• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan konsentrasi karbon monoksida (CO) dari sumber garis (transportasi) menggunakan Box-Model "Street Canyon"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan konsentrasi karbon monoksida (CO) dari sumber garis (transportasi) menggunakan Box-Model "Street Canyon""

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO)

DARI SUMBER GARIS (TRANSPORTASI)

MENGGUNAKAN BOX-MODEL “

STREET CANYON

NADAR SATRIA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

Kota Jakarta merupakan pusat dari segala kegiatan bisnis dan perkantoran di Indonesia. Di dalamnya sektor transportasi sangat berperan penting dalam kehidupan sehari -hari masyarakatnya. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap transportasi, potensi pencemaran udara di Kota Jakarta juga meningkat. Salah satu gas hasil buangan dari kendaraan bermotor yang cukup berbahaya apabila jumlahnya berlebihan di udara yaitu karbon monoksida (CO). Maka dari itu perlu dilakukannya pemantauan kualitas udara, baik secara ambient (lingkungan sekitar) maupun road side (di tepi jalan). Namun terkadang keterbatasan alat dan biaya sering kali menjadi kendala dalam melakukan pemantauan kualitas udara. Sehingga dalam rangka pengendalian pencemaran udara perlu adanya alternatif lain dengan cara menduga konsentrasi polutan dengan menggunakan model. Tujuan utama dari penelitian ini yaitu memprediksi konsentrasi CO yang berasal dari sumber transportasi dan memperkirakan arah sebaran polutan berdasarkan arah angin dominan . Model yang digunakan dalam penelitian ini untuk memprediksi konsentrasi CO yaitu box-model ”street canyon”. Prediksi dilakukan pada tanggal 1 -7 April 2005 di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, yang hampir setiap hari lalu-lintasnya padat. Input data yang diperlukan untuk model ini yaitu berupa data kendaraan per jam yang melewati Jl. M.H. Thamrin, dimensi Jl. M.H. Thamrin berupa panjang dan lebar jalan serta tinggi rata-rata gedung di sepanjang Jl. M.H. Thamrin, data per jam meteorologi setempat berupa arah dan kecepatan angin, dan yang terakhir data konsentrasi CO background . Setelah dilakukan perhitungan dengan box-model ”street canyon” didapatkan nilai konsentrasi CO maksimum dan minimum pada hari libur dan hari kerja. Pada hari libur konsentras i maksimum terjadi pada hari Sabtu, tanggal 2 April 2005, yang terjadi pada pukul 11.00-12.00 (siang hari) dengan nilai konsentrasi sebesar 6,09 mg/m3. Dan yang terendah terjadi pada hari minngu 03.00-04.00 (pagi hari), yakni hanya sebesar 0,35 mg/m3. Sedangkan pada hari kerja konsentrasi tertinggi biasanya terjadi pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 07.00-09.00 dan sore hari menjelang malam, yaitu pada pukul 19.00 -20.00. konsentrasi tertinggi pada hari rabu, tanggal 6 April 2005, yaitu sebesar 11,10 mg/m3 pada pukul 19.00-20.00. Dan konsentrasi terendah terjadi pada hari rabu pukul 03.00-04.00 yaitu sebesar 0,56 mg/m3.

(3)

PENDUGAAN KONSENTRASI KARBON MONOKSIDA (CO)

DARI SUMBER GARIS (TRANSPORTASI)

MENGGUNAKAN BOX-MODEL “

STREET CANYON

NADAR SATRIA

G24101035

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Sains

pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Penelitian

: Pendugaan Konsentrasi Karbon Monoksida CO dari

Sumber Garis (Transportasi) Menggunakan

Box-Model

“Street Canyon”

Nama Mahasiswa

:

Nadar Satria

Nomor Pokok

: G24101035

Departemen/Fakultas

: Geofisika dan Meteorologi / Matematika dan IPA

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Ana Turyanti, SSi, M.T.

Mengetahui,

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 September 1983, merupakan anak dari pasangan Iskandar Burning (alm) dan Yana Zahara. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara.

(6)

KATA PENGANTAR

Bi smi l l ahi rrahmani rrahi m

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam melaksanakan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima masukan, bimbingan dan saran maupun kritik dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ana Turyanti, S.Si, M .T. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan didikan, bimbingan, saran serta nasehat kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey dan Bapak Ir. Sobri Effendy, M Si. Yang telah bersedia menjadi penguji pada sidang skripsi.

3. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang telah bersedia memberikan data dan informasi yang diperlukan untuk penelitian ini.

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Swiss Contact yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan untuk penelitian ini.

5. Almarhum Bapak (Iskandar Burning) yang selalu jadi panutanku. Mama (Yana Zahara) dan Kak Tuti yang selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Serta tidak lupa keluarga besar M. Djuri dan Burning untuk doanya.

6. Teman seperjuangan GFM angkatan 38 atas kebersamaannya selama ini. Terutama untuk Proza, Zaenal, Anto, Rico, Haries, Iqbal, Syamsul.

7. Sahabat-sahabat terdekat : Puput, Ayu, Haddy, Harry dan Fajar untuk seluruh waktu yang diluangkan selama ini membantu penulis dalam penyelesaian skripsi.

8. Seluruh dosen atas ilmu-ilmu yang telah diberikan dan staff Departemen Geofisika & Meteorologi atas kerjasamanya.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyeles aian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri khususnya dan orang banyak pada umumnya.

Bogor, Februari 2006

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

II.1. Pengertian Polusi Udar a ... ... ... 1

II.2. Sumber dan Jenis Polusi Udara ... ... ... 2

II.3. Karakteristik Karbon Monoksida (CO) ... 2

II.4. Aspek Spasial dan Temporal ... 3

II.5 Proses yang Terjadi di Atmosfer ... 3

II.6. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Polusi Udara ... 5

II.7. Model Matematis dalam Pendugaan Polusi Udara ... 7

II..8. Efek Gedung pada ’Street Canyon’ ... 10

III. BAHAN DAN METODE ... ... ... 11

III.1. Waktu dan Tempat ... ... ... 11

III.2. Bahan dan Alat ... ... 11

III.3. Metode ... ... 12

III.4. Asumsi ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 10

IV.1. Kondisi Meteorologi ... ... 16

IV.2. Kondisi Kepadatan Lalu -lintas ... .. 16

IV.3.Hasil Perhitungan Konsentrasi CO dengan Menggunakan Box-Model Tipe ’Street Canyon’……… 18

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 22

A. Kesimpulan ... 22

B. Saran ... 23

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Skala Waktu dan Ruang Atmosferik ……… 4

Tabel 2. Tinggi Rataan Gedung di Sisi Jln. M.H Thamrin (Jakarta Pusat)... 12

Tabel 3. Faktor Emisi CO (gr/km) untuk Berbagai Jenis Kendaraan... 13

Tabel 4. Persentase Arah Angin Tanggal 1 – 7 April 2005... 16

Tabel 5. Persentase Distribusi Kecepatan Angin 1 – 7 April... 17

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Sumber Polutan di Daerah Cekungan ... 4

Gambar 2. Sebaran Polutan di Daerah Pantai... 4

Gambar 3. Pengaruh Kecepatan Angin t erhadap Konsentrasi Polutan ... 5

Gambar 4. Pola Kepulan Cerobong yang Terbentuk pada Berbagai Kondisi Stabilitas Atmosfer... 7

Gambar 5. Penyebaran Polutan pada Sumber Titik dengan Metode Gauss... 9

Gambar 6. Ilustrasi Urban Box-Model... 9

Gambar 7. Ilustrasi Penampang Melintang Reseptor... 11

Gambar 8. Sirkulasi Pusaran pada Rasio Lebar Jalan dan Tinggi Gedung Berbeda ... 12

Gambar 9. Posisi Mobile Station dan Video Camera. ……… ... 14

Gambar 10. Ilustrasi ‘street canyon’ Jl. M.H Thamrin... 14

Gambar 11. Ilustrasi Box-Model ‘street canyon’... 15

Gambar 12. Diagram Alir Metode Penelitian ……….. ... 16

Gambar 13. Distribusi Arah angin 1 April – 7 April 2005………. 16

Gambar 14. Ilustrasi Sisi Depan dan Belakang Kotak... 17

Gambar 15. Persentase Kendaraan yang Melewati Jalan M.H Thamrin pada Hari Libur... 17

Gambar 16. Persentase Kendaraan yang Melewati Jalan M.H Thamrin pada Hari Kerja ……… ... 18

Gambar 17. Grafik Volume Kendaraan Harian di Jl. M.H Thamrin Periode Harian…... 18

Gambar 18. Kondisi Jalan M.H. Thamrin Hari Libur... 18

Gambar 19. Kondisi Jalan M.H. Thamrin Hari Kerja... 18

Gambar 20. Grafik Total Beban Emisi Jl. M. H. Thamrin... 19

Gambar 21. Grafik Konsentrasi CO pada Hari Libur... 21

Gambar 22. Grafik Konsentrasi CO Pada Hari Kerja... 21

Gambar 23. Grafik Perbandingan Konsentrasi CO terhadap Baku Mutu ... 21

Gambar 24. Grafik Kecepatan Angin dan Konsentrasi CO di Jl. M.H. Thamrin... 22

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peta Lokasi Pemantauan Kualit as Udara di Jakarta... 26

Lampiran 2. Efek Gedung Terhadap Angin... 27

Lampiran 3. Peta Lokasi Jl. M.H Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat... 28

Lampiran 4. Data Arah dan Kecepatan Angin per 30 menit………... 30

Lampiran 5. Data Arah dan Kecepatan Angin per 1 Jam... 30

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Volume Lalu-lintas di Jalan M.H. Thamrin Tanggal 3 April 2005………... 32

Lampiran 7. Hasil Pengukuran Volume Lalu-lintas di Jalan M.H. Thamrin Tanggal 4 April 2005………... 33

Lampiran 8. Konsentrasi CO background di Jl. M.H. Thamrin 1 – 7 April 2005... 34

Lampiran 9 Gambar mobile station dan video camer……… 35

.Lampiran 10. Wind Rose Jl. M.H. Thamrin 1 – 7 April 2005……… 36

Lampiran 11. Perhitungan Beban Emisi (E) pada Hari Libur dan Hari Kerja………. 38

Lampiran 12. Regresi Linear Least Square untuk Mencari Nilai Konstanta k…………... 40

Lampiran 13. Pendugaan Konsentrasi CO pada Ruas Jalan M.H. Thamrin dengan Box-Model... 41

(11)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pada beberapa nega ra industri dan berkembang, polusi udara merupakan masalah yang serius dan semakin lama keberadaannya semakin meningkat. Peningkatan polusi udara pada umumnya diakibatkan karena adanya produksi listrik, emisi kendaraan, aktivitas industri, pertambahan kepadatan penduduk, kurangnya hutan atau taman kota dan lain -lain. Aktivitas lain yang dapat menjadi sumber polusi udara ialah pembakaran sampah dan aktivitas rumah tangga.

