• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENYUSUNAN RENCANA DETIL TATA RUANG

WILAYAH KABUPATEN MERAUKE

MARTHINUS CORNELES WATTIMENA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Perspektif Kearifan

Tempat Penting Suku Malind Sebagai Arahan Dalam Penyusunan Rencana Detil

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Marthinus Corneles Wattimena

(4)

RINGKASAN

MARTHINUS CORNELES WATTIMENA. Perspektif Kearifan Tempat Penting

Suku Malind sebagai Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DJUARAP.LUBIS.

Masyarakat Suku Malind di Kabupaten Merauke sudah sejak lama menjaga keseimbangan hidup dengan alam melalui kearifan lokal yang hidup dan dipegang kuat di Kabupaten Merauke. Sejak ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) pada tahun 2011, telah memasuki babak baru dalam penataan ruang terutama dengan ditambahkannya cagar budaya dari hasil identifikasi ruang penting masyarakat adat Suku Malind yang kemudian disebut sebagai tempat penting. Dengan hadirnya investasi perkebunan dan kehutanan skala luas melalui projek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), muncul banyak permasalahan ditingkat lapangan ketika akan dilaksanakan kegiatan untuk mendapatkan izin dan pembukaan lahan. Banyak tempat penting

suku Malind yang juga ikut dibuka dan tidak dianggap penting. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi, mendiskripsikan dan memetakan tempat penting Suku Malind, (2) menganalisis perubahan penutupan lahan sebelum dan sesudah RTRW Kabupaten Merauke ditetapkan dan seberapa jauh pola ruang tersebut memperhatikan keberadaan tempat penting Suku Malind, (3) menganalisis pendapat dan penilaian para pihak terhadap pemanfaatan dan Pengendalian ruang dalam kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke, (4) Merumuskan masukan berupa arahan dalam penyusunan rencana detil tata ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir nilai kearifan tempat penting Suku

Malind.

Identifikasi makna dan pandangan tentang tempat penting ditelusuri melalui wawancara mendalam dengan teknik bola salju dari tokoh kunci dan mereka yang dipilih memiliki pengetahuan adat di tingkat sub Suku dan marga-marga di tingkat kampung. Penutupan lahan diperoleh denggan melakukan interpretasi citra satelit ETM 5 dan ETM 7 untuk dua titik tahun yaitu tahun 2000 dan tahun 2012 yaitu data tutupan lahan sebelum dan sesudah RTRW ditetapkan. Analisis menyangkut pendapat dan pandangan berupa persepsi para pihak diperoleh dengan melakukan wawancara dengan dan Focus Group Discusion (FGD). Perangkuman hasil dilakukan untuk merumuskan arahan kebijakan yang tepat dalam memberikan solusi bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang skala rinci yang mengakomodir tempat penting.

(5)

Kolam dan kampung Selauw dikategorikan sebagai kawasan Lindung dan kawasan yang dikelola sesuai nilai kearifan Suku Malind. Kawasan seluas 221,906 hektar atau 63,65 % dikategorikan sebagai kawasan budidaya dan wilayah yang diperuntukan untuk kegiatan pembangunan.

Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 pada beberapa tutupan lahan mengalami penurunan luas yaitu: 1) lahan hutan seluas 341,056.7 hektar, semak belukar 41,734.3 hektar, lahan terbuka 85,512.3 hektar, dan tubuh air 45,966.7 hektar. Penurunan luas lahan hutan terjadi diduga karena dibeberapa lokasi mengalami pembukaan lahan oleh aktivitas investasi kelapa sawit dan hutan tanaman indsutri yaitu di distrik Ngguti dan Animha mengakibatkan hilangnya sejumlah tempat penting marga seperti dusun sagu, dan tempat sakral. Peningkatan penggunaan lahan pada lahan pertanian mencapai 14,852 hektar didistrik Malind, Animha diakibatkan oleh pembukaan lahan pangan Nasional (MIFEE). Rencana aktifitas pemanfaatan lahan skala luas dalam program investasi komoditas seperti kelapa sawit, tebu, hutan tanaman dan pangan seluas 2,077,781 hektar membawa implikasi dibukanya area hutan alam sehingga mengancam keberadaan tempat penting karena tersebar di seluruh kawasan hutan.

RTRWK Merauke sebagai produk tata ruang belum secara efektif dan konsekwen dilaksanakan. Hal ini karena kurangnya sosialisasi dan pelibatan aktif semua pihak dalam pemanfaatan ruang terutama dalam mengamankan keberadaan

tempat penting. Para pihak juga mengharapkan sebagai pedoman pemanfaatan ruang maka RTRW harus diturunkan ke skala rinci untuk meminimalisir setiap konflik kepentingan yang terjadi di tingkat lapangan. Untuk meminimalisir konflik di tingkat lapangan maka perlu diidentifikasi secara detil tempat penting tingkat marga-marga di semua kampung.

Menurut para pihak di kabupaten Merauke sebagai pedoman pemanfaaan ruang, RTRW Kabupaten perlu dirinci dalam bentuk Recana Detil Tata Ruang untuk meminimalisir setiap konflik kepentingan yang terjadi di tingkat lapangan.

Tempat penting sebagai cagar budaya hasil pemetaan ditingkat marga-marga harus dimasukan dalam rencana detil tata ruang, sehingga dapat menjadi pedoman bagi semua pihak di Kabupaten Merauke.

Tempat penting Suku Malind yang terdiri dari delapan Tempat penting hasil pemetaan partisipatif tingkat marga, khususnya 4 jenis yang berkaitan dengan spiritual pada fungsi kawasan lindung, dan 4 jenis Tempat penting yang bermakna pemenuhan kebutuhan sehari-hari, diarahkan pada fungsi kawasan budidaya baik dalam dokumen evaluasi dan penyempurnaan RTRW Kabupaten Merauke maupun dalam rencana detil tata ruangnya.

(6)

Wisdom Perspective of Malind Tribe Important Sites as Referrals in Detailed Land Use Plan Preparation of Merauke Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and DJUARAP.LUBIS.

Malind Tribal Community in Merauke Regency since a long time ago has

maintained life balance with nature through local wisdom living and it has been held strongly in Merauke Regency. Since the enactment of Regency Land Use Plan (RTRWK) in 2011, Merauke has entered a new phase in the spatial planning, especially with the addition of cultural heritage from the result of important space identification of Malind Tribe indigenous community then called as the important sites. With the presence of large-scale forestry and plantation investment through Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), there have been many problems arising at the field level when it is going to be conducted activities to obtain permits and land clearing. Many important sites of Malind tribe that have been also cleared and not considered important. This study aims to (1) identify, describe and map the important sites of Malind tribe, (2) analyze the land cover change before and after the Land Use Plan of Merauke Regency is set and how far that spatial patterns notice the existence of important sites of Malind tribe, (3) analyze opinions and assessments of several parties to the spatial use and control in Merauke Regency land use policy, (4) formulate inputs in form of referrals in the preparation of detailed land use plans of Merauke Regency accommodating wisdom values of the Malind tribe important sites.

The meaning and views identifications concerning the important sites

were traced using in-depth interviews with a snowball technique of key figures and those selected to have indigenous knowledge in the sub tribe level and clans in the village level. The land cover was obtained by ETM 5 and ETM 7 satellite image interpretation for two year points, they were 2000 and 2012, that was the land cover data before and after the regional space were set. The analysis covering opinions and views in form of perception of the parties was obtained by having interviews and Focus Group Discussion (FGD). Results summarizing was conducted to formulate appropriate policy direction in providing solutions for stakeholders in the preparation and implementation of detailed scale land use plans that accommodate the important sites.

