• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2 Ketua adat tingkatan Kunam dari Yeinan, Kanume, Marori, Malind,

3.4.2 Pengolahan Citra Penginderaan Jauh dan Klasifikasi Penutupan Lahan Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan

nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam klasifikasi citra secara digital, bertujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu.

Analisis spasial penggunaan lahan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan interpretasi citra landsat Enhanced Thematic Mapper/ETM, yaitu dengan melihat data penutup lahan sebelum RTRW ditetapkan melalui Citra Landsat ETM 5 tahun 2000 yang telah diolah datanya melalui laporan

Penghitungan Karbon oleh WWF Indonesia (2012). Data penutup lahan sesudah RTRW ditetapkan menjadi Peraturan daerah yaitu melalui Citra Landsat ETM+ 7 tahun 2012. Kedua data ini diharapkan dapat menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang signifikan terjadi, yang berdampak bagi penutupan lahan dan kebijakan tata ruang terutama sistem tatanan nilai kearifan adat nantinya.

Citra penginderaan jauh digunakan sebagai input untuk analisis perubahan penutup lahan tahun 2012 secara temporal. Pra pemrosesan citra menyangkut pemilihan input data citra penginderaan jauh, pemilihan daerah fokus pemetaan (Area of Interest), image correction, pengisian stripping citra Landsat,

mosaicking, serta image cropping.

Pemilihan input data citra penginderaan jauh disesuaikan dengan output skala pemetaan yang akan disajikan. Fokus daerah pemetaan dalam hal ini adalah satuan administrasi Kabupaten Merauke. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah Pasal 23 bahwa peta wilayah daerah Kabupaten berpedoman pada tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000. Pada pasal selanjutnya yakni Pasal 27 disebutkan bahwa dalam hal wilayah Kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan peta wilayah dengan skala 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000. Kabupaten Merauke dinilai memiliki cakupan wilayah yang tidak terlalu luas.

Sesuai dengan aturan skala dan resolusi citra menurut Tobler (1987) bahwa untuk output peta 1 : 50.000, resolusi raster yang direkomendasikan untuk input data adalah 25 meter. Citra satelit yang mendekati nilai resolusi spasial tersebut adalah citra satelit Landsat-5 dan 7 dengan resolusi spasial 30 meter. Landsat memiliki lebar sapuan 165 km2 sehingga Kabupaten Merauke tercakup 6 scene citra Landsat-5 dan 7 ETM+. Tabel 5 menyajikan tanggal pengambilan data Citra yang digunakan.

Tabel 5. ID Citra Landsat dan Perekaman kawasan Merauke Tipe Citra Kode

Citra Tahun 2000 Tahun 2012 Landsat ETM+ 100 – 065 22 Oktober 2000 11 Maret 2011 Landsat ETM+ 100 – 066 25 Oktober 2001 1 September 2012 Landsat ETM+ 101 – 065 26 Agustus 2000 05 April 2012 Landsat ETM+ 101 – 066 10 Agustus 2000 06 September 2012 Landsat ETM+ 102 – 065 16 Mei 2001 19 September 2012 Landsat ETM+ 102 – 066 16 Mei 2001 26 Maret 2012

Koreksi Citra (Radiometri dan Geometri)

Pemrosesan awal citra yang dilakukan adalah proses koreksi yang meliputi koreksi radiometri dan koreksi geometri. Koreksi radiometri menyangkut perbaikan nilai spektral citra. Citra Landsat yang digunakan telah terkoreksi secara sistematis sehingga tidak diperlukan proses koreksi radiometri (dapat dilihat dari distribusi nilai piksel citra telah berada pada rentang 0-255/8 bit). Meskipun citra telah mengalami koreksi secara sistematis, koreksi geometri masih perlu untuk dilakukan khususnya koreksi lokal agar sesuai dengan fokus daerah

penelitian. Koreksi geometri diperlukan untuk menghilangkan distorsi geometrik sehingga tiap piksel berada pada lokasi planimetrik di peta. Hal ini akan memudahkan dalam proses ekstraksi informasi yang berhubungan dengan peta tematik lain dalam pemrosesan dengan system informasi geografi (Jensen, 1986).

