PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA
BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH
AHMADIYAH DI CIKEUSIK
(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)
SKRIPSI
Oleh :
ANDALIA RISNOVA
0743010286
YAYASAN KESEJAHTERAAN, PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
2011
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA
BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH
AHMADIYAH DI CIKEUSIK
(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)
Disusun Oleh :
ANDALIA RISNOVA NPM. 0743010286
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing
Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2001
Mengetahui,
DEKAN
Dra. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA
BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH
AHMADIYAH DI CIKEUSIK
(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)
Oleh : ANDALIA RISNOVA
NPM. 0743010286
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 Mei 2011.
Pembimbing Tim Penguji
1. Ketua
Dra. Sumardjijati, MSi Dra. Sumardjijati, MSi
NIP. 19620323 199309 2001 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Dra. Herlina Suksmawati, MSi NIP. 19641225 199309 2001
3. Anggota
Yuli Candrasari, S.Sos, MSi NPT. 37107 94 00271
Mengetahui,
DEKAN
Dra. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alamin. Segala puji bagi Allah SWT Rabb Semesta Alam
yang telah memberi rahmat berupa kesehatan, kesempatan, serta ilmu sehingga kita
menjadi makhluk yang bermanfaat. Sholawat serta salam juga tertuju pada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW hingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini.
Proposal ini merupakan tugas akhir penyelesaian studi S1 Program Studi Komunikasi.
Adapun Proposal ini diberi judul ”Pembingkaian Media Atas Pemberitaan
Peristiwa Bentrokan antara warga dengan Jemaah Ahamdiyah di Cikeusik”
(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peran Polisi dalam Peristiwa Bentrokan
Antara Warga Dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV
One dan Metro TV Periode 6 Februari – 4 Maret 2011)
Dalam penyusunanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.
Sumardjijati, MSi selaku Dosen Pembimbing yang bersedia meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan, nasehat, motivasi serta banyak informasi baru bagi
penulis. Dengan adanya bantuan serta bimbingan maka penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
2. Bapak Juwito, S.Sos, MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional
”Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi selaku Sekertaris Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan
Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
4. Dosen Penguji yang memberikan saran dan kritik yang membangun dan
dosen–dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
5. Seluruh keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
6. Orang Tua, atas semua dukungan dan do’a yang tiada henti.
7. Suamiku tercinta .:Ricco:. terima kasih atas semua dukungan, do’a serta
pengorbanannya.
8. Si kecil .:JiLi:. yang paling ganteng, kehadiranmu membuat bunda makin
semangat.
9. Jesika, Ayu, Christina, Erika, Della, Yulia ”Thanks a lot, nat!”
10.Semua pihak yang melancarkan dan memudahkan dalam penyusunan
laporan ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal ini masih banyak kekurangan.
Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga hasil
laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mempergunakannya dalam berbagai
aspek. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Sidoarjo, 13 Maret 2011
Penulis
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GRAFIK (GAMBAR) ...xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
ABSTRAKSI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar belakang Masalah... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 11
1.3.Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 12
1.4.2. Manfaat Praktis... 12
BAB IIKAJIAN PUSTAKA ... 13
2.1.Jurnalisme Televisi Sebagai Media Massa... 13
2.2. Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas... 24
2.3. Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas ... 29
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
2.3.1. Teknis Tayangan Berita Televisi... 35
2.3.2. Perbedaan berita straight news dengan berita komprehensif dan berita investigatif ... 40
2.4. Moda Komunikasi... 40
2.5. Analisis Framing ... 42
2.5.1. Framing dan Proses Produksi Berita... 48
2.6. Model Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 49
2.6.1. Proses Framing ... 50
2.6.2. Perangkat Framing... 51
2.7. Kerangka Berpikir ... 63
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 66
3.1. Metode Penelitian ... 66
3.2. Subjek dan Objek Penelitian... 68
3.3.Unit Analisis ... 68
3.4. Populasi dan Korpus Penelitian ... 68
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 73
3.6. Teknik Analisis Data ... 73
3.7. Langkah–Langkah Analisis Framing ... 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 77
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 77
4.1.1. Gambaran Umum TV One ... 77
4.1.2. Gambaran Umum Metro TV ... 82
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
4.2. Frame TV One ... 91
4.2.1. Berita TV One, Apa Kabar Indonesia, Selasa, 8 Februari 2011, 07:24 WIB ... 92
4.2.2. Berita TV One, Kabar Siang, Selasa, 8 Februari 2011, 12:07 WIB ... 104
4.2.3. Berita TV One, Kabar Petang, Rabu, 9 Februari 2011, 18:34 WIB .... 113
4.3.Frame Metro TV ... 124
4.3.1. Berita Metro TV, Metro Siang, Rabu, 9 Februari 2011, 11:31 WIB... 124
4.3.2. Berita Metro TV, Metro Siang, Selasa, 15 Februari 2011 12:12 WIB 139 4.3.3. Berita Metro TV, Metro Hari Ini, Sabtu, 19 Februari 2011, 17:07 WIB ... 148
4.3.4. Berita Metro TV, Top Nine News, Jumat, 4 Maret 2011, 21:07 WIB 158 4.4. Frame TV One dan Metro TV ... 169
4.4.1. Frame Masing-masing Berita TV One dan Metro TV... 171
4.4.2. Perbandingan Frame TV One dan Metro TV... 172
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 174
5.1.Kesimpulan ... 174
5.2. Saran... 175
DAFTAR PUSTAKA ... xv
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Fungsi Media bagi Individu ... 18
Tabel 2.2. Kerangka Analisis Bingkai Model Pan dan Kosicki ... 53
Tabel 4.3. Naskah Berita ”Mabes Polri Kirim Tim Khusus” ... 92
Tabel 4.4. Frame TV One ”Mabes Polri Kirim Tim Khusus” dengan Model Framing
Pan dan Kosicki... 103
Tabel 4.5. Naskah Berita ”Polisi Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Ahmadiyah”.... 104
Tabel 4.6. Frame TV One ”Polisi Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Ahmadiyah”
dengan Model Framing Pan dan Kosicki... 112
Tabel 4.7. Naskah Berita ”Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah Ahmadiyah”
... 113
Tabel 4.8. Frame TV One ”Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah
Ahmadiyah” dengan Model Framing Pan dan Kosicki ... 123
Tabel 4.9. Naskah Berita ”Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas” ... 124