Based on the results of extracting and identification, the important sites

have two meanings: First, the meaning of self identity covering areas or locations closely associated to the creation story or mythology of Malind tribe that is made sacred. Second, the meaning related to a place as a fulfillment of daily lives such as game animals, sago hamlets producing plant foods, kumbili and bananas garden, swamps to get fishes, medicinal plants, and for rituals. There are eight

important sites, namely: ancestral journey or Dema Kay and ancestral stopover or

Demadap Mir, Dema Say or mythology place, ancestral graves or Amayen Sai, Ritual Place or Pungga Sai, Sago Hamlet or Dah Nanggaz, water sources or

Awamdka, Hunting Forest or Aweawe sai, the preservation of indigenous or

(7)

value of Malind tribe. An area of 221.906 hectares or 63.65% are categorized as cultivation areas and the areas allocated for development activities.

During the period year of 2000 to 2012 land cover underwent decreases area as follows: 1) forest land area of 341,056.7 hectares, bushes of 41,734.3 hectares, open land of 85,512.3 hectares, and water bodies of 45,966.7 hectares. The decrease area in forest land occurred allegedly due to land clearing by the activities of palm oil and industrial plantation forest investments, that was in the district of Animha and Ngguti resulting the loss of a number of clan important sites such as sago hamlet, and sacred places. The increase of land use on agricultural land reaching 14,852 hectares in Malind district, Animha was caused by national food land clearing (MIFEE). The plan broad-scale land-use activity in the commodity investment programs such as oil palm, sugar cane, plantation and food forest covering 2,077,781 hectares bring the implication of clearing natural forest area that threatening the existence of important sites because they were scattered throughout the forest.

Land Use Plan of Merauke Regency as a spatial product has not been effectively implemented consistently. This is due to the lack of socialization and active involvement of all parties in the use of space, especially to conserve the existence of the important sites. The parties also expect that, as the spatial guideline, the Land Use Plan must be relegated to a detailed scale to minimize any potential conflicts of interest in the field. To minimize conflicts in the field level, it is needed to identify in detail the important sites of clans level in all villages.

The stakholder in Merauke regency also expect that, as the spatial land use guideline, the Regency Land Use Plan needs to be specified in the form of Detailed Land Use Plan to minimize any potential conflicts of interest in the field. The important sites as cultural heritage of the result of mapping in clans level must be included in the Detial spatial planning, so that it can be a guideline for all stakholder in the Regency of Merauke.

The important sites of Malind tribe consisting of eight important sites as the result of participatory mapping of clan level, especially four types related to spiritual in the functions of protected areas, and 4 types of important sites

meaning the fulfillment of daily needs to be directed in the function of cultivation area both in the evaluation and improvement document of Merauke Regency Land Use Plan and in its detailed land use plan.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENYUSUNAN RENCANA DETIL TATA RUANG

WILAYAH KABUPATEN MERAUKE

MARTHINUS CORNELES WATTIMENA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

Kabupaten Merauke

Nama : Marthinus Corneles Wattimena

NIM : A156110011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Dr Ir DjuaraP.Lubis, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Segala penulis panjatkan karena berkat rahmat dan karunia-Nya yang tiada henti sehingga penulis mempunyai kesempatan dan kemampuan guna menyusun Tesis penelitian ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu prasyarat guna menyelesaikan program magister Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini bertujuan secara ilmiah membuktikan bahwa pranata masyarakat adat dan nilai kearifannya untuk dijadikan bahan penting dalam penyusunan tata ruang kabupaten. Disamping itu untuk membangun kesadaran kritis masyarakat adat dalam partisipasi aktif terlibat dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Merauke.

Penelitian ini menelaah dan menganalisis sejauhmana praktek implementasi pemanfaatan ruang telah menerapkan prinsip kearifan lokal yang telah dimasukan dalam RTRW Kabupaten. Diharapkan Tesis ini dapat menjadi masukan dalam arahan penyusunan rencana Detil Tata ruang Kabupaten, sehinggga dapat digunakan oleh berbagai pihak sebagai pedoman pelaksananaan rencana ruang di level Kabupaten Merauke.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, terutama tuntunan dan bimbingan dari Prof. Dr Ir. Santun R.P. Sitorus dan Dr. Ir. Djuara P. Lubis M.S selaku komisi pembimbing. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu (Rosina Wattimena-Sahureka), istri (Josefa Rumaseuw S.Hut) dan anak- anak (Joaena, Septian dan Mauren) untuk kasih sayang dan semua doa, dukungan yang sangat besar bagi penulis terutama dalam waktu-waktu tersulit.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf WWF di Kantor Merauke: Ibu Linke, Prasetyo, Bekti, Maria, Agatha, dan Weda yang sudah membantu selama pengumpulan data lapangan. Rekan-rekan satu angkatan di PWL 2011, secara khusus Aries Siubelan, Nugroho Adi Utomo dan Muhammad Siraz Tuni yang selalu memberikan semangat dan menyediakan waktu membantu dan berdiskusi menyempurnakan setiap bab dan Tesis selama ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan disana sini dalam penyusunan Tesis ini. oleh karena itu, sumbang saran dalam penyempurnaan sangat penulis harapkan. Harapan penulis, Tesis ini dapat menjadi referensi dalam setiap upaya advokasi dan penelitian berikutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan, kelestarian lingkungan dan kearifan adat istiadat sebagai modal penting dalam pembangunan wilayah.

Bogor , Juli 2013

(15)
(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN . 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah . 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Pembangunan dan Pemanfaatan lahan Berkelanjutan 6 2.2 Sistem Informasi Geografi dan Analisis Spasial 9

2.3 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan 9

2.4 Klasifikasi Penutupan Lahan dan penggunaan Lahan 10

2.5 Penataan Ruang Wilayah 11

2.6 Kearifan Lokal 12

2.7 Etnografi Berbasis Spasial 15

2.8 Konsensus Pemetaan Patisipatif Masyarakat adat Malind tentang Kearifan Tempat Penting

16

2.9 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat 19

2.10 Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Peraturan Zonasi 20

3 BAHAN DAN METODE 23

3.1 Disain Penelitian 23

3.2 Lokasi, Waktu dan Tahapan Periodisasi Penelitian 23

3.3 Jenis Data dan Alat 25

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 25

3.4.1 Participatory Rural Appraisal / Rapid Rural Appraisal (PRA/RRA).

25

3.4.2 Pengelolaan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan

31

3.4.3 Analisis Penilaian Masyarakat dan Para Pihak 37 3.4.4 Merumuskan Arahan Kebijakan Rencana Detil 38

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 39

4.1 Geografi Wilayah 39

4.2 Iklim 40

4.3 Topografi, Flora dan Fauna 42

(18)