Koreksi geometri pada data citra Landsat perlu dilakukan untuk mengurangi distorsi geometrik selama melakukan akuisis citra, adapun pengaruh seperti rotasi bumi, kecepatan scenning dari beberapa sensor yang tidak normal dan efek panoramik. Kesalahan geometrik menimbulkan efek terhadap variasi jarak, luasan, sudut, arah dan bentuk disemua bagian data citra sehingga sangat perlu dikoreksi sebagai data yang bisa digunakan kelak. Koreksi dilakukan agar semaksimal mungkin menyerupai keadaan aslinya dilapangan. Selanjutnya dilakukan proses rektifikasi yaitu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input atau aslinya maka piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus diresampling kembali.

Acuan koreksi geometri menggunakan citra Landsat Orthorectified yang diakui secara nasional sebagai acuan standar pemetaan. Landsat Ortho telah dikoreksi dengan menggunakan aspek ketinggian sehingga distorsi topografi dapat diminimalisir. Proses koreksi geometri dilakukan dengan metode Image to Image

yakni dengan mengambil Ground Control Points (GCP) serta menggunakan perhitungan matematis. GCP adalah lokasi dapat diidentifikasi pada citra yang akan dikoreksi dan secara akurat terdapat pada peta/citra yang telah terkoreksi. Pemilihan lokasi harus benar-benar sama dan diusahakan pada titik yang tidak memiliki perubahan secara temporal. Ukuran untuk menentukan citra telah terkoreksi secara tepat adalah pada angka Root Mean Square Error (RMSE).

Menurut Jensen (2004) bahwa nilai RMSE kurang dari 1 piksel pada axis x dan y. Selanjutnya dilakukan persamaan transformasi yang berfungsi untuk interpolasi spasial, yaitu persamaan polinomial baik orde 1,2, maupun 3. Contoh rumus fungsi tersebut sebagai berikut :

x= a0 + a1X +a2X + a3XY y= b0 + b1Y +b2Y + b3XY

Dimana : x,y : Koordinat baris, kolom pada image yg belum terkoreksi X,Y : koordinat kolom pada image yng sudah terkoreksi (GCP) Pemilihan orde disesuaikan dengan kondisi topografi daerah penelitian. Kabupaten Merauke relatif memiliki topografi yang datar sehingga persamaan yang digunakan merupakan persamaan polynomial orde 1.

Langkah terakhir adalah melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) dengan salah satu metode Nearest Neighbour, Bilinear Interpolation dan Cubic Convolution dan membuat citra baru dengan sistem koordinat dan ukuran piksel output sesuai resolusi yang umumnya sesuai resolusi aslinya. Agar tidak terjadi perubahan nilai piksel digunakan interpolasi Nearest Neighbour yang memperhatikan piksel tetangga terdekat untuk proses interpolasi.

Pengisian Strip Citra Landsat (Gap Filling)

Citra Landsat sejak tahun 2003 mengalami kerusakan pada band SLC atau dikenal dengan istilah SLC-off sehingga perekaman citra setelah tahun tersebut mengalami strip/garis-garis hitam hasil pemotretan yang menunjukkan area yang

tidak terpotret oleh sensor. Hal ini dapat menganggu proses interpretasi baik secara visual maupun digital. Untuk memperbaiki stripping citra tersebut dilakukan proses pengisian gap dengan menggunakan citra yang tidak mengalamai stripping dengan memperhatikan temporal citra yang kurang lebih sama agar nilai piksel tidak terpaut jauh untuk pengisian nilai piksel citra yang kosong.

Mosaik Citra

Citra yang telah diisi stripping selanjutnya dilakukan penggabungan scene

atau dikenal dengan proses mosaik. Proses penggabungan citra tidak ada aturan khusus namun harus memperhatikan beberapa hal seperti prioritas meletakkan

scene yang memiliki tutupan awan rendah serta stripping yang lebih baik secara visual agar proses klasifikasi tidak memiliki gap yang cukup besar antar scene. Citra harus dilakukan penyesuaian histogram karena memiliki tingkat kecerahan yang berbeda. Hal ini dilakukan agar perbedaan nilai piksel antar scene bisa diminimalisir. Namun dalam kasus ini, penyesuaian histogram tidak bisa dilakukan karena terdapat beberapa scene yang berdekatan memiliki waktu perekaman yang berbeda sehingga nilai piksel tidak bisa disesuaikan karena memang merupakan obyek yang berbeda.

