DKSHE Distinct Habitats and Distances from Insects Pollinators’ Communities In
Margin Forest of Gunung Halimun-Salak National Park
Reisky Maulana1, Ani Mardiastuti2, and Damayanti Buchori3 By
Pollination service is one of many services that forest can provide especially for farming near to the forest, which definitely harbors a high biodiversity of pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially for the villagers about how important their forest is for their farms.
Observation on caisin’s (Brassica rapa L.) flower-visitor insects were
carried out over 20 days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of Gunung Halimun-Salak National Park. All insect visiting the flowers were counted by using fixed sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.
This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only 747 insects or 56,94% of them are the real pollinator which are representatives of 32 pollinator species within 15 observation sites along the margin forest. Highest diversity (H’) value of pollinator insects was found in habitat near to forest’s margin habitat (H’=1,84) than in other habitats at greater distances from forest. The abundances of pollinator insects were found high in open areas that provide less shade of trees.
Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing within distance from the forest despite there were many factors which may influence the abundance. The most influencing factor is the blossom coverage in observed sites that significantly has a positive correlation with flower visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not significantly influence the flower visitation by insects.
1) Student of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 2) Lecturer of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 3) Lecturer of Plants Protection Department, Faculty of Agriculture IPB
INTRODUCTION
METHOD
RESULT AND DISCUSSION
RINGKASAN
REISKY MAULANA. E34102070. Komunitas Serangga Penyerbuk pada
Jarak dan Habitat yang Beragam dari Tepi Hutan Taman Nasional
Halimun-Salak. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, dan Dr.
Ir. Damayanti Buchori, M.Sc
Penyerbukan tanaman pertanian yang dilakukan oleh serangga merupakan
salah satu bagian dari jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan karena hutan
sebagai habitat alami diasumsikan menyimpan potensi keanekaragaman serangga
penyerbuk yang tinggi. Namun aktivitas pertanian yang merusak hutan masih
terus berlangsung, sehingga masyarakat petani yang tinggal di luar kawasan hutan
perlu disadarkan akan manfaat hutan yang ternyata telah memberikan jasa
penyerbukan bagi pertanian mereka.
Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi dan mengelompokan
fungsi-fungsi ekologis dari bermacam spesies serangga pengunjung bunga casin, (2)
Menghitung jumlah spesies, kelimpahan, dan menilai indeks-indeks keragaman
spesies serangga penyerbuk, (3) Menganalisa kemiripan struktur komunitas dan
pola penyebaran serangga penyerbuk di tiap-tiap jarak yang berbeda dari tepi
hutan, (4) Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap
jumlah, kelimpahan, dan indeks-indeks keragaman spesies serangga penyerbuk.
Penelitian lapang dilakukan pada bulan Desember 2006 – Januari 2007,
berlokasi di pinggir kawasan hutan Taman Nasional Halimun-Salak, Dusun
Pangguyangan, Desa Sirnarasa, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Pengamatan serangga penyerbuk dilakukan dengan metode fixed sampling selama
30 menit tiap titik pengamatan yang telah ditanaman 20 tanaman caisin (Brassica
rapa L.). Data yang didapat dianalisa dalam bentuk deskriptif dan kuantitatif.
Pengaruh jarak hutan terhadap keragaman spesies serangga penyerbuk dinilai
berdasarkan persamaan regresi dan grafik sebaran titik (scatterplots).
Hasil penelitian selama 17 hari cerah di seluruh 15 titik pengamatan,
menunjukan bahwa dari total kelimpahan 1312 ekor serangga pengunjung bunga
dari 32 spesies. Kelimpahan serangga penyerbuk umumnya ditemukan lebih
tinggi pada habitat yang terbuka atau tidak terhalang oleh tajuk pepohonan.
Kelimpahan dan jumlah spesies tertinggi ditemukan pada titik pengamatan yang
dekat dengan tepi hutan yang pada penelitian ini berupa kondisi habitat
perladangan.
Kelimpahan serangga penyerbuk semakin menurun seiring jaraknya yang
semakin menjauhi tepi hutan, meskipun terdapat faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi tinggi-rendahnya kelimpahan serangga penyerbuk. Faktor tersebut
ialah pengaruh jumlah pemekaran bunga caisin pada titik pengamatan yang
berkorelasi positif dan berbeda nyata dengan kelimpahan serangga penyerbuk.
Sedangkan faktor suhu dan kelembaban udara tidak menunjukan pengaruh yang
berarti pada kelimpahan dan jumlah spesies serangga penyerbuk.
Kata Kunci : Keanekaragaman spesies, serangga penyerbuk, metode fixed sample
SUMMARY
REISKY MAULANA. E34102070. Insects Pollinators’ Communities In
Distinct Habitats and Distances from Margin Forest of Gunung
Halimun-Salak National Park. Under supervision of Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti,
M.Sc, and Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.
Pollination service is one of many services that forest can provide for
farming near to the forest which definitely harbors a high biodiversity of
pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for
pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially
for the villagers about how important their forest is for their farms.
The objectives of this research are: (1) to identify caisin’s (Brassica rapa
L.) flower-visitor insects and to determine its function in its community, (2) to
count abundance and species of pollinator insects and also to measure diversity
index in distances from the forest, (3) to analyze spatial distribution of pollinator
insects and its composition in every plot base on its similarity index, (4) to show
the correlation of forest distance with the abundance and its diversity.
Observation on caisin’s flower-visitor insects were carried out over 20
days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of
Gunung Halimun-Salak National Park, Sirnarasa Village, District of Sukabumi,
Province of West Java. All insect visiting the flowers were counted by using fixed
sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted
of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was
shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.
This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only
747 insects or 56,94% of them are real pollinator insects which are representative
of 32 pollinator species within 15 sites observation along the margin forest.
Higher densities of pollinator insects are found near to forest’s margin than at
greater distances from forest. The abundances of pollinator insects are usually
Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing
within distance from the forest despite there are many factors which may
influence the abundance. The most influencing factor is the blossom cover of
caisin in site observation that significantly has a positive correlation with flower
visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not
significantly influence the flower visitation by insects.
Key words: Species diversity, insect pollinator, fixed sampling method (Dafni
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Sedikitnya terdapat 66% dari 1500 spesies tanaman budidaya di dunia ini
dipolinasi oleh binatang (Roubik 1995 dalam Kremen et al. 2002) diantaranya
adalah berbagai jenis serangga, burung-burung penghisap madu, dan kelelawar
(Meffe 1998; Ghazoul 2005). Diantara ketiga kelompok penyerbuk tersebut,
serangga merupakan kelompok yang paling banyak berperan sebagai agen
penyerbuk.
Serangga memiliki potensi besar untuk dipelajari karena jumlah angka
tertinggi dari semua spesies binatang di dunia ini diwakili oleh filum Arthropoda,
yaitu sekitar 84% dari keseluruhan spesies binatang di dunia (Groombridge 1992),
dan 56% dari semua spesies bintang yang telah dikenal secara global di dunia ini
merupakan golongan kelas serangga (MacDonald 2003). Keanekaragaman spesies
dari seluruh grup taksonomi meningkat dengan signifikan dari daerah kutub ke
daerah khatulistiwa (Groombridge 1992; Steven 1989). Dengan demikian,
Indonesia sebagai negara tropis diperkirakan menyimpan keanekaragaman
serangga yang sangat tinggi, termasuk diantaranya adalah serangga penyerbuk.
Sebagian besar habitat alami di Indonesia berupa hutan yang memiliki
banyak manfaat bagi kesejahteraan umat manusia, terutama fungsi hutan sebagai
penyedia jasa lingkungan (Kremen et al. 2002; Daily 1997), terlebih lagi sebagian
besar masyarakat di Indonesia masih sangat tergantung dari hutan. Salah satu jasa
lingkungan yang disediakan oleh hutan alam yang penting namun kurang
mendapat perhatian adalah jasa penyerbukan bagi tanaman pertanian dan
perkebunan (Klein et al. 2003).
Namun dengan terus meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam yang
tak lestari mengancam keanekaragaman hayati sebagai imbas dari kerusakan,
fragmentasi, dan isolasi ekosistem alami (Kruess & Tscharntke 2000;
Stefan-Dewenter & Tscharntke 1999; Kruess & Tscharntke 1994). Hal tersebut erat
kaitannya dengan pernyataan Schowalter (2000) bahwa kondisi lingkungan seperti
kesehatan ekosistem, kualitas air dan udara, kebakaran hutan, serta perubahan
Serangga memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi pada lokasi yang
dekat dengan hutan daripada lokasi yang lebih jauh dari hutan (Klein et al. 2003).