4.5 Perekonomian 45

4.6 Agama Bahasa dan Kepercayaan 46

4.7 Masyarakat adat dan Tempat Pentinnya 47

4.7.1 Suku dan Pembagian Wilayah Adat 47

4.7.2 Kekerabatan Marga 49

4.7.3 Totemisme dan Tempat Yang dianggap Penting 50

4.8 Penataan Ruang Kabupaten 50

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 54

5.1 Analisis Kearifan Tempat Penting dan Penerapannya pada Rencana Detil Tata Ruang

54

5.2 Analisis Perubahan Penutupan Lahan 71

5.3 Pendapat dan Penilaian Para Pihak Terhadap Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang

73

5.4 Arahan dan Masukan dalam Penyusunan Kebijakan Rencana Rinci 74

6 SIMPULAN DAN SARAN 78

6.1 Simpulan 78

6.2 Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 83

(19)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut BIG 11

2 Susunan Marga-Marga dalam Masyarakat Malind 18 3 Keterkaitan Jenis dan Sumber Data Serta Tujuan dan Output yang

Diharapkan 26

4 Daftar Informan Wawancara Mendalam 31

5 ID Citra Landsat dan Perekaman kawasan Merauke 32 6 Kelas Penutup lahan hasil penyederhanaan 35 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Luas Wilayah

Distrik di Kabupaten Merauke Tahun 2011 45

8 Komposisi Kampung dan Jumlah Penduduk Asli Papua 48 9 Simbol dan makna enam elemen Tempat Penting 51

10 Luasan Klaster I-IV MIFEE 52

11 Perhitungan Penggunaan Lahan Hasil Pemetaan Partisipatif 69 12 Luasan Perubahan Tutupan Lahan di Kabupaten Merauke 73

13 Persepsi Para Pihak di Kabupaten Merauke 74

DAFTAR GAMBAR

1 Denah Hubungan Kekerabatan Antara Alam dan Manusia 15 2 Bagan Posisi Peraturan Zonasi Dalam Penataan Ruang 21

3 Peta Lokasi Penelitian 24

4 Diagram Alir Penelitian 28

5 Peta Administrasi Kabupaten Merauke 39

6 Grafik Peningkatan Curah Hujan dan Hari Hujan 40 7 Grafik Trend Suhu dan Kelembaban Sepuluh Tahun 41

8 Peta Kelas Lereng di Kabupaten 42

9 Peta TransFly Visi Ekologi dan Adat 44

10 Grafik Peningkatan PAD Selama Sepuluh Tahun 45 11 Peta Distribusi Orang Asli Papua Sesuai Distrik 49

12 Peta Kawasan Project MIFEE 52

13 Postur dan Asesories Baju Adat Masyarakat Malind-anim 54 14 Skema konstruksi Kearifan Suku Malind dengan Lingkungan 55 15 Peta Posisi Wilayah adat Suku Muli anim, Malind anim, Mbian anim

dan Nggawil anim

56

16 Lokasi Perjalanan Leluhur/dema di Lapangan 57

17 Lokasi Tempat Mitologi di Lapangan 58

18 Lokasi Kuburan Leluhur di Alam 59

19 Tempat Ritual Adat 59

20 Lokasi Dusun Sagu 60

21 Bentuk Sumber Air yang dibuat Secara Alami 61

22 Lokasi Hutan Berburu 62

23 Lokasi Pelestarian Adat 63

(20)

26 Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung Kolam 66

27 Hasil Pemetaan Partisipatif Tempat Penting Marga di Kampung

Selauw 67

28 Peta Hasil Pemetaan 4 Kampung Pola Ruang Tradisional 68 29 Grafik Pie Persentase Pembagian Pola ruang Tradisional 70 30 Hasil Interpretasi Tutupan Lahan Tahun 2000 71 31 Hasil Interpretasi Tutupan Lahan Tahun 2012 72

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pembagian Kelompok Marga Menurut Suku Kanume dan Yeinan 83 2 Jenis dan Nama Tempat Penting Marga di Kampung Zanegi 84 3 Perkembangan Investasi pada Project MIFEE Tahun 2012 85 4 Hasil Wawancara Pendapat Tentang Penataan Ruang 86

5 Hasil Wawancara Persepsi Para Pihak 87

6 Hasil FGD Persepsi Masyarakat Tentang Tempat Penting dan

Implementasinya pada Rencana Rinci 89

7 Skema Proses Alir Pembuatan Penutupan Lahan dan Perubahan

Penggunaan Lahan 90

8 Hasil pemetaan di kampung Kolam 91

9 Hasil pemetaan di kampung Selauw 92

10 Hasil pemetaan di kampung Kaliki 93

11 Hasil pemetaan di kampung Zanegi 95

12 Kodefikasi Tempat Penting 96

13 Peta Lokasi kebun Sawit dan HTI 97

(21)

Pembangunan dewasa ini membutuhkan lahan yang lebih luas sebagai media sumber daya fisik yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia. Wujud pemanfaatan lahan dapat berupa perladangan, persawahan, pemukiman atau hasil langsung melalui ekstraksi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu. Alam merupakan tempat hidup atau habitat dan memiliki keterkaitan erat dalam satu ekosistem, baik alami maupun buatan. Dalam kaitan pemanfaatan ruang alam untuk kepentingan ekonomi biasanya perhitungan kuantitatif dan asumsi-asumsi ekonomi atau rasionalitas dalam capaian pembangunan akan mengindikasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang konon menjamin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat. Melalui bingkai perencanaan teknokratik yang mengusung strategi “top down” sudah barang tentu aliran dampak kebawah atau trickle down effect diharapkan akan merata di semua level pembangunan. Anggapan-anggapan ini kemudian memunculkan banyak persoalan pada pencapaian tujuan pembangunan karena menjadi terkesan semu dimana aspek sosial budaya dan lingkungan tanpa sengaja telah dilupakan dan bahkan kurang diperhitungkan.

Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 memunculkan bukan saja masalah-masalah finansial, tetapi juga kerusakan lingkungan dan degradasi moral terlebih identitas jati diri masyarakat di Indonesia. Berbagai konflik horisontal yang terjadi sepuluh tahun belakangan ini, kalau ditilik lebih jauh sumber persoalannya terletak pada pengelolaan sumber daya alam yang kurang bijaksana dan arif. Kesadaran untuk kembali ke pangkal nilai adat istiadat menjadi simpul dari dibangunnya usaha untuk kembali kepada budaya sebagai salah satu basis nilai yang penting terutama yang dilakukan di suatu wilayah dengan nilai kearifan lokal yang masih dipegang teguh.

Geertz (2000) berpendapat bahwa kearifan lokal masyarakat adat merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. selanjutnya Nygren (1999) mengatakan bahwa pengetahuan lokal atau indigenous knowledge dicirikan sebagai pengetahuan yang berakar kuat pada tradisi lokal yang didasarkan atas “ cara-cara mengetahui yang bersifat holistik dan yang secara ekologis terbiasa hidup dalam keseimbangan dengan alam”. Selanjutnya dalam perkembangan peradaban manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengelola dan memanfaatkan alam agar lebih efisien. Hal ini dipertegas oleh Dove (1985) yang menganggap bahwa ini merupakan titik balik dari pandangan yang keliru terhadap pengetahuan lokal yang hanya menjadi penghambat proses modernisasi dan pembangunan yang membutuhkan lahan itu sendiri. Munculnya Krisis ekologi global dewasa ini membawa keprihatinan dan kesadaran kritis untuk mencari bentuk-bentuk pembangunan alternatif yang lebih berkelanjutan yang tentunya tetap berakar pada sistem kehidupan dan pengetahuan yang berlagsung di suatu wilayah tersebut.