Hasil-hasil buangan dari aktivitas industri dan transportasi di kota dibagi menjadi 2 bagian, yaitu gas dan partikulat. Pencemar gas antara lain berupa karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx) dan hidrokarbon. Sedangkan partikulat berupa asap, kabut dan debu. Umumnya pada jalan -jalan besar yang jauh dari daerah perindustrian, kontribusi polutan sebagian bes ar berasal dari hasil pembuangan kendaraan yang melewati jalan tersebut. Setiap jalan mempunyai kondisi tercemar polusi berbeda-beda, dikarenakan distribusi kendaraan yang melewati suatu jalan berbeda-beda pula. Beberapa jenis gas dikeluarkan dari kendaraan bermotor, tapi yang kontribusinya paling besar sebagai pencemar adalah CO. Gas ini sangat berbahaya bagi manusia bila melebihi ambang batas yang telah ditentukan karena dapat meny ebabkan kematian (Soedomo, 2001). Oleh karena itu penting dilakukannya pemantauan CO.

Pemantauan dan penelitian kualitas udara di jalan (road side) dari sektor transportasi sudah banyak dilakukan di beberapa kota besar. Sebagai contoh prediksi konsentrasi CO pada Hope Street sepanjang tahun 1979 dengan menggunakan Box-Model ‘street canyon’. Didapatkan konsentrasi tertinggi di bulan Desember yang mencapai 25 mg/m3 (Hassan dan Crowther, 1998). Kemudian tahun 1988, di kota Gungzhou, Cina Selatan, didapatkan nilai konsentrasi CO di ketiga jalan (Zongshan, Renmin dan Huanshi Selatan) masing-masing sebesar 9; 12,8 dan 10, 2 mg/m3 (Qin dan Kot, 1993).

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa pemantauan kualitas udara (ambien), salah satuny a yang dilakukan BPLHD (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah) di kota Jakarta. Pemantauan kualitas udara dilakukan dengan metode kontinyu dan sesaat. Stasiun pemantauan tersebar di

beberapa daerah. Peta letak lokasi stasiun pemantauan udara dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasilm pemantauan BPLHD, pada bulan April dan Mei 2005 nilai CO tertinggi sebesar 7,25 dan 10, 04 mg/m3. Beberapa penelitian lain yaitu di Bandung tahun 2001 diperempatan jalan Juanda-Diponegoro -Sul anjana diperoleh konsentrasi CO tertinggi sebesar 13, 88 mg/m3 (Widiarsa, 2001). Di Bogor pada bulan Maret 1998 dilakukan pengukuran konsentrasi CO di depan kampus IPB Baranangsiang, besar CO maksimum adalah 7,88 mg/m 3 (Haris, 1999). Dari hasil pemantauan di beberapa temp at tersebut banyak didapatkan nilai konsentrasi CO yang lebih besar dari pada nilai baku mutu sebesar 9 mg/3 (Kementrian Lingkungan Hidup, 2002)

Kota Jakarta merupakan salah satu pusat kegiatan industri dan transportasi di Indonesia, berpotensi mengalami pencemaran udara. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi mengenai distribusi dan konsentrasi polusi di kota ini terutama ditinjau dari sektor transportasi (sumber bergerak). Namun demikian, keterbatasan alat dan biaya seringkali menjadi kendala dalam melakukan pemantauan kualitas udara. Sehingga dalam rangka pengendalian pencemaran udara perlu adanya alternatif lain dengan cara menduga konsentrasi polutan menggunakan model.

Ada beberapa model perhitungan untuk memprediksi konsentrasi polutan. Salah satunya untuk memprediksi konsentrasi polutan pada ruas jalan adalah box-model.

I.2. Tujuan

1. M emprediksi konsentrasi karbon monoksida (CO) pada sumber garis di Jalan M.H Thamrin (Jakarta Pusat) 2. Memperkirakan arah sebaran polutan

berdasarkan arah angin.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Polusi Udara.

(12)

kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Zat pencemar dalam udara (polutan) adalah partikel-partikel halus yang mengambang dalam udara (aerosol), partikel debu, asap dan gas-gas beracun (toksik) sebagai hasil sampingan suatu upaya peningkatan industri dan aktivitas manusia. Dengan definisi mengenai pencemaran udara tersebut, maka kondisi atau prilaku zat pencemar selanjutnya tergantung pada keadaan atmosfer pada saat itu.

Arti pencemaran udara menurut Soenarmo (1996) adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara atau atmosfer, baik secara alami (debu, vulkanik, debu meteorit, pancaran garam dari laut) maupun akibat dari aktivitas manusia (gas beracun, partikel, panas dan radiasi nuklir sebagai hasil sampingan pemupukan tanaman, pembasmian hama, pengecatan, pembakaran rumah tangga, transportasi dan bermacam-macam kegiatan industri) yang melayang dalam udara dan bergerak sesuai dengan gerakan dan tingkah laku udara dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang masih diperkenankan untuk kesehatan makhluk hidup maupun estetika.

II.2. Sumber dan Jenis Polusi Udara. Sumber polusi dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami (natural) dan kegiatan antropogenik. Contoh sumber alami adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan , dekomposisi biotik, percikan air laut dan lainnya yang dapat menghasilkan buangan berupa debu, gas belerang, juga gas beracun seperti CO, SO2. P olusi udara akibat aktivitas manusia (antropogenik), secara kuantitatif sering lebih besar. Adapun sumber -sumber polusinya terdiri dari aktivitas transportasi, industri, dari persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dan rumah tangga (Soedomo, 2001). Aktivitas ini dapat menghasilkan gas buangan berupa CO, Pb, NO, Hidro Karbon, Partikel, SO2 dan lain-lain.

Penyumbang emisi terbesar dalam polusi udara di perkotaan adalah kendaraan bermotor, hasil sampingan dari pembakaran berupa gas CO, SOx dan tetraethyl lead. Kemudian aktvitas industri menjadi penyumbang terbesar kedua. Emisi polusi udara juga tergantung pada jenis industri dan prosesnya. Berbagai industri dan pusat pembangkit tenaga listrik menggunakan

tenaga dan panas yang berasal dari pembakaran arang dan bensin, hasil sampingan dari pembakaran tersebut adalah SOx, asap dan bahan pencemar lainnya. Aktivitas lainny a yang menghasilkan emisi yaitu pembakaran sampah dan kegiatan rumah tangga (Soedomo, 2001).

Menurut data statistik tahun 1994 (Pusparini, 2000) gas pencemar udara di Jakarta 92 % berasal dari transportasi, 5 % dari industri, 2 % dari kegiatan rumah tangga dan 1 % hasil emisi dari pembakaran sampah.

Berdasarkan polanya, sumber pencemar dibagi menjadi (Tjasjono, 1999) :

1. Sumber titik kontiny u, pada umumnya oleh pabrik-pabrik yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong pembuangan.

2. Sumber garis, yaitu sumber yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya jalan raya, daerah industri sepanjang tepi sungai/pantai dan lain-lain.

3. Sumber bidang, merupakan sumber pancaran kompleks yang dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan dan sebagainya

Selain itu sumber pencemar udara dapat digolongkan ke dalam sumber diam (stationary) dan sumber bergerak (mobile), kendaraan bermotor adalah contoh sumber bergerak, sedangkan pabrik merupakan salah satu dari sumber diam.

Berdasarkan ciri fisiknya, pencemaran udara dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Partikulat, yaitu zat pencemar udara yang mempunyai ukuran partikel berkisar antara 0,001 ìm – 100 ì m (debu, aerosol, timah hitam).

2. Gas, meliputi semua jenis pencemar udara yang berbentuk gas dan berukuran molekuler (CO, NOx, H2S, Hidrokarbon). 3. Energi, seperti suhu dan kebisingan.

(13)

emisi cemaran udara yang berasal dari hasil proses fisik dan kimia (photochemistry) yang bersifat reaktif, serta mengalami proses transformasi fisik-kimia menjadi unsur atau senyawa lain yang bentuknya dapat berubah dari saat diemisikan hingga setelah ada di atmosfer.

II.3. Karakterstik Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida adalah pencemar primer berbentuk gas yang tidak berwarna, tidak memiliki rasa, tidak berbau dan memiliki berat jenis yang lebih kecil dari udara serta sangat stabil dan inert di udara, mempunyai waktu tingga l 2 – 4 bulan (Purnomohadi, 1995). Karbon monoksida dalam jumlah yang berlebihan bersama beberapa gas lainnya seperti metana, akan menjadi gas rumah kaca yang dapat meningkatkan suhu permukaan bumi, karena menyebabkan radiasi gelombang panjang terperangkap (Soedomo, 2001).