Tabel 4.10. Frame Metro TV ”Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas” dengan Model
Framing Pan dan Kosicki... 137
Tabel 4.11. Naskah Berita ”20 Polisi Diperiksa Terkait Tragedi Cikeusik”... 139
Tabel 4.12. Frame Metro TV ”20 Polisi Diperiksa Terkait Tragedi Cikeusik” dengan
Model Framing Pan dan Kosicki... 147
Tabel 4.13. Naskah Berita ”Lima Polisi Terancam Sangsi Kasus Cikeusik” ... 148
Tabel 4.14. Frame Metro TV ”Lima Polisi Terancam Sangsi Kasus Cikeusik” dengan
Model Framing Pan dan Kosicki... 157
Tabel 4.15. Naskah Berita ”Tiga Anggota Polsek Cikeusik jadi Tersangka”... 158
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Tabel 4.16. Frame Metro TV ”Tiga Anggota Polsek Cikeusik jadi Tersangka” dengan
Model Framing Pan dan Kosicki... 168
Tabel 4.17. Frame Berita TV One dan Metro TV Terkait Peristiwa Bentrokan antara
Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik ... 171
Tabel 4.18. Frame TV One dan Metro TV Mengenai Pemberitaan dalam Peristiwa
Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik ... 172
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
DAFTAR GRAFIK (GAMBAR)
Grafik (Gambar) 2.1. Perspektif alternatif menyangkut fungsi dan tujuan media massa
... 14
Grafik (Gambar) 2.2. Proses Konstruksi Terhadap Realitas dalam Komunikasi Massa ... 27
Grafik (Gambar) 4.3. Struktur Organisasi TV One ... 81
Grafik (Gambar) 4.4. Logo TV One ... 82
Grafik (Gambar) 4.5. Struktur Organisasi Metro TV ... 87
Grafik (Gambar) 4.6. Logo Metro TV ... 88
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Korpus di TV One... 177
Lampiran 2. Korpus di Metro TV... 180
Lampiran 3. Surat Penugasan Pembimbing Skripsi... 184
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
ABSTRAKSI
ANDALIA RISNOVA, PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN
PERISTIWA BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH
AHMADIYAH DI CIKEUSIK (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa
Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media
Televisi TV One dan Metro TV Tanggal 6 Februari – 4 Maret 2011)
Pemberitaan tentang kekerasan dalam agama di dunia pertelivisian terus
didengungkan seiring dengan berlalunya waktu. Tak henti-hentinya konflik antar
umat beragama yang mendera negeri ini disiarkan oleh berbagai media termasuk
media televisi. Tampilan berita yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama
tersebut ditampilkan secara berbeda oleh masing masing media televisi berdasarkan
ideologinya sendiri-sendiri. Salah satunya adalah berita peristiwa bentrokan antara
warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
ingin dilihat bagaimanakah perbedaan media televisi membingkai pemberitaan
peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Penelitian
ini juga bertujuan untuk mengetahui kecenderungan pemberitaan TV One dan
Metro TV dalam mengkonstruksi realitas tentang peristiwa bentrokan antara warga
dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik.
Landasan teori yang digunakan sebagai rujukan analisis antara lain, Jurnalisme
Televisi Sebagai Media Massa, Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas,
Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas, Moda Komunikasi, serta landasan
teori model framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing dengan
menggunakan teori yang dikembangkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M.
Kosicki. Unit analisisnya adalah item berita tentang peristiwa bentrokan antara
warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik yang berupa naskah berita pada
media televisi TV One dan Metro TV tanggal 6 Februari – 4 Maret 2011. Populasi
berita di TV One ada 8 berita, sementara Metro TV sebanyak 10 berita dan yang
dijadikan korpus ada 3 berita dari TV One dan 4 berita dari Metro TV.
Hasil dari penelitian ini berdasarkan analisis data yang didapat dari naskah
berita yang menjadi korpus di kedua media televisi tersebut yaitu TV One
membingkai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di
Cikeusik cenderung lebih pro (apresiasi atau menyanjung) peran polisi dalam
peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik
berdasarkan realitas bagusnya peran aktif polisi untuk menangani dan mengusut
peristiwa bentrokan Cikeusik. Sedangkan Metro TV cenderung lebih kontra dan
terkesan menjatuhkan peran polisi dalam peristiwa bentrokan antara warga dengan
jemaah Ahmadiyah di Cikeusik berdasarkan realitas buruknya peranan polisi dalam
mengatasi peristiwa bentrokan ini.
Kata kunci : Framing, peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah
di Cikeusik, TV One, Metro TV, Pan dan Kosicki.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
+++++BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pemberitaan tentang kekerasan dalam agama di dunia pertelivisian terus
didengungkan seiring dengan berlalunya waktu. Tak henti-hentinya konflik antar umat
beragama yang mendera negeri ini disiarkan oleh berbagai media. Tampilan berita
yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama tersebut tidak hanya dimuat pada
media televisi saja, isu yang menghebohkan ini juga dijadikan topik utama pada
pemberitaan di media cetak maupun media elektronik. Media cetak seperti, surat
kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan media elektronik seperti, radio, televisi dan
media online.
Berita yang berkaitan dengan SARA ini menjadi headline berita utama di
berbagai media cetak di Surabaya, seperti surat kabar dan majalah, Jawa Pos, SURYA,
Radar Surabaya, Republika, Kompas, dll. Juga menjadi topik utama dalam media
elektronik seperti radio dan televisi swasta, salah satunya adalah stasiun radio swasta
di Surabaya yaitu SS FM (Suara Suarabaya). Secara internasional media online juga
ikut memberitakan konflik antar umat beragama, diantaranya seperti, situs
liputan6.com, kompas.com, detik.com, dan arrahmah.com.
Dalam website Liputan 6 SCTV pada 10 Februari 2011, berjudul ‘Jangan Abaikan
Kekerasan Atas Nama Agama’. Wartawan menuliskan, bentrokan di Cikeusik,
Pandeglang, Banten, Minggu, 6 Februari 2011 adalah salah satu bentuk
penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah hingga menyebabkan korban
tewas. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah kepres pembubaran Ahmadiyah tidak
kunjung keluar dan itu membuat Ahmadiyah merasa leluasa untuk kembali Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
menyebarkan ajaran sesat mereka. Wartawan juga memuat pernyataan yang
dikeluarkan oleh Djoko Suyanto, selaku Menkopolhukan. Djoko Suyanto menegaskan
bahwa pemerintah mengakui kesulitan mengatasi masalah Ahmadiyah. Meski sudah
dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan menetapkan Ahmadiyah
sebagai ajaran terlarang, namun pengawasan dan pembinaan yang diamanatkan oleh
keputusan tersebut urung dilaksanakan. Ahmadiyah tetap menjadi sasaran kemarahan
yang memicu bentrokan dengan sebagian warga muslim.