(22)

kearifan Tempat penting yang dianut dan diyakini secara turun-temurun. Ruang alam yang digambarkan adalah tempat-tempat yang dianggap sakral dalam ritual agama Suku, kisah mitologi serta adanya tempat-tempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, penyimbolan di alam dari sistem boan/marga disebut Totemisme (Boelaars, 1986). Bagaimana mengintegrasikan visi ekologi dan nilai kearifan sebagai basis cara pandang dalam merencanakan ruang bagi pemenuhan kehidupan dan kesejahteran masyarakat di Kabupaten Merauke, menjadi tantangan tersendiri terutama setelah masyarakat secara sadar telah memetakan kawasan adat yang disebut sebagai Tempat penting masyarakat Malind melalui konsensus masyarakat adat tentang Tempat penting pada tahun 2006.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang No 24 Tahun 1992, sistem perencanaan tata ruang di Indonesia memasuki babak baru dengan proses penyusunan tata ruang dilakukan dalam tahapan skala Nasional, provinsi dan Kabupaten /Kota sampai pada rencana detil tata ruang. Pada bulan Agustus 2011 telah ditetapkan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke untuk periode 2011 – 2031, setelah sebelumnya proses pemanfaatan ruang di Kabupaten Merauke belum memiliki pedoman ruang yang mengatur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam pembangunan.

Pertanyaan penting kedepan adalah bagaimana dokumen RTRW yang telah mengakomodir Tempat penting masyarakat dapat dilaksanakan secara konsekwen dan efektif lewat kebijakan pemanfaatan dan pengendalian ruang sesuai amanat UU 26 Tahun 2007 dimana didalamnya terdapat cagar budaya yang harus dilestarikan. Jika kebijakan pemanfaatan ruang berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaan pembangunan maka pengendalian pemanfaatan tata ruang berkaitan dengan mekanisme perizinan, peraturan zonasi, pemberian disinsentif dan insentif serta sangsi. Implementasi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai tahapannya hanya dapat terealisasi dan dievalasi setelah disusunnya Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau yang biasa disebut RDTR Kabupaten sesuai Permen PU No 20 Tahun 2011.

Penelitian ini sangat dibutuhkan untuk menggali secara mendalam tentang kearifan lokal masyarakat adat Malind sesuai aspek pelestarian alam dan pemanfaatan ruang secara tradisional. Mengetahui sejauh mana proses implementasi tata ruang pada tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang, apakah kemudian konsisten dijalankan sesuai produk dokumen kebijakan RTRW yang telah ditetapkan, serta apa persepsi para pihak tentang praktek pemanfaatan ruang selama ini. Bagaimana arahan kebijakan dalam penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir kearifan Tempat penting Suku Malind.

1.2 Perumusan Masalah

(23)

pembangunan dengan pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat, misalnya setelah ditetapkannya kawasan Merauke sebagai salah satu tujuan investasi pangan dan energi skala luas. Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merauke pada 2011 yang telah mengakomodir kearifan Tempat penting Suku Malind dalam pola ruang, namun dalam praktek pelaksanaan tata ruang rupanya Tempat penting kurang diperhatikan sebagai salah satu arahan penting untuk melestarikan dan lebih jauh meminimalisir konflik-konflik yang selama ini terjadi di Kabupaten Merauke. Hal ini menunjukan masih kurangnya pemahaman pengguna ruang baik pemegang kewenangan, pemanfaat maupun masyarakat di Kabupaten Merauke akan keberadaan Tempat penting suku Malind dalam penataan ruang wilayah Kabupaten.

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Kurangnya pemahaman mendalam dari para pihak dan pelaku kepentingan atas sumber daya alam akan kearifan Tempat penting Suku Malind terutama dalam implementasi pemanfaatan ruang tradisional dan belum terpetakan secara rinci Tempat penting skala detil di tingkat marga-marga. 2) Munculnya perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan tradisional oleh masyarakat adat Malind dan peruntukan lahan untuk kepentingan pembangunan wilayah oleh pemerintah dan investor di Kabupaten terutama kebutuhan lahan skala luas untuk investasi perkebunan dan kehutanan serta lainnya. 3) Tingkat pemahaman, pendapat dan kapasitas yang berbeda dari para pihak penyelenggara, praktisi dan pengguna ruang di Kabupaten Merauke menyangkut perencanaan tata ruang dalam tahapan pemanfaatan dan pengendalian ruang. 4) Belum adanya Rencana Detil/Rinci Tata Ruang Kabupaten Merauke sebagai rencana operasional kawasan strategi Kabupaten dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang yang mengakomodasi keberadaan Tempat penting.

Dengan memperhatikan permasalahan diatas maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan ‘Tempat penting’ masyarakat adat Malind dalam kearifan pemanfaatan ruang tradisional dan seperti apa bentuknya ?

2. Bagaimana bentuk perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten ditetapkan dan seberapa jauh pengaruh penggunaan tersebut memperhatikan keberadaan Tempat penting Suku Malind ?

3. Sejauh mana Pendapat dan penilaian para pihak tentang peran aktif, kepatuhan pada komitmen rencana tata ruang dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang di Kabupaten Merauke ?

4. Bagaimana arahan kebijakan dalam penyusunan rencana rinci tata ruang Kabupaten Merauke yang mengakomodir Tempat penting sebagai kearifan lokal masyarakat adat Malind ?

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

(24)

2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah RTRW Kabupaten Merauke ditetapkan dan seberapa jauh penggunaan tersebut memperhatikan keberadaan Tempat penting masyarakat adat Malind.

3. Menganalisis pendapat dan penilaian para pihak terhadap pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke.

4. Merumuskan arahan dalam penyusunan rencana detil tata ruang Kabupaten Merauke yang telah mengakomodir nilai kearifan Tempat penting masyarakat adat Malind.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada beberapa aspek antara lain :

a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah dan para pihak tentang kerangka menata ruang berbasis pada nilai kearifan lokal Suku Malind yang Partisipatif

b. Bahan pembelajaran dan evaluasi dalam perumusan kebijakan pembangunan wilayah melalui penataan ruang di Kabupaten Merauke.

c. Membangun kesadaran kritis bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan keberadaan identitas kearifannya sebagai modal sosial-budaya dalam pembangunan di Kabupaten Merauke wilayah lainnya.

d. Sebagai acuan dalam kegiatan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi batasan permasalahan yang membahas keberadaan kearifan Tempat penting Suku Malind, dan pendalamannya sebagai nilai luhur yang hidup dalam sistem adat istiadat Suku Malind. Suku Malind yang mendiami wilayah administrasi Kabupaten Merauke setelah pemekaran Kabupaten Merauke tahun 2002 terutama pada empat kampung sebagai lokasi penelitian.

Pendekatan skala dalam membangun data penelitian disesuaikan dengan memperhatikan pedoman pada Undang Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan Ruang, peraturan daerah No 14 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Merauke, Peraturan Mentri PU No 20 tahun 2011 tentang penyusunan Rencana Detil tata ruang dan strategi pengembangan aspek investasi daerah yaitu pada kawasan program percepatan lahan pangan atau yang biasa disebut Merauke Integrated Food and Energi Estate seluas 228.030 ha. Secara administratif pengumpulan data kualitatif dan spasial dilakukan di empat kampung yaitu kampung Kaliki, kampung Zanegi pada distrik Malind dan Animha, kampung Selauw dan kampung Kolam pada distrik Muting. Subjek sekaligus objek penelitian meliputi Tempat penting marga-marga dari dua sub suku yaitu Malind anim dan Mbian anim .

