PENILAIAN MASYARAKAT TERHADAP
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN:
KASUS KOTAMADYA BOGOR
SITI NURISJAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya: Penilaian Masyarakat Ter-hadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan: Kasus Kotamadya Bogor adalah karya saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, belum diaju-kan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
Bogor, Oktober 2005 Siti Nurisjah
SITI NURISJAH. Penilaian Masyarakat terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan (Kasus Kotamadya Bogor). Dibimbing oleh F. GUNARWAN SOERATMO, BUNASOR SANIM, JOYO WINOTO, dan SISWADI.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu bagian utama dari pembangunan dan pengelolaan ruang-ruang kota dalam upaya mengendalikan kapasitas dan kualitas lingkungannya dan pada saat yang bersamaan juga untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Tetapi, dalam perkembangan dan pembangunan perkotaan, ketersediaan dan kelestarian RTH sering terganggu karena dikonversi menjadi lahan-lahan untuk berbagai kepentingan lain. Konversi lahan ini telah menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perkotaan akibat gangguan terhadap fungsi lingkungan yang dimiliki RTH. Untuk ini, diperlukan pemahaman akan manfaat, fungsi, dan nilai yang dimiliki RTH sehingga upaya untuk mengendalikan kualitas lingkungan kota yang baik dapat direncanakan dan selanjutnya konsep sistem pembangunan kota berkelanjutan dapat diwujudkan.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada penilaian masya-rakat terhadap fungsi dan bentuk rancangan RTH yang dimiliki oleh kota. Penilaian untuk nilai lingkungan RTH ini dinyatakan terhadap empat fungsi RTH, yaitu fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, sosial, dan ekonomi; serta dua bentuk utamanya yaitu bentuk-bentuk mengelompok dan jalur. Penelitian dilakukan da-lam wilayah kotamadya Bogor yang diketahui memiliki ketersediaan dan ran-cangan RTH yang relatif baik. Alat analisis yang digunakan adalah analisis kore-lasi, analisis komponen utama, dan analisis gerombol.
Kota penelitian memiliki klasifikasi nilai yang tinggi untuk ketersediaan dan distribusi RTH terhadap wilayah dan penduduk. Bentuk jalur hijau dan fungsi sosial ekonomi mendominasi RTH wilayah kota, dimana luasan untuk bentuk jalur cenderung menurun dan fungsi sosial ekonomi cenderung meningkat. Untuk menjaga kualitas lingkungan kota, dua pola kecenderungan ini harus dikendali-kan yaitu dengan mempertahandikendali-kan jalur hijau terutama jalur hijau tepi kota yang berfungsi ganda bagi perbaikan kualitas kota dan masyarakat, dan membatasi fungsi sosial ekonomi terutama pada lokasi yang rawan bahaya lingkungan.
SITI NURISJAH. Community Valuation On Urban Green Open Space (Case Study: The City Of Bogor). Under direction of F. GUNARWAN SOERATMO, BUNASOR SANIM, JOYO WINOTO, AND SISWADI.
Green open space is a fundamental part of urban development and management in sustaining the quality of urban environment and the welfare of urban dwellers Unfortunately, such a green open space is mostly converted for urban development purposes, sacrificing the virtue of urban quality. Therefore, understanding the value of green open space for urban livelihood needs to be improved in order to better manage urban affairs.
This study is a community based research intended to analyze total value of urban green open space derived mainly from its functions and design. It assumes that there are four embedded environmental values provided by urban green space function namely biophysical, architectural, social, and economic for both non linear and linear spatial design. This analytical framework is applied to Bogor city considering its peculiarities of green open space existence and architectures. For the analytical tools, this framework implements correlation analysis, principal component analysis, and cluster analysis.
The city of Bogor is classified having better amenity qualities regarding to green open space physical characteristics. However, it should be properly managed due to urban development. Architectural function, which highly correlated with social and biophysical values, has higher value and most preferable than the economic ones; and non linear type of design is more preferable than linear ones. Educational level, environment knowledge and gender, generally, affect their valuation on all type of green open space function and design.
PENILAIAN MASYARAKAT TERHADAP
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) WILAYAH PERKOTAAN:
KASUS KOTAMADYA BOGOR
SITI NURISJAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama NIM
Wilayah Perkotaan: Kasus Kotamadya Bogor : Siti Nurisjah
: 93559
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Soeratmo, MF. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc Ketua Anggota
Dr. Ir. Joyo Winoto, M.Sc. Dr. Ir. Siswadi Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
PRAKATA
Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas kehen-dak, bimbingan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Walaupun telah diketahui bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk suatu wilayah perkotaan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat mengendalikan keseimbangan alami kota sehingga kelestarian dan keindahan lingkungan serta kenyamanannya dapat terjaga; tetapi keberadaannya selalu terganggu dengan berbagai kepentingan lainnya. Hal ini terutama disebabkan karena terjadinya konversi lahan akibat pembangunan kota juga karena tidak diketahuinya besar penilaian dan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai yang “melekat” dengan RTH tersebut. Untuk itulah penelitian ini dilakukan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap suatu kebijakan ruang publik guna mengelola keberadaan dan kelestarian RTH wilayah perkotaan, terutama pada wilayah studi yaitu Kotamadya Bogor yang bertema Kota dalam Taman. Selain itu, hasil penelitian juga bermanfaat sebagai bahan masukan dalam proses kegiatan perencanaan pengelolaan RTH kota lainnya.
Terima kasih disampaikan penulis pada Bapak Ketua Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. F. Gunarwan Suratmo, MF yang telah banyak “me-luruskan” orientasi ilmu dan pengetahuan tentang sumberdaya alam dan ling-kungan penulis, dan juga atas semua bimbingan akademis, nasihat, dorongan dan dukungan, serta kesabaran beliau mulai dari awal, pengembangan berbagai ide, sampai dengan tahap terakhir penyelesaian disertasi ini, juga pada. Bapak-bapak dosen pembimbing lain, yaitu Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc., Dr. Ir. Joyo Winoto, MSc., dan Dr. Ir. Siswadi; atas semua saran, arahan serta bimbingan. Secara khusus juga pada Bapak Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion, Bapak Ir. Zain Rachman, Bapak Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasoetion dan Dr. Ir. Irawadi Djamaran atas semua dukungan moral dalam meneruskan dan penyele-saian studi. Terima kasih tidak terhingga juga disampaikan pada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc yang tetap memberikan kesempatan dalam penyelesaian studi ini, serta Bappeda serta Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Kotamadya Bogor atas ijin dan bantuan dalam penggunaan data untuk kepentingan penelitian. Khusus pada Vera, Marisa, Oly dan Naniek serta Astra atas bantuan, perhatian dan dukungan sangat tinggi dalam proses penelitian ini, dan Ir Palguno dan Ir Dodi yang menjadi teman diskusi, pelebar wawasan pikiran, dan membantu dalam proses pengolahan data, serta Ir. Qodarian Pramukanto, Ir. Maritje Wungkar, Dr. Ir. Nurhayati A Mattjik atas persahabatan dan perhatiannya. Terima kasih pada kedua orang tua dan saudara-saudara yang selalu mendoakan yang terbaik untuk seluruh anggota keluarganya.
.
RIWAYAT HIDUP
Peneliti merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah Syahruddin (alm) dan ibu Nurma (alm). Lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 12 September 1948.
Peneliti menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota Jakarta, masing-masing di SD Katolik Van Lith, SMP Yayasan Perguruan Tjikini, dan SMA Yayasan Perguruan Tjikini pada tahun 1966. Selanjutnya pendidikan tinggi strata satu (S1) diselesaikan di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor pada tahun 1972; dengan kekhususan bidang Arsitektur Pertamanan. Pendidikan tinggi strata 2 (S2) diselesaikan di Department of Land-scape Architecture, University of Wisconsin, Madison, USA pada tahun 1983 dengan kekhususan dalam bidang Landscape Planning and Design. Pendidikan tinggi strata 3 (S3) dijalankan di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dimulai tahun 1993 pada Program Studi Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, dan pada tahun 1995 pindah dan menyelesaikan program S3 pada tahun 2000 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Halaman
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
ix
xi
xii
1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 1.2. Tujuan Penelitian ... 1.3. Kerangka Pemikiran... 1.4. Perumusan Masalah ... 1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Hasil Baru Penelitian ... 1.7. Terminologi ...
1 4 4 7 8 8 9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota ... 2.2. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan ... 2.3. Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota ... 2.4. Pembangunan dan Sistem Nilai Masyarakat ... 2.5. Masyarakat Peduli Lingkungan ...
12 21 25 28 30
3 KEADAAN UMUM KOTAMADYA BOGOR
3.1. Administratif ... 3.2. Sumberdaya Alam ... 3.3. Kependudukan ... 3.4. Penggunaan Lahan ... 3.5. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota ...
