• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Serangga Penyerbuk pada Habitat dan Jarak Berbeda dari Tepi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas Serangga Penyerbuk pada Habitat dan Jarak Berbeda dari Tepi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

DKSHE Distinct Habitats and Distances from Insects Pollinators’ Communities In

Margin Forest of Gunung Halimun-Salak National Park

Reisky Maulana1, Ani Mardiastuti2, and Damayanti Buchori3 By

Pollination service is one of many services that forest can provide especially for farming near to the forest, which definitely harbors a high biodiversity of pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially for the villagers about how important their forest is for their farms.

Observation on caisin’s (Brassica rapa L.) flower-visitor insects were

carried out over 20 days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of Gunung Halimun-Salak National Park. All insect visiting the flowers were counted by using fixed sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.

This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only 747 insects or 56,94% of them are the real pollinator which are representatives of 32 pollinator species within 15 observation sites along the margin forest. Highest diversity (H’) value of pollinator insects was found in habitat near to forest’s margin habitat (H’=1,84) than in other habitats at greater distances from forest. The abundances of pollinator insects were found high in open areas that provide less shade of trees.

Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing within distance from the forest despite there were many factors which may influence the abundance. The most influencing factor is the blossom coverage in observed sites that significantly has a positive correlation with flower visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not significantly influence the flower visitation by insects.

1) Student of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 2) Lecturer of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 3) Lecturer of Plants Protection Department, Faculty of Agriculture IPB

INTRODUCTION

METHOD

RESULT AND DISCUSSION

(2)

RINGKASAN

REISKY MAULANA. E34102070. Komunitas Serangga Penyerbuk pada

Jarak dan Habitat yang Beragam dari Tepi Hutan Taman Nasional

Halimun-Salak. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, dan Dr.

Ir. Damayanti Buchori, M.Sc

Penyerbukan tanaman pertanian yang dilakukan oleh serangga merupakan

salah satu bagian dari jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan karena hutan

sebagai habitat alami diasumsikan menyimpan potensi keanekaragaman serangga

penyerbuk yang tinggi. Namun aktivitas pertanian yang merusak hutan masih

terus berlangsung, sehingga masyarakat petani yang tinggal di luar kawasan hutan

perlu disadarkan akan manfaat hutan yang ternyata telah memberikan jasa

penyerbukan bagi pertanian mereka.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi dan mengelompokan

fungsi-fungsi ekologis dari bermacam spesies serangga pengunjung bunga casin, (2)

Menghitung jumlah spesies, kelimpahan, dan menilai indeks-indeks keragaman

spesies serangga penyerbuk, (3) Menganalisa kemiripan struktur komunitas dan

pola penyebaran serangga penyerbuk di tiap-tiap jarak yang berbeda dari tepi

hutan, (4) Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap

jumlah, kelimpahan, dan indeks-indeks keragaman spesies serangga penyerbuk.

Penelitian lapang dilakukan pada bulan Desember 2006 – Januari 2007,

berlokasi di pinggir kawasan hutan Taman Nasional Halimun-Salak, Dusun

Pangguyangan, Desa Sirnarasa, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Pengamatan serangga penyerbuk dilakukan dengan metode fixed sampling selama

30 menit tiap titik pengamatan yang telah ditanaman 20 tanaman caisin (Brassica

rapa L.). Data yang didapat dianalisa dalam bentuk deskriptif dan kuantitatif.

Pengaruh jarak hutan terhadap keragaman spesies serangga penyerbuk dinilai

berdasarkan persamaan regresi dan grafik sebaran titik (scatterplots).

Hasil penelitian selama 17 hari cerah di seluruh 15 titik pengamatan,

menunjukan bahwa dari total kelimpahan 1312 ekor serangga pengunjung bunga

(3)

dari 32 spesies. Kelimpahan serangga penyerbuk umumnya ditemukan lebih

tinggi pada habitat yang terbuka atau tidak terhalang oleh tajuk pepohonan.

Kelimpahan dan jumlah spesies tertinggi ditemukan pada titik pengamatan yang

dekat dengan tepi hutan yang pada penelitian ini berupa kondisi habitat

perladangan.

Kelimpahan serangga penyerbuk semakin menurun seiring jaraknya yang

semakin menjauhi tepi hutan, meskipun terdapat faktor-faktor lain yang dapat

mempengaruhi tinggi-rendahnya kelimpahan serangga penyerbuk. Faktor tersebut

ialah pengaruh jumlah pemekaran bunga caisin pada titik pengamatan yang

berkorelasi positif dan berbeda nyata dengan kelimpahan serangga penyerbuk.

Sedangkan faktor suhu dan kelembaban udara tidak menunjukan pengaruh yang

berarti pada kelimpahan dan jumlah spesies serangga penyerbuk.

Kata Kunci : Keanekaragaman spesies, serangga penyerbuk, metode fixed sample

(4)

SUMMARY

REISKY MAULANA. E34102070. Insects Pollinators’ Communities In

Distinct Habitats and Distances from Margin Forest of Gunung

Halimun-Salak National Park. Under supervision of Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti,

M.Sc, and Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.

Pollination service is one of many services that forest can provide for

farming near to the forest which definitely harbors a high biodiversity of

pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for

pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially

for the villagers about how important their forest is for their farms.

The objectives of this research are: (1) to identify caisin’s (Brassica rapa

L.) flower-visitor insects and to determine its function in its community, (2) to

count abundance and species of pollinator insects and also to measure diversity

index in distances from the forest, (3) to analyze spatial distribution of pollinator

insects and its composition in every plot base on its similarity index, (4) to show

the correlation of forest distance with the abundance and its diversity.

Observation on caisin’s flower-visitor insects were carried out over 20

days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of

Gunung Halimun-Salak National Park, Sirnarasa Village, District of Sukabumi,

Province of West Java. All insect visiting the flowers were counted by using fixed

sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted

of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was

shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.

This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only

747 insects or 56,94% of them are real pollinator insects which are representative

of 32 pollinator species within 15 sites observation along the margin forest.

Higher densities of pollinator insects are found near to forest’s margin than at

greater distances from forest. The abundances of pollinator insects are usually

(5)

Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing

within distance from the forest despite there are many factors which may

influence the abundance. The most influencing factor is the blossom cover of

caisin in site observation that significantly has a positive correlation with flower

visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not

significantly influence the flower visitation by insects.

Key words: Species diversity, insect pollinator, fixed sampling method (Dafni

(6)

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Sedikitnya terdapat 66% dari 1500 spesies tanaman budidaya di dunia ini

dipolinasi oleh binatang (Roubik 1995 dalam Kremen et al. 2002) diantaranya

adalah berbagai jenis serangga, burung-burung penghisap madu, dan kelelawar

(Meffe 1998; Ghazoul 2005). Diantara ketiga kelompok penyerbuk tersebut,

serangga merupakan kelompok yang paling banyak berperan sebagai agen

penyerbuk.

Serangga memiliki potensi besar untuk dipelajari karena jumlah angka

tertinggi dari semua spesies binatang di dunia ini diwakili oleh filum Arthropoda,

yaitu sekitar 84% dari keseluruhan spesies binatang di dunia (Groombridge 1992),

dan 56% dari semua spesies bintang yang telah dikenal secara global di dunia ini

merupakan golongan kelas serangga (MacDonald 2003). Keanekaragaman spesies

dari seluruh grup taksonomi meningkat dengan signifikan dari daerah kutub ke

daerah khatulistiwa (Groombridge 1992; Steven 1989). Dengan demikian,

Indonesia sebagai negara tropis diperkirakan menyimpan keanekaragaman

serangga yang sangat tinggi, termasuk diantaranya adalah serangga penyerbuk.

Sebagian besar habitat alami di Indonesia berupa hutan yang memiliki

banyak manfaat bagi kesejahteraan umat manusia, terutama fungsi hutan sebagai

penyedia jasa lingkungan (Kremen et al. 2002; Daily 1997), terlebih lagi sebagian

besar masyarakat di Indonesia masih sangat tergantung dari hutan. Salah satu jasa

lingkungan yang disediakan oleh hutan alam yang penting namun kurang

mendapat perhatian adalah jasa penyerbukan bagi tanaman pertanian dan

perkebunan (Klein et al. 2003).

Namun dengan terus meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam yang

tak lestari mengancam keanekaragaman hayati sebagai imbas dari kerusakan,

fragmentasi, dan isolasi ekosistem alami (Kruess & Tscharntke 2000;

Stefan-Dewenter & Tscharntke 1999; Kruess & Tscharntke 1994). Hal tersebut erat

kaitannya dengan pernyataan Schowalter (2000) bahwa kondisi lingkungan seperti

kesehatan ekosistem, kualitas air dan udara, kebakaran hutan, serta perubahan

(7)

Serangga memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi pada lokasi yang

dekat dengan hutan daripada lokasi yang lebih jauh dari hutan (Klein et al. 2003).