Cropping Citra

Setelah proses penggabungan citra, dilakukan proses pemotongan agar pemrosesan fokus pada area yang dipetakan yakni dengan melakukan tahap image cropping. Langkah ini berfungsi untuk mengurangi volume kerja komputer maupun waktu pemrosesan. Data pemotong yang digunakan adalah batas administrasi Kabupaten Merauke yang bersumber dari Bappeda Kabupaten Merauke.

Processing Citra

Processing citra untuk penyadapan informasi penutup lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi multispektral. Klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan nilai piksel dalam mengelompokkan piksel yang dipandang memiliki karakteristik pantulan yang sama menggunakan aturan perhitungan statistik. Secara ideal asumsi dalam pendekatan klasifikasi multispektral adalah bahwa piksel yang membentuk satu obyek yang sama memiliki karakteristik spektral yang sama dan obyek yang berbeda akan memiliki perbedaan karakteristik spectral. Namun, dalam kenyataannya terdapat suatu fakta bahwa obyek yang sama belum tentu memiliki nilai pantulan yang sama ke sensor, dan obyek yang berbeda bisa memiliki nilai pentulan yang sama akibat dari gangguan respon spektral. Hal inilah yang menjadi kelemahan dengan pendekatan multispektral. Klasifikasi multispektral tidak menggunakan subyektivitas dominan dalam pengelompokan kelas kenampakan obyek dalam citra. Klasifikasi multispectral tergolong menjadi 2 pendekatan yaitu unsupervised

dimana interpreter tidak terlibat langsung dalam proses klasifikasi (klasifikasi dilakukan oleh komputer berdasarkan pendekatan persamaan nilai piksel dan perhitungan statistik). Yang kedua adalah pendekatan supervised yaitu interpreter terlibat dalam proses klasifikasi. Dalam pendekatan supervised yakni interpreter

memiliki peran dalam mengambil piksel sample yang mewakili tiap kelas obyek. Dengan adanya peran interpreter ini, kesalahan komputer dalam mengkelaskan obyek dengan nilai pantulan berbeda namun merupakan obyek yang sama maupun sebaliknya dapat diminimalisir.

Penentuan Kelas Penutup Lahan

Kelas penutup lahan yang akan dicapai pada proses klasifikasi multispektral menggunakan acuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Klasifikasi Penutup Lahan 7645:2010 untuk skala 1 : 50.000. Klasifikasi penutup dari 17 kelas yang dibuat untuk data tahun 2000 disederhanakan menjadi hanya 8 tipe yaitu : 1) Lahan hutan, 2) Mangrove, 3) Semak Belukar, 4) Savana, 5) Tubuh air, 6) Lahan terbangun, 7) Lahan Pertanian, 8) Lahan terbuka dan tidak ada data (Awan, Bayangan Awan, No Value Area). Kelas penutup lahan secara rinci tersaji pada Tabel 6. (Laporan WWF Indonesia, 2011)

Tabel 6. Kelas Penutup lahan hasil penyederhanaan

No. Kelas Penutup lahan Deskriptif

1. Daerah Pertanian Areal yang diusahakan untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini kadang-kadang tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen termasuk dalam kelas ini. 2.

3.

Lahan Hutan

Bakau (Mangrove)

Hutan yang tumbuh dan berkembang di sesuai tipe habitat yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.

Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah, belum mengalami intervensi manusia dengan vegetasi dominan berupa bakau.

4. Semak dan belukar Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami).

Catatan : Semak belukar di Indonesia biasanya

kawasan bekas hutan dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan.