Pemberitaan yang dimuat surat kabar Republika edisi 7 Februari 2011, wartawan
surat kabar ini memaparkan keberadaaan Ahmadiyah adalah sebuah penistaan agama
bagi umat Islam. Ketika pengikut Ahmadiyah meyakini ada lagi nabi setelah Nabi
Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad orang India yang di akhir hayatnya
membusuk karena kusta. Sebuah penghinaan yang menyakitkan hati umat Islam,
ketika pengikut Ahmadiyah berkeyakinan bahwa agamanya juga Islam. Padahal jelas
sekali bahwa Islam adalah ajaran terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir Rasululloh
Muhammad SAW sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Selain itu, insiden
ini juga terjadi akibat kekesalan warga yang mengaku resah dengan aktifitas
Ahmadiyah di daerahnya hingga banyak diantara saudara-saudaranya yang menjadi
pengikut aliran sesat itu. Untuk itu beberapa tokoh masyarakat meminta Parman
sebagai ketua Ahmadiyah di daerah itu untuk menghentikan kegiatannya dan kembali
ke jalan yang benar, yaitu Islam. Karena MUI sudah menyatakan bahwa Ahmadiyah
itu sesat. Pernyataan Ketua MUI Banten KH Wahaf Afif yang dimuat dalam berita ini
mengatakan bahwa MUI Banten sudah mengirim surat kepada Kejaksaan Tinggi
Banten mengenai pembubaran Ahmadiyah diseluruh Banten.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Arrahmah.com1,pada 7 Februari 2011 melansir selain desakan warga dan saran dari tokoh-tokoh masyarakat, Kapolres Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad juga
telah menasehati Parman ketika sedang bersama istrinya yang berkewarganegaraan
Filipina meminta perlindungan ke Polres Pandeglang untuk menghentikan kegiatan itu
karena khawatir akan memicu situasi yang tidak kondusif. Namun Parman tidak
mengindahkan saran-saran tersebut, dia malah mengeluarkan pernyataan yang
membakar emosi warga dan seolah menantang warga. Akhirnya insiden ini berbuntut
6 orang anggota Ahmadiyah tewas dan lainnya luka-luka serta 1 orang warga yang
tangannya terkena bacokan anggota Ahmadiyah dan hampir putus, Namun hampir
semua media massa dan media elektronik seperti kompas dan situs www.detik.com
yang mengambil sumber dari Kepolisian hanya menyebut 4 orang tewas dan 5
luka-luka.
Sedangkan pada media televisi, berita tersebut menjadi tema utama dalam
program berita berbagai stasiun televisi, baik nasional maupun lokal, juga menjadi
topik pembicaraan dalam acara talk show diberbagai media televisi, seperti pada dua
stasiun televisi swasta nasional, TV One dalam program Apa Kabar Indonesia dan
Metro TV dalam program Today’s Dialogue.
Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingan,
konflik dan fakta yang komplek dan beragam. Menurut Antonio Gramsci,
1
Arrahmah.com merupakan website berita dunia Islam dan berita Jihad Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Media adalah sebuah ruang dimana ideologi dipresentasikan. Ini berarti di satu sisi media dapat menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legimetasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga dapat menjadi alat ukur dalam membangun kultur dan ideologi tandingan. Hal ini berkaitan dengan cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh masing-masing pihak (Eryanto, 2003:47).
Masing-masing institusi media tentunya memiliki ideologi serta visi dan misi
tersendiri. Ideologi tersebut akan mempengaruhi kebijakan redaksional media.
Seseorang wartawan yang bekerja di suatu media dengan kebijakan redaksional
tertentu, tentunya akan mencari, meliput, menulis, dan melaporkan peristiwa atau
realitas berdasarkan kebijakan redaksional media. Kebijakan redaksional tersebut akan
membatasi kebebasan wartawan tersebut dalam memahami dan mempersepsikan
sebuah realitas. Intinya, bahwa seorang wartawan, bagaimana cara dia menuliskan
sebuah berita, akan mencerminkan ideology intitusi media dimana dia bernaung. Sikap
atau tendensi sang wartawan dalam meliput atau melaporkan sebuah berita akan
sekaligus menunjukan sikap dan tendensi medianya.
Dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, baik cetak maupun
elektronik, sangat mungkin akan ditemukan kesimpulan yang setara, bahwa tidak
mungkin media apapun dapat lepas dari bias-bias, baik yang berkaitan dengan
ideologi, politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya (Kaimudin, 2008:3).
Media bukanlah saluran yang bebas, media tidak sepenuhnya sama persis seperti
apa yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cerminan dari realitas yang terjadi
dalam kehudupan sehari-hari. Media yang kita lihat, justru mengkonstruksi sedemikian
rupa terhadap realitas yang ada. Ini semua terkait dengan bagaimana cara pandang
media untuk membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas tertentu.
Dalam merekontruksi berita, masing-masing media menseleksi isu-isu tertentu
dan menekankan atau menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas. Dari cara media Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
menseleksi isu dan aspek-aspek tertentu berita, akan terlihat bagaimana tendensi atau
kecenderungan media tersebut terhadap berita yang mereka buat.
Berita yang dilihat di televisi bukanlah cerminan dari peristiwa atau realitas itu
sendiri, melainkan sebuah hasil rekontruksi dari realitas. Dan yang menjadi agen
rekontruksi berita adalah wartawan. Dengan kata lain, berita yang kita konsumsi
adalah hasil rekontruksi atas peristiwa menurut perspektif wartawan.
Berita tentang peristiwa bentrokan antara warga dan jemaah Ahmadiyah di
Cikeusik adalah salah satu bukti yang dapat menunjukan betapa media-termasuk
media televisi-sulit untuk bersikap independen dan objektif secara absolut. Bagaimana
media tersebut mengkonstruksi sebuah peristiwa menjadi berita akan memperlihatkan
bagaimana kecendrungan media tersebut terhadap peristiwa yang diberitakan.
Diantara banyak stasiun televisi yang memberitakan tentang konflik Ahmadiyah.
Ada dua stasiun televisi swasta nasional yang dipilih oleh peneliti untuk dianalisa,
yaitu TV One dan Metro TV. Dua stasiun televisi yang saat ini sedang bersaing dan
sama-sama mengusung konsep news.
Sepanjang periode 6 Februari – 4 Maret 2011, TV One dalam berbagai program
berita unggulannya menyiarkan 6 berita, sementara Metro TV menyiarkan sebanyak
10 berita yang berkaitan dengan bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di
Cikeusik. Untuk berita yang berkaitan dengan peristiwa bentrokan antara warga
dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, peneliti mengambil 3 berita dari TV One dan
4 berita dari Metro TV sebagai korpus dalam penelitian ini.
Pada hari Rabu, 9 Februari 2011 pukul 19:34 WIB, pemberitaan dalam program
Kabar Petang di TV One menyiarkan berita berjudul ‘Polisi Buru 3 Provokator Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Penyerangan Jemaah Ahmadiyah’. Dalam tayangan berita tersebut, TV One
menayangkan pernyataan Brigjen Agus Kusnaedi, Kepala Kepolisian Polda Banten.
Agus Kusnaedi yang menegaskan bahwa pihaknya masih melakukan pengejaran pada
calon tersangka, karena bukti-bukit sudah cukup kuat mengarah pada para calon
tersangka. Kepolisian Polda Banten masih mengejar tiga tersangka diduga provokator
aksi penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Guna
menangkap ketiganya, polisi telah menyebarkan foto-foto calon tersangka tersebut.