Penggunaan herbisida dan pestisida juga berpengaruh negatif pada kelimpahan

serangga (Kremen et al. 2002). Isu menurunnya keberadaan binatang penyerbuk

di habitat alaminya, pernah dideklarasikan dalam Fifth Conference of Parties to

the Convention on Biological Diversity pada tahun 2000 (Ghazoul 2005), semakin

menarik perhatian dunia akan fungsi ekosistem hutan sebagai penyedia jasa

penyerbuk bagi intensifikasi pertanian.

Lahan bekas hutan sebagai ekosistem yang telah termodifikasi dan

terkonversi menjadi lahan pertanian seperti yang terdapat di sekitar kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan tempat yang tepat

untuk mempelajari pengaruh jarak hutan terhadap komunitas serangga penyerbuk.

Lokasi penelitian ini dianggap mewakili kondisi di sebagian besar pinggiran

kawasan hutan di Indonesia yang umumnya berupa lahan pertanian tradisional,

yang salah satu hasil komoditasnya adalah sayuran caisin (Brassica rapa L.).

Dalam penelitian ini, caisin menjadi model tanaman yang tepat untuk

menarik serangga penyerbuk karena memiliki bunga berwarna kuning terang,

penghasil nektar, dan serbuksari yang lengket sehingga peran serangga sebagai

agen penyerbuk sangat penting. Warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang

gelombang antara 5330 – 5350 Å merupakan warna yang sangat efektif untuk

memikat jenis-jenis lebah (Sunjaya 1970). Dengan menempatkan titik-titik

pengamatan yang semakin menjauhi tepi hutan pada hari yang bersamaan, maka

akan dapat terlihat perubahan komposisi jenis serangga peyerbuk seiring

bertambahnya jarak dari hutan.

1. 2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk:

1. Mengidentifikasi dan mengelompokan fungsi-fungsi ekologis dari bermacam

spesies serangga pengunjung bunga caisin.

2. Menganalisa komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk di

tiap-tiap jarak yang beragam dari tepi hutan dengan menggunakan pendekatan

(8)

3. Menganalisa penyebaran serangga penyerbuk dan kemiripan struktur

komunitas di antara beragam tipe habitat dan jarak dari tepi hutan.

4. Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap

komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk.

1. 3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pentingnya keberadaan

hutan sebagai penyedia jasa penyerbuk yang memberi manfaat pada pertanian

masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, dengan mengetahui spesies-spesis

serangga yang paling berperan dalam penyerbukan, dapat dijadikan rekomendasi

(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Binatang Penyerbuk Merupakan Agen dari Jasa Lingkungan

Istilah jasa ekosistem atau jasa ekologi didefinisikan secara luas sebagai

kondisi dan proses-proses dalam ekosistem dan spesies yang merupakan bagian

didalamnya dapat membantu kelestarian dan memenuhi kebutuhan manusia.

(Daily 1997), Kearns et al. (1998) menyatakan bahwa manusia bergantung pada

binatang penyerbuk secara langsung maupun tak langsung untuk tiap sepertiga

makanan yang kita makan. Dengan peran yang sangat berharga bagi menusia

sehingga banyak penilaian potensi bintang penyerbuk dilakukan dengan

pendekatan ilmu ekonomi yang dipadukan dengan ilmu ekologi (Kevan & Phillips

2001).

Serangga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga dan

melindungi fungsi ekosistem, serta memberi banyak jasa melalui

bermacam-macam mekanisme seperti mendekomposisi serasah dedauan, penyerbukan,

menahan pertumbuhan tumbuhan, dan sebagai mangsa dari pemangsa (Hamond &

Miller 1998; Black et al. 2001) sebagai tambahan, serangga juga memberikan

indikator ekologi (Basset et al. 2004) dan baik dipakai untuk memonitor efek dari

perubahan lansekap dan perubahan penggunaan lahan, kerusakan habitat, isolasi

habitat, dan modifikasi habitat, dengan didasarkan pada kelimpahannya, kekayaan

jenis, dan kehadiran serangga tersebut (Groombridge 1992)

Kremen et al. (2002) menemukan bahwa keanekaragaman adalah hal

penting bagi kelestarian jasa tersebut, karena variasi pada komposisi komunitas

dari tahun ke tahun. Degradasi yang berkelanjutan pada lanskap pertanian alami

akan menghancurkan jasa “gratis ini”. Perhatian telah ditingkatkan pada

penyerbuk invertebrata tanaman liar dan perkebunan yang menurun sebagai akibat

dari praktek pertanian moderen, degradasi habitat, masuknya haman dan penyakit.

(Ghazaol 2005).

Meskipun hilangnya beberapa jenis serangga penyerbuk tidak

mempengaruhi pada hasil pertanian dengan tanaman yang penyerbukannya

(10)

(Ghazoul 2005). Namun di daerah tropis, serangga merupakan agen penyerbuk

utama di berbagai dan beragam jenis tanaman (Bawa 1990).

Penyerbukan memerlukan dua pihak yaitu tumbuhan yang diserbuk dan

binatang yang menyerbuk, yang mana hubungan tersebut terjalin berkat suatu

proses yang disebut koevolusi (Adisoemarto 1994; Buchori & Sartiami 1994)

yaitu proses perkembangan yang menghasilkan sifat baru yang terjadi pada dua

jenis atau dua kombinasi antara tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Serangga

berkunjung ke bunga bukan untuk menyerbuk, karena sebagian besar serangga

melakukan kunjungan ke bunga untuk mencari nektar (Adisoemarto 1994) dan

juga nutrisi lain seperti polen (Potts et al. 2004), sehingga kefisienan penyerbukan

juga tergantung pada desain bunga (Adisoemarto 1994; Boulter et al. 2005)

2. 2 Pengaruh Jarak Hutan Terhadap Keanekaragaman Serangga

Klein et al. (2003) menemukan bahwa di daerah tropis, jarak terdekat

dengan hutan diketahui memberi dampak kepada keragaman penyerbuk.

Keanekaragaman serangga penyerbuk di dalam hutan akan memperngaruhi

keanekaragaman serangga penyerbuk di ekosistem pinggir hutan, yang berkaitan

dengan aktifitas foraging. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Steffan-Duwenter

et al. (2002), bahwa Bumble bees sebagai penyerbuk tanaman sawi (mustrad) dan

radish mempunyai keanekaragaman yang semakin menurun dengan

meningkatnya jarak dari habitat alami.

Semakin tinggi keanekaragaman serangga penyerbuk maka semakin besar

pula jasa penyerbukan yang dapat diberikan dari ekosistem tersebut. (Kremen et

al. 2002). Jumlah spesies lebah sosial berkurang seiring dengan jarak dari hutan,

dimana jumlah jenis lebah sosial meningkat seiring dengan intensitas cahaya

(sedikit naungan) dan tempat dengan kuantitas bunga mekar yang lebih besar.

Selain itu, kepadatan yang lebih tinggi juga ditemukan pada lebah sosial yang

berada lebih dekat dengan hutan daripada yang lebih besar jaraknya dari hutan,

hal ini diperkirakan karena hutan memberikan tempat bersarang yang sehat untuk

coloni lebah (Klein et al. 2003)

Namun dalam kontrasnya, beberapa lebah soliter ditemukan membangun

sarang diluar lebatnya hutan, lebih memilih sedikit naungan, dan sedikit humus

(11)

di tanah (Klein et al. 2003). Naungan juga mempengaruhi populasi hama bagi

serangga, pengaruh dari penyakit, dan alang-alang (Perfecto et al. 1996).

Intensitas cahaya sering dikorelasikan dengan jumlah tanaman berbunga, sehingga

kebanyakan lebah soliter lebih manyukai habitat terbuka (Klein et al. 2003).

2. 3 Fragmentasi Habitat dan Teori Island Biogeography

Teori island biogeography merupakan sebuah model yang menawarkan

prediksi tentang jumlah spesies yang ditemui pada suatu pulau (MacArthur &

Wilson 1967). Teori tersebut menyatakan bahwa pulau-pulau yang dekat dengan

daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dari

pulau-pulau yang terletak jauh dari daratan utama. Kedekatan pulau-pulau dengan daratan

utama menularkan tingkat imigrasi secara besar-besaran. Selanjutnya, pulau-pulau

yang dekat dengan daratan utama akan menerima kolonis lebih banyak dengan

lompatan yang menyebar dari pada pulau-pulau yang lebih jauh dari daratan

utama. Berdasarkan hipotesis ini, pulau-pulau yang disituasikan lebih jauh dari

daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih rendah.