Penggunaan herbisida dan pestisida juga berpengaruh negatif pada kelimpahan
serangga (Kremen et al. 2002). Isu menurunnya keberadaan binatang penyerbuk
di habitat alaminya, pernah dideklarasikan dalam Fifth Conference of Parties to
the Convention on Biological Diversity pada tahun 2000 (Ghazoul 2005), semakin
menarik perhatian dunia akan fungsi ekosistem hutan sebagai penyedia jasa
penyerbuk bagi intensifikasi pertanian.
Lahan bekas hutan sebagai ekosistem yang telah termodifikasi dan
terkonversi menjadi lahan pertanian seperti yang terdapat di sekitar kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan tempat yang tepat
untuk mempelajari pengaruh jarak hutan terhadap komunitas serangga penyerbuk.
Lokasi penelitian ini dianggap mewakili kondisi di sebagian besar pinggiran
kawasan hutan di Indonesia yang umumnya berupa lahan pertanian tradisional,
yang salah satu hasil komoditasnya adalah sayuran caisin (Brassica rapa L.).
Dalam penelitian ini, caisin menjadi model tanaman yang tepat untuk
menarik serangga penyerbuk karena memiliki bunga berwarna kuning terang,
penghasil nektar, dan serbuksari yang lengket sehingga peran serangga sebagai
agen penyerbuk sangat penting. Warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang
gelombang antara 5330 – 5350 Å merupakan warna yang sangat efektif untuk
memikat jenis-jenis lebah (Sunjaya 1970). Dengan menempatkan titik-titik
pengamatan yang semakin menjauhi tepi hutan pada hari yang bersamaan, maka
akan dapat terlihat perubahan komposisi jenis serangga peyerbuk seiring
bertambahnya jarak dari hutan.
1. 2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk:
1. Mengidentifikasi dan mengelompokan fungsi-fungsi ekologis dari bermacam
spesies serangga pengunjung bunga caisin.
2. Menganalisa komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk di
tiap-tiap jarak yang beragam dari tepi hutan dengan menggunakan pendekatan
3. Menganalisa penyebaran serangga penyerbuk dan kemiripan struktur
komunitas di antara beragam tipe habitat dan jarak dari tepi hutan.
4. Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap
komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk.
1. 3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pentingnya keberadaan
hutan sebagai penyedia jasa penyerbuk yang memberi manfaat pada pertanian
masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, dengan mengetahui spesies-spesis
serangga yang paling berperan dalam penyerbukan, dapat dijadikan rekomendasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Binatang Penyerbuk Merupakan Agen dari Jasa Lingkungan
Istilah jasa ekosistem atau jasa ekologi didefinisikan secara luas sebagai
kondisi dan proses-proses dalam ekosistem dan spesies yang merupakan bagian
didalamnya dapat membantu kelestarian dan memenuhi kebutuhan manusia.
(Daily 1997), Kearns et al. (1998) menyatakan bahwa manusia bergantung pada
binatang penyerbuk secara langsung maupun tak langsung untuk tiap sepertiga
makanan yang kita makan. Dengan peran yang sangat berharga bagi menusia
sehingga banyak penilaian potensi bintang penyerbuk dilakukan dengan
pendekatan ilmu ekonomi yang dipadukan dengan ilmu ekologi (Kevan & Phillips
2001).
Serangga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga dan
melindungi fungsi ekosistem, serta memberi banyak jasa melalui
bermacam-macam mekanisme seperti mendekomposisi serasah dedauan, penyerbukan,
menahan pertumbuhan tumbuhan, dan sebagai mangsa dari pemangsa (Hamond &
Miller 1998; Black et al. 2001) sebagai tambahan, serangga juga memberikan
indikator ekologi (Basset et al. 2004) dan baik dipakai untuk memonitor efek dari
perubahan lansekap dan perubahan penggunaan lahan, kerusakan habitat, isolasi
habitat, dan modifikasi habitat, dengan didasarkan pada kelimpahannya, kekayaan
jenis, dan kehadiran serangga tersebut (Groombridge 1992)
Kremen et al. (2002) menemukan bahwa keanekaragaman adalah hal
penting bagi kelestarian jasa tersebut, karena variasi pada komposisi komunitas
dari tahun ke tahun. Degradasi yang berkelanjutan pada lanskap pertanian alami
akan menghancurkan jasa “gratis ini”. Perhatian telah ditingkatkan pada
penyerbuk invertebrata tanaman liar dan perkebunan yang menurun sebagai akibat
dari praktek pertanian moderen, degradasi habitat, masuknya haman dan penyakit.
(Ghazaol 2005).
Meskipun hilangnya beberapa jenis serangga penyerbuk tidak
mempengaruhi pada hasil pertanian dengan tanaman yang penyerbukannya
(Ghazoul 2005). Namun di daerah tropis, serangga merupakan agen penyerbuk
utama di berbagai dan beragam jenis tanaman (Bawa 1990).
Penyerbukan memerlukan dua pihak yaitu tumbuhan yang diserbuk dan
binatang yang menyerbuk, yang mana hubungan tersebut terjalin berkat suatu
proses yang disebut koevolusi (Adisoemarto 1994; Buchori & Sartiami 1994)
yaitu proses perkembangan yang menghasilkan sifat baru yang terjadi pada dua
jenis atau dua kombinasi antara tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Serangga
berkunjung ke bunga bukan untuk menyerbuk, karena sebagian besar serangga
melakukan kunjungan ke bunga untuk mencari nektar (Adisoemarto 1994) dan
juga nutrisi lain seperti polen (Potts et al. 2004), sehingga kefisienan penyerbukan
juga tergantung pada desain bunga (Adisoemarto 1994; Boulter et al. 2005)
2. 2 Pengaruh Jarak Hutan Terhadap Keanekaragaman Serangga
Klein et al. (2003) menemukan bahwa di daerah tropis, jarak terdekat
dengan hutan diketahui memberi dampak kepada keragaman penyerbuk.
Keanekaragaman serangga penyerbuk di dalam hutan akan memperngaruhi
keanekaragaman serangga penyerbuk di ekosistem pinggir hutan, yang berkaitan
dengan aktifitas foraging. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Steffan-Duwenter
et al. (2002), bahwa Bumble bees sebagai penyerbuk tanaman sawi (mustrad) dan
radish mempunyai keanekaragaman yang semakin menurun dengan
meningkatnya jarak dari habitat alami.
Semakin tinggi keanekaragaman serangga penyerbuk maka semakin besar
pula jasa penyerbukan yang dapat diberikan dari ekosistem tersebut. (Kremen et
al. 2002). Jumlah spesies lebah sosial berkurang seiring dengan jarak dari hutan,
dimana jumlah jenis lebah sosial meningkat seiring dengan intensitas cahaya
(sedikit naungan) dan tempat dengan kuantitas bunga mekar yang lebih besar.
Selain itu, kepadatan yang lebih tinggi juga ditemukan pada lebah sosial yang
berada lebih dekat dengan hutan daripada yang lebih besar jaraknya dari hutan,
hal ini diperkirakan karena hutan memberikan tempat bersarang yang sehat untuk
coloni lebah (Klein et al. 2003)
Namun dalam kontrasnya, beberapa lebah soliter ditemukan membangun
sarang diluar lebatnya hutan, lebih memilih sedikit naungan, dan sedikit humus
di tanah (Klein et al. 2003). Naungan juga mempengaruhi populasi hama bagi
serangga, pengaruh dari penyakit, dan alang-alang (Perfecto et al. 1996).
Intensitas cahaya sering dikorelasikan dengan jumlah tanaman berbunga, sehingga
kebanyakan lebah soliter lebih manyukai habitat terbuka (Klein et al. 2003).