5. Sabana/Savana Areal terbuka yang didominasi berbagai jenis rumput yang tinggi serta rumput rendah heterogen.

6. Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semi alamiah maupun artifisial. Menurut karakteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi

consolidated dan unconsolidated surface.

7. Lahan Terbangun Lahan terbangun dicirikan oleh adanya substitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan seringkali kedap air.

8. Tubuh Air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun.

Pengambilan Training Sample

Proses klasifikasi multispectral diawali dengan pengambilan training sample untuk tiap obyek. Pengambilan training sample menggunakan pendekatan deteksi visual kenampakan citra untuk mendefinisikan kelas tiap obyek. Klasifikasi yang digunakan mengacu pada Standar Nasional Indonesia tentang klasifikasi penutup lahan untuk skala 1 : 50.000. Proses pengambilan training

sesuai aturan klasifikasi multispectral mengambil minimal 100 piksel murni dari obyek, namun dalam pemetaan ini, pengambilan sampel piksel murni tidak dilakukan pada semua obyek karena terdapat unsur situs dan asosiasi yang menjadi unsur pembeda utama antara beberapa kelas.

Sebagai contoh untuk kelas Hutan Lahan Kering dan Hutan Rawa akan memiliki pantulan yang sama ketika waktu perekaman berada pada bulan kering. sehingga digunakan pendekatan asosiasi yaitu hutan rawa relatif dekat dengan objek rawa berbeda dengan hutan lahan kering yang jauh dari obyek rawa. Contoh lain adalah hutan rawa pasang surut akan memiliki pantulan yang sama dengan hutan rawa, namun dapat digunakan pendekatan situs bahwa hutan pasang surut akan berada di lokasi yang tidak jauh dari pantai akibat pengaruh proses pasang surut. Pengambilan training sample dilakukan dengan menggunakan pendekatan visual dengan komposit citra 543 untuk memudahkan dalam pembedaan tutupan vegetasi.

Uji Keterpisahan Training Sample(ROI Separability)

Proses kalkulasi tingkat keterpisahan antar sampel dilakukan untuk mengetahui tingkat pemisahan atau perbedaan antar kelas. Dengan dasar perhitungan statistik, komputer melakukan komputasi mengenai tingkat keterpisahan spektral pasangan antar Region Of Interest (ROI) yang terpilih untuk input file yang diberikan atau ROI Separability. Nilai ROI Separability ini dapat digunakan untuk menilai apakah training sample telah dapat diterima untuk proses eksekusi klasifikasi. Nilai ROI Separability mengindikasikan seberapa baik pasangan ROI dapat dipisahkan secara statistik yakni rentang antara 0-2. Nilai lebih dari 1,9 mengindikasikan bahwa pasangan memiliki keterpisahan yang baik. Pasangan ROI yang memiliki nilai lebih rendah/kurang dapat dilakukan pengambilan training sample ulang (Farda, 2008)

Proses eksekusi hasil interpretasi dilakukan setelah diperoleh nilai ROI Separability yang dapat diterima, namun akan ada proses verifikasi secara visual mengenai hasil proses klasifikasi. Hal ini dikarenakan perbedaan temporal citra dalam scene yang overlap sehingga akan ada perbedaan kelas pada scene yang overlap. Metode klasifikasi yang digunakan adalah Maximum Likelihood yang relative memiliki keunggulan dalam hal akurasi dibandingkan dengan metode klasifikasi yang lain. Maximum Likelihood menggunakan criteria perhitungan statistic untuk membantu klasifikasi karakter piksel yang tumpang tindih yaitu piksel dengan nilai probabilitas tertinggi.

Klasifikasi yang telah dilakukan perlu dilakukan evaluasi hasil dengan melihat dan membandingkan secara visual melalui kenampakan yang ada pada citra. Ketika terdapat kenampakan yang dinilai sama namun terklasifikasi berbeda maupun sebaliknya, akan dilakukan pengambilan ulang training sampel dan proses klasifikasi ulang hingga didapatkan citra hasil klasifikasi yang sesuai

dengan kenampakan secara visual citra. Proses ekstraksi penginderaan jauh citra Landsat menjadi informasi tutupan lahan dapat diilihat pada Lampiran 7.