Pada habitat teresterial, hipotesis islands biogeography diadaptasi kedalam

konsep pulau-pulau ekologi, dimana habitat alami merupakan sumber (source)

bagi banyak spesies kemudian lahan pertanian yang disituasikan di tepi sumber

tersebut merupakan kolam (sink). Modifikasi dari hipotesis islands biogeography

memberikan dasar untuk memprediksi efek pada komunitas jenis akibat

meningkatnya isolasi habitat alami yang berlokasi diantara lansekap pertanian.

Klein et al. (2002) menyatakan dalam 5 tahun terakhir, beberapa penelitian

tentang efek isolasi terhadap spesies serangga telah dilakukan di berbagai

lansekap tropis. Secara umum, agroekosistem menyebabkan mosaik lansekap

yang kompleks dan terdiri dari banyak habitat pertanian pangan maupun

perkebunan non-pangan (Sahari 2004). Isolasi agroekosistem dari habitat alami

memberi dampak pada kekayaan jenis dan struktur komunitas. Klein et al. (2003)

melaporkan bahwa jumlah lebah sosial mengalami penurunan secara signifikan

seiring jaraknya dari hutan terdekat. Pada sebuah percobaan tentang isolasi

terhadap dua tanaman tahunan yang tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri,

Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) menemukan bahwa pembuahan menurun

(12)

Fragmentasi dan kerusakan habitat bisa jadi penyebab yang mengganggu

interaksi tanaman dengan penyerbuk (Steffan-Dewenter et al. 2002). Praktik

pertanian dapat menyebabkan hilangnya atau punahnya suatu jenis, berkurangnya

habitat alami, dan meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat (Rosenzweig

1995). Kerusakan dan fragmentasi habitat merupakan penyebab utama

menurunnya keanekaragaman hayati (Quinn & Harrison 1998). Fragmentasi

habitat tidak hanya berpengaruh terhadap kekayaan jenis penyerbuk, tetapi juga

berpengaruh terhadap perilaku foraging dan ukuran tubuh (Rathcke & Jules

1993). Kerusakan habitat yang cepat juga menjadi penyebab kepunahan beberapa

jenis serangga terutama bagi beberapa grup Hymenoptera yang sensitive terhadap

gagngguan lingkungan (Sahari 2004)

2. 4 Struktur Komunitas, habitat, dan Keragaman Serangga

Sebuah komunitas tersusun atas segala organisme yang terdapat pada

suatu tempat (Schowalter 2000), tiga pendekatan umun untuk mendeskripsikan

struktur komunitas dapat diketahui dari; keanekaragaman spesies, interaksi

spesies, dan organisasi fungsional. Setiap pendekatan memberikan informasi yang

berguna, dan dalam pemilihan sebagian besar merupakan pencerminan dari

tujuannya dan pertimbangan praktikal.

Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi

juga kemerataan dari kelimpahan individu tiap jenis (Odum 1971). Krebs (1978)

menambahkan bahwa konsep ukuran keragaman (diversity) dibedakan atas tiga

ukuran yang dikenal secara umun yaitu kekayaan jenis (species richness),

heterogenitas (heterogenity), dan kemerataan (evenness). Pada tingkat yang

sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang

ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies

(Primack et al. 1998).

Keanekaragaman spesies merupakan inti dari tema ekologi.

Keanekaragaman dapat terwakilkan dengan beberapa cara (Magurran 1983).

Keterwakilan yang paling sederhana ialah sebuah katalog spesies, atau jumlah

total spesies (species richness), sebuah ukuran yang dapat mengindikasikan

variasi spesies dalam suatu komunitas (α diversity). Keanekaragaman spesies

(13)

disturbance hypothesis) dikarenakan suatu kombinasi kecukupan sumberdaya dan

tidak cukupnya waktu untuk persaingan keluar (Connell 1978; Huston 1979 dalam

Schowalter 2000). Variasi spesies di suatu komunitas tidak sama dengan

kelimpahan. Biasanya, sedikit spesies adalah berlimpah, dan banyak spesies hanya

terwakili oleh satu atau sedikit individu (Magurran 1988; Stiling 1996 dalam

Schowalter 2000).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman dalam komunitas alamiah

menurut Campbell (2004) adalah:

1. ketersedian energi; peningkatan radiasi matahari di daerah tropis

meingkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan

peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian

kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.

2. Heterogenitas habitat; dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis

seringkali mengalami ganguan yang lebih bersifat lokal (seperti pohon

tumbang, angin ribut, dan banjir), dan memiliki ketidak seragaman

lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih

besar pada spesies tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi

komunitas hewan yang sangat beranekaragam.

3. Spesialisasi relung; iklim tropis yang memungkinkan banyak organisme

untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih

sempit. Relung yang lebih kecil akan mengalami persaingan dan

memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara

spesies-spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman

spesies yang besar.

4. Interaksi populasi; keanekaragaman dalam satu pengertian adalah

memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi yang kompleks

mengalami koevolusi, interaksi pemangsa-mangsa, dan interakasi

simbiotik dihasilkan dalam komunitas yang beranekaragam untuk

mencegah agar suatu populasi tidak menjadi dominan

(14)

seluruh individu dalam satu komunitas (Krebs 1978). Sedangkan menurut Odum (1971) menyatakan bahwa kelimpahan adalah istilah umum yang sering digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan untuk naik dan turunnya populasi atau keduanya.

Secara sederhana, Odum (1971) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu tempat dimana organisme dapat ditemukan. Habitat adalah kawasan yang terdiri dari bebeapa kawasan baik fisk maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Komponen fisik dan biotik habitat membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci, komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat terdiri dari beberapa habitat mikro yang seringkali sangar besar pengaruhnya terhadap satwa karena adanya variasi iklim mikro. Untuk jenis-jenis serangga, iklim mikro erat kaitannya dengan aktivitas foraging atau mencari pakan. Bailey (1984) menyatakan

bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam termasuk makanan, perlindungan, dan faktor lain yang diperlukan oleh suatu spesies untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi, dan iklim serta komponen biologis yang mencakup tumbuhan, satwaliar, dan manusia.

2. 5 Bio-ekologi Serangga

Serangga dimasukkan ke dalam kelas Hexapoda (Insecta / Serangga),

Sub-filum Mandibulata, Sub-filum Arthropoda (Sunjaya 1970). Tubuhnya terdiri dari

kepala, toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena yang

ukurannya bervariasi, alat mulutnya memiliki berbagai bentuk yang disesuaikan

dengan macam makanannya, diantaranya mempunyai bentuk mulut yang

berfungsi untuk menggigit dan mengunyah, menghisap, menusuk dan menghisap,

(15)

Ciri utama serangga adalah pada bagian kepalanya memilki sepasang

sungut, sepasang mandibel (istilah untuk rahang-rahang yang berpasangan, tidak

beruas, terletak tepat dibelakang labrum), sepasang maksila (istilah untuk struktur

yang berpasangan terletak di belakang mandibel, beruas, dan masing2 maksila

mengandung organ seperti perasa), sebuah hipofaring (istilah untuk lidah pendek

yang terletak diatas labium diantara maksilae, tempat bermuara kelenjar-kelenjar

air liur), sebuah labium (istilah untuk bibir atas).

Kemudian pada bagian memiliki tiga pasang tungkai, dengan satu pasang

pada masing-masing ruas toraks. Pada bagian abdomennya dicirikan dengan liang

kelamin pada bagian posterior abdomen, tidak ada embelan-embelan lokomotor

pada abdomen dewasa. Bila ada embelan-embelan terletak pada ujung abdomen

dan terdiri dari sepasang sersus, sebuah epiprok, dan sepasang paraprok (sersus

merupakan istilah untuk satu dari sepasang embel-embelan pada ujung posterior

abdomen, epiprok merupakan sebuah juluran / embelan yang terletak di atas dubur

dan kelihatan timbul dari ruas abdomen ke-sepuluh yang sebenarnya merupakan

bagian dorsal ruas abdomen yang ke-sebelas, dan paraprok merupakan istilah

untuk satu dari sepasang gelambir yang berbatasan dengan dubur di sebelah

lateroventral).