Sumber utama CO berasal dari kendaraan bermotor akibat pembakaran yang tidak sempurna, dan proses industri mendu duki tampat kedua, sedangkan pembakaran sampah pertanian dan kebakaran hutan menduduki tempat ketiga dan keempat (Tjasjono, 1999). Semua aktivitas yang melibatkan pembakaran bahan-bahan organik merupakan sumber karbon monoksida. CO terbentuk juga dalam proses ledakan dan secara alami (Soedomo, 2001).

Karbon monoksida mempunyai daya gabung (afinitas) dengan hemoglobin 210 kali lebih besar dibandingkan dengan oksigen. Jika udara tercemar CO, maka hemoglobin yang ada tidak dapat mengikat oksigen. Pada konsentrasi CO di udara mencapai 0,1%, maka kapasitas darah dalam pengangkutan oksigen berkurang 50 % . hal ini menyebabkan pemberian oksigen ke dalam tubuh berkurang serta berakibat berkurangnya pengelihatan dan reksi fisik. Konsentrasi CO di udara mencapai 0,5 % (sekitar 8–14 ppm) menyebabkan pingsan dan kemudian dapat mengakibatkan kematian.

Penyebaran CO biasanya terjadi pada lapisan pencampur yang paling bawah, dengan ruang gerak konveksi vertikal yang agak terbatas, akibat sifat CO sendiri yang berberat jenis besar bernilai 1250 gram/m3 (Soenarmo, 1996).

II.4. Aspek Spasial dan Temporal Pencemaran Udara. Dinamika atmosfer merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam masalah pencemaran udara. Dalam kaitannya dengan pencemaran udara Schnelle dan Dey (2000) membagi skala waktu dan ruang atmosferik seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.

II.5. Proses yang terjadi di Atmosfer. Faktor meteorologi dan topografi mempunyai peran yang sangat penting dalam menetukan kualitas udara di su atu daerah (Oke, 1987). P arameter meteorologi dapat mempengaruhi penyebaran (dispersi), pengenceran (dilusi), transformasi fisik-kimia dan transport .

Pencemaran yang diemisikan dari setiap sumber yang ada akan tersebar di dalam atmosfer, melalui suatu pro ses dispersi, difusi, transformasi kimia, pengenceran yang kompleks dan transport . Di samping itu akibat pergerakan dan dinamika atmosfer sendiri, pencemaran yang masuk ke dalam atsmosfer dan telah mengalami proses-proses tadi akan dapat berpindah dari titik asal sumbernya ke arah atau kawasan lain, sesuai denga n arah dan kecepatan angin dominan. Sehingga dalam masalah pencemaran udara di kenal daerah sumber dan daerah penerima. Daerah sumber merupakan daerah dimana zat -zat polutan dipancarkan/diemisikan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah penerima adalah daerah yang menerima pancaran setelah polutan yang diemisikan dari sumbernya mengalami pengangkutan dan penyebaran (dispersi).

II.5.1. Dispersi (penyebaran)

(14)

Tabel 1. Skala Waktu dan Ruang Atmosferik

Fenomena

Skala Waktu Horizontal Vertikal yang Terjadi

Skala Mikro Detik Sampai 1 mm sampai Permukaan Angin taufan turbulensi

(gaya Coriolis jam 1 km sampai 100 m kecil

diabaikan) Lapse rate permukaan

Efek pergesekan Lapisan batas Efek topografi Skala Meso Jam sampai 1 km sampai Permukaan Turbulensi besar (antara stasiun hari 100 km sampai 1 km Angin laut dan darat

meteorologi Kota kecil dan Urban heat island

kota besar Angin gunung dan

Pengendalian lembah

polusi udara

Sinoptik efek rata-rata Negara dan Permukaan 10 Sistem badai (skala siklon) dalam jangka benua sampai15 km Pembentukan awan

panjang Cuaca

(hari sampai Gelombang udara

minggu)

Skala Makro hari sampai 100 km sampai Permukaan Efek global tahun belahan bumi sampai 20 km

Meteorologi Skala Pengukuran

Sumber : Schnelle dan Dey (2000)

Fakor meteorologi yang mempengaruhi meliputi suhu udara, angin (arah dan kecepatannya), kelembaban udara ( RH) serta stabilitas atmosfer. Meningkatnya kecepatan angin akan mempercepat dan memperluas area penghilangan polutan, sehingga konsentrasinya berkurang tiba di daerah penerima. Selain itu, kondisi lapse rate juga penting karena ketidakstabilan atmosfer ak an turut mendukung masuknya polutan ke lapisan udara yang lebih tinggi (upward).

Topografi setempat turut mempengaruhi kondisi meteorologi yang selanjutnya mempengaruhi pola dispersi polutan. Sebagai contoh, apabila daerah penerima merupakan daerah lembah atau cekungan maka konsentrasi akan terakumulasi akibat pola angin di cekungan tersebut . Seperti penelitian Turyanti (2005) yang menyimpulkan bahwa gas polutan di kota Bandung akan cenderung terakumulasi, akibat pola angin di cekungan . Sementara apabila daerah penerima bukan merupakan daerah cekungan yang tingkat turbulensinya tinggi, seperti di daerah pantai maka konsentrasi pencemaran udara yang sampai pada daerah tersebut akan segera diencerkan kembali (Oke, 1987). Ilustrasinya di jelaskan pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Sebaran Polutan di Daerah Cekungan (Sumber : Godish, 1997)

Gambar 2. Sebaran polutan di Daerah Pantai (Sumber : Oke, 1978)

II.5.2.Proses Transformasi

(15)

penyerapan zat ke dalam atmosfer melalui kontak molekul, pada umumnya perjalanan lambat. Difusi turbulensi adalah penyerapan atau peresapan zat ke dalam atmosferkarena adanya proses turbulensi. Proses turbulensi adalah gerakan massa udara berpusar, sehingga mempercepat penyerapan dan peresapan zat pencemar ke dalam atmosfer (Oke, 1987).

Tingkat pencemaran udara yang terjadi di suatu wilayah juga turut dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik dari polutan di udara. Sifat bahan polutan yang sulit terurai dan berekasi dengan zat lain di udara akan menyebabkan terjadinya pengendapan polutan di udara. Sedangkan polutan yang mudah terurai dan bereaksi dengan zat lain di udara menjadi zat yang tidak berbahaya (air, H2O) dapat mengurangi tingkat polusi udara yang terjadi di suatu wilayah.

II.5.3.Proses Dilusi (pengenceran)

Zat pencemar yang ada di udara dapat diendapkan dengan adanya hujan. Secara umum proses penghilangan tersebut dipengaruhi oleh presipitasi (hujan dan salju), lapisan kabut, turbulensi, karakteristik permukaan (Oke, 1987).

II.5.4. Proses Transport.

Proses transport adalah proses pengangk utan zat pencemar ke udara secara horizontal sesuai arah angin, dengan jarak jangkau sebagai fungsi dari kecepatan angin. Jadi arah angin menentukan ke arah mana polutan akan bergerak, sedangkan kecepatan angin menentukan sejauh mana polutan akan bergerak ke suatu wilayah. (Oke, 1987).

Dalam konteks pembahasan yang umum, pergerakan (transport) pencemar udara di dalam atmosfer akan terjadi dalam tiga dimensi baik horizontal maupun transversal, sesuai dengan arah angin, maupun vertikal, ke lapisan atas atmosfer bumi.

II.6. Faktor Meteorologi yang

Mempengaruhi Polusi Udara Secara alami, faktor meteorologi berperan dalam pengaturan da n pengendalian pencemaran udara, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan dir i terhadap masuknya setiap zat pencemar. Faktor meteorologi yang berpengaruh terhadap polusi udara adalah kecepatan dan arah angin, suhu, kelembaban dan stabilitas atmosfer (Colls, 2002).

II.6.1. Arah dan Kecepatan Angin

Angin adalah pergerakan atau perpindahan besar -besaran massa ud ara secara horisontal, dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Bentuk pergerakan angin ini dapat dibedakan atas pergerakan laminar dan turbulen. Pergerakan angin laminar adalah pergerakan yang mulus sepanjang lapisan yang sejajar (lines of flow parallel and ordery). Sedangkan pergerakan angin turbulen merupakan pergerakan yang acak dan baur (chaotic motion, rapid and unpredictable) (Geiger, 1995).

Gambar 3 menjelaskan pengaruh kecepatan angin terhadap konsentrasi polutan. Pencemaran udara dianggap memasuki atmosfer dengan laju satu satuan per detik. Semakin besar kecepatan angin pada suatu daerah sumber pencemar maka konsentrasi pencemar pada daerah itu sendiri berkurang, Jika kecepatan angin lebih kecil dimungkinkan konsentrasinya akan tetap bereada di daerah sumber.

Pengaruh lain dari kecepatan angin, yaitu turbulensi. Angin yang lebih kuat menyebabkan sering terjadinya turbulensi, sehingga dengan adanya turbulensi udara tercemar lebih cepat tercampur dengan udara di sekelilingnya dan dapat mengencerkan zat pencemar. Pada skala yang lebih mikro, karekteristik permukaan dan kontur permukaan seperti pepohonan, bukit, pegunungan, dan bangunan akan menimbulkan turbulensi lebih besar. Pada angin lemah, turbulensi lebih kecil dan dengan begitu memperkecil juga terjadinya percampuran zat pencemaran dengan zat lainnya di lingkungan sekitar sehingga pengenceran susah terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar tetap tinggi (Oke, 1987).

Gambar 3. Pengaruh Kecepatan Angin terhadap Konsentrasi Polutan (Sumber : Oke, 1987).

6 m

/s

(16)

II.6.2. Suhu Udara

Pada lapisan terendah di atmosfer, yaitu dari permukaan bumi sampai lapisan troposfer, suhu berbanding terbalik (lapse rate) terhadap ketinggian. Variasi suhu pada lapisan ini akan menyebabkan terjadinya turbulensi termal yang mempengaruhi variasi angin dan menimbulkan efek pada stabilitas udara. Stabilitas udara ini yang kemudian berperan dalam dispersi vertikal polutan.