Pasca penyerangan, kepolisian Polda Banten terus melakukan upaya penyelidikan
terkait dengan penyerangan ahmadiyah di dikampung pendeuy, Desa Umbulan,
Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Sementara itu, Metro TV dalam program Metro Siang pada hari Rabu, 9 Februari
2011 pukul 13:31 WIB menyiarkan berita berjudul ‘Permadi: Polisi Meninggalkan
Tugas’. Dalam tayangan berita tersebut dipaparkan pendapat Permadi, seorang
budayawan, tentang tragedi bentrokan di Cikeusik yang memakan korban. Dalam
berita tersebut, Permadi menuturkan "Saya tidak akan menyinggung akar masalahnya
karena itu sudah lama terpendam. Tapi kejadian Cikeusik kemarin itu kesalahan ada
pada aparat. Sudah diketahui sejak Jumat, kenapa tidak disiapkan pengamanan?
Dengan melihat tanda-tanda di Cikeusik, polisi tidak mencegah. Sedangkan dengan
mahasiswa ditendang, digebuk, dan sebagainya. Tetapi pada tragedi Cikeusik ini
cuma dipegang bajunya, lalu dilepaskan lagi. Bahkan polisi lari, inilah yang namanya
meninggalkan tugas". Sejumlah pengamat, seperti Politikus Partai Gerindra dan Yudi
Latief, pendiri Nurcholis Madjid Society yang dijadikan narasumber dalam tayangan
berita itu menambahkan anggapan senada, bahwa tragedi Cikeusik menodai toleransi
umat beragama di Indonesia. Mereka menilai kasus penyerangan dilatari masalah
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
keagamaan diakibatkan ketidaktegasan pemerintah dan kegagalan aparat
mengantisipasi timbulnya kerusuhan.
Dari pemberitaan mengenai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah
Ahmadiyah di Cikeusik, TV One dan Metro TV memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam menkonstruksi realitas dan mengemas berita tersebut. Perbedaan itu
akan dibuktikan peneliti, bagaimana media tersebut mengkonstruksi sebuah peristiwa
menjadi berita akan memperlihatkan bagaimana kecenderungan dan keberpihakan
dalam dua lembaga penyiaran tersebut terhadap peristiwa bentrokan di Cikeusik. TV
One lebih memberikan apresiasi pada peran aktif dan kerja polisi mengatasi dan
menuntaskan masalah bentrokan, dengan menyajikan berita yang menunjukkan upaya
polisi memburu pelaku-pelaku sebagai otak bentrokan. Contohnya ‘Polisi Buru 3
Provokator Penyerangan Jemaah Ahmadiyah’. Sedangkan Metro TV lebih kepada
memberikan kritikan tajam dan terkesan menyalahkan pihak polisi yang tidak bisa
menjalankan tugasnya untuk mencegah terjadinya bentrokan. Contohnya berita
‘Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas’.
Mengenai keberpihakan isi berita yang disajikan dua media televisi yaitu TV One
dan Metro TV tentang berita peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah
Ahmadiyah di Cikeusik, TV One merefleksikan kepentinganya dengan menonjolkan
peran polisi dalam menuntaskan bentrokan ini dengan tujuan untuk mengapresiasi
kerja polisi. Sedangkan pemberitaan di Metro TV terkait dengan berita bentrokan
Ahmadiyah tersebut, lebih cenderung mengarah pada mengkritik dan menjatuhkan
kredibilitas polisi sebagai pengayom masyarakat yang justru membiarkan kerusuhan
terjadi dan meresahkan masyarakat.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti menggunakan
paradigma kontruktivis dalam penelitian ini, dengan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik antara lain: memberikan penilaian
(evaluatif) menggunakan konsep dalam analisisnya secara teoretis, menginterpretasi,
berujung pada evaluasi, dan interpretasi dapat diperdebatkan (Berger, 2000).
Subyek penelitian adalah TV One dan Metro TV dan yang menjadi objek
penelitian adalah pemberitaan peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah
Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Berita-berita tersebut diambil dari
berbagai program berita unggulan masing-masing stasiun televisi. Analisis yang
digunakan dibatasi pada naskah berita dan gambar video berita TV One tanggal 6
Februari 2011 - 9 Februari 2011 dan Metro TV tanggal 7 Februari – 4 Maret 2011.
Teknik pengumpulan data secara primer (berupa naskah dan gambar berita TV One
dan Metro TV) dan data sekunder (studi literatur, buku, arsip, dokumen dan
sebagainya yang mendukung penelitian).
Untuk melihat perbedaan media dalam mengungkapkan suatu peristiwa (realitas),
peneliti memilih menggunakan metode analisis framing (bingkai) sebagai metode
penelitian. Alasannya, karena dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai
untuk membedah cara-cara media dalam mengkonstruksi fakta. Framing ialah sebuah
cara bagaimana media menyajikan peristiwa dan mengkonstruksi fakta. Penyajian
tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu,
dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas atau peristiwa. Media
menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari
peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat khalayak (Eriyanto, 2002 : 66-67).
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis
berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya yang menentukan fakta-fakta
apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak
dibawa kemana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis dalam Sorbur, 2006 :
162).
Ada dua esensi utama dari framing tersebut. Pertama, bagaimana peristiwa
dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak
diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian
kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan.
Digunakannya metode analisis framing dalam penelitian karena framing
merupakan analisis yang dilakukan media untuk mengkaji pembingkaian realitas
(peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain). Pembingkaian tersebut merupakan
konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan makna dan cara
tertentu. Framing digunakan media untuk menojolkan atau memberikan penekanan
aspek tertentu sesuai dengan kepentingan media. Akibatnya hanya bagian tertentu saja
yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting dan lebih mengena dalam
pikiran khalayak (Kriyantono, 2006 : 252).
Ada 4 model dalam analisis framing, antara lain Murray Edelmen, Robert N.
Entman, William A. Gamson maupun Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
(Eriyanto, 2002 : 188-225). Namun, pada penelitian ini perangkat framing yang
peneliti gunakan untuk mengkonstruksi peristiwa bentrokan antara warga dengan
jemaah Ahmadiyah menjadi berita di media televisi adalah metode analisis framing
(bingkai) milik Zhongdang Pan dan Gerard M. Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
framing dikembangkan dengan empat struktur besar yaitu, struktur sintaksis, struktur
skrip, struktur tematik, dan struktur retoris.
Pemilihan model Pan & Kosicki karena metode inilah yang paling sesuai untuk
menganalisis berita-berita yang ada di media televisi. Yang bisa dianalisis dari gaya
bahasa, sudut pandang, ungkapan, semantik (hubungan antara tanda-tanda linguistik
dengan hal-hal yang ditandainya tanda lingustik terdiri dari bunyi bahasa). Model ini
menjabarkan framing sebagai cara pandang wartawan dari dua konsepsi yaitu,
konsepsi psikologis (yang melihat frame semata sebagai persoalan internal pikiran)
dan sosiologis (yang lebih tertarik melihat frame dari sisi bagaimana lingkungan social
dikonstruksi seseorang).