Beberapa jenis serangga hidup di tanah (teresterial) dan ada pula yang

hidup di air (akuatik) untuk seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya

(Schowalter 2000). Kebanyakan serangga aktif pada siang hari (diurnal), namun

tidak sedikit yang aktif pada malam hari (nokturnal). Serangga tergolong sebagai

binatang berdarah dingin atau poikilothermal, oleh karena itu suhu badannya tidak

tetap, naik turun mengikuti suhu lingkungannya. Suhu optimum serangga darat

adalah sekitar 26˚C dengan kisaran suhu maksimalnya adalah 48 – 50 ˚C,

sedangkan titik-titik estivasi berada disekitar 38 – 50˚C (Sunjaya 1970). Istilah

suhu dalam ekologi pada hakekatnya adalah produk faktor suhu dan waktu karena

sebagian besar jenis serangga hidup pada lingkungan di dekat dan dibawah

permukaan tanah, maka suhu muka tanah dan suhu diatas permukaan tanah

menjadi tolak ukur dalam mempelajari serangga (Sunjaya 1970). Dari segi

makanannya, serangga digolongkan ke berbagai macam golongan diantaranya

(16)

50% dari hampir keseluruhan serangga ialah herbivora yang kemudian dibagi

dalam 3 tahap tingkatan konsumen / heterotropik yaitu:

1. konsumen utama / primer;

a. Fitofagus = pemakan tanam-tanaman

2. konsumen tingkat lebih tinggi / sekunder dan tersier;

a. Predator = seekor hewan yang menyerang dan memakan hewan

lainnya. Biasanya hewan yang lebih kecil atau kurang kuat dari

dirinya. Korban biasanya dibunuh atau dimakan seluruhnya.

Banyak individu korban dimakan oleh masing-masing pemangsa

b. Parasitoid = hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan

hidup lainnya, dengan jangka yg relatif lama, makan semua atau

makan jaring-jaringan ringannya dan kemudian membunuhnya.

c. Parasit = seekor hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan

hidup lainnya, makan jaring-jaringan induk semangnya

3. pengurai;

a. Skavenger = seekor hewan yang makan tumbuh-tumbuhan atau

hewan yang mati, atau material-material yang membusuk atau

limbah-limbah hewan.

b. Saprofagus = makan material tumbuh-tumbuhan atau hewan

sedang membusuk, seperti bangkai, tinja, kayu gelondongan yang

mati, dsb.

Sunjaya (1970) menerangkan bahwa setiap jenis serangga memiliki

keterbatasan yang berbeda dalam membedakan warna, seperti lebah madu hanya

dapat melihat 4 golongan warna berdasarkan panjang gelombang cahaya yaitu;

6500 – 5000 Å (warna merah, kuning, dan hijau); 5000 – 4800 Å (biru

kehijau-hijauan); 4800 – 4000 Å (biru dan ungu); 4000 – 3100 Å (ultra viollet).

Ditambahkan pula bahwa warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang

gelombang antara 5330 – 5350 Å adalah warna yang sangat efektif untuk menarik

jenis-jenis lebah, karena warna kuning dan biru dapat memantulkan kembali sinar

ultra violet dengan kuat, sedangkan kebanyakan warna putih menyerap cahaya

(17)

Kelas hexapoda (serangga) terdiri dari berbagai ordo diantaranya adalah

Coleoptera, Dermaptera, Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera.

Diantara ordo-ordo tersebut, terdapat 3 ordo yang berperan penting dalam proses

penyerbukan yaitu; Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Ordo coleoptera

adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira2 40%

dari jenis terkenal dalam hexapoda. Salah satu sifat coleoptera adalah struktur

sayap-sayapnya, memiliki 4 sayap dengan sepasang sayap depan (elytra / elytron

= tunggal) yang menebal seperti kulit, keras, atau rapuh. Bila dalam keadaan

istirahat, sayap belakang terlipat dibawah sayap depan yang bertindak sebagai

selubung / pelindung. Bagian-bagian mulut dalam ordo ini sebagai tipe mulut

pengunyah, dan mandibel sangat bagus dan berkembang, dan dipakai untuk

menggilas biji atau meremukan kayu. Binatang dari ordo coleoptera yang paling

umum dikenal adalah kumbang. Kumbang mengalami metamorfosis sempurna,

banyak diantaranya yang memakan tumbuhan (memakan bagian-bagian bunga)

dan zat organik yg membusuk (Borror et al. 1996).

Ordo Dermaptera atau yang biasa disebut dengan cocopet merupakan

serangga yang memanjang, meramping, agak gepeng, dan memiliki sersi (sersus)

seperti capit. Dewasa kadang bersayap dan tidak besayap. Bila bersayap, sayap

depan pendek seperti kulit, tidak mempunyai rangka sayap (tegmia / elitra). Dan

sayap belakang (bila ada) bersalaput tipis dan membulat. Dermaptera memiliki

jumlah tarsi 3 ruas, bagian mulut tipe pengunyah, dan mengalami metamorfosis

sederhana. Makanan sebagian besar Dermaptera berupa sayuran mati dan

membusuk, beberapa makan tumbuhan hidup, dan jarang sebagai pemangsa.

Mereka hidup pada malam hari, pada waktu siang terdapat pada celah-celah di

bawah kulit kayu dan lubang-lubang kecil (Borror et al. 1996).

Ordo Hemiptera atau yang biasa disebut sebagai golongan kepik ini

dinamai hemiptera karena berdasarkan struktur sayap-sayap depan dengan bagian

dasar yang menebal dan seperti kulit, dan ujungnya berselaput tipis, tipe sayap ini

disebut hemelytron (jamak hemeytra). Sayap belakangnya seluruhnya berselaput

tipis, agak lebih pendek dari sayap depannya. Bagian mulut merupakan tipe

menusuk-menghisap dalam bentuk paruh (probosis) yang biasanya beruas dan

(18)

ganas bagi tanaman-tanaman budidaya. Perbedaannya dengan homoptera yaitu

terdapat pada probosis yang mana probosis hemiptera timbul dari bagian depan

kepala, sedangkan homoptera probosis timbul dari posterior kepala. Kebanyakan

hemiptera dewasa mempunyai kelenjar bau yang bermuara pada sisi toraks.

Binatang yang bermetamorfosis sederhana ini biasa meletakkan telur-telur mereka

pada atas tumbuhan atau celah-delah tumbuhan.

Ordo Lepidoptera dibagi menjadi dua sub ordo penting yaitu; rhopalocera

(kupu-kupu) dan heterocera (ngengat). Ordo ini memiliki ciri-ciri utama yaitu

sayap yang tertutup oleh sisik-sisik. Binatang ini memiliki daur metamorfosis

sempurna, dengan larva merupakan pemakan tumbuhan, dan ketika dewasa tipe

mulut berubah fungsi sebagai penghisap. Beberapa jenis mempunyai bagian mulut

yang menyusut dan tidak makan pada tahapan yang dewasa, mandibel pada

Lepidoptera hampir tidak ada.

Ordo Diptera menyusun salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari

serangga, secara individual dan jenis adalah banyak, dan terdapat hampir

dimana-mana. Sayap belakang menyusut (halter) sehingga hanya mimiliki sepasang sayap

depan. Tubuh relatif kecil, bertubuh lunak. Tipe mulut penghisap, dan beberapa

merupakan penusuk. Penghisap darah, zat organik yang membusuk, beberapa

penyerbuk, dan musuh bagi gulma-gulma yang berbahaya. Diptera hidup dengan

memakan cairan-cairan hewan dan tumbuhan seperti nektar. Diptera mengalami

metamorfosis sempurna (Borror et al. 1996). Khususnya pada famili Syrphidae

(lalat-lalat bunga) seringkali ditemukan disekitar bunga, dan melakukan terbang

setempat. Banyak jenis dengan warnanya yang cermelang menyerupai lebah

madu, namun tidak pernah menggigit atau menyengat. Banyak yang bersifat

pemangsa pada aphid, beberapa lainnya hidup dalam serangga-serangga sosial,

dan yang lainnya hidup dalam tumbuh-tumbuhan yang membusuk atau kayu-kayu

membusuk. (Gaulet & Huber 1993).

Ordo Hymenoptera merupakan ordo yang paling berguna dari sudut

kepentingan manusia dari keseluruhan kelas serangga yang ada. Meskipun ordo

Hyemnoptera secara morfologi mewakili bentuk umum berbagai kelompok

serangga, namun Hymenoptera memiliki banyak karakteristik yang menjadikanya

(19)

habitat perairan tawar, dan selalu memegang peran penting dalam ekologi (Mason

& Huber 1993).