32 33 34 35 36
4 METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu ... 4.2. Batasan dan Asumsi Penelitian ... 4.3. Obyek Penelitian ... 4.4. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penilaian
Masyarakat Terhadap RTH Kota ... 4.5. Data Penelitian ... 4.6. Metode Pengambilan Contoh ... 4.7. Teknik Analisis Data ... 4.8. Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan dan Pengelolaan RTH Kota ...
42 42 43 43 47 48 49 50
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota ... 5.2. Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota ...
ix
5.3. Penilaian Masyarakat terhadap RTH Kota ... 5.4. Alternatif Kebijakan Publik dalam Pembangunan dan Pengelolaan
RTH Kota Berdasarkan Penilaian Masyarakatnya ... 83 82 110
6 KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MERENCANA DAN MENGELOLA PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN RTH KOTA
6.1. Dasar Formulasi Kebijakan Publik... 6.2. Kondisi Faktual Kota ... 6.3. Konsepsi Model Integratif Pengembangan RTH Kota... 6.4. Konsepsi Model Pembangunan RTH Kota berdasarkan Preferensi
Masyarakat ... 6.5. Konsepsi Model Kebijakan Publik untuk Rencana Pengelolaan RTH Kota yang Berbasis Masyarakat ...
124 126 127
134
135
7 KESIMPULAN DAN SARAN .
7.1. Kesimpulan ... 7.2. Saran...
139 142
DAFTAR PUSTAKA ... 145
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21Jumlah dan kepadatan penduduk kota ...
Ragam sosial ekonomi penduduk kota, 1996 ...
Proyeksi penggunaan lahan di Kotamadya Bogor, 2005 ...
Sejarah perkembangan kota dan RTH kota ...
Bentuk data utama penelitian ...
Lokasi pengamatan dan besar ukuran contoh responden ...
Korelasi antara pengalaman dan persepsi responden terhadap
RTH kota ...
Pola umum pemanfaatan RTH kota ...
Korelasi antar peubah fungsi pada tiap bentuk RTH kota ...
Korelasi antar peubah bentuk RTH kota ...
Nilai koefisien peubah dua komponen utama fungsi RTH kota ...
Korelasi antar peubah fungsi dan bentuk RTH kota dengan faktor demografis utama responden...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH kawasan ...
Profil demografi tiap gerombol pada RTH kawasan ...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada RTH simpul...
Profil demografi tiap gerombol responden untuk RTH simpul ...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau jalan raya.
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau jalan raya ...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau lintas kereta
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau
lintas kereta ...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi
xi
22
23
24
25
sungai....
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi
sungai ...
Profil penilaian tiap gerombol responden pada jalur hijau tepi kota...
Profil demografi tiap gerombol responden untuk jalur hijau tepi kota ...
Jumlah gerombol responden penilai bentuk RTH kota... 111
112
113
113
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22Kerangka dan alur pikir penelitian ...
Tiga model diagramatik tata ruang kota ...
Oportunitas tata ruang kota ...
Ukuran dan bentuk ruang ekologis ...
Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota ...
Skema RTH menurut Bernatzky (1978) ...
Peta wilayah administratif kota penelitian ...
Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya Bogor, 1995 ...
Diagram pengembangan pola konsentris RTH Kotamadya Bogor ...
Diagram dan pola perubahan tata ruang kota, Kota Bogor
Sebaran spatial enam bentuk utama kota Bogor ...
Contoh enam bentuk utama RTH kota Bogor ...
Contoh bentuk fungsional RTH kota ...
Salah satu bentuk RTH pada tebing dan sungai ...
Jenis RTH kota penciri suasana Tropisch Indies yang perlu dilestarikan guna mendukung kualitas lingkungan dan kesejarahan kota ...
Contoh model penutupan lahan tepi sungai di kota penelitian ...
Contoh perubahan fungsi RTH dalam kota penelitian ...
Fungsi RTH untuk kenyamanan penduduk kota ...
Ketersediaan public parks per penduduk pada beberapa kota
Sumber: Tim IPB (1993) dan Morooka (1993) ...
Beberapa jenis pohon besar yang masih tumbuh dengan baik ...
Profil responden penelitian (n=205) ...
xiii 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Frekuensi tingkat pengalaman responden terhadap RTH kota ...
Frekuensi tingkat persepsi masyarakat terhadap RTH ...
Frekuensi preferensi masyarakat terhadap RTH ...
Contoh preferensi bentuk RTH yang diinginkan masyarakat kota ...
Contoh pemanfaatan RTH sebagai lahan usaha ...
Alternatif untuk pengembangan fungsi ekonomi jasa RTH ...
Contoh bentuk fungsional RTH ...
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH kawasan...
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH simpul...
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau jalan raya
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau lintas kereta...
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau tepi sungai
Posisi relatif antar gerombol responden pada RTH jalur hijau tepi kota....
Hubungan pendidikan, pengetahuan lingkungan dan gender terhadap nilai RTH...
Formulasi dan elemen pengelolaan RTH di wilayah perkotaan...
Contoh RTH sebagai elemen pembentuk lingkungan kota yang
(a) nyaman, (b) aman, (c) indah, dan (d) berbudaya...
Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi biofisik...
Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi arsitektur...
Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi sosial...
Model perencanaan RTH kota dengan pertimbangan fungsi ekonomi...
Model perencanaan integratif RTH kota...
Konsepsi model perencanaan RTH kota berbasis preferensi masyarakat
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4
5 6
7
8
Struktur Administrasi Kota ...
Kuisioner Penelitian ...
Data RTH Kotamadya Bogor...
Nilai Eigen ...
Dendrogram tiap bentuk RTH kota ...
Jarak Antar Gerombol pada Tiap Bentuk RTH Kota ...
Median Nilai RTH Kota Berdasarkan Rincian Faktor Demografis Utama Responden pada Tiap Bentuk RTH (n=205)...
Korelasi antara nilai RTH berdasarkan Tipe, Persepsi dan Pengalaman Lingkungan Responden ...
155
156
157
159
160
162
164
1.1. Latar Belakang
Kota merupakan pusat kegiatan hidup manusia yang relatif dinamis dalam
aspek ekonomi, sosial budaya, pelayanan, serta pengembangan. Pertambahan
kota-kota baru dan perkembangan kota-kota lama secara fisik sudah sulit untuk dapat dibendung mengingat kepentingannya; dan perkembangan ini juga sejalan
dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan peradaban manusia. Perubahan
orientasi pembangunan suatu negara dari sektor pertanian menuju ke sektor
per-industrian merupakan pemacu utama dari perkembangan dan pembangunan dari kota-kota tersebut (Inoguchi, Newman, dan Paoletto 1999).
Kota-kota di Indonesia, seperti juga kota-kota di negara berkembang
lain-nya, telah membangun serta melengkapi berbagai fasilitas ekonomi dan sosial
untuk mendukung berbagai kegiatan perkotaan yang ingin cepat dan efisien. Hal
ini terutama untuk mendukung kenyamanan, kreativitas dan idealisme penduduk-nya (Anwar 1994, Inoguchi et al. 1999). Dorongan untuk dibangunnya berbagai
fasilitas pendukung perkotaan terutama karena terjadi pertumbuhan penduduk
yang tinggi di wilayah kota yang selanjutnya ditambah dengan adanya migrasi
penduduk dari wilayah perdesaan karena terjadinya aglomerasi ekonomi yang memberikan stimulan akan pendapatan dan amenities yang cenderung lebih
tinggi di perkotaan (Anwar 1994).
Secara fisik, pembangunan dan pengembangan kota-kota baru ini bersifat
horizontal yang umumnya memanfaatkan lahan-lahan yang alami (seperti hutan, padang rumput) dan lahan-lahan terbuka lainnya (seperti lapangan olah raga,
persawahan, rawa, dan situ). Bila diketahui bahwa lahan perkotaan umumnya
konstan dan terbatas, maka perubahan tata guna lahan ini telah menyebabkan
terjadinya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan dalam wilayah kota yang selanjutnya akan/dapat menurunkan kualitasnya (Inoguchi et al.1999;
Moran, Morgan, dan Wiersma 1980; Schmid 1979). Terjadinya perubahan pada
konfigurasi alami lahan kota yang menyebabkan menurunnya scenic amenity dan
terganggunya alur hidroorologis, berkurangnya kenyamanan akibat peningkatan suhu kota dan pencemaran lingkungan, serta berkurangnya elemen tanaman
(sebagai sumber oksigen alami, biofilter, dan elemen estetik kota; banjir, erosi
.
meningkatkan kenyamanan dan efisiensi masyarakatnya, seperti alat transportasi
dan berbagai produk industri, juga telah menambah beban kedalam lingkungan seperti bertambahnya bahan pencemar udara. Berbagai dampak negatif dari
per-ubahan penggunaan dan konfigurasi lahan, serta penambahan sarana kota yang
tidak memperhatikan kondisi dan daya dukung lingkungan, telah menimbulkan biaya-biaya privat dan sosial yang tinggi (Anwar 1994; Inoguchi et al. 1999).