Sedangkan metode analisis yang digawangi oleh Murray Edelmen lebih
condong pada bagaimana politisi menciptakan bahasa dan simbol politik untuk
mempengaruhi opini publik. Edelman melihat bagaimana para politisi dengan
menggunakan kata-kata tertentu untuk menarik dukungan publik dan mempengaruhi
pendapat umum, dan menciptakan pendapat umum tertentu yang menguntungkan
dirinya. Politik, dalam kaca mata Edelman, tidak lain adalah permainan
simbol-simbol. Lewat simbol tersebut, realitas politik diciptakan dan dibentuk. Khalayak
diajak berpikir dengan kata dan simbol yang dibuat untuk memenangkan dukungan
publik. Sehingga model ini tidak sesuai untuk pemberitaan yang akan diteliti pada
penelitan ini, yaitu pemberitaan yang berkaitan dengan Agama.
Model lainnya dari Robert N. Entman lebih pas digunakan untuk analisis
framing media cetak karena dalam metode ini, berita dianalisis dari teksnya dan
bagaimana membuat pesan moral dan menekankan penyelesaian (Kriyantono, 2006 :
256). Berita yang ditayangkan di media televisi tidak menyampaikan pesan moral dan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
penyelesaian, sedangkan media cetak, baik itu surat kabar ataupun majalah, si penulis
berita (wartawan) mencantumkan opininya terhadap pemberitaan yang ditulis disertai
pesan moral dan penyelesaiannya.
Berbeda dengan William A. Gamson & Andre Modigliani yang menyatakan
framing adalah ide sentral yang didukung oleh wacana lain. Hal inilah yang membuat
model ini tidak sesuai dengan konsep pemberitaan di televisi. Selain itu, frame
dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gagasan ide yang tersusun
sedemikian rupa dan menghasilkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan
dengan suatu wacana. Konstruksi makna disini merupakan sebuah kemasan (package)
yaitu rangkaian ide yang menunjukan isu apa yang akan dibicarakan dan isu mana
yang relevan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka yang
menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah:
Bagaimana TV One dan Metro TV membingkai pemberitaan mengenai peristiwa
bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik periode tanggal 6
Februari – 4 Maret 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana TV One dan Metro TV
membingkai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik
periode 6 Februari – 4 Maret 2011.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi terutama yang
menggunakan metode kualitatif pada umumnya, melalui paradigma konstruktivis
dengan menggunakan analisis framing pada khususnya. Dengan melakukan
penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tentang strategi yang
digunakan media dalam membingkai realitas sosial dalam berita mengenai
peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi jurnalis serta institusi
media massa, khususnya TV One dan Metro TV dalam mengkonstruksi
realitas dan membingkainya ke dalam berita serta menyampaikan berita
kepada khalayak.
2. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang tertarik
dengan penelitian teks media khususnya yang menggunakan metode analisis
framing.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Jurnalisme Televisi Sebagai Media Massa
Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi adalah salah satu
kebutuhan vital manusia sebagai mahkluk sosial. Dewasa ini komunikasi tidak hanya
menyangkut satu orang ke orang lainnya tetapi melibatkan khalayak luas yang
kemudian disebut sebagai komunikasi massa. Keberadaan komunikasi massa ini
terkait erat dengan media massa sebagai institusi sosial yang menyebarkan pesan ke
khalayak luas. Media massa (mass media) merupakan singkatan dari media
komunikasi massa, merupakan channel of mass communication, yaitu saluran, alat,
atau sarana yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa (Dirgahayu, 2007 :
17).
Media massa mampu hadir dan eksis di tengah masyarakat karena fungsinya
dalam menghubungkan satu orang dengan orang lainnya dalam berbagai kepentingan.
Lebih dari itu, penyampaian sebuah berita di media massa ternyata menyimpa
subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa
adanya. Berita akan dipandang sebagai sesuatu yang penuh objektivitas. Namun
berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan
menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita
menyimpan ideologis atau latar belakang seorang penulis. Seorang penulis pasti akan
memasukan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh
dilapangan. (http://www.oke.or.id/tutorial/kapita.doc)
Kompleksnya kehidupan media dapat dilihat dalam gambar berikut :
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Perspektif Alternatif Menyangkut Fungsi dan Tujuan Media Massa
Grafik (Gambar) 2.1. Perspektif alternatif menyangkut fungsi dan tujuan media massa.
Sumber: (McQuail, 2000 : 74)
Dari gambar diatas, terlihat betapa kehidupan media berada di tengah-tengah
aneka kepentingan, baik yang berada di dalam maupun di luar institusi media itu.
Institusi media sebagai bagian dari sistem kenegaraan, maka kepentingan
nasional/negara/bangsa yang dirumuskan oleh kalangan pembuat kebijakan akan
menentukan mekanisme operasionalisme media massa dalam menjalankan fungsi dan
tujuannya. Bagi para pengusaha/pemiliknya, media massa merupakan sarana bisnis.
Sedangkan bagi para komunikator massa khususnya kalangan wartawan dan karyawan
media massa lainnya, yang diutamakan adalah kepuasan profesi.
Altscull (1984) berpendapat bahwa media merefleksikan ideologi pihak yang
membiayainya. Ada 4 aspek yang dijabarkan. Pertama, di dalam pola yang formal,
Media Massa Masyarakat/Bangsa Kesempatan perolehan Suara Masyarakat Sumber Informasi budaya, pemakaian Khalayak Media Sarana Kontrol atau perubahan Kekuasaan Kelas Dominan Kerja kepuasan Komunikator massa Kelas Lemah Integrasi kontrol
pencapaian Keuntungan
Pemilik Media
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
media diatur oleh negara. Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan
ideologi pada pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di dalam pola kepentingan
(interest), isi media merefleksikan ideologi pihak yang membiayai media seperti partai
politik atau kelompok keagamaan. Dan yang terakhir, di dalam pola yang informal
media merefleksikan tujuan pada kontributor yang ingin mempromosikan pandangan
mereka sendiri (Novianti, 2006 : 43).
Kerangka media (media frame) merujuk pada format media (media format). ”The
internal organization or logic of any shared symbolic activity” Format media adalah
organisasi internal atau logika dari setiap aktivitas simbolis yang dibagi (McQuail,
2000 : 297). Format media tidak sekedar menunjukan pengelompokan atau
kategorisasi dari isi liputan, namun juga mengambarkan unit-unit ide dari bentuk
dominasi dan representasi. Unit-unit ide dari dominasi dan representasi hadir sebagai
wujud dari format media. Seperti yang diasumsikan oleh Pamela J.Shoemakaer dan
Stephen D. Reese bahwa produser dan wartawan pada industri media yang berbeda
cenderung untuk memiliki perbedaan nilai, dimana akan menghasilkan berbagai
bentuk produk yang kontekstual dan memberi efek yang berbeda (Perry, 2002 : 111).