Pada lapisan dimana kenaikan suhu berbanding lurus terhadap ketinggian (inv ersi), konsentrasi polutan di atmosfer akan meningkat hingga level yang berbahaya (Schnelle dan Dey , 2000).

II.6.3. Stabilitas Udara

Stabilitas udara dalam hal ini merupakan fungsi dari profil temperatur vertikal. Profil temperatur vertikal yang menentukan stabilitas ini berperan dalam menyebarkan zat pencemar ke arah vertikal untuk proses percampuran udara tercemar dengan udara bersih.

Bila kondisi atmosfer stabil, maka gerakan udara vertikal terhambat, sehingga kemampuan atmosfer untuk mendispersikan pencemar menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan konsentrasi polutan di daerah itu besar. Sedangkan bila kondisi atmosfer tidak stabil, maka keadaan sebaliknya terjadi.

Stabilitas dipengaruhi oleh banyak parameter meteorologi, seperti insolasi, turbulensi, shear angin, dan gradien temperatur vertikal.

Dalam proses difusi, peranan stabilitas atmosfer sangat penting. Perbedaan nilai stabilitas atmosfer akan menghasilkan perbedaan pola penyebaran atau menghasilkan bentuk kepulan yang berbeda sehngga menghasilkan jarak jangkau dan kemampuan difusi yang berbeda-beda

Menurut Geiger dan Todhunter (1995) berdasarkan kondisi stabilitas atmosfer, pola kepulan suatu cerobong dapat diklasifikasikan. Pada dasarnya ada 3 (tiga) jenis pola dasar kepulan, yaitu : looping, con ing, dan fanning. Selain itu, tedapat pula pola peralihan, yakni : fumingation, lofting (Gambar 4). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

a) Looping. Pola kepulan ini terjadi jika suhu udara berkurang secara cepat dengan bertambahnya ketinggian. Kasus ini terjadi pada kondisi ketidakstabilan yang kuat (labil). Looping hanya terjadi pada siang hari, biasanya jika langit cerah dan angin hampir tenang. Karena

kelabilan udara dan pencampuran konvektif kuat, maka kepulan didispersikan secara cepat dan tidak teratur, dibawa ke atas dan ke bawah hingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer;

b) Coning. Pola kepulan ini terjadi jika suhu berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Kasus ini terjadi dalam kondisi atmosfer mendekati netral. Coning terjadi jika hari berawan dan berangin, sedangkan suhu sedikit turun dengan meningkatnya ketinggian (sekitar 1°C/100 m). Kondisi ini lebih sering terjadi pada iklim lembab dari pada iklim kering, yang disebabkan terutama oleh turbulensi secara mekanis;

c) Fanning. Pola kepulan ini terjadi jika suhu udara meningkat dengan bertambahnya ketinggian. Kasus ini terjadi dalam kondisi atmosfer stabil. Fanning sering terjadi pada malam hari dan pagi hari saat langit cerah dan angin bertiup lemah. Hal ini mendorong pembentukan lapisan udara stabil tebal dekat permukaan tanah. Pada daerah lintang tinggi, kondisi semacam ini dapat bertahan lama terutama jika ada liputan salju;

d) Lofting. Pada pola kepulan ini tidak terjadi proses pencampuran ke arah bawah

e) Fumigation. Pada kepulan ini terjadi proses pencampuran ke arah bawah dan atas yang dibatasi oleh lapisan inversi. Fumigration dikaitkan dengan inversi radiatif yang pada umumnya menghilang menjelang siang;

f) Trapping. Pola kepulan ini terjadi proses pencampuran yang lemah ke arah bawah dan atas yang dibatasi lapisan inversi. Sehingga kepulan cenderung menyebar horizontal ke arah bawah.

II.6.4. Kelembaban Nisbi (RH)

Kelembaban dapat menyatakan kondisi uap air yang dikandung oleh udara. Kelembaban udara dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak dan kelembaban relatif. Kelembaban mutlak dinyatakan sebagai tekanan uap (e), yaitu kandungan uap air per satuan volume udara. Sedangkan kelembaban relatif (RH) merupakan perbandin gan antara jumlah uap air aktual dengan kapasitas udara dalam menampung uap air.

(17)

Gambar 4. Pola Kepulan Cerobong yang Terbentuk pada Berbagai Kondisi Stabilitas Atmosfer (Sumber : Geiger dan Todhunter, 1995)

yang rendah akan menyebabkan konsentrasi polutan di atmosfer meningkat. Hal ini dikarenakan RH menghalangi pema nasan surya terhadap permukaan. Selain itu, konsentrasi partikel tersuspensi yang meningkat di udara juga akan berakibat pada berkurangnya jarak pandang (visibility) karena udara yang berkabut dan berasap (Oke 1987).

II.6.5. Radiasi Matahari

Radiasi mempengaruhi pencemaran udara secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung radiasi mempengaruhi proses -proses kimia di atmosfer dengan interaksi antar molekul yang bertindak sebagai fotoaseptor (Bibbero dan Young, 1974), Seperti aldehid, asam nitrit (HNO2) dan Ozon (O3), yang berlangsung efektif pada siang hari dengan bantuan sinar matahari, dan secara tidak langsung sebagai energi penggerak udara akibat perbedaan pemanasan permukaan sehingga menimbulkan angin dan turbulensi kemudian mempengaruhi terjadinya inversi dan stabilitas udara.

II.6.6. Hujan

Hujan merupakan faktor utama dalam pembersihan atmosfer. Proses pembersihan ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu rain out dan wash out. Rain out terjadi pada saat proses kondensasi dengan partikel pencemar sebagai butir kondensasi, sedangkan wash out terjadi pada saat air hujan dalam perjalanannya ke bumi bereaksi den gan partikel-partik el pencemar (Liu dan Liptak, 2000).

II.7. Model Matematis dalam Pendugaan Polusi Udara.

(18)

model-model penduga sendiri, dan pada umumnya merupakan model yang kompleks. Dibawah ini ada beberapa model yang digunakan untuk memprediksi konsentrasi dan sebarannya dari beb erapa tipe model (Benarie, 1980) antara lain :

1). Model Fisik :

- Terowongan Angin (wind tunnel) - Saluran Air (Liquid Flume) - Tangki (Towing Tank) 2). Model Matematik : a). Empirik–Deterministik : - Kotak –Euelerian - Statistik–Rollback b). Semi-empirik :

- Gaussian Plume-Kepulan - Lintasan-Moving Cell c). Numerik-Reaktif - Box Jamak-Lagrangian - Grid -Eulerian-Finite Difference - Partikel; Partikel dalam sell d). Polusi Global

e). Jarak Pandang f). Dosage-Exposure

Model yang cocok untuk memprediksi konsentrasi polutan oleh kendaraan bermotor yaitu model sumber garis Gaussian dan model kotak (Box-Model).

II.7.1. Model Gauss

Model Gauss yang sering digunakan adalah Point Source Gaussian (model Gauss dari satu titik sumber). Model Gauss dapat menentukan konsentrasi polutan pada beberapa titik dalam suatu ruang. Model Gauss ini menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut :

• Laju emisi polutan dianggap konstan (relatif tetap)

• Rata-rata kecepatan angin dan arahnya adalah konstan

• Sifat kimia dari senyawa yang dikeluarkan adalah stabil dan tidak berubah di udara

• Daerah sekitar sumber pencemar adalah datar dan terbuka

• Pergerakan polutan searah dengan arah angin yang disebabkan oleh pergerakan angin rata-rata sebagai bentuk pengangkutan disebut adveksi. Sedangkan fluktuasi acak dalam angin yang menyebabkan materi tersebar dalam arah tegak lurus terhadap arah angin desebut difusi.

Gambar 5. Penyebaran Polutan pada Sumber Titik dengan Metode Gauss (Sumber : Oke, 1978).

Model Gauss menerangkan konsentrasi polutan (senyawa) searah arah angin (downwind) dari sumber. Beberapa penyelidikan empiris dilakukan untuk menguji validasi Model Gauss dari satu titik sumber (Gambar 5). Selanjutnya, hasil pendugaan model dibandingkan dengan data pengukuran di lapang. Berbagai studi validasi model ini diterapkan untuk gas CO, SO2 dan partikulat menunjukkan pendugaan konsentrasi polutan yang ‘hampir mendekati’ (reasonably close) dengan nilai hasil pengukuran. Dalam konteks ini, nilainya hampir mendekati nilai hasil pendugaan rata-rata sekitar 50% dari nilai-nilai hasil pengukuran.

Ketep atan dari pendugaan Model Gauss akan menurun den gan nyata jika terjadi penyimpangan dari kondisi yang digunakan dalam persamaan, misalnya adalah kecepatan angin yang konstan. Karena Model Gauss ini tidak menghitung reaksi kimia yang terjadi antara NOx dan HC, maka model ini tidak dapat digunakan untuk menduga fotokimia oksidan. Pengembangan lebih lanjut dari Model Gauss ini adalah untuk menduga pengaruh pembuangan polutan (gas) dengan konstan dari sumber garis (line sources), yaitu emisi dari kendaraan bermotor di jalan raya.