(25)

Ruang lingkup keterlibatan para pihak dan persepsi dilakukan dengan menjaring pendapat dan penilaian para pihak yang difokuskan pada pertanyaan tentang Tempat penting, pelaksanaan penerapan kebijakan tata ruang, harapan dan komitmen para pihak dalam mendukung implementasi tata ruang dan temapt penting.

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan

Pembangunan dalam pengertian sempit adalah upaya manusia secara terencana untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Definisi pembangunan berkelanjutan diberikan oleh World Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan Komisi yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia terangkum dalam buku Our Common Future, yang terumuskan berupa : “if it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Faktor penting yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Ada dua gagasan penting yang harus menjadi perhatian yaitu gagasan tentang kebutuhan umat manusia untuk memenuhi hidupnya dan gagasan keterbatasan sumber daya yang menyediakan kebutuhan tersebut. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep “pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan, lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya dan perlindungan lingkungan. Smith (1999) dalam kutipan Siahaan (2004) “Incorporating Sustainability Principles in Legislation”, mengartikan sustainable development sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal:

a. Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang dapat diperbarui;

b. Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat dapat habis (exhaustible resources);

c. Pemeliharaan sistem pendukung ekologis; dan d. Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.

(27)

Aspek ekonomi dalam pembangunan menurut Rostow (1960) dalam Rustiadi (2011) secara sederhana mendefinisikan pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi dimana terjadi transformasi struktural masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern dengan melibatkan banyak sektor atau multi sektoral. Faktor produksi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan daya dukung alam serta peran sumberdaya manusia menjadi subjek utama penentu roda produksi dapat berputar. Lebih jauh Rustiadi (2011) menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan pada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan. Sosiologi pembangunan mencoba melengkapi kajian ekonomi yang selama ini hanya didasarkan pada produktivitas dan efisiensi dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Pembangunan sebagai sebuah perubahan sosial yang terencana tidak bisa hanya dijelaskan secara kuantitatif dengan pendekatan ekonomi semata, terdapat aspek tersembunyi jauh pada diri masyarakat seperti persepsi, gaya hidup, motivasi dan budaya yang mempengaruhi pemahaman masyarakat dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Sosiologi pembangunan juga berusaha untuk menjelaskan berbagai dampak, baik positif maupun negatif dari pembangunan terhadap sosial budaya masyarakat. Berbagai introduksi, baik yang berupa teknologi dan nilai-nilai baru dalam proses pembangunan tentu akan membawa dampak pada bangunan sosial yang sudah ada sejak lama.

Menurut Cernea (1993) manusia pengguna sumberdaya alam seringkali sebagai penyebab kerusahan lingkungan. Ini berarti manusia merupakan pusat dari aktor sosial dan juga lembaga yang dibentuk mereka dalam pembangunan berkelanjutan harus menjadi perhatian. "konstruksi sosial" dalam pemahaman keberlanjutan yaitu, pengaturan yang bersifat sosial dan ekonomi harus dilakukan secara purposive (menurut keperluannya). Pendekatan aspek ekonomi, sosial dan ekologi bahkan terakhir ditambahkan budaya sebagai aspek ke empat patut dipertimbangkan dalam mengusung pemahaman pembangunan berkelajutan. Dua unsur untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam perspektif Sosiologis adalah. Pertama, adanya konsep yang mengatur tata kelola organisasi dalam kehidupan budaya, hubungan sesama manusia dan sumberdaya alam. Dari unsur pertama tersebut diharapkan menghasilkan “social organization” (organisasi sosial). Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mengkoordinasikan tindakan sosial untuk mencegah kerusakan perilaku dan mempercepat perkembangan pembentukan modal sosial. Modal sosial dapat terbentuk pada setiap individu dalam organisasi. Organisasi yang diinginkan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas sosial setiap individu sehingga lebih berdaya dan tindakannya lebih terorganisir dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.

(28)

Institutional Strategy (strategi kelembagaan), dengan dua cara yaitu pertama, bertindak dan belajar, sedangkan kedua fokus pada masalah internal dan eksternal.

Selama sepuluh tahun terakhir, lembaga-lembaga yang berbeda telah berusaha mengukur dan memantau perkiraan atas apa yang mereka pahami sebagai keberlanjutan dengan mengimplementasikan apa yang disebut dengan matrik dan indikator keberlanjutan. Bank Dunia misalnya yang berada dalam tekanan internasional oleh berbagai negara dan lembaga lingkungan non pemerintah melihat kinerja yang kurang mendukung upaya keberlanjutan dengan memberi bantuan keuangan bagi proyek dan program yang tidak ramah lingkungan. Dalam prosiding yang dikeluarkan oleh Dixon dan Steer (1993) menyampaikan bahwa langkah perubahan paradigma di Bank Dunia telah dimulai dengan memasukan konsep dan metodologi yang berhubungan dengan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Empat agenda penting tersebut diharapkan dapat terwujud dalam prinsip dan kerja keseharian kepada seluruh negara provider. Keempat agenda tersebut adalah : 1). Membangun sinergi positif antara pembangunan dan lingkungan (konvensi Rio, 1992); 2). Mengasistensi negara dalam pengelolaan lingkungan ; 3) Mitigasi dampak yang merugikan ; 4) Berusaha mengatasi masalah global dan Regional. Sebagai catatan akhir dari sebuah paradigma bahwa pembangunan berkelanjutan dalam gagasan besarnya menghendaki tercapainya beberapa hal yang dianggap krusial yaitu :

 Suatu sistem politik yang menjamin partisipasi efektif masyarakat dalam pengambilan keputusan.

 Suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan sendiri dan bersifat berlanjut.

 Suatu sistem sosial yang memberikan penyelesaian bagi ketegangan ketegangan yang muncul akibat pembangunan yang tidak selaras,

 Suatu sistem produksi yang menghormati kewajiban untuk melestarikan ekologi bagi pembangunan itu sendiri,

 Suatu sistem teknologi yang dapat menemukan terus menerus jawaban jawaban baru.

 Suatu sistem internasional yang dapat membantu pola pola perdagangan dan keuangan yang berlanjut dan,

 Suatu sistem adminstrasi yang luwes dan mempunyai kemampuan sungguh-sungguh dalam memperbaiki diri secara terus menerus kearah yang lebih baik.

(29)

rencana pembangunan terutama bagaimana meletakan kebutuhan masyarakat baik tradisional maupun terkini pada pijakannya. Hal ini untuk memperkokoh daya bangun dan peletakan ruang pembangunan yang ramah lingkungan dan secara teruts menerus menyediakan jasa bagi pencapaian tujuan utama masyarakat adil da sejahtera jasmani dan rohani.

2.2 Sistem Informasi Geografis dan Analisis Spasial

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem perangkat kerja komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan data, analisis data dan tampilan geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang sengaja dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (Barus, 2000). Analisis dengan SIG dapat memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan keruangan. Hal ini tergantung dari bagaimana analisis melakukan klasifikasi atau simbolisasi suatu fitur. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan (Mitchell, 2005).