Proses produksi, jenis liputan, ide kreatif program, dan isi media yang unik juga
harus memenuhi standar dan cukup familiar baik bagi produser/editor atau juga bagi
audiens/khalayak. Spesifikasi dan standarisasi semacam ini terdiri dari pertimbangan
ekonomis, teknologi dan budaya (McQuail, 2000 : 294-296).
1) Pertimbangan ekonomis merupakan tekanan efisiensi untuk meminimalisir biaya,
mengurangi konflik dan juga memastikan kontinuitas dan ketercukupan dari
sumber-sumber informasi.
2) Pertimbangan teknologi digunakan untuk lebih memaksimalkan sumber daya Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
media massa dengan biaya rendah. Inovasi teknis selalu berbasis pada
keputusan-keputusan profesional dan ekonomis, dan jurnalis beradaptasi dalam hal tujuan,
keterampilan dan rutinitas para jurnalis terhadap perangkat baru tersebut.
3) Pertimbangan budaya merupakan bentuk dari standarisasi pola budaya kerja
media, mulai dari standarisasi proses peliputan, pengeditan sampai dengan proses
presentasi berita. Pada sebuah media, isi media yang dikelompokan dalam berita,
olahraga, hiburan, drama/film/sinetron dan iklan merupakan contoh standarisasi
budaya media yang mengikuti tradisi budaya kerja, mengikuti selera pasar.
Ada 7 tahap besar yang dapat menggambarkan perkembangan media massa secara
umum dari masa kemasa (Junaedi, 2007 : 27-29). Tahap pertama adalah adanya buku
dan perpustakaan. Tahap kedua, ditandai dengan adanya media cetak dalam bentuk
koran. Pada fase ini, koran merupakan sarana untuk menyampaikan informasi terkini
ke khalayak luas dengan cepat. Tahap ketiga, ditandai dengan penemuan film melalui
pita seluloid. Film dianggap bukan hanya sebagai media hiburan namun media massa
yang mampu menjangkau khalayak yang jauh lebih luas daripada koran. Tahap
keempat adalah penemuan teknologi penyiaran melalui televisi dan radio. Jangkauan
televisi dan radio lebih luas dari pada 3 media yang ditemukan terlebih dahulu. Tahap
kelima adalah perkembangan rekaman musik. Tahap keenam adalah penemuan
internet yang memungkinkan terjadinya interkonektifitas antar pemakai. Tahap ketujuh
adalah adanya revolusi media dengan ditandai dengan lahirnya jurnalisme online.
Bentuk-bentuk media massa sebagai mainstream media adalah surat kabar, majalah,
radio, televisi, film, tape recorder, video, dan cassette recorder.
Media massa baik itu cetak maupun elektronik bahkan memegang peranan
penting dalam berbagai sendi kehidupan. McQuail (1994) mengungkapkan beberapa Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
fungsi penting media ditopang oleh beberapa asumsi antara lain media massa
merupakan sumber kekuatan–alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat
yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
Media telah menjadi sumber dominan bukan saja sebagai individu untuk memperoleh
gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara
kolektif; media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan
dengan berita dan hiburan. Secara umum, McQuail juga mengklasifikasikan 5 tujuan
media yakni informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi.
Sejarah media massa memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru tidak pernah
menghilangkan teknologi yang lama, melainkan mensubtitusikanya. Radio tidak
menggantikan surat kabar, namun menjadikannya sebuah alternatif, menciptakan
sebuah kerajaan dan khalayak baru. Demikian pula dengan televisi, meskipun televisi
melemahkan radio, tetapi tidak dapat secara total mengeleminasinya.
Televisi, merupakan perkembangan medium setelah radio yang dikemukakan
dengan karakternya yang spesifik yaitu audio visual. Peletak dasar utama teknologi
pertelevisian tersebut adalah Paul Nipkow dari Jerman yang dilakukan pada tahun
1884.Ia menemukan sebuah alat yang kemudian disebut sebagai Jantra Nipkow atau
Nipkow Sheibe.
Sebagai bagian dari media massa, media televisi pun memiliki dan menjalankan
fungsi-fungsi media massa, seperti yang diungkapkan McQuail dan kawan-kawan
dalam memberikan tipologi fungsi media bagi individu dalam sebuah kerangka yang
berdasarkan 4 unsur besar.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Fungsi Media Bagi Individu
No. Fungsi Penjelasan
1 Informasi • Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat,
masyarakat dan dunia
• Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penentuan pilihan • Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum • Belajar, pendidikan diri sendiri
• Memperoleh rasa damai melalui penambahan
pengetahuan
2 Identitas Pribadi • Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi • Menemukan model perilaku
• Mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai lain
(dalam media)
• Meningkatkan pemahaman tentang diri
sendiri
3 Integrasi dan interaksi sosial • Memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain; empati sosial
• Mengindetifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki
• Menemukan bahan percakapan dan interaksi
sosial
• Memperoleh teman selain dari manusia • Membantu menjalankan peran sosial • Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak keluarga, teman dan
masyarakat
4 Hiburan • Melepaskan diri atau terpisah dari
permasalahan
• Bersantai
• Memperoleh kenikamatan jiwa dan estetis
• Mengisi waktu
• Penyaluran emosi
• Membangkitkan gairah seks Tabel 2.1. Fungsi Media Bagi Individu.
Sumber: Dennis McQuail dan kawan-kawan (McQuail, 2000 : 72)
Televisi merupakan sebuah agen yang bertindak untuk mendefinisikan su-isu atau
permasalahan yang sedang terjadi, siapa yang ikut terlibat didalamnya, dan lain
sebagainya menurut versi masing-masing televisi. Sebagai bagian dari institusi
komunikasi massa formal, jurnalisme televisi pun menganut ciri-ciri dan sifat-sifat
media massa, yaitu :
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
1) Komunikator melembaga : yaitu orang yang menyampaikan pesanya merupakan
suatu lembaga tertentu bukan perorangan.
2) Pesan teroganisir : yaitu pesan yang disampaikan harus konkrit, jelas dan
terorganisir.
3) Program Kontinyu : yaitu program yang ditayangkan harus berkelanjutan
dan bertahap.
4) Periodik : yaitu ditayangkan dalam jangka waktu yang cepat.
5) Universal : yaitu program yang ditayangkan merupakan suatu
berita menyeluruh.
6) Komersial : yaitu suatu program yang memiliki nilai jual atau
komersial.
7) Memiliki status hukum : yaitu setiap media harus memiliki status hukum atau
ijin Khusus media.
8) Aktualitas pesan tinggi : yaitu berita yang paling baru merupakan berita yang
paling berharga, maka aktualitas sangat diperlukan.
9) Simultan / publikatif : yaitu media merupakan sesuatu yang harus dipublikasikan.
10) Profesional : yaitu harus bekerja secara professional dengan
porsinya.
11) Komunikasi heterogen : yaitu komunikasi bebas dan beraneka ragam.
Perkembangan teknologi pertelevisian saat ini sudah sedemikian pesat sehingga
dampak siaranya menyebabkan seolah-olah tidak ada lagi batas antara satu Negara
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
dengan Negara lainya terlebih setelah digunakannya satelit untuk memancarkan signal
televisi. Inilah yang disebut sebagai globalisasi di bidang informasi.