2. 3 Fragmentasi Habitat dan Teori Island Biogeography
Teori island biogeography merupakan sebuah model yang menawarkan
prediksi tentang jumlah spesies yang ditemui pada suatu pulau (MacArthur &
Wilson 1967). Teori tersebut menyatakan bahwa pulau-pulau yang dekat dengan
daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dari
pulau-pulau yang terletak jauh dari daratan utama. Kedekatan pulau-pulau dengan daratan
utama menularkan tingkat imigrasi secara besar-besaran. Selanjutnya, pulau-pulau
yang dekat dengan daratan utama akan menerima kolonis lebih banyak dengan
lompatan yang menyebar dari pada pulau-pulau yang lebih jauh dari daratan
utama. Berdasarkan hipotesis ini, pulau-pulau yang disituasikan lebih jauh dari
daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih rendah.
Pada habitat teresterial, hipotesis islands biogeography diadaptasi kedalam
konsep pulau-pulau ekologi, dimana habitat alami merupakan sumber (source)
bagi banyak spesies kemudian lahan pertanian yang disituasikan di tepi sumber
tersebut merupakan kolam (sink). Modifikasi dari hipotesis islands biogeography
memberikan dasar untuk memprediksi efek pada komunitas jenis akibat
meningkatnya isolasi habitat alami yang berlokasi diantara lansekap pertanian.
Klein et al. (2002) menyatakan dalam 5 tahun terakhir, beberapa penelitian
tentang efek isolasi terhadap spesies serangga telah dilakukan di berbagai
lansekap tropis. Secara umum, agroekosistem menyebabkan mosaik lansekap
yang kompleks dan terdiri dari banyak habitat pertanian pangan maupun
perkebunan non-pangan (Sahari 2004). Isolasi agroekosistem dari habitat alami
memberi dampak pada kekayaan jenis dan struktur komunitas. Klein et al. (2003)
melaporkan bahwa jumlah lebah sosial mengalami penurunan secara signifikan
seiring jaraknya dari hutan terdekat. Pada sebuah percobaan tentang isolasi
terhadap dua tanaman tahunan yang tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri,
Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) menemukan bahwa pembuahan menurun
Fragmentasi dan kerusakan habitat bisa jadi penyebab yang mengganggu
interaksi tanaman dengan penyerbuk (Steffan-Dewenter et al. 2002). Praktik
pertanian dapat menyebabkan hilangnya atau punahnya suatu jenis, berkurangnya
habitat alami, dan meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat (Rosenzweig
1995). Kerusakan dan fragmentasi habitat merupakan penyebab utama
menurunnya keanekaragaman hayati (Quinn & Harrison 1998). Fragmentasi
habitat tidak hanya berpengaruh terhadap kekayaan jenis penyerbuk, tetapi juga
berpengaruh terhadap perilaku foraging dan ukuran tubuh (Rathcke & Jules
1993). Kerusakan habitat yang cepat juga menjadi penyebab kepunahan beberapa
jenis serangga terutama bagi beberapa grup Hymenoptera yang sensitive terhadap
gagngguan lingkungan (Sahari 2004)
2. 4 Struktur Komunitas, habitat, dan Keragaman Serangga
Sebuah komunitas tersusun atas segala organisme yang terdapat pada
suatu tempat (Schowalter 2000), tiga pendekatan umun untuk mendeskripsikan
struktur komunitas dapat diketahui dari; keanekaragaman spesies, interaksi
spesies, dan organisasi fungsional. Setiap pendekatan memberikan informasi yang
berguna, dan dalam pemilihan sebagian besar merupakan pencerminan dari
tujuannya dan pertimbangan praktikal.
Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi
juga kemerataan dari kelimpahan individu tiap jenis (Odum 1971). Krebs (1978)
menambahkan bahwa konsep ukuran keragaman (diversity) dibedakan atas tiga
ukuran yang dikenal secara umun yaitu kekayaan jenis (species richness),
heterogenitas (heterogenity), dan kemerataan (evenness). Pada tingkat yang
sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang
ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies
(Primack et al. 1998).
Keanekaragaman spesies merupakan inti dari tema ekologi.
Keanekaragaman dapat terwakilkan dengan beberapa cara (Magurran 1983).
Keterwakilan yang paling sederhana ialah sebuah katalog spesies, atau jumlah
total spesies (species richness), sebuah ukuran yang dapat mengindikasikan
variasi spesies dalam suatu komunitas (α diversity). Keanekaragaman spesies
disturbance hypothesis) dikarenakan suatu kombinasi kecukupan sumberdaya dan
tidak cukupnya waktu untuk persaingan keluar (Connell 1978; Huston 1979 dalam
Schowalter 2000). Variasi spesies di suatu komunitas tidak sama dengan
kelimpahan. Biasanya, sedikit spesies adalah berlimpah, dan banyak spesies hanya
terwakili oleh satu atau sedikit individu (Magurran 1988; Stiling 1996 dalam
Schowalter 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman dalam komunitas alamiah
menurut Campbell (2004) adalah:
1. ketersedian energi; peningkatan radiasi matahari di daerah tropis
meingkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan
peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian
kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.
2. Heterogenitas habitat; dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis
seringkali mengalami ganguan yang lebih bersifat lokal (seperti pohon
tumbang, angin ribut, dan banjir), dan memiliki ketidak seragaman
lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih
besar pada spesies tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi
komunitas hewan yang sangat beranekaragam.
3. Spesialisasi relung; iklim tropis yang memungkinkan banyak organisme
untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih
sempit. Relung yang lebih kecil akan mengalami persaingan dan
memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara
spesies-spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman
spesies yang besar.
4. Interaksi populasi; keanekaragaman dalam satu pengertian adalah
memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi yang kompleks
mengalami koevolusi, interaksi pemangsa-mangsa, dan interakasi
simbiotik dihasilkan dalam komunitas yang beranekaragam untuk
mencegah agar suatu populasi tidak menjadi dominan
seluruh individu dalam satu komunitas (Krebs 1978). Sedangkan menurut Odum (1971) menyatakan bahwa kelimpahan adalah istilah umum yang sering digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan untuk naik dan turunnya populasi atau keduanya.
Secara sederhana, Odum (1971) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu tempat dimana organisme dapat ditemukan. Habitat adalah kawasan yang terdiri dari bebeapa kawasan baik fisk maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Komponen fisik dan biotik habitat membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci, komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat terdiri dari beberapa habitat mikro yang seringkali sangar besar pengaruhnya terhadap satwa karena adanya variasi iklim mikro. Untuk jenis-jenis serangga, iklim mikro erat kaitannya dengan aktivitas foraging atau mencari pakan. Bailey (1984) menyatakan
bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam termasuk makanan, perlindungan, dan faktor lain yang diperlukan oleh suatu spesies untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi, dan iklim serta komponen biologis yang mencakup tumbuhan, satwaliar, dan manusia.
2. 5 Bio-ekologi Serangga
Serangga dimasukkan ke dalam kelas Hexapoda (Insecta / Serangga),
Sub-filum Mandibulata, Sub-filum Arthropoda (Sunjaya 1970). Tubuhnya terdiri dari
kepala, toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena yang
ukurannya bervariasi, alat mulutnya memiliki berbagai bentuk yang disesuaikan
dengan macam makanannya, diantaranya mempunyai bentuk mulut yang
berfungsi untuk menggigit dan mengunyah, menghisap, menusuk dan menghisap,
Ciri utama serangga adalah pada bagian kepalanya memilki sepasang
sungut, sepasang mandibel (istilah untuk rahang-rahang yang berpasangan, tidak
beruas, terletak tepat dibelakang labrum), sepasang maksila (istilah untuk struktur
yang berpasangan terletak di belakang mandibel, beruas, dan masing2 maksila
mengandung organ seperti perasa), sebuah hipofaring (istilah untuk lidah pendek
yang terletak diatas labium diantara maksilae, tempat bermuara kelenjar-kelenjar
air liur), sebuah labium (istilah untuk bibir atas).
Kemudian pada bagian memiliki tiga pasang tungkai, dengan satu pasang
pada masing-masing ruas toraks. Pada bagian abdomennya dicirikan dengan liang
kelamin pada bagian posterior abdomen, tidak ada embelan-embelan lokomotor
pada abdomen dewasa. Bila ada embelan-embelan terletak pada ujung abdomen
dan terdiri dari sepasang sersus, sebuah epiprok, dan sepasang paraprok (sersus
merupakan istilah untuk satu dari sepasang embel-embelan pada ujung posterior
abdomen, epiprok merupakan sebuah juluran / embelan yang terletak di atas dubur
dan kelihatan timbul dari ruas abdomen ke-sepuluh yang sebenarnya merupakan
bagian dorsal ruas abdomen yang ke-sebelas, dan paraprok merupakan istilah
untuk satu dari sepasang gelambir yang berbatasan dengan dubur di sebelah
lateroventral).
Beberapa jenis serangga hidup di tanah (teresterial) dan ada pula yang
hidup di air (akuatik) untuk seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
(Schowalter 2000). Kebanyakan serangga aktif pada siang hari (diurnal), namun
tidak sedikit yang aktif pada malam hari (nokturnal). Serangga tergolong sebagai
binatang berdarah dingin atau poikilothermal, oleh karena itu suhu badannya tidak
tetap, naik turun mengikuti suhu lingkungannya. Suhu optimum serangga darat
adalah sekitar 26˚C dengan kisaran suhu maksimalnya adalah 48 – 50 ˚C,
sedangkan titik-titik estivasi berada disekitar 38 – 50˚C (Sunjaya 1970). Istilah
suhu dalam ekologi pada hakekatnya adalah produk faktor suhu dan waktu karena
sebagian besar jenis serangga hidup pada lingkungan di dekat dan dibawah
permukaan tanah, maka suhu muka tanah dan suhu diatas permukaan tanah
menjadi tolak ukur dalam mempelajari serangga (Sunjaya 1970). Dari segi
makanannya, serangga digolongkan ke berbagai macam golongan diantaranya
50% dari hampir keseluruhan serangga ialah herbivora yang kemudian dibagi
dalam 3 tahap tingkatan konsumen / heterotropik yaitu:
1. konsumen utama / primer;
a. Fitofagus = pemakan tanam-tanaman
2. konsumen tingkat lebih tinggi / sekunder dan tersier;
a. Predator = seekor hewan yang menyerang dan memakan hewan
lainnya. Biasanya hewan yang lebih kecil atau kurang kuat dari
dirinya. Korban biasanya dibunuh atau dimakan seluruhnya.
Banyak individu korban dimakan oleh masing-masing pemangsa
b. Parasitoid = hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan
hidup lainnya, dengan jangka yg relatif lama, makan semua atau
makan jaring-jaringan ringannya dan kemudian membunuhnya.
c. Parasit = seekor hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan
hidup lainnya, makan jaring-jaringan induk semangnya
3. pengurai;
a. Skavenger = seekor hewan yang makan tumbuh-tumbuhan atau
hewan yang mati, atau material-material yang membusuk atau
limbah-limbah hewan.
b. Saprofagus = makan material tumbuh-tumbuhan atau hewan
sedang membusuk, seperti bangkai, tinja, kayu gelondongan yang
mati, dsb.
Sunjaya (1970) menerangkan bahwa setiap jenis serangga memiliki
keterbatasan yang berbeda dalam membedakan warna, seperti lebah madu hanya
dapat melihat 4 golongan warna berdasarkan panjang gelombang cahaya yaitu;
6500 – 5000 Å (warna merah, kuning, dan hijau); 5000 – 4800 Å (biru
kehijau-hijauan); 4800 – 4000 Å (biru dan ungu); 4000 – 3100 Å (ultra viollet).
Ditambahkan pula bahwa warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang
gelombang antara 5330 – 5350 Å adalah warna yang sangat efektif untuk menarik
jenis-jenis lebah, karena warna kuning dan biru dapat memantulkan kembali sinar
ultra violet dengan kuat, sedangkan kebanyakan warna putih menyerap cahaya
Kelas hexapoda (serangga) terdiri dari berbagai ordo diantaranya adalah
Coleoptera, Dermaptera, Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera.
Diantara ordo-ordo tersebut, terdapat 3 ordo yang berperan penting dalam proses
penyerbukan yaitu; Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Ordo coleoptera
adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira2 40%
dari jenis terkenal dalam hexapoda. Salah satu sifat coleoptera adalah struktur
sayap-sayapnya, memiliki 4 sayap dengan sepasang sayap depan (elytra / elytron
= tunggal) yang menebal seperti kulit, keras, atau rapuh. Bila dalam keadaan
istirahat, sayap belakang terlipat dibawah sayap depan yang bertindak sebagai
selubung / pelindung. Bagian-bagian mulut dalam ordo ini sebagai tipe mulut
pengunyah, dan mandibel sangat bagus dan berkembang, dan dipakai untuk
menggilas biji atau meremukan kayu. Binatang dari ordo coleoptera yang paling
umum dikenal adalah kumbang. Kumbang mengalami metamorfosis sempurna,
banyak diantaranya yang memakan tumbuhan (memakan bagian-bagian bunga)
dan zat organik yg membusuk (Borror et al. 1996).
Ordo Dermaptera atau yang biasa disebut dengan cocopet merupakan
serangga yang memanjang, meramping, agak gepeng, dan memiliki sersi (sersus)
seperti capit. Dewasa kadang bersayap dan tidak besayap. Bila bersayap, sayap
depan pendek seperti kulit, tidak mempunyai rangka sayap (tegmia / elitra). Dan
sayap belakang (bila ada) bersalaput tipis dan membulat. Dermaptera memiliki
jumlah tarsi 3 ruas, bagian mulut tipe pengunyah, dan mengalami metamorfosis
sederhana. Makanan sebagian besar Dermaptera berupa sayuran mati dan
membusuk, beberapa makan tumbuhan hidup, dan jarang sebagai pemangsa.
Mereka hidup pada malam hari, pada waktu siang terdapat pada celah-celah di
bawah kulit kayu dan lubang-lubang kecil (Borror et al. 1996).
Ordo Hemiptera atau yang biasa disebut sebagai golongan kepik ini
dinamai hemiptera karena berdasarkan struktur sayap-sayap depan dengan bagian
dasar yang menebal dan seperti kulit, dan ujungnya berselaput tipis, tipe sayap ini
disebut hemelytron (jamak hemeytra). Sayap belakangnya seluruhnya berselaput
tipis, agak lebih pendek dari sayap depannya. Bagian mulut merupakan tipe
menusuk-menghisap dalam bentuk paruh (probosis) yang biasanya beruas dan
ganas bagi tanaman-tanaman budidaya. Perbedaannya dengan homoptera yaitu
terdapat pada probosis yang mana probosis hemiptera timbul dari bagian depan
kepala, sedangkan homoptera probosis timbul dari posterior kepala. Kebanyakan
hemiptera dewasa mempunyai kelenjar bau yang bermuara pada sisi toraks.
Binatang yang bermetamorfosis sederhana ini biasa meletakkan telur-telur mereka
pada atas tumbuhan atau celah-delah tumbuhan.
Ordo Lepidoptera dibagi menjadi dua sub ordo penting yaitu; rhopalocera
(kupu-kupu) dan heterocera (ngengat). Ordo ini memiliki ciri-ciri utama yaitu
sayap yang tertutup oleh sisik-sisik. Binatang ini memiliki daur metamorfosis
sempurna, dengan larva merupakan pemakan tumbuhan, dan ketika dewasa tipe
mulut berubah fungsi sebagai penghisap. Beberapa jenis mempunyai bagian mulut
yang menyusut dan tidak makan pada tahapan yang dewasa, mandibel pada
Lepidoptera hampir tidak ada.
Ordo Diptera menyusun salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari
serangga, secara individual dan jenis adalah banyak, dan terdapat hampir
dimana-mana. Sayap belakang menyusut (halter) sehingga hanya mimiliki sepasang sayap
depan. Tubuh relatif kecil, bertubuh lunak. Tipe mulut penghisap, dan beberapa
merupakan penusuk. Penghisap darah, zat organik yang membusuk, beberapa
penyerbuk, dan musuh bagi gulma-gulma yang berbahaya. Diptera hidup dengan
memakan cairan-cairan hewan dan tumbuhan seperti nektar. Diptera mengalami
metamorfosis sempurna (Borror et al. 1996). Khususnya pada famili Syrphidae
(lalat-lalat bunga) seringkali ditemukan disekitar bunga, dan melakukan terbang
setempat. Banyak jenis dengan warnanya yang cermelang menyerupai lebah
madu, namun tidak pernah menggigit atau menyengat. Banyak yang bersifat
pemangsa pada aphid, beberapa lainnya hidup dalam serangga-serangga sosial,
dan yang lainnya hidup dalam tumbuh-tumbuhan yang membusuk atau kayu-kayu
membusuk. (Gaulet & Huber 1993).
Ordo Hymenoptera merupakan ordo yang paling berguna dari sudut
kepentingan manusia dari keseluruhan kelas serangga yang ada. Meskipun ordo
Hyemnoptera secara morfologi mewakili bentuk umum berbagai kelompok
serangga, namun Hymenoptera memiliki banyak karakteristik yang menjadikanya
habitat perairan tawar, dan selalu memegang peran penting dalam ekologi (Mason
& Huber 1993).
Gologan lebah-lebahan ini memiliki 4 buah sayap tipis (bermembran),
terkecuali pada sayap yang mengalami reduksi seperti semut pekerja dan semut
tentara (Mason & Huber 1993), sayap belakangnya lebih kecil dari sayap depan
(Borror et al. 1996). Hymenoptera tampak seperti berbagai serangga primitif
lainnya namun venasinya jauh lebih sederhana. Sayap depan ditutupi oleh sclerite
(pelat) kecil membulat yang disebut tegula dan antara sayap depan dan belakang
tersambung oleh kait kecil yang disebut hamuli (Mason & Huber 1993; Gaulet &
Huber 1993). Meskipun karakter-karakter tersebut dapat membantu dalam
membedakan Hymenoptera-bersayap dengan kelompok serangga lain, namun
hanya sedikit membantu untuk beberapa jumlah spesiesnya dengan sayap yang
belum sempurna atau tidak bersayap.
Satu lagi karakter yang secara tehnik dapat terlihat ialah segmen pertama
pada abdomen yang bersumbu dengan segmen terakhir dari thoraks. Lebih lanjut
lagi, Hymenoptera menunjukan pembatasan yang kuat antara segmen abdominal
pertama dengan kedua, segmen pertama diacu sebagai propodeum. Dengan
begitu, batasan yang kuat tersebut bukan memisahkan thoraks dengan abdomen,
tetapi memisahkan thoraks plus segmen abdominal pertama (mesosoma) dari sisa
abdomennya (metasoma). Kombinasi karakteristik tersebut dijadikan para peneliti
untuk membedakan Hymenoptera dengan serangga-serangga lainya. Hal ini
sangat penting untuk dicatat bahwa Hymenoptera juga memiliki holometabolous
yang berkembang atau mengalami metamorfosis sempurna (Mason & Huber
1993).
Bagian-bagian mulut mandibulat namun bagi kebanyakan lebah, labium
dan maksilae membentuk satu struktur seperti lidah, melalui alat itu makanan
cairan diambil. Kelamin pada kebanyakan hymenoptera dikontrol oleh
pembuahan telur. Telur yang dibuahi berkembang menjadi betina, dan telur yang
tidak dibuahi biasanya berkembang menjadi jantan. Hymenoptera memiliki hal
yang menarik dalam biologi mereka yaitu mereka menunjukan keragaman yang
besar dari kebiasaan-kebiasaan dan kompleksitas kelakuan yang meningkat dalam
Pada famili Andrenidae, semua anggota dari famili ini bersarang di
liang-liang berdekatan ditemukan pada daerah yang jarang terdapat tumbuh-tumbuhan
(Borror et al. 1996) dan sarangnya terkubur di dalam tanah (Gaulet & Huber
1993). Kebanyakan dari andrenid ini bersifat soliter, namun beberapa bersifat
komunal, dan tidak ada yang bersifat parasit (Gaulet & Huber 1993).
Famili Halictidae juga bersarang di liang di dalam tanah, beberapa jenis
dari sub-famili Halictinae bersarang di permukaan tanah dan membuat liang pada
tebing-tebing dengan sarang yang saling berdekatan (Borror et al. 1996),
terkecuali bagi beberapa jenis yang bersarang di dalam kayu yang melapuk
(Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter, dan sebagian
dari sub-famili Nominae dan Halictinae adalah komunal (Gaulet & Huber 1993),
namun menurut Borror et al. (1996) famili Halictidae ini merupakan serangga
sosial yang mengembangkan spektrum soliter.
Famili Megachilidae memiliki sebutan sebagai lebah pemtong daun,
bersarang pada rongga-rongga di alam, terkadang di dalam tanah (Borror et al.
1996), di dalam batang yang berinti, atau menyerupai tempat tinggal Coleoptera
di dalam kayu (Gaulet & Huber 1993). Khususnya pada sub-famili Fidelinae
membuat liang di dalam tanah dan tidak terbuat dari bahan-bahan material yang
berasal dari tempat lain (Gaulet & Huber 1993). Famili ini merupakan serangga
yang hidup soliter (Borror et al. 1996).
Famili Vespidae merupakan golongan tabuhan yang membuat sarang
terbuat dari lumpur yang biasa ditemukan pada liang-liang di dalam tanah dan
tebing-tebing (Borror et al. 1996). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter meski
ada beberapa yang hidup sosial (Gaulet & Huber 1993), sedangkan Borror et al.
(1996) menyatakan bahwa famili ini eusosial yang terbentuk dari koloni, dan
khusus untuk sub-famili Anthoporinae bersifat soliter namun bersarang komunal.
Famili Apidae atau golongan lebah-lebahan merupakan famili yang paling
umum dikenal oleh masayarakat umum sebagai lebah madu seperti pada
kebanyakan genus Apis yang hidup sosial, dan bersarang di pohon-pohon
berlubang (Borror et al. 1996). Pada genus Trigona yang juga umum sebagai
lebah madu, hidup berkoloni dengan merawat dan memproduksi keturunan yang
meninggalkan sarang bersama-sama dengan sejumlah besar lebah pekerja (Gaulet
& Huber 1993). Trigona sering ditemukan bersarang pada lubang-lubang pohon,
batu-batu, atau tanah, dan di Asia Tenggara sering ditemukan pada sarang yang
terbuka dengan ruang-ruang sel yang tersusun menyerupai sisir tergantung
menempel dibawah cabang-cabang pohon (Gaulet & Huber 1993).
Famili Colletidae merupakan lebah-lebah penambal yang membuat liang
ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet & Huber 1993; Borror et al. 1996). Pada
beberapa genus dari famili ini, betina membawa polen di luar tubuh tepatnya pada
bagian scopa kaki belakang (Gaulet & Huber 1993). Genus Hylaeus dicirikan
dengan betina yang tidak memiliki scopa, polen dibawa ke sarang bersamaan
dengan nektar. Kebanyakan dari genus ini bersarang di lubang-lubang pohon yang
mati atau di batang berongga (Gaulet & Huber 1993), juga pada celah-celah dan
liang di tanah (Borror et al. 1996). Genus Ceratinini hidup berkoloni, dengan
hampir semua spesies dari genus ini bersarang di kayu dan batang (Gaulet &
Huber 1993), atau melubangi sumsum dari batang-batang berbagai semak-semak
(Borror et al. 1996). Sub-famili Xylacopinae hidup secara komunal, hampir
semua jenisnya bersarang di liang-liang dalam tanah, dan beberapa betinanya
menggunakan sarang yang sama (Gaulet & Huber 1993). Borror et al. (1996)
menambahkan bahwa kemungkinan besar Xylacopinae hidup secara soliter,
menggali lorong-lorong di dalam kayu padat, dan batang tanaman.
2. 6 Tanaman Caisin (Brassica rapa L.)
B. rapa (caisin) merupakan salah satu tanaman famili Brassicaceae yang
mempunyai lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Anggota famili ini dikenal
sebagai tanaman komoditas sayuran penting, penghasil minyak biji, dan sebagai
tanaman hias. Ciri khas tanaman dalam famili ini adalah tingginya kandungan
senyawa glukosinolat yang dapat dirubah oleh enzim mirosinase menjadi senyawa
yang berasa pahit seperti isotiosianat, tiosianat, nitril, dan goitrin yang bersifat
goitrogenik (penyebab gondok). Pada spesies yang dibudidayakan, kandungan
glukosinolat menjadi sangat berkurang. Hingga kini genus Brassica tercatat
memiliki sekitar 40 spesies (Rubatzky & Yamaguchi 2000).
Caisin merupakan tanaman sayuran penting di Asia dengan ciri-ciri daun
batang, tangkai daun hijau muda, berdaging, tinggi tanaman sebelum berbunga
berkisar 15 – 30 cm. Daun dipanen pada umur 30 – 40 hari setelah tanam
(Rubatzky & Yamaguchi, 2000). Pembungaan tanaman ini terjadi setelah fase
pertumbuhan daun mulai berhenti. Bunga berwarna kuning terang, tersusun dalam
tandan, muncul pada batang yang berdaun kecil dengan beberapa percabangan.
Setiap bunga terdiri dari 4 petal dengan panjang 6 – 10 mm tersusun dalam posisi
bersilangan. Setiap bunga memiliki 6 stamen (benangsari), dua diantaranya lebih
pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari stylus (tangkai putik). Kepala putik
berada di ujung putik (Delaplane & Mayer 2000).
Pembungaan berlangsung selama 22-24 hari (Delplane & Mayer 2000).
Takayama & Isogai (2005) melaporkan B. rapa bersifat Self-incompatibility
sehingga memerlukan penyerbukan silang untuk pembentukan biji yang optimum.
Serbuksari bersifat lengket sehingga peran serangga sebagai agen penyerbuk
sangat penting. Penyerbukan sendiri tanpa adanya penyerbukan silang akan
menurunkan produksi dan ukuran biji. Serbuksari caisin dilindungi oleh lapisan
exine kompleks, tanpa kutikula, bertipe triseluler (2 sel generatif dan 1 sel
vegetatif). Sel generatif / sel sperma terletak di dalam sitolasma sel vegetatif yang
hanya dipisahkan oleh membran sel. Stigma dan Stylus merupakan organ
glandular. Metabolisme organ tersebut berkaitan dengan proses pembungaan dan
penyerbukan. Stigma mengandung sel-sel penerima untuk mengenali serbuksari
dan mengandung substrat untuk membantu perkecambahan. Stigma Brassicaeae
hanya dilindungi olehlapisan peiikel atau adesif sebagai eksudat, sehingga
digolongkan sebagai stigma kering. Cairan eksudat berperan sebagai nutrisi bagi
serbuksari selama pertumbuhan dan sebagai reward (hadiah) bagi serangga
penyerbuk (Dafni 1992). Tanaman caisin merupakan tanaman penghasil nektar
(Williams 1980), dan selain itu juga menyimpan banyak polen sehingga sangat
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengamatan dilaksanakan selama 20 hari, yang dimulai sejak tangggal 28
Desember 2006 sampai dengan 16 Januari 2007, dengan jumlah hari cerah
sebanyak 17 hari. Lokasi penelitian di tepi hutan primer di pinggir Kawasan
Taman Nasional Halimun Salak, di Dusun Panggunyangan, Desa Sirnarasa,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian peta administratif Provinsi Jawa Barat
3. 2 Alat dan Bahan
3. 2. 1 Alat
a. Pengamatan Serangga
Alat-alat yang digunakan dalam pengamatan serangga di lapangan adalah
sebagai berikut; Jaring serangga, tabung spesimen kecil (tube), pengukur waktu
(timer-set), pengukur suhu dan kelembaban (thermometer dry-wet), GPS, kamera
foto.
b. Identifikasi Serangga
Alat-alat yang digunakan dalam proses pemisahan (sorting) dan
identifikasi dalam laboratorium adalah sebagai berikut; mikroskop stereo, kaca
pembesar (lup), kapsul spesimen, jarum, papan setting, pinset, cawan gelas, kotak
spesimen, buku identifikasi. Berikut adalah buku-buku yang digunakan sebagai
panduan identifikasi:
1. Hymenoptera of The World: an Identification Guide To Familis (Gaulet &
Huber 1993)
2. Introduction of Insects Spesies (Borror et al. 1996)
c. Analisis Data
Alat-alat yang digunakan selama proses analisis data ialah berupa
perangkat lunak (software) pada komputer yang berfungsi dalam kalkulasi data
dan visualisasi grafis. Perangkat lunak yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Statistica versi.7 (StatSoft 2004)
2. EstimateS (Colwell 2000)
3. Arcview
4. Biodiversity Microsoft Excel Add-in (Messner Tanpa tahun)
3. 2. 2 Bahan
a. Penempatan Titik Pengamatan
Bahan yang digunakan dalam persiapan titik pengamatan adalah:
1. Benih caisin; ditanam dan dirawat agar menghasilkan tanaman berbunga
untuk menarik serangga penyerbuk
2. Tanah; media tanam
3. Pupuk organik; penambah unsur hara organik agar tanaman tumbuh subur
alami
4. Polibag; wadah tanaman agar memudahkan dalam pemindahan tanaman dari
persemaian ke titik pengamatan.
b. Pengamatan Serangga
Bahan-bahan yang digunakan selama pengamatan adalah Alkohol 70%
dan kantong plastik. Obyek yang diamati adalah semua serangga yang ditemukan
hinggap pada bunga caisin di titik pengamatan.
c. Identifikasi Serangga
Bahan-bahan yang digunakan selama proses identifikasi adalah alkohol
70% dan aqua. Obyek yang diamati adalah spesimen basah serangga yang
3. 3 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi jenis dan kelimpahan serangga yang ditemukan pada bunga
Caisin tiap titik pengamatan, jumlah pemekaran bunga, temperatur, kelembaban
udara, waktu pengamatan, dan karakteristik umum habitat-habitat yang ada. Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi literatur tentang pengaruh jarak hutan alam
terhadap keragaman dan kelimpahan serangga, serta data pembanding dari hasil
penelitian-penelitian serupa.
3. 4 Tahapan Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
3. 4. 1 Studi Pendahuluan Penempatan Titik Pengamatan
Studi pendahuluan dilakukan dengan menjajaki dan mengenali kondisi
lapangan serta meminta perizinan penggunaan lahan kepada warga pemilik lahan
untuk dijadikan tempat penelitian sementara. Dari hasil studi pendahuluan
didapatkan empat karakter habitat yang terlewati oleh jalur pengamatan yaitu
permukiman penduduk, sawah basah, ladang (sawah kering), dan pinggiran hutan.
Prosedur penempatan titik pengamatan adalah sebagai berikut:
1. Jarak antar titik pengamatan yang ideal adalah kurang lebih 100 meter, dari
tepi permukiman penduduk hingga ke tepi hutan terdekat
2. Jumlah tanaman Caisin yang ditempatkan di tiap titik pengamatan adalah
sebanyak 20 tanaman (polibag)
3. Jarak tanam Caisin di tiap titik pengamatan berkisar antara 10 cm sampai 15
cm.
Prosedur tata letak tanaman Caisin dalam titik pengamatan disesuaikan
seperti pada umumnya susunan tanaman Caisin pada ladang di desa tersebut,
terutama tanaman yang sengaja tidak dipanen (dibiarkan sampai berbunga)
3. 4. 2 Pengamatan Lapangan
Pengamatan pada tiap titik pengamatan dilakukan secara simultan dengan
metode fixed sampling (Dafni 1992). Pengamatan di seluruh 15 titik pengamatan
dilakukan pada pukul 07:00 – 12:00 WIB yang merupakan jam-jam disaat bunga
sedang bermekaran dan sekaligus menjadi waktu aktif serangga penyerbuk pada
pukul 07:00 – 14:30 (Kremen et al. 2002), dengan prosedur pengamatan pada tiap
lokasi adalah sebagai berikut;
1. Tiap titik lokasi dilakukan pengamatan selama 30 menit
2. Semua serangga yang ditemukan hinggap atau berkunjung pada bunga di
seluruh 20 tanaman caisin di tiap titik pengamatan ditangkap dengan
tehnik menjaring (sweeping)
3. Serangga yang telah tertangkap langsung dimasukkan ke dalam botol
spesimen (tube) yang telah terisi alkohol dan yang telah diberi label
4. Label pada botol spesimen berisi informasi tentang; nomor titik, jam, dan
tanggal pengamatan.
Data sekunder yang meliputi, jumlah seluruh mekar bunga, dan temperature di
lokasi titik pengamatan, serta cuaca dicatat setelah 30 menit pengamatan serangga
berakhir.
3. 4. 3 Identifikasi Serangga
Spesimen-spesimen serangga pengunjung bunga yang telah ditangkap dan diawetkan selama pengamatan di lapangan, kemudian dilakukan proses identifikasi dengan prosedur sebagai berikut:
1. Proses penyortiran dengan cara memisahkan spesimen berdasarkan
morphospecies yang kemudian dihitung dan dicatat ke dalam tallysheet
berdasarkan titik pengamatan dan tanggal pengamatan
2. Pemisahan spesimen berdasarkan tingkat ordo
3. Identifikasi spesimen dilakukan hingga ke tingkat taksonomi spesies atau
ke tingkat genus dengan diberi keterangan penomoran spesies
4. Spesimen yang sulit diidentifikasi, diberi nama famili dengan disertai kode
nomor morfospesies
5. Spesimen dikoleksi dan disimpan dalam kotak spesimen setelah melalui
Morphospecies merupakan istilah untuk taksa yang dapat dibedakan
berdasarkan morfologi yang memberikan solusi praktis dalam hal dimana
organisme yang tidak teridentifikasi ditemukan dalam pengamatan (Hammond
1994 dalam Magurran 2004). Identifikasi dan verifikasi spesimen serangga
dilakukan selama bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2007 di
beberapa tempat pada lembaga / institusi sebagai berikut;
1. Yayasan PEKA Indonesia,
2. Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi
Tanaman IPB,
3. Laboratorium Zoologi Departemen Biologi IPB.
3. 5 Analisis Data Serangga Penyerbuk
3. 5. 1 Keanekaragaman, kekayaan, dan Kemerataan Jenis
Keanekaragaman serangga penyerbuk dinilai berdasarkan indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dengan menganalisa jumlah jenis dan
jumlah individu serangga penyerbuk (Pielou 1975 dalam Magurran 2004),
dihitung dengan rumus:
H’ = -∑pi ln pi
Nilai pi merupakan proporsi jumlah individu pada jenis ke-i dengan jumlah
total individu serangga yang ditemukan. Penggunaan logaritma natural (Ln) atau
yang juga dikenal sebagai loge pada indeks Shannon-Wiener memberikan nilai
satuan berupa natural bels atau nats per individu (Pielou 1969 dalam Magurran
2004). Nilai indeks Shannon-Wiener yang didapat biasanya terdapat diantara
rentang nilai 1,5 sampai 3,5 dan sangat jarang melewati 4 (Margalef 1972 dalam
Magurran 2004).
Hill (1973) dalam Krebs (1978) merekomendasikan menggunakan bentuk
lain dari indeks Shannon-Wiener dengan satuan unit jumlah spesies agar lebih
mudah dimengerti bagi para pakar ekologi. Rumus indeks tersebut adalah sebagai
N1 = eH’
Keterangan:
e : 2,71828
H’ : Indeks Shannon-Wiener
N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan
Nilai indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan jumlah
individu spesies-spesies dalam komunitas pada lokasi pengamatan. Magurran
(2004) menyarankan untuk menggunakan indeks kemeratan modifikasi Heip
(1974) karena memberi hasil yang lebih sensitif.
EHeip =
(
(
)
)
11 1
− −
S N
Keterangan:
N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan S : Total spesies yang ditemukan
Ada beberapa pengukuran indeks kekayaan jenis secara sederhana,
diantaranya ialah yang paling disarankan oleh Magurran (2004) yaitu indeks
kekayaan jenis Margalef:
DMg =
(
)
N S
ln 1
−
Keterangan:
N : jumlah keseluruhan individu dari seluruh spesies S : Total spesies yang ditemukan
3. 5. 2 Dominasi dan Penyebaran Jenis
Menentukan jenis serangga penyerbuk yang dominan di tiap titik
pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus menurut van Helvoort
(1981):
% 100
× =
N n Di i
Keterangan: Di = indeks dominansi suatu jenis serangga penyerbuk ni = jumlah suatu jenis serangga penyerbuk
N = jumlah individu dari seluruh jenis serangga penyerbuk Kriteria: Di = 0 - 2% jenis tidak dominan
Analisi penyebaran spesies digunakan untuk melihat penyebaran spesies
serangga penyerbuk secara quantitatif pada masing-masing titik pengamatan.
Rumus yang digunakan adalah:
contoh plot seluruh Jumlah serangga spesies suatu ditemukan plot Jumlah (Fj) Jenis Frekuensi = 100% jenis seluruh frekuensi Jumlah jenis suatu Frekuensi (FR) Relatif
Frekuensi = ×
3. 5. 3 Kesamaan Jenis dan Ketidaksamaan Jenis
Indeks kesamaan jenis (Similarity index) salah satu pengukuran variasi
dalam komposisi jenis antar komunitas atau area (β diversity) yang digunakan
untuk mengetahui kesamaan jenis serangga penyerbuk yang ditemukan pada titik
pengamatan yang berbeda, karena jarak dari tepi hutan maupun tipe habitat
disekitar titik pengamatan dapat mempengaruhi komposisi spesies serangga
penyerbuk dalam suatu komunitas. Penghitungan indeks kesamaan (similarity)
dihitung dengan rumus yang ditemukan oleh Sørensen (1948) dalam Magurran
(2004): c b 2a 2a + + = Cs Keterangan:
a = jumlah jenis yang umum ditemukan di komunitas A dan B b = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas A c = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas B
Penghitungan Sørensen dianggap sebagai satu dari pengukuran kesamaan
(similarity) yang paling efektif (Southwood & Handerson 2000 dalam Magurran 2004).
Hasil indeks kesamaan dirubah urutannya / transposisi menjadi nilai
indeks ketidaksamaan (dissimilarity) agar dapat dikombinasikan secara
berkesinambungan kedalam rangkaian (cluster) dalam bentuk dendrogram dengan
titik yang bercabang mewakili ukuran kesamaannya, melalui tehnik multivariasi
statistikal dengan analisis rangkaian (Cluster anaysis) yang dibuat dengan alat
3. 5. 4 Analisis Pengaruh Jarak Hutan
Pengaruh jarak dari tepi hutan beserta faktor-faktor lainnya terhadap
kekayaan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies serangga penyerbuk
ditunjukan oleh gambar sebaran titik (Scatter plot) yang menghubungkan jarak
dari tepi hutan dan atau faktor-faktor lainnya (pada sumbu x) dan jumlah
kuantitatif spesies, kelimpahan, serta indeks keanekaragaman spesies serangga
penyerbuk (pada sumbu y). Garis regresi digunakan untuk melihat kecenderungan
ada atau tidaknya korelasi antar variabel-variabel tersebut. Krebs (1978)
mengungkapkan bahwa teori garis regresi dipakai pada situasi dimana satu
variabel bebas (sumbu x) digunakan untuk memprediksi nilai dari sebuah variabel
tak bebas (sumbu y). Pembuatan garis regresi standar dengan persamaan
“y=a+bx” dengan penghitungan rumus (Krebs 1978) dimana;
a = y intercept = y−bx
b = slope
( )( )
( )
∑
∑
∑
∑
∑
− − = 2 2 n x x n y x xyKorelasi koefisien yang disimbolkan dengan r2 (R square) digunakan untuk melihat besarnya kecenderungan (kemiringan garis) penurunan dan atau
peningkatan pengaruh jarak dari tepi hutan, dihitung dengan rumus (Krebs 1978):
r = correlation coefficient
( )( )
( )
( )
− − − =∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
n y y n x x n y x xy 2 2 2 2Penilaian besar atau kecilnya korelasi antara variabe-variabel penentu juga
dibuktikan dengan uji ANOVA dengan selang kepercayaan 95%. Dalam
penelitian ini korelasi antara variabel bebas dan variabel tak bebas dinyatakan
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4. 1 Letak dan Luas Kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun berdasarkan SK Menhut
No.175/Kpts-II/2003 diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) yang sebagian berasal dari kawasan Hutan Lindung dan
HPT Perhutani. TNGHS secara goegrafis terletak diantara 6°37’ – 6° 51’LS
106°21’ – 106°38’ BT bagian barat daya Propinsi Jawa Barat. TNGHS termasuk
ke dalam tiga wilayah kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Meliputi 13
kecamatan dan 46 desa.
4. 2 Keadaan Kawasan
4. 2. 1 Kondisi Fisik
Iklim TNGHS menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk ke
dalam golongan iklim A dengan nilai Q (persentase jumlah rata-rata bulan kering
per bulan basah) antar 5% hingga 9%. Angin musim yang bertiup di TNGHS
meliputi pola iklim muson, artinya selam musim hujan terutama pada bulan
Desember sampai Maret angin kencang bertiup dari barat daya. Sementara itu
pada musim kemarau, angin bertiup pada kecepatan rendah bertiup dari arah timur
laut. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 4.000 mm hinggga 5.000 mm.