Analisis SIG dapat dipakai untuk mendukung berbagai aplikasi baik terhadap fenomena geografis yang penting dalam kegiatan pembangunan, misalnya dalam perencanaan tata ruang (spatial planning) yang dalam UU 26 Tahun 2007 diterjemahkan dalam penyusunan, pemanfaatan dan pengendalian Ruang. Dalam perencanaan pembangunan perlu dilakukan analisis spasial dari berbagai kondisi fisik dan sosial budaya dan ekonomi suatu daerah untuk dapat menentukan pemanfaatan sumberdaya yang optimal. Untuk keperluan analisis keruangan, SIG mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Menurut Barus (2000) tahapan dalam analisis SIG diawali dengan persiapan yaitu konversi data analog maupun dijital lain kedalam format yang diinginkan, dan yang berikut adalah identifikasi dan spesifikasi objek dalam data sumber sehingga bereferensi geografis.

Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

2.3 Penutupan lahan dan Penggunaan lahan

(30)

kumpulan bentangan sumber daya alam di profil tertentu dari mulai atmosfer. Dapat disimpulkan bahwa lahan merupakan tanah dengan segala ciri, kemampuan maupun sifatnya beserta segala sesuatu yang terdapat diatas termasuk didalamnya kegiatan manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan adalah lingkungan fisik yang mencakup tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi penggunaan lahan.(Wolman, 1987, 646

Penggunaan lahan atau land use merupakan aktifitas manusia dalam memanfaatkan lahan yang melibatkan pengelolaan dan modifikasi lingkungan alam atau hutan belantara ke lingkungan terbangun seperti padang rumput, dan permukiman. Penggunaan lahan juga telah didefinisikan sebagai "pengaturan, kegiatan dan masukan manusia dalam mengambil alih jenis tutupan lahan tertentu untuk menghasilkan, mengubah atau mempertahankannya" (FAO, 1997a, FAO / UNEP, 1999). Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya.

Banyak sumber yang sudah berusaha memisahkan dengan tegas batas antara penutupan lahan dan penggunaan lahan, Lillesand dan Kiefer (1979) memberi pengertian penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut. Townshend dan Justice (1981) juga berpendapat mengenai penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Barret dan Curtis (1982) mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain sebagainya, dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan lahan). Jika pada penutupan lahan dikatakan “tubuh air” (water body), maka penggunaan lahan dapat berarti sungai, danau, kolam, dan lain-lain.

Dunggio (1991) dalam jurnal ilmiah Agropolitan melakukan analisis degradasi tutupan lahan di Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo yang menyimpulkan bahwa terjadi perubahan tutupan lahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan oleh manusia seperti pemukiman, perladangan berpindah, illegal logging dan perburuan illegal. Dari hasil pengertian dan penelitian tersebut menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dapat dikatagorikan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Sedangkan degradasi lahan memiliki kaitan erat dengan lahan yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui yang sangat bergantung dengan daya dukung lahan. Dengan demikian keputusan manusia untuk memperlakukan lahan bagi kepentingan mensejahterakan dirinya disamping sangat dipengaruhi oleh permintaan dan ketersediaan lahan maka dipengaruhi juga oleh faktor karakterisitik fisik lahan (suitability), feasibility berkaitan dengan lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor penting lainnya berikaitan dengan budaya masyarakat (culture) dan kebijakan pemerintah (policy maker).

2.4 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan

(31)

pemantauan dan pelaporan perubahan penutup lahan pada suatu negara yang memiliki penerimaan di tingkat internasional. Dalam sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO, makin detail kelas yang disusun, makin banyak kelas yang digunakan. Kelas penutup lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan, bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian atau kedalaman objek. Klasifikasi tutupan disederhanakan dari skala peta 1:250.000 yang dikeluarkan oleh BIG, dengan maksud agar memudahkan pendetilan klasifikasi yang disusun. Klasifikasi tutupan lahan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Penutupan Lahan menurut BIG skala 1: 250.000

No. Kelas Penutup lahan No. Kelas Penutup lahan

1 Daerah Bervegetasi 2.1.4 Gumuk pasir

1.1 Daerah Pertanian 2.2 Permukiman dan lahan bukan

pertanian yang berkaitan

1.1.1 Sawah 2.2.1 Lahan terbangun

1.1.2 Sawah pasang surut 2.2.1.1 Permukiman

1.1.3 Ladang 2.1.1.2 Bangunan industrial

1.1.4 Perkebunan 2.2.1.3 Jaringan jalan

1.1.5 Perkebunan campuran 2.2.1.3.1 jalan arteri

1.1.6 Daerah bukan Pertanian 2.2.1.3.2 jakal kolektor

1.2 Daerah Bukan Pertanian 2.2.1.3.3 jalan lokal

1.2.1 Hutan Lahan kering 2.2.1.4 Jaringan jalan kereta api

1.2.1.1 hutan lahan kering primer 2.2.1.5 Bandar udara domestik/internasional 1.2.1.2 Hutan lahan kering sekunder 2.2.1.6 Pelabuhan laut

1.2.2 Hutan Lahan Basah 2.2.2 Lahan tidak terbangun

1.2.2.1 hutan lahan basah primer 2.2.2.1 Pertambangan

1.2.2.2 Hutan lahan basah sekunder 2.2.2.2 Tempat penimbunan sampah/deposit

1.2.4 Semak dan belukar 2.3 Perairan

2.1.2 Hamparan pasir pantai 2.3.6 Terumbu karang

2.1.3 Beting pantai 2.3.7 Gosong pantai

Sumber data : SNI BIG

2.5 Penataan Ruang Wilayah

(32)

atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan (ii) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Sasaran utama dari Penataan Ruang Wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum yaitu : (i) efisiensi, (ii) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, serta (iii) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan sumberdaya diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Wilayah sebagai suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Proses pembelajaran yang berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang didalam kehidupannya berada dalam siklus tanpa akhir berupa : pemanfaatan – monitoring (mengamati) – evaluasi (pembelajaran) – tindakan pengendalian – perencanaan (upaya memperbaiki, mengantisipasi masa depan dan memutuskan tindakan) – pemanfaatan dan seterusnya. Rangkaian siklus diatas dilakukan oleh manusia untuk menuju keseimbangan dalam penataan ruang yang lebih baik. Sebagai proses perubahan penataan ruang secara formal adalah proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial. Alasan yang melandasi pentingnya penataan ruang adalah perbedaan kepentingan antara individu dan masyarakat, ruang itu sendiri merupakan atmosfer bersifat public good, ruang sebagai bagian dari fungsi ekologis menjadi daya dukung dan berkelanjutan bagi suatu sistem.

Penataan ruang di Kabupaten Merauke setelah kurang lebih sembilan tahun sejak pemekaran tahun 2002, tepatnya pada tahun 2011 ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA) no 11 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Merauke (RTRW). PERDA ini dianggap unik dan bahkan mendapat penghargaan produk RTRW terbaik ketiga di Indonesia karena merupakan produk ruang yang mengadopsi dan memasukan dokumen Tempat penting masyarakat adat dalam bentuk lokasi dan pengetahuan nilai kearifan lokal Suku Malind. Menurut Rustiadi (2011) secara alamiah tanpa atau dengan keterlibatan manusia berlakunya hukum-hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya alam dengan keteraturan yang dinamis, yang berpola dan terstruktur secara spasial maupun waktu sehingga membentuk pola ruang. Tempat penting masyarakat adat merupakan pola adaptasi turun-temurun dari nilai mitologi yang menjadi identitas penting Suku Malind ditanah animha di wilayah paling selatan Provinsi Papua. Sampai saat ini nilai tersebut masih dipertahankan dengan berbagai ritual dan aturan main adat yang diakui sebagai bagian dari keseimbangan fisik lingkungan dan sosial budaya. Dengan demikian proses penataan ruang di Kabupaten Merauke telah berpedoman pada pendekatan pembangunan berbasis pada nilai-nilai setempat atau lokal yang hidup dan berkembang dan dilestarikan.