Sebenarnya secara subtansial televisi mempunyai posisi dan peranan yang sama
dengan media cetak dan radio. Hanya saja operasionalisasinya dalam masyarakat
menjadi sangat menentukan karena besar jangkauan yang dicapai. Harold Laswell
(1960) menyatakan sebagai berikut:
1) The survellaince of the environment, yaitu mengamati lingkunganya.
2) The correlation of the part of society in responding the environment, yaitu
mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan
khalayak sasaran, karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi
dan interpretasi.
3) The tranmision of the sosial heritage from one generation to the next, yaitu
menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Tentu saja ketiga peran televisi diatas menyiratkan bahwa pada dasarnya
memberikan penilaian pada media massa sebagai alat atau sarana yang secara
sosiologis menjadi perantara untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada
masyarakat. Dalam menyatakan sifat televisi, Frank Jefkins (1994) mengungkapkan :
1) Televisi dapat mencapai khalayak yang besar sekali, dan mereka itu tetap dapat
mengambil manfaat sekalipun tidak bias membaca.
2) Televisi dapat dipakai untuk mengajarkan banyak subjek dengan baik. Akan
tetapi, pengajaran itu akan lebih efektif bila diikuti dengan diskusi dan aktifitas
lain.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
3) Televisi bersifat otoritatif dan bersahabat.
Dari sifat televisi seperti diatas dimungkinkan untuk menimbulkan kecenderungan
orang untuk menonton televisi. Terkait dengan peranannya, televisi memiliki
kelemahan dan juga keunggulan. Karena setiap teknologi pasti memiliki kelemahan
dan keunggulan tersendiri. Maka kelemahan serta keunggulan dari televisi tersebut
adalah antara lain :
Kelemahan :
1) Jangkauan pemirsa massal, sehingga pemilahan (untuk kepentingan pembidikan
pangsa pasar tertentu) sering sulit dilakukan.
2) Iklan relatif singkat, tidak mampu menyampaikan data lengkap dan rinci (bila
diperlukan konsumen).
3) Relatif mahal.
4) Pembuatan iklan TV cukup lama.
5) Penggunaan model itu-itu saja.
Kelebihan :
1) Kesan realistik : audio-visual.
2) Masyarakat lebih tanggap : ditonton dalam suasana santai, rekreatif.
3) Adanya repetisi / pengulangan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
4) Adanya pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang
mengefektifkan penjangkauan masyarakat.
5) Ideal bagi para pedagang eceran.
6) Terkait erat dengan media lain.
Dalam prinsip jurnalistik kriteria layak berita di surat kabar dan di media televisi,
relatif juga sama. Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek
visual (gambar). Hal yang bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.
Di media cetak, seperti di harian Kompas, bisa menulis berita atau artikel dengan
byline, mencantumkan namanya sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan
yang di muat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi
bahasa atau pun content, tetapi tetap bisa mengklaim bahwa itu adalah tulisan karya
“saya”. Bisa dibilang, 90 persen dari materi yang dimuat itu adalah karya saya.
Di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket
berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita
pun minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan
seorang camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video
journalist).
Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran “VJ” ini
biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person.
Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang
ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan
yang bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.
Perbedaan yang lain, di media surat kabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau
sirkulasi, serta pemasukan iklan) surat kabar itu tidak mudah di distribusikan pada
peran individu atau rubrik tertentu.
Seberapa sering sebuah surat kabar mengadakan survey pembaca? Berbeda
dengan data rating dan share stasiun TV, yang dipasok oleh AGB Nielsen setiap
minggu (bahkan setiap hari), pengelola surat kabar tak mungkin mengadakan survey
setiap minggu atau setiap bulan. Jadi, kecuali karena perilaku jurnalis yang jelas
terlihat (misalnya, sering membolos, atau sering terlambat menyerahkan tulisan), agak
sulit untuk menilai kinerja seorang jurnalis di surat kabar.
Ini sangat berbeda dengan di media televisi, yang setiap minggu (bahkan kini
setiap hari) ada data rating dan share setiap program, yang dipasok oleh lembaga
pemeringkat AGB Nielsen. Setiap minggu, jelas terlihat, program mana yang share
dan ratingnya ambruk, dan program mana pula yang meningkat.
Jadi, setiap produser yang menangani program TV tertentu, tidak bisa
bersembunyi atau “lepas tangan” jika rating dan share sebuah stasiun TV merosot
drastis, dengan melihat angka rating dan share setiap programnya, dengan mudah bisa
ditunjuk produser-produser mana saja yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan
itu. Ini tentu ada untung-ruginya.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Untungnya, kinerja setiap produser atau jurnalis di media TV sangat transparan.
Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaitu rating dan share
setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap produser dan crew program yang
dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja.
Walaupun, bisa saja di debat bahwa angka rating dan share itu tidak identik
dengan kualitas program. Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom
line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari
pemasukan iklan.
2.2. Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas
Teori konstruksi sosial atas realitas dikemukakan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman (1998), yang menyatakan realitas terbentuk secara sosial melalui
komunikasi. Berger dan Luckman menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas tidak di bentuk secara ilmiah,
tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi terbentuk secara sosial melalui
komunikasi. Individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki
dan dialami bersama secara subjektif melalui tindakan dan interaksinya. Dengan
pemahaman ini realitas berwujud ganda/plural.Setiap orang mempunyai konstruksi
yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan
dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu.
Manusia akan mengkonstruksikan segala sesuatu yang tidak tersedia untuk
dirinya dari alam. Hasil konstruksi ini dapat mempengaruhi dan membentuk pikiran
serta tindakan dalam interaksi sosial.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Konstruktivisme, merupakan suatu doktrin dimana persepsi, ingatan, dan struktur
mental kompleks lainnya disusun secara aktif oleh pikiran (Colman, 2001, Dictionary
of Psychology). Jadi persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks tersebut
dikonstruksi secara aktif, bukan realitas obyektif yang tersedia di hadapan kita
sehingga kita memperolehnya secara alami begitu saja. Gagasan mengenai
konstruktivisme pertama dimunculkan psikolog Inggris Sir Frederic Charles Bartlett
(1932) untuk menjelaskan fenomena temuannya tentang ingatan manusia. Kemudian
berkembang di tangan psikolog seperti Richard Ulrich (konstruksi terkait persepsi),
Richard Gregory (konstruksi pikiran sebagai penyebab ilusi visual), dan Jean Piaget
(konstruksi mental dalam diri anak-anak), (Colman, 2001).