Persamaan model Gauss (Cooper dan Alley, 1994) :

C(x,y,0)=

π

2

K

x

π

2

1

2 1

exp

B

B (

2

2

B

) dB

(1)

(19)

u

K =

z

u

q

σ

{exp

2

2

)

(

2 z

H

z

σ

+ exp

+

2

2

)

(

2 z

H

z

σ

} (2)

B =

y

y

σ

(3) C(x,y,o) = Konsentrasi permukaan (g/m3)

q = Laju emisi (g/s) óy ,óz = Standar deviasi kepulan u = Kecepatan angin (m/s) H = tinggi sumber emisi (m) x,y = arah penyebaran (m)

Persamaan dari model Gauss ini digunakan sebagai dasar model prediksi untuk sumber garis lainnya, antara lain : a) Model Highway

Model ini biasanya digunakan untuk memprediksi konsentrasi polutan non reaktif di jalan raya. Persamaan matematis yang dibangun adalah milik CALINE3 (Benson, 1979 dalam Liu dan Liptak, 2000). Model ini mengasumsikan kondisi selalu tetap (s teady sate), baik emisi maupun kondisi meteorologinya. Model ini dapat memprediksi konsentrasi per-1jam sampai 24-jam jenis jalan di kota maupun pedesaan, seperti tanjakan jembatan dan jalan dua arah. Selain itu diasumsikan juga seluruh jalan memiliki topografi yang datar. Beberapa arah angin dan orientasi jalan dapat dimodelkan. Polutan primer dapat di modelkan, termasuk zat partikulat yang mana model ini memperhitungkan pengendapan.

b) Model Breezeway

Model ini dapat memprediksi konsentrasi dan dispersi polutan inert. Persamaan matematis yang dibangun adalah CAL3QHC (CALINE3 with HOT SPOT CALCULATION). Penerapan dari model ini adalah pada perempatan jalan dengan memprediksi panjang antrian dan kontribusi emisi dari kendaraan di dalam antrian (idle emission). Model ini memperhitungkan waktu fase lampu lalu -lintas (Liu dan Liptak, 2000).

II.7.2. Box Model

Urban Box Model

Box model digunakan untuk menduga rata-rata konsentrasi polutan di suatu daerah, yang disumsikan sebagai kotak dimana sumber emisi tersebar merata di permukaan bawah kotak. Selanjutnya, polutan dibawa dan didistribusikan dari daerah sumber oleh

gerak lateral sesuai dengan arah angin. Model ini menganggap suatu wilayah dan kota sebagai suatu kotak. Yang didalam kotak tersebut terjadi sebuah aktivitas yang menghasilkan gas emisi. Model ini memperhitungkan faktor meteorologi berupa arah dan kecepatan angin, serta ketinggian mixing height (boundary layer). Ilustrasi urban box-model dapat dilihat pada Gambar 6. Dalam perhitungannya diberlakukan beberapa asumsi-asumsi. Model ini mempunyai persamaan kesetimbangan :

Laju Akumulasi :

= (Laju Semua Aliran Masuk – Laju Semua Aliran Keluar ) + (Laju Pembentukan – Laju Penghilangan

C h

Q l p

Gambar 6. Ilustrasi Urban Box-Model

Box model memiliki beberapa asumsi dalam penggunaannya, yaitu antara lain (Hassan dan Crowther, 1998) :

1. Pemukaan kota berukuran panjang p dan leb ar l.

2. Laju emisi polutannya konstan (relatif tetap). Udara yang bergerak dibatasi dari atas oleh lapis an udara yang stabil pada ketinggian h. Udara yang bergerak juga dibatasi pada arah tegak lurus terhadap kecepatan angin.

3. Kondisi yang selalu tetap (steady state), baik emisi, kecepatan angin dan karakteristik udara untuk pengeceran yang nilainya tidak ber variasi terhadap waktu, lokasi dan ketinggian tempat .

4. Tidak ada polutan yang masuk atau keluar melalui bagian melalui kedua sisi yang sejajar dengan arah angin.

5. Sifat polutan adalah stabil, tidak terurai selama berada di udara dalam kota.

Asumsi aliran udara masuk dan laju emisi konstan menunjukkan kondisi steady -state, implikasinya laju akumulasi adalah nol. Laju pembentukan dan laju penghilangan sama dengan nol.

(20)

u.l.h adalah volume udara yang melalui bidang batas (sisi masuk) kotak per satuan waktu [vol/waktu]. Jika besaran ini dikalikan konsentrasi [massa/vol] akan diperoleh laju aliran massa [massa/waktu]. Co sebagai konsentrasi background. b)Laju aliran polutan yang diproduksi oleh

kota, yaitu Q. Konsentrasi di seluruh kota nilainya konstan, misalnya C Polutan hanya dapat keluar kotak melalui satu sisi, yaitu sisi keluar. Jadi laju aliran keluar adalah u.l.h.C

Konsentrasi polutan yang dilepaskan di udara ambien dengan Box Model diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut: :

t

plhC

(

)

= Qpl – Cuhl (4)

Untuk keadaan steady state C / t = 0; maka perhitungannya menjadi :

C =

uh

Qp

(5)

Dimana,

C = rat a-rata konsentrasi polutan dalam kotak pada kondisi yang selalu tetap (steady state). (g/m3)

Q = laju emisi polutan per unit area (g/m2s) u = kecepatan angin rata-rata harian (m/s) h = tinggi lapisan pencampuran (m) p,l = dimensi horizontal kotak (m)

Unsur meteorologi yang digunakan dalam box model ini adalah berupa arah dan kecepatan angin per jam. Arah dan kecepatan angin ini yang kemudian akan menentukan besarnya konsentrasi CO yang berada di dalam kotak. Konsentrasi CO berban ding terbalik dengan kecepatan angin. Semakin besar kecepatan angin maka semakin besar pula emisi yang terbawa keluar kotak dan semakin jauh juga emisi CO terbawa dari sumbernya. Maka secara langsung kecepatan angin besar pengaruhnya terhadap proses transportasi dan difusi (penyebaran) polutan (Hassan dan Crowther, 1998).

Box-Model Tipe ‘street canyon’

Box-model untuk ‘street canyon’ telah banyak digunakan untuk memprediksi konsentrasi polutan inert di jalan yang pada ke dua sisinya berdiri gedung-gedung tinggi dan tersusun rapat . Model ini selain sederhana, juga pada hasil perhitungannya jika di buat grafik perbandingan dengan nilai CO hasil observasi mempunyai trend yang cukup baik. Seperti prediksi yang dilakukan

oleh Hasan da n Crowther sepanjang tahun 1979 (Hassan dan Crowther, 1998). Menurut Qin dan Kot (1993) perbandingan tinggi gedung dan lebar jalan untuk model ‘street can yon’ sekitar 1,5 – 2.

Model ini dibuat berdasarkan analisis kondisi meteorologi, beban emisi yang di perkirakan dari data lalu-lintas, juga konsentrasi hasil pengukuran (observasi).

Box-Model merupakan penyederhanaan dari model dengan sumber garis yang telah ada (Model Gauss ). Model ini model yang paling sederhana untuk memprediksi konsentrasi polutan pada sumber garis. Dengan mempertimbangkan sebuah volume control yang digambarkan oleh sebuah ‘street canyon’ dan mengaplikasikan prinsip konservasi massa dari polutan yang ada di dalam volume control.

Model ini tidak menjelaskan secara eksplisit proses fisik dan dinamik yang ada di atmosfer. Tapi hanya memperhitungkan aspek arah dan kecepatan angin, laju emisi, dimensi kotak dan juga parameter model empirik untuk memprediksi konsentrasi per jam dari polutan (Hassan dan Crowther, 1998).

Telah di ketahui model ini merupakan pendugaan konsentrasi polutan dalam sebuah kotak yang di analogikan sebagai ‘street canyon’. Dimensi terdiri dari panjang kotak (panjang jalan) p, lebar kotak (lebar jalan) l dan tinggi kotak (tinggi gedung di kedua sisi jalan) h. Box-model pada umumnya mengasusmsikan ketinggian kotak berupa mixing height, dimana merupakan batas dari pencampuran polutan. Tapi dalam hal ini karena skala mikro ( jalan) maka dapat pula h di asumsikan sebagai rataan tinggi gedung di ke dua sisi jalan, sebagai tinggi batas lapisan pencampuran polutan.

Transport polutan diperhitungkan dari 2 arah. Pertama angin yang masuk ke dalam kotak melalui sisi depan kotak dan membawa laju emisi hingga sisi belakang kotak. Dan yang ke dua angin yang melalui atas kotak yang akan berpengaruh pada aliran pusaran di dalam kotak. Nicholson (1975) dalam Hassan dan Crowther (1998) juga menemukan bahwa transport vertikal sebagai transp ort polutan yang utama ketika angin tegak lurus terhadap ruas jalan.

(21)

u

Gedung

= leeward = windward angin hasil pengukuran (observasi). Tapi jika

arah angin semakin mendekati sudut 90° atau 270° (tegak lurus) dengan ruas jalan, maka besar kemungkinan angin yang masuk ke dalam kotak semakin kecil menjauhi nilai kecepatan angin observasi.

Box Model layak digunakan untuk gas CO, SO2 dan partikulat (debu) yang secara kimia stabil. Namun asumsi ini tidak tepat digunakan untuk Hidrokarbon (HC) dan Nitrogen Oksida (NOx) yang mendorong terbentuknya photochemical smog.

Masing-masing model punya kelebihan dan kekurangan. Model Gauss memerlukan data meteorologi lebih dari satu unsur, perhitungan pendugaan konsentrasi polutan harus melewati beberapa tahap perhitungan. Namun hasil pendugaan konsentrasi polutan selama ini hampir mendekati dengan nilai hasil pengukuran. Selain itu Model Gauss dapat menduga konsentrasi serta dispersi berbagai jenis polutan yang bersifat inert atau non-inert.

Box-Model tersebut mempunyai beb erapa kelemahan, antara lain :

• Model ini tidak memperhitungkan dispersi atmosferik polutan pada arah vertikal maupun horizontal.

• Model ini mengasumsikan bahwa emisi polutan bukan merupakan reaksi kimia selama periode waktu yang digunakan dalam analisis.

