• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Perikanan Dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah Di Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Perikanan Dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah Di Provinsi Jawa Timur"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN PERIKANAN

DALAM KERANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

DI PROVINSI JAWA TIMUR

HAKIM MIFTAKHUL HUDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembangunan Perikanan dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Hakim Miftakhul Huda

(4)

RINGKASAN

HAKIM MIFTAKHUL HUDA. Pembangunan Perikanan dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan MUHAMMAD FIRDAUS.

Provinsi Jawa Timur dihadapkan pada permasalahan ketimpangan ekonomi. Pada sisi yang lain perikanan di Jawa Timur mempunyai potensi yang besar baik perikanan laut, darat maupun pengolahan ikan. Namun pengembangan perikanan sejauh ini belum memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian di Jawa Timur. Pengembangan perikanan secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi wilayah di Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan 1) mengkaji dan memetakan keragaan perikanan sektoral dan regional di Provinsi Jawa Timur, 2) menganalisis peran subsektor perikanan dalam perekonomian daerah di Provinsi Jawa Timur, 3) menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan subsektor perikanan dalam kerangka pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Timur, dan 4) merumuskan strategi pembangunan perikanan dalam kerangka pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Timur. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif,

shift share analysis, analisis input output dan regresi berganda data panel.

Berdasarkan keragaan secara sektoral, dari sisi jumlah pelaku usaha, produksi dan nilai produksi menunjukkan bahwa perikanan di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh perikanan laut. Berdasarkan keragaan regional, secara total 10 kabupaten/kota terbesar dalam hal jumlah pelaku usaha, sedikit berbeda dengan 10 kabupaten terbesar dari sisi produksi dan nilai produksi. Kabupaten/kota yang termasuk 10 terbesar baik dari sisi pelaku usaha, produksi maupun nilai produksi adalah Kabupaten Lamongan, Gresik dan Sumenep. Hasil analisis daya saing dengan menggunakan analisis shift-share menunjukkan bahwa lima daerah di Jawa Timur mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan yang terdiri dari Kabupaten Lamongan, Pamekasan, Banyuwangi, Trenggalek, dan Pacitan. Di Jawa Timur terdapat 15 kabupaten yang dominan perikanan laut dan 23 kabupaten yang dominan perikanan darat.

Hasil analisis input-output menunjukkan bahwa subsektor pengolahan ikan mempunyai nilai keterkaitan ke belakang yang terbesar dari seluruh sektor dan nilai keterkaitan ke depan yang relatif kecil sehingga sektor tersebut mempunyai total nilai pengganda terbesar. Nilai keterkaitan ke belakang subsektor pengolahan yang terbesar adalah dengan subsektor perikanan darat.

(5)

perikanan budidaya tambak dan kolam dengan elastisitas yang lebih rendah dari jumlah tenaga kerja. Kebijakan minapolitan memberikan pengaruh secara signifikan dan positif pada produksi perikanan budidaya laut.

Strategi pembangunan perikanan dapat diprioritaskan pada usaha pengolahan ikan yang diharapkan memacu produksi perikanan khususnya perikanan darat yang mempunyai keterkaitan terbesar dengan pengolahan ikan. Pembangunan usaha pengolahan ikan dilaksanakan di daerah yang dominan perikanan darat serta diutamakan pada daerah yang tertinggal secara perekonomian (PDRB perkapita rendah dan angka kemiskinan tinggi). Beberapa daerah yang mempunyai dominasi perikanan darat dan termasuk daerah tertinggal diantaranya adalah Pacitan, Lamongan, Malang, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Kediri, Jombang, dan Nganjuk.

Pembangunan perikanan dalam kerangka pengembangan ekonomi wilayah dapat difokuskan pada empat daerah tertinggal yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan (Pamekasan, Pacitan, Lamongan, dan Trenggalek) diikuti dengan daerah tertinggal yang hanya mempunyai keunggulan kompetitif atau terspesialisasi perikanan (Bangkalan, Sumenep, Sampang, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Kota Probolinggo, Madiun, Ngawi, Bojonegoro dan Kediri). Jumlah tenaga kerja masih menjadi variabel yang paling elastis dalam meningkatkan produksi perikanan, sehingga fokus pembangunan perikanan dapat diprioritaskan pada peningkatan jumlah tenaga kerja perikanan khususnya perikanan budidaya yang mempunyai potensi lahan yang masih luas untuk dikembangkan.

(6)

SUMMARY

HAKIM MIFTAKHUL HUDA. Fisheries Development in Regional Economic Development Framework in East Java Province. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI and MUHAMMAD FIRDAUS.

East Java province have the problems of economic disparity. On the other hand, East Java has big potential in fisheries such as in inland fisheries, marine fisheries, and fish processing. So far, the development of fisheries have not made a big contribution to the economy of East Java yet. Integrated fisheries development is expected to provide a bigger contribution in the regional economic development in East Java. This study aims to 1) analyze and mapping the performance of sectoral and regional fisheries in East Java province, 2) analyze the role of the fisheries sub-sector in the regional economy in East Java province, and 3) analyze the factors that influence the development of the fisheries sub-sector within the economic regional development framework in East Java province, and 4) formulating the fisheries development strategy within the economic regional development framework in East Java province. Analysis of the data used are the descriptive analysis, shift share analysis, analysis of input-output and panel data regression.

Based on the performance by sector, of the total number of labor, production and value of production shows that fisheries in East Java province are dominated by sea fishery. Based on the performance of regional, in total 10 districts/cities in terms of labor, slightly different from the 10 largest districts in terms of production and value of production. Districts/cities which includes the 10 largest in terms of labor, production and value of production is Lamongan, Gresik and Sumenep. Results of analysis of competitiveness by using shift-share analysis showed that five regions in East Java has a competitive advantage and specialization fishery consists of Lamongan, Pamekasan, Banyuwangi, Trenggalek, and Pacitan. In East Java, there are 15 districts/cities dominant of marine fishing and 23 districts/cities dominant of land fishery.

Input-output analysis results indicate that the fish processing subsector has the biggest backward linkages value between all sectors and small forward linkages value so that the total value of the sector has the biggest multiplier value. The biggest backward linkages value of processing sub-sector is the link with inland fishery subsector.

(7)

Fisheries development strategy can be prioritized in the fish processing business expected to spur the production of fisheries, especially inland fishery that has the greatest linkage with the processing of fish. Development of fish processing business committed in the area with the dominant in inland fisheries and prioritized in areas which are underdeveloped districts (low of GDP per capita and a high poverty rate). Some areas that have domination in inland fisheries and including the underdeveloped districts are Pacitan, Lamongan, Malang, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Kediri, Jombang, and Nganjuk.

Development of fisheries within the framework of regional economic development can be focused in four underdeveloped district that have a competitive advantage and specialization fisheries (Pamekasan, Pacitan, Lamongan, and Trenggalek) followed by the underdeveloped districts that only have a competitive advantage or specialized fisheries (Bangkalan, Sumenep, Sampang, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Probolinggo City, Madiun, Ngawi, Bojonegoro and Kediri). The number of labor is still the most elastic variable in increasing fish production, so the developing fishery can be prioritized on increasing the number of labor fisheries, especially aquaculture that have the large land which still potential to be developed.