Salah satu upaya yang berdampak positif untuk mengurangi sisi negatif
dari berbagai pembangunan dan pengembangan fisik kawasan perkotaan ini
dilakukan melalui perencanaan lingkungan (Arnold 1980; Grey dan Deneke 1978;
Simonds 1995), melalui pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH). RTH kota, menurut Inmendagri No. 14 Tahun 1988, adalah bagian dari lahan terbuka dalam
wilayah kota yang didominasi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alami
maupun yang dibudidayakan, serta memiliki manfaat lingkungan yang tinggi.
Walaupun telah diketahui manfaat positif dari RTH di suatu wilayah per-kotaan tetapi keberadaan dan kelestarian RTH ini senantiasa dihadapkan pada
kepentingan pengembangan ekonomi perkotaan. Alih bentuk dan alih fungsi RTH
menjadi man made landscape (seperti kawasan permukiman dan pertokoan, jalur
transportasi) merupakan contoh yang sering terjadi pada banyak kota. Menurut More et al. (1988) terabaikannya RTH di perkotaan terutama disebabkan oleh
ketidak mampuan perencana dalam mengartikulasikan nilai yang terkandung
pada RTH yang umumnya tidak mempunyai nilai pasar bila dibandingkan dengan
dengan nilai penggunaan lahannya untuk suatu kegiatan ekonomi yang sangat jelas dan langsung dapat dinikmati nilai pasarnya. Oleh karena itu, RTH dan
taman-taman kota, umumnya, hanya dipandang sebagai sarana pelengkap
keindahan pembangunan atau perkotaan.
Selain pertimbangan ekonomi, diketahui juga bahwa persepsi, keinginan,
dan penilaian serta apresiasi masyarakat kota terhadap sarana publik, dalam kasus ini adalah RTH, akan mempengaruhi keberadaan dan kelestarian RTH
kota (Atmanto 1995; Grey dan Deneke 1978; Nasution 1995, Schmid 1979). Menurut Aoshima (1999), government failures juga diketahui sebagai salah satu
penyebab permasalahan lingkungan di perkotaan, termasuk dengan RTH ini.
Manfaat RTH, yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kotanya,
merupakan suatu keharusan karena, secara langsung dan tidak langsung,
pem-bangunan dan keberadaan RTH kota akan mempengaruhi kehidupan dan
masya-.
rakat perlu untuk ikut berpartisipasi dalam proses dan penentuan arah serta
prioritas pembangunan RTH yang dilakukan dalam wilayahnya; dimana, menurut Fear (1990), partisipasi ini diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan
melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh
mereka. Pemerintah kota merupakan pengelola ketersediaan RTH dalam wilayah
nya sesuai dengan keinginan masyarakat kota tersebut serta juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota.
Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian di Kotamadya Bogor dimana
kota ini memiliki kekhasan arsitektur alami dari keberadaan RTHnya. Disamping
itu Bogor juga memiliki posisi yang strategis dan mudah dijangkau dari kota-kota besar disekitarnya dan dikenal sebagai Dormitory town (kota permukiman) telah
menarik minat banyak orang untuk berkunjung dan bertempat tinggal disini.
Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi
masya-rakat terjadi juga proses konversi lahan RTH ke penggunaan lain.
Bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan baik, selanjutnya, dapat
me-nurunkan kualitas lingkungan kota Bogor termasuk citranya sebagai “Kota dalam
Taman”, selanjutnya juga akan berdampak terhadap penurunan kesejahteraan
warga dan kotanya antara lain karena berkurangnya kenyamanan (antara lain tingginya suhu, udara yang tercemar, kebisingan), menimbulkan longsor dan
erosi pada tebing-tebing sungai, banjir akibat hilangnya vegetasi di jalur riparian,
hilangnya nilai keindahan lanskap atau bentang alam dari suatu bagian kota.
Dengan semakin menurunnya jumlah dan kualitas RTH karena tuntutan pem-bangunan sosial dan ekonomi pada areal kota Bogor yang terbatas ini,
meng-hendaki dilakukannya suatu penelitian yang dapat mengelola sarana kota yang
bernilai lingkungan tinggi ini. Salah satu bentuk penelitian pendukung kelestarian
RTH kota ini yaitu penelitian yang mengakomodasikan keinginan masyarakat
dalam penentuan RTH sebagai salah satu bentuk sarana kota yang terbaik bagi kehidupannya dan wilayah kotanya.
Penelitian ini merupakan satu kegiatan penelitian yang dilakukan untuk
menganalisis dan mengetahui nilai lingkungan RTH kota ditinjau dari sudut pandang masyarakat penggunanya (berbasis masyarakat), dengan
mengguna-kan peubah-peubah yang umum dilakumengguna-kan oleh perencana dalam merencanamengguna-kan
penataan ruang-ruang terbuka kota (urban open spaces). Analisis nilai RTH di
perkotaan ini menjadi keharusan dan prasyarat pengelolaan RTH untuk
.
ini bagi masyarakat kota, maka keputusan-keputusan publik untuk menentukan
bentuk-bentuk pengelolaan lingkungan alami kota serta pembangunan wilayah perkotaan yang berkelanjutan lebih mudah untuk diartikulasikan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap keberadaan dan manfaat lingkungan yang diberikan RTH yang berada dalam
kotanya guna mendukung kenyamanan, keindahan serta kesejahteraannya; dan
selanjutnya dapat mendukung kelestariannya.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
(a) Menganalisis dan mengklasifikasikan ragam bentuk fisik dan fungsi RTH
kota,
(b) Menganalisis pola penggunaan, persepsi dan preferensi masyarakat
terhadap RTH kota,
(c) Menganalisis penilaian masyarakat terhadap keberadaan dan bentuk
RTH kota berdasarkan manfaat dari 4 (empat) fungsi lingkungan utama
yaitu fungsi-fungsi biofisik, arsitektural, sosial dan ekonomi.
(d) Mengembangkan alternatif kebijakan publik untuk mengelola ketersedia-an kelestariketersedia-an RTH untuk mendukung terwujudnya sistem pembketersedia-angunketersedia-an
kota yang berkelanjutan.
1.3. Kerangka Pemikiran
Kota merupakan suatu lingkungan kehidupan manusia yang seharusnya
dapat menjamin kreativitas dan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuninya.
Karena itu maka wilayah kota harus merupakan suatu ruang kehidupan yang
habitable dan comfortable bagi masyarakat penghuninya, seperti dinyatakan oleh
Mega (1999) bahwa dalam program pembangunan suatu kota di abad 21 maka
urban regeneration is not about places but about people.
Untuk mendapatkan wilayah perkotaan seperti yang diinginkan, selain
prasyarat secara fisik bagi ruang-ruang kota yang terstruktur dan tertata baik, maka keinginan warga kota terhadap ruang kota harus juga dipenuhi termasuk
ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH)nya. RTH, selain berfungsi untuk
mengendalikan dan memperbaiki kualitas lingkungan, terutama untuk
mengenda-likan dampak negatif dari proses pembangunan dan perkembangan kota, juga
.
keseluruhan, keberadaan RTH dalam suatu kota dapat memberikan tingkat
kenyamanan, kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi warga kotanya. Gambar 1 memperlihatkan kerangka dan alur pikir yang dikembangkan
pada penelitian ini. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian dari lahan
terbuka bervegetasi atau lahan-lahan alami satu wilayah perkotaan yang dapat
mengendalikan dampak negatif dari pembangunan dan perkembangan fisik kota melalui fungsi-fungsinya. Fungsi biofisik merupakan fungsi lingkungan utama,
dikenal sebagai pembentuk environmental architecture, yaitu suatu bentukan fisik
yang terjadi secara alami. Fungsi tambahan merupakan fungsi yang diberikan oleh manusia yang ingin meningkatkan daya-guna RTH ini (human architecture)
dalam suatu wilayah perkotaan (Lyle 1980), meliputi fungsi ekonomi, fungsi
arsitektural, fungsi sosial. Empat fungsi yang dimiliki oleh RTH kota ini secara
bersama membentuk fungsi lingkungan yang bermanfaat dalam mengendalikan
serta meningkatkan kualitas lingkungan wilayah perkotaan. Dalam kaitan RTH sebagai elemen pembentuk ruang-ruang arsitektural alami dalam kota, maka
fungsi lingkungan ini juga akan dikaitkan dengan berbagai bentuk fungsionalnya
yang umum terdapat didalam suatu kota (mengelompok, jalur).