II.8. Efek Gedung pada ‘Street Canyon’

Menurut Nicholson (1975) dalam Hassan dan Crowther (1998) di dalam box-model untuk ’street canyon’ jika aliran angin diatas gedung tegak lurus dengan ruas jalan, maka akan terjadi sirkulasi pusaran (vortex) di dalam kotak. Dengan sirkulasi pusaran angin sebelah atas searah dengan arah angin dan pusaran bawahnya berlawanan dengan arah angin. Ini terjadi karena angin yang datang tegak lurus dengan ruas jalan mengalami turbulensi dengan gedung-gedung yang berada diantara jalan.

Buckland (1998) menyatakan bahwa pada ’street canyon’ reseptor terletak pada dua sisi jalan, yaitu leeward dan windward. Windward didefinisikan sebagai sisi dimana reseptor terletak pada posisi angin berhembus, sedangkan leeward mendefinisikan bahwa letak reseptor berada pada posisi arah asal angin berhembus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7 .

Beberapa penelitian mengenai ’street canyon’ menyimpulkan bahwa sirkulasi pusaran menyebabkan transport ke arah atas

Gambar 7. Ilustrasi Penampang Melintang Reseptor

pada sisi leeward dan transport ke bawah pada sisi windward. Ini yang menyebabkan polusi pada sisi leeward lebih besar dari pada sisi windward. (Nicholson, 1975 dalam Hassan dan Crowther, 1998).

Riain (1998) menyatakan bahwa sirkulasi pusaran juga bergantung kepada aspek rasio antara lebar jalan dan tinggi gedung (l/h). Jika rasio l/h mendekati 1, pusaran berbentuk lingkaran, tapi jika rasio l/h menurun kemungkinan pusaran memanjang secara horizontal, seperti terlihat pada Lampiran 2. Oke (1987) membagi tipe sirkulasi pusaran berdasar kan susunan gedung dan rasio l/h . Seperti pada Gambar 8.

III. BAHAN DAN METODE

III.1. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dengan lokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Peta lokasi Jl. M.H. Thamrin dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengolahan data dilakukan di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan DKI Jakarta.

III.2. Bahan dan Alat III.2.1. Bahan

(22)

Gambar 8. Sirkulasi Pusaran pada Rasio Lebar Jalan dan Tinggi Gedung Berbeda. (Sumber : Oke, 1987).

dengan data traffic volume yang didapat per 1 jam (Lampiran 5).

2. Data Traffic Volume (Volume Lalu-lintas), kendaraan yang melewati ruas jalan M.H Thamrin (Jakarta Pusat)i di dapat dari Swiss Contact, sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang emisi. Data berupa perhitungan rata-rata 1 jam (Lampiran 6 dan 7).

3. Data konsentrasi background CO hasil observasi di dapat dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BPLHD) DKI Jakarta hasil pengukuran langsung pada ruas jalan M.H Thamrin (road side) dengan menggunakan mobile stat ion. (Lampiran 8).

4. Data ruas jalan berupa panjang dan lebar yang diamati di dapat dari Seksi Survey & Pendataan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta. Data ruas jalan yang di dapatkan adalah sebagai berikut panjang jalan 800 meter, lebar jalan 35 meter dan tinggi gedung rata-rata 52 meter.

5. Data tinggi bangunan di sisi ruas jalan yang di amati sebagai masukan nilai H dalam model di dapat dari Dinas Penataan dan Perizinan Bangunan (P2B) Sub Bagian Arsip Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Data yang ada berupa data jumlah lantai dalam gedung, yang kemudian di asumsikan tinggi tiap lantai gedung sebesar 3 m. Maka di dapatkan data tinggi beberapa tipe bangunan, seperti pada Tabel 2.

Tabel2. Tinggi Rataan Gedung di Sisi Jln. M.H Thamrin (Jakarta Pusat)

Sumber : Arsip DPU (2003) .

6. Faktor emisi adalah suatu faktor yang dipakai untuk menghitung (prediksi) jumlah emisi yang dikeluarkan dari suatu sumber pencemar. Faktor emisi dipengaruhi oleh jenis bahan bakar dan performa kendaraan. Dalam hal ini sumber pencemarnya adalah sumber bergerak (mobile sources) dari kendaraan bermotor. Jenis mesin kendaraan yang bermesin besar maupun kecil akan berpengaruh terhadap emisi yang dikeluarkan. Pemakaian jenis bahan bakar yang berbeda juga berpengaruh pada kandungan (komposisi) pencemar yang diemisikan. Kendaraan bermotor berbahan bakar bensin akan mengem isikan CO dan NOx yang lebih besar dibandingkan kendaraan dengan bahan bakar solar, tetapi kendaraan yang berbahan bakar solar akan mengemisikan SO2 dan partikulat yang lebih besar. Faktor emisi

Jln. M.H. Thamrin

(JakartaPusat) Jumlah

Rataan Banyak

Lantai

Tinggi H (m) Gedung Duta

Besar 4 2 6

Perkantoran 2 10 30

Hotel dan

Penginapan 5 30 90

Plaza 5 20 60

(23)

di dapatkan dari hasil penelitian BPPT dan Forchungzentrum Ju elich GmbH dari release AP-42 Volume II US EPA yang sudah disesuaikan dengan kondisi jalan di Kota Jakarta. Seperti tampak pada Tabel 3.

Tabel 3 . Faktor Emisi CO (gr/km) untuk berbagai jenis kendaraan

Sumber : US EPA (1998)

III.2.2. Alat

Alat yang digunakan untuk penunjang pengolahan data penelitian yaitu seperangkat Personal Computer (PC) didukung dengan software Microsoft Office 2003, Microsoft Excel 2003, Minitab 14, Wind rose dari enviroware dan Map & Street Guide of Jakarta.

III.3. Metode III..3.1. Pengamatan

1. Data Meteorologi diukur dengan menggunakan mobile station, yang dilengkapi dengan beberapa alat meteorologi untuk mengukur arah dan kecepatan angin, radiasi, suhu dan kelembaban. Gambar mobile station dapat dilihat pada Lampiran 9. Mobile station sendiri diletakkan di depan Hotel Indonesia mulai dari tanggal 1 sampai 7 April 2005. Data di amati per 30 menit, mulai dari pukul 00.00 hingga 24.00. 2. Data Traffic Volume.

Ø Lokasi Pengukuran di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat. Lokasi dan titik sampling pengukuran volume lalulintas ini sama dengan lokasi dan titik sampling pengukuran kualitas udara ambien road side, yang telah ditetapkan berdasarkan Standar Operasi Prosedur (SOP) yang ada.

Ø Waktu pengukuran awal dimulai pukul 08.00 dan berakhir pada pukul 08.00 hari berikutnya. Lamanya pengambilan

sampling gambar adalah 10 menit dari rata-rata 1 jam traffic volume kendaraan. Teknis waktu pengambilan sampling gambar seperti ini, berdasarkan hasil evaluasi data lama, hasil pengukuran traffic volume yang dilakukan oleh DLLAJ DKI -Jakarta pengukuran tahun 2001, dan data Pusarpedal tahun 2003. Dari hasil evaluasi disimpulkan bahwa profil distribusi volume lalu lintas selama 5 hari dan selama 2 hari libur dan juga profil distribusi volume lalu lintas selama 24 jam di Jakarta tidak berfluktuasi yang sangat tajam. Perhitungan dilakukan selama 2 hari, yaitu hari Minggu tanggal 3 April 2002 dan Senin tanggal 4 April 2005. Kemudian dari data tersebut di asumsikan hari Minggu mewakili hari libur (sabtu) dan hari Senin mewakili hari kerja (Selasa-Jumat).

Ø Prosedur pelaksanaan dalam pengukuran volume lalu lintas adalah secara otomatis menggunakan video camera, untuk merekam sampling gambar volume lalu lintas dalam video cassete, kemudian sampling gambar yang telah terekam tersebut diputar di TV, dan volume lalu lintas dihitung dengan menggunakan counter. Alasan menggunakan video camera dalam perhitungan jumlah kendaran ialah dapat memperkecil resiko kesalahan, karena dengan adanya video camera perhitungan volume kendaraan bisa dilakukan secara teliti, bila terjadi kesalahan perhitungan bisa diputar ulang. Selain itu alasan penghematan tenaga manusia. Jarak video camera dari bibir jalan raya sama dengan jarak stasiun bergerak peralatan pengukur kualitas udara ambien road side secara otomatis, yaitu ± 4 meter. Gambar posisi video camera dalam sampling gambar traffic volume untuk Jl. M.H. : Thamrin dapat di lihat pada Gambar 9.

Ø Perhitungan dan Analisis Volume Lalu Lintas dilakukan dengan cara Sampling gambar yang terekam dalam beberapa buah video casette, kemudian diputar ulang di media TV. Kemudian dengan menggunakan counter dan form isian untuk jumlah kendaraan maka volume lalu lintas dihitung. Kendaraan yang dihitung volumenya dibagi dalam jenis: Bajaj, Mobil pribadi , Taksi, Metro Bus (metro mini, kopaja dan Jenis Kendaraan Faktor Emisi

(gr/km) Mobil pribadi Bensin Diesel 24 5,2 Truk/Bus Kecil Bensin Diesel 41 5,3 Truk/Bus Besar

Diesel 2.5

Motor 4-tak 2-tak

(24)

lain-lain), Bus (Mayasari Bakti, Bianglala dan lain-lain), Small Truck, Big Truck, Large Truck dan Sepeda motor.

Ø Dimensi kotak, terdiri dari panjang (p) kotak merupakan panjang jalan yang telah ditentukan. Lebar (l) kotak mengikuti lebar jalan sedangkan tinggi (h) kotak merupakan tinggi gedung yang ada pada sisi jalan. Sisi depan dan sisi belakang kotak ditentukan dengan melihat arah angin yang dominan. Pada asumsi angin masuk dari sisi kotak depan.

= mobile station T

= video camera U S

B Gambar 9. Posisi Mobile Station dan Video

camera.