In order to support the economic development strategy in East Java, especially in the fisheries sector can prioritize areas that have a competitive advantage and specialization as a growth poles of fisheries development, and supported by area that have competitive advantage or specialization only. Fish processing subsector can be a priority in the development of the fishery because it provides the biggest employment, output and value added multipliers among the fisheries subsector and supported by the marine and inland fisheries development. The elasticity of labor and fisheries budget is still lower so its required to upgrading skills and disseminating the technological innovation for fisheries labor and evaluating the alocation of the fisheries budget to be more effective in supporting fisheries production growth.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

PEMBANGUNAN PERIKANAN

DALAM KERANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

DI PROVINSI JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Pembangunan Perikanan dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Timur

Nama : Hakim Miftakhul Huda NIM : H152120181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr Ketua

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah Pembangunan Perikanan dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi Wilayah di Provinsi Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr dan Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penulis sampaikan terimakasih kepada Bapak kepala dan seluruh staf dari Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi pascasarjana di Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada bapak, ibu, istri, anak, serta seluruh keluarga dan teman-teman PWD atas dukungan dan do’anya.

Semoga hasil penelitian bermanfaat baik baik penulis maupun pembaca.

Bogor, Agustus 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 8

Tujuan Penelitian 11

Manfaat Penelitian 11

Ruang Lingkup Penelitian 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 12

Subsektor Perikanan 12

Pengembangan Ekonomi Wilayah 13

Pendekatan Pembangunan Ekonomi Wilayah Secara Sektoral 14 Pendekatan Pembangunan Ekonomi Wilayah Secara Spasial 17

Teori Produksi 18

Teori Keseimbangan Umum dan Input Output 19

Hasil Penelitian Terdahulu 20

Kerangka Pemikiran 24

3 METODE PENELITIAN 26

Lokasi Penelitian 26

Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 26

Metode Analisis 27

Definisi Operasional 40

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur 41

Kondisi Geografis dan Kependudukan 41

Kondisi Ketenagakerjaan 42

Kondisi Perekonomian 42

Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur 44

Kebijakan Pembangunan Subsektor Perikanan 46

Keragaan Perikanan Sektoral dan Regional di Provinsi Jawa Timur 49 Karakteristik dan Keragaan Sumberdaya Perikanan Secara Sektoral 49 Karakteristik dan Keragaan Sumberdaya Perikanan Secara Regional 56 Daya Saing Perikanan Regional di Jawa Timur 69 Peran Subsektor Perikanan dalam Perekonomian Daerah di Provinsi Jawa

Timur 71

(16)

Struktur Input 75

Struktur Nilai Tambah Bruto 77

Keterkaitan ke belakang dan ke depan 78

Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan 80

Dampak Pengganda 82

Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pembangunan Subsektor Perikanan 84

Model Pembangunan Perikanan secara Umum 84

Model Pembangunan Perikanan Menurut Tipologi Usaha 86 Strategi Pembangunan Perikanan dalam Kerangka Pengembangan Ekonomi

Wilayah di Jawa Timur 91

5 SIMPULAN DAN SARAN 96

Simpulan 96

Saran 97

DAFTAR PUSTAKA 99

(17)

DAFTAR TABEL

1. Keragaan subsektor perikanan di Jawa Timur dan nasional tahun 2012 4 2. Potensi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap laut di Jawa Timur 4 3. Potensi pemanfaatan sumberdaya perikanan budidaya di Jawa Timur

tahun 2012 5

4. Jenis dan metode pengumpulan data 26

5. Kemungkinan yang terjadi pada efek alokasi hasil SSA

Esteban-Marquillass 29

6. Struktur tabel input-output 30

7. Klasifikasi subsektor perekonomian di Jawa Timur 2012 32 8. Profil kondisi perekonomian wilayah di Jawa Timur, 2012 43 9. Lokasi pengembangan minapolitan di Jawa Timur, 2011-2013 49 10.Jumlah pelaku usaha perikanan on-farm menurut tipologi usaha di Jawa

Timur, tahun 2012 50

11.Produksi dan nilai produksi perikanan on-farm menurut tipologi usaha di

Jawa Timur, tahun 2012 51

12.Sebaran jumlah armada, alat tangkap, pelaku usaha dan produksi

perikanan tangkap di Jawa Timur, tahun 2012 52

13.Produksi dan nilai produksi beberapa komoditas utama perikanan

tangkap laut di Jawa Timur tahun 2012 53

14.Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap perairan umum daratan di

Jawa Timur tahun 2012 54

15.Luas lahan, jumlah pelaku usaha, dan produksi perikanan budidaya di

Jawa Timur tahun 2012 54

16.Produksi dan nilai produksi budidaya tambak di Jawa Timur tahun 2012 55 17.Produksi dan nilai produksi budidaya laut di Jawa Timur tahun 2012 56 18.Produksi dan nilai produksi budidaya kolam di Jawa Timur tahun 2012 56 19.Jumlah pelaku usaha perikanan on-farm regional di Jawa Timur, tahun

2012 57

20.Jumlah pelaku usaha perikanan laut regional di Jawa Timur, tahun 2012 58 21.Jumlah pelaku usaha perikanan darat regional di Jawa Timur, tahun

2012 59

22.Produksi perikanan on-farm regional di Jawa Timur, tahun 2012 61 23.Produksi perikanan laut regional di Jawa Timur, tahun 2012 62 24.Produksi perikanan darat regional di Jawa Timur, tahun 2012 63 25.Nilai produksi perikanan on-farm regional di Jawa Timur, tahun 2012 65 26.Usaha pengolahan ikan regional di Jawa Timur tahun 2011 66 27.Jumlah tenaga kerja dan produksi usaha pengolahan ikan di Jawa Timur,

tahun 2011 68

28.Hasil analisis shift-share PDRB subsektor perikanan di Jawa Timur

tahun 2008-2012 70

29.Struktur permintaan menurut sektor perekonomian di Jawa Timur, tahun

2012 72

30.Struktur permintaan akhir menurut sektor perekonomian di Jawa Timur,

(18)

31.Struktur penawaran menurut sektor perekonomian di Jawa Timur, tahun

2012 74

32.Struktur input subsektor perikanan di Jawa Timur tahun 2012 75 33.Struktur nilai tambah bruto di Jawa Timur tahun 2012 77 34.Dampak pengganda sektor perekonomian di Jawa Timur tahun 2012 83 35.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan on-farm di Jawa Timur,

2004-2012 85

36.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan on-farm menurut kelompok kode shift share analysis di Jawa Timur, 2008-2012 86 37.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan tipologi tangkap laut di

Jawa Timur, 2008-2012 87

38.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan tipologi tambak di

Jawa Timur, 2008-2012 88

39.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan tipologi kolam di Jawa

Timur, 2008-2012 89

40.Hasil pendugaan model pembangunan perikanan tipologi budidaya laut

di Jawa Timur, 2008-2012 90

41.Sebaran kabupaten/kota menurut kode SSA Esteban-Marquillas dan

daerah tertinggal di Jawa Timur, tahun 2012 91

42.Wilayah pembangunan perikanan di Jawa Timur 92

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan ekspor-impor perikanan Indonesia, tahun 2008-2012 1 2. Perkembangan kontribusi sektor perekonomian terhadap total PDRB

Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2012 2

3. Kontribusi penyerapan tenaga kerja menurut lapangan usaha di Jawa

Timur, Agustus 2012 3

4. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, 2009-2012 6 5. PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2012 7 6. Grafik perkembangan kontribusi PDRB/PDB subsektor perikanan

terhadap total PDRB/PDB tahun 2008-2012 9

7. Pertumbuhan nilai ekspor dan impor perikanan Provinsi Jawa Timur,

tahun 2009-2012 10

8. Ruang lingkup aktivitas usaha perikanan 11

9. Kerangka pemikiran penelitian 24

10.Peta wilayah Provinsi Jawa Timur menurut klaster pembangunan 41 11.Nilai transaksi antara subsektor perikanan laut, tahun 2012 78 12.Nilai transaksi antara subsektor perikanan darat, tahun 2012 79 13.Nilai transaksi antara subsektor pengolahan ikan, tahun 2012 79 14.Sebaran nilai IDP dan IDK sektor perekonomian di Jawa Timur, 2012 81 15.Strategi pembangunan perikanan dalam pengembangan ekonomi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produksi dan nilai produksi perikanan kabupaten dan kota di Jawa

Timur, 2012 102

2. PDRB Perikanan atas dasar harga konstan tahun 2000 periode

2008-2012 103

3. Keragaan perikanan di Indonesia, tahun 2012 104

4. Klasifikasi 27 sektor perekonomian di Jawa Timur 105 5. Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan secara umum di

Provinsi Jawa Timur 107

6. Hasil pendugaan pengaruh tenaga kerja dan anggaran belanja daerah dan pusat bidang kelautan dan perikanan terhadap produksi perikanan di Provinsi Jawa Timur, menggunakan metode fixed effect model 108 7. Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan berdasarkan

kelompok kode shift-share analysis 109

8. Hasil pendugaan pengaruh tenaga kerja dan anggaran belanja daerah dan pusat bidang kelautan dan perikanan terhadap produksi perikanan berdasarkan kelompok kode shift-share analysis 111 9. Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan tipologi perikanan

tangkap laut 115

10.Hasil pendugaan pengaruh jumlah nelayan dan jumlah trip penangkapan dan kebijakan minapolitan terhadap produksi perikanan pada tipologi perikanan tangkap laut, menggunakan metode fixed effect model 116 11.Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan tipologi perikanan

budidaya tambak 117

12.Hasil pendugaan pengaruh jumlah pembudidaya dan jumlah bibit ikan dan kebijakan minapolitan terhadap produksi perikanan pada tipologi perikanan budidaya tambak, menggunakan metode fixed effect model 118 13.Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan tipologi perikanan

budidaya kolam 119

14.Hasil pendugaan pengaruh jumlah pembudidaya kolam, luas lahan kolam dan jumlah bibit ikan dan kebijakan minapolitan terhadap produksi perikanan pada tipologi perikanan budidaya kolam,

menggunakan metode random effect model 120

15.Hasil uji Hausman pada model produksi perikanan tipologi perikanan

budidaya laut 121

16.Hasil pendugaan pengaruh jumlah pembudidaya budidaya laut, luas lahan budidaya laut dan kebijakan minapolitan terhadap produksi perikanan pada tipologi perikanan budidaya laut, menggunakan random

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempunyai garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia, mempunyai potensi perikanan yang besar. Pada tahun 2012, subsektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 3.1 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional. Sementara itu dalam hal ketenagakerjaan subsektor perikanan mampu menyerap 6.43 persen dari tenaga kerja nasional. Perikanan yang dapat dikelompokkan ke dalam perikanan tangkap dan perikanan budidaya mempunyai potensi produksi sebanyak 6.4 juta ton/tahun untuk perikanan tangkap dan 12.5 juta hektar lahan budidaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada tahun 2012 telah mencapai 91 persen dari potensi lestari sementara itu potensi luas lahan untuk perikanan budidaya baru dimanfaatkan sebesar 6.3 persen. Indonesia mampu menghasilkan produksi ikan dari perikanan tangkap sebanyak 5.8 juta ton dan 9.7 juta ton dari perikanan budidaya pada tahun 2012. Produksi perikanan didominasi oleh perikanan laut sebanyak 72.27 persen (11.2 juta ton) sementara perikanan darat memberikan kontribusi sebesar 27.73 persen (4.3 juta ton) (KKPDKP 2013). Pengembangan perikanan, khususnya perikanan budidaya yang tingkat pemanfaatannya sampai dengan saat ini masih rendah merupakan salah satu alternatif kebijakan dalam memacu pengembangan wilayah di Indonesia khususnya dalam perspektif ekonomi.

Potensi perikanan yang dimiliki Indonesia memberikan peran yang baik dalam perdagangan internasional Indonesia. Volume dan nilai ekspor perikanan terus mengalami peningkatan walaupun sempat terjadi penurunan pada tahun 2009. Nilai ekspor perikanan yang selalu lebih besar daripada impornya menjadikan neraca perdagangan perikanan Indonesia pada periode 2008-2012 dalam kondisi surplus dengan perkembangan yang terus meningkat (Gambar 1) (KKPDKP 2013).

Sumber : KKP (2013)

Gambar 1 Perkembangan ekspor-impor perikanan Indonesia, tahun 2008-2012

(22)

2

Ditinjau dari sisi permintaan, ikan merupakan sumber protein utama kebanyakan masyarakat karena harga terjangkau dan tersedia. Ikan khususnya ikan rucah menjadi faktor penyelamat bagi ketahanan pangan di kebanyakan negara di Asia karena harganya yang relatif lebih murah daripada daging, telur dan ayam. Pada sisi yang lain, saat ini terjadi tren pergeseran paradigma dan gaya hidup dari konsumsi daging merah (red meat) ke daging putih/ ikan (white meat) yang dianggap lebih aman bagi kesehatan (Susilowati 2006).

Konsumsi ikan masyarakat cenderung berbanding lurus dengan besarnya pengeluaran. Semakin tinggi pengeluaran masyarakat, maka konsumsi ikan cenderung semakin meningkat. Tingkat konsumsi ikan ideal adalah 32.70 kg/kapita/tahun setara dengan 12.9 gram protein per kapita per hari. Tercapainya konsumsi ikan ideal sudah dapat memenuhi 24.8 persen angka kecukupan protein. Hal ini menunjukkan potensi ikan yang sangat besar dalam upaya pemenuhan kecukupan protein (Putri 2013).

Perikanan Indonesia dari sudut pandang penawaran dan permintaan sebagaimana diuraikan sebelumnya mempunyai peluang besar dalam mendorong pembangunan nasional khususnya ditinjau dari pembangunan sektoral. Pembangunan ekonomi secara umum difokuskan pada usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkaitan erat dengan pendapatan nasional baik secara total maupun per kapita dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan dapat didistribusikan secara merata ke seluruh masyarakat sehingga permasalahan-permasalahan sosial ekonomi seperti penggangguran, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, dan sebagainya dapat dipecahkan melalui mekanisme

trickle down effect (Todaro dan Smith 2006).

Jawa Timur sebagai salahsatu provinsi diIndonesia mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang besar dalam rangka pengembangan ekonomi di Jawa Timur. Namun demikian, tren peningkatan kebutuhan ikan dibanding kebutuhan daging merah belum berbanding lurus dengan tren peran subsektor perikanan terhadap PDRB Jawa Timur (Gambar 2).

Sumber : BPS Jawa Timur (2013)

(23)

3 Subsektor perikanan masih mempunyai peran yang relatif kecil terhadap total PDRB di Jawa Timur. Perkembangan peran subsektor perikanan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 terus mengalami penurunan, walaupun laju penurunannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertanian. Keberadaan potensi sumberdaya ikan yang besar dan kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang banyak menjadikan alasan subsektor perikanan masih relevan untuk dikembangkan di Jawa Timur.

Penduduk di Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 37 687 622 jiwa. Jumlah angkatan kerja di Jawa Timur pada Agustus 2012 mencapai 19 081 995 jiwa (50.6 persen dari penduduk) dan pengangguran terbuka sebanyak 819 563 jiwa (2.2 persen dari penduduk). Sektor pertanian dimana subsektor perikanan termasuk di dalamnya merupakan sektor yang menyerap paling banyak tenaga kerja yaitu sebesar 7 472 200 jiwa atau 39 persen dari total angkatan kerja (Gambar 3).

Sumber : BPS Jawa Timur (2013)

Gambar 3 Kontribusi penyerapan tenaga kerja menurut lapangan usaha di Jawa Timur, Agustus 2012

Provinsi Jawa Timur sampai dengan tahun 2012 masih menjadi kontributor terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor perikanan nasional dengan kontribusi sebesar 11.98 persen. Sebagai kontributor PDB subsektor perikanan terbesar, Provinsi Jawa Timur tentunya mempunyai peranan penting dalam perkembangan perikanan nasional. Tenaga kerja bidang perikanan di Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah yang besar. Bahkan jumlah tenaga kerja nelayan merupakan yang terbanyak di Indonesia. Dalam hal produksi dan nilai produksi perikanan baik tangkap maupun budidaya, Provinsi Jawa Timur juga menjadi kekuatan penting sebagai penghasil ikan terbesar ketiga di Indonesia. Keragaan perikanan di Jawa Timur dan posisinya dalam perikanan nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

(24)

4

Tabel 1 Keragaan subsektor perikanan di Jawa Timur dan nasional tahun 2012

No. Uraian Jawa Timur Nasional Persentase

(%)

6 Nilai produksi perikanan tangkap (Rp juta)

Potensi besar perikanan di Jawa Timur belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan di Jawa Timur. Pembangunan perikanan di Jawa Timur masih terjadi ketimpangan antara wilayah utara dengan selatan Jawa. Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah utara Jawa Timur telah dilakukan secara masif sehingga sumberdaya perikanan di pantai utara Jawa Timur (Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) telah mengalami lebih tangkap (over fishing). Namun sebaliknya yang terjadi di selatan Jawa Timur (Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi), pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap masih dapat dikembangkan lebih lanjut (Kusnadi 2007).

Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial (Muhammad 2001). Wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia di Selatan Jawa yang disebut dengan WPP 573, memiliki potensi perikanan yang dapat dikembangkan. Merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer 45 Tahun 2011 menunjukkan bahwa kondisi pemanfaatan di wilayah samudera Hindia termasuk dalam kategori moderate yang berarti kegiatan penangkapan ikan masih dapat dikembangkan karena dalam ruang pemanfaatan lestari (Tabel 2).

Tabel 2 Potensi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap laut di Jawa Timur

No. Wilayah Pengelolaan Perikanan

1 WPP 573 (Samudera Hindia sebelah

(25)

5 Potensi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Timur terbagi dalam dua WPP yaitu WPP 573 yang berada di selatan dan WPP 712 yang berada di utara Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data hasil penangkapan tahun 2012 WPP 712 yang berada di utara Provinsi Jawa Timur telah mengalami lebih tangkap (over fishing) sehingga aktivitas penangkapan ikan harus dikurangi untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada. Sementara itu WPP 712 yang berada di Selatan Jawa Timur masih dapat dikembangkan lebih lanjut mengingat tingkat pemanfaatan baru mencapai 77.95 persen dari potensi pemanfaatan lestari.

Pada bidang perikanan budidaya, tingkat pemanfaatan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Provinsi Jawa Timur sampai dengan tahun 2012 masih mencapai 22.03 persen dari luas lahan yang berpotensi untuk kegiatan perikanan budidaya (Tabel 3). Pengembangan perikanan budidaya diharapkan dapat dilakukan secara intensif khususnya untuk budidaya laut, kolam dan mina padi, sedangkan untuk tambak hampir mendekati potensi optimal.

Tabel 3 Potensi pemanfaatan sumberdaya perikanan budidaya di Jawa Timur tahun 2012

No. Jenis budidaya Potensi lahan

(ha)

Penggalian potensi dan sumberdaya lokal mempunyai peran penting sehingga harus terdapat usaha atau upaya untuk menciptakan berbagai peluang yang dapat meningkatkan penerimaan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Penggalian potensi sumberdaya wilayah merupakan prioritas utama, dengan tujuan meningkatkan pendapatan daerah berdasar prinsip keadilan dan kemandirian sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Sulistiono 2008).

(26)

6

Sumber : BPS Jawa Timur (2013)

Gambar 4 Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, 2009-2012

(27)

7

Sumber : BPS Jawa Timur (2013)

Gambar 5 PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2012

Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa nilai PDRB per kapita tinggi terkonsentrasi pada pusat perekonomian sedangkan wilayah pinggiran mendominasi sebagai daerah dengan PDRB per kapita rendah. Bahkan seluruh kabupaten di selatan Jawa Timur mempunyai nilai PDRB perkapita dibawah rata-rata Jawa Timur. Ketimpangan nilai PDRB per kapita antar daerah di Jawa Timur memerlukan strategi pengembangan ekonomi dengan memperhatikan potensi sumberdaya yang ada, khususnya pada daerah yang mengalami ketertinggalan perekonomian. Pada sisi yang lain, daerah yang pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapitanya dibawah rata-rata Jawa Timur merupakan penghasil sumberdaya perikanan utama di Jawa Timur seperti Kabupaten Sumenep, Lamongan, Banyuwangi, Trenggalek dan Tulungagung (Lampiran 1).

(28)

8

dengan bulan September 2013 mencapai 4 865 820 jiwa atau sebesar 17.04 persen dari jumlah penduduk miskin di Indonesia (BPS Jawa Timur 2013). Kemiskinan tersebut menjadi permasalahan tersendiri dalam pembangunan di Jawa Timur.

Perikanan di Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Jawa Timur pada khususnya mempunyai potensi yang besar sehingga tidak berlebihan rasanya subsektor perikanan dapat dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru atau sebagai prime mover. Pembangunan subsektor perikanan di Provinsi Jawa Timur, kedepannya diharapkan dapat menjadi sektor strategis untuk meningkatkan pengembangan perekonomian daerah melalui peningkatan peranan dan keterkaitan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah. Keterkaitan subsektor perikanan harus ditingkatkan agar mampu menarik sektor-sektor di hulunya (sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang) dan mendorong sektor-sektor di hilirnya (sektor-sektor yang memiliki keterkaitan ke depan). Semakin kuat keterkaitan subsektor perikanan dengan sektor-sektor lain, akan makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan wilayah Provinsi Jawa Timur. Strategi pembangunan perikanan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan menganalisis kondisi regional perikanan berdasarkan karakteristik tipologi usaha, komoditas unggulan dan daerah pengembangnnya di Jawa Timur.

Perumusan Masalah

Indonesia mempunyai sumberdaya perikanan yang melimpah dilihat dari potensi sumberdaya perikanannya baik secara kuantitas maupun secara diversitasnya. Namun, potensi tinggi tersebut belum dapat dioptimalkan sebagai unsur yang berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pelaku usaha perikanan masih dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin dengan pendidikan rendah dan penguasaan aset produksi yang minim.

Apabila pengembangan perikanan, dari sub-sistem produksi, pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil), sampai pemasaran dikerjakan secara profesional dan berbasis iptek, maka keunggulan komparatif yang dimiliki perikanan akan menjelma menjadi keunggulan kompetitif yang merupakan aset utama bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Keunggulan kompetitif perikanan ini akan terwujud apabila lingkungan bisnisnya yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, serta sumberdaya manusia dan iptek, bersifat kondusif bagi tumbuh suburnya usaha perikanan secara efisien, produktif dan berdaya saing tinggi (Dahuri 2000).

Jumlah penduduk terus bertambah setiap tahun sehingga kebutuhan konsumsi juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Sementara itu, dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan penambahan kesempatan kerja dapat menyebabkan ketimpangan dalam pembagian pendapatan tersebut, yang pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap peningkatan angka kemiskinan. Peningkatan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja dapat dipenuhi dengan cara meningkatkan output agregat (barang dan jasa) termasuk subsektor perikanan.

(29)

9 rata-rata mencapai 1.5 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan penduduk tentunya diikuti dengan kebutuhan bahan makanan yang harus disediakan. Salah satu kebutuhan bahan makanan yang diperlukan adalah kebutuhan ikan dimana pada sepuluh tahun terakhir tingkat konsumsi ikan di Provinsi Jawa Timur terus mengalami pertumbuhan. Kebutuhan konsumsi ikan di Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 24.55 kg/kap/tahun. Dengan tingkat konsumsi ikan sebesar 24.55 kg/kap/tahun maka provinsi Jawa Timur harus menyediakan 925 139 ton ikan untuk memenuhi konsumsi ikan penduduknya dalam waktu setahun. Besarnya kebutuhan ikan tentunya memerlukan strategi untuk meningkatkan produksi perikanan dalam rangka memenuhi konsumsi domestik dan tentunya juga dalam rangka memenuhi kebutuhan luar daerah/negeri.

Kontribusi PDRB subsektor perikanan terhadap total PDRB total di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2012 kontribusi subsektor perikanan hanya sebesar 1.76 persen. Sementara itu pada rentang waktu yang sama kontribusi PDB subsektor perikanan terhadap total PDB nasional cenderung stabil pada angka 2.2 persen (Gambar 6). Transformasi sektor primer dalam hal ini subsektor perikanan menuju sektor sekunder ataupun tersier merupakan ciri fase perkembangan wilayah. Chenery et al. (1975) menyatakan bahwa semakin tinggi Produk Domestik Bruto (PDB) dalam suatu masyarakat maka peranan sektor primer semakin menurun, sebaliknya peranan sektor sekunder dan tersier semakin meningkat. Namun demikian, berbagai strategi meningkatkan kontribusi subsektor perikanan harus terus diupayakan agar pembangunan subsektor perikanan dapat berkelanjutan.

Sumber : KKP (2013)

Gambar 6 Grafik perkembangan kontribusi PDRB/PDB subsektor perikanan terhadap total PDRB/PDB tahun 2008-2012

Neraca perdagangan produksi perikanan di Jawa Timur mengalami dinamika yang fluktuatif. Pada periode 2009-2012 rata-rata pertumbuhan nilai ekspor perikanan hanya mencapai 7.10 persen, sedangkan nilai impor mengalami pertumbuhan yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai 29.92 persen. Walaupun secara absolut nilai ekspor produksi perikanan masih lebih besar daripada nilai impor (Gambar 7), tetapi dengan rata-rata nilai pertumbuhan impor yang lebih besar daripada ekspor dikhawatirkan dapat menurunkan daya saing produk perikanan lokal dan memicu ketergantungan terhadap produk impor pada masa yang akan datang. Besarnya nilai impor produk perikanan bisa menjadi hambatan dan ancaman khususnya dalam pertumbuhan ekonomi pada subsektor perikanan di Jawa Timur.

0.00 1.00 2.00 3.00

2008 2009 2010 2011 2012

(%

)

Tahun

Nasional

(30)

10

Sumber : KKP (2013)

Gambar 7 Pertumbuhan nilai ekspor dan impor perikanan Provinsi Jawa Timur, tahun 2009-2012

Pembangunan perekonomian dalam regional Jawa Timur masih terjadi ketimpangan khususnya antara daerah pinggiran dan pusat pertumbuhan ekonomi yang berada di koridor utara selatan bagian tengah Jawa Timur baik dalam hal pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapita. Pada sisi lain, daerah pinggiran mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang besar dan belum dimanfaatkan atau dikelola secara optimal. Pembangunan subsektor perikanan khususnya pada daerah tertinggal yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang besar diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Jawa Timur. Salah satu upaya kebijakan pembangunan ekonomi di Jawa Timur adalah pengembangan klaster perekonomian yang disusun dengan mempertimbangkan letak geografis dan karakteristik perekonomian wilayah. Dalam bidang perikanan, salah satu kebijakan yang penting adalah penetapan daerah minapolitan dimana ditentukan beberapa daerah sebagai prioritas pengembangan perikanan sesuai dengan keunggulan perikanan yang dimiliki.

Provinsi Jawa Timur sebagai salahsatu kekuatan perikanan nasional saat ini dihadapkan dengan tren penurunan peran subsektor perikanan terhadap total PDRB dan pertumbuhan subsektor perikanan yang cenderung lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan nasional. Pada sisi yang lain kebutuhan akan ikan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi ikan per kapita. Dalam sektor ekonomi, subsektor perikanan diketahui mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak sehingga diharapkan mereduksi jumlah pengangguran dan mampu menggerakkan perekonomian regional. Pengembangan wilayah dapat dicapai jika dapat mengoptimalkan pembangunan sektoral, sementara pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah dapat berujung pada tidak berhasilnya pembangunan sektor itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peta keragaan perikanan sektoral dan regional di Provinsi Jawa Timur?

2. Bagaimanakah peran subsektor perikanan dalam perekonomian daerah di Provinsi Jawa Timur?

3. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pembangunan subsektor perikanan dalam kerangka pengembangan ekonomi wilayah di Provinsi Jawa Timur?

(31)

11 4. Bagaimanakah strategi pembangunan subsektor perikanan dalam kerangka

pengembangan ekonomi wilayah di Provinsi Jawa Timur? Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, kemudian dirumuskan beberapa tujuan berikut.

1. Mengkaji dan memetakan keragaan perikanan sektoral dan regional di Provinsi Jawa Timur

2. Menganalisis peran subsektor perikanan dalam perekonomian daerah di Provinsi Jawa Timur

3. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan subsektor perikanan dalam kerangka pengembangan ekonomi wilayah di Jawa Timur 4. Merumuskan strategi pembangunan subsektor perikanan dalam kerangka

pengembangan ekonomi wilayah di Provinsi Jawa Timur? Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Timur khususnya subsektor perikanan. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat sebagai acuan dalam rangka replikasi pengembangan wilayah di daerah lain yang mempunyai karakteristik yang hampir mirip.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi pembangunan subsektor perikanan dalam pengembangan wilayah di Provinsi Jawa Timur. Subsektor perikanan terdiri dari perikanan laut, perikanan darat dan pengolahan ikan. Perikanan laut terdiri dari perikanan tangkap laut, budidaya tambak, dan budidaya laut. Perikanan darat terdiri dari perikanan tangkap perairan umum daratan, budidaya kolam, budidaya keramba dan jaring apung, dan budidaya minapadi dan sawah tambak. Struktur ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

(32)

12

2

TINJAUAN PUSTAKA

Subsektor Perikanan

Subsektor perikanan di berbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap pembangunan wilayah, pembangunan daerah memungkinkan peningkatan pemerataan menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur. Pengembangan subsektor perikanan di Indonesia didukung besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki dan tuntutan pasar yang semakin meningkat. Kebijakan ekonomi nasional berorientasi ekonomi kerakyatan berbasis perikanan perlu dikembangkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat pertumbuhan perekonomian. Pengembangan subsektor perikanan menjadi penekanan pembangunan dengan tujuan peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Keberhasilan pembangunan subsektor perikanan akhirnya berdampak positif bagi pengembangan industri perikanan hulu dan hilir (Wardoyo 1992).

Pengembangan sektor perikanan menyangkut berbagai aspek yang mampu menumbuhkan kegiatan produktif lainnya saling terkait, saling mendukung dan saling menguntungkan, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, mulai dari sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hingga sub sistem pemasarannya. Pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah dapat dipandang sebagai jembatan dalam mewujudkan industri yang meningkatkan nilai tambah. Industrialisasi sektor perikanan dapat menjadi jembatan antara hasil perikanan sebagai bahan baku dengan teknologi pengolahannya. Sektor perikanan relatif tidak terpengaruh adanya krisis ekonomi dan dapat dijadikan sektor unggulan bagi pemulihan perekonomian nasional. Peran strategis sektor perikanan sebagai sektor unggulan antara lain : 1. Berbahan baku lokal, tidak tergantung komponen impor untuk proses produksinya, 2. Meningkatkan devisa karena umumnya berorientasi ekspor, 3. Memiliki dimensi pemerataan karena kuatnya keterkaitan kedepan dan kebelakang dengan penggerak utamanya nelayan dan para pengusaha. Secara tidak langsung pembangunan sektor perikanan dapat ditempuh melalui transformasi sektor perikanan subsisten ke arah modern (Solahudin 1999).

Subsistem produksi pada subsektor perikanan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Berdasarkan tipologi usaha produksi perikanan, kegiatan penangkapan dapat dikelompokkan lagi menjadi perikanan tangkap laut dan perikanan tangkap perairan umum. Pada bidang perikanan budidaya berdasarkan tipologi usahanya dapat dikelompokkan menjadi budidaya laut, budidaya kolam, budidaya tambak, budidaya jaring apung, budidaya keramba, budidaya sawah tambak dan budidaya minapadi.

(33)

13 Menurut Ningsih (2005) sumber daya perikanan laut dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar yaitu: (1) sumber daya ikan demersal, yaitu jenis ikan yang hidup di atau dekat dasar perairan; (2) sumber daya ikan pelagis, yaitu jenis sumber daya ikan yang hidup di sekitar permukaan perairan; (3) sumber daya ikan pelagis besar, yaitu jenis ikan oceanik seperti tuna, cakalang, tenggiri dan lain-lain; (4) sumber daya udang dan biota laut non ikan lainnya seperti kuda laut. Sedangkan potensi pengembangan pada perikanan budidaya dapat dilakukan pada (1) budidaya laut terdiri dari budidaya ikan, moluska dan rumput laut; (2) budidaya air payau; (3) air tawar yang terdiri dari perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa), kolam air tawar dan mina padi sawah (KKP 2010).

Keadaan sumberdaya perikanan Indonesia khususnya perikanan tangkap, telah mengalami over fishing pada beberapa daerah dan adanya tren penurunan dari produksi perikanan tangkap dunia, maka dalam pembangunan perikanan Indonesia kedepan lebih memfokuskan kepada peningkatan produksi di perikanan budidaya. Hal ini terlihat pada trilogi pembangunan perikanan Indonesia yaitu (1) kendalikan perikanan tangkap; (2) kembangkan perikanan budidaya; (3) tingkatkan mutu dan nilai tambah (KKP 2010).

Pengembangan Ekonomi Wilayah

Pembangunan merupakan kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi berbagai proses sosial, ekonomi, dan institusional, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Komponen dari kehidupan yang lebih baik paling tidak memiliki tiga tujuan inti yaitu meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan, yang kedua adalah meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar kepada nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga rasa percaya diri sebagai individu maupun bangsa, dan yang ketiga adalah memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan bangsa (Todaro dan Smith 2003).

Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, yaitu terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang dinamis (Rustiadi et al. 2011).

(34)

14

segi pemerintahan. Tujuan pembangunan daerah hanya dapat dicapai apabila pemerintah daerah dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pembangunan daerah merupakan suatu usaha mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab (Sjafrizal 2008).

Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor (sector theory) dan teori tahapan perkembangan (development stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan dan perikanan), serta sektor tertier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia telah mengalami perkembangan dan koreksi pada setiap periodenya. Mulai dari pengembangan wilayah dengan pengembangan sektoral dan parsial pada era tahun 1960-an, kutub pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, regionalisasi dengan basis wilayah fungsional (functional region), sampai dengan konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang No. 24 tahun 1992 dan diganti oleh Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Djakapermana 2010).

Berdasarkan landasan Undang-undang, konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia by legal dan empirikal haruslah mengikuti kaidah yang bersifat gabungan (mixed concept), yaitu adanya struktur ruang yang terdiri dari pusat-pusat permukiman sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial secara hirarkis (growth pole) sebagai pusat yang akan memberikan penjalaran perkembangan dan jaringan infrastruktur wilayah sebagai media/alat untuk menjalarkannya yaitu jaringan transportasi (jalan, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan jaringannya), listrik, telepon, energi dan jaringan sumberdaya air, dan pola ruang yang terdiri dari pengaturan kawasan yang berfungsi lindung (ecological approach) seperti hutan lindung, hutan taman nasional, hutan bakau, taman buru dan lainnya serta kawasan budidaya untuk kegiatan manusia meningkatkan produktivitasnya bagi tumbuh dan berkembangnya ekonomi wilayah dan kegiatan sosial seperti untuk kegiatan pertambangan, industri, pariwisata, perikanan, dan kawasan permukiman (Djakapermana 2010).

Pendekatan Pembangunan Ekonomi Wilayah Secara Sektoral

(35)

15 distribusi pendapatan, dan sebagainya dapat dipecahkan melalui mekanisme

trickle down effect (Todaro dan Smith 2006).

Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari pertumbuhan sektor ekonomi, dimana sektor ekonomi memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Pembangunan wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut yang mendorong perkembangan sektor lain. Selanjutnya sektor yang lain akan berkembang sehingga mampu mendorong perkembangan sektor lain yang terkait, sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor (Djakapermana 2010).

Teori sektor berkaitan erat dengan perubahan relatif pentingnya sektor-sektor ekonomi di mana laju perubahannya dijadikan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah. Adapun dasar bagi terjadinya perubahan, dapat dilihat pada sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, elastisitas pendapatan dan permintaan bagi barang dan jasa yang ditawarkan oleh industri dan aktivitas jasa adalah lebih tinggi daripada bagi proyek pertanian, sehingga adanya peningkatan pendapatan akan diikuti oleh pengalihan relatif sumber-sumber dari sektor-sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pada sisi penawaran, pengalihan tenaga kerja dan modal terjadi akibat adanya perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor ekonomi tersebut. Jadi teori sektor menekankan pada adanya perubahan internal daripada adanya hubungan atau perubahan eksternal seperti teori basis ekspor. Namun sebagai suatu teori yang menjelaskan pertumbuhan, ia tidak memadai oleh karena tidak menawarkan pemahaman tentang penyebab dari pertambahan itu.

Teori basis ekspor murni dikembangkan pertama kali oleh Tiebout. Teori ini membagi kegiatan produksi/jenis pekerjaan yang terdapat di dalam satu wilayah atas sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhannya tergantung kepada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artinya, sektor ini bersifat

endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi perekonomian wilayah secara keseluruhan (Tarigan 2006).

Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhanan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita 2005). Sektor basis adalah sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang kurang potensial tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service industries

(Sjafrizal 2008).

(36)

16

(competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain, mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.

Setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki independensi dalam menetapkan sektor atau komoditi yang akan menjadi prioritas pengembangan. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan diwilayahnya menjadi penting. Sektor yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi faktor pendorong bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan 2006).

Menurut Kurniawan (2009) pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai hanya sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Namun, lebih dari itu, karena sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional, maka sudah sewajarnya jika sektor perikanan dan kelautan ini dikembangkan menjadi sektor unggulan dalam kancah perdagangan internasional. Dengan demikian, dukungan sektor industri terhadap pembangunan di sektor perikanan dan kelautan menjadi suatu hal yang bersifat keharusan. (Reksohadiprodjo dan Pradono 1988), menyebutkan bahwa pembangunan perikanan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan (petani ikan) dengan jalan meningkatkan produktivitas, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar, strategi pembangunan dengan basis sumber daya alam dapat pulih (seperti sektor perikanan) merupakan suatu hal yang tepat. Hal ini di karenakan (1) potensi sumber daya Indonesia yang sangat besar; (2) keterkaitan industri hulu (backward-linkages industri) dan keterkaitan industri hilir (forward-linkages industries) yang kuat dan diharapkan dapat menciptakan efek ganda (multiplier efects) yang besar; (3) penyerapan tenaga kerja yang besar; (4) dapat mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah dikarenakan kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya alam yang dapat pulih bisa dan biasanya berlangsung di daerah pedesaan; (5) karena bersifat dapat pulih, maka bisa mewujudkan pola pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Dahuri 2002).

(37)

17 Pendekatan Pembangunan Ekonomi Wilayah Secara Spasial

Sudut pandang ilmu sosial ekonomi dalam analisis spasial lebih menekankan pada ”apa yang menjadi permasalahan” (what) dan “mengapa

masalah itu terjadi” (why). Aspek spasial tidak didefinisikan dalam bahasa yang memiliki pengertian posisi/lokasi kuantitatif, melainkan lebih pada permasalahannya. Aspek spasial dianggap hanya memiliki makna jika ada kejelasan masalah didalamnya. Karena lebih fokus pada pemahaman terhadap penyebab permasalahan, konteks spasial lebih sering menggunakan istilah-istilah yang memiliki “arti” dalam perspektif sosial-ekonomi, seperti desa, kota, wilayah, pusat dan hinterland (daerah belakang) (Rustiadi et al. 2011).

Variasi keruangan didalam pembangunan, menyangkut dua konsep utama, yaitu konsep pusat – pinggiran (core-periphery) dan konsep kutub pertumbuhan-pusat pertumbuhan (growth pole-growth centres). Konsep pusat pinggiran pertama-tama dikemukakan pada tahun 1949 oleh Pebrisch, seorang ahli ekonomi Amerika Latin. Tipe teori pembangunan ini mencoba memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan pembangunan (development), tetapi penekanannya dari aspek keruangan. Jadi konsep ini sesuai dengan kajian geografi yang juga melihat sesuatu dari segi keruangan. Perbedaan antara daerah pusat (C) dan daerah pinggiran (P) dapat dijumpai dalam beberapa skala: di dalam region, antar regions dan antara negara (pelabuhan dan daerah pendukungnya: kota dan desa; negara maju dan negara sedang berkembang). Dari konsep ini kemudian berkembang menjadi beberapa pandangan teoritis mengenai perbedaan pembangunan yaitu kemajuan antara pusat dan pinggiran (core-periphery), seperti teori polarisasi ekonomi dari Myrdal dan Hirscman, teori pembangunan regional dan Friedmann dan pandangan Marxist.

Menurut Myrdal “core region“ adalah sebagai magnit yang dapat

memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya, karena adanya sebab-sebab kumulatif ke arah perkembangan (cumulative upward causation): seperti arus buruh dari pinggiran ke pusat (P ke C); tenaga terampil, modal dan barang-barang perdagangan yang secara spontan berkembang didalam ekonomi pasar bebas untuk menunjang pertumbuhan di suatu lokasi (wilayah ) tertentu.

Konsep kutub pertumbuhan diformulasikan oleh Perroux, seorang ahli ekonomi bangsa perancis pada tahun 1950. Kutub pertumbuhan adalah pusat-pusat dalam arti keruangan yang abstrak, sebagai tempat kekuatan–kekuatan sentrifugal (memencar) dan kekuatan sentripetal tertarik kearah situ. Growth poles bukan kota atau wilayah, melainkan suatu kegiatan ekonomi yang dinamis (firma industri) dan hubungan kegiatan ekonomi yang dinamis demikian, tercipta didalam dan diantara sektor-sektor ekonomi.

Sedangkan Boudeville, seorang ahli ekonomi Perancis menggunakan konsep kutub pertumbuhan yang sudah ada dijadikan konsep keruangan yang kongkrit. Pusat pertumbuhan adalah sekumpulan (geografis) semua kegiatan. Pusat pertumbuhan adalah kota-kota atau wilayah perkotaan yang memiliki suatu industri “propulsive” yang komplek. Propulsive industries adalah industri yang mempunyai pengaruh besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap semua kegiatan lainnya (Henderink dan Murtomo 1988).

(38)

18

adalah teori tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh para pakar seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan. 1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah

sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya. 2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah

mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi penambangan dan produk-produk turunan dari minyak bumi misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.

3. Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah lainnya. 4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini

memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.

5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri 2004).

Teori Produksi

Fungsi produksi adalah hubungan antara output fisik dengan input-input fisik. Konsep tersebut didefinisikan sebagai persamaan matematika yang menunjukkan kuantitas maksimum output yang dapat dihasilkan dari serangkaian input (Miller dan Meiners 2000). Dalam pengertian umum, fungsi produksi tersebut dapat ditunjukkan dengan rumus berikut :

Q = f (K,L) ……….. (2.1)

(39)

19 Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara masukan produksi (input) dengan produksi (output). Hasil analisis fungsi produksi merupakan fungsi pendugaan. Fungsi produksi memiliki beberapa macam model antara lain model linear, kuadratik, Cobb Douglas, translog, dan transendental. Model yang paling sederhana serta yang paling mudah dianalisis dari keempat model tersebut adalah model Cobb Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, di mana variabel satu disebut variabel dependen (Y) dan yang lain disebut variabel independen (X). Penyelesaian hubungan antara X dan Y adalah biasanya dengan cara regresi, dimana variasi dari Y akan dipengaruhi variasi dari X. Dengan demikian kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas (Soekartawi 2003).

Fungsi produksi Cobb-Dougals dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi 2003) :

Y = a X1b1, X2b2, .... Xnbneu………..(2.2)

Di mana Y = Variabel yang dijelaskan; X = Variabel yang menjelaskan; a,b= Besaran yang akan diduga; e= Kesalahan (disturbance term)

Fungsi Cobb-Douglas diperkenalkan oleh Charles W. Cobb dan Paul H. Douglas pada tahun 1920. Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan di atas maka persamaan tersebut diperluas secara umum dan diubah menjadi bentuk linier dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut (Soekartawi 2003) yaitu:

LogY = Log a + b1LogX1 + b2LogX2+…. bnLogXn + e

Sukirno (2002), menyatakan bahwa fungsi produksi menunjukan sifat hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut sebagai output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam bentuk rumus , yaitu seperti berikut :

Q = f ( K, L, R, T ) ………...(2.3) Dimana K adalah jumlah stok modal, L adalah jumlah tenaga kerja, R adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan . Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor produksi tersebut yaitu secara bersama digunakan untuk memproduksi barang yang sedang dianalisis sifat produksinya. Dari persamaan tersebut diatas artinya bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang dipergunakan.

Teori Keseimbangan Umum dan Input Output

(40)

20

penyesuaian di pasar yang bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian di pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali pada kondisi keseimbangan yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada semua jenis barang di semua pasar yang berlaku bagi produsen dan konsumen disebut sebagai analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis) (Haryono 2008).

Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al. 2011).

Model analisis IO dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan dalam merencanakan pembangunan sektoral. Model IO menghasilkan kajian tentang penentuan leading sector yang dapat dijadikan fokus pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Integrasi perekonomian dalam model IO merefleksikan hubungan atau keterkaitan antar sektor (intersectoral) yang merupakan hubungan saling ketergantungan satu dengan lainnya. Perroux (1955) dalam Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengatakan bahwa keterkaitan antar sektor merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pusat pertumbuhan (growth pole) dalam pembangunan ekonomi. Growth pole tersebut seharusnya lebih mengacu pada suatu sektor yang bisa menyebar dalam berbagai aktivitas sektor produksi sehingga mampu menggerakkan ekonomi secara keseluruhan.

Hasil Penelitian Terdahulu

(41)

21 Putra (2011) melakukan penelitian peran sektor perikanan dalam perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia menggunakan analisis input-output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran sektor perikanan dalam perekonomian Indonesia masih sangat kecil, ditunjukkan oleh kontribusi dalam pembentukan output perekonomian nasional yang hanya mencapai 1.75 persen dan angka keterkaitan total yang relatif kecil yaitu sebesar 2.62876. Angka keterkaitan yang kecil ini menunjukkan bahwa multiplier efect yang ditimbulkan dari perkembangan sektor perikanan terhadap perekonomian relatif kecil, dimana setiap kenaikan satu satuan unit output sektor perikanan hanya akan berdampak pada peningkatan output total perekonomian sebesar 2.62876 rupiah. Berdasarkan struktur permintaan, 60.3 persen dari total permintaan pada sektor perikanan merupakan permintaan akhir. Sedangkan dari permintaan antara, 57.64 persen output sektor perikanan digunakan oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Struktur input pada sektor perikanan, 76.55 persen input merupakan input primer. Sedangkan input antara, kontribusi terbesar pada sektor perikanan berasal dari sektor perikanan itu sendiri yang mencapai 43.34 persen. Kontribusi terbesar dari komponen permintaan akhir dalam pembentukan output dan kebutuhan tenaga kerja pada sektor perikanan adalah pada pengeluaran konsumsi rumah tangga dan kemudian diikuti oleh komponen ekspor. Penambahan investasi sebesar 100 miliar rupiah pada sektor perikanan menyebabkan peningkatan total output perekonomian sebesar 138.039 miliar rupiah.

Miradani (2010) melakukan penelitian mengenai analisis perencanaan pembangunan agroindustri Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor unggulan berdasarkan analisis keterkaitan dan angka pengganda tabel input output updating tahun 2008 adalah (1) sektor pemotongan hewan, (2) pengolahan dan pengawetan ikan dan biota dan (3) beras. Berdasarkan analisis LQ dan SSA diketahui bahwa sentra industri pemotongan hewan terdapat di Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo, sedangkan pengolahan ikan dan biota terdapat di Banyuwangi, Lamongan dan Tuban. Adapun sektor indutri beras tersebar di Ngawi, Bondowoso, Lamongan dan Gresik.

Gambar

Gambar 9 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 4 Jenis dan metode pengumpulan data
Tabel input output Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 klasifikasi 110 sektor
Tabel 8 Profil kondisi perekonomian wilayah di Jawa Timur, 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan harga adalah proses menentukan berapa yang akan diterima perusahaan dalam penjualan produknya. Strategi harga rendah dan strategi harga tinggi dapat

terhadap Perilaku Meniru Trend Fashion di Kalangan Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau ini adalah riset kuantitatif, yaitu nilai

Tabel 2 Distribusi frekuensi dan persentase tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam

Pesatnya proses modernisasi di Kota Semarang tidak hanya menghadirkan perubahan dalam pembangunan fisik perkotaan, seperti hadirnya pasar-pasar modern dengan segala fasilitas

Di harapkan agar rumah sakit dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan dalam memberikan asuhan kebidanan khususnya pada kasus ibu bersalin dengan preeklamsi berat yaitu

PADA BIDANG SEKOLAH MENENGAH, KESISWAAN DAN PLS DI LINGKUNGAN DINAS PENDIDIKAN KOTA PEKANBARU..

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 19 (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban Keuangan

Secara umum, baik berdasarkan hasil dari angket maupun wawancara yang dilakukan, minat mahasiswa terhadap bidang otomotif mempengaruhi ketertarikan mahasiswa konsentrasi