Gologan lebah-lebahan ini memiliki 4 buah sayap tipis (bermembran),

terkecuali pada sayap yang mengalami reduksi seperti semut pekerja dan semut

tentara (Mason & Huber 1993), sayap belakangnya lebih kecil dari sayap depan

(Borror et al. 1996). Hymenoptera tampak seperti berbagai serangga primitif

lainnya namun venasinya jauh lebih sederhana. Sayap depan ditutupi oleh sclerite

(pelat) kecil membulat yang disebut tegula dan antara sayap depan dan belakang

tersambung oleh kait kecil yang disebut hamuli (Mason & Huber 1993; Gaulet &

Huber 1993). Meskipun karakter-karakter tersebut dapat membantu dalam

membedakan Hymenoptera-bersayap dengan kelompok serangga lain, namun

hanya sedikit membantu untuk beberapa jumlah spesiesnya dengan sayap yang

belum sempurna atau tidak bersayap.

Satu lagi karakter yang secara tehnik dapat terlihat ialah segmen pertama

pada abdomen yang bersumbu dengan segmen terakhir dari thoraks. Lebih lanjut

lagi, Hymenoptera menunjukan pembatasan yang kuat antara segmen abdominal

pertama dengan kedua, segmen pertama diacu sebagai propodeum. Dengan

begitu, batasan yang kuat tersebut bukan memisahkan thoraks dengan abdomen,

tetapi memisahkan thoraks plus segmen abdominal pertama (mesosoma) dari sisa

abdomennya (metasoma). Kombinasi karakteristik tersebut dijadikan para peneliti

untuk membedakan Hymenoptera dengan serangga-serangga lainya. Hal ini

sangat penting untuk dicatat bahwa Hymenoptera juga memiliki holometabolous

yang berkembang atau mengalami metamorfosis sempurna (Mason & Huber

1993).

Bagian-bagian mulut mandibulat namun bagi kebanyakan lebah, labium

dan maksilae membentuk satu struktur seperti lidah, melalui alat itu makanan

cairan diambil. Kelamin pada kebanyakan hymenoptera dikontrol oleh

pembuahan telur. Telur yang dibuahi berkembang menjadi betina, dan telur yang

tidak dibuahi biasanya berkembang menjadi jantan. Hymenoptera memiliki hal

yang menarik dalam biologi mereka yaitu mereka menunjukan keragaman yang

besar dari kebiasaan-kebiasaan dan kompleksitas kelakuan yang meningkat dalam

(20)

Pada famili Andrenidae, semua anggota dari famili ini bersarang di

liang-liang berdekatan ditemukan pada daerah yang jarang terdapat tumbuh-tumbuhan

(Borror et al. 1996) dan sarangnya terkubur di dalam tanah (Gaulet & Huber

1993). Kebanyakan dari andrenid ini bersifat soliter, namun beberapa bersifat

komunal, dan tidak ada yang bersifat parasit (Gaulet & Huber 1993).

Famili Halictidae juga bersarang di liang di dalam tanah, beberapa jenis

dari sub-famili Halictinae bersarang di permukaan tanah dan membuat liang pada

tebing-tebing dengan sarang yang saling berdekatan (Borror et al. 1996),

terkecuali bagi beberapa jenis yang bersarang di dalam kayu yang melapuk

(Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter, dan sebagian

dari sub-famili Nominae dan Halictinae adalah komunal (Gaulet & Huber 1993),

namun menurut Borror et al. (1996) famili Halictidae ini merupakan serangga

sosial yang mengembangkan spektrum soliter.

Famili Megachilidae memiliki sebutan sebagai lebah pemtong daun,

bersarang pada rongga-rongga di alam, terkadang di dalam tanah (Borror et al.

1996), di dalam batang yang berinti, atau menyerupai tempat tinggal Coleoptera

di dalam kayu (Gaulet & Huber 1993). Khususnya pada sub-famili Fidelinae

membuat liang di dalam tanah dan tidak terbuat dari bahan-bahan material yang

berasal dari tempat lain (Gaulet & Huber 1993). Famili ini merupakan serangga

yang hidup soliter (Borror et al. 1996).

Famili Vespidae merupakan golongan tabuhan yang membuat sarang

terbuat dari lumpur yang biasa ditemukan pada liang-liang di dalam tanah dan

tebing-tebing (Borror et al. 1996). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter meski

ada beberapa yang hidup sosial (Gaulet & Huber 1993), sedangkan Borror et al.

(1996) menyatakan bahwa famili ini eusosial yang terbentuk dari koloni, dan

khusus untuk sub-famili Anthoporinae bersifat soliter namun bersarang komunal.

Famili Apidae atau golongan lebah-lebahan merupakan famili yang paling

umum dikenal oleh masayarakat umum sebagai lebah madu seperti pada

kebanyakan genus Apis yang hidup sosial, dan bersarang di pohon-pohon

berlubang (Borror et al. 1996). Pada genus Trigona yang juga umum sebagai

lebah madu, hidup berkoloni dengan merawat dan memproduksi keturunan yang

(21)

meninggalkan sarang bersama-sama dengan sejumlah besar lebah pekerja (Gaulet

& Huber 1993). Trigona sering ditemukan bersarang pada lubang-lubang pohon,

batu-batu, atau tanah, dan di Asia Tenggara sering ditemukan pada sarang yang

terbuka dengan ruang-ruang sel yang tersusun menyerupai sisir tergantung

menempel dibawah cabang-cabang pohon (Gaulet & Huber 1993).

Famili Colletidae merupakan lebah-lebah penambal yang membuat liang

ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet & Huber 1993; Borror et al. 1996). Pada

beberapa genus dari famili ini, betina membawa polen di luar tubuh tepatnya pada

bagian scopa kaki belakang (Gaulet & Huber 1993). Genus Hylaeus dicirikan

dengan betina yang tidak memiliki scopa, polen dibawa ke sarang bersamaan

dengan nektar. Kebanyakan dari genus ini bersarang di lubang-lubang pohon yang

mati atau di batang berongga (Gaulet & Huber 1993), juga pada celah-celah dan

liang di tanah (Borror et al. 1996). Genus Ceratinini hidup berkoloni, dengan

hampir semua spesies dari genus ini bersarang di kayu dan batang (Gaulet &

Huber 1993), atau melubangi sumsum dari batang-batang berbagai semak-semak

(Borror et al. 1996). Sub-famili Xylacopinae hidup secara komunal, hampir

semua jenisnya bersarang di liang-liang dalam tanah, dan beberapa betinanya

menggunakan sarang yang sama (Gaulet & Huber 1993). Borror et al. (1996)

menambahkan bahwa kemungkinan besar Xylacopinae hidup secara soliter,

menggali lorong-lorong di dalam kayu padat, dan batang tanaman.

2. 6 Tanaman Caisin (Brassica rapa L.)

B. rapa (caisin) merupakan salah satu tanaman famili Brassicaceae yang

mempunyai lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Anggota famili ini dikenal

sebagai tanaman komoditas sayuran penting, penghasil minyak biji, dan sebagai

tanaman hias. Ciri khas tanaman dalam famili ini adalah tingginya kandungan

senyawa glukosinolat yang dapat dirubah oleh enzim mirosinase menjadi senyawa

yang berasa pahit seperti isotiosianat, tiosianat, nitril, dan goitrin yang bersifat

goitrogenik (penyebab gondok). Pada spesies yang dibudidayakan, kandungan

glukosinolat menjadi sangat berkurang. Hingga kini genus Brassica tercatat

memiliki sekitar 40 spesies (Rubatzky & Yamaguchi 2000).

Caisin merupakan tanaman sayuran penting di Asia dengan ciri-ciri daun

(22)

batang, tangkai daun hijau muda, berdaging, tinggi tanaman sebelum berbunga

berkisar 15 – 30 cm. Daun dipanen pada umur 30 – 40 hari setelah tanam

(Rubatzky & Yamaguchi, 2000). Pembungaan tanaman ini terjadi setelah fase

pertumbuhan daun mulai berhenti. Bunga berwarna kuning terang, tersusun dalam

tandan, muncul pada batang yang berdaun kecil dengan beberapa percabangan.

Setiap bunga terdiri dari 4 petal dengan panjang 6 – 10 mm tersusun dalam posisi

bersilangan. Setiap bunga memiliki 6 stamen (benangsari), dua diantaranya lebih

pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari stylus (tangkai putik). Kepala putik

berada di ujung putik (Delaplane & Mayer 2000).

Pembungaan berlangsung selama 22-24 hari (Delplane & Mayer 2000).

Takayama & Isogai (2005) melaporkan B. rapa bersifat Self-incompatibility

sehingga memerlukan penyerbukan silang untuk pembentukan biji yang optimum.