Di musim hujan bulan-bulan kering berlangsung dari bulan Juni hingga bulan
agustus di bagian utara dan dari bulan Juni hingga bulan September di bagian
selatan.
Tanah di TNGHS terdiri atas 12 tipe tanah dan dapat digolongkan menjadi
2 kelompok, yaitu andosol dan latosol. Untuk tujuan pertanian jenis tanah ini
mempunyai kesuburan kimiawi yang miskin, namun sifat-sifat fisiknya cukup
bagus. Tanah dan batuan di kawasan TNGHS mempunyai porositas dan
permeabilitas yang baik. Sebagai daerah tangkapan air hujan kawasan ini peka
terhadap erosi, tekstur tanah umumnya didominasi oleh partikel seukuran debu
yang mudah terurai, sifat-sifat tanah juga menunjukkan adanya evolusi tanah dari
Sungai di kawasan TNGHS secara umum membentuk pola radial.
Terdapat 50 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan ini, sehingga
TNGHS dianggap penting sebagai penyangga kehidupan khusunya dalam
penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah. Terdapat 11 sungai utama
yang mengalir dari TNGHS. Sungai-sungai tersebut selalu berair meskipun pada
musim kering.
Di bagian utama Halimun terdapat 3 sungai penting, yaitu Ciherang /
Ciujung, Cidurian, dan Cikaniki/Cisadane. Sungai-sungai ini bermuara ke Laut
Jawa antara Jakarta dan Serang. Sungai-sungai yang mengalir ke selatan
umumnya lebih kecil dan deras karena jaraknya ke laut lebih pendek, bermuara ke
Samudera Hindia, melintas di antara kota Pelabuhan Ratu dan Bayah.
4. 2. 2 Kondisi Biotik
4. 2. 2. 1 Flora
Kawasan TNGHS merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan
primer pada Zona Collin pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl , Sub montana pada
ketinggian 1.000- 1.500 m dpl, dan montana pada ketinggian 1.500- 2.400 m dpl.
Pada setiap level ketinggian tersebut mempunyai ciri khas vegetasi yang
beragam yang menggambarkan keanekaragaman hayati kawasan TNGHS. Dari
hasil penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan (time series) diketahui
kawasan ini memiliki 1.000 jenis tumbuhan dimana 850 jenis tumbuhan adalah
jenis tumbuhan berbunga.
Pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl di kawasan ini banyak dijumpai jenis
rasamala (Altingia excelsa Noronha), puspa (Schima wallichii Korth), saninten
(Castanopsis argenta Blume DC.), pasang (Quercus sundaica Blume). Pada
ketinggian 1000 – 1500 m dpl, dijumpai jenis-jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus
Roxb.), Ki merak (eurya acuminatissima Merr. et Chun), buni (Antidesma bunius
Spreng.), kayu putih (Cinamomum burmannii Ness. & Th. Ness), kileho
(Saurauia pendula Blume). Pada ketinggian 1500 m dpl vegetasi yang umum
ditemukan ialah jenis-jenis jamuju (Dacrycarpus imbricartus Blume DC.), kibima
(Podocarpus blumei Endl.), hamirung (Vernonia arborea Ham.), kilemo (Litsea
Vegetasi TNGHS berdasarkan penyebarannya, terdapat jenis pinus (Pinus
mercusii Jungh. & De Vr.)yang mendominasi areal bekas hutan perhutani,
kidamar (Agathis dammara Lamb. Rich.), dan kaliandra (Calliandra
callothyrsus). Tumbuhan semak dan perdu yang terdapat di kawasan ini antara
lain herba, liana, efipit, pandan dan pisang-pisangan. Untuk jenis-jenis semak
yang umum ditemukan ialah harendong (Melastoma malabathrycum D. Don),
kirinyuh (Eupatorium inulifolium Kunth.), cente (Lantara camara L.), jotang
(Bidens pilosa L.), pegagan (Centela asiatica L.), dan keji beling (Strobilantes
crispus Blume).
4. 2. 2. 2 Fauna
Keanekaragaman tipe habitat kawasan TNGHS memberikan kesempatan
bagi berbagai jenis satwa untuk berkembangbiak di kawasan ini. Berdasarkan
sejarahnya di kawasan ini pernah menjadi habitat dua spesies yang terancam
punah dan yang telah punah yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan
harimau jawa (Panthera tigris sondaicus). Berdasarkan data Buku Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (2007), kawasan ini menyimpan banyak
keanekaragaman serangga, setidaknya tercatat 75 spesies golongan kupu-kupu
(Lepidoptera), 110 spesies golongan semut (ordo Hymenoptera), 26 spesies dari
golongan capung (ordo Odonata), 128 spesies dari golongan kumbang (ordo
Coleoptera), dan 60 spesies dari golongan belalang (ordo Orthoptera). Dalam
kawasan ini juga dapat dijumpai 61 spesies dari kelas mamalia, 244 spesies dari
kelas unggas, 49 spesies reptilia, 30 spesies amphibia, dan 50 spesies ikan
4. 3 Kondisi Titik Titik Pengamatan
Jumlah titik pengamatan yang diambil adalah sebanyak 15 titik yang
terbentang di sepanjang jalur setapak (Gambar 2) dimulai dari batas tepi
permukiman penduduk dengan ketinggian 766 m dpl hingga daerah tepi hutan
dengan ketinggian 1082 m dpl (Tabel 1). Jarak antar titik pengamatan yang
ditentukan di awal perencanaan tidak dapat diaplikasikan karena kondisi lahan
dan kesediaan pemiliki lahan (petani) untuk meminjamkan sebidang lahannya
Gambar 2. Peta titik-titik pengamatan
Tabel 1. Nomor dan penamaan titik pengamatan dari batas permukiman penduduk hingga ke tepi hutan.
Tipe habitat pengamatanNomor titik Jarak dari tepi hutan (meter) Ketinggian (m) dpl
Permukiman P01 1100 766
S02 940 766
S03 850 862
S04 830 855
S05 730 876
S06 520 911
Sawah
S07 400 931
L08 380 961
L09 190 993
L10 120 1006
Ladang
L11 110 1054
H12 0 1072
H13 0 1066
H14 0 1073
Hutan
H15 0 1082
a. Permukiman Penduduk
Titik P01 adalah titik pengamatan yang terdapat di permukiman penduduk
yang terdekat dengan hutan dan menjadi satu-satunya titik pengamatan yang
mewakili tipe habitat permukiman penduduk. Kondisi umum titik pengamatan ini
adalah berupa pekarangan / halaman milik warga, diletakkan di tanah lapang batas tepi
[image:34.595.117.454.405.611.2]terbuka dan kering, dan juga dekat dengan perkebunan masyarakat. Disekitar titik
pengamatan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan selain dua buah pohon pisang.
b. Sawah
Kondisi yang terlihat sekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah pada
awal musim bercocok tanam ini umumnya berupa petak-petak sawah yang sedang
dibajak dan diairi. Tanaman Caisin sebagian besar diletakan pada pinggir jalan
setapak, pematang sawah, dan ada beberapa titik pengamatan yang letaknya dekat
dengan tanaman komoditas pertanian lainnya seperti pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kondisi vegetasi disekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah.
No. Titik Kondisi vegetasi sekitar
S02 Diletakan di bawah pohom aren, diantara sawah kering yang belum diairi dan rumput alang-alang S03 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S04 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S05 Terletak diantara lahan sawah yang baru ditanam padi dengan tinggi sekitar 15 cm, dan tanaman ketimun
S06 Terletak diatas batu besar yang datar tepat diantara 2 petak sawah yang sedang diolah / dibajak
S07 Terletak diantara sawah yang sedang diairi dan semak-semak yang tumbuh diatas lahan bebatuan yang tidak dapat diolah menjadi lahan pertanian
c. Ladang / Huma
Tata guna lahan di sekitar hutan pada umumnya adalah lahan pertanian
dan ladang (Tabel 3). Tipe lahan yang lebih dekat dengan hutan adalah pertanian
padi huma atau padi ladang (pertanian tanpa pengairan atau sawah tadah hujan).
Hal ini lebih disebabkan oleh faktor lokasi yang lebih tinggi dari saluran mata air
dari dalam hutan, dan faktor lainnya adalah topografi yang sangat mi