2.6 Kearifan Lokal

(33)

atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sunaryo (2003), juga menjelaskan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Menurut Ardhana (2005), kearifan lokal dapat diartikan sebagai perilaku bijak yang selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu. Dalam kearifan lokal ada karya atau tindakan manusia yang sifatnya bersejarah, yang masih diwarisi masyarakat setempat. Perilaku bijak ini biasanya adalah tindakan, kebiasaan atau tradisi, dan cara-cara masyarakat setempat yang menuntun untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera.

Ardhana (2005), menjelaskan bahwa menurut perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, termasuk mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tatanan sosial. Memahami kearifan lokal dapat dilakukan melalui pendekatan struktural, kultural dan fungsional. Menurut perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di masyarakat, yang dapat menjelaskan tentang institusi atau organisasi sosial serta kelompok sosial yang ada. Di Suku Baduy, di desa Cikartawana, Cikeusik, Cibeo dan masyarakat Baduy Luar, mencirikan adanya sebuah struktur sosial yang unik.

Ada beberapa penelitian ilmiah maupun makalah dalam jurnal yang mengemukakan betapa kuatnya kearifan dalam masyarakat dengan adat istiadat yang melekat dengan alamnya, misalnya Sasaoka (2012) mengenai praktek kearifan lokal masyarakat adat di Seram tengah Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam; Byer et al. (2001) meneliti peran keyakinan agama tradisional dalam melestarikan hutan lahan kering di Zimbabwe utara. Virtanen (2002) melihat di Mozambik tentang berfungsinya kelembagaan sosial budaya atas hutan keramat. Contoh lain juga dipraktekan oleh masyarakat adat Yi di Yunan China melalui pemetaan kawasan penting mereka yang memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam komunitasnya (Jinlong, 2012). Di Indonesia sendiri ada beberapa penelitian ilmiah seperti yang dilakukan oleh Wadley dan Pierce (2004) tentang hutan keramat di kalimantan barat yang adalah wilayah penting bagi satwa liar.

(34)

integrasi, pencapaian tujuan dan pemeliharaan pola. Contohnya dalam hal beradaptasi menghadapi era globalisasi (televisi, akulturasi dan lain-lain). Sementara itu Nababan (2003) berpendapat bahwa sudah sejak lama masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati karena sebagian besar masyarakat adat memiliki sistem-sistem lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus menerus secara turun temurun.

Kearifan nilai adat Suku Malind di merauke melalui wujud ruang yang disebut ‘Tempat penting’ tidak terlepas dari kisah sejarah mula penciptaan, salah satu tokoh kunci Suku Malind menyatakan :

Awal mula alam semesta ini masih diliputi oleh kabut yang luas menyelimuti bumi dan pada waktu itu bumi masih merupakan suatu cairan lumpur hidup yang bergoyang. Ketika sang pencipta atau di sebut “Ala-Alawi” melayang-layang di udara di antara kabut tebal dan menggalungi lehernya dengan kantong yang berisi bongkahan tanah atau “wan”. Gebze (2000)

Mitologi ini merupakan sistem religi yang melekat dalam pemahaman budaya Suku Malind dan “Dema” adalah leluhur mereka, atau pusat dari sistem religi yang dianut. Seluruh tumbuhan dan satwa endemic dan benda benda lain bahkan gejala alam yang hidup di atas wilayah adat Malind telah dijelmakan untuk membantu manusia didalam setiap penamaan marga atau boan, semua sudah terbagi dalam kepemilikan marga. Oleh karena itu setiap marga sangat menjunjung tinggi dan menghargai serta melindungi wujud-wujud “Dema” mereka, terutama mereka menganggap sebagai lumbung sumber kehidupan yang tidak boleh diperlakukan sembarangan oleh siapapun dan dimanapun sampai kapanpun. Berdasarkan mitologi ini maka ajaran “Mayo” identik disebut sebagai suatu kepercayaan yang mengajarkan totemisme dan pelestarian alam.

Pengelolaan komponen biologis yang menjadi simbol-simbol tersebut dianggap sebagai tugas suci sepanjang masa. Air penyubur kehidupan genetik dikelola dengan penuh kasih sayang, selanjutnya kata Gebze :

Api penggerak kehidupan meliputi segala komponen kehidupan lainnya. Angin mengisi semua ruang kehidupan. Tanah oleh kelengkapan komponen-komponen kehidupan lainnya menumbuhkan aneka spesies tumbuhan, aneka spesies satwa, dan pengelompokan klen-klen/boan. Cakrawala pagi, siang, senja, malam, dan pagi penuh puja akan keagungan semesta buah karya abadi Amai yang tak terlihat. Cakrawala itu mahkota (gali) kehidupan yang terus berlanjut sepanjang masa.

(35)

Gambar 1. Denah hubungan kekerabatan antara alam dan manusia

Pengetahuan tentang adat sangat tergantung dengan tingkatan status adat seseorang dalam kepengurusan adat. Seseorang yang telah mencapai tingkatan adat tertentu dapat menyampaikan cerita atau peristiwa tentang adat mereka kepada orang lain atau Suku lain, tetapi tidak semuanya dapat di ceritakan terutama yang menyangkut hal yang di anggap sakral. Hal ini tidak terlepas dari kepemilikan wilayah-wilayah adat yang sudah dibagi habis dan telah di atur berdasarkan mitologi Suku Malind.

Secara bioetik masyarakat adat Malind terbingkai dalam aliran Totemisme yang menempatkan alam sebagai leluhur (amai) yang pemurah. Pelestarian alam dan komponen-komponen biologis merupakan kewajiban setiap orang dan hal tercermin dalam langgam lagu tradisional yang sering dikumandangkan dalam berbagai upacara adat.

2.7 Etnografi berbasis spasial

Pendekatan penelitian kualitatif saat ini melalui pendekatan etnografi berbasis spasial, sebelumnya perlu dipahami tentang cabang ilmu antropologi tersebut sehingga ada penyamaan presepsi. Etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari, yang dituangkan dalam bentuk tulisan, foto, gambar atau film. Karena kebudayaan meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan pemikiran, dan keyakinan suatu masyarakat, yang dipelajari oleh ahli etnografi bisa berbentuk bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan, bahasa dan religi. Untuk memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut, peneliti biasanya tinggal bersama masyarakat yang diteliti dalam waktu yang cukup lama untuk mewawancarai, mengamati, dan mengumpulkan dokmen-dokumen tentang obyek yang diteliti.

Istilah etnografi berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti ‘orang’ dan graphein yang berarti ‘tulisan’. Istilah itu kemudian diartikan sebagai sejenis tulisan yang menggunakan bahan-bahan dari penelitian lapangan untuk menggambarkan kebudayaan manusia. Menurut Spradley (1980) kebudayaan merupakan seluruh pengetahuan yang dipelajari manusia dan digunakan untuk

Manusia

“ Anim”

Alam

“Unam”

Pasangan

“Nakali”

Tumbuhan

“Maru”

Hewan

(36)

menginterpretasi pengalaman dan membentuk tingkah laku, dan ethnografi merupakan penelitian yang membahas kebudayaan, baik yang eksplisit maupun implisit. Penelitian etnografi memusatkan perhatian pada keyakinan, bahasa, nilai-nilai, ritual, adat-istiadat dan tingkah laku sekelompok orang yang berinteraksi dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi, religi, politik, dan geografis. Analisis etnografi bersifat induktif dan dibangun berdasarkan perspektif orang-orang yang menjadi partisipan penelitian.