Serbuksari bersifat lengket sehingga peran serangga sebagai agen penyerbuk

sangat penting. Penyerbukan sendiri tanpa adanya penyerbukan silang akan

menurunkan produksi dan ukuran biji. Serbuksari caisin dilindungi oleh lapisan

exine kompleks, tanpa kutikula, bertipe triseluler (2 sel generatif dan 1 sel

vegetatif). Sel generatif / sel sperma terletak di dalam sitolasma sel vegetatif yang

hanya dipisahkan oleh membran sel. Stigma dan Stylus merupakan organ

glandular. Metabolisme organ tersebut berkaitan dengan proses pembungaan dan

penyerbukan. Stigma mengandung sel-sel penerima untuk mengenali serbuksari

dan mengandung substrat untuk membantu perkecambahan. Stigma Brassicaeae

hanya dilindungi olehlapisan peiikel atau adesif sebagai eksudat, sehingga

digolongkan sebagai stigma kering. Cairan eksudat berperan sebagai nutrisi bagi

serbuksari selama pertumbuhan dan sebagai reward (hadiah) bagi serangga

penyerbuk (Dafni 1992). Tanaman caisin merupakan tanaman penghasil nektar

(Williams 1980), dan selain itu juga menyimpan banyak polen sehingga sangat

(23)

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengamatan dilaksanakan selama 20 hari, yang dimulai sejak tangggal 28

Desember 2006 sampai dengan 16 Januari 2007, dengan jumlah hari cerah

sebanyak 17 hari. Lokasi penelitian di tepi hutan primer di pinggir Kawasan

Taman Nasional Halimun Salak, di Dusun Panggunyangan, Desa Sirnarasa,

Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian peta administratif Provinsi Jawa Barat

3. 2 Alat dan Bahan

3. 2. 1 Alat

a. Pengamatan Serangga

Alat-alat yang digunakan dalam pengamatan serangga di lapangan adalah

sebagai berikut; Jaring serangga, tabung spesimen kecil (tube), pengukur waktu

(timer-set), pengukur suhu dan kelembaban (thermometer dry-wet), GPS, kamera

foto.

b. Identifikasi Serangga

Alat-alat yang digunakan dalam proses pemisahan (sorting) dan

identifikasi dalam laboratorium adalah sebagai berikut; mikroskop stereo, kaca

pembesar (lup), kapsul spesimen, jarum, papan setting, pinset, cawan gelas, kotak

(24)

spesimen, buku identifikasi. Berikut adalah buku-buku yang digunakan sebagai

panduan identifikasi:

1. Hymenoptera of The World: an Identification Guide To Familis (Gaulet &

Huber 1993)

2. Introduction of Insects Spesies (Borror et al. 1996)

c. Analisis Data

Alat-alat yang digunakan selama proses analisis data ialah berupa

perangkat lunak (software) pada komputer yang berfungsi dalam kalkulasi data

dan visualisasi grafis. Perangkat lunak yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Statistica versi.7 (StatSoft 2004)

2. EstimateS (Colwell 2000)

3. Arcview

4. Biodiversity Microsoft Excel Add-in (Messner Tanpa tahun)

3. 2. 2 Bahan

a. Penempatan Titik Pengamatan

Bahan yang digunakan dalam persiapan titik pengamatan adalah:

1. Benih caisin; ditanam dan dirawat agar menghasilkan tanaman berbunga

untuk menarik serangga penyerbuk

2. Tanah; media tanam

3. Pupuk organik; penambah unsur hara organik agar tanaman tumbuh subur

alami

4. Polibag; wadah tanaman agar memudahkan dalam pemindahan tanaman dari

persemaian ke titik pengamatan.

b. Pengamatan Serangga

Bahan-bahan yang digunakan selama pengamatan adalah Alkohol 70%

dan kantong plastik. Obyek yang diamati adalah semua serangga yang ditemukan

hinggap pada bunga caisin di titik pengamatan.

c. Identifikasi Serangga

Bahan-bahan yang digunakan selama proses identifikasi adalah alkohol

70% dan aqua. Obyek yang diamati adalah spesimen basah serangga yang

(25)

3. 3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi jenis dan kelimpahan serangga yang ditemukan pada bunga

Caisin tiap titik pengamatan, jumlah pemekaran bunga, temperatur, kelembaban

udara, waktu pengamatan, dan karakteristik umum habitat-habitat yang ada. Data

sekunder yang dikumpulkan meliputi literatur tentang pengaruh jarak hutan alam

terhadap keragaman dan kelimpahan serangga, serta data pembanding dari hasil

penelitian-penelitian serupa.

3. 4 Tahapan Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

3. 4. 1 Studi Pendahuluan Penempatan Titik Pengamatan

Studi pendahuluan dilakukan dengan menjajaki dan mengenali kondisi

lapangan serta meminta perizinan penggunaan lahan kepada warga pemilik lahan

untuk dijadikan tempat penelitian sementara. Dari hasil studi pendahuluan

didapatkan empat karakter habitat yang terlewati oleh jalur pengamatan yaitu

permukiman penduduk, sawah basah, ladang (sawah kering), dan pinggiran hutan.

Prosedur penempatan titik pengamatan adalah sebagai berikut:

1. Jarak antar titik pengamatan yang ideal adalah kurang lebih 100 meter, dari

tepi permukiman penduduk hingga ke tepi hutan terdekat

2. Jumlah tanaman Caisin yang ditempatkan di tiap titik pengamatan adalah

sebanyak 20 tanaman (polibag)

3. Jarak tanam Caisin di tiap titik pengamatan berkisar antara 10 cm sampai 15

cm.

Prosedur tata letak tanaman Caisin dalam titik pengamatan disesuaikan

seperti pada umumnya susunan tanaman Caisin pada ladang di desa tersebut,

terutama tanaman yang sengaja tidak dipanen (dibiarkan sampai berbunga)

(26)

3. 4. 2 Pengamatan Lapangan

Pengamatan pada tiap titik pengamatan dilakukan secara simultan dengan

metode fixed sampling (Dafni 1992). Pengamatan di seluruh 15 titik pengamatan

dilakukan pada pukul 07:00 – 12:00 WIB yang merupakan jam-jam disaat bunga

sedang bermekaran dan sekaligus menjadi waktu aktif serangga penyerbuk pada

pukul 07:00 – 14:30 (Kremen et al. 2002), dengan prosedur pengamatan pada tiap

lokasi adalah sebagai berikut;

1. Tiap titik lokasi dilakukan pengamatan selama 30 menit

2. Semua serangga yang ditemukan hinggap atau berkunjung pada bunga di

seluruh 20 tanaman caisin di tiap titik pengamatan ditangkap dengan

tehnik menjaring (sweeping)

3. Serangga yang telah tertangkap langsung dimasukkan ke dalam botol

spesimen (tube) yang telah terisi alkohol dan yang telah diberi label

4. Label pada botol spesimen berisi informasi tentang; nomor titik, jam, dan

tanggal pengamatan.

Data sekunder yang meliputi, jumlah seluruh mekar bunga, dan temperature di

lokasi titik pengamatan, serta cuaca dicatat setelah 30 menit pengamatan serangga

berakhir.

3. 4. 3 Identifikasi Serangga

Spesimen-spesimen serangga pengunjung bunga yang telah ditangkap dan diawetkan selama pengamatan di lapangan, kemudian dilakukan proses identifikasi dengan prosedur sebagai berikut:

1. Proses penyortiran dengan cara memisahkan spesimen berdasarkan

morphospecies yang kemudian dihitung dan dicatat ke dalam tallysheet

berdasarkan titik pengamatan dan tanggal pengamatan

2. Pemisahan spesimen berdasarkan tingkat ordo

3. Identifikasi spesimen dilakukan hingga ke tingkat taksonomi spesies atau

ke tingkat genus dengan diberi keterangan penomoran spesies

4. Spesimen yang sulit diidentifikasi, diberi nama famili dengan disertai kode

nomor morfospesies

5. Spesimen dikoleksi dan disimpan dalam kotak spesimen setelah melalui

(27)

Morphospecies merupakan istilah untuk taksa yang dapat dibedakan

berdasarkan morfologi yang memberikan solusi praktis dalam hal dimana

organisme yang tidak teridentifikasi ditemukan dalam pengamatan (Hammond

1994 dalam Magurran 2004). Identifikasi dan verifikasi spesimen serangga

dilakukan selama bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2007 di

beberapa tempat pada lembaga / institusi sebagai berikut;

1. Yayasan PEKA Indonesia,

2. Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi

Tanaman IPB,

3. Laboratorium Zoologi Departemen Biologi IPB.

3. 5 Analisis Data Serangga Penyerbuk

3. 5. 1 Keanekaragaman, kekayaan, dan Kemerataan Jenis

Keanekaragaman serangga penyerbuk dinilai berdasarkan indeks

keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dengan menganalisa jumlah jenis dan

jumlah individu serangga penyerbuk (Pielou 1975 dalam Magurran 2004),

dihitung dengan rumus:

H’ = -∑pi ln pi

Nilai pi merupakan proporsi jumlah individu pada jenis ke-i dengan jumlah

total individu serangga yang ditemukan. Penggunaan logaritma natural (Ln) atau

yang juga dikenal sebagai loge pada indeks Shannon-Wiener memberikan nilai

satuan berupa natural bels atau nats per individu (Pielou 1969 dalam Magurran

2004). Nilai indeks Shannon-Wiener yang didapat biasanya terdapat diantara

rentang nilai 1,5 sampai 3,5 dan sangat jarang melewati 4 (Margalef 1972 dalam

Magurran 2004).

Hill (1973) dalam Krebs (1978) merekomendasikan menggunakan bentuk

lain dari indeks Shannon-Wiener dengan satuan unit jumlah spesies agar lebih

mudah dimengerti bagi para pakar ekologi. Rumus indeks tersebut adalah sebagai

(28)

N1 = eH’

Keterangan:

e : 2,71828

H’ : Indeks Shannon-Wiener

N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan

Nilai indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan jumlah

individu spesies-spesies dalam komunitas pada lokasi pengamatan. Magurran

(2004) menyarankan untuk menggunakan indeks kemeratan modifikasi Heip

(1974) karena memberi hasil yang lebih sensitif.

EHeip =

(

(

)

)

1

1 1

− −

S N

Keterangan:

N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan S : Total spesies yang ditemukan

Ada beberapa pengukuran indeks kekayaan jenis secara sederhana,

diantaranya ialah yang paling disarankan oleh Magurran (2004) yaitu indeks

kekayaan jenis Margalef:

DMg =

(

)

N S

ln 1

Keterangan:

N : jumlah keseluruhan individu dari seluruh spesies S : Total spesies yang ditemukan

3. 5. 2 Dominasi dan Penyebaran Jenis

Menentukan jenis serangga penyerbuk yang dominan di tiap titik

pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus menurut van Helvoort

(1981):

% 100

× =

N n Di i

Keterangan: Di = indeks dominansi suatu jenis serangga penyerbuk ni = jumlah suatu jenis serangga penyerbuk

N = jumlah individu dari seluruh jenis serangga penyerbuk Kriteria: Di = 0 - 2% jenis tidak dominan

(29)

Analisi penyebaran spesies digunakan untuk melihat penyebaran spesies

serangga penyerbuk secara quantitatif pada masing-masing titik pengamatan.

Rumus yang digunakan adalah:

contoh plot seluruh Jumlah serangga spesies suatu ditemukan plot Jumlah (Fj) Jenis Frekuensi = 100% jenis seluruh frekuensi Jumlah jenis suatu Frekuensi (FR) Relatif

Frekuensi = ×

3. 5. 3 Kesamaan Jenis dan Ketidaksamaan Jenis

Indeks kesamaan jenis (Similarity index) salah satu pengukuran variasi

dalam komposisi jenis antar komunitas atau area (β diversity) yang digunakan

untuk mengetahui kesamaan jenis serangga penyerbuk yang ditemukan pada titik

pengamatan yang berbeda, karena jarak dari tepi hutan maupun tipe habitat

disekitar titik pengamatan dapat mempengaruhi komposisi spesies serangga

penyerbuk dalam suatu komunitas. Penghitungan indeks kesamaan (similarity)

dihitung dengan rumus yang ditemukan oleh Sørensen (1948) dalam Magurran

(2004): c b 2a 2a + + = Cs Keterangan:

a = jumlah jenis yang umum ditemukan di komunitas A dan B b = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas A c = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas B

Penghitungan Sørensen dianggap sebagai satu dari pengukuran kesamaan

(similarity) yang paling efektif (Southwood & Handerson 2000 dalam Magurran 2004).

Hasil indeks kesamaan dirubah urutannya / transposisi menjadi nilai

indeks ketidaksamaan (dissimilarity) agar dapat dikombinasikan secara

berkesinambungan kedalam rangkaian (cluster) dalam bentuk dendrogram dengan

titik yang bercabang mewakili ukuran kesamaannya, melalui tehnik multivariasi

statistikal dengan analisis rangkaian (Cluster anaysis) yang dibuat dengan alat

(30)

3. 5. 4 Analisis Pengaruh Jarak Hutan

Pengaruh jarak dari tepi hutan beserta faktor-faktor lainnya terhadap

kekayaan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies serangga penyerbuk

ditunjukan oleh gambar sebaran titik (Scatter plot) yang menghubungkan jarak

dari tepi hutan dan atau faktor-faktor lainnya (pada sumbu x) dan jumlah

kuantitatif spesies, kelimpahan, serta indeks keanekaragaman spesies serangga

penyerbuk (pada sumbu y). Garis regresi digunakan untuk melihat kecenderungan

ada atau tidaknya korelasi antar variabel-variabel tersebut. Krebs (1978)

mengungkapkan bahwa teori garis regresi dipakai pada situasi dimana satu

variabel bebas (sumbu x) digunakan untuk memprediksi nilai dari sebuah variabel

tak bebas (sumbu y). Pembuatan garis regresi standar dengan persamaan

y=a+bx” dengan penghitungan rumus (Krebs 1978) dimana;

a = y intercept = ybx

b = slope

( )( )

( )

− − = 2 2 n x x n y x xy

Korelasi koefisien yang disimbolkan dengan r2 (R square) digunakan untuk melihat besarnya kecenderungan (kemiringan garis) penurunan dan atau

peningkatan pengaruh jarak dari tepi hutan, dihitung dengan rumus (Krebs 1978):

r = correlation coefficient

( )( )

( )

( )

        −         − − =

n y y n x x n y x xy 2 2 2 2

Penilaian besar atau kecilnya korelasi antara variabe-variabel penentu juga

dibuktikan dengan uji ANOVA dengan selang kepercayaan 95%. Dalam

penelitian ini korelasi antara variabel bebas dan variabel tak bebas dinyatakan

(31)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1 Letak dan Luas Kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun berdasarkan SK Menhut

No.175/Kpts-II/2003 diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS) yang sebagian berasal dari kawasan Hutan Lindung dan

HPT Perhutani. TNGHS secara goegrafis terletak diantara 6°37’ – 6° 51’LS

106°21’ – 106°38’ BT bagian barat daya Propinsi Jawa Barat. TNGHS termasuk

ke dalam tiga wilayah kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Meliputi 13

kecamatan dan 46 desa.

4. 2 Keadaan Kawasan

4. 2. 1 Kondisi Fisik

Iklim TNGHS menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk ke

dalam golongan iklim A dengan nilai Q (persentase jumlah rata-rata bulan kering

per bulan basah) antar 5% hingga 9%. Angin musim yang bertiup di TNGHS

meliputi pola iklim muson, artinya selam musim hujan terutama pada bulan

Desember sampai Maret angin kencang bertiup dari barat daya. Sementara itu

pada musim kemarau, angin bertiup pada kecepatan rendah bertiup dari arah timur

laut. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 4.000 mm hinggga 5.000 mm.

Di musim hujan bulan-bulan kering berlangsung dari bulan Juni hingga bulan

agustus di bagian utara dan dari bulan Juni hingga bulan September di bagian

selatan.

Tanah di TNGHS terdiri atas 12 tipe tanah dan dapat digolongkan menjadi

2 kelompok, yaitu andosol dan latosol. Untuk tujuan pertanian jenis tanah ini

mempunyai kesuburan kimiawi yang miskin, namun sifat-sifat fisiknya cukup

bagus. Tanah dan batuan di kawasan TNGHS mempunyai porositas dan

permeabilitas yang baik. Sebagai daerah tangkapan air hujan kawasan ini peka

terhadap erosi, tekstur tanah umumnya didominasi oleh partikel seukuran debu

yang mudah terurai, sifat-sifat tanah juga menunjukkan adanya evolusi tanah dari

(32)

Sungai di kawasan TNGHS secara umum membentuk pola radial.

Terdapat 50 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan ini, sehingga

TNGHS dianggap penting sebagai penyangga kehidupan khusunya dalam

penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah. Terdapat 11 sungai utama

yang mengalir dari TNGHS. Sungai-sungai tersebut selalu berair meskipun pada

musim kering.