Masyarakat yang hidup di wilayah perkotaan, yang memiliki keragaman karakteristik sosial ekonomi dan sosial budaya, merupakan pengguna RTH, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan sebagai konsekuensinya maka
RTH, melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, haruslah memberikan manfaat bagi
kehidupan mereka. Besarnya nilai manfaat lingkungan yang akan didapatkan masyarakat kota, tidak hanya menjamin kenyamanan, kesehatan, dan
kesejahte-raannya, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid 1979).
Khusus untuk Kotamadya Bogor yang memiliki lanskap kota yang nyaman,
indah dan rekreatif, tetapi kota ini juga rawan akan bahaya lingkungan (erosi,
longsor, dan pencemaran). Untuk mengendalikannya maka kelestarian RTH dalam wilayah kota Bogor yang terbatas ini akan menjadi hal yang penting.
Arahan pembangunan kota menjadi dormitory town menyebabkan perlu
dilaku-kan penelitian untuk menilai RTH ini sehingga keberadaannya di dalam kota dapat dipertahankan/dilestarikan dan didayagunakan dengan produk kualitas
yang tinggi. Keragaman dari bentuk dan fungsi RTH, serta meningkatnya
inten-sitas pembangunan kota menjadikan kota Bogor sebagai satu kota kasus untuk
diteliti. Hasil yang akan didapatkan, diharapkan juga dapat memberikan panduan
Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian WILAYAH PERKOTAAN
LAHAN KOTA
STRUKTUR LAHAN TERBUKA
TANPA VEGETASI BERVEGETASI (RTH)
MASYARAKAT
DEMOGRAFIS PENGALAMAN PERSEPSI PREFERENSI
PENDEKATAN PENATAAN RUANG KOTA
FUNGSI RTH
UTAMA TAMBAHAN
Environmental architecture Human architecture
FUNGSI FUNGSI FUNGSI FUNGSI BIOFISIK EKONOMI ARSITEKTURAL SOSIAL
KETERANGAN :
Bagian yang diteliti Alur penelitian BENTUK RTH
(MENGELOMPOK, JALUR)
KEBIJAKAN PUBLIK
PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN RTH KOTA
SISTEM PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN NILAI LINGKUNGAN
RTH KOTA
PENDEKATAN KEINGINAN MASYARAKAT
KELUARAN
6
TUJUAN
Penilaian terhadap RTH kota ini akan dihubungkan dengan 4 (empat)
fungsi yang dimiliki oleh sumberdaya ini dan jasa lingkungan yang dihasilkannya. Keempat fungsi ini, juga, merupakan fungsi yang dianjurkan untuk dikembangkan
oleh para perencana dan perancang dalam melakukan penataan ruang-ruang
terbuka kota dan ruang terbuka hijau kota. Empat fungsi RTH kota ini terdiri dari
fungsi-fungsi untuk pelestarian dan kemantapan fisik dan ekologis kawasan (dinyatakan sebagai fungsi biofisik); kesejahteraan ekonomi warga kota
(dinyata-kan sebagai fungsi ekonomi); keindahan, keteraturan, dan kenyamanan
ruang-ruang kota (dinyatakan sebagai fungsi arsitektural); serta kepuasan rekreatif dan
sosial, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat (dinyatakan sebagai fungsi sosial).
1.4. Perumusan Masalah
Wilayah perkotaan, yang merupakan satu bentuk wilayah binaan untuk kehidupan manusia, seharusnya dapat menjamin idealisme, kreativitas dan
kesejahteraan yang tinggi bagi penghuninya. Guna mendapatkan bentuk wilayah
seperti yang diinginkan, selain faktor fisik atau bentang alam kota, maka faktor
manusia atau masyarakat yang mendiaminya harus merupakan salah satu faktor yang juga menentukan ketersediaan fasilitas atau sarana kota. kota, termasuk
sarana kota berbentuk ruang terbuka hijau (RTH) kota. RTH, selain berfungsi
untuk mengendalikan dampak negatif dari proses pembangunan dan
perkem-bangan kota, juga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan.
Dalam menentukan ketersediaan dan kelestarian RTH sehingga semua
fungsi dan manfaat yang dihasilkannya dapat berdampak positif bagi kehidupan
wilayah perkotaan dan bagi penurunan biaya-biaya kota, maka partisipasi dan
kepedulian masyarakat kota terhadap sarana kota ini harus cukup tinggi Par-tisipasi masyarakat terhadap pembangunan RTH akan tinggi bila mereka
mera-sakan fungsi dan manfaat keberadaan RTH tersebut di lingkungan
kehidup-annya, Semakin tinggi tingkat kebutuhan mereka terhadap fungsi dan manfaat RTH maka akan semakin tinggi penghargaan atau penilaian mereka terhadap
ketersediaan RTH ini.
Walaupun hubungan manusia (users) dan bentang alam perkotaan sudah
banyak diteliti tetapi spesifik terhadap kebutuhan dan penilaian masyarakat suatu
kota, secara fisik, visual (estetik), dan sosial belum pernah dilakukan terutama pada kota-kota di Indonesia yang beralam tropis dan umumnya rapuh (fragile)
secara lingkungan. Sehingga diperlukan pemahaman terhadap struktur
hubung-an hubung-antara pengguna atau masyarakat kota denghubung-an RTH sebagai sarhubung-ana
wilayah-nya.yang utama.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat dalam upaya
(a) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan dan
RTH kota, karena partisipasi diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik olehnya.
(b) Meningkatkan ketersediaan dan kelestarian RTH kota karena
ketersedia-annya sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota itu sendiri yang
secara langsung/tak langsung akan mempengaruhi kehidupan dan kese-jahteraan serta kreativitasnya, dan juga keindahan dan kealamian kota
(c) Meningkatkan intensitas pembangunan dan regenerasi wilayah perkotaan
terutama dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungannya
wilayah melalui keikut sertaan masyarakatnya
(d) Mengurangi biaya-biaya privat dan sosial yang harus dikeluarkan oleh
kota dan masyarakat yang disebabkan oleh semakin memburuknya
kua-litas lingkungan kota yang berdampak terhadap ketidak nyamanan dan
tidak sehatnya kota.
(e) Mengembangkan alternatif kebijakan publik yang terkait dengan program
pelestarian RTH kota, terutama untuk mendapatkan panduan suatu
ben-tuk pembangunan berkelanjutan wilayah perkotaan, melalui konsep
ma-syarakat peduli lingkungan (eco-society concept).
1.6. Hasil Baru Penelitian
Penelitian ini akan dapat
(a) Menjelaskan arah, bentuk, dan model penilaian masyarakat, berdasarkan keinginan dan harapan ragam masyarakat terhadap ragam RTH kota
(b) Menjelaskan bentuk dan fungsi RTH yang diinginkan oleh masyarakat
dan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam menilai RTH,
yang merupakan salah satu bentuk sarana kota utama dalam perbaikan
mening-katkan kesehatan dan kenyamanan kota dan masyarakatnya serta
ber-manfaat dalam menurunkan biaya-biaya privat dan sosial yang harus dikeluarkan oleh mereka.
1.7. Terminologi
Untuk kepentingan penelitian, istilah-istilah dijelaskan sebagai berikut:
Ruang
♣ Wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu
kesatu-an wilayah, tempat mkesatu-anusia dkesatu-an makhluk lainnya hidup dkesatu-an melakukkesatu-an
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (UU No.24 tahun 1992).
Wilayah
♣ Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
adminis-tratif dan/ atau aspek fungsional (UU No.24 Tahun 1992).
Wilayah perkotaan
♣ Suatu pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas
administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman
yang telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan (Inmendagri No.14 Tahun 1988), yang juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban
setempat karena kota merupakan juga pusat dari kebudayaan dimana
materi-materi peradaban berkembang (Potter 1965).
♣ Suatu bentukan transformasi dari wild nature, berdasarkan proses alam dan
kultural, guna melayani kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993).
Kota bukan hanya suatu artifak teknologi atau seni, tetapi merupakan satu
tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup
dalam-nya berfikir, bekerja, bermimpi dan mempudalam-nyai perasaan. Dalam merancang
kota harus didasari oleh proses yang normal dari alam dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi, perasaan, dan makna kota.
Lahan atau Ruang Terbangun
♣ Bagian lahan kota yang ditutupi atau tertutup oleh bangunan atau struktur tertutup lainnya yang bersifat permanen (lahan pertokoan dan perumahan).
Lahan atau Ruang Terbuka
♣ Bagian dari lahan kota, baik yang alami maupun binaan (man made), yang
tidak tertutup oleh bangunan atau struktur beratap permanen seperti sungai,
Lahan bervegetasi atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota
♣ Bagian dari lahan terbuka kota yang ditumbuhi oleh tanaman atau tumbuhan, secara alami atau budidaya, untuk berbagai kepentingan lingkungan
per-kotaan, seperti hutan kota, jalur hijau, pekarangan, lahan pertanian.
Lingkungan
♣ Suatu ruang yang mengandung makhluk hidup (biotis) dan benda mati
(abiotis) serta tatanan (sistem) interaksinya secara menyeluruh (holistik)1).
Tatanan yang terbentuk oleh interaksi antara makhluk hidup dengan
ling-kungan hidupnya dalam ruang ini disebut ekosistem.
Nilai dan manfaat lingkungan RTH wilayah perkotaan
♣ Fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh suatu bentuk RTH, secara langsung
dan tidak langsung, untuk perbaikan keadaan lingkungan kehidupan
perkota-an, karena keberadaan tanaman secara fisik dan/ataupun jasa lingkungan
yang dihasilkannya.
Fungsi ekonomi RTH wilayah perkotaan
♣ Fungsi dan manfaat RTH yang secara langsung dapat diperhitungkan
de-ngan nilai ekonomi pasar (Rp.) seperti nilai jual dari tanaman atau
bagian-bagian tanaman (kayu, bunga, dan daun), dan juga yang dapat digunakan untuk tempat berusaha bagi warga kota.
Fungsi biofisik RTH wilayah perkotaan
♣ Fungsi dan manfaat RTH yang mencakup fungsi ekologis dan perlindungan
fisik terutama karena adanya hubungan timbal-balik antara RTH dan/atau keberadaan RTH dengan lingkungan sekitarnya (Contoh: habitat burung,
konservasi air dan tanah; untuk pengendalian pencemaran).
Fungsi arsitektural RTH wilayah perkotaan
♣ Fungsi dan manfaat arsitektural yang dihasilkan RTH, terutama yang terkait dengan pengertian habitability, comfortability dan estetika, terhadap warga
dan estetika lingkungan kota. Contohnya adalah bentuk atau struktur RTH
yang efisien, mudah dikenal, identitas kawasan), indah; serta kenyamanan .
Fungsi sosial RTH wilayah perkotaan
♣ Fungsi dan manfaat RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk
pening-katan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan. Contohnya adalah RTH
se-bagai suatu tempat peningkatan pengetahuan dan kesehatan, bersosial-isasi,
dan berekreasi, dan bertemunya anggota dari suatu komuniti.
1
Bentuk RTH mengelompok
♣ Bentuk spasial utama RTH yang secara fisik berbentuk non-linear, kompak,
zonal atau areal, yang dibagi dengan: (a) Kawasan yaitu bentuk yang relatif
luas (> 1 ha), seperti lapangan bola, alun-alun kota, kebun raya, (b) Simpul
yaitu bentuk mengelompok yang relatif sempit (< 1 ha), seperti taman-taman kota, traffic islands, dan pocket park
Bentuk RTH jalur
♣ Bentuk spasial utama RTH yaitu berbentuk koridor, linear, memanjang.
Bentuk RTH jalur ini dibagi menjadi empat berdasarkan peruntukan dan
fungsi dari tiap peruntukkannya dalam kota, yaitu (a) Jalur hijau jalan raya, (b) Jalur hijau lintas kereta, (c) Jalur hijau tepi sungai, (d) jalur hijau tepi kota
Pengguna RTH kota
♣ Setiap penduduk atau warga masyarakat dengan beragam status sosial
ekonomi yang bertempat tinggal di suatu kota, yang menggunakan dan/atau merasakan manfaat keberadaan RTH secara langsung dan tidak langsung.
RTH milik publik
€
RTH yang dimiliki dan dikelola oleh dan untuk kepentingan publik dan pening-katan kualitas lingkungan kotaRTH milik privat
€
RTH yang bukan dimiliki dan tidak dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor .Kota berwawasan lingkungan
♣ Kota yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam pembangunan dan
pengelolaan wilayah perkotaannya.
Kota berkelanjutan
♣ Suatu sistem perkotaan yang memperhatikan kelestariannya, melalui
pertim-bangan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi wilayah perkotaan.
Masyarakat peduli lingkungan (Eco society)
masyarakat yang peduli terhadap berbagai anugerah alam; satu bentuk
ma-syarakat yang menahan nafsunya terhadap konsumsi yang berlebihan dan berusaha menggunakan sumberdaya seefisien mungkin, serta
meminimum-kan beban lingkungan. Sasaran adalah kehidupan dan kegiatan manusia
yang seirama dengan kondisi lingkungan dan juga memprioritaskan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota
2.1.1. Pengertian
Kota, dalam Inmendagri No.14 tahun 1988, didefinisikan sebagai suatu
pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah
administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang
telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan. Perkotaan dinyatakan sebagai suatu kumpulan pusat-pusat permukiman yang berperan didalam suatu wilayah
pengembangan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, suatu bentuk ciri atau
watak kehidupan kota.
Kota, secara fisik, merupakan pemukiman terpusat dengan rumah-rumah mengelompok yang penduduknya bukan bermata pencaharian dalam bidang
pertanian, dilengkapi adanya prasarana perkotaan seperti rumah sakit, sekolah,
pasar, taman, dan sebagainya (Jayadinata 1986). Hal yang khas dari suatu kota
yaitu mandiri yang berarti penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal disana tetapi mencari nafkah dan berekreasi juga dilakukan di dalam kota. Menurut
Catanese (1992), kota merupakan salah satu model lingkungan yang bersifat
ekologis dengan pengertian bahwa kota mencerminkan suatu adaptasi yang
sangat rumit yaitu upaya organismanya untuk beradaptasi terhadap suatu bentuk
lingkungan. Sepuluh kriteria untuk merumuskan sebuah kota (Catanese 1992), yaitu: (1) berukuran dan berpenduduk besar di masa dan tempat itu, (2) bersifat
permanen, (3) memiliki kepadatan yang tinggi, (4) memiliki struktur dan pola
dasar seperti jalan dan ruang kota, (5) merupakan suatu tempat masyarakat tinggal dan bekerja, (6) memiliki sejumlah fungsi kota, (7) adanya heterogenitas
dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat, (8) merupakan pusat
ekonomi pada waktu dan tempat itu yang mengakomodasi daerah pertanian di
pinggiran kota dan melakukan pengolahannya untuk pemasaran yang lebih luas,
(9) merupakan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, dan (10) merupakan pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada waktu dan
tempat itu.
Kota, menurut Simonds (1983) adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola kepentingan
hidupnya. Karena itu, faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan,
perkotaan juga berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota. Areal pada suatu
kota, dinyatakannya, sebagai sesuatu yang sangat utama karena nilainya dan karena itu tiap rencana yang dibuat haruslah efisien secara ekonomi maupun
visual. Kota, menurut Potter (1965) juga merupakan cerminan kebudayaan dan
peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat kebudayaan dimana
materi-materi suatu peradaban berkembang.
Kota sebetulnya suatu bentukan transformasi, berdasarkan proses alam
dan budaya, yaitu dari bentukan wild nature dan yang diubah untuk melayani
kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993). Kota bukan hanya suatu artifak
teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup didalamnya berfikir, bekerja, bermimpi dan
mem-punyai perasaan. Karena itu, perancangan kota harus didasari oleh proses alam
yang normal dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi,
perasaan, dan makna kota itu.
2.1.2. Sejarah Perkembangan Kota
Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang
pan-jang dan kompleks. Semua kota, umumnya, dibangun dengan suatu bentuk perencanaan berdasarkan kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan
dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek
ke-ragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak dan rancang bangunnya (Tim IPB 1993).
Berdasarkan sejarah perkembangan peradaban, tata permukiman dan kota yang sangat sederhana di mulai dari kehidupan komunal dalam gua atau diatas
pohon yang dilanjutkan dengan pola pemukiman komunal yang menetap dengan
model ladang berpindah atau permukiman yang bersifat nomadik (Rapoport
1969). Sekitar 4 000 tahun yang lalu, manusia diperkirakan telah menerapkan
sistem bercocok tanam dengan irigasi alami, yang dinyatakan sebagai permulaan dari pembentukan permukiman yang tetap. Dalam kurun waktu ini, persyaratan
terjadinya suatu revolusi sistem perkotaan akhirnya dipenuhi yang ditandai
dengan terjadinya surplus persediaan pangan, ditemukannya kenderaan seder-hana serta cara mengolah logam untuk pembuatan peralatan yang dibutuhkan
dalam kehidupan ekonomi masyarakat (Anwar 1994; Rapoport 1969). Menurut
Jayadinata (1986), kota-kota pertama mulai berkembang di areal-areal yang
subur di Afrika dan Asia Barat Daya yaitu Aphroditopolis dan Hierakonpolis di
Kota pada dasarnya berfungsi untuk memberikan pelayanan berbagai jasa,
yaitu sebagai lokasi untuk menempatkan fasilitas pergudangan, aktivitas per-dagangan, industri dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini yaitu pentingnya lokasi
untuk pertumbuhan suatu kota. Menurut Potter (1965), pada awalnya pangan,
air, transportasi, serta proteksi merupakan penentu dari lokasi suatu kota.
Sepanjang sejarahnya dijumpai juga kota-kota yang bertumbuh disekitar pusat pasar (downtown), yang terpusat karena faktor dan sarana religi, morfologi dan
amenity (Anwar 1994 dan Jayadinata 1986). Kecenderungan munculnya
bebe-rapa negara, yang dimulai pada tahun 1400, telah mendorong terjadinya
pem-bukaan kota yang menjadi pusat pemerintahan. Pembangunan ibukota negara dilakukan dengan dirancang dan dilengkapi dengan berbagai prasarana kota
yang diperlukan dalam rangka memperluas tugas dan kewajiban pemerintah
serta menjaga wibawa aparatnya.
Adanya spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dimilikinya, terutama aspek ekonomi, telah
meng-ubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota. Kota-kota ini
selanjutnya dirancang dan dibangun dalam upaya mencapai tujuan tertentu
seperti untuk kepentingan industri (Bekasi), wisata (Ubud), perdagangan (New York), pengembangan iptek (Tsukuba), pendidikan (Yogyakarta) dan lainnya.
Spesialisasi pembangunan kota-kota modern saat ini, dilakukan terutama untuk
mencapai efisiensi perkotaan yang tinggi, identitas kota, serta city image (Lynch
1995, Tim IPB 1993).
Gerakan memasukkan unsur-unsur alami yang relatif lebih banyak dan
fungsional serta yang berorientasi kepentingan seluruh warga kota dalam suatu
kawasan kota awalnya dimulai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
keindahan dan kenyamanan kota, namun saat ini juga untuk meningkatkan
kapasitas lingkungan. Menggunakan teknik irigasi untuk menghijaukan bagian dari kawasan kota (The Hanging Garden of Babylon) di kawasan padang pasir
yang terik merupakan awal perkembangannya, yang dilanjutkan dengan
muncul-nya konsep utopia tentang pembentukan kota yang ideal menurut Thomas More pada tahun 1516. Konsep kota ideal ini timbul karena terjadinya pertambahan
fasilitas fisik bagi para warga kota baru yang bermigrasi karena terjadinya
perubahan pola ekonomi yang awalnya berbasiskan sektor pertanian ke ekonomi
industri yang telah berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan (Potter
Kota-kota pertama yang dibangun untuk mengatasi degradasi lingkungan
ini yaitu di Inggris. Negara ini, menurut Jayadinata (1986) dan Crowe (1981), merupakan negara yang penduduknya menyukai kehidupan yang dekat dengan
suasana pedesaan sehingga perbaikan lingkungan berjalan dengan baik. Ada
tiga tahap perkembangan rencana perbaikan lingkungan kota-kota Inggris yaitu tahap pertama adalah melalui terbentuknya garden village, tahap kedua dengan
garden city (seperti Lechworth yaitu Kota Taman yang direncana oleh Ebenezer
Howard), dan tahap ketiga dengan kota berciri pedesaan (Jayadinata 1986).
Selanjutnya kota-kota berkonsep sama juga dibangun di Amerika Serikat
(Green-dale, Radburn), di Australia (Canberra), Singapore dan di Indonesia (Bogor).
City beautiful movement merupakan suatu gerakan di Amerika Serikat
pada tahun 1893, yang merupakan cikal bakal dari perbaikan komunitas dan
rencana kota. Perbaikan kota-kota tersebut juga didukung oleh para desainer
taman/lanskap seperti F.L.Olmsted dan para pengikutnya, dengan mengintro-duksikan taman-taman umum di tiap kota (publiccity parks). Pada awal abad 19,
sumbangan Amerika Serikat terhadap peningkatan kualitas lingkungan kota yaitu
dengan memperkenalkan city park system, yang mengakomodasikan
fungsi-fungsi kota dalam satu rangkaian pertamanan kotanya. Sistem ini telah dipakai di banyak kota, antara lain Singapore dan juga kota-kota di Eropa. Pada dekade
terakhir, pemasukan unsur-unsur alami kedalam kota, sebagai bagian dari unsur
pembentuk kota telah merupakan suatu gerakan yang didukung pemerintah kota
terutama yang terkait dengan fungsi alami yang dimilikinya.
Tetapi konsep ini tidak begitu berkembang terutama karena dinamika
keadaan ekonomi suatu wilayah. Pada akhir abad 20, perkembangan kota
cen-derung merusak lingkungan terutama sumberdaya lahan akibat keterbatasan
suplainya. Walaupun pada tahun 1970an timbul gagasan untuk menggunakan
konsep konservasi dalam perencanaan penggunaan lahan dalam suatu kota untuk mempertinggi kualitas dan kapasitas lingkungannya, tetapi menurut Hahn
dan Simonis (1991), kota tetap memberikan gambaran yang kurang memberi
tempat untuk sesuatu yang sifatnya organik, tradisi kultural bahkan sering terjadi perusakan terhadap identitas suatu tempat. Perkembangan simbiotik terhadap
human-environment relationship kurang terlihat dalam ruang-ruang kota saat ini
yang antara lain dapat diketahui dari semakin berkurangnya ruang-ruang publik
dan ruang yang berkesan ramah (Hahn dan Simonis 1991, Mc Harg 1992,
2.1.3. Ruang dan Penataannya Dalam Wilayah Perkotaan
Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun lainnya. Pada
awal perencanaan, penataan ruang kota di Inggris terkait dengan usaha untuk
memecahkan berbagai permasalahan sosial (seperti kemiskinan, buruknya
kese-hatan, pengangguran, tempat tinggal yang kurang layak) dengan menata kembali ruang-ruang kota (Jayadinata 1986). Pelopornya adalah R. Owen, Cadburry, E.
Howard dan Geddes. Tetapi saat ini, penataan ruang kota terkait dengan
berbagai permasalahan utama perkotaan yang akan dipecahkan untuk mencapai
tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan warganya dan keberlanjutan dari lingkungan dan kawasan perkotaan (Anwar 1994).
Ruang-ruang kota yang ditata secara terkait dan berkesinambungan ini
mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaannya. Walaupun pada
awalnya, pada tata ruang tradisional, terkait dengan permasalahan sosial budaya dan juga ketersediaan air dan pangan (Jayadinata 1986, Potter 1965, Rapoport
1969, Nurisyah 1996, Tuan 1977) tetapi perkembangan selanjutnya lebih
diten-tukan oleh faktor ekonomi (Dicken dan Lloyd 1990). Tata guna lahan, sistem
transportasi dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam pe-nentuan tata ruang kota saat ini (Anwar 1994, Dicken dan Lloyd 1991).
Walau-pun demikian, penataan ruang kota juga dilakukan dengan melihat suatu
bentu-kan lanskap sebagai unsur amenity kota seperti pada kota San Fransisco dan
Rio de Janeiro (Anwar 1994, Tuan 1977).
a. Pengertian ruang
Tergantung pada kepentingan serta tujuan pemanfaatannya, ruang
dapat didefinisikan secara berbeda dan dengan wujud (fisik dan psikis)
yang juga berbeda. Ruang umumnya terkait dengan pengalaman seseo-rang (Tuan 1977), dan secara fisik terkait dengan use volume (Simonds
1983). Ruang memiliki kualitas dan dapat mengakomodasikan
fungsi-fungsi yang diinginkan pada ruang tersebut (Simonds 1983).
Ruang, dinyatakan oleh Tuan (1977) berpreposisi antroposentris, dimana hampir semua yang terkait dengan dimensi ruang, umumnya,
ber-hubungan dengan manusia. Dinyatakannya bahwa besaran, arah, citra dan
nilai suatu ruang selalu terkait dengan pengalaman dan pengetahuan,
b. Ruang dalam pengertian ekonomi
Ruang dan keberadaannya disuatu lokasi dapat dinilai dari aspek ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan ruang sebagai barang atau
good. Ruang terbuka hijau (RTH), seperti juga taman kota, diklasifikasi
sebagai barang publik atau public good (Gold 1977, Mc Pherson 1992,
Bergstrom 1990). Ciri mendasar dari barang publik yaitu pemakaiannya oleh seseorang tidak mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, jadi tak
ada persaingan dalam mengkonsumsinya, atau opportunity cost barang
publik adalah nol (Bergstrom 1990).
Dari tinjauan ekonomi, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk menilai aspek lokasi dari suatu ruang terutama dalam wilayah perkotaan.
Ketiganya menggambarkan nilai lahan yang dimiliki tiap bagian kota
(per-dagangan, industri dan pemukiman) yang didasarkan pada locational rent
yang diturunkan dari model von Thunen (Dicken dan Lloyd 1991). Ketiga teori ini, yaitu (1) teori konsentrik dari E.W. Burgess, (2) teori sektor dari H.
Hoyt, dan (3) Multiple Nuclei Concept dari R.D. McKenzie dapat dilihat
pada Gambar 2, dan Gambar 3 memperlihatkan oportunitas tata ruang
kota. Pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa semakin besar dan semakin kompleks kegiatan suatu kota maka tata ruangnya tidak hanya terpusat
pada satu titik, dan pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai lahan di kawasan
perdagangan mempunyai nilai rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kawasan kota lainnya.
Gambar 2. Tiga model diagramatik tata ruang kota
1. High-Rent Residential 2. Intermediate-Rent
Residential 3. Low-Rent Residential 4. Education and Recreation 5. Transportation 6. Industrial 1. Central Business District
2. Wholesale, light manufacturing 3. Low-Rent Residential 4. Medium-Class
Reseidential 5. High-Class Residential 6. Heavy Manufacturing 7. Outlying Business District
Gambar 3. Oportunitas tata ruang kota
Dalam kaitannya dengan bentukan sumberdaya alam dan jasa
ling-kungan, maka amenity rent dan institutional rent serta beberapa rents dan
biaya-biaya lain yang “melekat” dengan sifat dan karakter sumberdaya ini perlu diketahui untuk kelangsungan ketersediaan suplainya (Dicken dan
Lloyd 1990).
c. Ruang dalam pengertian ekologis
Ruang yang habitable, dalam pengertian aman, nyaman, dan
memu-askan, antara berbagai mahkluk yang menghuni dengan elemen
pem-bentuk ruangnya merupakan ruang dalam pengertian ekologis (Forman
dan Godron 1986, Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977). Kehilangan atau gangguan pada elemen dan/atau unsur pembentuknya akan
menye-babkan perubahan bentuk dan ukuran ruang, secara kuantitas dan kualitas,
dapat mengubah stabilitas dan keragaman jenis yang telah dimiliki oleh
ruang atau habitat ini.
Teori mengenai island biogeography yang dikenalkani oleh Charles
Darwin merupakan salah satu teori yang dapat digunakan dalam
meng-analisis aspek keruangan secara ekologis karena ekosistem, spesies, dan
individu biota yang beranekaragam menghuni permukaan bumi dengan pola persebaran tertentu (Forman dan Godron 1986). Dari penemuannya,
diketahui bahwa (1) luas pulau, (2) derajat keterisolasian, dan (3) umur
geologis, mempengaruhi keragaman spesies di satu lokasi. Secara
diag-ramatis, bentuk ruang berdimensi ekologis dapat dilihat pada Gambar 4. 1.Center of the city
[image:34.612.162.503.86.211.2]
Gambar 4. Ukuran dan bentuk ruang ekologis (Sumber: Forman dan Godron 1986)
d. Ruang dalam pengertian arsitektural
Catanese (1992) mengemukakan bahwa dalam membuat rencana
ruang suatu kota tidak hanya memperhatikan fungsinya saja tetapi juga
keindahan yang dihasilkannya. Keindahan ruang ini dapat terjadi secara alami dan dapat juga dibuat oleh manusia (Tuan 1977). Keindahan juga
dimiliki oleh sumberdaya alam di wilayah kota (seperti bangun arsitektur
alami dari pepohonan, sungai dan lanskap), yang umumnya lebih kompleks
dan beragam dibandingkan dengan arsitektur yang dibangun manusia (Dawson, Mc Collum, dan Tatum 1997).
Rassmussen dan Tuan (1977) menyatakan bahwa arsitektur kota
se-harusnya dapat mempengaruhi perasaan warga kota melalui pandangan,
sentuhan dan juga pendengaran. Ruang yang terbentuk dari penataan
arsitektur kota ini, menurut Tuan (1977), merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi manusia yang hidup didalamnya. Dampak yang diharapkan
dari pembentukan ruang arsitektural ini yaitu terjadinya penyempurnaan
perasaan dan persepsi manusia terhadap lingkungannya, bersifat sebagai guru dan sering bermakna simbolistik, dan dapat lebih memperjelas
peranan dan hubungan sosial yang terkait dengan kondisi lingkungan.
Kesadaran estetis ini terkait dengan interaksi antara apa yang
di-rasakan, bagaimana merasakannya, dan reaksi pengguna terhadapnya.
Pengalaman estetis yang dihasilkan didasarkan pada harapan dan pada kemampuan lingkungan untuk memberikan seperangkat harapan-harapan
melalui kesadaran perasaan manusia. Diketahui ada dua arah yang
mem-pengaruhi reaksi individu terhadap pengalaman dan kepuasan yaitu kearah keteraturan dan logis, serta kearah kompleksitas dan mengagumkan.
Ukuran
Bentuk
kecil intermediate besar
Faktor yang mempengaruhi arahan ini yaitu budaya, kebutuhan pribadi dan
lingkungan sebelumnya.
Menurut Lynch (1982), kualitas visual merupakan nilai penentu ruang
dalam suatu cityscape, walaupun ukuran, waktu dan kompleksitas kota
mempengaruhinya. Kualitas visual ini diukur berdasarkan empat faktor
utamanya yaitu (1) legibilitas (kemudahan untuk dikenal), (2) dapat mem-bentuk suatu kesan tertentu, (3) memberi mem-bentuk identitas tersendiri, dan
(4) kemampuan untuk dikenang.
e. Ruang dalam pengertian sosial
Menurut Hester (1984), sosial merupakan aspek yang terkait dengan
manusia dalam kelompok atau masyarakatnya. Ruang dalam pengertian
ruang sosial didefinisikan sebagai ruang yang dapat mengakomodasikan atau yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan untuk bersosial dari
penggunanya. Ruang sosial ini terkait dengan kebudayaan dari suatu
kelompok masyarakat yang dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah, lahan pertanian dan bangun arsitektur lainnya (Rapoport 1977, Tuan 1977).
Bentuk-bentuk ruang sosial ini umumnya digunakan untuk berbagai
kegiat-an ykegiat-ang bersifat dkegiat-an untuk kepentingkegiat-an kelompok seperti bekerja,
ber-santai, pertemuan politik, proyek pendidikan, jalur lalu lintas dan lainnya
(Hester 1984, Rapoport 1977, Tuan 1977).
Environmental design, menurut Hester (1984), merupakan salah satu
bentuk produk desain yang dapat mengusahakan terjadinya perubahan
sosial pengguna lingkungan tersebut misalnya mengurangi perkelahian,
vandalism dan akibat buruk sosial lainnya. Gold (1977) menyatakan bahwa
pepohonan dalam suatu kota, dapat mendukung terhadap peningkatan
kepuasan dan kebanggaan warga kota, selain keuntungan ekonomi
lain-nya. Dengan asumsi bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat adalah
sama pentingnya dengan apa yang dilakukannya dalam suatu ruang maka dimensi manusia, aspek fisik dan aspek estetik merupakan tiga faktor
utama yang harus diperhatikan dalam mendesain ruang sosial.
Dalam kasus neighborhood space, menurut Hester (1984), ada
empat faktor yang mempengaruhi penggunaan suatu ruang, yaitu (1) kua-litas dan ukuran dari ruang, (2) social make-up yang potensial dari
peng-guna, (3) faktor psikologis yang mempengaruhi preferensi, dan (4)
1984) menyatakan bahwa terdapat keragaman dalam penggunaan fasilitas dan pelayanan pada neighborhood space ini yang ditentukan oleh
karak-teristik ekonomi dan budaya masyarakatnya, jenis dan kecukupan fasilitas,
aksesibilitas dan kecukupan dari fasilitas yang non-lokal serta derajat
keisolasian tempat ini secara ekonomis, ekologis dan simbolis.
2.2. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan
2.2.1. Pengertian, Definisi, dan Peraturan
Ruang terbuka hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open
spaces) di berbagai tempat wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan
sebagai daerah penghijauan dan berfungsi dalam mendukung kualitas
ling-kungan wilayah perkotaan. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988,
yang digunakan sebagai acuan pengelolaan RTH kota, menyatakan bahwa RTH
adalah bagian dari areal ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya.
Peruntukan lahan untuk RTH, menurut peraturan ini, adalah sebesar 40-60% dari
luasan total lahan (kota, kawasan, halaman/ pekarangan) yang dimiliki.
Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan ada empat hal utama yang harus
di-perhatikan yaitu (1) luas minimum yang diperlukan, (2) lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk RTH, (3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 5),
dan (4) distribusinya dalam kota (Tim IPB 1993).
Dalam kaitannya dengan luas minimum, perhitungan yang dilakukan untuk
mendekati nilai kebutuhan akan RTH kota atau bagian dari suatu kota yaitu
melalui (1) standar RTH kota-kota Indonesia yang ditetapkan oleh Direktorat
Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri dan Direktorat Tata Kota dan
Daerah, Departemen Pekerjaan Umum, (2) Inmendagri No.14 Tahun 1988 yaitu 40% sampai 60% dari total wilayah harus dihijaukan, (2) jumlah serta distribusi
penduduk di suatu kota (Simonds 1983), (3) suplai oksigen (Wisesa dalam
Janala, 1995), (4) kepekaan sumberdaya alam dan lingkungan (Tim IPB 1993), (5) kenyamanan suhu (Brown dan Gillespie 1995, Sulystiantara dan Tashiro
1996), (6) ketersediaan air bersih (Sutisna, Ngadiono, Sudaryanto dan Fakuara
Gambar 5. Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota (Sumber: Tim IPB 1993)
Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi
yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan
khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah 1996). Ditinjau dari tujuan pemanfaatan suatu RTH, berdasarkan ketentuan peraturan dalam Inmendagri No.14 Tahun
1988, ada tujuh tipe RTH kawasan perkotaan yaitu: (1) RTH yang berlokasi pasti
karena adanya tujuan konservasi, (2) RTH untuk keindahan kota, (3) RTH karena
adanya tuntutan dari fungsi kegiatan tertentu, seperti lingkungan sekitar pusat kegiatan olahraga yang dibiarkan hijau, (4) RTH untuk pengaturan lalu lintas, (5)
RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan, (6) RTH
untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang, dan (7) RTH untuk
halaman bangunan.
2.2.2. Fungsi dan Manfaat Lingkungan
Bernatzky (1978) menyatakan walaupun manusia sudah berada di jantung
peradaban teknologi tetapi ia tetap memiliki ikatan yang kuat terhadap alam. Kota tanpa ruang bervegetasi, dinyatakannya, akan menyebabkan ketegangan mental
bagi warganya. Menurut Crowe (1981), RTH haruslah merupakan suatu sistem
ruang untuk mendapatkan kenyamanan bagi warga kotanya; seimbang dengan
Konsentris Terdistribusi Hierarkis
berbagai fasilitas pelayanan kota lainnya. RTH kota, tidak hanya sebagai pengisi
ruang dalam kota tetapi juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan juga untuk berjalannya
fungsi kota yang sehat dan wajar. RTH merupakan bagian dari kawasan kota
yang memberikan kontribusi terutama dalam meningkatkan kualitas lingkungan
yang baik (Roslita 1997) dan dapat menjadikan kondisi ekologis kota yang lebih baik atau sesuai sehingga memudahkan adaptasi bagi manusia dan mahkluk
hidup lainnya untuk berdiam dan hidup di dalamnya. Simonds (1983)
menyata-kan bahwa RTH dapat membentuk karakter kota, memberimenyata-kan kenyamanan dan
menjaga kelangsungan hidupnya. Bentuk peran ini antara lain sebagai ruang yang sehat, keindahan visual, sumber air dalam tanah, mencegah erosi,
keindah-an dkeindah-an kehidupkeindah-an satwa, ameliorasi iklim, dkeindah-an sebagai unsur pendidikkeindah-an.
Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) menyatakan tanaman sebagai
penyusun RTH dapat juga berperan sebagai pelembut suasana keras yang dihasilkan oleh massa bangunan, menolong manusia mengatasi
tekanan-tekanan akibat kebisingan, udara panas, pencemaran disekelilingnya, serta
sebagai pembentuk kesatuan ruang. Keberadaan massa tanaman pembentuk
RTH dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi sumberdaya alam dan ling-kungan (seperti air, udara, tanah, biota dan lainnya), penyangga serta pengendali
iklim mikro kawasan kota (Stulpnagel et al. 1990), serta secara tidak langsung
dapat meningkatkan kualitas estetik kota (Inmendagri 1988; Nurisyah 1996).
Gold (1977) dan Schmid (1979) menambahkan adanya manfaat sosial dari suatu RTH, yaitu sebagai areal berekreasi dan edukasi warganya, kebanggaan kota
dan artifak sejarah.
Fungsi dan manfaat suatu RTH dalam suatu kawasan perkotaan,
ber-dasarkan Inmendagri No.14 Tahun 1988 adalah sebagai: (1) areal perlindungan
bagi berlangsungnya fungsi ekosistem dan fungsi penyangga lingkungan, (2) sa-rana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan
ling-kungan, (3) sarana rekreasi, (4) pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap
berbagai macam pencemaran di darat, laut dan udara, (5) sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran
ling-kungan, (6) tempat perlindungan plasma nutfah, (7) sumber udara segar bagi
lingkungan dan untuk memperbaiki iklim mikro terutama menurunkan suhu udara
serta penyaring kecepatan angin dan cahaya matahari, pengatur presipitasi dan
lingkungan, tempat untuk bersantai dan melakukan komunikasi sosial.
Ditambahkan oleh Schmid (1979), bahwa RTH juga berfungsi untuk (1) mening-katkan kualitas visual/estetika alami, (2) waste water disposal, (3) artifak sejarah,
dan juga (4) bernilai ekonomi.
2.2.3. Sistem RTH Kota
Eksistensi dan perencanaan dari ruang terbuka hijau (RTH) dalam suatu
kota dipelopori oleh Ebenezer Howard dengan Kota Taman (Garden City)nya
pada tahun 1946 (Lynch 1994). Konsep ini menggambarkan satu kota yang
berkesan menyatu dengan alam dan hanya diperuntukkan bagi 30 000 jiwa. Aktivitas perkotaan utama terdapat di pusat kota dan yang selanjutnya semakin
menuju ke bagian luar kota dikelilingi oleh daerah hijau yang berintensitas
se-makin tinggi. Bagian terluarnya di kelilingi oleh greenbelt yang tidak hanya
ber-fungsi sebagai pembatas kota tetapi juga areal berber-fungsi sosial. Menurut Crowe (1981), pada tahun 1800an konsep ini juga digunakan F. L. Olmstead untuk
menciptakan penataan taman-taman kota Amerika Serikat yang disebut sebagai
The Linked Park System. Dan, sejak tahun 1990an, juga diaplikasikan di Kota
Singapura dengan istilah Park Connecting System (Kong dan Eng 1992).
Struktur, bentuk dan ukuran RTH merupakan hal yang penting dalam
perencanaan suatu RTH, terutama sistem yang bekerja didalamnya (Lyle 1985).
Menurut Bernatzky (1978), struktur RTH juga harus berfungsi sebagai ventilasi
kota, dimana RTH ini harus bekerja sebagai pemasok udara segar dan bersih bagi kota. Struktur RTH ini diletakkan diantara serta mengelilingi struktur kota
yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi untuk menyegarkan dan
[image:39.612.188.455.553.657.2]menetralkan udara dalam perkotaan yang umumnya telah tercemar (Gambar 6).
Gambar 6. Skema RTH kota menurut Bernatzky (1978)
Struktur
Ruang Terbuka Hijau Udara polusi dan pemanasan
2.3. Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota
2.3.1. Lingkungan Hidup
Lingkungan adalah ruang yang mengandung makhluk hidup (biotis) dan
benda mati (abiotis) serta tatanan (sistem) interaksinya secara menyeluruh 2).
Selanjutnya dinyatakan bahwa, tatanan (sistem) yang terbentuk oleh interaksi
antara makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dalam ruang ini disebut eko-sistem. Perubahan yang terjadi pada suatu lingkungan, baik secara kuantitas
maupun kualitas, akan mempengaruhi keberlangsungan kehidupan dan
kesejah-teraan makhluk yang terdapat di dalamnya. Walaupun perubahan yang terjadi
pada lingkungan umumnya bersifat destruktif, tetapi melalui akal dan pikiran manusia maka perubahan ini dapat diarahkan kearah yang cenderung bersifat
konstruktif misalnya menjadi areal pertanian (Bidwell 1974) atau sustainable city
(Mc Phearson 1992).
Salah satu bentuk lingkungan yang diintroduksikan dan dianjurkan terdapat di wilayah perkotaan adalah Ruang terbuka hijau (RTH), karena fungsi
lingkung-an ylingkung-ang dimilikinya dapat mengendaliklingkung-an berbagai permasalahlingkung-an degradasi
lingkungan di wilayah perkotaan (Grey dan Deneke 1978, Carpenter et al. 1980).
Gold (1977) dan Schmid (1979) menambahkan adanya manfaat sosial RTH d