Karena obyek etnografi adalah kebudayaan yang memiliki unsur eksplisit dan implisit, proses pelaksanaannya menjadi unik dibandingkan dengan penelitian lain. Penelitian tentang unsur-unsur kebudayaan yang eksplisit dapat dilakukan dengan cukup mudah karena unsur-unsur kebudayaan seperti itu relatif dapat diungkapkan partisipan secara sadar. Namun bila penelitian berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan yang implisit, yang dipahami secara tidak sadar oleh pemiliknya, data dan makna harus disimpulkan secara hati-hati berdasarkan penuturan dan tingkah laku para patisipan. Hal inilah yang membuat seorang etnografer perlu terlibat dalam kehidupan masyarakat yang diteliti dengan berperan sebagai pengamat berparisipasi (participant-observer). Spradley (1980) menekankan: "participation allows you to experience activities directly, to get the feel of what events are like, and to record your own perceptions."

Menurut Creswell (2008), penelitian etnografi dapat dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang atau pola ‘kaidah-kaidah’ yang mendasari sesuatu yang ‘dialami’ atau ‘dimiliki’ oleh sekelompok orang secara bersama, seperti tingkah laku, bahasa, nilai-nilai, adat-istiadat dan keyakinan. Penelitian etnografi memiliki beragam bentuk, akan tetapi jenis utama yang sering muncul dalam laporan-laporan penelitian pendidikan adalah etnografi realis, studi kasus, dan etnografi kritis.

Penelitian ini kemudian akan mengarahkan tujuan pertama untuk menggali lebih jauh Tempat penting dengan menggunakan pendekatan kualitatif etnografi realis menggunakan teknik bola salju dan pemetaan partisipatif. Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks ‘ keseluruhan cara hidup ’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif,termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah. Metode pengumpulan data yang utama adalah observasi atau wawancara yang kemudian melalui catatan lapangan semua hasil dicatat dan didokumenkan. Tahapan berikutnya adalah validisasi mengacu pada upaya membuktikan bahwa apa yang ada dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia mamang sesuai dengan sebenarnya ada atau terjadi. Tahap akhir adalah menganalisis dan membuat simpulan akhir yang memenuhi harapan objektifitas dalam penyimpulan hasil.

2.8 Konsensus Pemetaan Partisipatif Masyarakat adat Malind tentang kearifan Tempat penting

(37)

lebih bersifat perencanaan teknokratik tanpa melihat perkembangan dan keberadaan masyarakat. Di Indonesia sejak tahun 1992 telah dipublikasi hasil pemetaan partisipatif di Long uli perbatasan Taman Nasional Kayang Mentarang, dan kemudian munculah forum Jaringan Komunikasi Pemetaan Partisipatif (JKPP) pada sekitar tahun 1996 memperkuat kegairahan dalam mengusung gerakan ini secara terkoordinasi dan lebih terogranisir. Tercatat sampai kini tercatat kurang lebih 510 komunitas yang telah melaksanakan kegiatan ini di seluruh Indonesia, dengan berbagai tujuan yang muaranya pada penyelesaian konfik lahan secara horisontal antar masyarakat maupun vertikal antar masyarakat dengan pihak pemerintah dan swasta, selain itu tujuan lain dari pemetaan adalah sebagai upaya mempersiapkan masyarakat melakukan langkah pengelolaan lahan secara spasial. Misalnya, peta digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan sumber daya alam secara tradisional, tetapi juga peta digunakan untuk membangun identitas seperti yang dilakukan di Jayapura, Papua oleh PtPPMA dengan masyarakat adat Nambluong. Contoh lain dapat dilihat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta banyak lagi daerah lainnya. (Safitri, 2009)

High Conservation Value atau kawasan bernilai konservasi Tinggi adalah alat pendekatan yang digunakan oleh berbagai lembaga Swadaya Masyarakat seperti misalnya Yayasan WWF Indonesia melalui Panduan HCV yang dikeluarkan oleh konsorsium HCV Tolkit Indonesia. Konsep High Concervation Value (HCV) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi muncul pada tahun 1999 sebagai ‘Prinsip ke sembilan (λ)’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council / FSC).

Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah yang dijumpai atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. (Konsorsium Toolkit HCV, 2008).

(38)

sebagai penjabaran dari prioritas ekologi di wilayah sebelah Selatan pulau Papua. (WWF Indonesia, 2008)

Pembagian wilayah adat sangat berpengaruh pada hak dan kekuasaan untuk mengatur wilayah masing-masing sehingga ada pembatasan ketika seorang pemimpin adat pada suatu wilayah akan berbicara tentang teritori di luar wilayah kekuasaannya. Kepemilikan ulayat Malind Anim berdasarkan genealogis teritorial ini di kenal sebagai kepemilikan empat penjuru mata angin. Adapun sistem golongan kemargaan/Famili disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan Marga marga dalam Masyarakat Malind

(39)

anggota suku dan marga terhadap tanah dan sumberdaya agraria lainnya masih terbuka lebar. Menurut Boguma (2010) memperkuat argument tersebut orang Malind memiliki hubungan yang kuat dengan sumber-sumber agrarianya dalam sifat komunal sehingga ini memberi peluang akses yang luas.

2.9 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat

Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan memaknakan kesan-kesan indera untuk dapat memberikan arti terhadap lingkungannya. Apa yang seseorang persepsi terhadap sesuatu dapat berbeda dengan kenyataan dengan kenyataan yang objektif. Secara etimologi persepsi berasal dari bahasa latin perceptio yang berarti menerima atau mengambil. Persepsi adalah suatu proses dengan mana berbagai stimuli dipilih, diorganisir, dan diinterpretasi menjadi informasi yang bermakna.

Menurut Stephen (1998), persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan pemaknaan terhadap kesan-kesan sensori untuk memberi arti pada lingkungannya. Fred (1992) mengatakan proses persepsi dapat didefinisikan sebagai interaksi yang rumit dalam penyeleksian, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus. Demikian juga dengan Milton (1981) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses seleksi, organisasi dan interpretasi stimulus yang berasal dari lingkungan. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses dengan mana berbagai stimuli dipilih, diorganisir, dan diinterpretasi menjadi informasi yang bermakna.

Kertapati (1981) menyatakan bahwa persepsi dapat diartikan sebagai

proses untuk mengerti dan menyadari dunia luar diri sendiri. Menurut Schiffman,

(1997) persepsi adalah bukan pembawaan dari lahir, sebagian besar dipelajari setelah dewasa. Berdasarkan tinjauan teori yang telah dikemukakan, yang dimaksud dengan persepsi masyarakat dalam penelitian ini adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan melalui penerimaan sejumlah sensasi dengan bekerjanya sistern syaraf, sehingga masyarakat dapat mengenal dan menyusun suatu pola tentang suatu hal dan tentang pilihan seseorang yang dikendakinya.

Gambar

Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Penutupan Lahan menurut BIG skala 1: 250.000
Gambar 3.  Peta Lokasi Penelitian
Tabel 3. Keterkaitan Tujuan, Jenis dan, Sumber data, Analisis serta Keluaran yang
Gambar 4.  Diagram Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait