laut Jawa yang terletak sekitar 60
mil laut di sebelah utara Semarang. Martoyo (1998) menyebutkan sumberdaya
alam di kawasan TNKJ meliputi ekosistim bahari yang terdiri atas terumbu
karang dengan ikan hiasnya, rumput laut dan padang lamun, hutan mangrove;
dan ekosistem daratan, yang meliputi hutan tropis dataran rendah dan hutan
pantai. Menurut Dutton et al (1993), keanekaragaman sumberdaya perikanan di Kepulauan Karimunjawa tidak kalah dan bahkan berada dalam kondisi yang lebih
baik dibandingkan dengan Kepulauan Seribu.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Karimunjawa masih tergolong rendah,
dimana sekitar 90% masyarakat berpendidikan sampai tingkat sekolah dasar,
dan 60,34% berprofesi sebagai nelayan (BTNK, 2008) dengan tingkat
ketergantungan terhadap sektor perikanan 71,68% (Wibowo, 2006). Kegiatan
utama pemanfaaan sumberdaya pesisir dan laut Karimunjawa meliputi
penangkapan ikan, budidaya, dan pariwisata dimana tipe pemanfaatannya
cenderung bersifat terbuka (open access), sehingga setiap orang berusaha untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Perikanan sebagai kegiatan utama
penangkapan yang tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan kerusakan
sumberdaya TNKJ.
Salah satu kerusakan sumberdaya yang dimonitor adalah terumbu karang,
dimana berdasarkan hasil monitoring Wildlife Conservation Society (WCS) tahun
2003-2006 dan laporan BTNK (2007) terdapat penurunan rata-rata tutupan
karang di kedalaman 10 m dari 60,30% pada tahun 2000 menjadi 46,03% pada
tahun 2006. Menurut Supriharyono (2000), kerusakan habitat terumbu karang di
Karimunjawa terjadi karena adanya praktek pengambilan karang hidup untuk
hiasan aquarium, karang mati untuk bahan bangunan, penangkapan ikan hias
dengan bahan beracun dan penangkapan ikan karang dengan bahan peledak.
Hal ini menunjukkan kurang efektifnya sistem pengelolaan TNKJ saat ini karena
partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian sumberdaya masih kurang.
Perkembangan implementasi otonomi daerah telah membawa implikasi
dalam pengelolaan sumberdaya alam di TNKJ dimana masyarakat setempat
dapat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan. Pada tahun 2003, dengan
inisiasi awal dari BTNK, telah dibentuk kader konservasi yang kemudian
berkembang dengan adanya kelompok pelestari penyu dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) di tiap desa. Pada bulan Oktober 2004 telah dibentuk suatu
Forum Komunikasi Masyarakat Karimunjawa (FKMK), sebagai wadah organisasi
masyarakat yang menangani masalah pengembangan dan pengelolaan kawasan
TNKJ dimana pengurusnya merupakan wakil dari KSM.
Pada awal tahun 2005, dengan dukungan dari Pemda Kabupaten Jepara,
WCS dan yayasan Taka; BTNK merevisi zonasi TNKJ yang dibuat secara bottom up berdasarkan aspirasi masyarakat. Akan tetapi implementasi rezonasi tersebut belum sepenuhnya berhasil karena masih ditemukan pelanggaran memasuki
zona larangan oleh beberapa nelayan, terutama nelayan dari luar daerah. Hal ini
dimungkinkan karena keterbatasan pengetahuan, tidak adanya batas zona yang
jelas serta kurangnya sosialisasi zona tersebut. Sementara itu belum semua
dinas/instansi terkait mengadopsi zonasi tersebut dan rencana pengelolaan
TNKJ dalam pengembangan program kegiatan mereka sehingga pemanfaatan
sumberdaya di kawasan TNKJ masih bersifat sektoral dan pengelolaannya
menjadi kurang efektif. Ketidak-efektifan pengelolaan juga disebabkan adanya
ambiguitas kepemilikan lahan, dimana sebagian besar pulau (70%) telah dimiliki
perorangan. Bahkan pada awal tahun 2005 ramai dibicarakan penjualan
Bengkoang, Pulau Geleang, Pulau Kembar, Pulau Kumbang, Pulau Katang,
Pulau Krakal Besar dan Pulau Krakal Kecil. Padahal perairan sekitar Pulau
Geleang berada dalam zona perlindungan bahkan sebagian perairan Pulau
Kumbang ada dalam zona inti. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap
sistem zonasi TNKJ yang telah disusun bersama masyarakat.
Co-management atau collaborative management, sering disebut juga
participatory management, joint management, shared-management, multi-stakeholder management atau round-table agreement adalah bentuk pengelolaan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan
mekanisme kerjasama, yang didorong oleh pengakuan hak yang melekat pada
setiap pihak, dalam rangka mencapai tujuan bersama, sehingga dimungkinkan
semua pihak dapat ikut berpartisipasi untuk berbagi wewenang, tanggung jawab
dan keuntungan dalam proses pengelolaan (Borrini-Feyerabend, 1996; NRTEE,
1999). Namun belum semua pihak menyadari arti penting co-management bagi kelestarian fungsi ekologis TNKJ dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat,
untuk itu perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang dapat menyatukan
berbagai aspirasi dan kepentingan stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya TNKJ dan mensinergikan kegiatan mereka dengan mengikuti prinsip co-management yang semestinya, yaitu adanya kerelaan, kesetaraan peran dan saling kepercayaan, partisipasi aktif, komitmen untuk berbagi disertai adanya
dukungan kelembagaan (Wiratno et al, 2004 dan WWF, 2006).
Adapun alasan pemilihan lokasi TNKJ sebagai tempat studi, adalah :
1). Karimunjawa merupakan satu-satunya kawasan konservasi laut berupa
taman nasional di Jawa Tengah yang kondisinya cukup baik (Dutton et al,
1993) dan mendapat prioritas nasional maupun regional Asia Timur
(Kelleher dan Kenchington 1992, Bleakley dan Wells. 1995);
2). Karimunjawa merupakan salah satu kawasan unggulan untuk
pengembangan pariwisata Jawa Tengah bersama dua lokasi lain, yaitu
Borobudur dan Sangiran (Perda Jawa Tengah Nomor 14 Tahun 2004
tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jateng);
3). Permasalahan pengelolaan yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas
pengelolaan, kurangnya pemahaman dan dukungan dari instansi teknis
terkait, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam usaha konservasi serta
lemahnya koordinasi antar lembaga (Rao,1998; Purwanti, 2000; BTNK,
1.2. Rumusan Masalah
Karimunjawa semula ditetapkan sebagai cagar alam laut berdasarkan SK
Menhut No. 123/Kpts-II/1986 tanggal 9 April 1986 tentang Penunjukkan
Kepulauan Karimunjawa dan perairan laut disekitarnya seluas 111.625 ha yang
terletak di Dati II Jepara, sebagai Cagar Alam laut. Hal ini dilakukan mengingat
keindahan alam laut yang khas dengan keanekaragaman terumbu karang serta
pantai pasir putih yang landai tempat bertelur penyu. Pada tahun 1999 melalui
SK Menhut No. 78/ Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999 tentang Perubahan
Cagar Alam Karimunjawa dan perairan laut disekitarnya yang terletak di
Kabupaten Jepara, Propinsi Dari I Jawa Tengah seluas 111.625 ha menjadi
Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (BTNK, 2004a).
Sasaran utama penetapan taman nasional adalah untuk melindungi ekosistem
dan sumberdaya alam agar proses-proses ekologis di dalamnya dapat terus
berlangsung, dan mempertahankan produksi dan jasa bagi kepentingan manusia
secara berkelanjutan (Hardjasoemantri, 1993 dan Agardhy, 1997).
Akan tetapi pemanfaatan TNKJ selama ini kurang memperhatikan
kelestarian fungsi kawasan, seperti adanya pelanggaran zona dan kegiatan
eksploitasi yang cenderung merusak SDAHE. Sedangkan pengelolaan TNKJ
oleh BTNK kurang efektif karena keterbatasan sarana dan prasarana serta
dukungan instansi teknis terkait. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada
tahun 2001 telah memberi peluang pemerintah daerah untuk ikut serta dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam guna peningkatan pendapatan
asli daerah (PAD). Jika hal ini tidak diatur lebih lanjut akan menggangu
pencapaian tujuan konservasi akibat adanya kerusakan lingkungan sehingga
pemanfaatan sumberdaya tidak dapat berlanjut.
Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan dan untuk mensinkronkan
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dalam kawasan
TNKJ dilakukan pendekatan co-management. Permenhut no: P.19/ 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
merupakan pedoman pelaksanaan kolaborasi yang dimaksudkan untuk
membantu meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam bagi kesejahteraan masyarakat (pasal
2), dimana dalam pelaksanaan proses kerjasama para pihak yang bersepakat
tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati, saling
1) dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk kesepakatan bersama (pasal 5
ayat 1).
Kerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam TNKJ
telah berlangsung saat ini, akan tetapi hal ini belum bisa dikategorikan sebagai
pengelolaan kolaboratif karena belum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip
kolaborasi tersebut diatas. Selain itu menurut Putro (18 Februari 2007,
komunikasi pribadi), dalam co-management dibutuhkan adanya mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi tanggung-jawab antara
pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal.
Dilihat dari latar belakang penelitian dan permasalahan umum yang
dihadapi dalam pengelolaaan TNKJ, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
menyusun konsep co-management TNKJ untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata. Pertanyaan yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah :
1). Sejauh mana kegiatan pemanfaatan dari sektor perikanan dan pariwisata
dapat menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati TNKJ;
2). Bagaimana dukungan kelembagaan pengelolaan TNKJ, dilihat dari
peraturan, SDM, dana dan penegakan hukum dapat mendukung co-management TNKJ; dan
3). Bagaimana persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKJ;
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan pengelolaan diatas, penelitian ini bertujuan :
1). Menganalisis potensi SDAHE TNKJ dan kegiatan perikanan dan pariwisata
di TNKJ;
2). Menganalisis kebijakan dan kelembagaan pengelolaan TNKJ;
3). Menganalisis persepsi dan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan TNKJ; dan
4). Mengidentifikasi faktor kunci co-management ; dan
5). Menyusun konsep co-management TNKJ dalam pemanfaatan perikanan dan pariwisata.
Keluaran penelitian merupakan suatu arahan kebijakan sebagai
rekomendasi untuk penataan kegiatan pemanfaatan kawasan TNKJ bagi sektor
perikanan dan pariwisata. Secara rinci manfaat dari penelitian ini adalah :
1). Bagi pemerintah; sebagai suatu sumbangan pemikiran tentang komponen
2). Bagi masyarakat; sebagai bahan informasi tentang peluang (ruang)
berpartisipasi dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya bagi kelangsungan hidupnya; dan
3). Bagi ilmu pengetahuan; sebagai acuan dan referensi bagi peneliti lainnya
untuk mengembangkan pengetahuan tentang co-management sebagai pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lebih
komprehensif.
1.4. Kerangka Pemikiran
Pengelolaan taman nasional, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34
ayat 1 UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya (KSDAHE) dan pasal 35 PP no. 68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dilaksanakan oleh
pemerintah; untuk tujuan kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia. Namun pola pengelolaan SDA yang terpusat dan
tidak memberi ruang bagi peran serta masyarakat secara adil dan setara ternyata
pemerintah tidak mampu melindungi kawasan konservasi beserta
keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
TNKJ ditetapkan sebagai KPA karena potensi keanekaragaman hayati
yang dimilikinya. Pengelolaan TNKJ bertujuan melindungi sistem penyangga
kehidupan, melestarikan keanekaragaman plasma nutfah dan menjamin
pemanfaatan yang lestari. Namun pemanfaataan potensi SDAHE TNKJ untuk
kegiatan perikanan dan pariwisata cenderung merusak keutuhan SDAHE TNKJ
sehingga dapat menggangu fungsi kawasan. Sementara kelembagaan
pengelolaan TNKJ belum mampu melindungi dan mengamankan kawasan
karena keterbatasan kapasitas dan dukungan lembaga terkait. Co-management
sebagai suatu pendekatan pengelolaan berbasis kemitraan akan ditelaah
kemungkinannya untuk digunakan sebagai pendekatan dalam pengelolaan TNKJ
sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Agar co-management
dapat berjalan efektif, maka digunakan prinsip-prinsip co-management sebagai batu uji partisipasi stakeholders (Wiratno et al, 2004) dan adanya kerelaan dan kesadaran dari stakeholder untuk saling menghormati, saling menghargai, saling
percaya, dan saling memberikan kemanfaatan (permenhut no: P.19/ 2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA), ada dukungan kelembagaan
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
1.5. Novelty
Penerapan co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah banyak diterapkan. Namun demikian, berbagai prinsip dari co-management itu sendiri belum sepenuhnya diterapkan; atau kalaupun ada, penerapannya sulit
dilakukan karena tidak sesuai dengan kondisi setempat. Selain itu penerapan co-management dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak selalu diikuti dengan perumusan kebijakan penataan kelembagaannya sehingga masing-masing
stakeholders berjalan sendiri-sendiri. Novelty penelitian ini adalah mencoba memperbaiki kekurangan dan kelemahan penerapan konsep co-management
dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam pengaturan kegiatan
perikanan dan pariwisata.
Pengelolaan TNKJ
terpadu & berkelanjutan
Potensi :
- Sosek masyarakat - Kehati SDAHE
Kelembagaan :
- Regulasi
- Kapasitas pengelolaan - Penegakan hukum
Co-management
TNKJ
Pemanfaatan: - Perikanan - PariwisataPrinsip co-management : 1. partisipasi & komitmen
2. komunikasi & koordinasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Nasional 2.1.1. Pengertian
Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang
menurut kategori protected area IUCN (1994) termasuk dalam kategori II. Pengertian taman nasional menurut beberapa pustaka antara lain adalah:
... areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan; species flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai lanskap alam dengan keindahan tinggi (IUCN,1994).
... kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
... kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (McKinnon et al, 1993).
Kawasan konservasi perairan secara eksplisit tidak dibedakan dengan
kawasan konservasi darat. Pengertian kawasan konservasi laut yang digunakan
DKP diadopsi dari pengertian marine protected area (IUCN,1994) yaitu:
... wilayah perairan pasang surut, termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain, baik sebagian atau seluruh lingkungan didalamnya (DKP, 2005).
... kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi (PP no.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan).
Dalam UU no. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yang tercakup dalam
kawasan konservasi perikanan meliputi terumbu karang, padang lamun, bakau,
rawa, danau, sungai dan embung yang dianggap penting untuk dilakukan
konservasi. Sampai tahun 2006, luas kawasan konservasi di Indonesia (darat
dan laut) mencapai 28.166.560,30 ha, dimana taman nasional merupakan
wilayah terluas (>16 juta ha). Kawasan konservasi laut (cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional dan taman wisata) tersebar di 42 lokasi dengan
dengan total luas 4.215.349 ha atau sekitar 75,36% dari total luas kawasan
konservasi laut (Widada dan Kobayashi, 2006).
Tabel 1 Jumlah dan luas kawasan konservasi laut di Indonesia tahun 2006
Kawasan konservasi laut Jumlah Luas (Ha)
Inisiasi Dept Pertanian cq Dept Kehutanan:
1 Taman Nasional Laut (TNL) 8 4,218,349.00
2 Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 18 765,500.70
3 Cagar Alam Laut (CAL) 9 274,215.45
4 Suaka Margasatwa Laut (SML) 7 339,218.25
Jumlah 42 5,597,283.40
Inisiasi DKP dan Pemerintah Daerah :
1 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) 12 1,439,169.53
2 Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (CKKLD) 11 685,524.00
3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) / Daerah Perlindungan Mangrove (DPM)
2 2,085.90
4 Suaka Perikanan (SP) 10 453.23
Jumlah 35 2,127,232.66
Jumlah Total 77 7,724,516.06
Sumber : Widada dan Kobayashi (2006)
2.1.2. Dasar dan Tujuan Penetapan
Penetapan suatu kawasan taman nasional dilakukan pada daerah marginal
yang tidak atau belum terjangkau oleh pembangunan intensif. Beberapa dasar
umum yg digunakan dalam penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional
menurut MacKinnon et al (1993) adalah : 1). Karakteristik atau keunikan ekosistem;
2). Mempunyai keanekaragaman species atau species khusus yang „bernilai‟; 3). Mempunyai lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang „bernilai‟; 4). Mempunyai fungsi perlindungan hidrologi (tanah, air, iklim lokal);
5). Mempunyai sarana untuk rekreasi alam atau kegiatan wisata; dan
6). Mempunyai tempat peninggalan budaya yang tinggi (candi, peninggalan
purbakala dan lain sebagainya).
Dalam pasal 31 PP no. 68 tahun 1998 tentang KSA dan KPA disebutkan
bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah
1). Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami;
2). Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis
tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih
utuh dan alami;
3). Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4). Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam; dan
5). Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan
kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar
kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Penetapan kawasan konservasi seperti diamanatkan dalam pasal 34 UU
no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini
Departemen Kehutanan. Namun dalam pasal 7 UU no.31 tahun 2004 tentang
Perikanan disebutkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan
kawasan suaka perikanan dimana dalam pasal 8 PP no.60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) disebutkan bahwa taman nasional perairan
merupakan kawasan konservasi perairan yang kewenangan penetapannya ada
pada Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam pasal 9 PP no.60 tahun 2007 tentang KSDI disebutkan bahwa
penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteria :
1). Ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan
ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan
langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan;
2). Sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik
kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
3). Ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata,
estetika, dan kemudahan mencapai kawasan.
Sasaran utama penetapan taman nasional sebagai kawasan konservasi
adalah untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya alam agar proses-proses
ekologis di dalamnya dapat terus berlangsung, dan mempertahankan produksi
pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan peranan ekologis dan
potensi taman nasional (Hardjasoemantri, 1993 dan Agardhy, 1997).
Menurut Kelleher dan Kenchington (1992); Jones (1994); dan Salm et al
(2000); tujuan penetapan kawasan konservasi laut adalah untuk melindungi
habitat kritis, mempertahankan keanekaragam hayati, mengkonservasi
sumberdaya ikan, melindungi garis pantai, melindungi lokasi-lokasi yang bernilai
sejarah dan budaya, menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam,
merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan mempromosikan
pembangunan kelautan berkelanjutan. Sedangkan tujuan dibentuknya kawasan
taman nasional diantaranya untuk:
1). Melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting,
secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan
ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993); dan
2). Terwujudnya kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya dan
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia (pasal 3 UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE)
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi
Ada tiga perbedaan utama pengelolaan sumberdaya alam, yaitu
preservationist, conservationist, dan exploiter. Menurut preservationist,
sumberdaya alam sebanyak mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa
ada kegiatan pembangunan, alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya.
Sebaliknya bagi para exploiter, sumberdaya alam dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan paham konservasi berada pada kedua
paham tersebut di atas, dimana konservasi menghendaki pemanfaatan
sumberdaya alam yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian tatanan
ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan ekologi dan
ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga
dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra, 2000).
2.2.1. Sistem dan Tujuan Pengelolaan
Tujuan konservasi adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya
alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia
taman nasional menurut Alikodra (1979) dapat dikelompokkan menjadi empat
aspek utama yaitu untuk konservasi, penelitian, pendidikan dan pariwisata.
Sistem taman nasional memiliki banyak keunggulan dibandingkan sistem
kawasan konservasi lainnya. Pengembangan sistem pengelolaan laut perlu
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan manajemen kelautan dan perikanan
nasional dengan penekanan pada empat aspek (Sularso et al, 2004), yaitu : 1). Meningkatkan kapasitas pengelolaan;
2). Meningkatkan peran para pihak terkait di setiap tataran sistem
pengelolaan;
3). Mengembangkan sistem penegakan hukum yang efektif; dan
4). Mengembangkan sistem pengelolaan yang mendukung pertumbuhan dan
pemerataan pembangunan ekonomi.
Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang KSDAHE, sistem pengelolaan taman
nasional dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Ada
tiga zonasi dalam pengelolaan taman nasional, yaitu :
1). Zona inti yaitu bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan
tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
2). Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang
dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; dan
3). Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan
traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya.
Dalam Permenhut no.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional disebutkan bahwa zonasi taman nasional adalah suatu proses
pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup
kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft
rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan
penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dalam pasal 3 ayat 1 Permenhut no.56
tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional disebutkan bahwa dalam
zonasi taman nasional ditambahkan zona rimba atau zona perlindungan bahari
untuk wilayah perairan yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu
Adapun tujuan dari zonasi adalah untuk membatasi tipe-tipe habitat penting
untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya
ekonomi. Untuk itu kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan
khusus yang terkait dengan tahapan pengelolaan dari suatu kerangka
pengelolaan kawasan konservasi. Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan
sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan
tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al, 2000).
Dalam PP no.60 tahun 2007 tentang KSDI disebutkan bahwa zonasi
kawasan konservasi perairan merupakan suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Kawasan konservasi perairan
dibagi dalam empat zona (pasal 17), yaitu :
1). Zona inti diperuntukkan bagi: a). perlindungan mutlak habitat dan populasi
ikan; b). penelitian; dan c). pendidikan
2). Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi: a). perlindungan habitat
dan populasi ikan; b). penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah
lingkungan; c). budidaya ramah lingkungan; d). pariwisata dan rekreasi; e).
penelitian dan pengembangan; dan f). pendidikan
3). Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: a). perlindungan habitat dan
populasi ikan; b). pariwisata dan rekreasi; c). penelitian dan
pengembangan; dan d). pendidikan.
4). Zona lainnya merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona
rehabilitasi dan sebagainya.
2.2.2. Permasalahan Pengelolaan
Permasalahan pengelolaan taman nasional di Indonesia menurut hasil
evaluasi Hardjasoemantri (1993) adalah sebagai berikut :
1). Landasan hukum yang mantap bagi taman nasional belum ada, khususnya
bagi pemanfaatan rekreasi dan pariwisata di zona pemanfaatan intensif,
serta pengembangan zona penyangga untuk kesejahteraan masyarakat di
4). Inventarisasi potensi kawasan secara keseluruhan belum diketahui
sehingga menghambat penetapan kebijaksanaan pola dan rencana
kegiatan pengelolaan taman nasional secara terpadu;
5). Pengukuhan dan penataan batas kawasan masih banyak yang belum
dilaksanakan, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya
perambahan kawasan dengan berbagai dampak negatifnya;
6). Sebagian besar lokasi taman nasional terisolir, jauh dari jangkauan
transportasi, sehingga menyulitkan pelaksanaan pembangunannya;
7). Kemampuan personil untuk mengelola taman nasional belum mantap,
selain itu juga keterbatasan prasarana dan sarana fisik serta pembiayaan
yang tersedia; dan
8). Organisasi pemangkuan dan pengelolaan beberapa taman nasional belum
seragam di tingkat Eselon III, bahkan masih ada yang dalam status proyek
pembangunan.
Sedangkan untuk masalah pengelolaan kawasan konservasi laut dimana
sumberdayanya merupakan milik umum yang bersifat open access, maka yang penting adalah bagaimana mengendalikan pengrusakan dan menjaga
keberadaan sumberdaya hayati laut yang beranekaragam beserta lingkungannya
melalui upaya perlindungan proses ekologi yang mendukung kehidupan dan
pelestarian biota laut agar dapat dimanfaatkan secara lestari.
2.2.3. Perubahan Paradigma Pengelolaan
Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya
alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses
pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan
konservasi (Tabel 2) terjadi setelah implementasi UU no.22 tahun 1998 tentang
Pemerintahan Daerah, tetapi sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai
pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam
mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional
yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif
kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan cara merangkul seluruh
hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat
setempat (Wiratno et al, 2004). Sebelum konsep ini dijalankan, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan saling
bertentangan, atau konservasi sering dianggap sebagai musuh pembangunan.