Konstruktivisme sosial sendiri, pertama kali dipopulerkan Peter Ludwig Berger
dan Thomas Luckmann melalui buku The Sosial Construction of Reality, terbit tahun
1966. Inti gagasan konstruksi sosial realitas Berger dan Luckmann adalah, realitas
dikonstruksi secara sosial. Realitas di sini diwujudkan antara lain sebagai kejadian
hidup sehari-hari. Menggambarkan kenyataan hidup sehari-hari, Berger menulis:
Kenyataan hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan. dan tidak memerlukan verifikasi tambahan selain kenyataannya yang sederhana. Kenyataan ini memang sudah ada di sana, sebagai faktisitas2 yang memaksa
dan sudah jelas dengan sendirinya… Meskipun saya dapat menyangsikan kenyataannya, saya merasa wajib untuk menangguhkan
kesangsian seperti itu selama saya bereksistensi secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Penangguhan kesangsian itu begitu kuat sehingga untuk mencabutnya… saya harus melakukan suatu peralihan yang sangat besar.” (Berger dan Luckmann, 1966 : 34).
2
Kenyataan bahwa manusia diluar kemauannya terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu, mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang
diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, realitas dibentuk dan dikonstruksi. Dengan
pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang
mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan
atau sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial
itu juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tesebut
merupakan realitas subjektif dan realitas objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif,
realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu
dengan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan
lingkungan yang berbeda-beda yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda
pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga
mempunyai dimensi objektif – sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar
atau dalam istilah Berger tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan. Hal itu
misalnya dapat dilihat dari rumusan intitusi, aturan-aturan yang ada dan sebagainya.
Dalam perspektif konstruksi sosial, kedua realitas tersebut saling berdialektika.
Seseorang akan mencurahkan ketika bersinggungan dengan kenyataan (eksternalisasi),
sebaliknya, ia juga akan dipengaruhi oleh kenyataan objektif yang ada (internalisasi).
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan-Berger menyebutnya sebagai
momen, yang terdiri dari tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi; kedua,
objektivasi; ketiga, internalisasi. Dialektis menganggap masyarakat tidak lain adalah
produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap
penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat.
Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di
dalam masyarakatnya Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
…Ketika seseorang mewawancarai narasumber, di sana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Belum termasuk bagaimana hubungan dan kedekatan antara wartawan dengan narasumber. Proses dialektis di antara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi (Eriyanto, 2002 : 18 – 19).
Secara institusi, proses konstruksi terhadap realitas dalam komunikasi massa
dapat dijelaskan dalam gambar berikut.
Grafik (Gambar) 2.2. Proses Konstruksi Terhadap Realitas dalam Komunikasi Massa.
Sumber: (Hamad, 2007 : 184)
WACANA
SEBAGAI
HASIL
KONSTRUKSI
PUBLIK PROSES
KONSTRUKSI
REALITAS
OLEH
MEDIA
Hasil:
makna,
opini,
Faktor
Eksternal Faktor Internal
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dalam gambar diatas, proses konstruksi isi media dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal media tersebut. Faktor-faktor internal tersebut adalah politik redaksional
tertentu, kepentingan politik para pengelola media termasuk relasinya dengan
kepentingan politik tertentu. Sedangkan faktor eksternal bisa berupa tekanan pasar
pembaca, sistem politik yang sedang berlaku dan kekuatan-kekuatan lainnya. Hasil
dari proses konstruksi itulah yang kemudian tampak dalam produk media massa yang
dinikmati publik yang menghasilkan makna, opini, citra dan motif.
Dalam pandangan konstruksionis, media dipandang sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas….Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002 : 23).
Isi media, misalnya menurut Brian McNair (1994:39:58) dapat lebih ditentukan
oleh :
Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political-economy approach).
Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita
(organizational approach).
Gabungan berbagai faktor, baik internal media atau pun ekternal media (culturalis
media)
Sedangkan Pamela J. Shoemanker dan Stephen D. Reese dalam buku
Mediating the Message : Theories of Influences on Mass Media Content (1996)
memandang bahwa telah terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media.
Pertarungan itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Latar belakang awak media (wartawan, editor, kamerawan, dan lainya).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
2) Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita.
Misalnya, berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang dibeli
dari kantor berita.
3) Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job description.
Misalnya, bagian marketing dapat mempengaruhi agar diproduksi isi media yang
dijual kepasar.
4) Kekuatan ekstra media, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik,
hukum, kebutuhan khalayak, agama, dan lainnya).
5) Ideologi (misalnya ideologi negara)
2.3. Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas
Berita, dalam pandangan konstruktivis, bukanlah realitas obyektif yang semata
hadir di luar sana, yang disajikan oleh organisasi media sebagaimana adanya. Berita
bukan sekedar serangkaian peristiwa di luar sana, yang disampaikan reporter berita di
layar kaca, yang kita dengarkan sambil menyiapkan makan malam atau menemani kita
membersihkan rumah. Kehadiran berita melalui medium, seringkali telah begitu biasa
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menerimanya begitu saja,
taken for granted.
Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut (Eriyanato, 2002 : 17).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Berita, menurut pandangan konstruktivisme adalah produk interaksi wartawan
dengan fakta. Berita juga hasil produksi organisasi. Realitas yang melanda wartawan
diserap untuk kemudian dieksternalisasi sebagai produk pemaknaan. Oleh sebab itu,
penganut konstruktivisme berpendapat, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi.
Realitas bukan sesuatu yang ada di luar dan tinggal diambil. Realitas tercipta lewat
konstruksi dan sudut pandang tertentu wartawan. Dasarnya bahwa berita dalam
pandangan konstruksionis di pandang sebagai konstruksi atau bentuk dari wartawan
yang menulisnya, berdasarkan ideology dari media yang menaunginya.
Tetapi dalam pandangan konstruksionis, Dalam bahasa Carey dikatakan
demikian:
News is not information but drama. It does not describe the world but portrays an arena of dramatic forces and action; it exists solely in historical time; and its invites our participation on the basis of our assuming, often vicariously, sosial roles within it. (berita itu ibarat seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa). (James W. Carey dalam Eriyanto, 2002 : 25).
Tuntutan dan kepentingan organisasi media, beranggapan wartawan bukanlah
mahkluk yang tanpa ideologi. Dalam menjalankan perannya, mereka selalu
mempunyai kecenderungan untuk memihak sesuai dengan keyakinan yang melekat
pada dirinya. Hal itulah, yang menyebabkan berita tidaklah produk yang
merefleksikan realitas namun merupakan hasil dari rekonstruksi yang terjadi di
lapangan. Oleh karena itulah kedudukan institusi televisi swasta, tidak bisa dianggap
sebagai sebuah saluran yang netral dan pasif sekedar kumpulan medium yang
melaporkan realitas sosial.
Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
atau media. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran (Eriyanto, 2002 : 25-26).
Dalam pandangan konstruksionis, persoalannya bukanlah pada bagaimana laporan
yang baik dan buruk, apakah laporan tersebut mengandung bias ataukah tidak. Akan
tetapi memang demikianlah kenyataannya. Artinya, kalau ada seorang wartawan yang
menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak, dan memasukkan
banyak opini pribadi tidak kemudian dinilai sebagai benar atau salah, tetapi memang
wartawan me