Di bagian utama Halimun terdapat 3 sungai penting, yaitu Ciherang /

Ciujung, Cidurian, dan Cikaniki/Cisadane. Sungai-sungai ini bermuara ke Laut

Jawa antara Jakarta dan Serang. Sungai-sungai yang mengalir ke selatan

umumnya lebih kecil dan deras karena jaraknya ke laut lebih pendek, bermuara ke

Samudera Hindia, melintas di antara kota Pelabuhan Ratu dan Bayah.

4. 2. 2 Kondisi Biotik

4. 2. 2. 1 Flora

Kawasan TNGHS merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan

primer pada Zona Collin pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl , Sub montana pada

ketinggian 1.000- 1.500 m dpl, dan montana pada ketinggian 1.500- 2.400 m dpl.

Pada setiap level ketinggian tersebut mempunyai ciri khas vegetasi yang

beragam yang menggambarkan keanekaragaman hayati kawasan TNGHS. Dari

hasil penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan (time series) diketahui

kawasan ini memiliki 1.000 jenis tumbuhan dimana 850 jenis tumbuhan adalah

jenis tumbuhan berbunga.

Pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl di kawasan ini banyak dijumpai jenis

rasamala (Altingia excelsa Noronha), puspa (Schima wallichii Korth), saninten

(Castanopsis argenta Blume DC.), pasang (Quercus sundaica Blume). Pada

ketinggian 1000 – 1500 m dpl, dijumpai jenis-jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus

Roxb.), Ki merak (eurya acuminatissima Merr. et Chun), buni (Antidesma bunius

Spreng.), kayu putih (Cinamomum burmannii Ness. & Th. Ness), kileho

(Saurauia pendula Blume). Pada ketinggian 1500 m dpl vegetasi yang umum

ditemukan ialah jenis-jenis jamuju (Dacrycarpus imbricartus Blume DC.), kibima

(Podocarpus blumei Endl.), hamirung (Vernonia arborea Ham.), kilemo (Litsea

(33)

Vegetasi TNGHS berdasarkan penyebarannya, terdapat jenis pinus (Pinus

mercusii Jungh. & De Vr.)yang mendominasi areal bekas hutan perhutani,

kidamar (Agathis dammara Lamb. Rich.), dan kaliandra (Calliandra

callothyrsus). Tumbuhan semak dan perdu yang terdapat di kawasan ini antara

lain herba, liana, efipit, pandan dan pisang-pisangan. Untuk jenis-jenis semak

yang umum ditemukan ialah harendong (Melastoma malabathrycum D. Don),

kirinyuh (Eupatorium inulifolium Kunth.), cente (Lantara camara L.), jotang

(Bidens pilosa L.), pegagan (Centela asiatica L.), dan keji beling (Strobilantes

crispus Blume).

4. 2. 2. 2 Fauna

Keanekaragaman tipe habitat kawasan TNGHS memberikan kesempatan

bagi berbagai jenis satwa untuk berkembangbiak di kawasan ini. Berdasarkan

sejarahnya di kawasan ini pernah menjadi habitat dua spesies yang terancam

punah dan yang telah punah yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan

harimau jawa (Panthera tigris sondaicus). Berdasarkan data Buku Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak (2007), kawasan ini menyimpan banyak

keanekaragaman serangga, setidaknya tercatat 75 spesies golongan kupu-kupu

(Lepidoptera), 110 spesies golongan semut (ordo Hymenoptera), 26 spesies dari

golongan capung (ordo Odonata), 128 spesies dari golongan kumbang (ordo

Coleoptera), dan 60 spesies dari golongan belalang (ordo Orthoptera). Dalam

kawasan ini juga dapat dijumpai 61 spesies dari kelas mamalia, 244 spesies dari

kelas unggas, 49 spesies reptilia, 30 spesies amphibia, dan 50 spesies ikan

4. 3 Kondisi Titik Titik Pengamatan

Jumlah titik pengamatan yang diambil adalah sebanyak 15 titik yang

terbentang di sepanjang jalur setapak (Gambar 2) dimulai dari batas tepi

permukiman penduduk dengan ketinggian 766 m dpl hingga daerah tepi hutan

dengan ketinggian 1082 m dpl (Tabel 1). Jarak antar titik pengamatan yang

ditentukan di awal perencanaan tidak dapat diaplikasikan karena kondisi lahan

dan kesediaan pemiliki lahan (petani) untuk meminjamkan sebidang lahannya

(34)
[image:34.595.110.488.95.607.2]

Gambar 2. Peta titik-titik pengamatan

Tabel 1. Nomor dan penamaan titik pengamatan dari batas permukiman penduduk hingga ke tepi hutan.

Tipe habitat pengamatanNomor titik Jarak dari tepi hutan (meter) Ketinggian (m) dpl

Permukiman P01 1100 766

S02 940 766

S03 850 862

S04 830 855

S05 730 876

S06 520 911

Sawah

S07 400 931

L08 380 961

L09 190 993

L10 120 1006

Ladang

L11 110 1054

H12 0 1072

H13 0 1066

H14 0 1073

Hutan

H15 0 1082

a. Permukiman Penduduk

Titik P01 adalah titik pengamatan yang terdapat di permukiman penduduk

yang terdekat dengan hutan dan menjadi satu-satunya titik pengamatan yang

mewakili tipe habitat permukiman penduduk. Kondisi umum titik pengamatan ini

adalah berupa pekarangan / halaman milik warga, diletakkan di tanah lapang batas tepi

[image:34.595.117.454.405.611.2]
(35)

terbuka dan kering, dan juga dekat dengan perkebunan masyarakat. Disekitar titik

pengamatan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan selain dua buah pohon pisang.

b. Sawah

Kondisi yang terlihat sekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah pada

awal musim bercocok tanam ini umumnya berupa petak-petak sawah yang sedang

dibajak dan diairi. Tanaman Caisin sebagian besar diletakan pada pinggir jalan

setapak, pematang sawah, dan ada beberapa titik pengamatan yang letaknya dekat

dengan tanaman komoditas pertanian lainnya seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kondisi vegetasi disekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah.

No. Titik Kondisi vegetasi sekitar

S02 Diletakan di bawah pohom aren, diantara sawah kering yang belum diairi dan rumput alang-alang S03 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S04 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S05 Terletak diantara lahan sawah yang baru ditanam padi dengan tinggi sekitar 15 cm, dan tanaman ketimun

S06 Terletak diatas batu besar yang datar tepat diantara 2 petak sawah yang sedang diolah / dibajak

S07 Terletak diantara sawah yang sedang diairi dan semak-semak yang tumbuh diatas lahan bebatuan yang tidak dapat diolah menjadi lahan pertanian

c. Ladang / Huma

Tata guna lahan di sekitar hutan pada umumnya adalah lahan pertanian

dan ladang (Tabel 3). Tipe lahan yang lebih dekat dengan hutan adalah pertanian

padi huma atau padi ladang (pertanian tanpa pengairan atau sawah tadah hujan).

Hal ini lebih disebabkan oleh faktor lokasi yang lebih tinggi dari saluran mata air

dari dalam hutan, dan faktor lainnya adalah topografi yang sangat mi

Gambar

Gambar 2. Peta titik-titik pengamatan
Tabel 4. Kondisi sekitar titik-titik pengamatan pada tepi hutan.
Tabel 5. Jumlah total dan rata-rata mekar bunga caisin per hari di seluruh 15 titik
Tabel 12. Komposisi jumlah spesies serangga pengunjung bunga Caisin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keefektifan pendidikan ketrampilan bagi anak berkebutuhan khusus (tunarungu) dalam membentuk sikap kemandirian di

Cahya Widyanta menguraikan bahwa gamelan Jawa sarat akan makna filosofis yang mengandung nilai luhur, namun makna tersebut kurang dihayati dalam gamelan Soepra; 4)

H4 = = T Terd erdapa apat per t perbed bedaan li aan likui kuidit ditas sa as saham p ham perus erusaha ahaan y an yang me ang melak lakuka ukan sto n stock  ck 

Dan rumusan ini PADA HAKEKATNYA, INTINYA, adalah sama dengan rumusan PKI setengah jajahan setengah feudal (elemen-elemen feudal, artinya tidak sepenuhnya feudal

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana sistem informasi akademik yang digunakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro,

Saya mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini, dimana akan dilakukan pengambilan data yang meliputi rata-rata waktu penyerahan obat, obat yang terlayani, obat

Malın malla değişimi olduğu (trampa) döneminde borç yoktur. Borç daima kişiseldir. Borçlu pasiftir, alacaklı yararına edimde bulunmaya mecbudur. Ancak edim konusu