Konsep ICDP diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan
alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan
memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan
berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan
partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan serta
pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan (Well et al, 1999 dan Wiratno et al, 2004).
Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan
pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan sumberdaya
alam ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membuat adanya misinterpretasi
atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk
meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian
hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi
kepentingan masyarakat.
Tuntutan desentralisasi sejalan dengan praktek pengelolaan co-management, sehingga co-management dan desentralisasi dapat berjalan seiring karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu penguatan peran serta
masyarakat dan pendistribusian kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya
yang lebih adil. Walaupun demikian, kebijakan desentralisasi masih belum dapat
menjamin adanya pembagian kekuasaan dan wewenang yang nyata dalam
Tabel 2 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi
Topik Paradigma lama Paradigma baru Tujuan - Hanya untuk tujuan konservasi
semata
- Dibangun utamanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa,
- Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan - Nilai utamanya : wild life - about protection
- Mencakup tujuan sosial dan ekonomi
- Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya - Dikelola bersama masyarakat
setempat
- Mencakup juga nilai budaya dan wild life yang dilindungi
- Also about restoration, rehabilitation & socio-economic purposes
Pengelolaan - Oleh pemerintah pusat - Melibatkan para pihak yang berkepentingan
Masyarakat setempat
- Perencanaan dan pengelolaan “memusuhi” masyarakat setempat
- Pengelolaan tanpa
mempedulikan opini pendapat masyarakat
- Dikelola bersama, untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat
- Dikelola dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat
Cakupan pengelolaan
- Dikembangkan secara terpisah - Dikelola seperti pulau biologi
- Direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional dan internasional
- Dikembangkan dalam bentuk „jaringan‟ (Protected Area Network) → koridor jalur hijau
Persepsi - Dipandang utamanya sebagai aset nasional (milik
pemerintah)
- Dipandang hanya untuk kepentingan nasional
- Dipandang sebagai aset publik (milik masyarakat)
- Dipandang juga sebagai kepentingan internasional
- Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis
- Pengelolaan diadaptasi menurut perspektif jangka panjang - Orientasi pengelolaan juga
mempertimbangkan aspek politik
Pendanaan - Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) → pemerintah
- Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan (pemerintah, swasta, masyarakat) nasional - internasionalt)
Kemampuan manajemen
- Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya Pemimpin “ahli”
- Dikelola oleh multi-skilled individual - Dikembangkan dari kearifan lokal
(local knowledge)
2.3. Kebijakan dan Kelembagaan
Kebijakan (policy) dan kelembagaan (institutional) merupakan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Kebijakan yang bagus tanpa dilandasi
kelembagaan yang bagus atau sebaliknya akan sulit mencapai hasil maksimal.
Dari pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali
terjadi karena tata kelola pemerintahan (good governance) yang buruk dimana pemerintah gagal membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar
serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar
dari seluruh proses pembangunan. Pada dasarnya hampir semua kegagalan
pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu kegagalan
kebijakan dan kegagalan kelembagaan (Djogo et al, 2003). Kinerja pengelolaan taman nasional ditentukan oleh kebijakan yang berbentuk peraturan
perundangan dan organisasi pengelola atau lembaganya.
2.3.1. Pengertian kebijakan
Kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan pemerintah untuk
mencari solusi masalah pembangunan atau untuk mencapai tujuan
pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun
implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu (Djogo et al, 2003). Kebijakan juga merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model pembangunan baru atau upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses
pembangunan Selama ini pemerintah lebih menekankan pada pembangunan
ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik daripada
infrastruktur kelembagaan. Selain itu kebijakan pemerintah selalu berubah dan
sulit dilaksanakan secara utuh, sehingga perlu perhatian serius, karena institusi
atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan dianggap sebagai unsur
untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Pada umumnya kebijakan
ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang merupakan unsur-unsur
utama dalam kelembagaan.
2.3.2. Pengertian Kelembagaan
Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat
terhadap penggunaan sumberdaya. Ada dua jenis pengertian kelembagaan yaitu
kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Aturan
main tersebut terdiri dari aturan formal dan aturan informal beserta aturan penegakan