Gambar 10. Ilustrasi ‘street canyon’ Jl. M.H Thamrin

Ø Sisi depan maupun belakang kotak mengikuti ruas jalan. Penampang ruas Jalan M.H Thamrin menghadap utara-selatan (U-S), maka sisi depan dan

belakang kotak antara utara dan selatan. Batasan panjang jalan ini yaitu dari bundaran HI depan Hotel Indonesia mengarah ke utara hingga Sarinah. Gambar 10 merupakan karakteristik fisik (penampang melintang) dimensi Jalan M.H Thamrin.

III.3.2. Pendugaan Konsentrasi CO Prediksio Konsentrasi CO dilakukan 1 – 7 April 2005. Tahapan perhitungan konsentrasi CO adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan Beban Emisi (Emission

Load) pada Sumber Garis.

Beban emisi adalah banyaknya zat pencemar yang dipancarkan oleh suatu sumber. Biasanya dihitung dalam satuan gram per satuan waktu. Dalam tugas akhir ini zat pencemar udara hanya diperhitungkan dari sumber emisi gas CO yang merupakan gas buangan dari kendaraan bermotor. Beban emisi zat pencemar dalam studi ini dihitung berdasarkan jenis bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor. Faktor emisi dan panjang jalan dibutuhkan dalam perhitungan total beban emisi (emission load) dari sumber garis. Hamonagan (2004) melakukan perhitunga n total emisi dari kendaraan bermotor dengan menggunakan rumus :

E =

3600

)

(

F

b

+

F

s

xTxp

(6)

E = Beban Emisi (mg/s). Fb = Faktor emisi kendaraan yang

menggunakan bahan bakar bensin. (mg/m).

Fs = Faktor emisi kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar.(mg/m).

T = Jumlah kendaraan yang melintasi jalan (kendaraan / jam) p = Panjang jalan (m).

2. Perhitungan Konsentrasi CO

Perhitungan konsentrasi karbon monoksida (CO) dengan menggunakan box-model dengan beberapa rumus dan asumsi yang digunakan. Ilustrasi box-model ”street canyon” dapat dilihat pada Gambar 11.

52 m

15 m

5 m

15 m

(25)

Gambar 11. Ilustrasi Box-M odel ”street canyon”

Rumus Prinsip Konservasi Massa dalam box model:

t

plhC

(

)

= Qpl – Cuhl (7)

Dimana: h = ketinggian polutan bercampur (m) p = panjang kotak (m) l = lebar kotak (m)

C = konsentrasi rata-rata CO di dalam kotak (g/m3) Q = laju emisi per unit area

(g/m2s)

u = kecepatan angin konstan di dalam kotak, diukur pada stasiun meteorologi terdekat. (m/s)

Untuk kodisi stedy-state :

dt

dc

= 0; C =

uh

Qp

. (8)

Rumus (7) dan (8) berlaku untuk skala meso atau regional. Sedangkan pada perhitungan kali ini penulis menggunakan tipe box-model ‘street canyon’ (skala mikro) yang dimensi kotaknya berupa ruas jalan (p,l) dan tinggi gedung (h). Rumus perhitungan yang digunakan dalam perhitungan Box-Model ‘street canyon’ dengan memperhitungkan arah angin yang tidak selalu sejajar dengan jalan, dipergunakan koreksi trigonometri (Hassan dan Crowther, 1998). Persamaan (7) menjadi :

t

hplC

(

)

= Qpl – (C-Co)uElh – (C-

Co)vEpl – k3(C-Co) (9)

C = Konsentrasi dalam kotak (mg/m3) Co = Konsentrasi background (mg/m3) Q = Laju emisi (mg/m2s)

vE = Kecepatan Ventilasi angin ke arah atas kotak; u.sin ã (m/s)

uE = Kecepatan bilas angin k e sisi belakang kotak; u.cos ã (m/s)

Diasumsikan keadaan steady state, C/ t = 0, total kehilangan polutan yang melalui atas dan sisi belakang kotak sama dengan nilai yang polutan yang dihasilkan dalam kotak. E = Qpl dan persamaan (9) menjadi:

C = C0+

)

)

)

sin

.

(

.

)

cos

.

(

(

k

1

u

l

h

k

2

u

pl

k

3

E

+

+

γ

γ

(10)

k1 = Parameter konstan komponen angin yang membujur

k2 = Parameter konstan komponen angin yang melintang

k3 = Parameter konstan untuk kondisi calm (m3/s)

3. Penentuan Parameter Konstan

Penentuan parameter konstan (k1,k2,k3) dilakukan dengan metode regresi kuadrat terkecil (least square) dengan bantuan software Minitab 14. Rumus Persamaan Box-model disubsitusukan ke dalam bentuk regresi linear berganda :

y = aX1+bX2+c; (11)

y = E/C;

E = Total Beban Emisi (mg/s) C = Konsentrasi CO hasil observasi (mg/m3)

X1 = u. Cos (ã).l.h X2 = u. Sin (ã) p.l;

u = Kecepatan angin (m/s) ã = Arah Angin (°) l = Lebar jalan (m)

h = T inggi gedung / bangunan yang mengapit jalan (m) . p = Panjang jalan (m)

a = k1; b = k2; c = k3.

Parameter k1.k2,k3 akan berbeda di

setiap waktu dan tempat. Ini sangat berhubungan dengan pola lalu-lintas pada jalan dan juga kondisi cuaca. Hassan dan Crowther (1979) mengemukakan bahwa parameter k bervariasi tiap bulan ini

u

u..ccoos sãã

u

(26)

mungkin menunjukkan variasi kondisi cuaca, seperti stabilitas atmosfer yang tidak di perhitungkan dalam model. Parameter k akan berbeda sangat significant pada musim hujan dan kemarau. Setelah itu dilakukan uji sensitivitas parameter k, untuk melihat efeknya terhadap perubahan konsentrasi CO.

III.4. Asumsi

Dalam penerapan model kotak ini diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut :

Ø Pemukaan kotak beruku ran panjang (p), lebar (l) diantara gedung-gedung. dan ketinggian gedung (h)

Ø Konsentrasi polutan yang masuk ke kotak (pada x=0) adalah konstan.

Ø Tidak ada polutan yang masuk atau keluar kedua sisi yang sejajar dengan arah angin. Melainkan keluar melalui sisi belakang kotak dan atas (atap) kotak.

Ø Konsentrasi polutan seragam di sepanjang jalan.

Ø Kondisi yang selalu tetap (steady state), baik emisi, kecepatan angin dan karakteristik udara untuk pengeceran yang nilainya tidak bervariasi terhadap ketinggian tempat.

Ø Sifat polutan adalah stabil, tidak terurai selama berada di udara dalam kotak.

Ø Tidak ada endapan yang terjadi dalam kotak.

Selanjutnya diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram Alir Metode Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Kondisi Meteorologi

Wind rose digunakan untuk mengetahui persentase distribusi kejadian arah dan kecepatan angin dalam satu periode waktu. Data masukan berupa data arah dan kecepatan angi n per 30 menit dari tanggal 1 -7 April 2005 dan didapat kan sepert i tampak pada Gambar 13. Gambar wind rose harian dapat dilihat pada Lampiran 10.

Gambar 13. Distribusi Arah angin 1 April – 7 April 2005

Tabel 4. Persentase Arah Angin Tanggal 1 – 7 April 2005

Arah Angin (°) Jumlah Persentase (%)

0 10 2.98

22.5 2 0.60

45 0 0.00

67.5 0 0.00

90 0 0.00

112.5 2 0.60

135 2 0.60

157.5 4 1.19

180 7 2.08

202.5 5 1.45

225 4 1.19

247.5 31 9.23

270 65 19.35

292.5 9 2.68

315 11 3.27

337.5 12 3.57

Faktor Emisi Model Simulasi (Box-Model) Beban Emisi Total Asumsi Data Observasi Pendugaan Konsentrasi CO Penentuan Konstanta k

Data Volume Lalu-Lintas

Data Meteorologi (Arah & Kecepatan

angin)

Dimensi Kotak (Panjang & Lebar

Jalan, Tinggi

)

(27)

Tabel 5. Persentase Distribusi Kecepatan Angin 1 – 7 April

Kecepatan Angin (m/s)

Jumlah Persentase (%) 0 – 0.5

(Calm Condition)

172 51.19

0.5 -1 75 22.32

1 – 1.5 41 12.2

1.5 - 2 36 10.71

> 2 12 3.57

Arah angin dominan selama 7 hari, yaitu angin dari arah barat ke timur (270°) dengan persentase sebesar 19,35 %. Frekuensi kecepatan angin yang sering terjadi adalah kecepatan 0–0.5 m/s, memiliki persentase sebesar 51,2 %. Menurut Liu dan Liptak (2000) kecepatan angin tersebut di kategorikan sebagai angin tenang (calm), Sedangkan angin dengan kecepatan > 2 m/s persentasenya sebesar 3.57 % atau dalam seminggu hanya 12 data (Tabel 4 dan Tabel 5).

Penentuan sisi depan dan belakang kotak disesuaikan dengan arah jalur jalan, sehubungan dengan jalur Jalan M.H. Thamrin Utara – Selatan, maka dapat dilihat pada wind rose, jika arah angin hanya dibagi menjadi utara (270°-90°) dan selatan (90°-270°) sesuai ruas jalan. Distribusi arah angin yang paling sering terjadi yaitu dari arah Selatan ke arah Utara. Jadi sisi depan kotak yaitu menghadap ke Selatan dan sisi belakang menghadap ke Utara. (Gambar 14)

ArahAngin dominan

Gambar 14. Ilustrasi Sisi Depan dan Belakang Kotak

IV.2. Kondisi Kepadatan Lalu-lintas Kepadatan lalu-lintas pada J alan M.H. Thamrin di amati selama 2 hari, yaitu hari Minggu (3 April 2005) dan hari Senin (4 April 2005). Diasumsikan hari Minggu mewakili hari libur (Sabtu) dan hari Senin mewakili hari kerja lainnya (Selasa – Jumat). Persentase kendaraan yang melewati ruas jalan M.H . Thamrin di jelaskan dalam Gambar 15 dan 16. Pada hari libur jumlah total kendaraan mencapai 111.780, dengan persentasi terbanyak yaitu mobil pribadi sebesar 48 % (53.916 kendaraan).

Sedangkan pada hari kerja total kendaraan mencapai 174.534 kendaraan. Dengan frekuensi terbesar kendaraan yang lewat adalah mobil pribadi sebanyak 96.066 (55 %) diikuti sepeda motor 46.032 (26,4 %).

0% 48% 20% 2% 3% 2% 1% 24% Bajaj Mobil pribadi Taksi Metrobus Bus Truk kecil Truk besar Sepeda motor

Gambar 15. Persentase Kendaraan yang Melewati Jalan M.H. Thamrin pada Hari Libur

U

00

Arah angin dominan

2700

900

Arah angin

(28)

0%

55%

14% 1% 2% 2% 0%

26% Bajaj

Mobil Pribadi Taksi Metrobus Bus Truk kecil Truk besar Sepeda motor

Gambar 16. Persentase Kendaraan yang Melewati Jalan M.H . Thamrin pada Hari Kerja.

Grafik Volume Kendaraan Harian di Jl. M.H. Thamrin

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

08.00-09.0010.00-11.0012.00-13.0014.00-15.0016.00-17.0018.00-19.0020.00-21.0022.00-23.0024.00-01.0002.00-03.0004.00-05.0006.00-07.00

Waktu (Jam)

Jumlah Kendaraan

Hari Libur Hari Kerja

Gambar 17. Grafik Volume Kendaraan Harian di Jl. M.H. Thamrin Hari Libur dan Kerja.

Gambar 17 menunjukkan volume kendaraan p ada hari libur dan hari kerja. Pada hari libur volume kendaraan pagi hingga sore hari relatif konstan atau tidak ada waktu puncak kendaraan yang terlalu berarti. Ini menunjukkan bahwa arus kendaraan pada hari libur cenderun g tidak banyak mengalami perubahan yang besar dari p ukul 11.00 sampai pukul 18.00. Hanya setelah pukul 18.00 jumlah kendaraan cenderung terus menurun hingga pukul 05.00 .

Pada hari kerja dapat dilihat puncak -puncak kepadatan kendaraan yang melewati Jl. M.H. Thamrin. Puncak kendaraan terjadi dua kali, pertama pada pagi hari dan yang kedua pada sore menjelang malam hari. Pada pagi hari puncak kendaraan terjadi sekitar pukul 10.00 –11.00. D an pada sore hari terjadi pada pukul 18.00–20.00. Ini disebabkan pada jam tersebut jam kantor telah usai, ditandakan dengan masyarakat yang banyak pulang dari kantor melalui akses Jl. M.H. Thamrin.

Jumlah kendaraan yang melewati Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja lebih banyak dibandingkan hari libur. Gambar 18 dan 19 menunjuk kan kepadatan kendaraan pada hari libur dan kerja.

Gambar 18. Kondisi Jalan M.H. Thamrin Hari Libur.

(29)

IV.3. Hasil Perhitungan Konsentrasi CO dengan Menggunakan Box -Model

Tipe ’Street Canyon’.

IV.3.1. Total Beban Emisi Dari Sumber Garis

Kendaraan yang sudah dikelompokan menjadi 8 jenis dalam perhitungan beban emisi dikelompokkan lagi menjadi 4, yaitu mobil pribadi (mobil pribadi dan taksi), bus/truk besar (bus dan truk besar), bus/truk kecil (metrobus dan truck kecil) dan motor (bajaj dan sepeda motor).

Beban emisi dihitung dengan persamaan (6) hasil perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11 dan grafiknya dilihat pada Gambar 20. Nilai beban emisi memiliki pola yang sama dengan data volume lalu-lintas, karena data ini sebagai satu-satunya input variabel peubah. Nilai beban emisi berbanding lurus dengan jumlah volume kendaraan.

Beban emisi pada hari libur lebih besar pada siang sampai sore hari, sedangkan malam relatif rendah, sehubungan dengan jumlah kendaraan yang lewat jalan semakin berkurang. Beban emisi maksimum pada hari libur sebesar 38.702,67 mg/s, yang terjadi pada pukul 12.00-13.00. Sedangkan nilai beban emisi terkecil ialah sebesar 4.352 mg/s yaitu pada pukul 03.00–04.00.

Nilai beban emisi maksimum pada hari kerja terjadi pada pukul 19.00-20.00, yaitu sebesar 70.976,4 mg/s. Ini mengindikasikan bahwa pada jam tersebut arus kendaraan yang melewati jalan padat. Nilai emisi mulai menurun mulai pukul 21.00 dan mencapai

nilai minimum pada jam 03.00-04.00, yaitu sebesar 1.937,07 mg/s.

IV.3.2. Pendugaan Nilai Konstanta (k) dengan Menggunakan Analisis Regresi Linear Berganda Kuadrat Terkecil (least square)

Berdasarkan persamaan (11), data traffic volume, arah dan kecepatan angin, dimensi kotak serta data konsentrasi pengukuran lapangan (observasi) dijadikan input untuk mencari parameter k1,k2,k3.

Analisis linear berganda kuadrat terkecil (least square) dijadikan metode untuk pencarian nilai konstanta k.

Persamaan (11) menghasilkan persamaan Y = 12078 + 7.44X1 - 0.0312X2, dari persamaan tersebut di dapatkan nilai masing-masing parameter k. Untuk k1 =

7,44; k2 = -0,0312; dan k3 = 12078. Hasil output dapat dilihat pada Lampiran 12.

Nilai minus (-) pada k2 mempunyai arti bahwa setiap kenaikan/penurunan nilai u.sin (ã) p.l akan diiringi dengan penurunan/kenaikan nilai E/C. Parameter -parameter k tersebut kemudian dimasukan ke dalam persamaan (10), untuk memprediksi konsentrasi CO per Jam.

Hassan dan Crowther (1998) melakukan prediksi konsentrasi CO di Jalan Hope, Inggris dan mendapatkan nilai model parameter k dari bulan ke bulan yang berbeda. Seperti pada Tabel 6.

Grafik Total Beban emisi Jl. M.H. Thamrin (1 - 7 April 2005)

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

08.00-09.0010.00-11.0012.00-13.0014.00-15.0016.00-17.0018.00-19.0020.00-21.0022.00-23.0024.00-01.0002.00-03.0004.00-05.0006.00-07.00

Waktu (Jam)

E (mg/s)

Hari Libur

Hari Kerja

(30)

Nilai k di Jalan Hope (Inggris) dan Jalan M.H. Thamrin (Indonesia) sangat berbeda jauh. Selain karena periode waktu yang berbeda, ini disebabkan juga oleh kondisi meteorologi, geografi dan juga kepadatan lalu-lintas yang sangat berbeda. Parameter k akan bervariasi dari bulan ke bulan, menurut Hassan dan Crowther (1998) ini menunjukkan variasi kondisi cuaca, seperti stabilitas atmosfer yang tidak di perhitungkan dalam model. Parameter k akan berbeda sangat significant pada musim hujan dan kemarau. Tabel 6 memperlihatkan nilai parameter k yang berubah-ubah tiap bulannya. Perbedaan yang significant pada nilai k terjadi pada musim panas (Juni dan Juli) dan musim dingin (November dan Desember).

Tabel 6 . Parameter k di Jalan Hope, Glasgow (Inggris)

Bulan k1 k2 k3

April 0,033±0,007 0,005±0.0007 40,3±2.2

Juni 0,057±0,01 0,016±0.001 64,0±2.3

Juli 0,089±0,03 0,029±0.003 94,1±4.4

Oktober 0,021±0,009 0,003±0.001 41,2±4.8

November 0,057±0,007 0,005±0.0009 24,3±0.97

Desember 0,07±0,008 0,007±0.0008 29,8±1.2

Sum

Gambar

Gambar 1. Sebaran Polutan di Daerah
Gambar 3. Pengaruh
Gambar 4. Pola Kepulan Cerobong yang Terbentuk pada Berbagai Kondisi Stabilitas Atmosfer     (Sumber : Geiger dan Todhunter, 1995)
Gambar 5. Penyebaran Polutan pada Sumber Titik dengan   Metode Gauss (Sumber  : Oke, 1978)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses seleksi dilakukandenganmemenipulasi DNA yang ada pada mikroba, tanaman, atau hewan agar menjadi mikroba, tanaman, atau hewan dengan sifat yang lebih baik sehingga

Manfaat rekam medis sangat besar bagi dokter maupun pasien, selain itu rekam medis juga termasuk salah satu bahan baku Sistem Informasi Kesehatan (SIK), yang

pe rmasalahan yang menjadi kajian peneliti yaitu “Bagaimana keterlibatan Badan Musyawarah Nagari dalam proses penyusunan Rencana pembangunan Jangka. Menengah Nagari

Penulis mengharapkan agar Karyawan PT Kamaltex Karangjati dapat memberikan informasi dengan jujur sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jawaban yang saudara berikan

Oleh karena itu, menurut Benhabib, baik kalangan konservatif maupun progresif dalam hal ini terjebak pada tiga premis epistemologis yang keliru, yaitu: (1) bahwa kebudayaan

Dalam hal ini peran Badan Permusyawaratan Nagari adalah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari yang bertujuan untuk membangun kemajuan nagari

Setelah diketahui hasil belajar siswa sesudah dan sebelum diterapkan strategi practice rehearsal pairs (Praktek berpasangan) di kelas II Madrasah Ibtidaiyah Daarul

Hasil penelitian ini adalah: (1) Pengembangan LKS materi Lingkaran berbasis pembelajaran guided discovery untuk siswa SMP kelas VIII dikembangkan menggunakan model pengembangan